KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan yang maha esa lagi maha kuasa, rasa
syukur yang tiada henti kami panjatkan kehadirat-Nya, karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya kami dapat mengerjakan makalah yang berjudul Descartes dan
Spinoza ini dengan lancar. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, pemimpin dan pendidik sejati yang telah mengajarkan
ummatnya ketauhidan serta membawa kedamaian untuk seluruh alam semesta.
Kami sekelompok berupaya sekuat tenaga untuk membuat makalah ini
dengan baik, kendati demikian kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari isi maupun teknis penulisannya.
Oleh karena itu bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
sangat kami harapkan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini, khususnya kepada dosen kami yang mengampu
mata kuliah Filsafat Ilmu yakni Bapak Dr. Muhammad Suaib Tahir, MA.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca, sehingga dapat menjadi penambah wawasan
terhadap kajian filsafat dari berbagai sudut pandang. Aamiin yaa rabbal ‘alamiin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
BAB I: Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 3
Daftar Pustaka 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan sosok yang menginginkan kesempurnaan dalam
kehidupannya. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa hal ini adalah sunnatullah.
Sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna (QS: At-Tin 4), manusia selalu
mencari kebenaran untuk menjawab keingintahuannya (curiosity). Manusia
memaksimalkan akal yang dimilikinya untuk menemukan jawaban atas persoalan
yang dihadapinya. Dengan indera yang dimilikinya, manusia mencari dan
mendapatkan hal baru yang memang ingin diketahuinya tersebut.
Langkah mencari kebenaran ini didapatkan dalam kajian filsafat sebagai
sebuah cara untuk mendapatkan kebenaran. Dengan perbedaan pengalaman
masing-masing orang, seringkali terdapat perbedaan persepsi terkait dengan
kebenaran. Persoalannya adalah apakah sesuatu yang selama ini dianggap sebagai
sebuah kebenaran dapat dipastikan bahwa hal tersebut mempunyai hakikat
kebenaran sebenar-benarnya? Mungkinkah sebuah kebenaran pribadi akan sama
dengan pengalaman orang lain? Mengapa klaim kebenaran selalu muncul dalam
persepsi masing-masing individu? Dapatkah pengalaman pribadi dianggap sebagai
kebenaran hakiki?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan hakekat kehidupan manusia
yang ingin hidup dalam sebuah kata kebenaran. Wal hasil, semua manusia ingin
mendapatkan kebenaran dengan usahanya sendiri-sendiri. Pro dan kontra dalam
mendefinisikan kebenaran sebuah obyek seringkali terjadi, sehingga masing-
masing ingin berada dalam koridor kebenaran yang diyakininya. Justru dengan
pro kontra akan menambah referensi dan khazanah keilmuan, sehingga akan
memberikan makna positif bagi kehidupan manusia
Salah seorang yang selalu menginginkan kebenaran adalah Rene Descartes
(1596-1650 M). Dia adalah seorang tokoh Rasionalisme yangsangat menentang
keras sebuah ide beberapa tokoh yang menyatakanbahwa pengalaman indrawi
adalah sumber hakiki pegetahuan manusia. Beberapa tokoh yang ditentangnya,
2
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Rene Descartes itu?
2. Bagaimana pemikirannya Rene Descartes?
3. Apa yang dimaksud dengan metode keraguan Rene Descartes?
4. Siapakah Spinoza itu?
5. Apa yang dimaksud dengan Rasionalisme dan Mistik?
1
Bagus Lorens. .Kamus Filsafat. (Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama. 2000) h.929
2
Yusuf Akhyar. Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, Ontologi, dan Aksiologi.
(Jakarta: Program Paska sarjana UI. 2002) h. 16
3
Keraf, A. Sonny. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis. (Yogyakarta: Kanisius.
2001) h. 47
3
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengenal Rene Descartes dan Spinoza
2. Untuk mengetahui pemikiran Rene Descartes dan Spinoza
3. Untuk memahami metode keraguan Rene Descartes
4. Untuk memahami Rasionalisme dan Mistik
5. Untuk memahami Pantheisme Mistik-Rasional.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Zubaedi dkk, Filsafat Barat; Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains
ala Thomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), h. 35.
6
Abdul hakim Atang dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; Dari Metologi sampai
Teofilosofi . (Bandung: CV Pustaka Setia 2008) hal 34
6
tindakan akal yang terang benderang yang disebutnya Ideas Claires el Distinctes
(pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah).7
Untuk itulah, Descartes menekankan agar tidak mempercayai segala
sesuatu di luar rasio manusia, karena kesaksian apapun yang bersumber dari luar
rasio manusia adalah tidak pasti dan tidak dapat dipercayai. Kebenaran harus
dicari dan didasarkan dengan menggunakan kriteria “clearly and distinctly”
mengemukakan tentang adanya tiga ide- ide bawaan (innate ideas). yaitu:
a. Idea pemikiran: ide yang memungkinkan diri saya sebagai makhluk yang
berpikir (pemikiran adalah hakikat saya).
b. Idea Allah sebagai wujud sempurna, karena saya mempunyai idea yang
sempurna, maka pasti ada sesuatu yang sempurna itu. Wujud yang sempurna
itu adalah Allah.
c. Idea keluasan: yang memungkinkan saya (kita) mengerti materi (benda-
benda, objek-objek) sebagai keluasan, sebagaimana hal itu dapat dipelajari
secara kuantitatif (ilmu ukur/matematika).
Di sisi lain, untuk membuktikan kepada kita bahwa kita tidak bisa begitu
saja percaya terhadap indra kita. Descartes menunjukkan pengalaman mimpi yang
tampak sangat nyata, bahkan ketika kita melakukan sesuatu yang tidak dapat kita
lakukan ketika dalam keadaan sadar (seperti terbang), hal itu nampak bahwa kita
sungguh-sungguh dapat melakukannya. Karena itulah, tidak ada sesuatu apapun
yang dapat meyakinkan kita bahwa kita tidak sedang bermimpi saat ini. Dan jika
kita tidak bisa yakin bahwa kita saat ini tidak sedang bermimpi, kita tidak bisa
memperoleh pengetahuan melalui penggunaan indra kita.
7
Abdul hakim Atang dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; Dari Metologi sampai
Teofilosofi . (Bandung: CV Pustaka Setia 2008) hal 40
7
dia awali dengan upaya menyangsikan segala sesuatu. Sebagaimana yang ditulis
oleh Sakban Rosidi.
Cartesian method start from doubting everything”de Omnibus
dubitandum”. On the principles of human knowledge, Descartes asserted : first,
that in order to seek the truth, it is necessary, once in the course of our life to
doubt. As far as possible, of all thing. Second, that we thought, also consider as
false allthat is doubtfull.8
Descartes bertolak dari kenyataan di mana kita (manusia) sering tertipu
oleh pengamatan, seperti Argumen Plato, yang menyatakan bahwa tongkat yang
terdapat di kolam yang bergelombang kelihatan bengkok, jalan lurus di ujungnya
kelihatan bertemu, dan seterusnya. Descartes terus meragukan segala hal, meski
sekecil apapun. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Descartes :
I suppose that everything I see is false. I believe that none of what my
deceitful memory represents ever existed. I have no sense whatever. Body, shape,
extension, movement, and place are all chimeras. What then will be true?
Perhaps just the single fact that nothing is certain. (Rene Descartes, 1993)
Keraguan Descartes tampaknya bisa dipahami, karena bisa saja ada
sesuatu (oleh Descartes disebut “si jenius atau si setan jahat” )yang bisa meniupu
atau memalsu penalaran, sehingga sesuatu yang salah akan tampak sebagai
kebenaran. Descartes mengalami kesulitan untuk membuktikan dan mengetahui
adanya dunia luar dengan bertolak dari gagasan “cogito ergo sum” nya. Dan untuk
membuktikan bahwa ia tidak tertipu tentang adanya dunia luar, maka ia bertolak
dari adanya eksistensi Tuhan yang menjamin, karena menurutnya hanya Tuhan
yang dapat menjamin bahwa:
a. ide-ide kita yang jelas dan terpilah memang benar,
b. kita tidak tertipu oleh setan jahat.
Descartes menggunakan argumen ontologis tentang adanya Tuhan dari
Anselmus sebagai dasar metodenya. Allah sebagai penyebab ide yang sempurna
dalam pemikiran kita. Begitu Descartes membuktikan adanya eksistensi Tuhan,
8
Rosidi, Sakban. The History of Modern Thought; A Brief but Critical Reminder.
(Malang: CISC. 2002) hal. 67
8
maka Descartes merasa memiliki dasar untuk mengakui; adanya tubuh kita yang
berbeda dari rasio. bahwa ide kita mengenai dunia luar adalah benar. Setelah
meragukan segala hal, bahkan keberadaannya sendiri, maka ada sesuatu yang
tidak dapat diragukan keberadaannya (saya) yang sedang ragu itu. Adanya saya
yang ragu itu secara langsung membuktikan adanya saya yang berpikir, (cogito
ergo sum; saya berpikir, maka saya ada) merupakan kebenaran filsafat pertama
(primum philosophicum). Tidak peduli betapa pun asam keraguan menggerogoti,
keraguan ini tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri; yaitu
eksistensi dari orang yang meragukan.
Descartes menempatkan peran rasio, intuisi dan penalaran deduktif dalam
mencapai yang pasti. Descartes mengajukan beberapa prinsip metodologis yang
dapat menjadi landasan dalam berpikir :
a. Tidak menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini
sendiri bahwa itu memang benar.
b. Memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah
penyelesaian.
c. Berpikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana, sedikit demi sedikit
untuk sampai ke hal yang paling rumit.
d. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan menyeluruh diperlukan, supaya
tidak ada yang terlupakan.
9
Wayan Kariarta, Filsafat Keutuhanan Menurut Baruch de Spinoza, Vol. 4, Oktober
2020, h. 126-127
10
10
Spinoza. B. 1981 Ethik Stuttgart, Reclam, h. 25
11
Sudadi dan Watra, Dasar-Dasar Filsafat, (Surabaya : Paramita , 2007), h. 67
11
efektifitas dan kapasitas tiap individu ketika memberikan solusi bagi suatu
permasalahan. Mempengaruhi cara pandang dalam melihat kesulitan sebagai suatu
peluang, serta membentuk karakter yang merupakan takdir yang ditulis sendiri
oleh manusia. Mereka yang memiliki ide-ide kreatif dan dalam kacamata
rasionalitas, akan mampu melahirkan berbagai inovasi untuk melewati berbagai
permasalahan.
Kemampuan berpikir kritis dalam berbagai situasi merupakan modal dasar
yang akan membebaskan manusia dari jebakan dogma. Membantu manusia untuk
menyingkirkan berbagai kekaburan konsep yang seringkali mengacaukan
objektifitas sehingga mampu bersikap dengan semestinya. Adapun langkah yang
ditempuh adalah dengan menjelaskan istilah yang dipakai dalam ilmu
pengetahuan, ataupun yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari melalui bahasa
yang mudah dipahami.
Penguasaan terhadap bahasa memiliki peranan penting dalam upaya
menanamkan pengertian. Karena bahasa yang dimiliki manusia merupakan media
eksperimen dalam usaha memahami dan menetapkan arti secara tepat, yang
berujung pada dipahaminya korelasi diantara arti-arti tersebut. Melalui rasionalitas
manusia berusaha berdialog dengan realitas peradaban manusia yang kompleks,
plural dan dinamis. Berusaha menyikapi berbagai fakta sosial-historis dengan
berbagai problem kemasyarakatan yang menyertainya.
Gagasan, pandangan atau pemikiran yang berorientasi pada realitas
seringkali menjebak manusia dalam perilaku pragmatis. Mengelabui manusia
dalam hitung-hitungan antara untung dan rugi, yang berujung pada upaya
memperoleh keuntungan pribadi. Seringkali sekelompok orang mengorbankan
kepentingan masyarakat umum demi memperoleh keuntungan bagi diri dan
kelompoknya. Melalui pola rasionalisme-mistis Spinoza berusaha memberikan
persfektif baru dalam melihat dan menyikapi kehidupan.
Berusaha memecahkan berbagai isu-isu krusial yang mewarnai konteks
kehidupan sosial masyarakat, serta memberikan pemahaman bahwa logika tidak
selamanya benar. Logika yang sering membuat jarak antara aku dan kamu, antara
milikku dan milikmu berusaha dijembatani. Dengan harapan agar manusia dapat
12
12
Sudadi dan Watra, Dasar-Dasar Filsafat, (Surabaya : Paramita , 2007), h. 68
14
Secara esensial, setiap tindakan pasti akan memiliki efek tersendiri. Tidak
ada tindakan yang tidak saling mempengaruhi. Tiap individu akan menilai
individu yang lain dari tindakannya. Penghargaan yang diberikan bagi individu
yang bersangkutan (status sosial) juga diukur dari tindakan yang ia laksanakan.
Oleh karenanya berhati-hatilah dalam bertindak. Karena tindakan yang
dilaksanakan merupakan cerminan dari karakter seseorang, dan karakter akan
mengantarkan pemiliknya pada keberuntungan ataupun kemalangan.
Spinoza memiliki pandangan yang sederhana namun berfaedah bagi
kehidupan. Pandangannya tentang etika merupakan hasil kontemplasi terhadap
dinamika sosial dizamannya. Ia menyatakan bahwa untuk menjadi bahagia maka
tiap individu harus memegang teguh etika. Karena tujuan dari etika adalah
kebahagiaan. Dengan beretika maka secara otomatis akan mendatangkan
kebahagiaan bagi individu maupun orang disekitar. Kebahagiaan menurut Spinoza
adalah kebebasan. Kebebasan dalam pengertian ini bukanlah kebebasan
bereksfresi, ataupun bebas dari berbagai belenggu materialisme seperti dalam
paham teologi. Kebebasan pada pandangan Spinoza mempunyai arti yang agak
istimewa, dimana kebebasan yang dimaksud adalah suatu bentuk perasaan.
Perasaan yang hanya dapat dicapai melalui pengertian (logika), yang akan mampu
mengendalikan dan membebaskan diri dari semua gerak emosional.13
Kebahagiaan itu adalah kebebasan. Kebebasan yang sejati mengerti
berbagai keperluan, dan mengerti terhadap keperluan akan mampu memerdekakan
diri dari gejolak emosi yang menyesatkan logika. Dari premis-premis yang
disampaikan oleh Spinoza tentang kebebasan, keseluruhannya bertumpu pada pola
pikir yang benar. Melalui pola pikir yang benar akan membantu dalam melihat
permasalahan secara jernih, objektif, dan sesuai konteks yang menyertainya.
Berbagai hal akan bisa dicapai apabila dilaksanakan berdasarkan pola yang
tepat, dan berbagai permasalahan yang pelik tidak akan menjadi semakin kronis
apabila dilandasi pikiran yang benar dalam menghadapinya. Setiap kehendak yang
berladaskan atas pikiran yang benar akan berpotensi mendatangkan kebaikan.
13
Hamersma Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1984), h.
11
15
ditanamkan kepada anak melalui permodelan (pemberian contoh) oleh orang tua
kepada anaknya. Hal ini menempatkan orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya.
Membentuk kepribadian anak agar menjadi unggul dan bermartabat yang
berlandasakan kearifan lokal. Muara dari segala proses internalisasi etika adalah
implementasi dalam masyarakat. Kesuksesan seseorang dalam berinteraksi
ditengah masyarakat lebih banyak disebabkan oleh kecerdasan emosional
(kemampuan bersikap dan memberikan pengahrgaan kepada individu lain),
dibandingkan dengan kecerdasan intelektual. Dalam menjalin relasi dengan
sesama, maka etika selalu dijadikan landasan dari tiap tindakannya. Berbagai
upaya yang senantiasa berlandaskan etika akan selalu berbuah manis dan
mendapat penerimaan.
Disinilah pernyataan Spinoza yang menyatakan etika adalah kebahagiaan
memperlihatkan kebenaranya. Setiap orang akan cenderung lebih mudah
bersimpati dan membuka diri terhadap mereka yang ramah serta mampu
menghargai orang lain. Mereka tidak akan ragu membantu dan membagikan
rahasia terhadap mereka yang menjunjung nilai-nilai luhur dalam beretika. Karena
etika sejatinya identik dengan kejujuran dan kesetiaan. Orang yang diyakini
memiliki etika yang baik, akan dengan mudah mendapatkan kepercayaan dan
merasakan kebahagiaan. Dimanapun mereka berada, mereka akan disambut
dengan hangat dan dijadikan orang-orang dalam lingkaran persahabatan. Tidak
ada hubungan harmonis yang bertahan lama tanpa didasari atas kejujuran,
kesetiaan dan etika didalamnya. Interaksi yang berkualitas adalah interaksi yang
membangun kesetaraan, saling menghargai, saling menghormati dan bertoleransi.
Kesucian dan etika merupakan dua variable yang tidak mungkin
dipisahkan. Etika menopang kesucian dan kesucian memberikan vibrasi positif
bagi perilaku yang berlandaskan etika. Hidup adalah perjalanan yang menawarkan
beraneka ragam pilihan, dengan berorientasi pada etika maka pilihan yang diambil
akan melahirkan kebaikan. Melalui konsep etika yang mendatangkan kebahagiaan
dan menempatkan Tuhan sebagai kekuatan yang memiliki andil didalamnya,
maka pemikiran Sponoza juga sering disebut pola pikir mistik-rasional.
H. Pantheisme Mistik-Rasional
17
14
Untara, I. M. G. S., & Gunawijaya, I. W. T, Estetika dan Religi Penggunaan Rerajahan
pada Masyarakat Bali. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 2020, 41-50.
15
Titib, Teologi Dan SimbolSimbol Dalam Agama Hindu, (Surabaya : Paramita, 2003), h.
31.
19
16
Hamersma Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 12
21
adalah untuk pemerintah, namun dalam bidang berfikir, berbicara dan beragama
diberikan kebebasan pada masing-masing individu. Setiap individu sedapat
mungkin memanfaatkan kebebasan yang dimiliki dengan cara-cara yang normatif
agar tercipta kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup.
22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Descartes memiliki fondasi dasar ajaran filsafat yang sangat populer dan
tidak tergoyahkan, yakni tentang ajaran yang menegaskan bahwa kebenaran
tertinggi berada pada akal budi manusia. Menurut Descartes, rasio merupakan
sumber pengetahuan. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang pada
kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang yang
disebutnya Ideas Claires el Distinctes (pikiran yang terang benderang dan
terpilah-pilah). Spinoza merupakan filsuf dengan pemikiran yang paling modern
di abad ke tujuh belas dan kedelapan belas. Dalam dunia barat, filsafat Spinoza
dianggap sebagai pantheisme mistik-rasional. Pantheisme merupakan keyakinan
bahwa dimana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai
oleh Tuhan. Dalam pantheisme terkandung berbagai asfek keharmonisan
fundamental yang dibutuhkan manusia, seperti cinta kasih, persaudaraan,
toleransi, perdamaian dan sebagainya. Melalui pola rasionalisme-mistis Spinoza
berusaha memberikan persfektif baru dalam melihat dan menyikapi kehidupan.
Berusaha memecahkan berbagai isu-isu krusial yang mewarnai konteks kehidupan
sosial masyarakat, serta memberikan pemahaman bahwa logika tidak selamanya
benar.
23
DAFTAR PUSTAKA