Anda di halaman 1dari 12

KEGIATAN BELAJAR 2

WAWASAN KEBANGSAAN
DALAM PRESPEKTIF QURAN HADIS

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Menganalisis konsep wawasan kebangsaan dalam prespektif
quran hadis.

Sub Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


● Menganalisis konsep dasar wawasan kebangsaan;
● Menjabarkan dalil-dalil naqli tentang wawasan kebangsaan;
● Menganalisis konsep wawasan kebangsaan dalam prespektif
quran dan hadis.

Pokok Materi
● Pengertian Wawasan Kebangsaa;
● Unsur wawasan kebangsaan;
● Wawasan kebangsaan dalam prespektif quran hadis.

14
Uraian Materi
WAWASAN KEBANGSAAN
DALAM PRESPEKTIF QURAN HADIS

A. Pengertian Wawasan Kebangsaan


Wawasan kebangsaan terdiri dari dua kata yaitu
‘wawasan dan kebangsaan’. Secara etimologi istilah wawasan
berarti hasil mewawas; tinjauan; pandangan atau arti yang
kedua yaitu konsepsi, cara pandang. Wawasan secara
terminologi berarti kemampuan untuk memahami dan
memandang suatu konsep tertentu dan direfleksikan dalam
sikap atau perilaku tertentu yang sesuai dengan konsep atau
pokok pikiran yang terkandung di dalamnya. Adapun
kebangsaan, dapat diartikan sebagai sikap tindak tanduk
kesadaran dan sikap yang memandang diri sebagai suatu
kelompok bangsa yang sama dengan keterikatan sosio kultural
yang disepakati bersama dalam sebuah ikatan berbangsa dan
bernegara yaitau negara Indonesia. 18
Bangsa yang sebagaimana diuraikan di atas adalah
bangsa Indonesia. Jadi, yang maksud dengan berwawasan
kebangsaan adalah suatu pandangan yang mencerminkan
sikap dan kepribadian bangsa Indonesia yang memiliki rasa
cinta tanah air, menjunjung tinggi rasa kesatuan dan
persatuan, memiliki rasa kebersamaan sebagai warga negara
sebangsa dan seperjuangan untuk membangun bangsa
Indonesia menuju masa depan yang bermartabat, unggul maju
disegaa aspek kehidupan walaupun di tengah persaingan
dunia yang saat ini memasuki era industry 4.0 dengan tanpa
harus kehilangan akar budaya, adat istiadat, sejarah dan
tradisi-tradisi yang tidak dilangarang oleh agama.

18
Yudi Latief dkk, Nasionalisme; Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
Golongan III (Jakarta: Lembaga administrasi Negara Republik Indonesia, 2015),
3; http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/revitalisasi. (Diakses hari Jumat, 3 Mei
2019).

15
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu
bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan
perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya,
yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya.
Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia
merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar
keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia. Dengan
demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang
hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga
dialami bangsa-bangsa lain. Bagaimana pun konsep
kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya,
antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan
bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa
dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat
kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat
dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.19
Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan
tersebut di atas sebenarnya merupakan pandangan generik
yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan lahir dengan
sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan.
Tidak salah bila pandangan generik itu mengemukakan
pentingnya menumbuhkan semangat kejuangan, rasa
kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang
dilahirkan dan sebagainya.
Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau
falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia
sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial
dan politik (sociallyand politicallyconstructed). 20 Pidato Bung
Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan
adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap
bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan

19
Pandangan mengenai wawasan kebangsaan ini dijelaskan secara generic
oleh Ginandjar Kartasasmita dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan
Nasional dan Wawasan Kebangsasn” yang disapaikan pada Sarasehan Nasional
Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei 1994.
20
Bennedict Anderson, Imagined Community: Reflections on the Origin and
Spread of Nationalism, London: Verso, 1991.

16
pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk
kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.
Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons21 mengenai teori
sistem, wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu
falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya
Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai
‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang
mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai
acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi
lingkungannya. Jelaslah, bahwa wawasan kebangsaan
tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang, dan
pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran sistem
lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan
sub-sistem politik.
Pada tataran sub-sistem sosial berlangsung suatu proses
interaksi sosial yang menghasilkan kohesi sosial yang kuat,
hubungan antar individu, antar kelompok dalam masyarakat
yang harmonis. Integrasi dalam sistem sosial yang terjadi akan
sangat mewarnai dan mempengaruhi bagaimana sistem
budaya (ideologi/ falsafah/pandanngan hidup) dapat bekerja
dengan semestinya. Sub-sistem ekonomi dan sub-sistem
politik mempunyai kaitan yang sangat erat. Ada yang
mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak
menempatkan bangsa kita di atas bangsa lain, tetapi
menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan
kewajiban manusia. Paham kebangsaan berakar pada asas
kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu
paham kebangsaan sesungguhnya adalah paham demokrasi
yang memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa
keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Namun demikian sangat dipahami bahwa pembangunan
ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu
penjelamaan dari proses perubahan politik dan sosial. Oleh
karena itu keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi
tidak dapat lepas dari keberhasilan pembangunan di bidang

21
Parsons, Talcott. Toward a General Theory of action. New York : Harper &
Row, 1951.

17
politik. Pada masa kini kita menyaksikan betapa
pembangunan ekonomi hanya dapat terjadi secara
bekelanjutan di atas landasan demokrasi. Betapa bangsa yang
menganut sistem politik totaliter, dengan atau tanpa ideologi,
atau dilandasi oleh ideologi apapun, tidak bisa mewujudkan
kesejahteraan dan tidak sanggup memelihara momentum
kemajuan yang telah dicapai. Sejarah membuktikan
keikutsertaan rakyat dalam pengambilan keputusan
merupakan prasyarat bagi peningkatan kesejahteraan secara
berkelanjutan.
Di sisi lain, ada pula yang mengatakan proses
demokratisasi tidak akan berlangsung dengan sendirinya
tanpa faktor-faktor yang menkondisikannya. Dalam hal ini
tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh akan
menentukan kualitas demokrasi. Masyarakat yang belum
terpenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar akan
sulit dibayangkan dapat ikut mempengaruhi secara aktif
proses perumusan kebijaksanaan pada tingkat mana pun,
faktor ekonomi sangat menentukan. Dengan demikian, tingkat
partisipasi politik rakyat sangat erat kaitannya dengan tingkat
kemajuan ekonominya. Jalan menuju demokrasi adalah
pembangunan ekonomi, seperti juga jalan menuju
pembangunan ekonomi adalah demokrasi.
Ekonomi yang kuat yang antara lain tercermin pada
tingkat pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan yang
tinggi belum menjamin terwujudnya demokrasi yang sehat
apabila struktur ekonomi pincang dan sumber-sumber daya
hanya terakumulasi pada sebagian sangat kecil anggota
masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya pemerataan
pembangunan yang sekarang diberikan perhatian khusus
harus dipandang pula sebagai langkah strategis dalam rangka
pengejawantahan dari wawasan kebangsaan. Dapat dipahami
bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat
diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub sistem
lainnya. Sub-sistem politik akan memberikan energi kepada
bekerjanya sub-sistem ekonomi, untuk kemudian memberikan
energi bagi sub-sistem sosial dan pada akhirnya kepada sub-
sistem budaya. Sebaliknya, apabila sub-sistem budaya telah

18
bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-
sistem lainnya, maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi
sebagai pengendali (control) atau yang mengatur dan
memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial. Begitu
seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap
sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem ekonomi akan bekerja
sebagai pengatur bekerjanya sub-sistem politik.
Hubungan timbal balik antara sub-sistem tersebut di
atas oleh Parsons disebut sebagai cybernetic relationship.

Dalam gambar di atas Sub-sistem Politik merupakan


prasayarat atau prakondisi bagi terciptanya atau bekerja sub-
sistem ekonomi. Pada sub-sistem politik, pencapain tujuan
dilaksanakan melalui demokrasi yang mengedepankan
keseimbangan hak dan kewajiban warga negara, menghargai
perbedaan dan sebagainya. Di kalangan ilmu politik, tujuh
kriteria Robert Dahl 22 , juga banyak dikenal, yaitu (1)
pengawasan atas kebijaksanaan pemerintah dilakukan secara

22
Robert A. Dahl, Dillemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, Yale
University Press, 1982, hal 10 – 11.

19
konstitusional oleh wakil-wakil yang dipilih, (2) wakil-wakil
rakyat itu dipilih dalam pemilihan yang dilakukan secara jurdil
dan tanpa paksaan, (3) semua orang dewasa berhak memilih,
(4) semua orang dewasa juga berhak dipilih, (5) setiap warga
negara berhak menyatakan pendapat mengenai masalah-
masalah politik tanpa ancaman hukuman, (6) setiap
warganegara berhak memperoleh sumber-sumber informasi
alternatif, yang memang ada dan dilindungi oleh hukum, dan
(7) setiap warga negara berhak membentuk perkumpulan atau
organisasi yang relatif independen, termasuk partai politik dan
kelompok kepentingan.
Wawasan Kebangsaan bagi bangsa Indonesia memiliki
makna:
a) Wawasan kebangsaan mengamanatkan kepada seluruh
bangsa agar menempatkan persatuan, kesatuan, serta
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau golongan;
b) Wawasan kebangsaan mengembangkan persatuan
Indonesia sedemikian rupa sehingga asas Bhinneka
Tunggal Ika dipertahankan;
c) Wawasan kebangsaan tidak memberi tempat pada
patriotisme yang licik;
d) Dengan wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh
pandangan hidup Pancasila, bangsa Indonesia telah
berhasil merintis jalan menjalani misinya di tengah-
tengah tata kehidupan di dunia;
e) NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
bertekad untuk mewujudkan bangsa yang maju dan
mandiri serta sejahtera lahir batin, sejajar dengan bangsa
lain yang sudah maju.

B. Unsur-unsur Wawasan Kebangsaan


Terdapat 3 Unsur Dasar Wawasan Kebangsaan, sebagai
berikut.
1. Wadah (Contour)
Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara mencakup seluruh wilayah Indonesia yang

20
memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan
penduduk serta aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia
mempunyai organisasi kenegaraan yang merupakan wadah
beragam kegiatan kenegaraan dalam bentuk supra
struktur politik dan wadah dalam kehidupan
bermasyarakat pada berbagai kelembagaan dalam bentuk
infra struktur politik.

2. Isi (Content)
Isi (content) merupakan aspirasi bangsa yang
berkembang di masyarakat dan citacita serta tujuan
nasional.

3. Tata laku (Conduct)


Hasil interaksi antara wadah dan isi wawasan
kebangsaan akan berwujud tata laku, meliputi sebagai
berikut. Tata laku Lahiriah yaitu tercermin dalam
perbuatan, tindakan dan perilakuϖ dari bangsa Indonesia.
Tata laku Bathiniah yaitu mencerminkan jiwa, semangat
dan mentalitasϖ yang baik dari bangsa Indonesia. Kedua
tata laku tersebut mencerminkan identitas kepribadian atau
jati diriϖ bangsa berdasarkan kekeluargaan dan
kebersamaan yang mempunyai rasa bangga dan cinta
terhadap bangsa dan tanah air.

C. Wawasan Kebangsaan dalam Prespektif Quran Hadis


Untuk memahami wawasan Quran tentang paham
kebangsaan, salah satu pertanyaan yang dapat muncul
adalah, "Kata apakah yang sebenarnya dipergunakan oleh
Quran untuk menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan?
Apakah sya'b, qaum, atau ummah?" Kata ‘qaum” dan
“qaumiyah” sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang
Arab dewasa ini dengan istilah Al-Qaumiyah Al-'Arabiyah.

Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab Mesir pada 1960, dalam


buku Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa" dengan kata

21
ummah. Kata sya'b juga diterjemahkan sebagai "bangsa"
seperti ditemukan dalam terjemahan Al-Quran yang disusun
oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-
Hujurat (49): 13. Apakah untuk memahami wawasan Quran
tentang paham kebangsaan perlu merujuk kepada ayat-ayat
yang menggunakan kata-kata tersebut, sebagaimana
ditempuh oleh sebagian orang selama ini ? Misalnya, dengan
menunjukkan Quran surat Al-Hujurat 13 :

َ َّ َ
َ َ َ ََ َ َ ََ ٗ ََٰ َ َ َ َٰ َ َ َ َ ََٰ َ َ َّ َّ َ ُّ ََٰٓ
ۡ‫يأيها ٱلناس ِإنا خلقۡنكم ِمن ذكر وأنثى وجعلۡنكمۡ شعوبا وقبا ِٓئل ِلتعارفوٓا ِإن أكۡرمكم‬
َ َ َ َّ َّ َ َ َّ َ
١٣ ٞ‫ّلل أتۡقىَٰكمۡ ِإن ٱّلل ع ِليم خ ِبير‬
ِ ‫ِعند ٱ‬

Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal” (Q.S Al-Hujurat: 13)

Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung


paham kebangsaan karena Allah telah menciptakan manusia
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa? Mestikah untuk
mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum
dengan berbagai derivasi/bentuknya yang ditemukan dalam
Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? 23 Dapatkah dikatakan
bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan
bukti bahwa Quran mendukung paham kebangsaan?
Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya dengan, "Yā
Qaumī" (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun mereka tidak
beriman kepada ajarannya? Contoh dari kisah ini dapat
diperhatikan misalnya dalam Quran surat Hud (11): 63, 64, 78,
84 dan lain-lain.

23Muḥammad Ḥusein Fahmī al-Syafi’ī, al-Dalīl al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-


Karīm, (Cairo: Dār al-Salām, 1418 H/1998 M), 213-217.

22
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian
orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan
paham kebangsaan, dengan menyatakan bahwa Allah SWT
dalam Quran memerintahkan Nabi saw untuk menyeru
masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, "Yā ayyuha an-
nās" (wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada
masyarakat yang mengikutinya dengan "Yā ayyuha alladzīna
'āmanū?" Benarkah dalam Al-Quran tidak ditemukan bahwa
Nabi Muhammad saw menggunakan kata qaum untuk
menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis
sebagian orang?
Menurut Muhammad Quraish Shihab untuk
menemukan wawasan Quran tentang paham kebangsaan,
tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata tersebut yang
digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya
dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata
bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan
dalam Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini,
meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi mobil.
Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Quran ketika
menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang
membuangnya ke dalam sumur dengan harapan dipungut oleh
sayyarah yakni kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS
Yusuf [12]: 10).
Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam Quran,
itu pun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua
makna, cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah --
seperti dikutip oleh At-Tabarsi dalam tafsirnya-- memahami
kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab, sama dengan
qabilah untuk suku-suku Arab. Betapapun, kedua kata yang
disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak menunjukkan
arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa
kini. Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat
Al-Hujurat yang diajukan tertolak sebagai argumentasi
pandangan kebangsaan yang direstui Quran. Hanya saja, cara
pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata sya'b
sama dengan bangsa atau kebangsaan.

23
Dalam kamus karya Elsaid M. Badawi dan Muhammad
Abdel Haleem, kata syu’ub dipahami dalam arti: tribes, sub-
tribe units, races, peoples (suku, unit subsuku, ras, bangsa).
Dalam mengartikan surat al-Hujurat [49]: 13 di atas, Badawi
dan Abdel Haleem menulis, “…and We made you into nations
and tribes, that you may know one another”, 24 artinya dan Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu
saling mengenal.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa al-Quran
menggambarkan kehidupan manusia pada masa lalu sudah
dalam bentuk kelompok, suku dan bangsa agar manusia bisa
saling mengenal, belajar, bekerjasama dan berlomba dalam
kebaikan.
Selanjutnya, ayat-ayat Quran yang membahas nilai-nilai
wawasan kebangsaan, seperti halnya Quran memerintahkan
persatuan dan kesatuan sebagaimana dalam QS. Al-Anbiya’:
92; Q.S Al-Mu’minun: 52 dan Q.S Al-Imran: 105.
َ َ
ُّ َ َ َ ٗ َ ََٰ ٗ َّ َّ ََٰ َّ
٩٢ ‫ون‬
ِ ‫ِإن ه ِذ ِهۦٓ أمتكمۡ أمة و ِحدة وأنا ربكمۡ فٱعۡبد‬
Artinya:
Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu,
dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. (Q.S. Al-
Anbiya: 92)

َ
َّ َ ُّ َ َ َ ٗ َ ََٰ ٗ َّ َّ ََٰ َّ َ
٥٢ ‫ون‬
ِ ‫و ِإن ه ِذ ِهۦٓ أمتكمۡ أمة و ِحدة وأنا ربكمۡ فٱتق‬
Artinya:
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua,
agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka
bertakwalah kepada-Ku.

َ َ َ َ ََٰٓ ََٰ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َّ َ َ َ
‫َولا تكونوا كٱل ِذين تفرقوا وٱخۡتلفوا ِمنۢ بع ِۡد ما جآءهم ٱۡلۡب ِينت وأول ِئك لهمۡ عذاب‬
َ َ َّ
َ
١٠٥ ٞ‫ع ِظيم‬

24 Elsaid M. Badawi and Muhammad Abdel Haleem, Arabic-English Dictionary


of Quranic Usage, (Leiden, Boston: Brill, 2008), 486.

24
Artinya:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat” (Q.S. Al-Imran: 105)

Selain ayat-ayat al-Quran di atas, dalam hadis juga


dijelaskan tentang konsep wawasan kebangsaan, di antaranya:

َّ َ َ ََ
َّ َّ َّ
‫يل عن أنس أن النبي صلى‬
َ
‫و‬
َّ
‫الط‬ ‫د‬ ‫ي‬ َ ‫َحَّدثَ َنا إب َراهيم َحَّدثَ َنا ال َحارث بن ع َمير َعن ح‬
‫م‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ َ َ َ َّ
َ َّ
َ َ َ َ َ
‫ات ال َم ِدين ِة أوض َع ناقته َو ِإن‬ ‫ر‬ َ ‫ان إ َذا َقد َم من َس َفر َف َن َظ َر إلى جد‬
ِ ِ ِ ِ ِ ‫اّلل علي ِه وسلم ك‬
َ َ َ َ َ َ َ
)١٢١٦٢ ‫كان على دَّابة حَّركها ِمن ح ِبها (مسند أحمد‬
َ َ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim telah menceritakan


kepada kami al-Harits bin 'Umair dari Humaid, at-thowil dari
Anas, Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam jika tiba dari suatu
perjalanan dan melihat kedinding-dinding Madinah, beliau
percepat untanya dan jika diatas kendaraannya, ditarik-
tariknya, karena begitu cintanya kepada Madinah. (Musnad
Ahmad: 12162). 25

25
Maktabah syamilah.

25

Anda mungkin juga menyukai