PENDAHULUAN
Gangguan jiwa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius didunia.
Menurut WHO(2013) menyatakan lebih dari 450 juta orang dewasa secara global
diperkirakan mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah itu hanya kurang dari separuh yang
bisa mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Sedangkan WHO (2016) menyatakan
terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang
terkena skizofrenia serta 47,5 juta terkena dimensia.
Menurut data Kementrian Kesehatan tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia lebih dari 28 juta orang dengan kategori gangguan jiwa ringan 14,3% dan 17%
atau 1000 orang menderita gangguan jiwa berat. Dibanding rasio dunia yang hanya satu
permil, masyarakat Indonesia yang telah mencapai 18,5%. Dalam Riskedas tahun 2013
prevelensi gangguan jiwa berat di Jawa Tengah mencapai angka 2,3 per mil. Angka
tersebut menempatkan provinsi Jawa Tengah dalam urutan ke tiga provinsi dengan jumlah
gangguan jiwa terbesar setelah provinsi Aceh pada tahun 2013. Selanjutnya berdasarkan
dari data Dinas Kesehatan gangguan jiwa di provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Jumlah gangguan jiwa pada tahun 2013 sebanyak 121,962 jiwa
penderata. Pada tahun 2014 meningkat menjadi 260,240 jiwa. Pada tanun 2015 bertambah
menjadi 317,504 jiwa dan pada 2016 meningkat menjadi 413,612 jiwa.
Menurut data Rekam Medis RSJ Surakarta (2018) angka kejadian gangguan jiwa di
Rumah Sakit Jiwa Surakarta pada tahun 2012 mencapai 5.906 jia atau 83,59%, tahun 2013
tercatat 3.190 jiwa atau 76,53%, tahun 2014 tercatat 3.139 jiwa atau 77,39%, tahun 2015
tercatat 2.817 jiwa atau 70,63%, tahun 2016 tercatat 2993 jiwa atau 75,41% sedangkan
pada tahun 2017 tercatat 2.815 jiwa atau 69,31%. Permasalahan kasus pada yang sering
terjadi pada pasien gangguan jiwa antara lain skizofrenia tak terinci sebanyak 1.246 kasus,
skizofrenia paranoid sebanyak 635 kasus, DMO 170 kasus, skizofrenia lainnya 143 kasus
dan terakhir skizofrenia afektif tipe manik 120 kasus (Dikutip dari
www.jurnalumseprints.ums.ac.id (2019) diakses pada tanggal 16 Juni 2021 pukul 20.16
WIB).
Pada klien isolasi sosial (menarik diri) seringkali disebabkan karena klien merasa
dirinya rendah, merasa ditolak dengan orang lain, merasa tidak berguna sehingga perasaan
malu timbul ketika akan berinteraksi dengan orang lain. Perilaku menutup diri dari orang
lain juga dapat menyebabkan intoleransi aktivitas yang bisa mempengaruhi pada
ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri. Apabila keadaan individu
dengan isolasi sosial tidak tepat dalam penanganan maka akan timbul risiko perubahan
sensori persepsi seperti halusinasi, resiko mencederai diri sendiri, orang lain, bahkan
lingkungan sekitar.
Seseorang dapat dikatakan menarik diri jika seorang individu tersebut mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Sehingga peran perawat belum terlaksana
secara maksimal karena pasien dengan masalah isolasi sosial sulit untuk diajak
berkomunikasi.
Dengan demikian seorang perawat harus dapat membina hubungan saling percaya
agar proses asuhan keperawatan dapat terlaksana dengan baik serta menjelaskan cara
bersosialisasi dengan orang lain selain itu juga membantu pasien mengenali kelebihannya
agar pasien tidak merasa dirinya rendah dengan cara melakukan pengkajian pada pasien,
melakukan analisis data , menentukan diagnosis, membuat perencanaan, melakukan
tindakan dan mengevaluasi.
Berdasarkan analisis diatas penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah dengan
judul Asuhan Keperawatan Masalah Isolasi Sosial : Menarik Diri Dengan Diagnosa Medis
Skizofrenia Paranoid.
Skizofrenia yaitu gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya
perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar
pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan
halusinasi (presepsi tanpa ada rangsang pancaindra)
2.1.2 Etiologi
Skizofrenia di sebabkan karena gangguan utama pada fungsi kognitif
yang menunjuk pada faktor organik karena afek meracuni diri sendiri (auto
intoxication). Selanjutnya psikonalis mencoba menjelaskan penyebab
skizofrenia dari bidang psikodinamik. Kini semakin banyak ditemukan
bukti-bukti yang menunjukan dominasi peranan faktor biologis pada
skizofrenia, seperti :
1. Abnormalitas struktur anatomi otak.
2. Defisit pada pemrosesan perhatian dan informasi.
3. Infeksi virus.
4. Faktor lingkungan seperti kekurangan gizi selama kehamilan, masalah
dalam proses kelahiran dan stress pada kondisi lingkungan.
5. Faktor bawaan/genetik.
Petunjuk nyata peranan genetik pada skizofrenia kelihatan pada
penelitian epidemiologi genetik yang memperlihatkan adanya
peningkatan yang bermakna insiden skizofrenia dari keluarga penderita.
Peneliti ini diperkuat dengan penelitian anak adopsi yang
memperlihatkan tetap tingginya resiko untuk menderita skizofrenia pada
anak yang berasal dari keluarga penderita skizofrenia, walaupun iya telah
di adopsi oleh keluarga lain yang tidak ada skizofrenia. Penelitian
terhadap anak kembar memperlihatkan resiko skizoifrenia scan otak,
ternyata di temukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama
pada penderita kronis, perubahanya ada pembesaran lateral ventrikel,
11
atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebral lum)(Yosep &
Sutini, 2014).
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikutini yang amat jelas ( dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas ) :
a. “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya(tidak keras) dan isi pikiran ulangan,walaupun isinya
sama,namun kualitasnya berbeda atau “thought insertion or withdrawl” :
isi pikiranyang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya(insertion)atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawl) dan
“thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
b. “ delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu
kekuatan tertentu dari luar atau “ delusion of influence” : waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau “ delusion
of passivity” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar (tentang ”dirinya” secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau
penginderaan khusus), “ delusional perception “ : pengalaman inderawi
yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik : Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien
diantara mereka sendiri( diantara berbagai suara yang berbicara)atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,misalnya perihal
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah batas penelitian yang dapat ditentukan oleh peneliti
dengan objek, hal, atau orang untuk digunakan sebagai variabel penelitian
(Suharsimi 2016).Responden yang memenuhi kriteria inklusi mengalami gangguan
isolasi sosial: menarik diri from pasien skizofreniaparanoid yang dirawat di ruang
keperawatan jiwa
C. Fokus Studi
Observasi dan evaluasi respons klien sebelum, selama, dan sesudah asuhan
keperawatan.
Tempat :
Waktu :
E. Definisi Oprasional
Sugiyono (2015) menyatakan bahwa definisi operasional variabel penelitian
adalah karakteristik, sifat, atau nilai dari objek atau kegiatan yang memiliki variasi
tertentu yang sudah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan.Proses asuhan keperawatan yang berkelanjutan termasuk pengumpulan
data objektif dan subjektif klien, analisis data, penentuan diagnosa, perencanaan,
tindakan, dan evaluasi, serta dokumentasi.
F. Pengumpulan Data
1.Wawancara
Data subjektif dari klien dengan gangguan menarik diri dikumpulkan melalui
wawancara yang dilakukan secara langsung.Jika klien dapat ditemui, klien dan
keluarganya dapat diwawancarai.
2.Observasi
Untuk mendapatkan data yang objektif, peneliti melakukan pengamatan secara
langsung terhadap klien yang mengalami gangguan tarik diri. Ini mencakup
komunikasi klien, kontak mata mereka dengan peneliti, ekspresi wajah mereka,
kebiasaan mereka, perawatan diri, dan penarikan diri.
3. Inspeksi Fisik
Pemeriksaan fisik klien dengan gangguan menarik diri dilakukan oleh peneliti
untuk mengidentifikasi masalah kesehatan mereka. Pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan sistem dan fungsi organ klien, serta tanda-tanda vital, tinggi badan,
dan berat badan.
4. Catatan Medis
Penggalian data dari rekam medik pasien dengan gangguan menarik diri
dilakukan untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh peneliti secara
mandiri, seperti pemeriksaan diagnostik.
G. Analisa Data
Selanjutnya, diskusi tentang kemungkinan ada kesesuaian dan kesenjangan
dalam teori asuhan keperawatan dimulai dengan membandingkan respons
responden studi kasus.
H. Penyajian Data
Penyajian Informasi Laporan asuhan keperawatan disajikan secara naratif dan
mencakup pelaksanaan asuhan keperawatan pasien menarik diri, analisis
pembahasan lanjutan, kesesuaian dan kesenjangan asuhan keperawatan pada
responden berdasarkan asuhan keperawatan.
I. Etika Penelitian
Prinsip-prinsip berikut merupakan dasar dari studi kasus ini:
1. Persetujuan diberitahu (persetujuan menjadi klien)Memberikan lembar
persetujuan kepada responden studi kasus untuk menunjukkan persetujuan.
Memiliki subjek yang memahami maksud dan tujuan studi kasus adalah tujuan
dari informasi consent.
2. Privasi (tanpa nama)Masalah etika studi kasus adalah masalah yang
memastikan bahwa subjek studi kasus digunakan dengan benar hanya dengan
memberikan nama responden dan menulis kode pada lembar pengumpulan data
atau hasil yang akan dipresentasikan.
3. Kerahasiaan (kerahasiaan): Peneliti studi kasus menjamin bahwa semua
informasi yang mereka kumpulkan tetap rahasia.