Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kualitas pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan kualitas tenaga perawat,
karena sebagian besar tenaga kesehatan Indonesia adalah perawat. Di era globalisasi, kualitas
perawat yang bertaraf internasional menjadi prasyarat mutlak untuk dapat bersaing dengan
perawat dari negara lain. Di Indonesia jumlah perawat mencapai 345.508 pada tahun 2019.
Berdasarkan Dinas Kesehatan Kalimantan Timur mencapai 10. 273 perawat. Dari jumlah
tersebut kota Samarinda menempati posisi pertama di Kalimantan Timur untuk jumlah
perawat sebanyak 2.215 tenaga (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2019).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 tahun 2013 menguraikan perawat yang
menjalankan praktik harus senantiasa meningkatkan ilmu dan teknologi melalui pendidikan
dan pelatihan. Pedoman pendidikan berkelanjutan perawat diatur dalam Keputusan Dewan
Pengurus PPNI Nomor : 017F/DPP.PPNI/SK/K/S/II/2016 guna menjaga kompetensi perawat.
Dalam perkembangannya, pendidikan keperawatan telah mengalami pasang surut jenjang
pendidikan yang semula hanya setingkat SMK, ini telah sampai jenjang tertinggi yaitu
doktoral. UU No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan menjelaskan pendidkan professional di
Indonesia terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan klinik/profesi ners. Pendidikan
keperawatan di Indonesia terdiri dari dua tahap yang terintegrasi dan tidak terpisahkan yakni
pendidikan akademik dan profesi. Pada pasal 5-8 menunjukkan pendidikan keperawatan yang
dibagi menjadi 3 yaitu pendidikan vokasi (D III Keperawatan), pendidikan akademik (Sarjana,
Magister, dan Doktoral Keperawatan), dan pendidikan profesi (ners dan spesialis). Setelah
lulus S1 mahasiswa wajib melanjutkan program Ners. Kemudian pemerintah mewajibkan
lulusan D III dan Ners untuk mengikuti uji kompetensi sebagai syarat mendapatka STR (Surat
Tanda Registrasi) (Republik Indonesia, 2014).
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa) tahun ini
mengeluarkan edaran dengan nomor surat 508/B/TU/2018 mengenai Pelaksanaan Uji
Kompetensi Bidang Kesehatan Tahun 2018. Uji kompetensi adalah uji perilaku, keterampilan,
dan pengetahuan yang dilakukan oleh institusi pendidikan kesehatan untuk peserta didiknya
(Kemenristekdikti, 2018). Isi surat ini menjadi pro dan kontra dikalangan akademisi. Hasil
konsensus poin 4 yang ditujukan kepada ketua institusi pendidikan kesehatan didalam surat ini
berbunyi “Uji kompetensi nasional untuk seluruh bidang kesehatan sebagai salah satu syarat
kelulusan dari pendidikan vokasi atau profesi (uji kompetensi sebagai exit exam) akan
diimplementasikan mulai akhir juni 2019. Kemenristekdikti dan Kemenkes akan sosialisasi
dan implementasi uji nasional bidang kesehatan sebagai exit exam.”. Keputusan konsensus ini
menjadi bahan kajian bagi setiap institusi pendidikan kesehatan agar dapat mempersiapkan
peserta didik secara optimal untuk menghadapi uji kompetensi. Salah satu institusi pendidikan
kesehatan yang terdampak adalah pendidikan keperawatan. Exit exam adalah uji kompetensi
yang dilaksanakan pada tahap akhir pendidikan atau setelah menyelesaiakan seluruh tahap
pendidikan . Dengan adanya sistem exit exam akan menimbulkan ancaman bagi mahasiswa
dikarenakan jika tidak lulus uji kompetensi maka tidak dapat mengikuti prosesi wisuda hingga
dinyatakan kompeten, secara ototmatis tidak dapat mengurus STR sebagai syarat untuk
berkerja (Ristekdikti, 2018).
Setiap tenaga kesehatan wajib memiliki STR. Tenaga kesehatan yang memiliki STR
dapat diartikan memiliki kompetensi yang diisyaratkan untuk tenaga kesehatan, dan dapat
digunakan untuk aktivitas pelayanan kesehatan (Rahma, 2018). Untuk memperoleh STR,
seorang calon perawat profesional harus memiliki dua jenis sertfikat yaitu sertifikat
kompetensi diperoleh setelah dinyatakan lulus uji kompetensi sebagai surat tanda pengakuan
untuk menjalankan praktik di seluruh wilayah Indonesia dan sertifikat profesi diperoleh dari
lulusan pendidikan profesi keperawatan sebagai surat tanda pengakuan untuk melakukan
praktik keperawatan (Permenristekdikti Nomor 12 tahun 2016).
Dengan adanya aturan tersebut menimbulkan kecemasan pada mahasiswa Ners dalam
menghadapi uji kompetensi. Kecemasan adalah status emosional individu yang muncul
terhadap keadaan lingkungan, baik dari dalam diri maupun lingkungan luar terhadap ancaman
bahaya yang dirasakan sehingga timbul perasaan tidak enak, kurang nyaman, takut, gelisan
dan merasa bersalah dan mengantisipasi kemungkinan ancaman yang terjadi (Lungguh
Perceka, 2018). Kecemasan adalah kekhawatiran yang samar-samar yang terkait dengan
sensasi ketidakpastian. Keadaan emosional ini dialami secara subjektif dan dibagi secara
interpersonal dan tidak memiliki objek yang pasti. Kecemasan tidak sama dengan ketakutan,
yang merupakan penilaian mental dari bahaya. Kecemasan adalah reaksi emosional terhadap
suatu keadaan (Stuart, 2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada
mahasiswa pada saat menghadapi uji kompetensi diantaranya pengawas tes, tempat tes,
keterampilan, dan perasaan takut, gugup dan khawatir tidak lulus tes atau rasa tidak percaya
akan kemampuan diri sendiri akan berhasil dalam tes kompetensi (Malfasari et al., 2018).
Klasifikasi tingkat kecemasan adalah (1) Kecemasan ringan, berkembang sebagai akibat dari
stres kehidupan biasa. Bidang persepsi berkembang dan seseorang menjadi lebih terjaga
selama periode ini. Kemampuan untuk melihat, mendengar, dan merasakan sesuatu lebih baik
dari sebelumnya. Kecemasan alam ini dapat mendorong pembelajaran, serta pertumbuhan dan
kreativitas, (2) Kecemasan sedang, menyebabkan bidang persepsi individu menyemput,
memungkinkan mereka untuk fokus pada hal-hal penting sambil mengesampingkan hal-hal
lain. Akibatnya, orang sering merasa kurang perhatian, namun ketika diarakan, mereka dapat
fokus pada topik yang lebih luas, (3) Kecemasan berat, merupakan indikasi penurunan besar
dalam bidang persepsi. Individu memiliki kecendrungan untuk berkonsentrasi pada satu
subjek dan tidak memikirkan hal lain. Semua aktivitas pengurangan kecemasana, serta
sebagian besar arahan, perlu dialihkan ke area lain, (4) Panik adalah keadaan kecemasan
dimana orang merasa terkejut, heran, dan ketakutan. Panik ditandai dengan gangguan
kepribadian, peningkatan aktivitas fisik, penurunan kapasitas untuk berhubungan dengan
orang lain, dan hialngnya pemikiran rasional. Jika tingkat kecemasan ini berkelanjutan dalam
waktu yang lama kelelahan dan kematian dapat terjadi (Stuart, 2016).
Pada mahasiswa NERS ada beberapa faktor kecemasan yang menjadi hambatan yaitu
waktu pelaksanaan uji kompetensi yaitu tidak fokus belajar, ketidaktahuan konsep, kurang
pengalaman klinik, sehingga kurang percaya diri pada kemampuan diri akan berhasil dalam
uji kompetensi serta kurangnya dukungan sosial. Dukungan sosial adalah bantuan atau
dukungan yang diterima individu dari orang-orang dalam kehidupan mereka yang berada
dalam lingkungan sosial tertentu sehingga individu merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai
(Kuntjoro, 2012). Dukungan sosial didapatkan dari orang-orang yang memiliki hubungan
berarti bagi mahasiswa seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, tetangga,
serta dosen. Dukungan sosialdapat mengurangi kecemasan yang terjadi pada individu.
Sehingga individu dapat menghadapi dan mempersiapkan penanganan pada masalah yang
terjdi. Menurut sarafino (2014) mengatakan dukungan sosial terdiri dari 4 aspek yaitu (1)
Dukungan Emosional, yang melibatkan rasa empati serta atensi yang diterima individu
sehingga membuat individu merasa aman, dicintai, serta diperhatikan., (2) Dukungan
Instrumental, dukungan langsung dengan sokongan materi semacam barang ataupun benda
yang diperlukan oleh individu. Dukungan ini berbentuk dorongan finansial ataupun dorongan
mengerjakan tugas tertentu, (3) Dukungan Informasi, berbentuk anjuran, nasihat, serta
pengarahan terkait dengan cara menyelesaikan masalah dengan baik. Sebagai contoh
pemberitahuan akan informasi dari keluarga atau dokter terkait penyakit yang sedang dialami,
(4) Dukungan penghargaan, dukungan dengan mengaitkan ungkapan persetujuan serta secara
positif menilai ide, performa, dan perasaan orang lain.
Selain dukungan sosial, apabila individu tidak mampu mengatasi kecemasan secara
konstruktif maka dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku fatologis (Stuart, 2013).
Sehingga mahasiswa Ners membutuhkan mekanisme koping yang baik. Mekanisme koping
merupakan cara mengatasi stress dan kecemasan dengan memperdayakan diri. Individu
biasanya menghadapi kecemasan mnggunakan mekanisme koping yang berfokus pada
kognitif, dan mekanisme yang berfokus pada emosi. Koping dapan diidentifikasikan melalui
respon manifestasi (tanda dan gejala) koping dapat dikaji melalui beberapa aspek yaitu
fisiologis dan psikologis koping yang efektif menghasilkan adaptif sedangkan yang tidak
efektif menyebabkan maladaptif (Stuart, 2013). Mekanisme koping adaptif mempromosikan
fungsi integrasi pertumbuhan, pembelajaran dan pencapain tujuan, seperti mampu
mengendalikan emosi dengan berbicara kepada orang lain, memecahkan kesulitan secara
efisien, teknik relaksasi, menerima dukungan dari setiap individu lain dan kegiatan
konstruktif. Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi integrasi, menghambat pertumbuhan, mengurangi otonomi, dan
kecendrungan menghambat penguasaan lingkungan. Contohnya dengan makan berlebihan
atau tidak makan, kerja berlebihan, penghindaran, kemarahan, lekas marah, perilaku
menyimpang, ketidakmampuan untuk berpikir atau disorientasi, dan ketidakmampuan
memecahkan masalah. Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal seperti kuantitas, durasi, intensitas stres, pengalaman individu
sebelumnya, sistem dukungan individu yang ada (dukungan sosial), dan atribut pribadi
seseorang. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri, antara lain lingkungan, dukungan
sosial, perkembangan penyakit dan keadaan keuangan (Stuart, 2016).
Fenomena ini normal terjadi dalam kehidupan. Karena pada dasarnya respon fisilogis
setiap individu berbeda-beda dalam mepresepsikan suatu kejadian termasuk menghadapi uji
kompetensi dengan metode exit exam. Salah satu tantangan terbesar dalam hal ini adalah
munculnya perasaan khawatir, takut, serta kecemasan akan kegagalan sehingga mahasiswa
Ners tidak dapat mempersiapkan diri secara optimal dalam menghadapi uji kompetensi. Oleh
karena itu untuk mengatasi kecemasan yang terjadi diperlukan strategi koping yang baik.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Keperawatan Ners
Menjelang UKOM di Samarinda”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uaraian dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu : “Adakah Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan
Mahasiswa Keperawatan Ners Menjelang UKOM di Samarinda?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan mekanisme
koping dengan tingkat kecemasan mahasiswa ners menjelang uji kompetensi di Samarinda.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi karakteristik responden
1.3.2.2 Mengidentifikasi mekanisme koping pada mahasiswa keperawatan ners
1.3.2.3 Mengidentifikasi dukungan sosial pada mahasiswa keperawatan ners
1.3.2.4 Mengidentifikasi tingkat kecemasan mahasiswa keperwatan ners
1.3.2.5 Menganalisis hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan pada
mahasiswa ners menjelang uji kompetensi
1.3.2.6 Menganalisis hubungan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan pada
mahasiswa ners menjelang uji kompetensi
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan untuk menambah wawasan dan mendapatkan
pengelaman meneliti tentang hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan
pada mahasiswa ners menjelang uji kompetensi.
1.4.2 Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini diarapkan dapat memberikan masukan dan tambahan wacana
yang bermanfaat bagi pendidikan dalam mengetahui hubungan dukungan sosial dan
mekanisme koping dengan tingkat kecemasan.
1.4.3 Bagi Mahasiswa Ners
Diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan positif bagi mahasiswa
keperawatan ners dalam mengetahui dukungan sosial dan mekanisme koping
mahasiswa menghadapi uji kompetensi .

1.5 Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diukur
diamati dalam suatu penelitian. Sebuah kerangka konsep harus dapat memperlihatkan
hubungan antara variabel-variabel yang diteliti (Notoatmojo, 2018).

Kerangka konsep yang digunakan dalam peneitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 1.1 Kerangka Konsep Peneliti

Mekanisme Koping :

1. Adaptif
2. Maladaptif
Tingkat Kecemasan :

1. Ringan
Indikator Dukungan sosial : 2. Sedang
1. Dukungan Emosional 3. Berat
2. Dukungan penghargaan 4. Panik
3. Dukungan Instrumental
4. Dukungan Informasi
5. Dukungan jaringan
sosial
1.6 Hipoteisis Penelitian
1.6.1 Hipotesis Alternatif (Ha) :
Ada hubungan mekanisme koping dan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan
pada mahasiswa ners menghadapi uji kompetensi di Samarinda.
1.6.2 Hipotesis Nol (Ho) :
Tidak ada hubungan mekanisme koping dan dukungan sosial dengan tingkat
kecemasan pada mahasiswa ners menghadapi uji kompetensi di Samarinda.

Anda mungkin juga menyukai