Anda di halaman 1dari 75

Risalah

TINJAUAN HUKUM FIKIH TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BUAH D

I PASAR BUAH BANGKALAN

(ANALISIS TRANSAKSI KHIYAR DI PASAR BUAH BANGKALAN)

Oleh : Ainul Yakin

NIM :1812150053

Dosen Pembimbing :

Imam Qori, M.Pd. M.M.

K. Masduki, S.Pd.

Ma’had Aly Nurul Cholil Demangan Barat Bangkalan 2022 M


I
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya :
Nama : AINUL YAKIN
Nim : 1812150053
Jenjang : M-1
Fakultas/Studi : Fiqh Wa Usuluhu
Alamat : Dabung Geger Bangkalan
Judul risalah :
Tinjauan Hukum Fikih Terhadap Praktik Jual Beli Buah Di Pasar Buah Ban
gkalan (Analisis Transaksi Khiyar Di Pasar Buah Bangkalan)
Menyatakan dengan Sesungguhnya Bahwa :
Seluruh bagian dalam tesis ini tidak menjiplak atau plagiat milik pihak lain.
Cuplikan sebagai karya ilmiah ataupun pendapat pihak lain dalam risalah ini
ditulis sesuai kaidah penelitian karya ilmiah yang berlaku.
Apabila suatu saat dari pihak lain yang melakukan klaim bahwa karya ilmiah ini
merupakan plagiat karya ilmiah pihak lain, dan ternyata memang terbukti, saya
bersedia menerima segala sanksi yang diberikan oleh Ma’had Aly Nurul Cholil
Bangkalan.
Demikian surat pernyataan ini dibuat, sebagai pertanggung jawaban orsinilitas
karya ilmiah atau tesis yang saya susun sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar Marhalah satu (S-1) pada Ma’had Aly Nurul Cholil.

Bangkalan, 22 Juli 2022 M.


Yang Membuat Pernyataan.

AINUL YAKIN
NIM : 1812150053

II
ABSTRAK
Dalam upaya memenuhi kebutuhan finansial sehari-hari, manusia tidak
akan terlepas dari hubungan sesama manusia. Seperti masyarakat di pasar buah
bangkalan, mereka melakukan transaksi jual-beli seperti pasar buah pada
umumnya yang menjual beberapa komoditi jual-beli termasuk buah-buahan
seperti anggur, apel, semangka, melon, salak dan jeruk yang kualitasnya di
campur. Buah-buahan termasuk kebutuhan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat. hal ini menyebabkan transaksi jual-beli di toko buah
bangkalan selalu ramai setiap hari dan persaingan semakin bertambah ketat antar
pedagang, sehingga memicu pedagang yang curang agar dagangannya cepat
terjual dengan cara mencampur kualitas buah-buahan buah. Agar dapat meraup
keuntungan yang lebih besar.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah praktik jual-beli buah di
pasar buah bangkalan. Yang dalam praktik transaksi jual-beli buah tersebut, ada
pencampuran kualitas buah yang bagus dengan yang kurang bagus. Sehingga
banyak pembeli yang tertipu.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (filed reseach) yang bersifat
studi kasus pada penjual dan pembeli buah yang ada di pasar buah bangkalan,
teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah wawancara dan analisis
dengan analisis kualitatif dengan menggunakan metode berfikir deduktif dan
induktif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa pelaksanaan atau
transaksi jual-beli di pasar buah bangkalan tidak memenuhi syarat sesuai syari‟at
islam, yaitu ketidakjelasan barang atau samarnya barang yang diperjual-belikan.
Dalam ketidakjelasan barang tersebut terdapat unsur penipuan yang dilakukan
oleh pihak penjual (produsen) buah kepada pembeli, sehingga menyebabkan jual-
beli tersebut tidak sah.
Kata kunci: jual-beli, khiyar, pasar buah bangkalan.

III
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang senantiasa

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

risalah dengan judul: Tinjauan Hukum Fikih Terhadap Praktik Jual Beli Buah Di

Pasar Buah Bangkalan (Analisis Transaksi Khiyar Di Pasar Buah Bangkalan).

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah-limpahkan kepada junjungan baginda

Nabi Muhammad SAW. Semoga mendapat syafaat beliau di hari kiamat kelak,

amin. Sang revolusionis islam. Risalah ini disusun oleh penulis sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Sarjan Strata Satu (S.1) pada Perodi Fiqh Wa Ushuluhu

Ma’had Aly Nurul Cholil, Bangkalan. Banyak kendala bagi penulis dalam

menyelesaikan risalah ini, namun berkat rahmat dan karunia dari Allah SWT serta

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, Alhamdullah risalah ini dapat penulis

selesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Alwi Hasan Asri dan Ibunda Imroatun Jamila yang telah

mendoakan dan membimbing penulis, sehingga penulis mampu menyelsaikan

risalah ini tepat waktu.

2. Bapak KH. Hasani Zubair, S.IP, M.KP. Penanggung Jawab Ma’had Aly Nurul

Cholil Bangkalan.

3. Bapak Rektor atau Mudier Ma’had Aly Nurul Cholil Bangkalan KH. Ahmad

Zubair.

4. Bapak Dosen pembimbing Imam Qori, M.Pd. M.M. dan K. Masduki, S.Pd.

yang telah sudi meluangkan waktunya untuk membimbing, mengoreksi,

IV
mengarahkan dan selalu melayani penulis dalam proses pembuatan Naskah

Risalah.

5. Para Bapak Dosen Ma’had Aly Nurul Cholil Bangkalan, KH. Muhajir

Nawawi, KH. Qushairi Hidayat S.Pd, Abdul Mun’im, Lc. M.Ag, K.

Hamimuddin S.Pd.I. dan Para Dosen yang lain yang tidak bisa penulis sebut

satu-persatu, yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan kepada penulis

sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan Naskah ini dengan baik.

6. Saudara dan Segenap Kerabat khususnya Ust. Hayatullah, Ust. Siyam,

Advokat Komaruddin, SH.MH, dan saudara-saudara yang lain, yang telah

memberikan kepercayaan penuh dan memotivasi kepada penulis sehingga bisa

menyelesaikan Risalah ini tepat waktu.

7. Teman-teman seperjuangan Angkatan Perdana program studi Fiqh Wa

Usuluhu Ma’had Aly Nurul Cholil Bangkalan, yang telah banyak memberi

dukungan dan saling Support, sehingga risalah ini bisa selesai tepat waktu.

Terimakasih atas kebersamaan kita selama perkuliahan. semoga persaudaraan

ini senantiasa kita jaga dan tidak akan ada yang dapat memudarkan hubungan

tali silaturahim kita.

8. Semua pihak yang telah terlibat membantu penulis dalam menyelesaikan

Risalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih banyak

untuk semua.

Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi peneliti sejenis

dan bagi lembaga. Namun sebagai manusia biasa, penulis menyadari akan

banyaknya ketidak sempurnaan dalam karya ilmiah ini, maka kritik dan saran

V
yang membangun sangat dibutuhkan untuk lebih sempurnanya penulisan karya

ilmiah selanjutnya. Demikian pengantar ini dibuat, apabila selama dalam

perkuliahan penulis memiliki banyak kesalahan, dengan segala kerendahan hati,

penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas segala

perhatiannya.

Bangkalan, 15 Juli 2022

Ainul Yakin
1812150053

VI
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Dengan ini, Pembimbing Risalah menyatakan bahwa Mahasantri :

Nama : Ainul Yakin

NIM : 1812150053

Program Studi : Fiqh Wa Usuluhu

Telah menyelesaikan penulisan Risalah dengan judul: Tinjauan Hukum Fiki


h Terhadap Praktik Jual Beli Buah Di Pasar Buah Bangkalan (Analisis Tran
saksi Khiyar Di Pasar Buah Bangkalan). Dan telah memenuhi persyaratan
untuk diuji

Bangkalan, 25 Juli 2022 M.


Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing II

Imam Qori, M.Pd. M.M. K. Masduki, S.Pd.

VII
LEMBAR PENGESAHAN RISALAH
“Tinjauan Hukum Fikih Terhadap Praktik Jual Beli

Buah Di Pasar Buah Bangkalan (Analisis Transaksi

Khiyar Di Pasar Buah Bangkalan)”

Oleh : Ainul Yakin


NIM : 1812150053
Telah dipertahankan dalam sidang Risalah di Ma’had Aly Nurul Cholil

Bangkalan Madura pada 25 Juli 2022. Risalah ini telah diterima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar sarjana agama (S.Ag) pada program studi Fiqh

Wa Usuluhu.

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal :____________

Penguji I Penguji II

Dr. Abdullah M,Pd.I K. Masduki,


S.Pd.
NIP. NIP.

Mudier Ma’had Aly

KH. Ahmad Faqoth Zubair

VIII
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN......................................................................................II
ABSTRAK...................................................................................................................III
KATA PENGANTAR.................................................................................................IV
PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................................VII
LEMBAR PENGESAHAN RISALAH....................................................................VIII
DAFTAR ISI................................................................................................................IX
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah..................................................................6
C. Rumusan Masalah............................................................................................6
D. Tujuan Penelitian.............................................................................................6
E. Kegunaan Penelitian........................................................................................7
F. Kerangka Teori................................................................................................9
G. Penelitian Terdahulu Dan Orisinilitas Penelitian......................................9
H. Sistemika Penelitian...................................................................................10
BAB II.........................................................................................................................12
KAJIAN TEORI........................................................................................................12
A. Jual Beli Dalam Fikih Muamalah.................................................................12
B. Khiyar (Hak Opsional)...................................................................................33
BAB III........................................................................................................................49
METODE PENELITIAN..........................................................................................49
A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian..................................................................49
B. Kehadiran Peneliti..........................................................................................49
C. Latar Penelitian (Waktu Dan Tempat).........................................................50
D. Data Dan Sumber Data Penelitian................................................................50
E. Pengumpulan Data.........................................................................................51
F. Teknik Analisis Data......................................................................................52
G. Keabsahan Data..........................................................................................53
BAB IV........................................................................................................................55

IX
PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN......................................................55
A. Penyajian Data................................................................................................55
B. Analisis Data...................................................................................................58
BAB V.........................................................................................................................62
PENUTUP...................................................................................................................62
A. Kesimpulan.....................................................................................................62
B. Saran...............................................................................................................63
DAFTAR RUJUKAN.................................................................................................64

X
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah Swt. Dengan kelebihan dan kekurangannya

masing-masing, untuk saling melengkapi, berhajat kepada yang lain, agar man

usia itu saling tolong-menolong (kooperatif), tukar-menukar dalam segala

urusan kepentingan hidup masing-masing untuk memenuhi segala kebutuhan

mereka secara indivudual maupun secara kolektif. baik dengan transaksi jual-

beli, sewa-menyewa, pertanian, atau perusahaan industri-industri yang lain,

baik dalam urusan kemaslahatn diri sendiri maupun untuk kemaslahatan orang

secara umum. Dengan cara demikian, kehidupan masyarakat menjadi komplit

dan dapat menutupi kekurangan mereka, serta pertalian persaudaran satu

dengan yang lainya menjadi lebih intim (kokoh dan erat).1

Untuk memperoleh kepemilikan dan pemanfaatan dalam rangka memenuh

i dan mencukupi kebutuhan finansial mereka. Allah melalui agama islamnya

mensyariatkan beberapa mekanisme dan teknik, metode atau cara-cara yang le

gal dan diligitimasi oleh undang-undang agama Islam diantaranya adalah

dengan cara perdagangan atau perniagaan (at-tijaroh), pertanian (az-zur’u), pe

rtenakan dan pendistribusian. Agama Islam menekankan beberapa aspek-aspe

k yang mendasar dalam membangun dan menertibkan masyarakat di muka bu

mi, di antaranya dalam hal materialis.

1
Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1986), Catatan Kedua
Puluh Dua, 262.

1
Islam mengarahkan setiap person individual untuk berusaha dan berikhtiya

r dalam memperoleh rizki yang dapat memenuhi kebutuhan finansial dan

menenangkan Batin manusia. Yang mana kesemuanya itu merupakan kandung

an dari fikih mua’amalat. Untuk itu, Islam memberikan kebebasan kepada

umat manusia untuk memilih profesi yang sesuai dengan kompetensi yang me

reka miliki. Akan tetapi, dalam waktu yang sama, kebebasan yang dimiliki ole

h seseorang dibatasi pula oleh kebebasan yang dimiliki orang lain. Dengan kat

a lain dalam berusaha harus melihat dan menimbang kebebasan orang lain.

Muamalat berasal dari kata tunggalnya mu’amalah yang merupakan

kalimat yang mempunyai arti saling berbuat atau Perbuatan yang ada timbal b

aliknya. Lebih sederhanya lagi berarti “interaksi sosial seorang manusia denga

n manusia lain”.2 Bila kata ini dihubungkan dengan Lafadz Fiqh, yang mana la

fadz fiqh itu arti secara harfiah atau termenologinya adalah memahami, sedang

kan makna etimologinya atau menurut istilah para ulama adalah: “Mengetahui

ilmu syariat tentang sosialitas yang diambil dari dalil-dali tafsil baik secara ver

tikal maupun horizontal”. maka mengandung makna regulasi yang mengatur

hubungan horizontal seorang manusia dengan sesama manusia dalam transaksi

menyangkut harta mereka di dunia baik secara individual maupun secara kole

ktif.3

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa Allah Swt. Mengatur Hubungan s

pritualitas antara manusia dengan Allah Swt. merupakan dalam rangka

2
Munawwir A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
3
Al-Bayjuri Al-Shaiykh Ibrahim, Hasiyat Al-Bayjuri ‘Ala Sarh Ibn Al-Qasim ‘Ala Matn Abi Suja
(lebanon: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2019), h.34.

2
menegakkan hablun min-Allah dan hubungan sosialitas antara sesama manusia

dalam rangka menegakkan hablum min al-nas, yang mana keduanya

merupakan misi kehidupan manusia untuk diciptakan sebagai khalifah di muk

a bumi. Hubungan sosial antara sesama manusia itu bernilai ibadah (spritual) a

pabila dilaksanakan sesuai dengan Subtansi Firman-firman Allah Swt yang tel

ah dikupas dengan tuntas oleh para fuqohak di dalam literatur fiqh. muamalat

secara umum mencakupi seluruh transaksi keuangan (maliyah) yang terjadi an

tara dua orang ataupun lebih. Akan tetapi peneliti ingin menjelaskan kandunga

n khusus yang merupakan bagian dari pengertian muamalat secara umum

tersebut.4

Kandungan khusus muamalat yang ingin di tulis peneliti dalam tulisan kar

ya ilmiah ini seringkali dibicarakan dan diatur dalam literatur kitab fikih klasi

k maupun kontemporer karena tingkat kecendrungan manusia kepada harta itu

begitu besar dan sering menimbulkan persengketaan antar sesamanya, kalau

tidak diatur, dapat menimbulkan ketidaksetabilan dalam pergaulan hidup

antara sesama manusia. Disamping itu penggunaan harta dapat bernilai ibadah

bila unakan sesuai dengan kehendak Allah Swt yang berkaitan dengan harta. 5

Ketidakstabilan akan muncul apabila adanya ketidakjujuran antara kedua bela

h pihak terlebih lagi dalam urusan transaksi khususnya transaksi dalam ruang

lingkup jual-beli.

4
Al-Bayjuri Al-Saykh Ibrahim, Hasiyat Al-Bayjouri ‘Ala Sarh Ibn Al-Qasim ‘Ala Matn Abi Suja (l
ebanon: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2019), h. 649.
5
Nasrun haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2007), h. 30.

3
Jual-beli, bisa sah dengan adanya ijab dari penjual, walaupun penjual hany

a bergurau. Ijab merupakan suatu pernyataan (kalimat-kalimat) dari penjual ya

ng menunjukan terhadap kepemilikan dengan jelas. Seperti kalimat-kalimat at

au perkataan berikut ini. “saya jual barang ini kepadamu dengan tarif sekian, s

aya milikkan barang ini kepadamu dengan biaya sekian, saya berikan barang i

ni kepadamu dengan harga sekian dan saya jadikan barang ini untukmu denga

n tarif sekian apabila diniati untuk mennjual”. dan harus ada qabul (pernyataa

n menerima kepemilikan) dari pembeli meskipun hanya bergurau. Seperti kali

mat-kalimat berikut. “saya membeli barang ini dengan harga sekian, saya men

erima (ridha, mengambil, menerima kepemelikan) barang ini dengan bayaran

sekian”.6

Jual-beli dalam sudut pandang regulasi agama islam, bisa sah apabila mem

enuhi beberapa rukun (komponen-komponen) dan syarat yang telah diatur dal

am undang-undang agama islam, yang telah tertera dalam literatur fikih klasik

maupun fikih modern. Komponen yang pertama adalah ijab dan qabul yang te

lah di terangkan di atas oleh peneliti yang merupakan manifestasi dari sighat.

Salah satu dari komponen jual-beli (ba’i) adalah harus adanya komoditi baran

g yang diperdagangkan antara penjual dan pembeli.

Komoditi barang dalam jual-beli terdapat beberapa syarat yang harus di pe

nuhi diantaranya komoditi barang tersebut harus diketahui oleh keduabelah pi

hak (pembeli dan penjual) atau sipenjual harus menceritakan secara detail dala

m aspek dzat, ukuran dan sifat-sifat yang melekat pada komoditas daganganny
6
Ustman abi bakar bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’Anah At-Tholibin (Lebanon: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2013), h. 5.

4
a. Sehingga apabila ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi, maka dapat ber

konsekuensi terhadap akad yang terjadi antara penjual dan pembeli.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti fenomena yang

sering terjadi dikalangan masyarakat umum dalam dinamika transaksi jual-beli

buah yang terjadi di pasar-pasar maupun di toko-toko buah atau bahkan warun

g pangkalan di pinggir jalan, namun peneliti ingin menspesifikan terhadap fen

omena yang terjadi di pasar buah bangkalan yang terletak di daerah Bancaran

kecamatan bangkalan. Seperti yang di alami oleh sebagian kalangan elemen

masyarakat yang merasa tidak puas dengan buah yang mereka beli di pasar

tersebut. Seperti, saudara Abdur Rasyid sebagai pembeli di pasar buah

bangkalan yang menemukan buah jeruk yang dibeli di pasar bancaran

bangkalan, oleh Abdur Rasyid, terdapat mayoritas buah yang tidak sesuai

dengan harapannya. Banyak buah jeruk yang rasanya sangat kecut, rusak atau

tidak layak di komsumsi.7

Dalam kasus ini, kemungkinan besar berkonsekuensi terhadap khiyar.

Peran khiyar sendiri dalam transaksi jual-beli sangat vital dalam regulasi

islam.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, masalah yang dapat di

identifikasi menjadi beberapa poin, yakni:

1. Tinjauan tentang perilaku dan praktik jual-beli buah yang selama ini

menjadi fenomenadi pasar bangkalan.

7
Hasil Interview Saudara Abdur Rasyid, Pada Tanggal 12 Februari..

5
2. Pendapat para ulama fiqh terhadapat praktik jual-beli buah dipasar buah

bangkalan.

3. Adanya pihak yang merasa dirugikan karena fenomena tersebut.

4. Akan terjadi ketidak seimbangan yang ditimbulkan fenomena tersebut.

Dari berbagai identifikasi yang telah di sebutkan di atas, maka agar

tidak melebar penelitian ini akan berpusat pada tinjauan hukum fiqh

terhadap praktik jual beli buah di pasar buah bangakalan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, terda

pat beberapa rumusan masalah yang perlu diteliti oleh peneliti.

1. Bagaimana praktik jual-beli buah yang terjadi di pasar buah bangkalan.?

2. Bagaimana praktik jual-beli buah di pasar buah bangkalan munurut tinjaua

n fikih muamalah.?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan di atas, maka tujuan d

ari penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini, sebagai beriku:

1. Untuk mengetahui praktik jual-beli buah di pasar buah bangkalan.

2. Untuk mengetahui hukum praktek jual-beli buah di pasar buah bangkalan

menurut tinjauan fiqh muamalah.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun hasil dari penelitin dapat memberikan dampak positif (manfaat) te

rhadap semua elemen masyarakat baik bagi peneliti sendiri, lembaga dan mas

yarakat umum secara luas, terlebih lagi bagi semua kalangan yang membutuhk

6
an. Manfaat yang ingin dicapai oleh peneliti ada dua kategori dalam penelitian

ini:

1. Secara teoritis

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan khazanah

pemikiran secara signifikan utamanya dalam bidang hukum fiqh khusu

snya dalam hal jual-beli dalam mencetak regenerasi yang kompeten.

Serta menjadi pedoman bagi penelitian berikutnya mengenai praktik

jual-beli buah di pasar buah bangkalan di kelurahan bancaran kecamat

an bangkalan kabupaten bangkalan.

b) Penelitian ini dapat menambah wawasan cakrawala pemikiran peneliti

serta dapat dijadikan sebagai referensi dan tendensi bagi penelitian beri

kutnya dalam praktik jual-beli buah.

c) Menambah khazanah keilmuan dalam mengetahui hukum dan praktek

jual-beli dalam penelitian ini.

2. Secara praktis

a) Kegunaan bagi peneliti

penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan keilmuan

baru dalam mengetahui hukum dan praktek jual-beli yang sesuai denga

n regulasi hukum islam.

b) Kegunaan bagi Mahasantri

Penelitian ini agar menjadi pedoman dan acuan regenerasi mahasan

tri dalam penulisan karya ilmiah baik berbentuk penelitian maupun ber

7
bentuk karya-karya yang lain, tentang regulasi hukum islam terhadap k

egiatan jual-beli buah.

c) Kegunaan bagi masyarakat umum

Sebagai sumbangan referensi hukum islam bagi masyarakat teruta

ma para pedagang, agar dapat mengimplementasikan undang-undang h

ukum islam dengan benar terhadap kegiatan transaksi jual-beli dalam

memenuhi kebutuhan mereka baik kebutuhan primer, sekunder maupu

n kebutuhan tersier.

F. Kerangka Teori

Praktik jual-beli
Tinjauan hukum
buah di pasar Transaksi khiyar
islam
buah bangkalan

G. Penelitian Terdahulu Dan Orisinilitas Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, Peneliti menemukan beberapa hasil penelitian

yang terdahulu dan relevan, sehingga memberikan gagasan yang akan

menulurusi penelitian yang akan penulis lakukan penelitian tersebut merupaka

n karya:

8
N Identitas Judul variabel perbedaan Hasil penelitian dan sumber
Penelitian
o dan Tahun

1 M. Alim Tinjauan Fiq jual-beli, Objek Ada dua: (1) ada kerugian
Zubairi h Muamalah dan hukum penilitian, terhadap pelanggan
(2020) Terhadap Jua mu’amalah lokasi penggilingan padi. (2) jual-
l-Beli Dedak penelitian beli dedak terasebut tidak
(Studi Kasus dan tahun sah.
Pabrik Pengg penelitian
ilingan Padi Sumber:
di Dusun Sab https://repository.metrouniv.
ah Kecamata ac.id
n Sukadana
Kabupaten L
ampung Tim
ur).
2 Ananda Tinjauan Fiq Transaksi Objek Praktik jual-beli makanan
Yessi h Muamalah jual-beli, penelitia via grabfood diperbolehkan
Rahmawat Terhadap Pra makanan. lokasi dan atas dasar syara’. Kecuali ad
i (2020) ktik Jual-Beli hasil a dalil normatif yang mengh
Makanan Mel penelitian aramkan dan membatalkan
alui Jasa Gra praktik tersebut.
bfood. Sumber:
http://eprints.iain-
surakerta.ac.id
3 Andra Pandangan F Jual-beli, Objek. Transaksi jual-beli uang
Syuhada iqh Muamala fiqh Rumusan kertas hukumnya boleh.
Bagaskara h Terhadap P mu,amalah masalah Sumber:
(2020) raktik Jual-B dan lokasi http://eprints.iain-
eli Uang Kert penelitian surakarta.ac.id
as Rusak (Stu
di Di Desa G
entan, Kecam
atan Baki, Ka
bupaten Suko
harjo).

H. Sistemika Penelitian

9
Sistematika pembahasan pada peneliyian kualitatif ini terdiri dari lima bab

yang berisi:

Bab pertama pendahuluan, yang mendiskripsikan latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka teoritik, tinjauan pustaka (penelitian terdahulu dan

orisinilitas penelitian), dan sistematika penulisan skripsi.

Bab kedua yang berisikan kajian teori, yang mendiskripsikan tentang

perspektif teoritik masalah penelitian dan perspektif islam tentang masalah

penelitian.

Bab ketiga tentang metode penelitian, yang mendiskripsikan tentang

pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, latar penelitian (waktu dan

tempat), data dan sumber data penelitian, pengumpulan data, analisis data dan

keabsahan data.

Bab keempat adalah paparan data dan hasil penelitian, yang

mendiskripsikan tentang penyajian data dan analisis data.

Bab kelima adalah penutup, yang mendiskripsikan tentang kesimpulan dan

saran.

10
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Jual Beli Dalam Fikih Muamalah

1. Pengertian Jual Beli

Jual-beli menurut R. Subekti adalah jual beli sebagai kontrak

perjanjian timbal balik oleh dua belah pihak dimana pihak yang satu

(penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda

sedangkan pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang

terdiri atas sejumlah uang atau instrument pembayaran lainnya sebagai

imbalan dari perolehan hak tersebut. Barang yang menjadi obyek jual-beli

harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, setidak-tidaknya dapat

ditentukan eksistesi dan jumlahnya pada saat obyek akan diserahkan hak

miliknya kepada pembeli.8 Akan tetapi secara terminologis maupun

etimologis, terdapat beberapa definisi jual-beli yang dikemukakan para

ulama fiqh, sekalipun esensi, substansi dan tujuan masing-masing dari

pelbagai definisi tersebut sama.

Transaksi jual-beli atau perdagangan dalam agama islam sendiri

disebut Al-Ba’i yang mengandung arti jual. Wahbah Az-Zuhaili dalam

kitabnya mengartikan bai’ atau jual-beli secara etimologis adalah

“menukar suatu benda dengan suatu benda yang lain”. Kata al-ba’i dalam

Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawanya, yaitu kata as-syira’

(beli). Dengan demikian, kata as-syira’ terkadang mempunyai arti jual,

8
R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet. Kesepuluh (Jakarta: PT.Citra Aditya Bakti, 1995), h. 1.

11
tetapi sekaligus juga berarti beli, begitu juga dengan kata al-bai’.9 Ulama’

Hanafiyah mengistilahkan bai’ seabagai “penukaran harta benda dengan

harta benda yang lain melalui proses yang tertentu atau menukar sesuatu

yang disenangi dengan semacamnya melalui proses yang berfaidah dan

juga tertentu (dengan ijab atau tanpa ijab)”. Sehingga dikeluarkan dari kata

berfaedah adalah transaksi jual-beli Dirham dengan Dirham. Dan dari

kategori kata di senangi adalah benda-benda yang tidak di senangi seperti

Bangkai, Darah Dan Debu.10

Syamsuddin Muhammad bin Achmad Khatib As-Sharbini juga

berargumentasi sedemekian, dengan menyatakan bahwa jual-beli menurut

bahasa adalah “penukaran suatu benda dengan benda yang lain,”

sedangkan secara syara’ adalah akad yang terdiri dari ijab dan qobul atau

penukaran suatu harta dengan harta yang lainnya melalui proses yang telah

ditentukan.11

Ustman bin Muhammad Satta mengartikan jual-beli secara

etimologi adalah suatu bentuk penukaran sesuatu dengan sesuatu yang

lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu yang tidak

hanya alat tukarnya yaitu berupa uang saja, seperti tuak dan lain-lai dan

juga sekaligus mengecualikan ibtida, us-salam dan jawab salam, karena

mengawali salam dan menjawab salam itu tidak di anggap penukaran,

sedangkan secara termenologi merupakan penukaran suatu harta dengan


9
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2004),
Cet. 4, h. 3304.
10
Ibid.
11
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 3.

12
harta yang lain melalui ketentuan yang telah ditentukan.12 Abdul Rahman

Ghazaly mengutip dari buku Sayyid Sabiq, yang mendefinisikannya jual-

beli di antaran:

‫ض َعلَى الْ َو ْج ِه املْأذُ ْو ِن فِْي ِه‬


ٍ ‫ك بِعِ َو‬
ٍ ‫اضي َأو َن ْق ِل ِم ْل‬
ْ
ِ ‫مبادلَةٌ م ٍال مِب َ ٍال علَى سبِي ِل الْتَّر‬
َْ َ َ َ َُ
َArtinya: “Jual-beli adalah kegiatanَ bartering harta dengan
sesama harta (pertukaran harta dengan harta) melalui proses kerelaan
atau kegiatan pemindahan hak milik dengan cara ada penukaran melalui
proses yang dapat dibenarkan.”13
Dalam definisi di atas terdapat kata “penukaran”, “harta”, “ganti”,

dan “proses yang telah di tentukan” (wajhun mahsusun). Harta menurut

Wahbah Az-Zuhaili mengutip pendapatnya Para Ulama Hanafiyah adalah

setiap sesuatu yang disenangi oleh tabiat manusia dan bias di simpan

untuk kebutuhan.14 Dan yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan

dengan hibah (pemberian) hadiah dan lain sebagainya. sedangkan yang

dimaksud proses yang telah di tentukan (wajhun mahsusun) agar dapat

dibedakan dengan jual-beli yang terlarang.15

Dari difinisi yang telah dipaparkan di atas tersebut, dapat peneliti

simpulkan bahwa jual-beli secara etimologi adalah tukar-menukar apa

saja, baik antara buah dengan buah, buah dengan uang atau uang dengan

uang. Pengertian ini diambil dari firman Allah Swt. dalam surat Al-

Baqarah ayat 16;

12
Ustman Bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anah At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-Kutub-beirut,
2013), Cet. 7. Jilid 3. h, 3.
13
Sohari Sahari dan Ru’fah Abdullah, Fiqih Muamalat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 66.
14
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, h. 3305.
15
Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kenca Prenada Media Grup, 2012),
Cetakan, 2. h, 67.

13
‫ت جِّتََر ُت ُه ْم َو َما َكانُ ْوا ُم ْهتَ ِديْ َن‬ َّ ‫ك الَّ ِذيْ َن آ ْشَتَر ْوا‬
ْ َ ‫الضلَلَةَ بِاهْلَُدى فَ َما َرحِب‬ َ ‫ُأولَِئ‬.
ْ
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan
dengan petunjuk, maka tidaklah perniagaan yang mereka lakukan
memberikan surplus (terhadap mereka) dan tidaklah mereka (orang-
orang) yang mendapatkan petunjuk”.16
Dalam ayat ini menjelasksan tentang transaksi niaga kesesatan

yang ditukar dengan petunjuk (hidayah). Dalam ayat yang lain yaitu surat

At-Taubat ayat 111, dinyatakan bahwa harta dan jiwa ditukar dengan

surga. Ayat tersebut berbunyi:

‫ِ يِف‬ َّ ِ‫ِإ َّن اهللَ ا ْشَتَرى ِم َن الْ ُمْؤ ِمنِنْي َ َأْن ُف َس ُه ْم َو َْأم َواهَلُ ْم ب‬
ْ ‫َأن هَلُ ُم اجْلَنَّةُ يُ َقتلُ ْو َن‬
ِ ‫سبِي ِل اللَّ ِه َفي ْقُتلُو َن و ْع ًدا علَي ِه حقًّا يِف التَّور ِىة واِإل جْنِ ي ِل وال ُقر‬
‫آن َو َم ْن َْأوىَف‬ ْ َ ْ َ َْ َ َْ َ ْ َ َْ
ِ ِ ِ ِ ِِ
‫الع ِظْي ُم‬
َ ‫ك ُه َو ال َف ْو ُز‬ َ ‫استَْب ِش ُر ْوا بَِبْيعِ ُك ُم الَّذ ْي بَ َاي ْعتُ ْم بِِه َو َذل‬ ْ َ‫بِ َع ْهده م َن اللَّه ف‬.
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari pada orang-
orang yang beriman segenap jiwa dan harta mereka dengan bayaran
(sebagai ganti) surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah;
kemudian membunuh atau terbunuh. Itu semua merupakan janji yang hak
dari Allah yang tertera dalam kitab taurat, injil dan al-quran. Dan barang
siapa yang memenuhi janjinya dari Allah. Maka berbahagialah dengan
transaksi jual-beli yang kalian lakukan itu. Karena itu sebuah
keberuntungan yang agung.
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa jual-beli secara umum. Baik

jual-beli secara etimologis maupun termenologis.

2. Dasar hukum jual-beli

Banyak dalil-dalil normatif yang menjelaskan terhadap eksistensi

akad jual-beli baik dalam al-quran, hadist dan kitab-kitab fiqh.

a) Dalil al-quran

16
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), 174.

14
ِ َّ ِ‫ِإ َّن اهللَ ا ْشَتَرى ِم َن الْ ُمْؤ ِمنِنْي َ َأْن ُف َس ُه ْم َو َْأم َواهَلُ ْم ب‬
ْ ‫َأن هَلُ ُم اجْلَنَّةُ يُ َقتلُ ْو َن يِف‬
‫آن َو َم ْن َْأوىَف‬ ِ ‫سبِي ِل اللَّ ِه َفي ْقُتلُو َن و ْع ًدا علَي ِه حقًّا يِف التَّور ِىة واِإل جْنِ ي ِل وال ُقر‬
ْ َ ْ َ َْ َ َْ َ ْ َ َْ
ِ ِ ِ ِ ِِ
‫الع ِظْي ُم‬
َ ‫ك ُه َو ال َف ْو ُز‬ َ ‫استَْب ِش ُر ْوا بَِبْيعِ ُك ُم الَّذ ْي بَ َاي ْعتُ ْم بِِه َو َذل‬ ْ َ‫بِ َع ْهده م َن اللَّه ف‬.
17

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari pada orang-


orang yang beriman segenap jiwa dan harta mereka dengan bayaran
(sebagai ganti) surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah;
kemudian membunuh atau terbunuh. Itu semua merupakan janji yang
hak dari Allah yang tertera dalam kitab taurat, injil dan al-quran.
Dan barang siapa yang memenuhi janjinya dari Allah. Maka
berbahagialah dengan transaksi jual-beli yang kalian lakukan itu.
Karena itu sebuah keberuntungan yang agung.
‫اط ِل اِاَّل َأ ْن تَ ُك ْو َن جِت َ َار ًة َأ ْن‬
ِ ‫يَأيُّه اَ الَّ ِذين َأمُن وا اَل تَ ْأ ُكلُوا َأم والَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
َ ْ َْ ْ َ ْ ْ ْ َ َْ َ
,‫ األية‬:‫ (سورة انساء‬.‫اض ِمْن ُك ْم َواَل َت ْقُتلُ ْوا َأْن ُف َس ُك ْم ِإ َّن اهللَ بِ ُك ْم َر ِحْي ًم ا‬ ٍ ‫َتَر‬
)29 18

Artinya: wahai orang-orang yang ber-iman, janganlah kalian


menggunakan harta kalian dengan cara yang batil, kecuali
perdagangan yang kalian ridhai dan janganlah kalian saling
membunuh. Sesungguhnya allah menyayangi kalian”.19
Dan ayat la-quran yang lain.

‫َوَأ ْش ِه ُد ْوا ِإ َذا َتبَ َاي ْعتُ ْم‬


Artinya: saksikanlah ketika kalian melakukan transaksi”.20

‫الربَا‬
ِّ ‫َأح َّل اهللُ الَْبْي َع َو َحَّر َم‬
َ ‫َو‬
Artinya: Allah menghalalkan transaksi jual-beli dan
mengharamkan transaksi riba”. 21
b) Dalil hadist

17
Al-Quran, Surat at-taubat, ayat 111.
18
Al-Quran, Surat An-Nisa’, Ayat 29.
19
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), Cet 1,
h. 21.
20
Ibid.
21
Hafizh Dasuki dkk (ed). Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Bandung: Lubuk Agung, 1989), h. 229.

15
ٍ َ ‫احةَ َوالعِ َف‬ ِِ ِ ِ ٍ ِ
ً َ‫اف َوِإ َذا ََأر َاد بَِق ْوم ا ْقتَط‬
‫اعا‬ َ ‫الس َم‬
َ ‫َذا ََأر َاد اهللُ ب َق ْوم مَنَاء ر ْزقه ْم‬
‫ِإ‬
)‫اب ِخيَانٍَة (الطرباين‬
َ َ‫َفتَ َح َعلَْي ِه ْم ب‬
Artinya: “Apabila Allah menginginkan kemajuan dan
kesejahteraan kepada suatu kaum maka Allah memberi mereka
kerunia kemudahan dalam jual-beli dan kehormatan diri. Namun bila
Allah menginginkan bagi sautu kaum kemacetan dan kegagalan maka
Allah membuka bagi mereka pintu pengkhianatan”.22
‫ب‬ِ ‫َأي ال َكس‬ ‫ِئ‬ ِ
ْ ِّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُس َل‬ َّ ‫اع ْة بْ ِن َرافِ ِع‬
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬ َ َ‫َع ْن ِرف‬
َ‫ش فِْي ِه َواَل ِخيَانَة‬
َّ ‫َأي اَل َغ‬ ِ ِ ِ َّ ‫َأطْيب قَ َال عمل‬.
ْ ‫الر ُج ِل بيَده َو ُك ُّل َبْي ٍع َمْب ُر ْو ٍر‬ ُ ََ َُ
Artinya: : “Nabi Muhammad SAW pernah di tanyai tentang
profesi yang paling baik, maka nabi muhammad mengatakan “
pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya dan setiap transaksi jual-
beli yang juju. Yakni tidak ada unsur penipuan baik sifat dan dzat
komoditas jual-beli”.23
ِ ‫َأي الْ َكس‬
‫ب‬ ‫ِئ‬ ِ
ْ ُّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُس َل‬ َّ ‫اع ْة بْ ِن َرافِ ِع‬
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬ َ َ‫َع ْن ِرف‬
)‫الر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُك ُّل َبْي ٍع َمْب ُر ْو ٍر (رواه البزار و صححه احلاكم‬
َّ ‫ب قَ َال َع َم ُل‬ ُ َ‫َأطْي‬
Artinya: “Nabi Muhammad SAW. pernah di tanyai tentang profesi
yang paling baik, maka nabi muhammad menjawab; pekerjaan seorang
laki-laki dengan tangannya dan setiap transaksi jual-beli yang jujur”.24
)‫البْي َهاقِ ْي (وابن ماجه‬ َ ‫َوِإمَّنَا‬
ٍ ‫البْي ُع َع ْن َتَر‬
َ ُ‫اض َر َواه‬
Artinya: transaksi jual-beli itu atas dasar unsur kerelaan”.25

c) Dalil fiqih

1) Ulama fiqh telah berkonsensus bahwa hukum transaksi jual-beli

diperbolehkan dengan alasan bahwa kebutuhan finansial manusia

berkaitan dengan hal-hal yang berada di tangan temannya, dan

22
Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, (Jakarta: Gema Insani, 1991), h. 193.
23
Ustman Bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anah At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-Kutub-beirut,
2013), Cet. 7. Jilid 3. h, 5.
24
Syaikh Abi Abdillah Abdissalam Al-Laus, Ibanatul Ahkam (Surabaya: Dar Al-Fikr, Tanpa
Tahun), Juz 3 h. 3.
25
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. 2, h. 27.

16
temannya tidak akan memberikan hal yang menjadi kebutuhannya

dengan tanpa ada imbalan yang di dapat.26

2) Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat tentang dibolehkannya

jual-beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia pada

umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua

orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya

kadang-kadang berada di tangan orang lain. Dengan adanya jalan

jual-beli, maka manusia saling tolong-menolong untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi

akan berjalan dengan positif karena apa yang mereka lakukan akan

menguntungkan kedua belah pihak.27

3. Rukun dan syarat jual-beli.

Jual-beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi,

sehingga jual-beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Mengenai hal

tersebut Terdapat banyak diferensasi ulama dalam menentukan rukun jual-

beli. seperti ulama Hanafiyah dan ulama-ulama fiqh yang lain.

Rukun jual-beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab

(ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari

penjual) yang merupakan manifestasi dari sighat. Menurut mereka, yang

menjadi rukun jual-beli itu hanyalah pekerjaan yang mengindikasikan

kerelaan (ridha atau taraddhi) dari kedua belah pihak untuk melakukan

26
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, h. 3307.
27
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat., h. 179.

17
transaksi jual-beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur

hati yang sulit untuk di indra sehinga tidak kelihatan, maka diperlukan

indikator yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Indikator yang

menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual-

beli menurut mereka hanya bisa tergambarkan dalam ijab dan kabul, atau

melalui cara saling memberikan barang dan harga barang (ta’athi). 28 Namun

menurut ulama yang lain rukun jual-beli ada enam yang di singkat menjadi

tiga.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa kontruksi rukun jual beli ada

enam yang disingkat menjadi tiga kategori. Salah satu ulama yang

berpendapat demikian adalah Abi Bakar Ustman bin Muhammad Satta

dalam karya monumentalnya, bahwa rukun jual-beli ada tiga: yang pertama

adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi akad (aqidani), yang

kedua adalah barang-barang yang diakadkan atau objek transaksi jual-beli

(ma’qud alaih) dan yang ketiga adalah ijab dan sekaligus qobul (shighat) .29

Adapun semua rukun-rukun tersebut akan diterangkan secara rinci sebagai

berikut:

a) Aqidain atau orang-orang yang melakukan sebuah transaksional atau

yang biasa di sebut dengan al-muta‘aqidain (Penjual Dan Pembeli).

28
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, h. 3309.
29
Abi Bakar Ustman bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anatut At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah), h. 4.

18
Ma’qud ‘alaih, baik barang yang diperdagangkan (mutsman) maupun

barang yang di jadikan instrumen pembayaran (tsaman) dalam transaksi

jual-beli (Objeck jual-beli).

b) Shighat dalam akad (Ijab Dan Kabul).

Adapun syarat-syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli yang

dikemukakan mayoritas ulama di atas adalah sebagai berikut:

1) Syarat-Syarat pelaku dalam transaksi jual-beli (penjual dan

pembeli).

a) Ar-Rusdu (Pintar).

Pintar yang di maksud dalam hal ini adalah orang yang

sudah baligh dan juga baik dalam beragama dan pengelolaan

hartanya dan pintar merupakan hal yang penting dalam sebuah

transaksi.30 Oleh sebab itu, transaksi jual-beli yang dilakukan

anak kecil yang belum berakal, orang gila dan orang yang

bekukan hak pengelolaan hartanya yang disebabkan karena

orang itu tidak bias mengelola hartanya dengan baik, maka

hukumnya tidak sah meskipun transaksi tersebut

menguntungkan bagi mereka.31

Anak kecil yang telah mumayiz, menurut ulama madzab

Hanafiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa

keuntungan dan manfaat bagi dirinya, seperti menerima hibah,


30
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2008), Juz, 3, h. 7.
31
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 9.

19
sedekah, wasiat dan di tanggung hutangnya. Maka akadnya sah

meskipun tanpa ada izin dari walinya, karna semua transaksi

tersebut mendatangkan manfaat yang impresif. Sebaliknya,

apabila akad itu memberikan dampak kerugian bagi dirinya,

seperti talak, memberikan hadiah, bershadakah dan

meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewakafkan, atau

menghibahkan, maka hukum tindakan seperti ini tidak sah

dilaksanakan, meskipun walinya memperbolehkan akad

tersebut. Apabila transaksi yang dilakukan anak kecil

(mumayyiz) mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti

jual-beli, sewa-menyewa, perserikatan dagang dan semacamnya,

maka transaksi ini hukumnya sah jika walinya mengizinkan atau

menunggu anak kecil tersebut sampai baligh. Dalam kaitan hal

ini, wali anak kecil yang telah mumayiz ini benar-benar

mempertimbangkan kemaslahatan terhadap anak kecil itu.32

Dalam kitab yang lain redaksi ar-rusdu itu di gambarkan

dengan mengunakan kata taklif yang mempunyai arti mukallaf.33

Mayoritas ulama sepakat bahwa orang yang melakukan akad

jual-beli itu harus baligh dan berakal. Apabila orang yang

melakukan transaksi itu masih mumayyiz, maka transaksi jual-

beli tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.

32
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, h. 3318.
33
Abi Bakar Ustman bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anatut At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2013), h. 11.

20
b) Transaksi dilakukan dua pihak.

Transaksi harus dilakukan oleh dua orang yang berbeda.

Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang

bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli. Misalkan,

Rasyid menjual sekaligus membeli barangnya sendiri, maka

jual-belinya tidak sah.34 Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam

karya monumentalnya Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu

berpendapat, orang yang melakukan akad harus terbilang (tidak

sendiri). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang

yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila

dilakukan oleh Ayah yang membeli barang dari Anaknya yang

masih di bawah umur dengan harga pasaran.35 Oleh karena itu,

dalam jual-beli terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu

menerima dan menyerahkan. Dan merupakan hal yang mustahil,

pada saat yang satu orang bertindak sebagai penjual yang

menyerahkan barang dan sekaligus menjadi pembeli yang

menerima barang.36

c) Muhktar.

Muhktar adalah seorang yang melakukan transaksi atas

dasar inisiatif pribadi, tanpa ada tekanan atau paksaan (adamul

34
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, h. 3318.
35
Ibid.
36
Ibid.

21
ikrah) dari pihak lain.37 Dalil normatif kriteria mukhtar ini

adalah Al-Quran dan Hadits yang menjadi legislasi transaksi

jual-beli di atas, di mana jual-beli harus dilakukan atas unsur

saling rela (taradlin).38 Sehingga transaksional yang sifatnya

dipaksa oleh pihak lain dengan tanpa hak yang mengharuskan

adanya pemaksaan hukumnya tidak sah.39 Berbeda dengan

transaksional yang sifatnya dipaksa oleh pihak lain atas dasar

hak di dalamnya, misalkan seseorang yang dipaksa menjual

rumahnya untuk pelebaran masjid, jalan umun dan kuburan atau

dipaksa menjual materinya untuk melunasi hutang, nafaqoh istri,

anak dan kedua orang tuanya dan untuk melunasi sesuatu yang

wajib dilunasi.40

2) Syarat-syarat objek dalam transaksi jual-beli (ma’qud ‘alaih).

Syarat-syarat terkait dengan komoditas barang transaksional

jual-beli adalah sebagai berikut:

a) Komoditi transaksional itu ada (Maujud).

Komoditas transaksional harus ada (maujud). Oleh karena

itu, tidak sah jual-beli barang yang masih tidak ada (ma’dum)

atau yang dikhawatirkan tidak ada. Seperti halnya jual-beli

37
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2008), Juz, 3, h. 8.
38
Dr. Musthafa Al-Khin, Al-Fiqh Al-Minhaji Ala Madzhabi Al-Imam As-Syafi’i, (Damaskus: Dar
Al-Qolam, 1992). Cet. 4, Juz. 6, h. 12.
39
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 10.
40
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, Juz. 5. h. 3324.

22
anak sapi yang masih dalam kandungan, atau jual-beli buah-

buahan yang masih belum berbentuk.41

b) Mutaqawwim atau Mutamawwal.

Menurut satu versi, mutaqawwim atau mutamawwal adalah

barang yang memiliki nilia intrinsik yang dapat terpengaruh

oleh fluktuasi harga. Versi lain mendefinisikan, barang yang

memiliki manfaat secara konkrit (dhahir). Sehingga barang

yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga dalam kondisi

normal, karena factor minimalis (qillah), seperti dua biji

gandum dan beras, maka tidak sah dijadikan komoditi dalam

transaksi jual-beli, sebab tidak termasuk mutamawwal.42

c) Suci (Thaharah).

Barang yang dijual harus suci atau masih ada potensi

disucikan, sehingga apabila komoditi transaksional itu najis

yang sekiranya tidak dapat disucikan. Maka transaksi yang

dilakukan tidak sah. Seperti transaksional babi, anjing, khamer

dan benda-benda najis yang lain.43

d) Manfaat (Naf’u).

Barang yang dikomersialkan harus mempunyai nilai

kemanfaatan. Kemanfaatan objek komersial di tinjau dari dua

perspektif. Yang pertama dari perspektif Syar’i barang diakui


41
Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi, Qutul Habib Al-Gharib (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2014), Cet. 1, h. 262.
42
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 6.
43
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 14.

23
bermanfaat, jika pemanfaatannya dilegalkan secara syar’i

(mubahan syar’an). Yang kedua dari perspektif ‘Urfi, barang

diakui kemanfaatannya jika lumrah dimanfaatkan, sehingga

diakui secara publik memiliki nilai ekonomis dan layak

dikomersialkan (maqshudan ‘urfan), meskipun hanya berupa

bentuk pemanfaatan yang pada semestinya, seperti remukan

alat music yang diharamkan.44 Oleh karena itu, bangkai,

khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual-beli, karena

dalam pandangan syara’, benda-benda ini tidak bermanfaat

bagi Muslim.45

e) Milik (Milkun lil ‘aqid)

Komiditi transaksional adalah milik pihak yang melakukan

transaksi. Sehingga barang yang sifatnya belum dimiliki orang

yang terlibat dalam transaksi maka tidak boleh diperjual-

belikan, seperti memperjual-belikan ikan di laut atau emas

dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.46

f) Mampu diserah-terimakan (Maqdur ‘ala taslim)

Komoditi barang mampu diserahkan saat akad berlangsung

atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi

berlangsung.47

g) Ma’lum
44
Ibid.
45
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat., h. 189-190.
46
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 14.
47
Ibid.

24
Ma’lum adalah keberadaan ma’qud ‘alaih diketahui secara

transparan.48 Pengetahuan terhadap komoditi ini bisa melalui

salah satu dari dua metode: yang pertama adalah bisa dengan

cara melihat langsung (ru’yah), jika komoditi bersifat tertentu

secara fisik (mu’ayyan) dan tidak tercampur dengan selain

komoditi. 49
Dan cukup melihat sebagian dari komoditi

transaksional sekiranya itu sudah mewakili kualitas bagian

komoditi tersebut atau terhadap bagian yang tidak menunjukan

kualitas komoditi tetapi terhadap bagian yang menjaga kualitas

komoditi. Seperti melihat tumpukan beras, bagian atasnya

barang yang cair, kumpulan barang yang sama seperti biji-

bijian.

Dr. Musthafa Al-Khin Berpendapat: “apabila komoditi

transaksi komersial itu ada di tempat akad dan bisa dilihat,

maka transaksi jual-beli sah, meskipun tidak mengetahui

ukuran dan sifat komoditi tersebut”.50

3) Syarat-Syarat terkait dengan ijab dan qabul (Sighat).

Sighat adalah Bahasa interaktif dalam sebuah transaksi, yang

meliputi penawaran (ijab) dan persetujuan (qabul). Dalam

transaksi jual-beli, sighat diperlukan karena jual-beli adalah akad

yang berorientasi pada kerelaan hati (taradlin), dan ijab-qabul

48
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 10.
49
Ibid.
50
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1992), Juz, 3. h. 15.

25
merupakan ekspresi paling representatif untuk pernyataan

taradlin.51

Banyak sekali perkataan para ulama fiqih yang mengindikasikan

bahwa unsur utama dari jual-beli adalah kerelaan antara kedua

belah pihak dalam transaksi yang dimanifestasikan dengan yang

namanya ijab dan qabul (sighat). Dan kerelaan dari kedua belah

pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul yang diberlangsungkan.

Menurut mereka, ijab dan qabul perlu diungkapkan secara jelas

dalam transaksi-transaksi yang bersifat mengikat kedua belah

pihak.52

Untuk itu, para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab

dan kabul itu sebagai berikut:

a) Berkesinambungan (Muttasil)

Harus berkesinambungan. Artinya, tidak ada jeda waktu

yang mencerminkan qabul bukan lagi sebagai respon dari ijab

atau tidak ada pemisah yang lama yang terjadi di dalam proses

ijab dan qabul53. Meskipun ijab dan qobul itu memakai metode

kitabah maupun isyaratnya orang bisu. Yang disebabkan diam

yang lama, berbeda dengan pemisah yang hanya sebentar, yang

51
Ibid.
52
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, Juz. 5. h. 3309.
53
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 7.

26
disebabkan diam dengan waktu yang sebentar meskipun ada

unsur kesengajaan di dalamnya.54

b) Sighat tidak dicampuri dengan hal lain (Wala takhallala

bilafdin ajnabiyyin).

Tidak ada perkataan yang tidak termasuk bagian tuntutan

dan maslahah dari sighat, yang mencampuri ijab dan qabul

pada saat proses ijab-qabul diberlangsungkan. Meskipun

perkataan itu hanya sedikit,55 dan walaupun mereka tidak

beranjak dan berpisah dari majlis akad tersebut.56

c) Ijab dan qabul harus sesuai (Muwafaqah fi al-ma’na)

Ijab dan qabul harus ada unsur kesesuaian maksud (fil

ma’na) meskipun beda redaksi (lafdhi).57 Kesesuaian itu

mencakupi beberapa hal seperti jenis, karakter, sifat, ukuran,

kontan dan kreditnya. . Sehingga apabila ijab dan qabul itu

tidak ada kesesuaian, maka akad transaksinya tidak sah.58

Sehingga apabila penjual berkata “saya menjual barang ini

seharga satu juta rupiah dan pembeli merespon dengan harga

54
Abi Bakar Ustman bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anatut At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-I lmiyah, 2013), h. 9.
55
Ibid.
56
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 7.
57
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 11.
58
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 9.

27
yang tidak sesuai dengan harga yang dikatakan oleh penjual

baik di tambah atau dikurangi, maka akadnya tidak sah.59

d) Tidak terdapat ta’liq bi syarth (penagguhan pada syarat

tertentu) Dalam sighat, harus tidak ada ta’liq bi syarth

(penangguhan pada syarat tertentu) baik dari aspek ijab

ataupun aspek qabul. Sehingga apabila dalam ijab dan qabul

sebuah transaksional terdapat ta’liq bi syarth maka akad

tersebut tidak sah, kecuali ta’liq tersebut memang sebuah

keharusan dalam akad tersebut. Seperti ucapannya penjual

kepada pembeli “apabila barang ini milik saya, maka saya akan

menjual barang ini kepada anda”.60

e) Tidak terdapat ta’qit (limitasi waktu kepemilikan)

Dalam sighat (ijab dan qabul) juga harus tidak ada limitasi

waktu kepemilikan (ta’qit), seperti ijab dari penjual “saya jual

benda ini kepada anda, dalam jangka satu bula”. Dan meskipun

limitasinya itu sulit terjadi di dunia ini, seperti “saya akan jual

benda ini kepada anda dalam jangka seribu tahun”.61

Larangan dua poin terakhir ini, karena dalam penangguhan

(ta’liq) terdapat muatan syarat yang merefleksikan kesangsian

ridla dalam mengadakan transaksi yang berorientasi pada

kepemilikan (milkiyyah), harus bersifat pasti (jazimah) dan


Abi Bakar Ustman bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anatut At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-
59

Kutub Al-Ilmiyah, 2013), h. 10.


60
Ibid.
61
Ibid.

28
bebas dari unsur spekulatif, agar tidak menyerupai perjudian

(qimar). Sedangkan dalam limitasi waktu (ta’qit), karena

bertentangan dengan konsekuensi jual-beli yang mengharuskan

kepemilikan secara permanen (ta’bit).62

Di samping syarat yang berkaitan dengan rukun jual-beli

yang di atas, syarat jual-beli secara umum terbagi menjadi dua

bagian, yaitu syarat umum (`ammah) dan syarat spesifik

(khassah).63 Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada

setiap jual-beli agar jual-beli tersebut sah menurut syara’. Dan

secara global, akad jual-beli harus terhindar dari 6 (enam)

macam ‘aib:64

1) Ketidakjelasan (Al-Jahalah)

Ketidakjelasan yang dimaksud di sini adalah

ketidakjelasan yang bersifat subtantif, yang sekiranya dapat

mendatangkan perselisihan yang sulit untuk direkonsiliasi.65

Ketidakjelasan ini ada empat macam:

a) Ketidakjelasan dalam barang yang dijual, baik jenisn,

macam, atau kadarnya menurut pandangan pembeli;

b) Ketidakjelasan harga;

62
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 11.
63
Ustadz DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Al-Fikr,
2004), Cet. 4, Juz. 5. h. 3345.
64
Ibid.
65
Ibid.

29
c) Ketidakjelasan masa (tempo), seperti dalam harga yang

diangsur, atau khiyar syarat. Dalam hal ini, waktu harus

jelas, apabila tidak jelas maka akad menjadi batal;

d) Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan.

Misalnya, penjual masyarakat diajukannya seorang kafil

(penjamin). Dalam hal ini, penjamin tersebut harus

jelas. Apabila tidak jelas maka akad jual-beli menjadi

batal.66

2) Pemaksaan (Al-Ikrah) Pengertian pemaksaan adalah

mendorong orang lain (yang dipaksa) untuk melakukan

suatu perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada 2

(dua) macam:

a) Paksaan absolut, merupakan paksaan ancaman yang

sangat berat, seperti akan dibunuh, atau dipotong

anggota tubuhnya.

b) Paksaan relatif, yaitu paksaan dengan ancaman yang

lebih ringan, seperti dipukul.67

3) Pembatasan dengan Waktu (At-Tauqit) Yaitu jual-beli

dengan dibatasi waktunya. Seperti: “Saya jual baju ini

kepada anda dalam jangka selama satu bulan atau satu

tahun”. Jual-beli semacam ini hukumnya fasid atau tidak

66
Ibid.
67
Ibid.

30
sah, karena kepemilikan atas suatu barang, tidak bisa

dibatasi waktunya.68

4) Penipuan (Al-Gharar). Yang dimaksud di sini adalah gharar

(penipuan) dalam sifat barang. Seperti: seseorang menjual

sapi dengan pernyataan bahwa sapi itu air susunya sehari

10-26 (sepuluh) liter, padahal kenyataannya paling banyak

2 (dua) liter. Akan tetapi, apabila ia menjualnya dengan

pernyataan bahwa air susunya lumayan banyak tanpa

menyebutkan kadarnya maka termasuk syarat yang shahih.

Akan tetapi, apabila gharar (penipuan) pada wujudnya

barang maka ini akan membatalkan akad jual-beli.69

5) Kemudaratan (Adl-Dlarar) Kemudaratan ini terjadi apabila

penyerahan barang yang dijual tidak mungkin dilakukan

kecuali dengan memasukkan kemudaratan kepada penjual,

dalam barang selain objek akad. Seperti: seseorang menjual

baju (kain) 1 (satu) meter, yang tidak bisa dibagi dua.

Dalam pelaksanaannya terpaksa baju (kain) tersebut

dipotong, walaupun hal itu merugikan penjual.70

6) Syarat yang Merusak Yaitu setiap syarat yang ada

manfaatnya bagi salah satu pihak yang berkaitan dalam

transaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara’ dan

68
Ibid.
69
Ibid.
70
Ibid.

31
adat kebiasaan, atau tidak dikehendaki oleh akad, atau tidak

selaras dengan tujuan akad. Seperti: seseorang menjual

mobil dengan syarat penjual akan menggunakan selama 1

(satu) bulan setelah terjadinya akad jual-beli, atau

seseorang menjual rumah dengan syarat ia (penjual) boleh

tinggal di rumah itu selama masa tertentu setelah terjadinya

akad jual-beli. Syarat yang fasid apabila terdapat dalam

akad mu’awadhah maliyah, seperti jual-beli, atau ijarah,

akan menyebabkan akadnya fasid, tetapi tidak dalam akad-

akad yang lain, seperti akad tabarru’ (hibah dan wasiat) dan

akad nikah. Dalam akad-akad ini, syarat yang fasid tersebut

tidak pernah berpengaruh sehinga tetap sah.71

B. Khiyar (Hak Opsional)

Jual-beli dalam agama islam tidak dapat terpisahkan dari yang

namanya khiyar. Khiyar (hak opsional) merupakan satu-kesatuan (union-

unity) yang harus selalu menemani transaksional jual-beli.

1. Difinisi Khiyar (Hak Opsional)

Khiyar sendiri mumpunyai peran yang sangat penting dalam

mu’awadlah (jual-beli), karena memberikan hak opsional bagi pelaku

transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melanjutkan atau

mengurungkan sebuah transaksi. 72

71
Ibid.
72
Sulaiman Bin Umar Bin Mansur Al-Ujaili Al-Azhari, Hasyiyat Al-Jamal, (Damaskus: Dar Al-
Fikr Tanpa Tahun), Juz, 3. h. 101.

32
Implikasi (iqtidla’) diadakannya sebuah transaksi (al-aqd), pada

dasarnya adalah final dan mengikat (luzum). Sebab tujuan transaksi

adalah proses mengambil alih hak milik dan hak tasarruf (naql al-milk

wa at-tasharruf), di mana keduanya merupakan konsekuensi logis dari

akad yang luzum.73 Arti luzum sebuah akad adalah, kepemilikan

masing-masing pihak telah pindah menjadi pihak lain, dan salah satu

pelaku transaksi tidak memiliki hak untuk menggagalkan transaksi

tanpa persetujuan pihak lain, sebagaimana transaksi tidak bisa

dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak.74

Khiyar dilegislasikan dalam sebuah transaksi mu’awadlah (jual-

beli) adalah sebagai bentuk kelonggaran (rifqan) syariat kepada pelaku

transaksional, berupa hak atau kewenangan untuk mengurungkan

transaksi yang telah final tanpa harus mendapat persetujuan pihak

lain.75

2. Hikmah Khiyar

Hikmah dari legalitas khiyar adalah untuk memberikan kesempatan

kepada pihak-pihak pelaku transaksi untuk membuat pertimbangan

secara matang sebelum kemudian benar-benar mengambil keputusan

terbaik, agar transaksi bisa atas dasar diadakan taradlin yang benar-

benar tulus (jalbu al-mashlahah), dan agar transaksi terhindar dari

73
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), Juz. 3. h.313.
74
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 62.
75
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1992), Juz, 6, h. 21.

33
unsur-unsur yang dapat mengecewakan dan merugikan (dar’u al-

mafasid).76

3. Dalil Khiyar

Dalil normatif yang mendasari legitimasi khiyar dalam jual-beli

adalah hadist dan ijma’.

ِ ِ ِِ
‫ (رواه‬.‫اخَت ْر‬ َ ‫البِّي َع ان باخْل يَ ا ِر َم ا مَلْ َيَت َفَّرقَ ا َْأو َي ُق ْولث‬
ْ ‫َأح ُدمُهَا لأْل َخ ِر‬ َ
)‫الشيخان‬
Artinya: penjual dan pembeli memiliki pilihan sebelum keduanya
berpisah atau salah satunya mengatakan pada yang lain, pilihlah! 77
(HR. Bukhari Muslim).
‫ت بِلِ َسانِِه لَ ْوثَةٌ يَ ْش ُك ْو ِإىَل‬ ْ َ‫صا ِر َو َكان‬
ِ
َ ْ‫ت َر ُجاًل م َن اَأْلن‬
ِ َ َ‫عن اب ِن عم ِر ق‬
ُ ‫ مَس ْع‬:‫ال‬ َُ ْ ْ َ
‫ال لَ هُ َر ُس ْو ُل‬ َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َأنَّهُ اَل َي َز ُال يُ ْغنَبُ يِف ْ الَْبْي ِع َف َق‬ ِ ِ
َ ‫َر ُس ْول اهلل‬
‫ت بِاخْلِيَ ا ِر يِف ْ ُك ِّل‬ ِ
َ ْ‫ت َف ُق ْل اَل خاَل بَةَ مُثَّ َأن‬
ِ
َ ‫ ِإ َذا بَ َاي ْع‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
ِ
َ ‫اهلل‬
ِ ْ ‫ت فَ َْأم ِس‬ ِ ٍ َ ‫ِس ْلع ٍة ابَتعَته ا ثَاَل‬
‫ (رواه‬.‫ت فَ ْار ُد ْد‬ َ ْ‫ك َوِإ ْن َس خط‬ َ ‫ث لَيَ ال فَِإ ْن َرض ْي‬ َْْ َ
)‫البيهقي‬
Artinya: dari Ibnu Umar ra. Berkata saya mendengar seorang
sahabat anshar yang lugu mengadu kepada Rasulullah saw., bahwa
ibnu umar selalu dirugikan dalam jual-beli. Kemudian Rasulullah
saw., bersabda kepadanya, “apabila kamu jual-beli, maka katakana,
“tidak ada manipulasi” selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan
pada setiap barang yang kamu beli selama tiga malam. Jika kamu
berminat, ambil, jika tidak, kembalikan”. (HR. Al-Baihaqi)

4. Klasifikasi Khiyar

Khiyar dalam transaksional jual-beli diklasifikasikan menjadi tiga

bagian:

a) Khiyar Majlis

Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 63.
76

Al-Imam Al-Bukhari Dan Abu Al-Hasan As-Sanadi, Shohih Al-Bukhari Bi Hasyiyati Al-Imam
77

As-Sanadi, (Lebanon: Dar Al-Kutub, 2013). Cet, 3. Juz, 2. h. 22.

34
Khiyar majlis adalah hak pelaku transaksional dalam rangka

untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau

mengurungkan akad ketika kedua belah pihak masih sama-sama

berada di majlis akad. Menurut qaul ashah Syafi’iyah, khiyar ini

bersifat otoritatif (qahri).78 Dalam arti eksisitensinya dalam sebuah

transaksi mu’awadloh telah mendapatkan legalitas dari syariat

yang tidak bisa dinafikan, sehingga jika menafikan khiyar majlis

dari dalam akad mu’awadloh, akan berkonsekuensi membatalkan

akad itu sendiri, karena khiyar majlis itu adalah suatu hal yang

tidak dapat dipisahkan dari bentuk transaksi. 79 Sedangkan menurut

qaul yang kedua, transaksi semacam ini sah tanpa ada hak khiyar,

dan menurut pendapat qaul ketiga, transaksi ini sah dan tetap ada

hak khiyar, meskipun di syaratkan tidak ada khiyar. 80 Namun hak

khiyar majlis sendiri mempunyai batas-batas tertentu.

Masa khiyar majlis akan berakhir dengan salah satu dari dua

hal: yang pertama adalah saling memilih (takhayur) dan yang

kedua adalah dengan berpisahnya pelaku transaksi (tafarruq).81

Takhayur adalah keputusan pelaku transaksi antara memilih

melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika masih berada

di majlis akad. Sehingga apabila pelaku transaksi telah

78
As-Syaikh Ibrahim Al-Bayjuri, Hasyiyatul Bayjuri, (Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,) Cet. 13, Juz. 1.
h, 665.
79
Achmad Bin Muhammad Bin Ali Bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, (Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah), Juz. 3. h. 314.
80
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 64.
81
Ibid.

35
menjatuhkan pada salah satu pilihan ini, maka masa hak khiyar

majlisnya telah berakhir kendati keduanya belum berpisah

(tafarruq) dari majlis akad.82 Namun apabila terjadi perbedaan

pilihan di antara kedua belah pihak pelaku transaksi, seperti satu

pihak memilih melangsungkan transaksi dan pihak yang satunya

lagi memilih mengurungkannya, maka yang dimenangkan adalah

pihak yang mengurungkan, karena spirit dari legalisasi khiyar

adalah untuk memberikan kesempatan menggagalkan akad (fash

al-‘aqd), bukan untuk melangsungkan akad (ijazah al-‘aqd). Sebab

keberlangsungan akad merupakan konsekuensi mendasar (ashalah)

dalam sebuah transaksi.83

Tafarruq sendiri adalah ketika terjadinya perpisahan di antara

kedua belah pihak pelaku transaksi dari majlis akad. Batasan

tafarruq merujuk pada ‘urf, karena tidak batasan secara syar’i

maupun lughawi.84

Tafarruq bisa terjadi dalam arti masa hak khiyar kedua pelaku

transaksi berakhir, meskipun hanya salah satu pihak yang keluar

dari majlis akad. Sebab peristiwa tafarruq tidak bisa dipilah-pilah

(la yutaba’adlu) layaknya takhayur di atas.85

Majlis akad yang dimaksud adalah, tempat di mana peristiwa

transaksi berlangsung. Pengertian ini mencakup praktek transaksi


82
Ibid.
83
Zakariya Bin Muhammad Bin Zakariya Al-Anshari Dan Zainuddin Abu Yahya As-Saniki, Asnal
Muthalib, (Damaskus: Dar Al-Fikr) Tanpa Tahun, Juz 3. h. 91.
84
Ibid.
85
Ibid.

36
yang diadakan secara langsung dalam satu tempat (qarib), atau

dilakukan dari jarak jauh (ba’id) dengan cara saling teriak, atau

dilakukan via korespondensi, faximile, email, SMS, telepon,

internet dan instrument yang lain.86

Transaksi yang diadakan dari jarak jauh akan tetapi secara

langsung atau live (tanadaya), seperti via telepon, video call,

telekonferensi, dan instrument penghubung yang lain., menurut

qaul ashah juga berlaku khiyar majlis. Dan hak khiyar ini akan

berakhir apabila salah satu pihak telah keluar (tafarruq) dari

tempatnya. Sedangkan menurut muqabilul ashah, khiyar majlis

tidak berlaku pada transaksi yang diadakan secara jarak jauh,

karena jarak yang jauh itu sendiri merupakan manifestasi dari

tafarruq dan tafarruq merupakan sesuatu yang menafikan atau

mengakhiri khiyar majlis.87

Sedangkan transaksi yang diadakan dari jarak jauh namun tidak

secara langsung, seperti via surat, faximile, email, SMS, dan

internet., juga berlaku khiyar majlis. Hanya saja ulama berbeda

pendapat dalam membatasi akhir masa khiyar majlis pihak

pengirim. Satu versi membatasi dengan pengirim keluar (tafarruq)

dari majlisnya pada saat surat, faximile, email atau lainnyatelah

diterima oleh pihak lain. Sedangkan versi lain membatasi akhir

masa khiyar majlis pihak pengirim dengan keluar (tafarruq)-nya


86
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 65.
87
Ibid.

37
pihak penerima dari majlis dimana penerima menerima surat,

faximile, email atau instrument lainya tersebut.88 Formulasi batas

akhir masa khiyar majlis dengan takhayur dan tafarruq di atas

didasarkan pada sabda nabi saw.

ِ ِ ِِ
‫ (رواه‬.‫اخَت ْر‬ َ ‫البِّي َعان باخْل يَا ِر َما مَلْ َيَت َفَّرقَا َْأو َي ُق ْولث‬
ْ ‫َأح ُدمُهَا لأْل َخ ِر‬ َ
)‫الشيخان‬
Artinya: penjual dan pembeli memiliki pilihan sebelum
keduanya berpisah atau salah satunya mengatakan pada yang
lain, pilihlah! 89m)(HR. Bukhari Musl

b) Khiyar syarat

Khiyar syarat adalah hak pelaku transaksi untuk

menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau

mengurungkan akad yang berlaku atas dasar kesepakatan

muta’aqidain terhadap sebuah klausul (syarat) berupa batas

tertentu.90

Khiyar syarat tidak bersifat otoritatif (qahri) sebagaimana

khiyar majlis, melainkan hanya bersifat opsional. Artinya,

eksistensinya dalam sebuah transaksi dalam sebuah transaksi

mu’awadlah bukan atas dasar legitimasi syara’ akan tetapi atas

dasar inisiatif (iradah) dari pelaku transaksi. Karena itu. Khiyar

syarat boleh ditiadakan dari sebuah transaksional mu’awadlah.


88
Ibid.
89
Al-Imam Al-Bukhari Dan Abu Al-Hasan As-Sanadi, Shohih Al-Bukhari Bi Hasyiyati Al-Imam
As-Sanadi, (Lebanon: Dar Al-Kutub, 2013). Cet, 3. Juz, 2. h. 22.
90
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 60. Dan
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), Juz. 3. h.318.

38
Secara subtansial, fungsi khiyar syarat merupakan

perpanjangan waktu dari hak opsional dalam khiyar majlis. 91

Apabila hhak opsional dalam khiyar majlis terbatas hanya

ketika pelaku transaksi masih berada dalam majlis akad dan

akan berakhir begitu keduanya telah berpisah (tafarruq), maka

dalam khiyar syarat hak opsional tersebut masih berlangsung

sekalipun kedua belah pihak telah berpisah, sampai batas waktu

yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Hak khiyar syarat menurut qaul adhhar bisa dilimpahkan

kepada pihak lain (ajnabi) selain pelaku transaksi. Sebab,

pelimpahan ini masih dalam koridor fungsi (hikmah) dari

khiyar syarat itu sendiri, yakni membuat pertimbangan (at-

tarawwi).92 Logikanya, ketika pihak lain lebih dipercaya

menjadi acuan pertimbangan dalam memutuskan pilihan

terbaik antara melangsungkan dan mengurungkan akad, maka

hal itu justeru akan lebih maslahah bagi pelaku transaksi..93

pelimpahan hak khiyar kepada pihak lain ini lebih bersifat

pemberian hak milik (tamlik), bukan bukan perwakilan

(taukil).94 Namun masa berlakunya khiyar syarat, ada batas

minimal dan maksimalnya.95


91
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 68.
92
Ibid.
93
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2008), Juz, 3, h. 19.
94
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tanpa tahun), Juz. 3. h.318.
95
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 70.

39
Batas minimal masa berlaku khiyar syarat adalah waktu

yang sebentar yang telah diketahui, seperti dua jam atau satu

jam. Dan batas maksimalnya adalah tiga hari tiga malam. 96

Limitasi tiga hari tiga malam ini, disamping berdasarkan hadist

juga didukung alasan rasional bahwa, tiga hari tiga malam itu

adalah masa yang sangat ideal (ghalib) dalam untuk membuat

pertimbangan secara matang.97

Masa khiyar syarat sendiri terhitung sejak persyaratan

khiyar disepakati, baik pada saat transaksi (fi al-‘aqd), atau

setelah transaksi namun masih di majlis akad (fi al-majlis) dan

akad belum luzum melalui proses takhayur.98 Namun menurut

versi lain, hitungan masa khiyar syarat dimulai sejak

berakhirnya khiyar majlis yakni sejak terjadinya peristiwa

takhayur atau tafarruq. Sebab, maksud dari khiayar syarat

adalah untuk perpanjangan hak khiyar majlis. Namun versi ini

dinilai lemah sebab terdapat unsur majhul, yakni tidak ada

kepastian kapan tafarruq atau takhayur dilakukan.99 Dan

unutuk keabsahan masa khiyar syarat di perlukan lima

ketentuan:

96
Syamsuddin Muhammad Bin Abi Al-Abbas Achmad Bin Hamzah Syihabuddin Al-Ramli,
Nihayatul Mukhtaj Ila Syarhil Minhaj, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1984), Juz. 4, h. 17.
97
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2008), Juz, 3, h. 19.
98
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tanpa tahun), Juz. 3. h.318.
99
Achmad Salamah Al-Qulyubi Dan Achmad Al-Barlisi ‘Umairah, Hasyiyah Qulyubi Wa
‘Umairah, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1995), Juz, 2. h. 240.

40
1) Muqayyad, dalam arti ditentukan batas akhir masa khiyar

syarat secara pasti;

2) Ma’lum, yaitu harus jelas;

3) Muttashil bi asy-syarth, yakni terhitung sejak perjanjian

syarat;

4) Mutawaliyah, berkesinambungan;

5) Maksimal tiga hari tiga malam.100

Dalil yang mendasari legalitas khiyar syarat dan

batasan waktunya ini adalah hadist yang diriwayatkan Ibn

Umar di atas. Akan tetapi masa khiyar syarat bisa berakhir

dengan beberapa hal sebagai berikut:

1) Habisnya waktu batas waktu khiyar yang telah disepakati

pelaku transaksi;

2) Memutuskan untuk melangsungkan transaksi (ijazah

al-‘aqd) atau mengurungkan transaksi (fashk al-‘aqd);

3) Mentasarufkan komoditi transaksi dalam masa khiyar

dengan bentuk tasaruf yang umumnya hanya legal

dilakukan oleh pemilik, seperti menjual, menghibbahkan,

memerdekakan budak dan dengan cara yang lain.101

c) Khiyar ‘Aib

100
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tanpa tahun), Juz. 3. h.319.
101
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1992), Juz, 6, h. 24.

41
Khiyar ‘aib atau juga disebut dengan khiyar naqishah.

Adalah hak opsional antara melangsungkan atau

mengurungkan transaksi ketika komoditi didapati tidak sesuai

dengan kondisi yang diharapkan dari suatu ikatan kontrak

(iltizam syarthiyyin), tidak sesuai kondisi standar umum

(qadla’ urfiyyin), atau tidak sesuai akibat aksi manipulatif

(taghrir fi’liyyin).102

Hak khiyar ini bersifat otoritatif (qahri). Artinya, opsi

antara melangsungkan atau membatalkan akada atas dasar

legitimasi syar’I seperti khiyar majlis, bukan atas dasar inisiatif

atau kesepakatan pelaku transaksi seperti khiyar syarat.103

Khiyar naqishah atau khiyar ‘aib akan berlaku dalam

sebuah transaksi apabila komoditi didapati tidak sesuai dengan

kondisi atau kriteria (aushaf) yang diharapkan dari salah satu

tiga sebab. Yakni dari iltizam syarthiyyin (perjanjian kontrak),

dari qadla’ ‘urfiyyin (standar kondisi umum), atau dari akibat

taghrir fi’liyyin (aksi manipulatif), yang akan dijelaskan

sebagai berikut:

Iltizam syarthiyyin adalah apabila dalam transaksi terdapat

perjanjian (syarat) tertentu yang berkaitan dengan kondisi

komoditi, jika barang yang diterima didapati tidak sesuai

102
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tanpa tahun), Juz. 3. h.323.
103
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 76.

42
dengan perjanjian (syarat), maka menetapkan hak khiyar ‘aib.

Yakni hak opsional anatara melangsungkan transaksi dengan

menerima (ridla) kondisi komoditas seperti apa adanya, atau

mengurungkan transaksi dengan cara mengembalikan barang

(radd). Hak khiyar ini dimiliki, karena kondisi yang tidak

sesuai dengan perjanjian dalam kontrak, akan menafikan minat

(gharadl).104

Perjanjian (syarat) yang dikemas dalam transaksi (fi shulb

al-‘aqd) seperti ini, akad tetap sah dan tidak bisa dijerat dengan

hadist yang melarang jual-beli bersyarat (bai’ bi syarth). Sebab

disamping syarat seperti ini demi kemaslahatan akad itu

sendiri, syarat yang demikian ini hakikatnya bukanlah syarat,

karena arti syarat yang sesungguhnya adalah sesuatu yang

berkaitan dengan perkara yang akan dating (mustaqbal),

sedangkan istilah ‘syarat’ dalam konteks ini berkaitan dengan

perkara yang telah ada (wujud) pada saat akad berlangsung.105

Terkait syarat ini, terdapat lima karakter syarat dalam

transaksi:

1) Syarat untuk keabsahan (li ash-shihhah). Seperti syarat

memetik buah dalam penjualan buah yang belum benar-

benar siap di konsumsi (buduwwi ash-shalah);

104
Zakariya Bin Muhammad Bin Zakariya Al-Anshari Dan Zainuddin Abu Yahya As-Saniki,
Asnal Muthalib, (Damaskus: Dar Al-Fikr) Tanpa Tahun, Juz 3. h. 305.
105
Syaihk Syamsuddin Muhammad Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj Ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 4, Juz. 2. h. 44.

43
2) Syarat konsekuensi logis (muqtadla al-aqd). Seperti syarat

penerimaan, syarat pengembalian karena ‘aib dan lain-lain;

3) Syarat kemaslahatan (li al-maslahah). Seperti syarat gadai

(rahn), persaksian (isyhad) dan lain-lain;

4) Syarat tidak prinsipil (mulghah). Seperti syarat makan roti

dan lain-lain;

5) Syarat yang kontra produktif (munafin li muqtadla al-aqd).

Seperti syarat larangan qabdl dan lain-lain.

Karakter syarat poin (1) berlaku dalam akad

(ma’mul bih); syarat poin (2) bersifat penegasan (ta’kid);

syarat poin (3) menetapkan hak khiyar; syarat poin (4) tidak

berlaku (mulghah); dan syarat poin (5) membatalkan

transaksi (mufsid).106

Qadla’ ‘urfiyyin maksudnya, kondisi komoditi yang

diminati pelaku transaksi adalah kondisi yang sesuai standar

umum, yakni terbebas dari ‘aib. Sehingga ketika barang yang

diterima dalam transaksi kondisinya didapati tidak wajar,

seperti terdapat aib yang tidak umu ditemukan pada jenis

barang tersebut, maka pelaku transaksi memiliki hak opsional

antara tetap menerima barang seperti apa adanya (ijazah

al-‘aqd), atau mengurungkan transaksi dengan mengembalikan

106
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 76.

44
barang (radd).107 Karena itu dalam transaksi jual-beli, pelaku

transaksi diharuskan memberitahu aspek-aspek aib yang

terdapat pada komoditi dan tidak boleh menyembunyikannya.

Dalam sebuah hadist rasulullah saw. Bersabda:

‫َأخْي ِه َبْي ًعا َي ْعلَ ُم فِْي ِه َعْيبًا‬


ِ ‫املسلِم َأخو املسلِ ِم اَل حَيِ ل لِمن باع ِمن‬
ْ َ َ َْ ُ ُْ ُ ُ ُْ
)‫ (رواه احلاكم‬.ُ‫ِإاَّل َبَّينَه‬
Artinya: “seorang muslim dengan muslim lainnya adalah
bersaudara, tidak halal bagi seseorang yang melakukan
transaksi jual-beli dan mengetahui ada aib kecuali
menjelaskannya”.108 (HR. Alhakim)

Taghrir fi’liyyin artinya, kondisi komoditi yang diminati

pelaku transaksi merupakan hasil dari aksi atau tindakan

manipulatif, sehingga hakikatnya barang tidak sesuai dengan

yang diharapkan. Seperti tindakan tashriyyah, adalah sengaja

tidak memerah susu hewan dalam beberapa waktu sebelum

dijual agar mencitrakan pada pembeli bahwa air susu hewan

perah tergolong produktif, sehingga menarik minat pembeli.

Dalam kasus demikian, pembeli memiliki hak opsional

antara melangsungkan atau membatalkan akad apabila, aksi

manipulasi menyebabkan kerugian. Jika tidak, misalnya

produktivitas air susu tetap stabil, maka tidak menetapkan hak

khiyar.109 Sedangkan apabila kerugian yang dialami bukan

107
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al- Bujairami ‘Ala Al-
Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tanpa tahun), Juz. 3. h.323.
108
Zakariya Bin Muhammad Bin Zakariya Al-Anshari Dan Zainuddin Abu Yahya As-Saniki,
Asnal Muthalib, (Lebanon: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2013) cet, 2. Juz 3. h. 142.
109
Ibid.

45
akibat aksi manipulatif pihak lain, melainkan akibat

kecerobohan sendiri, maka tidak menetapkan hak khiyar aib.

Seperti membeli kaca yang dikira mutiara. 110 Namun aib dalam

transaksi yang bisa menetapkan hak khiyar aib, harus

memenuhi kreteria aib.

Kriteria aib yang bisa menetapkan hak khiyar naqishah

atau khiyar aib adalah:

1) Aib Qadim, adalah aib yang telah ada (wujud) sebelum

terjadi transaksi, atau ada setelah transaksi namun sebelum

terjadi serah-terima barang (qabdl), atau ada bersamaan

dengan serah-terima barang namun merupakan akibat dari

sebab yang terjadi sebelumnya (sebab sabiq).111 Seperti

membeli budak yang sebelumnya telah divonis mati karena

murtad, qishash atau lainnya. Keriteria aib demikian dapat

menetapkan khiyar aib jika pembeli tidak mengetahuinya,

karena barang masih menjadi tanggung jawab (dlaman)

pemilik asal (ba’i’).112 Hal ini berbeda dengan aib-aib yang

muncul setelah serah-terima barang (aib hadist), seab

dengan terjadinya serah-terima (qabdl), tanggung jawab

beralih ke tangan penerima (musytari).113

110
Ibid.
111
Ibid.
112
Ibid.
113
Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarh Al-Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2010), Cet. 3, Juz.2 h. 144.

46
2) Aib yang mengurangi fisik barang yang bisa menafikan

minat (gharadl shahih) pelaku transaksi.

3) Aib yang mengurangi fisik barang atau tidak, namun bisa

mengurangi harga pasaran (qimah).114

4) Aib yang tidak wajar ditemukan pada jenis barang

tersebut.115

Dan hak khiyar aib akan berakhir, dalam arti pelaku

transaksi tidak memiliki hak opsional untuk melangsungkan

atau mengurungkan transaksi lagi, apabila setelah mendapati

aib terjadi hal-hal berikut ini:

1) Tidak segera mengembalikan (radd) komoditi;116

2) Komoditi telah dimanfaatkan, seperti dipakai, disewakan,

dijual, dan lain semacannya. Karena tindakan-tindakan

seperti ini mengindikasikan ridla dengan kondisi barang,

dan memilih untuk melangsungkan transaksi.117

114
Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarh Al-Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2010), Cet. 3, Juz.2 h. 136.
115
Dr. Musthafa Al-Khin Dan Dr. Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala Madzhabi Al-
Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1992), Juz, 6, h. 23.
116
Ibid.
117
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 6.

47
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk Field Research (penelitian lapangan), merupakan

teknik metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah

suatu penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang sedang

diteliti. Sedangkan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati.118 Data diperoleh dengan cara

menyelidiki dan menggambarkan keadaan lapangan yaitu praktik transaksi

jual-beli buah di pasar buah bangkalan.

B. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti berfungsi sebagai observer. Peneliti

melakukan observasi langsung di pasar buah bangkalan di desa bancaran keca

matan bangkalan kabupaten bangkalan. Selain itu, peneliti melakukan

wawancara terhadap pihak produsen dan beberapa konsumen yang berfungsi

sebagai informan yang dapat memberikan eksplanasi dan data yang akurat dan

dapat dipertanggung-jawabkan sebagai bahan dalam penelitian ini.

Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara terang-terangan.

118
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 48.

48
C. Latar Penelitian (Waktu Dan Tempat)

Lokasi penelitian sebagai sasaran yang sangat membantu dalam penelitian

untuk menentukan data yang diambil, sehingga lokasi ini memiliki peran

penelitian dan sangat menunjang dalam memberikan informasi yang valid.

Mengemukakan lokasi dalam penelitian pertama, adalah menyebutkan tempat

penelitian misalnya kota, desa, komunitas atau lembaga tertentu. Kedua, yang

lebih penting, peneliti menyebutkan alas an adanya fenomena atau peristiwa

sosial kasus yang diteliti.119

Dalam hali ini, peneliti memilih lokasi penelitian di desa bancaran

kecamatan bangkalan kota bangkalan dengan fokus penelitian transaksi jual-

beli buah-buahan.

D. Data Dan Sumber Data Penelitian

Sumber data yang dimaksud adalah subjek data yang akan diperoleh,

apabila data yang diperoleh melalui wawancara atau kuesioner, maka sumber

datanya dinamakan responden, apabila sumber datanya dihasilkan dari

observasi, maka data yang diperoleh melalui gerak benda atau proses,

sedangkan data yang diperoleh dari hasil dokumentasi maka sumber datanya

berupa dokumen atau catatan.120

Sumber data penelitian ini terdiri dari tiga sumber di atas, yaitu wawancara

bersama pengelola, pengurus dan guru pondok pesantren. Kemudian peneliti

akan melakukan observasi ke pasar buah bangkalan, serta dokumentasi berupa


119
Joko subagyo, Metode Penelitian: Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), hlm. 35.
120
Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pndidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, h. 141.

49
dokumen-dokumen tentang penjualan yang berkaitan dengan transaksi akad

jual-beli dan yang berkaitan dengan manajemen strategi pengembangan

proyeksi toko dalam perdagangan guna mengembangkan transaksi yang baik

dan berkualitas.

E. Pengumpulan Data

Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Observasi sebagai teknik pengumpulan data yang dilakukan

denggan pencatan terhadap gejala-gejala yang terjadi saat di lapangan. 121

Teknik ini merupakan kegiatan yang dalam pelaksanaannya menggunakan

ketajaman panca indra, berupa pandangan, penglihatan atau penciuman

untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam teknik ini peneliti akan

mengambil fakta data atau gejala-gejala yang terjadi berkaitan dengan

transaksi jual-beli buah dalam mencetak transaksi yang baik dan

berkualitas.

2. Wawancara

Wawancara merupakan sebuah proses interaksi dan komunikasi

untuk mengumpukan data antara peneliti dengan responden melalui tanya

jawab .122 Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara

dengan pihak penjual (karyawan toko) dan beberapa pembeli (konsumen)

yang pernah membeli buah di toko buah yang menjadi objek penelitian

121
Hardani. 2020. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group.
h. 123.
122
Rahardjo, Mudjia. 2020. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Sosial dan Humaniora,
Yogyakarta: Republik Media. h. 109.

50
dalam skripsi ini, di lingkungan toko buah bangkalan yang berkaitan

dengan praktik transaksi jual beli buah-buahan di pasar buah tersebut..

F. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan untuk memaknai sebuah catatan atau

kumpulan dari sebuah fakta yang dihasilkan dari pengamatan empiris. Adapun

data yang dianalisis bisa berupa dokumen, angka dan kata yang dapat

menjelaskan variabel penelitian.123Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan teori Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga teknik, yaitu:

reduksi data, penyajian data dan kesimpulan.124

1. Reduksi data

Reduksi data diartikan sebagai teknik merangkum data,

memfokuskan data, memilih hal-hal pokok, mencari pola dan membuang

hal-hal yang tidak relevan dengan variabel penelitian125. Dalam konteks

ini, peneliti akan memetakan, dan memilih data, kemudian dikumpulkan

dalam tema-tema sesuai variabel yang diperlukan dalam penelitian.

2. Penyajian data

Teori Miles dan Huberman menyatakan bahwa penyajian data

merupakan sekumpulan informasi yang memungkinkan untuk menarik

sebuah kesimpulan dan tindakan. Dalam penelitian kualitatif penyajian

123
Rahardjo, Mudjia. 2020. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Sosial dan Humaniora,
Yogyakarta: Republik Media. h, 117.
124
Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pndidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta. h, 338.
125
Ibid.

51
data bisa dilakukan dengan bentuk chard, pictogram, tabel, grafik, brupa

teks naratif dan beberapa jenis yang lain.126

Peneliti akan menyajikan data yang sudah direduksi sebelumnya

dengan bentuk teks deskriptif atau naratif, yaitu data yang diperoleh

melalui wawancara, dokumentasi dan observasi di Pasar Buah bangkalan

yang terletak di bancara kecamatan bangkalan.

3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Langkah selanjutnya, peneliti akan menverifikasi data atau

melakukan penarikan kesimpulan, yaitu verifikasi data yang sudah

disajikan dalam bentuk naratif disesuaikan dengan variabel penelitian.

Verifikasi data akan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian untuk

menjawab Bagaimana praktik jual-beli buah yang terjadi di pasar buah ban

gkalan dan Bagaimana praktik jual-beli buah di pasar buah bangkalan mun

urut tinjauan fikih muamalah.

G. Keabsahan Data

4. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengamatan

yang lebih berkesinambungan dan cermat. Peneliti akan mengamati data-

data yang dibutuhkan, baik data dari wawancara, observasi dan juga

dokumentasi. Dengan ketekukan pengamatan ini peneliti berharap akan

mendapatkan data yang pasti dan maksimal sesuai urutan peristiwa dan

data dapat direkam dengan pasti dan sistematis.


Salim dan Syahrum. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Ciptapustaka Media. h,
126

149.

52
5. Perpanjangan Pengamatan

Peneliti akan melakukan pengamatan di lapangan (di pasar buah

bangkalan yang terletak di desa bancaran kec. bangkalan) hingga

penelitian mencapai kejenuhan dan pengumpulan data bisa tercapai.

Perpanjangan waktu pengamatan ini diharapkan meningkatkan derajat

kepercayaan data yang sedang dikumpulkan oleh peneliti tentang

manajemen strategi; formulasi, implementasi dan evaluasi strategi.

6. Triangulasi

Hardani menyatakan bahwa triangulasi diartikan sebagai sebuah

teknik untuk menguji kredibilitas data atau teknik pengumpulan data yang

menggabungkan dari beberapa teknik dan sumber yang sudah ada. 127

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi teknik, yaitu:

mengumpulkan data-data yang berbeda untuk satu sumber. Peneliti akan

menggunakan data observasi, dokumentasi, dan wawancara mendalam

untuk satu sumber yang sama. Dan menggunakan triangulasi sumber

untuk memperoleh data dari sumber yang tidak sama, akan tetapi dengan

teknik yang sama. Peneliti akan memperoleh data yang berbeda dari satu

sumber, dan akan memperoleh data dari beberapa sumber dengan teknik

yang sama.

127
Hardani. 2020. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group).
h, 154.

53
BAB IV

PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN

A. Penyajian Data

1. Paparan Hasil Temuan

Pasar buah bancaran bangkalan yang masih merupakan dari pulau

Madura ini, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, yang sangat

kental pengaruh keislaman dalam diri mereka. Dan itu terlihat jelas dari

perilaku mereka sehari-hari. Seperti cara mereka bersosialisasi yang

sangat santun dan sopan, berpakaian, dan masih terlihat juga dalam

interaksi mencari nafkah. Jika dilihat secara seksama masyarakat sekitar

bangakalan mayoritas mata pencariannnya disamping menjadi petani,

banyak juga yang menjadi pengusaha swasta lokal maupun interlokal.

seperti penjual bahan pokok, mkanan siap saji, buah-buahan dan lain

semacannya. Hal ini karena dukungan lingkungan geografis kota

bangkalan yang sangat subur dan berpotensi besar dalam mendapatkan

profit dari berbagai usaha yang dikembangan oleh masyarakat bangkalan.

Sehingga masyarakat tidak mungkin terlepas dari kegiatan perdagangan.

Perdagangan di Pasar Buah Bancaran Bangkalan, setiap pedagang

menyediakan bermacam-macam jenis buah yang dikomersialkan.

Komoditi dagangan yang dijual, tidak hanya satu macam atau satu jenis.

Pedagang di pasar buah bancaran ini, menggunakan sistem kiloan, jadi

tidak mewajibkan pembeli untuk membeli dengan jumlah yang besar akan

tetapi boleh membeli sesuai yang dibutuhkan pembeli. Seperti halnya yang

54
dikatakan oleh saudari Nana, salah satu karyawan toko buah di Pasar Buah

Bancaran Kecamatan Bangkalam Kabupaten Bangkalan bahwa:

Dalam hal ini saya menjual buah dan yang lain, tetapi komoditi
utama kami, adalah buah-buahan, dengan segala macam buah misalnya
jenis buah anggur, kelingking, melon, jeruk dan masih banyak lagi. Di
sini kami menjual dengan sistem kiloan, jadi tergantung para
pelanggan mau membeli berapa kilo yang mau mereka beli. Dan kami
memberikan keleluasaan kepada para pembeli untuk memilih sendiri buah
yang ingin dibeli supaya pembeli benar tahu terhadap kualitas buah-
buahan di toko kami. Toko kami buka dua puluh empat jam, jadi gak ada
nutupnya mas.128

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh mbak Julia salah satu

karyawan di toko buah tersebut:

Dalam hal ini sama saya menjual buah dan yang lain, tetapi
komoditi utama kami, adalah buah-buahan, dengan segala macam buah
misalnya jenis buah jeruk, apel, kelingking, melon, semangka dan masih
banyak lagi. Di sini kami menjual dengan sistem kiloan, jadi
tergantung para pelanggan mau membeli berapa kilo yang mau mereka
beli. Dan kami memberikan keleluasaan kepada para pembeli untuk
memilih sendiri buah yang ingin dibeli supaya pembeli benar tahu
terhadap kualitas buah-buahan di toko kami. Bahkan pembeli kami
persilakan untuk mencicipi buah kami terlebih dahulu dan toko kami buka
dua puluh empat jam, jadi gak ada nutupnya mas.129

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Imam Sukarno salah

satu pembeli di toko buah tersebut:

Saya sering beli buah di toko ini mas, karena tokonya enak
dipinggir jalan raya yang masih daerah perkotaan,dan buka dua puluh
empat jam. Buah disini lumayan bagus mas, walaupun terkadang tidak
terlalu memuaskan mas, ada buah tidak sesuai harapan saya, seperti
buah jeruk yang saya beli tadi, banyak buah jeruk yang rasanya masih
kecut padahal katanya penjualnya. Jeruk ini manis mas, tapi yang mau
saya kembalikan ga enak sama penjualnya mas, soalnya, di toko buah itu
kita sebagai pembeli di suruh milih dan ngambil sendiri mas.130
Hal demikian juga disampaikan oleh Abdur Rosyid yang juga
128
Wawancara, Nana (Karyawan Toko), 12 April 2022.
129
Wawancara, Julia (Karyawan Toko), 12 April 2022.
130
Wawancara, Imam Sukarno (konsumen), 12 April 2022.

55
kedapatan menjadi pembeli di salah satu toko buah yang ada di pasar buah

bangkalan tersebut. Abdur rosyid berkata, bahwa:

Iya mas, saya kalau main-main ke kota bangkalan, sering mampir


ke toko ini mas karena lokasi tokonya masih searah jalan pulang saya
mas. Tadi saya beli buah jeruk buat saudara saya yang lagi mondok tapi
buahnya banyak yang kecut mas tidak sesuai harapan karena kata
penjualnya manis mas.131

Saudara Ismail juga mengatakan demikian, yang juga nerupakan


pembeli disalah satu toko buah di pasar buah bangkalan:

Saya jarang beli di pasar buah bangkalan yang ada di bancaran


itu mas, Cuma kadang-kadang saya beli disana sperti tadi saya beli buah
jeruk mas, warna buahnya bagus mas tapi rasanya agak kecut mas tidak
seperti kata penjualnya mas. Ya. Walaupun di sana pembeli itu di suruh
mencicipi terlebih dulu dan di persilahkan memilih dan mengambil
sendiri buah yang ingin dibeli.132

Pada saat transaksi jual-beli sedang berlangsung penjual tidak

menjelaskan secara rinci buah yang dijualnya hanya mempersilahkan

pembeli untuk memilih dan juga mengambil buah yang diinginkan apabila

pembeli bertanya bagaimana kualitas buah, maka pembeli mengatakan,

buah yang dijualnya adalah buah yang baik kualitas dan rasanya manis.

Berdasarkan fakta yang peneliti dapatkan dilapangan bahwa ada

beberapa penjual buah di pasar buah bangkalan yang tidak jujur kepada

pembeli dengan menyembunyikan keterangan tentang tingkat kualitas

buah yang dicampur. Namun tidak semua penjual buah di pasar buah

bangkalan melakukan kecurangan ada juga penjual yang memberikan

keterangan jujur kepada pembeli.

Setiap perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh penjual

131
Wawancara, Abdur Rosyid (Konsumen), 12 April 2022.
132
Wawancara, Ismail (Konsumen), 12 April 2022.

56
maupun pembeli tentunya memiliki dampak yang terjadi. Begitu juga

dengan manipulasi tentang tingkat kualitas buah yg dijual. Dengan adanya

praktik tersebut tentunya tidak dapat menyelesaikan masalah melaikan

menimbulkan masalah baru karena buah yang dicampur akan

menimbulkan penyakit.

B. Analisis Data

1. Bagaimana praktik jual-beli buah yang terjadi di pasar buah bangkalan.

Praktik jual-beli buah yang terjadi di pasar buah bangkalan,

tepatnya di desa bancaran, yakni pihak penjual menyediakan bermacam-

macam buah-buahan di warung atau toko buahnya. Mulai dari salak, apel,

anggur, jeruk dan lain semacamnya.

Dalam setiap jenis buah-buahan yang tersedia di warung atau toko

buah tersebut, penjual menyediakan dengan kapasitas yang lumayan

banyak agar stok di toko tersebut selalu tersedia. Karena toko di pasar

buah bangkalan ini, buka dua puluh jam penuh.

Sistem jual-beli yang digunakan di pasar buah bangkalan sama

seperti jual-beli dipasar pada umumnya. Yakni ada penjual dan pembeli

yang melakukan transaksi. komoditi yang dijual di pasar buah bangkalan

sama seperti dipasar buah lainnya. Jual-beli buah-buahan yang ada di

pasar bangkalan sama seperti di pasar lainnya. Namun, di pasar buah

bangkalan ada sebagian penjual yang mencampur buah yang masih bagus

dengan buah yang tidak terlalu bagus atau hampir rusak.

57
Dalam Pelaksanaannya, praktik jual-beli yang ada di pasar buah

bangkalan pembeli diberi keleluasaan dan kebebasan oleh pihak penjual

untuk memilih dan mengambil buah yang akan dibeli, sehingga dapat

dengan bebas menentukan pilihannya, yang tentunya pembeli bisa tahu

dengan pasti keadaan buah yang akan dibeli. Buah yang biasa dicampur

adalah buah salak dan jeruk. Jeruk yang manis dicampur dengan yang

masih kecut.

Untuk pembeli yang kurang mengerti terhadap kualitas buah jeruk

maka buah jeruk yang berwarna kuning yang dipilih. Yakni mereka

anggap bagus buah tersebut, meskipun sebetulnya tidak terlalu bagus.

Sehingga ketika pembeli makan buah tersebut ternyata tidak sesuai

espektasi pembeli dan menimbulkan kekecewaan tersendiri. Artinya

pembeli merasa tertipu.

2. Bagaimana praktik jual-beli buah di pasar buah bangkalan munurut tinjaua

n fiqh muamalah.

Praktik jual-beli buah di pasar buah bangkaln menurut tinjauan

fiqh mu’amalah. Jual-beli adalah menukar barang dengan barang atau

barang dengan uang dengan jelas melepaskan hak milik dari satu kepada

yang lain atas dasar taradlin dengan cara yang telah diterangkan di atas.

Dan sesuai pendapat mayoritas ulama berpendapat bahwa kontruksi rukun

jual beli ada enam yang disingkat menjadi tiga kategori. Salah satu ulama

yang berpendapat demikian adalah Abi Bakar Ustman bin Muhammad

58
Satta dalam karya monumentalnya, bahwa rukun jual-beli ada tiga. Dan

semua rukun-rukun tersebut akan diterangkan secara rinci sebagai berikut:

1. Aqidani, adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi akad jual-

beli (Penjual Dan Pembeli).

2. Ma’qud alaih (objek jual-beli) adalah harta yang akan dipindahkan dari

tangan seorang yang berakad kepada pihak lain.

Menurut ulama fiqh, salah satu syarat ma’qud ‘alaih adalah

keberadaan ma’qud ‘alaih harus diketahui secara transparan

(ma’lum).133 Pengetahuan terhadap komoditi ini bisa melalui salah satu

dari dua metode: yang pertama adalah bisa dengan cara melihat

langsung (ru’yah), jika ada di tempat transaksi dan dapat dilihat

(musyahid), komoditi bersifat tertentu secara fisik (mu’ayyan) dan tidak

tercampur dengan selain komoditi. 134 Dan cukup melihat sebagian dari

komoditi transaksional sekiranya itu sudah mewakili kualitas bagian

komoditi tersebut atau terhadap bagian yang tidak menunjukan kualitas

komoditi tetapi terhadap bagian yang menjaga kualitas komoditi.

Seperti melihat tumpukan beras, bagian atasnya barang yang cair,

kumpulan barang yang sama seperti biji-bijian.

3. dan yang ketiga adalah ijab dan sekaligus qabul (shighat).135

Bahwa masyarakat yang melakukan jual-beli buah dengan

mencampur buah dengan buah yang kualitasnya berbeda. Yakni penjual

133
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), Cet. 2. h. 10.
134
Ibid.
135
Abi Bakar Ustman bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anatut At-Thalibin, (Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah), h. 4.

59
telah melanggar salah satu syarat jual-beli yang telah dipaparkan diatas,

dalam syarat-syarat komoditi (objek transaksi) komersial yaitu :

pembeli tidak mengetahui status objek akad jual-beli (kualitas,

kuantitas dan jenis).

Apabila dilihat dari sifat dan hukum jual beli yang telah di

sebutkan di atas (bab dua), penjual buah-buahan yang di campur,

melakukan jual beli yang tidak sah, dikarenakan tidak memenuhi rukun

atau syarat yang telah ditentukan dalam islam tentang regulasi transaksi

jual-beli.

60
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Jual-beli buah yang dilaksanakan di pasar buah bancaran bangkalan,

merupakan jual-beli yang objeknya adalah berbagai macam jenis buah

diantaranya adalah buah salak dan jeruk yang mana dalam pelaksanaan

jual-beli bbuah tersebut banyak penjual mencampur buah yang kualitasnya

masih bagus dengan buah yang tidak terlalu bagus bahkan ada yang mulai

mengalami kerusakan. Dan hal demikian merugikan pihak pembeli disaat

transaksi penjual tidak jujur dan transparan. Karena pembeli masih banyak

yang belum tahu betul dalam menentukan kualitas buah yang lebih bagus

atau lebih buruk. Hal ini tidak boleh menjadi tradisi bagi masyarakat

sekitar. Buah-buahan yang kualitasnya lebih bagus pasti lebibh baik gizi,

protein dan rasanya dibandingan buah yang tidak terlalu bagus kualitsnya

apalagi yang sudah hampir rusak.

2. Jual-beli buah karbitan dijadikan objek dalam tinjauan fiqih muamalah

adalah pelaksanaan atau transaksi jual belinya tidak memenuhi syarat

sesuai syari‟at Islam, yaitu ketidakjelasan barang atau samarnya barang

yang diperjualbelikan. Dalam ketidakjelasan barang tersebut terdapat

unsur penipuan yang dilakukan oleh pihak penjual (produsen) buah kepada

pembeli, sehingga menyebabkan jual beli tersebut tidak sah.

61
B. Saran

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya terdapat saran-

saran sebagai berikut:

1 . Masyarakat penjual atau produsen buah khususnya masyarakat

melakukan kegiatan ekonomi seperti jual beli seharusnya lebih

berpedoman kepada AlQuran dan Al-Hadits. Agar ketika menjual

buah-buahan pihak penjual tidak akan merugikan pihak pembeli

kembali. Dan lebih baik saat terjadi transaksi jual beli pihak penjual

harus jujur dan transparan kepada pihak pembeli terhadap barang-

barang yang akan diperjual belikannya.

2 . Bagi peneliti-peneliti selanjutnya diharapakn bisa lebih fokus terhadap

permasalahan-permasalahan yang terjadi dimasyarakat kedepannya.

Karena hal ini juga merupakan sarana dakwah dan memberikan

pencerahan kepada masyarakat khususnya dalam masalah-masalah

yang berkaitan dengan hukum Islam.

62
DAFTAR RUJUKAN

Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1986),


Catatan Kedua Puluh Dua, 262
Ibrahim, Al-Bayjuri Al-Shaykh, Hasiyat Al-Bayjouri ‘Ala Sarh Ibn Al-Qas
im ‘Ala Matn Abi Suja (lebanon: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2019), h.34.
Nasrun haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2007), h.
30.
Abi Bakar, Ustman Bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’Anah At-Tholibin
(Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013), H. 5.
Qori, Imam Qori Subhan, (2026) . Jakarta: Nusa Bangsa. Hal: 3.
Sulaiman, Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1986),
Catatan Kedua Puluh Dua, 262.
Munawwir A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
Subekti, R. Aneka Perjanjian, cet. Kesepuluh (Jakarta: PT.Citra Aditya
Bakti, 1995), h. 1.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-
Fikr, 2004), Cet. 4, h. 3304.
Muhammad, Syamsuddin Bin Achmad Khatib As-Sirbini, Mugni Mukhtaj
Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadil Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014),
Cet. 4, Juz. 2. h. 3.
Ustman Bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anah At-Thalibin, (Lebanon:
Dar Al-Kutub-beirut, 2013), Cet. 7. Jilid 3. h, 3.
Sohari Sahari dan Ru’fah Abdullah, Fiqih Muamalat, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), h. 66.
Rahman, Abdul Ghazaly dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kenca Prenada
Media Grup, 2012), Cetakan, 2. h, 67.
Muslich, Ahmad Wardi Fiqih Muamalat, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010), 174.
Al-Quran, Surat at-taubat, ayat 111.
Al-Quran, Surat An-Nisa’, Ayat 29.
Mustofa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2014), Cet 1, h. 21.
Dasuki, Hafizh dkk (ed). Departemen Agama Republik Indonesia, Al-
Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Lubuk Agung, 1989), h. 229.

63
Faiz, Muhammad Almath, 1100 Hadits Terpilih, (Jakarta: Gema Insani,
1991), h. 193.
Ustman Bin Muhammad Satta, Hasyiyah I’anah At-Thalibin, (Lebanon:
Dar Al-Kutub-beirut, 2013), Cet. 7. Jilid 3. h, 5.
Abdillah, Abi Abdissalam Al-Laus, Ibanatul Ahkam (Surabaya: Dar Al-
Fikr, Tanpa Tahun), Juz 3 h. 3.
Aziz, Abdul Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah,
2014), Cet. 2, h. 27.
Al-Khin, Musthafa Dan Al-Bugha, Musthafa Al-Fiqh Al-Minhaji ‘Ala
Madzhabi Al-Imam As-Syafi’I (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2008), Juz, 3, h. 7.
Nawawi, Muhammad Bin Umar Al-Jawi, Qutul Habib Al-Gharib
(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), Cet. 1, h. 262.
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press,
2013), Cet. 2. h. 6.
Sulaiman Bin Umar Bin Mansur Al-Ujaili Al-Azhari, Hasyiyat Al-Jamal,
(Damaskus: Dar Al-Fikr Tanpa Tahun), Juz, 3. h. 101.
Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami Al- Misri, Hasiyah Al-
Bujairami ‘Ala Al-Khatib,(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), Juz. 3. h.313.
Al-Bukhari, Al-Imam Dan Abu Al-Hasan As-Sanadi, Shohih Al-Bukhari
Bi Hasyiyati Al-Imam As-Sanadi, (Lebanon: Dar Al-Kutub, 2013). Cet, 3. Juz, 2.
h. 22.
Achmad Bin Muhammad Bin Ali Bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj,
(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), Juz. 3. h. 314.
Zakariya Bin Muhammad Bin Zakariya Al-Anshari Dan Zainuddin Abu
Yahya As-Saniki, Asnal Muthalib, (Damaskus: Dar Al-Fikr) Tanpa Tahun, Juz 3.
h. 91.
Al-Qulyubi, Salamah Achmad Dan Al-Barlisi ‘Umairah, Achmad,
Hasyiyah Qulyubi Wa ‘Umairah, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1995), Juz, 2. h. 240.
Al-Haitami, Ibnu Hajar Tuhfatul Muhtaj Bi Syarh Al-Minhaj, (Lebanon:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010), Cet. 3, Juz.2 h. 144.
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 48.
subagyo, Joko, Metode Penelitian: Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 35.
Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pndidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, h. 141.

64
Hardani. 2020. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta:
Pustaka Ilmu Group. h. 123.
Rahardjo, Mudjia. 2020. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu
Sosial dan Humaniora, Yogyakarta: Republik Media. h. 109.
Salim dan Syahrum. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Ciptapustaka Media. h, 149.

65

Anda mungkin juga menyukai