Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran harus mengetahui

kaidah-kaidah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kaidah tafsir adalah suatu

aturan atau pedoman-pedoman dasar yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir

dalam menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur’an, termasuk adab dan syarat-syarat

seorang mufassir 1 . Seorang mufassir harus berpedoman kepada aturan-aturan

tersebut. Dengan mengetahui kaidah-kaidah tersebut seorang mufassir tidak terjadi

kekeliruan atau penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran karena sesuai

dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Seorang mufassir juga harus mengetahui pembagian kaidah-kaidah tafsir

tersebut. Kaidah tafsir terbagi menjadi tiga yaitu Pertama: Kaidah dasar tafsir

seperti contoh penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat Al-Qur’an lainya, ayat Al-

Qur’an dengan Hadits Nabi, perkataan sahabat atau yang disebut juga dengan tafsir

bi al-matsur atau tafsir bi al-riwayah. Kedua: Kaidah umum tafsir yaitu kaidah-

kaidah yang dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir tersebut

seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya. Ketiga: Kaidah khusus yaitu

1
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ulum Al-Qur’an (Mansyurat Al-Ash Al-Hadits,1973),
hlm.196.
seperti pembahasan tentang dhamir, isim nakirah dan makrifah, pengulangan isim,

mufrad dan jamak, sinonim, pertanyaan dan jawaban dan lain sebagainya 2.

Selain kaidah-kaidah tersebut seorang mufassir juga harus mengetahui kaidah-

kaidah ushul fiqih. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan penggalian hukum

dengan mengunakan dalil-dalil terperinci. Seorang mufasir sangat penting untuk

mengetahui kaidah tersebut yaitu memudahkan untuk menafsirkan ayat Al-Quran

juga tidak salah dalam mengambil suatu hukum dari ayat-ayat tersebut. Contoh

kaidah-kaidah ushul fiqih seperti Amr dan Nahi, Amm dan Khass, Manthuq dan

Mafhum, Mutlaq dan Muqayyad, Mujmal dan Mubayyan dan lain sebagainya.

Dalam pembahasan berikutnya akan dibahas tentang salah satu kaidah usul

fiqih yang harus diketahui oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an

yaitu kaidah Amr dan Nahi. Pembahasan mengenai pengertian Amar, Bentuk-

Bentuk, Contoh-Contoh yang menunjukkan kepada amar beserta dengan kaidahnya.

Dan juga mengenai tentang Nahi, Bentuk-bentuk Nahi serta Kaidah-kaidah Nahi

tersebut. Sehingga seorang mufassir dapat membedakan antara Amar dan Nahi dan

hal tersebut sangat penting untuk diketahui karena berhubungan dengan penggalian

suatu hukum.

2
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005), hlm.291.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian amr dan nahy?

2. Bagaimana bentuk-bentuk amr dan nahy dalam al-Qur’an?

3. Bagaimana kaidah amr dan nahy?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian amr dan nahy.

2. Mengetahui bentuk-bentuk amr dan nahy dalam al-Qur’an.

3. Memahami kaidah amr dan nahy.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Amr dan Nahy

1. Amr

Amr menurut bahasa adalah perintah, suruhan, tuntutan. Sedangkan amr

menurut istilah ialah:

‫ﻁﻠﺐ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﺩﻧﻰ‬

“Suatu tuntutan untuk mengerjakan (atau berbuat sesuatu) dari yang lebih

tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya.” 3 2F

Bisa juga didefinisikan:

‫َﻒ‬ َ ً‫ﺐ ِﺑ ِﻪ ﺍﻷ َ ْﻋﻠَﻰ ِﻣ ﱠﻤ ْﻦ ُﻫ َﻮ ﺃَﺩْﻧَﻰ ِﻣ ْﻨﻪُ ﻓِ ْﻌﻼ‬


ٍ ّ ‫ﻏﻴ َْﺮ ﻛ‬ ْ ‫ﻆﻳ‬
ُ َ‫ُﻄﻠ‬ ٌ ‫ﻫﻮﻟَ ْﻔ‬

“Suatu lafadz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya

untuk meminta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh

ditolak.”4
3F

Menurut Khalid Abdurrahman, amr merupakan kata yang menunjukan

permintaan untuk melakukan apa yang diperintahkan dari arah yang lebih tinggi

kepada yang lebih rendah. Maksud ungkapan yang lebih tinggi kedudukannya

3
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 49.
4
Kemal Muchtar, Ushul Fiqh Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 26.
dalam al-Qur’an adalah Allah, sebagai pemberi perintah, sedangkan yang lebih

rendah kedudukannya adalah makhluk sebagai pelaksana perintah. 5

2. Nahy

Lafadz nahy secara bahasa adalah ‫ ﺍﻟﻨﻬﻲ‬yang berarti larangan. Sedangkan

menurut istilah para ulama mendefinisikan nahi sebagai berikut:

‫ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻫﻮ ﻁﻠﺐ ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻣﻦ ﺍﻻﻋﻠﻰ ﺍﻟﻰ ﺍﺩﻧﻰ‬

“Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang

lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”. 6 5F

Khalid Abdurrahman mengartikan bentuk nahy sebagai perkataan atau

ucapan yang menunjukkan permintaaan berhenti dari suatu perbuatan, dari

orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. An-nahy meenurut Sayyid

Ahmad al-Hasyimi, merupakan tuntutan untuk mencegah berbuat sesuatu yang

datang dari atas. 7


6F

B. Bentuk-Bentuk Lafadz Amr dan Nahy

1. Ada beberapa bentuk amr yang terdapat dalam al-Qur’an: 8 7F

a. Perintah yang jelas-jelas menggunakan fi’il amr

Seperti dalam surat an-Nisa ayat 4:


5
Ahmad Izzan, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan
Makna-Kontekstual Ayat, (Bandung: Humaniora: 2009), hlm. 22.
6
Kamal Muchtar, op.cit., hlm. 46.
7
Ahmad Izzan, op.cit., hlm. 29.
8
Ibid., hlm. 23-25.
‫ﺴﺎ ﻓَ ُﻜﻠُﻮﻩُ َﻫﻨِﻴﺌًﺎ َﻣ ِﺮﻳﺌًﺎ‬
ً ‫ﺷ ْﻲءٍ ِﻣ ْﻨﻪُ ﻧَ ْﻔ‬ َ ‫ﺻﺪُﻗَﺎﺗِ ِﻬ ﱠﻦ ﻧِﺤْ ﻠَﺔً ﻓَﺈِ ْﻥ ِﻁﺒْﻦَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﻋ ْﻦ‬ َ ّ‫َﻭﺁﺗُﻮﺍ ﺍﻟ ِﻨ‬
َ ‫ﺴﺎ َء‬

“Dan berikanlah kepada perempuan (dalam perkawinan) mas kawinnya

dengan ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan

sebagian darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya

dengan senang hati.”

b. Kata perintah yang menggunakan fi’il mudhari’ (bentuk sedang atau akan

terjadi) yang didahului oleh lam amr

Seperti dalam surat Ali Imran ayat 104:

‫ﻋ ِﻦ ْﺍﻟ ُﻤ ْﻨﻜ َِﺮ َﻭﺃُﻭﻟَ ِﺌ َﻚ ُﻫ ُﻢ‬ ِ ‫َﻭ ْﻟﺘ َ ُﻜ ْﻦ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﺃ ُ ﱠﻣﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ِﺇﻟَﻰ ْﺍﻟ َﺨﻴ ِْﺮ َﻭﻳَﺄ ْ ُﻣ ُﺮﻭﻥَ ِﺑ ْﺎﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮ‬
َ َ‫ﻭﻑ َﻭﻳَ ْﻨ َﻬ ْﻮﻥ‬

‫ْﺍﻟ ُﻤ ْﻔ ِﻠ ُﺤﻮﻥ‬

“Hendaklah di antaramu ada segolongan orang yang mengajak kepada

kebaikan, menyuruh orang berbuat yang benar dan melarang perbuatan

mungkar. Itulah orang-orang yang beruntung.”

c. Kata kerja perintah yang berbentuk isim fi’il amr

Seperti dalam surat al-Maidah ayat 105:

ِ ‫ﺿ ﱠﻞ ِﺇﺫَﺍ ﺍ ْﻫﺘَﺪَ ْﻳﺘ ُ ْﻢ ِﺇﻟَﻰ ﱠ‬


‫� َﻣ ْﺮ ِﺟﻌُ ُﻜ ْﻢ َﺟ ِﻤﻴﻌًﺎ‬ َ ‫ﻀ ﱡﺮ ُﻛ ْﻢ َﻣ ْﻦ‬ َ ُ‫ﻋﻠَ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﺃ َ ْﻧﻔ‬
ُ َ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ َﻻ ﻳ‬ َ ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ‬

َ‫ﻓَﻴُﻨَ ِﺒّﺌ ُ ُﻜ ْﻢ ِﺑ َﻤﺎ ُﻛ ْﻨﺘ ُ ْﻢ ﺗ َ ْﻌ َﻤﻠُﻮﻥ‬

“Hai orang yang beriman, Jagalah dirimu sendiri. Orang yang sesat

tidaklah merugikan kamu jika kamu sudah mendapat petunjuk. Kepada

Allah kamu semua akan kembali. Kemudian diberitahukan kepadamu

mengenai apa yang sudah kamu lakukan.”


d. Kata kerja perintah berbentuk masdar pengganti fi’il

Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 83:

‫ﺴﺎﻧًﺎ َﻭﺫِﻱ ْﺍﻟﻘُ ْﺮﺑَﻰ َﻭ ْﺍﻟﻴَﺘ َﺎ َﻣﻰ‬


َ ْ‫�َ َﻭﺑِ ْﺎﻟ َﻮﺍ ِﻟﺪَﻳ ِْﻦ ﺇِﺣ‬
‫َﻭﺇِﺫْ ﺃ َ َﺧﺬْﻧَﺎ ِﻣﻴﺜَﺎﻕَ ﺑَﻨِﻲ ﺇِﺳ َْﺮﺍﺋِﻴ َﻞ َﻻ ﺗ َ ْﻌﺒُﺪُﻭﻥَ ﺇِ ﱠﻻ ﱠ‬

‫ﻴﻼ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻭﺃ َ ْﻧﺘ ُ ْﻢ‬


ً ‫ﺍﻟﺰﻛَﺎﺓ َ ﺛ ُ ﱠﻢ ﺗ ََﻮﻟﱠ ْﻴﺘ ُ ْﻢ ﺇِ ﱠﻻ ﻗَ ِﻠ‬ ‫ﺎﺱ ُﺣ ْﺴﻨًﺎ َﻭﺃَﻗِﻴ ُﻤﻮﺍ ﺍﻟ ﱠ‬
‫ﺼ َﻼﺓ َ َﻭﺁﺗُﻮﺍ ﱠ‬ ِ ‫ﻴﻦ َﻭﻗُﻮﻟُﻮﺍ ِﻟﻠﻨﱠ‬ َ ‫َﻭ ْﺍﻟ َﻤ‬
ِ ‫ﺴﺎ ِﻛ‬

َ‫ُﻣ ْﻌ ِﺮﺿُﻮﻥ‬

“Dan ingatlah ketika Kami menerima ikrar dari Bani Israil; tidak akan

menyembah selain Allah, berbuat baik kepada orang tua dan kerabat,

kepada anak yatim dan orang miskin dan berbudi bahasa kepada semua

orang; dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Tetapi, kemudian kamu

berbalik, kecuali sebagian kecil di antara kamu (masih juga) menentang.”

e. Kata kerja perintah yang berbentuk kalimat berita yang mengandung arti

perintah atau permintaan

Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 228:

َ ‫َﻭ ْﺍﻟ ُﻤ‬


ٍ‫ﻄﻠﱠﻘَﺎﺕُ ﻳَﺘ ََﺮﺑﱠﺼْﻦَ ِﺑﺄ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﻬ ﱠﻦ ﺛ َ َﻼﺛَﺔَ ﻗُ ُﺮﻭء‬

“Perempuan-perempuan yang dicerai harus menunggu tiga kali quru’.”

f. Kalimat yang mengandung kata amr, fardhu, kutiba (ditetapkan), dan ‘ala

yang berarti perintah.

1) Kata amr, seperti dalam surat an-Nisa ayat 58.

ِ ‫�َ ﻳَﺄ ْ ُﻣ ُﺮ ُﻛ ْﻢ ﺃ َ ْﻥ ﺗ ُ َﺆﺩﱡﻭﺍ ْﺍﻷ َ َﻣﺎﻧَﺎ‬


‫ﺕ ﺇِﻟَﻰ ﺃ َ ْﻫ ِﻠ َﻬﺎ‬ ‫ﺇِ ﱠﻥ ﱠ‬

”Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang

layak menerimanya…”
2) Kata fardhu, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 50.

ِ ‫ﻋﻠَ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﻓِﻲ ﺃ َ ْﺯ َﻭ‬


‫ﺍﺟ ِﻬ ْﻢ‬ َ ْ‫ﻗَﺪ‬
ْ ‫ﻋ ِﻠ ْﻤﻨَﺎ َﻣﺎ ﻓَ َﺮ‬
َ ‫ﺿﻨَﺎ‬

“...Kami tahu apa yang kami perintahkan kepada mereka mengenai

istri-istri mereka...”

3) Kata kutiba, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 183.

َ‫ﻋﻠَﻰ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﺒ ِﻠ ُﻜ ْﻢ ﻟَﻌَﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَﺘﱠﻘُﻮﻥ‬ ّ ِ ‫ﻋﻠَ ْﻴ ُﻜ ُﻢ ﺍﻟ‬


َ ِ‫ﺼﻴَﺎ ُﻡ َﻛ َﻤﺎ ُﻛﺘ‬
َ ‫ﺐ‬ َ ِ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ُﻛﺘ‬
َ ‫ﺐ‬

“Hai orang-orang yang beriman, berpuasa diwajibkan atasmu

sebagaimana telah diwajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya

kamu bertakwa.”

4) Kata ‘ala, seperti dalam surat Ali Imran ayat 97.

‫ﻋ ِﻦ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻏﻨِ ﱞ‬
َ َ� ً ‫ﺳ ِﺒ‬
‫ﻴﻼ َﻭ َﻣ ْﻦ َﻛﻔَ َﺮ ﻓَﺈِ ﱠﻥ ﱠ‬ َ ‫ﻉ ِﺇﻟَ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﻄﺎ‬ ِ ‫ﺎﺱ ِﺣ ﱡﺞ ْﺍﻟﺒَ ْﻴ‬
َ َ ‫ﺖ َﻣ ِﻦ ﺍ ْﺳﺘ‬ ِ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍﻟﻨﱠ‬ ِ ‫َﻭ ِ ﱠ‬
َ �

َ‫ْﺍﻟﻌَﺎﻟَ ِﻤﻴﻦ‬

“...Mengerjakan ibadah haji ke sana (Baitullah) meupakan kewajiban

manusia kepada Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup

mengadakan perjalanan ke sana, dan barangsiapa yang

mengingkarinya maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta

alam.”
2. Bentuk-bentuk Lafadz Nahy 9

Kata-kata yang menunjukan kepada larangan itu ada kalanya dalam bentuk:

a. Fi’il mudhari’ yang diseratai La nahyyah, seperti:

‫َﻻ ﺗ ُ ْﻔ ِﺴﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ْﺍﻷ َ ْﺭﺽ‬

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” (Q.S. al-

Baqarah: 11)

b. Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram, perintah meninggalkan

sesuatu perbuatan, seperti:

1) Menggunakan kata ‫ﺣﺮﻡ‬, seperti:

ّ ِ ‫�ُ ْﺍﻟﺒَ ْﻴ َﻊ َﻭ َﺣ ﱠﺮ َﻡ‬


‫ﺍﻟﺮﺏ‬ ‫َﻭﺃ َ َﺣ ﱠﻞ ﱠ‬

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-

Baqarah: 275)

2) Menggunakan kata ‫ﻧﻬﻰ‬, seperti:

‫ﻋ ْﻨﻪُ ﻓَﺎ ْﻧﺘ َ ُﻬﻮﺍ‬


َ ‫َﻭ َﻣﺎ ﻧَ َﻬﺎ ُﻛ ْﻢ‬

3) Menggunakan kata ‫ﺩﻉ‬, seperti:

ْ َ‫] َﻭ َﻻ ﺗ ُ ِﻄ ِﻊ ْﺍﻟﻜَﺎﻓِ ِﺮﻳﻦَ َﻭ ْﺍﻟ ُﻤﻨَﺎﻓِﻘِﻴﻦَ َﻭﺩ‬


{48 :‫ﻉ ﺃَﺫَﺍ ُﻫﻢ{ ]ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ‬

4). Menggunakan kata ‫ﺍﺗﺮﻙ‬, seperti:

{ 24 :‫] َﻭﺍﺗْ ُﺮ ِﻙ ْﺍﻟﺒَﺤ َْﺮ َﺭ ْﻫ ًﻮﺍ{ ]ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ‬

9
Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 260-261.
C. Kaidah-Kaidah Amr dan Nahy

1. Amr

a. Kaidah pertama: 10

‫ﺍﻻﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻻﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮﺏ ﻭﻻ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﺍﻻ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ‬

“Amr pada dasarnya menunjukkan arti wajib, kecuali adanya qarinah-

qarinah tersebut yang memalingkan arti wajib tersebut.”

Contoh:

‫] َﻭﺃ َ ِﻗﻴ ُﻤﻮﺍ ﺍﻟ ﱠ‬


‫ﺼ َﻼﺓ َ َﻭﺁﺗُﻮﺍ ﱠ‬
{77 :‫ﺍﻟﺰﻛَﺎﺓ{ ]ﺍﻟﻨﺴﺎء‬

“Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat.” (Q.S. an-Nisa: 77)

b. Kaidah kedua: 11
10F

‫ﺍﻻﻣﺮ ﺑﺎﻟﺸﻲء ﻳﺴﺘﻠﺰﻡ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺿﺪﻩ‬

“Amr atau perintah terhadap sesuatu berarti larangan akan kebalikannya.”

Contoh:

36 :‫َﻭﺍ ْﻋﺒُﺪُﻭﺍ ﷲ ]ﺍﻟﻨﺴﺎء‬

”Dan Sembahlahlah Allah...” (Q.S. an-Nisa: 36)

Perintah mentauhidkan Allah atau menyembah Allah berarti larangan

mempersekutukan Allah.

c. Kaidah ketiga:12 1F

‫ﺍﻻﻣﺮ ﻳﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻔﻮﺭ ﺍﻻ ﻟﻘﺮﻳﻨﺔ‬


10
Khalid bin Utsman as-Sabt, Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir, (Dar Ibnu al-Qim-Dar Ibnu
‘Affan, 2005), hlm. 18
11
Ibid.
12
Kamal Muchtar, Op.cit., hlm. 38.
“Perintah itu menghendaki segera dilaksanakan kecuali ada qarinah-

qarinah tertentu yang menyatakan jika suatu perbuatan tersebut tidak

segera dilaksanakan.”

Contoh:

‫ﻓَﺎ ْﺳﺘَﺒِﻘُﻮﺍ ْﺍﻟ َﺨﻴ َْﺮﺍﺕ‬

”...Berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan...” (Q.S. al-

Baqarah: 148)

d. Kaidah keempat:

12]‫]ﺍﻷﻣﺮ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻔﻮﺭ‬

“Suatu suruhan atau perintah itu tidak menghendaki kesegeraan

dikerjakannya.”

Contoh:

‫ﺎﺱ ﺑِ ْﺎﻟ َﺤ ّﺞ‬


ِ ‫َﻭﺃَﺫّ ِْﻥ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨﱠ‬

”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji (Q.S.Al-Hajj:27)

e. Kaidah kelima:13 12F

‫ﺍﻻﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻻﻣﺮ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﺘﻜﺮﺍﺭ‬

“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali

mengerjakan perintah), kecuali adanya qarinah atau kalimat yang

menunjukkan kepada pengulangan.”

‫ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﻜﺮﺍﺭ‬,‫ﻋ ِﻠّﻖ ﺍﻷﻣﺮ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ‬


ُ ‫ﺇﺫﺍ‬

13
Khalid bin Utsman as-Sabt, Op.cit., hlm. 18.
“Apabila mengaitkan perintah kepada syarat atau sifat maka sesungguhnya

menghendaki pengulangan.”

Contoh:

� َ ‫َﻭﺃَﺗِ ﱡﻤﻮﺍ ْﺍﻟ َﺤ ﱠﺞ َﻭ ْﺍﻟﻌُ ْﻤ َﺮﺓ‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Q.S. al-

Baqarah: 196)

f. Kaidah keenam:

‫ﺍﻷﻣﺮ ﺑﻌﺪﺍﻟﻨﻬﻲ ﻳﻔﻴﺪﺍﻻﺑﺎﺣﺔ‬

”Perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan.”

Contoh:

‫� َﻭﺫَ ُﺭﻭﺍ ْﺍﻟﺒَﻴْﻊ‬


ِ ‫ﺼ َﻼﺓِ ِﻣ ْﻦ ﻳَ ْﻮ ِﻡ ْﺍﻟ ُﺠ ُﻤﻌَ ِﺔ ﻓَﺎ ْﺳﻌَ ْﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ِﺫ ْﻛ ِﺮ ﱠ‬ َ ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻧُﻮﺩ‬
‫ِﻱ ِﻟﻠ ﱠ‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dipanggil untuk menunaikan

shalat pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah

dan tinggalkanlah jual beli...” )Q.S. al-Jumu’ah:9)

ِ ‫ﺼ َﻼﺓ ُ ﻓَﺎ ْﻧﺘَﺸ ُِﺮﻭﺍ ِﻓﻲ ْﺍﻷ َ ْﺭ‬


‫ﺽ َﻭﺍ ْﺑﺘَﻐُﻮﺍ ِﻣ ْﻦ ﻓَﻀ ِْﻞ ﷲ‬ ‫ﺖ ﺍﻟ ﱠ‬ ِ ُ‫ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻗ‬
ِ َ‫ﻀﻴ‬

”Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi

dan carilah karunia Allah...” (Q.S. al-Jumu’ah:10)

2. Nahy

a. Kaidah pertama:

‫ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻟﻠﺘﺤﺮﻳﻢ‬


“Pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang

dilarang).” 14

Atau dalam kitab lain disebutkan:

14 ‫ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﻭﺍﻟﻔﻮﺭ ﻭﺍﻟﺪﻭﺍﻡ ﺇﻻ ﻟﻘﺮﻳﻨﺔ‬15 F

“Nahi menghendaki atau menunjukkan haram, segera untuk dilarangnya,

kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang tidak menghendaki hal tersebut.”

Contoh:

ّ ِ ‫] َﻭ َﻻ ﺗ َ ْﻘ َﺮﺑُﻮﺍ‬
{32 :‫ﺍﻟﺰﻧﻰ{ ]ﺍﻹﺳﺮﺍء‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Q.S. al-Isra’: 32)

Lafadz nahi selain menunjukkan haram sesuai dengan qarinahnya juga

menunjukkan kepada arti lain 16, seperti:


15F

1) Doa ( ‫ ) ﺍﻟﺪﻋﺎء‬seperti:

‫ﺍﺧﺬْﻧَﺎ ِﺇﻥ ﻧﱠﺴِﻴﻨَﺎ‬


ِ ‫َﺭﺑﱠﻨَﺎ ﻻَ ﺗ ُ َﺆ‬

”Wahai Tuhan kami janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa

(Q.S.Al-Baqarah:286)

2) Irsyad ( ‫ ) ﺍﻻﺭﺷﺎﺩ‬memberi petunjuk seperti:

ُ َ ‫ﻋ ْﻦ ﺃ َ ْﺷﻴَﺎء ﺇِﻥ ﺗ ُ ْﺒﺪَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺗ‬


۱۰۱ ‫ﺴﺆْ ُﻛ ْﻢ‬ َ ْ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍْ ﻻَ ﺗ َ ْﺴﺄَﻟُﻮﺍ‬

14
Kamal Muchtar, Op.cit., hlm. 48.
15
Khalid bin Utsman as-Sabt, Op.cit., hlm. 19.
16
Andeni Suhartini, Ushul Fiqh, (Jakarta:Maktubullah,2012), hlm. 200.
”Wahai orng-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan

(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan

menyusahkanmu (Q.S.Al-Maidah:101)

3) Tahqiq ( ‫ )ﺍﻟﺘﺤﻘﻴﺮ‬menghina seperti:

۸۸- ‫ﻋ ْﻴﻨَﻴ َْﻚ ِﺇﻟَﻰ َﻣﺎ َﻣﺘ ﱠ ْﻌﻨَﺎ ِﺑ ِﻪ‬


َ ‫ﻻَ ﺗ َ ُﻤﺪ ﱠﱠﻥ‬

”Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada

kenikmatan hidup (Q.S.Al-Hijr:88)

4) Ta’yis ( ‫ ) ﻟﻠﺘﺎﻳﻴﺲ‬menunjukkan putus asa seperti:

۷- ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ َﻛﻔَ ُﺮﻭﺍ َﻻ ﺗ َ ْﻌﺘَﺬ ُِﺭﻭﺍ ْﺍﻟﻴَ ْﻮ َﻡ‬

”Janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini (Q.S.At-Tahrim:7)

b. Kaidah kedua:

‫ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻳﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ‬

“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad ( rusak).”

Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda:

‫ﻛﻞ ﺍﻣﺮ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ‬

“Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.

Contoh:

{11 :‫] َﻻ ﺗ ُ ْﻔ ِﺴﺪ ُﻭﺍ ﻓِﻲ ْﺍﻷ َ ْﺭﺽ{ ]ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...” (Q.S. al-Baqarah:

11)
c. Kaidah ketiga 17:

‫ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺊ ﺃﻣﺮﺑﻀﺪﻩ‬

“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.”

Contoh:

{ ‫ﺎﻥ ﻓَﺎ ْﺟﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ‬


ِ ‫ﻄ‬ ٌ ‫ﺎﺏ َﻭ ْﺍﻷ َ ْﺯ َﻻ ُﻡ ِﺭﺟ‬
َ ‫ْﺲ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﻤ ِﻞ ﺍﻟ ﱠﺸ ْﻴ‬ ُ ‫ﺼ‬َ ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ِﺇﻧﱠ َﻤﺎ ْﺍﻟ َﺨ ْﻤ ُﺮ َﻭ ْﺍﻟ َﻤ ْﻴﺴ ُِﺮ َﻭ ْﺍﻷ َ ْﻧ‬

90 :‫]ﺗ ُ ْﻔ ِﻠﺤُﻮﻥَ { ]ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan

keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar

kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Ma’idah: 90)

d. Kaidah keempat[21]:

‫ﺍﻻﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﺍﻟﻤﻄﻠﻖ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﻜﺮﺍﺭ ﻓﻲ ﺟﻤﻊ ﺍﻻﺯﻣﻨﺔ‬

“Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan

dalam setiap waktu.”

Contoh:

ّ ِ ‫] َﻭ َﻻ ﺗ َ ْﻘ َﺮﺑُﻮﺍ‬
{32 :‫ﺍﻟﺰﻧﻰ{ ]ﺍﻹﺳﺮﺍء‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Q.S. al-Isra’: 32)

Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu

atau sebab-sebab lainnya, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan

yang dilarang itu selamanya. Namun bila larangan itu dihubungkan dengan

17
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.183-184.
waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab, Seperti: Q.S.An-

Nisa’:43

٤۳- ‫َﺎﺭﻯ‬
َ ‫ﺳﻜ‬ُ ‫ﺼﻼَﺓ َ َﻭﺃَﻧﺘ ُ ْﻢ‬
‫ﻳَﺎ ﺃَﻳﱡ َﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍْ ﻻَ ﺗ َ ْﻘ َﺮﺑُﻮﺍْ ﺍﻟ ﱠ‬

”Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (Q.S.An-

Nisa’:43)
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Hakikat pengertian amr (perintah) adalah lafadz yang dikehendaki supaya

orang mengerjakan apa yang dimaksudkan. Bentuk lafadz amar bermacam-

macam diantaranya: fiil amar, fiil mudhari’ yang diawali lam amar, masdar

pengganti fiil, dan beberapa lafaz yang mengandung makna perintah seperti,

kutiba, amara, faradha, ‘ala. Selain itu, juga terdapat beberapa ragam (makna)

amr dan beberapa kaidah tentang amr, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Sedangkan Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan

meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi

tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuknya yaitu

fiil yang didahului oleh la nahiyah, beberapa lafaz yang mengandung makna

nahi. Selain itu, dijelaskan juga beberapa kaidah-kaidah nahi serta ragam

(makna) nahi, seperti yang telah dipaparkan di atas.


Daftar Pustaka

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ulum Al-Qur’an. Mansyurat Al-

Ash Al-Hadits. 1973.

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2005.

Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana. 2010.

Muchtar, Kemal. Ushul Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti

Wakaf. 1995.

Izzan, Ahmad. Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an: Menilik Keterkaitan

Bahasa-Tekstual dan Makna-Kontekstual Ayat. Bandung: Humaniora. 2009.

bin Utsman as-Sabt, Khalid. Mukhtashar fi Qawaid at-Tafsir. Dar

Ibnu al-Qim-Dar Ibnu ‘Affan. 2005.

Suhartini, Andeni. Ushul Fiqh. Jakarta: Maktubullah. 2012.

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011.

Anda mungkin juga menyukai