Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PPH PASAL 24

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:


ADHANI DIAFA
ADINDA MAHERA
WAHDAYANI

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
TAHUN AJARAN
2021/2022
Pengertian PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)

PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak wajib
pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai
pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia.

Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah
pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri
tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak di
luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda

Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar
pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, jenis pajak ini,
yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku untuk Anda.

Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak


Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak
bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha
tetap (BUT).

Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di Indonesia,
telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda kurang untuk
menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah terhutang
tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.

Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib pajak diharuskan
melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang bersangkutan.
Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24

Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24:

Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri sebesar
Rp 25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi pajak di luar
negeri sebesar 20%.

Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000 (Penghasilan dalam


negeri + penghasilan luar negeri)

Total PPh Terutang:

  25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000

PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:

  (Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total PPh Terutang

  (Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000=Rp 2.500.000.000

Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp
2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak
dalam negeri.

Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah
dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan.

Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri dan dokumen-
dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar negeri.
Koreksi PPh Pasal 24

Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas penghasilan terutang di luar
negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT Tahunan, dan menyebabkan pajak di luar negeri
tertera kurang bayar, maka akan berakibat kemungkinan PPh yang di Indonesia menjadi
kurang bayar.

Nah, untuk yang satu ini, wajib pajak bisa melakukan koreksi sendiri dengan melakukan
pembetulan atas SPT. Jika pembetulan sudah dilakukan, maka bunga terutang atas pajak
yang kurang dibayar tidak akan ditagih.

Jika koreksi yang terjadi menyebabkan penghasilan terutang luar negeri lebih kecil
daripada yang dilaporkan dalam SPT, maka akan menyebabkan laporan pajak luar negeri
lebih bayar.

Adanya koreksi ini mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil.
Akibatnya PPh kelebihan bayar. Kelebihan ini bisa dikembalikan setelah dilakukan
perhitungan dengan utang pajak yang lain.

Persyaratan Administratif Pengkreditan Pajak Luar Negeri

Seperti yang dikatakan pada poin sebelumnya, wajib pajak yang telah membayarkan
pajaknya di luar negeri, kemudian ingin mengkreditkannya di Indonesia, terlebih dahulu
harus menyampaikan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Permohonan kemudian dilaporkan bersamaan pada saat pelaporan SPT Tahunan dengan
melampirkan sejumlah dokumen yakni:

 Laporan keuangan dari luar negeri.


 Fotokopi SPT (Tax Return) yang dilaporkan di luar negeri.
 Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Demi meringankan beban pajak penghasilan yang diperoleh di luar negeri, maka
penghasilan yang diterima di luar negeri bisa dikreditkan terhadap pajak terutang atas
seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.

Lalu, apakah PPh Pasal 24 dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia?
Jawabannya, bisa. Akan tetapi pengenaan pajaknya harus dalam tahun yang sama. Selain
itu, besarnya kredit pajak yang dapat dikreditkan sama dengan pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri.
Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayarkan di Luar Negeri

Berikut ini poin-poin yang perlu Anda ketahui tentang mekanisme pengkreditan PPh
yang dibayarkan di luar negeri:

1. Pajak Penghasilan yang terutang di luar negeri dapat dikreditkan dengan PPh yang
terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam
tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan
penghasilan di Indonesia
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian
(Penghasilan dari luar negeri lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak)
4. Apabila m=penghasilan dari luar negeri dari beberapa negara, maka penghitungan
PPh pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara
5. Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat 2) dan/atau
penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri tidak dapat digabungkan dengan
penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri
6. Dalam hal jumlah PPh yang dibayarkan atau terutang di luar negeri melebihi PPh
Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di
tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi
7. Dalam melaksanakan pengkreditan PPh luar negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT
Tahunan PPh, dilampiri dengan:
o Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri,
o Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri,
o Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
8. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran seperti yang disebutkan di atas karena alasan-
alasan yang ada di luar kekuasaan wajib pajak
9. Dalam hal terjadinya perubahan besaran penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak perlu bahkan wajib melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan
perubahan tersebut
10. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang bayar, maka atas
kekurangan bayar tersebut tidak akan dikenakan sanksi bunga
11. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan
tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan
utang pajak lainnya.
Pengkreditan Pajak Penghasilan yang Telah Dipotong Atas Dividen

Proses pengkreditan pajak penghasilan yang telah dipotong atas dividen yang diterima
dari BULN Non-bursa terkendali langsung pada Tahun pajak dibayarkan/dipotong pajak
penghasilan tersebut.

Hal ini diatur dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Atas Penyetaraan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain
Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.

Kemudian, wajib pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak penghasilannya harus
menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar atau
dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan beberapa dokumen sebagai berikut:

 Laporan keuangan.
 Fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, dalam hal terdapat
kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
 Penghitungan atau rincian laba dalam 5 tahunan terakhir.
 Bukti pembayaran pajak penghasilan atau bukti pemotongan pajak penghasilan
atas dividen yang diterima.
Penyampaian penghitungan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT
Tahunan PPh.
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 640/KMK.04/1994
TENTANG
KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

bahwa sesuai dengan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun


1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

bahwa pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri dimaksudkan untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari luar negeri;

bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan
mengenai kredit pajak luar negeri dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat:

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara


Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara


Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459), dan dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3567);
Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;

Memutuskan:

Keputusan menteri keuangan republic Indonesia tentang kredit pajak luar negeri.

Pasal 1:

Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari
seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau oleh diperoleh dari luar
negeri.

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut : 

untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut;

untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan


tersebut;

untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat


(2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dilakukan dalam tahun pajak pada saat
perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak.

Pasal 2:

Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat Penghasilan yang berasal dari luar
negeri, maka Pajak Penghasilan Yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di
Indonesia.

Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setinggi-tingginya sama dengan
jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah
yang dihitung menurut perbandingan antar penghasilan dari luar negeri terhadap
Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena
Pajak, setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak
dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk masing-masing negara.

Pasal 3:

Dalam hal jumlah pajak penghasilan yang di bayar atau terutang di luar negeri melebihi
jumlah kredit pajak yang di perkenankan sebagaimana di maksud dalam pasal 2, maka
kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang
tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurangan penghasilan,
dan tidak dapat dimintakan resitusi.

Pasal 4:

Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri :

Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;

Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri;

Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukanbersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

Pasal 5:

Atas permohonan wajib pajak, direktur jendral pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran lampiran sebagaimana di maksud dalam pasal 4 karena alasan-
alasan di luar kekuasan wajib pajak.

Pasal 6:

Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib
Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak
yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan
tersebut.
Apabila karena pembetulan tersebut pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan
kurang dibayar,maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.

Apabila karena pembetulan tersebut pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan lebih
dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini di tetapkan oleh jendral pajak

Pasal 8

Dengan berlakunya keputusan ini maka keputusan menteri keuangan Nomor:


217/KMK.04/1986 tanggal 3 april 1986, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1995, agar setiap orang mematuhinya
memerintahkan pengumuman keputusan ini dengan penempatananya dalam berita Negara
republic Indonesia.
PENGGABUNGAN PENGHASILAN YANG PPH NYA NON
FINAL

Tahap yang pph nya Non Final, banyak sekali kita temui fenomena suami-istri yang
sama-sama bekerja. Jika tahap demikian, tahap yang didapat tentunya tak bisa
dihindarkan dari pajak tahap. Terlebih jika pasangan pasangan-istri tersebut telah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pernah melaporkan pajaknya sebelum
menikah. Apa yang harus dilakukan?

Ada satu kasus dimana terdapat pasangan-istri yang sama-sama bekerja dan sama-sama
memiliki NPWP sendiri. Namun, pelaporan pajak, pajak yang didasarkan oleh istri
tanggung jawab bayar. Mengapa demikian? Sama suami, istri juga tarif pajak progresif
dimana hal ini hanya dikenakan 1 orang dari setiap keluarga.

Masalah diatas kebanyakan terjadi karena ketidaktahuan saat istri memutuskan memiliki
NPWP yang terpisah dari NPWP suami. Walaupun hal ini bisa terjadi karena kurangnya
sosialisasi petugas pajak dalam penerapan aturan terbaru, pengetahuan tentang pengenaan
pajak bagi suami-istri menjadi salah satu hal yang penting diketahui sebelum menikah.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) nomor 36 tahun 2008
kenyataan bahwa tahapan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabung sebagai
satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh
kepala keluarga (dalam hal ini suami). Dari sini, bisa dikatakan bahwa sistem pengenaan
pajak di Indonesia yang menyebutkan bahwa kesatuan ekonomi, dan kewajiban NPWP
dipegang atas nama suami.

Oleh karena itu, tahap dan kerugian istri akan tahap sebagai tahap dan kerugian suami
juga, sehingga dikenai pajak atau tarif pajak progresif seperti yang diatas. Namun jika
tahap istri hanya didapat satu pemberi kerja dan tidak ada yang bersangkutan dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami, maka tidak akan digabung. Dengan catatan tersebut
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja. Penghasilan istri tersebut akan dilaporkan dalam
laporan Surat pemberitahuan (SPT) tahunan, bukan dalam kolom induk. Yaitu dalam
kolom: Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan / atau bersifat Final.
Mungkinkah Suami Istri Kewajiban Pajak Yang Terpisah, Dimana Istri Memiliki NPWP
Sendiri?
Pasal 8 ayat (2) UU PPh pembantuan dapat dikenakan secara terpisah dengan tiga kondisi
suami-istri yang bekerja sebagai berikut:

Pertama: Suami-istri telah berpisah (bercerai), pajaknya otomatis mulai dikenakan secara


terpisah. Biasanya tanggungan anak akan tergantung perjanjian, apakah anak tersebut ikut
suami atau istri.

Kedua: Berdasarkan perjanjian tertulis pisah harta oleh suami-istri (perjanjian harta gono-
gini)

Ketiga: Istri ingin melaksanakan hak dan kewajiban pajak dari suami, meski tidak ada
perjanjian tertulis pisah harta. Terlebih jika istri diharuskan memiliki NPWP pribadi
untuk hal lain semacam bank pinjaman, cicilan rumah, dsb. Ilustrasi kasus diatas
termasuk dalam kategori ini. Sebagai konsekuensinya, sang istri juga harus dikenakan
pajak progresif.
Dasar Penghitungan Pajak Bagi Suami-Istri
Ketika istri dalam status menikah memiliki NPWP sendiri maka pengenaan pajaknya
diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh, yaitu tahapan neto suami-istri digabung kemudian
besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut dihitung sesuai perbandingan gaji neto
mereka. Berikut contoh perhitungannya:
Ada pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak, dimana NPWP hanya dimiliki oleh
suami. Penghasilan netto tahun 2015 yang diperoleh pasangan sebesar Rp. 75.000.000
Sedangkan tahap netto istri dalam pedoman sebesar Rp. 60.000.000 Besaran potongan
pajak yang di potong oleh perusahaan dapat diketahui sebagai berikut:

Suami

Penghasilan Netto          75.000.000


PTKP (K / 0)          26.325.000
Penghasilan Kena Pajak         48.675.000
PPh terutang terutang            2.433.750

Istri

Penghasilan Netto          60.000.000


PTKP (TK / 0)          24.300.000
Penghasilan Kena Pajak          35.700.000
PPh terutang terutang            1.785.000
 Karena NPWP istri berbeda dengan pasangan NPWP, maka penghitungan PPh
terutangnya digabung.
 
Penghasilan suami istri digabung

Penghasilan netto suami          75.000.000


Penghasilan netto istri          60.000.000
Tahap total netto        135.000.000
PTKP (K / I / 0)          50.625.000
Total Penghasilan Kena Pajak          84.375.000
PPh terutang terutang

5% x 50.000.000            2.500.000


15% x 34.375.000            5.156.250
Total PPh terutang terutang            7.656.250

Perhitungan untuk di SPT tahunan PPh suami

PPh terutang

(75.000.000 / 135.000.000) x 7.656.250            4.253.472


Kredit pajak PPh 21            2.433.750
PPh bayar            1.819.722
Angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya                151.644

Perhitungan untuk di SPT tahunan PPh istri

PPh terutang

(60.000.000/135.000.000)x 7.656.250            3.402.778


Kredit pajak PPh 21            1.785.000
PPh kurang bayar            1.617.778
Angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya                134.815
 
Dari ilustrasi di atas dapat dilihat jika istri memiliki NPWP sendiri ada kekurangan pajak
sebesar Rp. 3.437.500,- yang harus dibayar suami dan istri. Belum lagi nantinya tiap
bulan harus sisihkan sebagian penghasilan untuk bayar angsuran PPh Pasal 25 total
sebesar Rp. 286.458,-. Sementara jika NPWP hanya dimiliki oleh suami maka tidak ada
kekurangan pajak, karena angka tersebut telah dipotong perusahaan suami.
Dengan adanya kasus diatas, pengetahuan tentang pajak suami-istri yang bekerja
merupakan hal penting yang harus diketahui oleh calon pasangan sebelum
menikah. Apakah mereka telah melihat plus-minus jika istri memiliki NPWP sendiri atau
cukup NPWP suami saja. Permohonan penghapusan NPWP menjadi salah satu hal
penting yang dilakukan pasangan setelah resmi menikah agar di bulan yang sama mereka
tidak dikenakan pajak progresif.

Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong


hutang pajak Indonesia sebagai berikut:
1.Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan
saham dan surat berharga lainnya.
2.Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-
benda bergerak.

3.Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak


bergerak.

4.Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.

5.Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.

6.Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan.

7.Keuntungan dari pengalihan aset tetap.

8.Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap
(BUT).

Jika nilai pajak di luar negeri yang telah digunakan sebagai kredit pajak di Indonesia,
telah berkurang atau dikembalikan, sehingga nilai kredit akan berkurang untuk menutup
pajak terutang yang ada di sini, maka harus membayar jumlah terutang tersebut ke kantor
pelayanan pajak Indonesia.

Sedangkan apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib pajak
diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang bersangkutan.

PPh Pasal 24 (3)


PAJAK yang dibayar atau terutang di luar negeri (PPh Pasal 24) atas penghasilan dari
luar negeri yang dapat dikreditkan hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak.
Dalam UU PPh, metode kredit yang digunakan adalah metode kredit terbatas
(ordinary/normal  tax credit method), yaitu metode kredit pajak yang memberikan
keringanan pajak berganda internasional, di mana jumlah pajak yang dibayar di luar
negeri dapat dikurangkan namun tidak boleh melebihi jumlah pengurangan pajak yang
dihitung berdasarkan undang-undang domestik.
Mekanisme pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri dijelaskan lebih lanjut dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 (KMK 164/2002) tentang
Kredit Pajak Luar Negeri. Teknis proses pengkreditan pajak luar negeri diatur dalam
Pasal 2, yakni sebagai berikut:

 PPh Pasal 24 dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang di Indonesia.


 PPh Pasal 24 dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar
negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
 Jumlah kredit pajak yang boleh dikreditkan paling tinggi sama dengan jumlah
pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah
tertentu.
 Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud di atas dihitung menurut perbandingan
antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP)
dikalikan dengan pajak yang terutang atas PKP, paling tinggi sama dengan pajak
yang terutang atas PKP dalam hal PKP lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
 Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
 PKP yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan/atau penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat 1 dan 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) tidak dapat
digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari dalam negeri
maupun dari luar negeri.
 Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh
Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di
tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat
direstitusi.

Pengurangan atau Pengembalian PPh Pasal 24


Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di
luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih
kecil daripada kredit pajak luar negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri pada tahun
terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.
Sementara itu, dalam Pasal 4 KMK 164/2002, dikatakan bahwa untuk melaksanakan
pengkreditan PPh Pasal 24, wajib pajak diharuskan menyampaikan permohonan ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh,
dilampiri dengan

 Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri


 Foto kopi SPT yang disampaikan di luar negeri
 Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.

Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib
pajak.
Kemudian, Pasal 6 KMK 164/2002 menjelaskan dalam hal terjadi perubahan besarnya
penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka wajib pajak harus melakukan pembetulan
SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang
berkenaan dengan perubahan tersebut.
SITUASI 1
APABILA  karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan adanya tambahan
penghasilan yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri
menjadi lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang
terutang di luar negeri menjadi kurang bayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak
dikenakan sanksi bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU PPh.
Contoh:
Tuan A memiliki penghasilan dari luar negeri sebesar Rp1.000.000.000, penghasilan
dalam negeri Rp2.000.000.000. Kendati demikian, setelah adanya koreksi penghasilan
luar negeri Tuan A mengalami perubahan menjadi Rp2.000.000.000. Pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri dikenakan tarif 40%. PPh Pasal 25 yang dibayar
oleh Tuan A sebesar Rp500.000.000. Berapa PPh terutang Tuan A sebelum dan sesudah
terjadinya koreksi fiskal di luar negeri?
Jawab:
1. Versi SPT Normal

SPT (dalam rupiah)

a. Penghasilan Luar Negeri    1.000.000.000


b. Penghasilan Dalam Negeri 2.000.000.000

c. Penghasilan Kena Pajak (a+b)    3.000.000.000

d. PPh Terutang:

 5% x 50.000.000 = 2.500.000

15% x 200.000.000 = 30.000.000

25% x 250.000.000 = 62.500.000

30% x 2.500.000.000 = 750.000.000

Jumlah PPh Terutang 845.000.000

e. Kredit Pajak Luar Negeri (1.000.000.000/3.000.000.000)x845.000.000 281.666.667

f. PPh harus dibayar       563.333.333

g. PPh Pasal 25         500.000.00

h. PPh Pasal 29 63.333.333

 2. Versi SPT Pembetulan

SPT PEMBETULAN (dalam rupiah)

a. Penghasilan Luar Negeri 2.000.000.000


b. Penghasilan Dalam Negeri 2.000.000.000

c. Penghasilan Kena Pajak (a+b)    4.000.000.000

d. PPh Terutang:

 5% x 50.000.000 = 2.500.000

15% x 200.000.000 = 30.000.000

25% x 250.000.000 = 62.500.000

30% x 3.500.000.000 = 1.050.000.000

Jumlah PPh Terutang 1.145.000.000

e. Kredit Pajak Luar Negeri 2.000.000.000/4.000.000.000)x1.145.000.000 572.500.000

f. PPh harus dibayar 572.500.000

g. PPh Pasal 25 500.000.000

h. PPh Pasal 29 72.500.000

i. PPh yang masih harus dibayar            9.166.66

Atas perhitungan di atas, terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp9.166.667
tidak ditagih bunga.
SITUASI 2
APABILA karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan penghasilan dan pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan
dalam SPT tahunan,  sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar yang mengakibatkan
pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, maka pajak
penghasilan pun menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat
dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak.
Contoh:
Tuan B memiliki penghasilan dari luar negeri sebesar Rp1.000.000.000, penghasilan
dalam negeri Rp2.000.000.000. Kendati demikian, setelah adanya koreksi penghasilan
luar negeri Tuan B mengalami perubahan menjadi Rp500.000.000. Pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri dikenakan tarif 40%. PPh Pasal 25 yang dibayar
oleh Tuan A sebesar Rp500.000.000. Berapa PPh terutang Tuan A sebelum dan sesudah
terjadinya koreksi fiskal di luar negeri?
Jawab:
1. Versi SPT Normal

SPT (dalam rupiah)

a. Penghasilan Luar Negeri      1.000.000.000

b. Penghasilan Dalam Negeri     2.000.000.000

c. Penghasilan Kena Pajak (a+b)      3.000.000.000

d. PPh Terutang:

 5% x 50.000.000 = 2.500.000

15% x 200.000.000 = 30.000.000

25% x 250.000.000 = 62.500.000

30% x 2.500.000.000 = 750.000.000


Jumlah PPh Terutang        845.000.000

e. Kredit Pajak Luar Negeri (1.000.000.000/3.000.000.000)x845.000.000     281.666.667

f. PPh harus dibayar 563.333.333

g. PPh Pasal 25 500.000.000

h. PPh Pasal 29 63.333.333

2. Versi SPT Pembetulan

SPT PEMBETULAN (dalam rupiah)

a. Penghasilan Luar Negeri          500.000.000

b. Penghasilan Dalam Negeri      2.000.000.000

c. Penghasilan Kena Pajak (a+b)      2.500.000.000

d. PPh Terutang:

 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000

15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000

25% x Rp250.000.000 = Rp62.500.000

30% x Rp2.000.000.000 = Rp600.000.000


Jumlah PPh Terutang        695.000.000

e. Kredit Pajak Luar Negeri (500.000.000/2.500.000.000)x695.000.000       139.000.000

f. PPh harus dibayar          556.000.000

g. PPh Pasal 25          500.000.000

h. PPh Pasal 29            56.000.000

i. PPh yang masih harus dibayar               7.333.333

Dengan perhitungan seperti di atas, maka PPh yang lebih dibayar sebesar Rp7.333.333
dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.
Setelah sebelumnya pembahasan mengenai PPh Pasal 24 telah dijabarkan dalam beberapa
bagian, maka pada bahasan berikutnya akan diberikan contoh perhitungan PPh Pasal 24
sebagai bahasan terakhir dari materi PPh Pasal 24.*

Anda mungkin juga menyukai