PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak Penghasilan Pasal 24 Adalah Pajak yang dipungut di luar negeri atas penghasilan wajib
pajak di luar negeri.Pajak yang dibayar di luar negeri atas penghasilan luar negeri yang
diperoleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang
dalam tahun pajak yang sama, sebesar pajak yang dibayarkan diluar negeri tersebut tetapi
tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan UU No. 10 Tahun 1994.
Untuk itu harus dicari batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN).
Pasal 26 UU PPh adalah Pajak yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha
tetap (BUT) di Indonesia. Sesuai dengan pasal 26 ayat (1) UU PPh pengahasilan ini dipotong
dari penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri dan dibayarkan oleh badan
pemerintah, Subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap.
1.3 Tujuan
Tujuan utama dari pembuatan makalah ini adalah sebagai bahan pembahasan dalam
diskusi mata kuliah perpajakan
1
BAB II
PEMBAHASAN
B. Batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN) diambil yang terendah dari ketiga
unsur berikut:
1. Jumlah Pajak yang dibayar / terutang di luar negeri
2. Penghasilan Luar Negeri x PPh Terutang yang biasa digunakan
Penghasila Kena Pajak
3. Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal
penghasilan kena pajaknya lebih kecil dari penghasilan luar negerinya.
Catatan
1. Jika Pajak Penghasila
2. n Luar Negeri yang diminta untuk dikreditkan itu ternyata dikembalikan
maka jumlah pajak yang terutang menurut undang-undang ini harus
ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengembalian tersebut
dilakukan.
3. Jika Penghasilan Luar Negeri berasal dari beberapa negara maka jumlah
maksimum KPLN dihitung untuk masing-masing negara.
4. Untuk kerugian yang diderita di luar negeri tidak diperhitungkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak. Penghasilan dari Luar Negeri untuk
tahun-tahun berikutnya dapat dikompensasikan dengan kerugiaan tersebut.
5. Dalam hal pajak dibayarkan di luar negeri lebih besar dari kredit pajak
yang diperkenankan (PPh Pasal 24), maka kelebihan tersebut tidak dapat :
Diminta Kembali
Di Kompensasikan
Sebagai Pengurang Penghasilan.
C. Cara mencari pajak penghasilan pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri
1. Cari Penghasilan Kena Pajak (PKP) PKP = PNDN(Penghasilan Netto Dalam
Negeri) + PNLN (Penghasilan Netto Luar Negeri)
Catatan :
Jika DN (Dalam Negeri) rugi diperhitungkan sebagai pengurang dalam
menghitung PKP
2
Jika LN (Luar Negeri) rugi tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam
menghitung PKP (diabaikan)
2. Cari Pajak Penghasilan Terutang (PPh Terutang) Dari Penghasilan Kena Pajak
(PKP)
3. Cari Pajak yang telah dibayar di Luar Negeri (%Pjk yang dikenakan di Luar
Negeri x Besarnya penghasilan di Luar Negeri)
4. Cari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) :
KPLN = Penghasilan Luar Negeri x PPh terutang
Penghasilan Kena Pajak
5. Bandingkan antara Pajak yang telah dibayar di Luar Negeri (poin 3) dengan
kredit Pajak Luar Negeri (poin 4), lalu pilih yang terendah.
6. Jumlahkan poin 5 untuk mencari besarnya PPh Pasal 24 yang dapat
dikreditkan.
3
6. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri :
Rp 75.000.000 + Rp 112.000.000 = Rp 187.000.000
D. PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri, maka seluruh penghasilan wajib pajak tersebut digabungkan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
1. Untuk penghasilan dari usaha, yang dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut
2. Untuk penghasilan lainnya yang dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut
3. Untuk penghasilan berupa deviden yang diperoleh wajib pajak dalam negeri atas
penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor, atau
secara bersama-sama dengan wajar dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya sebesar
50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
deviden tersebut.
Contoh :
PT. LOLA di Madiun dalam tahun pajak 1997 menerima dan memperoleh
penghasilan netto dari sumber luar negeri sebagai berikut :
4
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan
penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 1996 adalah penghasilan pada
huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d, digabungkan
dengan penghasilan dalam negeri tahun pajak 1997.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/ dipotong atas
penghasilan yang bersumberdari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak(WP)
luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) diIndonesia. Yang berhak/ wajib memotong
Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Badan Pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri;,
Penyelenggara Kegiatan; BUT; Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selainBUT di
Indonesia.
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri berupa
a) dividen,
b) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian hutang,
c) premi swap,dan transaksi lindung lainnya
d) royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
e) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan,
f) hadiah dan penghargaan,
g) pensiun dan pembayaran berkala lainnya
h) Keuntungan karena pembebasan utang
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa
a) penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
b) premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara company atau special purpose company yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia
dengan negara pihak pada persetujuan. Dalam pasal 26 ayat (1) dijelaskan bahwa tarif
domestik pemotongan untuk pasal 26 UU PPh adalah sebesar 20% dan bersifat final
(dua puluh persen) kecuali antara Indonesia dengan negara asal Wajib Pajak Luar
5
Negeri tersebut terdapat Tax treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda), maka tarif pajak PPh Pasal 26 dikenakan berdasarkan Tarif Pajak PPh
Pasal 26 berdasarkan Tax treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda)
tersebut. Oleh karena itu sangat penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh
Pasal 26 kepada Wajib Pajak Luar Negeri untuk mengetahui apakah Wajib Pajak luar
negeri tersebut berasal dari negara yang mempunyai Tax treaty atau P3B (Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda) dengan Indonesia atau tidak. Tax treaty dibedakan
bedasarkan apakah penghasilan tersebut termasuk active income (seperti; jasa) atau
passive income (seperti; dividen, bunga, royalti). Apabila termasuk passive income
maka tax treaty dapat berbentuk reduce rate atau penguran tariff, sehingga tariff bisa
< 20% (kurang dari 20%). Sedangkan yang termasuk active income akan dilihat
terlebih dahulu apakah ada badan usaha tetap (BUT) atau tidak. Jika tidak ada maka
bentuk tax treaty-nya adalah tidak adanya pemotongan pasal 26 UU PPh. Namun, jika
ada maka, tidak ada tax treaty karena hal ini bukan termasuk dalam kategori Pasal 26
UU PPh
C. Saat Terutang, Cara Pemotongan/ Penyetoran dan SPT Masa Pajak Penghasilan
Pasal 26
Ketentuan saat terutang, cara pemotongan/ penyetoran dan SPT Masa Pajak Penghasilan
Pasal 26 adalah sebagai berikut:
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3.
a) Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri.
b) Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak.
c) Lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan
lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling
lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal
10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
6
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia
E. Pengecualian dari PPh pasal 26
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia
dengan syarat:
a) dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b) dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c) tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-
kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Kasus ke-1
7
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pada Pasal 24 UU PPh merupakan suatu bentuk dalam pengindaran pajak berganda,
yaitu Pajak Penghasilan yang telah dibayarkan di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan
ketentuan. Indonesia melakukan metode pengkreditan pajak dengan cara Ordinary Tax
Credit, yaitu adanya batas maksimum dalam menentukan KPLN yaitu diambil yang terendah
dari ketiga unsur berikut, yaitu Jumlah Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri,
(Penghasilan Luar Negeri / Penghasilan Kena Pajak ) X PPh Terutang, dan jumlah PPh
terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan) Bentuk pengkreditan
pajak merupakan suatu hak dari Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga Wajib Pajak Dalam
Negeri dalam mengkreditkan Pajak Penghasilan yang telah dibayar diluar negeri harus
mengetahui tata cara dan ketentuan yang mengatur hal tersebut. Secara ringkas, pengkreditan
pajak berdasarkan ketentuan Pasal 24 UU PPh harus memenuhi tiga syarat, yaitu
penghitungan Penghasilan dari Luar Negeri dan Penghasilan dari Dalam Negeri terkait
dengan Active Income dan Passive Income, kerugian yang terjadi di Luar Negeri tidak dapat
diperhitungkan dalam Penghasilan Netto Dalam Negeri dan Luar Negeri, serta apabila
Penghasilan dari Luar Negeri berasal dari beberapa Negara maka penghitungan KPLN tidak
dapat dihitung sekaligus.
Disisi lain, Pasal 26 UU PPh membahas tentang pemotongan pajak dari penghasilan
Wajib Pajak luar negeri yang diterima dari Wajib Pajak dalam negeri selain bentuk usaha
tetap dengan tariff 20% dari penghasilan tersebut kecuali terdapat perjanjian antara Indonesia
dengan negara asal Wajib Pajak Luar Negeri tersebut, maka tarif pajak PPh Pasal 26
dikenakan berdasarkan Tarif Pajak PPh Pasal 26 berdasarkan Tax treaty atau P3B
(Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) seperti reduce rate dan tidak dikenakanya
pemotongan pasal 26 UU PPh.
8
DAFTAR ISI
http://www.pandupajak.org/content/pph-pasal-24/
http://erwinbpph24.blogspot.com/
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal 26
https://sites.google.com/site/referensipajak/pph-ps-26