Anda di halaman 1dari 12

MOLEKULAR DOCKING

Dalam molekular docking aktivitas senyawa ditunjukkan dengan harga energi ikatan
senyawa dengan reseptor, yang dinyatakan dalam nilai Rerank Score(Hincliffe, 2008). Rerank
score yang diinterpretasikan sebagai prediksi interaksi ikatan antara obat dan reseptor. Energi
ikatan rendah menunjukkan interaksi obat-reseptor yang paling stabil, dan diprediksi
mempunyai aktivitas biologis yang paling tinggi (Chan & Labute, 2010)
RMSD (Root Mean Square Deviation) adalah parameter yang digunakan untuk
mengevaluasi kemiripan dua buah struktur. Kemiripan tersebut diukur bedasarkan perbedaan
jarak atom sejenis. Nilai RMSD yang adalah yang kurang dari lima.
Pada praktikum yang telah dilakukan, dapat dilihat nilai RMSD terendah
yaitu pada senyawa Co-crystal ligand reseptor 5F1A dengan nilai RMSD terbaik yaitu
0,868864. Sedangkan pada senyawa lain, nilai RMSD lebih dari lima. Sehingga dapat
dikatakan nilai RMSD pada percobaan ini kurang baik.
Selain RMSD, parameter lain yang dapat dilihat adalah nilai rerank score. Rerank score
terendah berada pada senyawa Co-crystal ligand reseptor 5F1A dengan ligan COH yang
mempunyai nilai -174, 751. Sedangkan untuk nilai rerank score tertinggi berada pada senyawa
Co-crystal ligand reseptor 5F1A dengan ligan SAL yang mempunyai nilai -60,8561. Hal
tersebut menunjukkan bahwasannya senyawa Co-crystal ligand reseptor 5F1A dengan ligan
COH mempunyai aktivitas paling tinggi disbanding senyawa uji lainnya.
3) Ikatan Hidrogen
Ikatan hydrogen merupakan salah satu jenis interaksi dipol-dipol yang terbentuk antra
suatu proton dari gugus X-H (X adalah suatu atom elektronegatif) dengan elektronegatif lain
(Y) yang mempunyai pasangan electron bebas. Ikatan hydrogen dalam suatu molekul yang
terbentuk signifikan jika X dan Y adalah N, O, atau F. X menarik kerapata electron dari
hydrogen sehingga hydrogen bermuatan parsial positif. Hydrogen yang bermuatan parsial
positif akan ditarik dengan kuat oleh pasangan electron bebas yang terdapat pada atom Y.
(Rollando, 2017)
Ada dua macam ikatan hydrogen yaitu ikatan hydrogen intramolekuler dan ikatan
hydrogen intermolekuler. Ikatan hydrogen intramolekuler lebih kuat dibandingkan dengan
ikatan intermolekuler. Ikatan hydrogen cukup penting untuk aktivitas biologis sebagai contoh
pada metil salisilat , menjaga integritas struktur DNA.(Rollando, 2017)
Analisis interaksi protein-ligan dalam data bank protein menunjukkan bahwa gugus
karboksil memiliki dua tipe ikatan yang berbeda: tipe interaksi dengan kelat antara suatu atom
karboksil oksigen dan atom nitrogen dari muatan berbagai residu asam amino. Hal ini terjadi
karena kekuatan ikatan hydrogen yang terbentuk antara gugus fungsi donor dan aseptor proton
dengan sifat elektrostatik. (Muchtaridi,dkk. 2018)
Meskipun kekuatan ikatan hydrogen lebih lemah daripada ikatan ion atau kovalen, pada
umunya ikatan hydrogen berkontribusi secara dominan terhadap rekognisi molekul. Ikatan
hydrogen juga membantu menentukan konformasi sejumlah makromolekul. Muchtaridi,dkk.
2018)
Pada praktikum kali ini dilakukan penambatan molekul pada struktur Kristal salisilat yang
terikat dengan siklooksigenase-2 pada manusia (5F1A) yang didapat dari protein data bank
(pdb). Pertama yang dilakukan adalah mencari cavity dan co ligand reseptor 5F1A. Dari hasil
docking senyawa 5F1A dilihat ikatan hydrogen yang ada pada senyawa tersebut. Kemudian
pada docking kedua senyawa 5F1A dengan asam asetil salisilat juga terdapat ikatan hydrogen.
Selanjutnya pada docking ketiga antara senyawa 5F1A dengan p-nitroasetanilida juga terdapat
ikatan hydrogen. Hasil ikatan hydrogen antara beberapa anggota kelompok berbeda. Perbedaan
tersebut terjadi karena tergantung dengan laptop yang digunakan dan juga kinerja dari
masingmasing laptop. Untuk hasil dari ikatan hydrogen dapat dilihat pada table hasil.

SINTESIS ASAM ASETIL SALISILAT

TITIK KRITIS
Titik kritis yang perlu diperhatikan dalam praktikum kali ini adalah :
1. Penyaringan filtrate hasil sintesis. Proses penyaringan diusahakan bebas dari zat pengotor karena
akan mempengaruhi hasil sintesis

2. Pengeringan filtrate hasil sintesis dilakukan dengan suhu yang tepat dan dipastikan benar-benar
kering

3. Penambahan berat dan volume masing-masing senyawa yang digunakan sebagai katalis .

KESIMPULAN
Kesimpulan dari praktikum sintesis asam asetil salisilat adalah reaksi pembuatan asetosal berupa
reaksi esterifikasi dan reaksi rekristalisasi. Reaksi esterifikasi adalah reaksi perubahan asam
karboksilat dan alcohol menjadi ester menggunakan katalis asam. Reaksi rekristalisasi adalah teknik
pemurnian suatu zat dari pengotor menggunakan cara mengkristalkan kembali.Pada praktikum ini
diperoleh hasil rendemen kasar 81,88% dan rendemen akhir 51,88%. Pada pengujian dengan KLT
didapatkan nilai Rf berada dalam rentang yang baik karena tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari
0,8 cm sehingga dapat dinyatakan senyawa terpisah dengan baik.

Sintesis p-Nitroasetanilida

Pembahasan Cara Kerja

a. Penambahan Asam Asetat Glasial dan Asam Sulfat Pekat


Pada prakrikum sintesis p-nitroasetanilida dilakukan penambahan asam asetat glasial yang berfungsi
atau digunakan sebagai pelarut. Karena asetanilida memiliki kelarutan yang besar terhadap asam
asetat sehingga reaksi akan berlangsung dengan baik. Selain itu juga dilakukan penambahan asam
sulfat pekat yang berfungsi untuk mempercepat kelarutan dan juga berfungsi sebagai katalis. Adanya
panas yang dihasilkan dari asam sulfat akan mempercepat kelarutan.
b. Pendinginan dengan Air Es

Pendinginan pada praktikum sintesis p-nitroasetanilida ini bertujuan untuk mencgah terjadinya reaksi
oksidadi pada gugus karbonil sehingga asetanilida tidak berubah. Hal tersebut bisa terjadi karena
asetanilida akan disubtitusi oleh elektrofil. Asam sulfat akan memberikan energy sehingga
menimbulkan konjugasi dalam asetanilida dan menggeser tingkat energy ke daerah visible yaitu pada
daerah warna jingga. Sehingga warna larutan yang dihasilkan adalah jingga.
c. Pencampuran Asam Nitrat dan Asam Sulfat Pekat

Pencampuran antara asam sulfat dan asam nitrat dilakukan dengan perbandingan yang sama yaitu 1
ml. Perbandingan tersebut dibuat sama karena apabila asam sulfat maka akan ada reaksi sulfonasi
yang terjadi sehingga produk tidak murni dan molekul yang dihasilkan berkurang. Pencampuran
keduanya dilakukan dalam keadaan dingin dan harus berhati-hati untuk meminimalisir resiko karena
adanya panas dari reaksi eksotermik. Pencampuran ini bertujuan agar asam nitrat berubah menjadi
elektrofil akibat adanya asam sulfat. Berikut adalah reaksinya :
Asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4) ketika bereaksi akan membentuk ion nitronium dan air.
Dimana nantinya akan bereaksi dengan asetanilida membentuk para nitroasetanilida dan H 3O+
sebagai produk sampingnya. Ion nitronium ini merupakan pengarah orto dan para. Kemungkinan
terbentuknya para lebih besar daripada orto karena isomer para (p) dapat membentuk kisi Kristal
yang lebih teratur dan lebih simetris dalam keadaan padat daripada isomer orto. Sehingga keadaan
atau bentuk para lebih stabil dari pada bentuk orto.
d. Proses Penetesan Campuran Nitrasi

Hasil larutan yang dihasilkan akan diteteskan tetes demi tetes dan suhunya tetap dijaga agar tidak
melibihi 10℃. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar proses nitrasi pada asetanilida dapat
berlangsung dengan sempurna. Pencampuran larutan juga dilakukan dengan tujuan supaya terjadi
reaksi subtistusi elektrolik. Subtitusi elektrolik pada cincin aromatic asetanilida dan deprotonisasi
akan membentuk p-nitroasetanilida.
e. Proses Pendiaman Selama Satu Jam

Proses pendiaman ini bertujuan untuk optimasi kristal p-nitroasetanilida yang diperoleh agar reaksi
dapat berlangsung hingga tidak ada sisa bagi reaktan dan produk yang dihasilkan akan mendekati
sempurna, dengan kata lain supaya reaksi berlangsung secara sempurna. Perlakuan ini juga berfungsi
untuk pembentukan Kristal.
f. Penuangan Kedalam Air Es

Penuangan kedalam air es akan mempercepat pembentukan Kristal karena semakin rendah suhu yang
digunakan maka akan semakin cepat Kristal yang terbentuk. Karena energy dari dalam orbital yang
berikatan akan terlepas sehingga electron akan lebih cenderung dalam keadaan ground state.
g. Pengadukan Perlahan dan Pendiaman Selama 15 Menit

Pengadukan dilakukan untuk mempercepat proses reaksi dan sirkulasi udara ke larutan akan semakin
bertambah sehingga dapat mempercebat berkurangnya suhu. Sedangkan pendiaman selama 15 menit
dilakukan agar pembentukan Kristal dapat optimal.
h. Penyaringan dan Pencuncian Kristal dengan Air

Penyaringan dengan menggunakan corong bucher dan pompa vakum bertujuan untuk memisahkan
pengotor dengan residu yang nantinya akan diambil sebagai produk yang lebih murni. Sedangkan
pencucian dengan menggunakan air bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa asam dan untuk
melarutkan o-nitrpasetanilida yang larut dalam air.
i. Rekristalisasi dengan Etanol-Air (2:5)

Residu yang sudah didapatkan kemudian dilarutkan dengan menggunakan etanol yang panas. Hal
tersebut bertujuan untuk membentuk larutan kembali dan memisahkan pengotor yang mungkin masih
ikut terikat dalam Kristal atau dengan kata lain agar kristal yang diperoleh benar-benar murni dan
bebas dari pengotor. Etanol sendiri bersifat polar sehingga akan lebih mudah untuk mensolfasi p-
nitroasetanilida sehingga akan cenderung untuk membentuk produk yang lebih murni. P-
nitroasetanilida dalam etanol sukar larut tetapi dalam etanol panas Kristal p-nitroasetanilida dapat
larut. Sedangkan jika etanol dalam keadaan dingin dapat melarutkan o-nitroasetanilida. Oleh karena
itu dalam keadaan dingin Kristal p-nitroasetanilida akan terbentuk kembali dan o-nitroasetanilida
akan tertinggal dalam filtrate.
j. Pengeringan dengan Oven

Pengeringan dengan oven ini dilakukan untuk menghilangkan pelarut yang mungkin masih
menempel pada Kristal. Sehingga akan dihasilkan rendemen yang murni dari berat kristalnya.

TITIK KRITIS

1. Perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut, pelarut harus inert atau tidak mengontaminasi
senyawa

2. Melakukan prosedur kerja dengan teliti agar kristal yang didapat benar-benar kristal yang
diinginkan (tidak ada pengotor atau bahkan terbentuk kristal dari senyawa yang tidak diinginkan)

3. Perlu diperhatikan terdapat proses yang dilakukan pada suhu tertentu. Upayakan sesuai dengan
prosedur agar produk yang dihasilkan merupakan kristal p-nitroasetanilida bukan p-nitroanilin

KESIMPULAN
Kesimpulan dari praktikum sintesis p-Nitroasetanilida adalah reaksi pembuatannya berupa reaksi
nitrasi dan reaksi rekristalisasi. Reaksi nitrasi adalah memasukkan satu atau lebih gugus nitro/ nitril
ion (NO2+) dengan mensubsitusi atom hidrogen atau atom/ gugus lainnya, misalnya halida, sulfonat,
dan asetil ke dalam suatu senyawa organik. Ion nitronium (NO 2+) berasal dari reagen asam nitrat
dengan katalis asam sulfat. Asam sulfat berperan sebagai donor proton dan juga mempercepat reaksi
nitrasi. Reaksi rekristalisasi adalah teknik pemurnian suatu zat dari pengotor menggunakan cara
mengkristalkan kembali. Pada praktikum ini diperoleh hasil rendemen kasar 81,48 % dan rendemen
akhir 33,80%. Pada pengujian dengan KLT didapatkan nilai Rf berada dalam rentang yang baik
karena tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari 0,8 cm sehingga dapat dinyatakan senyawa terpisah
dengan baik.

Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Target dengan Kolom Kromatografi

Tahapan Kromatografi Kolom dan Proses Mekanisme Pemisahan


Pada praktikum pemisahan dan pemurnian senyawa target diawali dengan penimbangan silika gel
sebanyak 100 kali bobot sampel. Setelah itu pembuatan fase gerak atau eluen yang terdiri dari
kloroform, methanol dengan perbandingan 2:1 sebanyak 90 ml. Pemilihan fase gerak disesuaikan
dengan sifat kepolaran sampel. Silika yang digunakan ditambahkan dengan eluen ± 2cm di atas
permukaan silika gel, kemudian dilakukan pengocokan secara perlahan dan merata. Sebelum
penuangan silika gel, dilakukan penyemprotan etanol di dinding luar kromatografi untuk
menyamakan tekanan udara yang terdapat di dalam maupun luar kolom kromatografi. Silika gel
yang telah diberi eluen, dimasukkan dengan hati-hati ke dalam kolom kromatografi yang bagian
bawahnya telah diberi kapas. Penambahan kapas pada dasar kolom dimaksudkan untuk menahan
silika gel agar tidak ikut terbawa oleh eluen. Sebelum memasukkan kapas kedalam eluen, kapas
tersebut dicelupkan terlebih dahulu ke dalam eluen untuk menghilangkan udara karena jika
terdapat udara maka dapat menyebabkan cracking yang mempengaruhi hasil dari eluasi. Kolom
tersebut kemudian didiamkan selama 30 menit untuk memampatkan dan membuatnya homogen
(memiliki kepadatan yang sama) untuk meminimasiliri terjadinya cracking atau keretakan. Apabila
kolom tidak retak, eluen ditambahkan 0,5 cm di atas permukaan silika gel dan apabila retak, maka
perlu mengulang dari awal. Kemudian sampel methyl green dan methyl yellow ditambahkan.
Sampel yang ditambahkan yaitu sebanyak 1% dari bobot silika gel. Setelah itu, eluen ditambahkan.
Eluen dialirkan dan ditampung dalam beaker glass (eluen ini belum membawa sampel, sehingga
dapat digunakan kembali sebagai fase gerak). Selanjutnya kran dibuka dan ditampung dalam vial
yang telah diberi nomor masing-masing. Lakukan penggantian vial tiap terjadi perubahan warna
(pita warna). Penambahan eluen dilakukan saat tepat berada di atas silika gel pada kromatografi
kolom. Pemilihan vial pada setiap perubahan warna dilakukan pada vial yang memiliki warna
signifikan. Beberapa vial tersebut dipilih untuk dilakukan uji KLT untuk melihat noda yang
dihasilkan. Senyawa yang keluar lebih dulu dari kolom kromatografi memiliki sifat nonpolar, dan
senyawa yang tertahan memiliki sifat yang lebih polar. Pada uji KLT, fase diam yang digunakan
adalah silika gel F254. Sedangkan fase geraknya menggunakan campuran kloroform dan methanol
dengan perbandingan 2:1. Fase gerak tersebut didiamkan hingga jenuh. Selanjutnya, senyawa yang
terdapat dalam vial ditotolkan pada silika gel F254. Kemudian dimasukkan ke dalam eluen/ fase
gerak yang sudah jenuh. Setelah selesai, diangkat dan dikeringkan. Kemudian dilakukan deteksi
bercak atau noda menggunakan sinar UV. Setelah didapatkan noda, maka dapat dihitung nilai
Rfnya.
Hasil Pemisahan dengan Menggunakan Kromatografi Kolom Sampel yang digunakan dalam
pemisahan ini adalah Metil Yellow dan Metil Green. Dari hasil pemurnian tersebut diambil sampel
pada nomor 1, 5, 9, 13 dan 15. Jarak yang dihasilkan pada sampel 1, 5 dan 9 adalah 4,2 cm dan pada
sampel 13 & 15 adalah 1,3 dengan jarak yang ditempuh pelarut adalah 4,5. Nilai Rf yang diperoleh
pada sampel 1, 5 dan 9 adalah 0,93 sedangkan pada sampel 13 dan 15 adalah 0,29. Dari kelima
sampel yang dipilih tersebut sudah mewakili semua sampel yang didapatkan. Kromatografi kolom
ini memisahkan campuran berdasarkan perbedaan interaksinya dengan fase diam dan fase gerak.
Dimana salah satu sifat yang berpengaruh adalam kepolaran senyawa. Fase diam yang digunakan
adalah silica gel yang bersifat polar. Suatu komponen yang memiliki kepolaran yang tinggi maka
ketika dilakukan kromatografi kolom dengan fase diam yang polar maka akan terjadi interaksi yang
cukup besar antara sampel dengan fase diam. Akibatnya komponen tersebut akan tertahan pada
fase diam lebih lama ketika proses elusi, sedangkan komponen yang bersifat lebih non polar akan
lebih cepat melewati fase diam. Dari video praktikum diketauhi bahwa Metil Green keluar terlebih
dahulu dan dari perhitungan nilai Rf nya lebih besar, maka dapat disimpulkan bahwa Metil Green
bersifat lebih non polar dari Metil Yellow. Hal ini karena Metil Yellow bersifat lebih polar sehingga
akan tertahan pada fase diam dan menhasilkan nilai Rf yang lebih kecil. Hasil pemisahan
kromoatografi kolom juga menunjukan terjadinya pemisahan dan pemurnian antara Metil Yellow
dan Metil Green, karena nilai Rf yang dihasilkan kedua sampel berbeda jauh. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi parameter pemisahan, yaitu sebagai berikut : 1. Faktor retardasi Merupakan
fraksi analit pada fase gerak di kolom kromatografi. Faktor retardasi ini disebut sebagai Rf. Dimana
Rf ini dihitung dengan cara mengukur panjang eluasi dibagi dengan panjang jarak pada KLT
(pelarut). 2. Faktor kapasitas Merupakan rasio waktu analit fase diam dibandingkan waktu analit
fase gerak. Ada beberapa keutungan dalam penggunaan kromatografi kolom, yaitu sebagai berikut:
1. Dapat digunakan untuk sampel atau konstituen yang sangat kecil
2. Cukup selektif untuk senyawa organic multi komponen
3. Murah dan sederhana karena tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit (Alimin, 2007:75)
Selain kebelihan, kromatografi kolom juga mempunyai kekurangan yaitu sebagai berikut : 1. Perlu
eluasi secara bertahap agar semua fase gerak yang digunakan akan habis dan ditampung pada
wadah yang berbeda 2. Perlu waktu yang lama (time consuming)
TITIK KRITIS
 Jumlah silika gel harus sebanyak 100 kali bobot sampel
 Pastikan Kolom tidak retak dengan menunggu selama 30 menit
 Untuk dites pada KLT gunakan hasil pemisahan yang memiliki warna yang signifikan
 Pastikan Aliran kran tidak terlalu cepat ataupun terlalu lamban
 Semprotkan dinding luar kromatografi sebelum digunakan dengan etanol
 Silika gel yang digunakan perlu dicek terlebih dahulu, apakah silika gelnya bebas air atau tidak.
Oleh karena itu, sebelum dialiri eluen sebaiknya silika gel dipanaskan terlebih dahulu di dalam oven
dengan suhu 100°C dan didinginkan secara perlahan untuk menghindari keretakan pada kolom yang
disebabkan oleh adanya air.
 Kolom yang digunakan harus bebas air. Kolom dicuci terlebih dahulu dengan air sabun, kemudian
dibilas oleh pelarut yang mudah menguap, dikeringkan dengan hairdryer. Kemudian, ujungnya
diberi kapas dan dibasahi dengan eluen yang digunakan pertama kali.
 Kemurnian eluen yang digunakan harus cukup tinggi.
 Volume tiap vial yang digunakan harus sama.
 Sebelum sampel ditampung dalam vial, ditimbang terlebih dahulu bobot vial kosong karena hal ini
dapat memengaruhi hasil rendemennya.
 Dilakukan penyemprotan menggunakan etanol untuk mendinginkan kolom karena silika gel dapat
menyebabkan panas pada kolom sehingga terjadi cracking.
 Untuk senyawa-senyawa visible, biasanya menggunakan panjang gelombang UV 400-800 nm.

KESIMPULAN Metode pemisahan merupakan aspek penting dalam dibidang analisis karena
kebanyakan sampel yang akan dianalisis berupa campuran. Untuk memperoleh senyawa murni dari
suatu campuran, harus dilakukan proses pemisahan. Produk sintesis yang telah diperoleh dari
proses rekristalisasi tidak selalu dalam keadaan murni dan tunggal, tergantung pereaksi yang
digunakan dan reaksi yang dialami. Reaksi yang menghasilkan produk tunggal akan lebih mudah
untuk dilakukan isolasi produk, sedangkan yang menghasilkan lebih dari satu produk ataupun sisa
bahan awal akan sulit dimurnikan hanya dengan rekristalisasi. Oleh karena itu, upaya yang dapa
dilakukan untuk mendapat senyawa target yang murni adalah dengan kolom kromatografi.
Kesimpulan pada praktikum kali ini dari hasil KLT bisa dikatakan bahwa telah terjadi pemisahan dan
pemurniaan antara metil yellow dan metil green. Karena, nilai Rf yang dihasilkan kedua sampel
berbeda jauh. Sampel metil green bersifat lebih non polar karena nilai Rf nya lebih besar.
Sedangkan sampel metil yellow bersifat lebih polar karena nilai Rf nya lebih kecil akibat tertahan di
fase diam.
IDENTIFIKASI SENYAWA TARGET DENGAN
SPEKTROFOTOMETER IR

a. Melting Point dan Prinsip Kerja

Melting point adalah nilai termal yang digunakan untuk memberikan ciri khas pada termal. Melting
point biasa disebut dengan istilah titik lebur. Titik lebur suatu zat adalah suhu dimana terjaid
perubahan state dari padat ke cair. Titik lebur suatu senyawa menunjukan kemurnian dari senyawa
tersebut. Perbedaan jarak lebur kurang dari 20 ℃ menunjukan senyawa tersebut murni. Sebaliknya
jika rentang lebih besar dari harga tersebur maka dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut kurang
murni dan dapat dilakukan tahap pemurnian lebih lanjut seperti rekristalisasi. Pada senyawa yang
memiliki berat molekul yang hamper sama, senyawa lebih polar dan struktur molekulnya lebih
simetris mempunyai titik lebur yang lebih tinggi. Titik lebur yang ada pada literature biasanya dalam
bentuk range titik lebur. Dalam bidang farmasi suatu senyawa obat murni dapat ditentukan
kemurnianya dengan jalan penentuan titik leburnya. Selain itu, penentuan titik lebur dari bahan suatu
obat #uga digunakan dalam pembuatan sediaan obat erutama obat yang diberikan melalui rektal dan
diperlukan dalam cara penyimpanan suatu sediaan obat agar tidak mudah rusak pada suhu kamar
tertentu Nilai titik lebur asetosal dan p-nitroasetanilida menurut literature adalah sebagai berikut :
• • Nilai titik lebur asam asetil salisilat (asetosal) adalah 135 ℃ (Lenggana D.T, 2010)

• • Nilai titik lebur p-nitroasetanilisa adalah 213 – 215℃ (Chemical Book)

Alat yang biasa digunakan untuk menentukan melting point/titik lebur dari suatu senyawa adalah
Melting Point Apparatus. Prinsip kerja dari melting point apparatus adalah pertama menyalakan
melting point dengan memutas suhu 20℃ permenit. Kedua, ketika suhu pada thermometer sudah
mencapai 60℃ dari titik lebur atau titik leleh pada suatu senyawa murni yang telah ditetapkan oleh
ilmuan, maka pemutar suhunya diturunkan hingga mencapai 10 ℃ permenit. Ketiga, jika suhunya
sudah mencapai suhu titik lebur atau titik leleh pada suatu senyawa murni yang telah ditetapkan oleh
ilmuan, maka pada pemutar suhu harus diputar kekiri hingga 1 ℃ permenit.

b. Identifikasi Senyawa Target dengan Titik Lebur


Penentuan titik lebur dengan menggunakan alat melting point tester dilakukan dengan menggunakan
pipa kapiler dengan ujung tertutup. Langkah pertama senyawa yang diuji dimasukan kedalam pipa
kapiler. Sembari Kristal senyawa uji dimasukan, pipa kapiler diketuk-ketuk agar Kristal senyawa uji
dapat berada pada dasar pipa kapiler dan kompak. Pipa kapiler dimasukan kedalam alat melting point
dan diset suhu pada alat yang mendekati atau ± 10 ℃ dibawah suhu lebur. Kemudian diamati melalui
kaca pembesar yang berada pada alat tersebut dari Kristal uji mulai melebur hingga telah meleleh
seluruhnya, lalu dicatat jarak suhu lebur dari Kristal. Berdasarkan hasil praktikum, Kristal asam asetil
salisilat (Asetosal) mulai melebur pada suhu 130 ℃ dan melebur pada suhu 131 ℃. Sedangkan
berdasarkan literature titik lebur asam asetil salisilat (Asetosal) adalah 135 ℃ (menurut EPA
DSSTox, HSDB, HMDB, ICSC) atau 275°F (menurut CAMEO Chemicals dan OSHA). Adanya
perbedaan titik lebur hasil praktikum dengan literature bisa disebabkan karena adanya pengotor yang
terdapat pada Kristal uji. Adanya pengotor yang sedikit larut dalam padatan yang meleleh biasanya
akan menghasilkan suatu daerah pelelehan yang besar dan menurunkan suhu dimana akan terjadi
pelelehan tersebut (Suprianto dkk, 2017). Tidak sesuainya dengan literature dimungkinka karena
adanya senyawa-senyawa selain asam asetil salisilat yang masih tertinggal selama proses sintesis
seperti asam salisilat atau asam asetat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Kristal asam asetil salisilat
yang disintesis kurang murni.
Sedangkan pada p-nitroasetanilida didapatkan hasil, Kristal murni melebur pada suhu 213 ℃ dan
melebur sempurna pada suhu 214℃. Pada literature p-nitroasetanilida melebur pada suhu 214℃.
Sedangkan menurut Chemical Book, Sigma-Aldirch, dan Parchem pada suhu 213-215 ℃. Dimana
hasil percobaan titik lebur p-nitroasetanilida masih masuk rentang titik lebur pada literature, tetapi p-
nitroasetanilida pada saat percobaan mulai melebur pada suhu 213 ℃ dimana hal ini masih pada
rentang Kristal yang dikatakan murni menurut Suprianto dkk (2017) yaitu antara 0,5 – 1,0 ℃.
Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil sintesis p-nitroasetanilida dapat dikatakan bahwa Kristal yang
diperoleh telah murni.

KESIMPULAN
Spektrofotometri IR adalah suatu metode yang digunakan untuk mengamati interaksi molekul dengan
bantuan radiasi sinar pada daerah inframerah. Senyawa organik selain menyerap sinar UV, juga
menyerap sinar infrared/ infra merah. Senyawa organik hanya dapat mengalami rotasi dan vibrasi.
Energi radiasi infra merah yang diserap oleh molekul menyebabkan kenaikan amplitudo getaran dari
atom-atom yang terikat sehingga molekul berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Ukuran atom,
panjang dan kekuatan ikatan bervariasi dalam molekul sehingga frekuensi di mana ikatan tertentu
menyerap radiasi infra merah akan berbeda pada rentang ikatan dan mode getaran.
Melting point adalah nilai termal yang digunakan untuk memberikan ciri khas pada termal. Titik
lebur suatu senyawa menunjukan kemurnian dari senyawa tersebut. Menurut literatur, nilai titik lebur
asetosal adalah 135℃ (Lenggana D.T, 2010) dan p-nitroasetanilida adalah 213 – 215℃ (Chemical
Book).

Anda mungkin juga menyukai