DISUSUN OLEH:
Aulia Azmi Marcellinov Ramadhan (2106734890)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2022
A. KASUS
B. ANALISIS
2. Bentuk kesalahan
Menurut saya bentuk tindak pidana yang terjadi di dalam kasus adalah
kesengajaan. Menurut Pompe, jika ditinjau dari teori pengetahuan
menjelaskan bahwa kesengajaan berarti kehendak untuk berbuat dengan
mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang,
sedangkan di dalam teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang
diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam
undang undang. Kemudian, masih menurut Pompe, syarat kesengajaan adalah
menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Ia mengatakan bahwa
kedua syarat tersebut bersifat mutlak untuk mengkategorikan suatu perbuatan
sebagai kesengajaan.
Jika melihat dari apa yang dijabarkan oleh Pompe, kasus yang dilakukan
oleh ISL telah memenuhi unsur-unsur kesengajaan. ISL memiliki kehendak
untuk melakukan penjambretan, hal itu ditunjukkan dengan adanya fakta
bahwa penjambretan yang dilakukan oleh ISL telah benar-benar terjadi.
Akibat dari yang dikehendaki oleh ISL juga terwujud, yaitu untuk
memiliki barang dari orang lain. Selain itu, ISL juga diketahui tidak memiliki
gangguan kejiwaan sehingga ia bisa dikatakan telah berbuat dengan
mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam undang-undang. Hal
lainnya, di dalam Pasal 362 KUHP terdapat unsur “dengan maksud” yang
diartikan sebagai rumusan perbuatan kesengajaan.
Adapun kasus tersebut termasuk ke dalam macam kesengajaan sebagai
maksud (opzet als oogmerk). Opzet als oogmerk merupakan kesengajaan
untuk mencapai suatu tujuan. Di dala Opzet als oogmerk, motivasi seseorang
melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud. Dalam
kasus ini ISL ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membeli narkotika.
Hal tersebut dilakukan dengan upaya penjambretan. Oleh karena itu,
perbuatan yang dilakukan oleh ISL berhasil terwujud karena ia menjual
barang hasil curian untuk dijual dan dibelikan kebutuhannya.
Adapun bentuk dolus dari kasus tersebut adalah Dolus determinatus.
Dolus determinatus merupakan perbuatan pidana yang ditujukan kepada suatu
objek tertentu. Artinya, jika dikaitkan dengan kasus ISL, ISL dikatakan
mencuri akibat ada barang yang dicuri. Oleh karena itu, barang yang dicuri
oleh ISL merupakan suatu objek tertentu. Oleh karena itu, menurut saya kasus
penjambretan yang dilakukan oleh ISL merupakan Dolus determinatus.
3. Unsur melawan hukum
Menurut Pompe, melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum.
Akan tetapi tidak hanya sebatas bertentangan dengan undang-undang. Selain
dari peraturan yang tertulis, harus diperhatikan aturan-aturan yang tidak
tertulis. Dalam konteks hukum di Indonesia, yang termasuk dalam peraturan
tidak tertulis adalah hukum adat dan norma-norma yang dianut oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan kasus ini, menurut
saya sifat melawan hukum dalam kasus ini terdiri atas unsur formil dan
unsur materiil.
Menurut Simons, dalam suatu peristiwa, untuk dapat dipidana suatu
perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam suatu ketentuan tertulis
dalam undang-undang pidana. Jika sudah demikian tidak perlu lagi diselidiki
apakah perbuatan itu melawan hukum ataukah tidak. Unsur formil (formeel
wederrechtelijkheid) berarti semua bagian (unsur-unsur) dari rumusan
delik telah dipenuhi. Oleh karena itu, ISL telah memenuhi bagian dari
unsur-unsur seperti yang telah disebutkan di atas. ISL telah memenuhi unsur
formil dari sifat melawan hukum.
Selanjutnya dalam kasus ini terakndung unsur materiil (materieel
wederrechtelijkheid). Unsur melawan hukum materiil mengandung arti
perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang akan
diatur oleh pembuat undang-undang dalam delik tertentu. Unsur melawan
hukum materiil juga bisa diartikan bertentangan dengan aturan tidak
tertulis yang hidup dalam masyrakat, dalam hal ini adalah nilai dan norma
yang dianut. Tindakan ISL yang menjambret atau mengambil barang milik
orang lain secara sewenang-wenang merupakan tindakan yang jelas
bertentangan dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Oleh karena
itu, kasus ISL telah memenuhi unsur melawan hukum materiil.
4. Ajaran Kausalitas
Hubungan kausalitas berbicara mengenai sebab-musabab dari suatu
akibat. Demikian, Simons menyatakan bahwa terjadinya akibat yang
merupakan delik karena adanya suatu kelakuan atau keadaan di luar kelakuan
negatif. Jika dianggapada hubungan kausalnya itu hanya jika ditimbulkan oleh
musabab, maka tentunya hubungan kausal dengan sesuatu kelakuan negatif
sukar diterima. Intinya, suatu perbuatan kausalitas sangat mungkin jika
musabab yang menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana.
Hubungan kausalitas dipakai dalam menentukan pertanggungjawaban
untuk delik-delik materiil (de leer van de causaliteit). Hal tersebut karena
akibat yang ditimbulkan merupakan unsur delik. Sebagai contoh, delik
pembunuhan. Oleh karena itu, hubungan kausalitas berfokus kepada akibat
yang ditimbulkan. Jika akibat yang ditimbulkan tidak terumus dalam delik,
maka menurut saya sulit untuk menentukan hubungan kausalitas.
Kaitan dengan kasus ini ISL dikenai Pasal 362 KUHP. Telah diketahui
bersama bahwa Pasal 362 KUHP merupakan delik formil, yaitu delik yang
menitikberatkan pada perbuatan. Oleh karena itu, hemat saya dalam kasus ini
tidak memerlukan ajaran kausalitas untuk menganalisis kejadian-kejadian
lebih lanjut.
5. Jenis-jenis delik
Istilah ‘delik’ merupakan istilah pengganti ‘perbuatan pidana’. Oleh
karenanya delik bisa dikatakan sebagai perbuatan pidana. Menurut van
Bemelen dan van Hattum perbuatan pidana hanya terdiri dari elemen perbuatan
pidana yang tertulis saja (bestandeel). Oleh karena itu, delik hanyalah rumusan
dari tindakan yang diatur dalam peraturan secara tertulis. Masih menurut van
Bemelen dan van Hatum:
“perbuatan-perbuatan konkret yang masuk dalam rumusan delik adalah
merupakan sekumpulan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya
diancam dengan pidana.”
Adapun jenis-jenis delik yang ada dalam kasus ini adalah:
i. Kejahatan
Tappan menyebutkan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan
sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan
bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang ditetapkan
oleh negara. Kemudian, dalam perspektif hukum pidana disebutkan
bahwa kejahatan bisa dikatakan sebagai mala in se. Mala in se adalah
perbuatan yang sejak awal telah diketahui bertentangan dengan
kaidah-kaidah atau norma dan nilai yang terdapat di masyarakat,
sebelum ditetapkan oleh undang-undang sebagai perbuatan pidana.
Bisa dikatakan bahwa tindakan jambret merupakan kegiatan
mencuri yang mana hal tersebut tidak diinginkan dan tidak sesuai
dengan nilai atau norma yang terkandung di masyarakat. Oleh karena
tindakan tersebut telah dipercaya merupakan tindakan yang ditentang
oleh masyarakat sejak awal, maka bisa dikatakan penjambretan
merupakan bentuk kejahatan.
ii. Delik formil
Delik formil (formeel delict) adalah delik terjadi dan selesai pada
waktu perbuatan-perbuatan yang bersangkutan dilakukan. Artinya,
delik formil lebih menitikberatkan kepada ‘tindakan’ dibanding
‘akibat’. Oleh karena itu, delik formil merumuskan suatu tindakan
yang tidak memperhatikan akibat yang ditimbulkan dari tindakan
tersebut.
Pada kasus ini, pelaku dikenakan Pasal 362 KUHP. Pasal 362
KUHP merupakan contoh delik formil. Hal tersebut karena perbuatan
yang ditekankan oleh pasal itu mengenai tindakannya. Di dalam delik
ini tidak menghiraukan apakah perbuatan pencurian itu menimbulkan
akibat atau tidak, sehingga pelaku penjambretan tetap bisa dikenakan
pasal tersebut walaupun barang yang dijambret akan dikembalikan di
kemudian hari.
iii. Delik komisi
Delik komisi (delicta comissionis) adalah tindakan delik yang
dilakukan secara aktif. Artinya, pelaku melakukan perbuatan yang
dilarang oleh suatu undang-undang. Jika disangkutkan dengan kasus
ini, maka kasus penjambretan merupakan delik komisi. Pelaku
melakukan aksinya dengan berbuat aktif dalam mengambil barang
milik orang lain.
iv. Delik konkret
Delik konkret merupakan perbuatan yang menimbulkan bahaya
langsung terhadap korban dan dapat dirumuskan secara formil maupun
materiil. Penjambretan merupakan tindakan yang menimbulkan bahaya
secara langsung terhadap korbannya. Oleh karena itu, kasus ini bisa
dikatakan ke dalam delik konkret.
v. Delik Umum
Delik umum atau delicta communia adalah delik yang dapat
dilakukan oleh siapapun. Kasus penjambretan yang dilakukan oleh ISL
adalah delik umum. Kasus pencurian sejatinya merupakan delik umum
karena setiap orang dapat dikenakan delik tersebut. Hal tersebut
berkaitan dengan unsur “barangsiapa” yang terdapat dalam rumusan
dari Pasal 362 KUHP. Unsur tersebut mencakup subjek perseorangan
(natuurlijke persoon) yang dapat dikenakan pasal tersebut.
vi. Delik biasa
Tindakan pencurian/penjambretan seperti yang dilakukan oleh
ISL merupakan delik biasa (gewone delict). Di dalam Pasal 362 KUHP
tidak diatur mengenai hal-hal yang harus dilakukan oleh korban agar
kasus itu dapat diproses. Artinya, kasus ini dapat ditindak tanpa adanya
pengaduan terlebih dahulu oleh korban, yang mana merupakan delik
biasa.
6. Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus
delicti)
Di dalam tempus delicti dikenal beberapa arti penting, yaitu berkaitan
dengan asas legalitas. Penting untuk diketahui apakah perbuatan pidana yang
telah dilakukan termasuk ke dalam perbuatan pidana atau tidak. Dalam asas
legalitas terkandung juga asas lex temporis delictie yang menjelaskan bahwa tiap
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang harus diadili menurut ketentuan
pidana yang ada saat itu. Kemudian, harus diketahui bahwa saat melakukan
perbuatan pidana, terdakwa merupakan orang yang mampu atau tidak mampu
bertanggung jawab. Hal berikutnya, pada saat terjadinya tindak pidana tersebut
haruslah diketahui apakah terdakwa telah cukup umur. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan untuk bertanggung jawab.
Analisis:
Dalam kasus ini diketahui bahwa ISL dijerat dengan Pasal 362 KUHP.
Hal tersebut juga menjelaskan bahwa ISL dapat dijatuhi hukuman karena
perbuatannya dilakukan setelah terbentuknya aturan yang dibuat terlebih dahulu
(tidak berlaku surut). Selain itu, tindak pidana yang terdapat dalam kasus ini
sesuai dengan asas lex temporis delicti. Oleh karenanya, perbuatan pidana dalam
kasus ini telah memenuhi asas legalitas.
Tempus delicti membedakan antara waktu perbuatan itu dilakukan dan
waktu ketika perbuatan itu selesai dilakukan atau akibat dari perbuatan itu.
Jonkers menyatakan bahwa tempus delicti adalah pada saat tindakan atau
kelakuan terjadi dan pada saat akibat terjadi. Oleh karena itu, tempus delicti
membedakan antara tindakan dan akibat.
Pada kasus ini, akibat terjadi langsung setelah tindakan dilakukan.
Ketika ISL melakukan aksinya, ia langsung mendapatkan barang tersebut. Saat
ISL melancarkan aksinya untuk menjambret (tindakan) ia langsung memiliki
barang tersebut (akibat) pada sesaat setelah tindakan dilakukan.
Kemudian, teori-teori yang terdapat dalam tempus delicti adalah:
• Teori perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
Hal ini menjelaskan kapan perbuatan fisik dilakukan. Teori ini
cenderung digunakan dalam delik formil. Untuk mengetahui di
mana satu tindak pidana terjadi didasarkan pada kapan tindakan
dilakukan. Dalam kaitannya dengan kasus ini, tindak pidana
terjadi pada hari Jumat, 30 Oktober 2020 pukul 21.00 WIB.
• Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het
instrument)
Teori ini menjelaskan terkait kapan suatu alat yang digunakan
untuk melakukan perbuatan suatu delik dilakukan dan berakhir
hingga memberikan akibat bagi korbannya. Pada kasus ini, teori
bekerjanya alat adalah ketika pelaku penjambretan melakukan
pengambilan handphone terhadap korban.
• Teori akibat (de leer van het gevolg)
Teori ini menjelaskan terjadinya tindak pidana adalah ketika
suatu akibat tindak pidana timbul. Pada kasus ini, akibat dari
suatu tindak pidana timbul sesaat setelah tindakan dilakukan.
ISL menjambret handphone, yang kemudian saat ISL berhasil
menjambret handphone tersebut maka dapat dikatakan bahwa
akibat dari suatu tindakan telah terpenuhi
• Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudigetijd)
Teori ini menjelaskan apabila suatu tindak pidana terjadi di
beberapa tempat sekaligus
Analisis:
Menurut saya kasus penjambretan yang dilakukan oleh ISL
merupakan tindakan pencurian yang memenuhi Asas
Teritorial dan Asas Nasionalitas Aktif. Memenuhi Asas
Teritorial artinya tindakan pencurian dilarang dan diatur dalam
hukum positif yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu, setiap
warga negara maupun warga negara asing berhak untuk
mematuhi hal tersebut. Kemudian, menurut saya kasus ini bisa
dikategorikan sebagai Asas Nasionalitas Aktif karena delik
pencurian merupakan tindakan buruk yang dipercaya oleh
seluruh manusia yang ada di dunia. Oleh karena itu, negara-
negara selain di Indonesia juga mengatur mengenai delik
pencurian sehingga warga negara Indonesia bisa terkena pasal
pencurian berdasarkan pada Asas Nasionalitas Aktif.
• Permulaan pelaksanaan
Van Hamel menyatakan bahwa pelaksanaan (uitvoering) dalam
frasa “permulaan pelaksanaan” berarti permulaan pelaksaaan
dari kejahatan. Memorie van Toelichting mengartikan bahwa
permulaan pelaksanaan harus dibedakan antara perbuatan
persiapan dan perbuatan pelaksanaan. Dapat dikatakan bahwa
perbuatan persiapan adalah mengumpulkan, sedangkan
perbuatan pelaksanaan yaitu melepaskan kekuatan yang telah
dikumpulkan.
Dalam kasus ini, perbuatan persiapan terjadi pada saat pelaku
mempersiapkan atau menyusun perencanaan. ISL melakukan
aksi penjambretan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kemudian, saya asumsikan setelah itu Ia membuat rencana
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menjambret. Oleh
karena itu terdapat perbuatan persiapan.
Kemudian ISL telah berhasil melakukan aksi yang tercantum
dalam Pasal 362 KUHP sehingga terdapat perbuatan
pelaksanaan.
Adapun, terdapat ukuran lain dalam menentukan sebuah
permulaan pelaksanaan adalah dengan menggunakan teori
subjektif dan teori objektif. Sudah saya sebutkan di awal
bahwa kasus ini telah memenuhi teori subjektif dan teori
objektif.
• Pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri.
Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena niat yang
diurungkan oleh pelaku, tetapi karena ada penghalang fisik (alat
yang dipakai rusak/ada orang lain yang menghalangi) dan akan
ada penghalang fisik (takut segera tertangkap).
Menurut saya kasus penjambretan ISL memenuhi “Akan ada
penghalang fisik”, hal tersebut dikarenakan ISL takut
tertangkap oleh warga yang melihat kejadian tersebut dan Ia
segera menjatuhkan handphone tersebut kemudian lari dengan
harapan lolos dari kejaran warga.
Kemudian, terdapat percobaan menurut doktrin yang
menyebabkan pelaksanaan dari tindak pidana tidak selesai. Jika
ditinjau dari doktrin yang ada, maka percobaan dalam kasus ini
termasuk dalam Percobaan yang Tidak Sempurna
(Ondeugdelijk Poging). Percobaan yang tidak sempurna
merupakan keadaan ketika seseorang hendak melakukan suatu
kejahatan, namun kemudian tidak berhasil disebabkan alat
(sarana) tidak sempurna atau objek (sasaran) tidak sempurna.
Kaitan dengan kasus ini adalah tindakan pidana yang dilakukan
tidak sempurna akibat adanya warga yang menyebabkan sarana
dan sasaran yang ditemui oleh ISL tidak sempurna, sehingga
tidak berhasil menciptakan akibat yang dihendaki oleh ISL.
C. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa kasus ISL telah memenuhi Pasal 362 KUHP
dan memenuhi asas legalitas. Berdasarkan Asas Teritorial dan Asas
Nasionalitas Aktif, KUHP berlaku bagi tindak pencurian yang dilakukan oleh
ISL yang dilakukan di wilayah Indonesia. Kasus ini memiliki tempus delicit
pada Jumat, 30 Oktober 2020 dan locus delicti di Jalan Danau Sunter Selatan,
Jakarta Utara.
Bentuk dari kesalahan pada tindak pidana ini adalah kesalahan. ISL
telah memenuhi unsur melawan hukum secara formil dan materiil. Kemudian,
perbuatan ISL masuk ke dalam delik kejahatan, delik formil, delik komisi,
delik konkret, delik umum, dan delik biasa. Peristiwa ini merupakan delik
formil sehingga tidak dapat dikenakan ajaran kausalitas.
Daftar Pustaka
Sofyan, Andi dan Nur Azisa, Hukum Pidana. Cet. 1. Makassar: Pustaka Pena Press,
2016.
Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cet. 33. Jakarta: Bumi Aksara,
2018.
Hiariej, Eddy O.S., Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014.
Maulana, Arif. “Mengenal Unsur Tindak Pidana dan Syarat Pemenuhannya.”
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-unsur-tindak-pidana-dan-
syarat-pemenuhannya-lt5236f79d8e4b4. Diakses Jumat, 1 April 2022