Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Belajar Mengajar

1. Belajar

Menurut Gagne (1984 ), belajar didefinisikan sebagai suatu proses

dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Galloway

dalam Toeti Soekamto (1992: 27) mengatakan bahwa belajar merupakan suatu

proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan

faktor-faktor lain berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sedangkan

Morgan menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki

tiga ciri-ciri sebagai berikut.

 belajar adalah perubahan tingkah laku;

 perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena

pertumbuhan;

 perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk

waktu yang cukup lama

Snelbeker (1974) dalam Toeti (1992) mengatakan bahwa, berbicara

tentang belajar pada dasarnya berbicara tentang bagaimana tingkahlaku seseorang

berubah sebagai akibat pengalaman Dari pengertian di atas dapat dibuat

kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkah

laku sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas, seorang guru perlu menyiapkan

atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada siswa
dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri siswa, agar

proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka

guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai pengalaman

belajar yang memungkinkan perubahan tingkahlaku siswa sesuai dengan apa yang

diharapkan. Aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses

belajar siswa berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran. Dengan

kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas

membantu orang belajar dengan cara memanipulasi lingkungan sehingga siswa

dapat belajar dengan mudah, artinya guru harus mengadakan pemilihan terhadap

berbagai starategi pembelajaran yang ada, yang paling memungkinkan proses

belajar siswa berlangsung optimal. Dalam pembelajaran proses belajar tersebut

terjadi secara bertujuan dan terkontrol. Tujuan -tujuan pembelajaran telah

dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran guru disini adalah sebagai

pengelola proses belajar mengajar tersebut.

Dalam sistem pendidikan kita (UU. No. 2 Tahun 1989), seorang guru

tidak saja dituntut sebagai pengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran

tertentu tetapi juga harus dapat berperan sebagai pendidik. Davies mengatakan

untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik seorang guru perlu memiliki

pengetahuan dan pemahaman berbagai prinsip-prinsip belajar, khususnyai prinsip

berikut :

 Apapun yang dipelajari siswa , maka siswalah yang harus belajar,

bukan orang lain. Untuk itu siswalah yang harus bertindak aktif;
 Setiap mahasiswa akan belajar sesuai dengan tingkat

kemampuannya;

 Seorang siswa akan belajar lebih baik apabila mempengoreh

penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama

proses belajarnya terjadi;

 Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan

mahasiswa akan membuat proses belajar lebih berarti; dan

 Seorang siswa akan lebih meningkat lagi motivasinya untuk belajar

apabula ia diberi tangungjawab serta kepercayaan penuh atas

belajarnya (Davies 1971).

Dalam buku pedoman melaksanakan kurikulum SD, SLTP dan SMU

(1994), istilah belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah

laku setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar. Sumber belajar tersebut

dapat berupa buku, lingkungan, guru dll. Selama ini Gredler (1986) menegaskan

bahwa proses perubahan sikap dan tingkahlaku itu pada dasarnya berlangsung

pada suatu lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali

bergantung pada situasi alami (kenyataan). Oleh karena itu lingkungan belajar

yang mendukung dapat diciptakan, agar proses belajar ini dapat berlangsung

optimal.

2. Mengajar

a. Pengertian Mengajar

Didaktik berasal dari bahasa Yunani “didoskein”, yang berarti

pengajaran atau “didaktos” yang berarti pandai mengajar. Di Indonesia didaktik


berarti ilmu mengajar. Karena didaktik berarti ilmu mengajar, maka pengertian

didaktik menyangkut pengertian yang sangat luas. Dalam kaitan pembicaraan

tentang didaktik, pengertian didaktik akan difokuskan pada bagaimana perlakuan

guru dalam proses belajar mengajar tersebut. Mengajar menurut pengertian

modern berarti aktivitas guru dalam mengorganisasikan lingkungan dan

mendekatkannya kepada anak didik sehingga terjadi proses belajar Nasution

(1935).

Bertolak dari pengertian di atas, keberhasilan mengajar tentunya harus

diukur dari bagaimana partisipasi anak dalam proses belajar mengajar dan

seberapa jauh hasil yang telah dicapainya. Dalam menjawab dua permasalahan

tersebut, ahli-ahli didaktik mengarahkan perhatiannya pada tingkah laku guru

sebagai organisator proses belajar mengajar. Maka timbulah prinsip-prinsip

didaktik atau azas-azas mengajar, yaitu kaidah atau rambu-rambu bagi guru agar

lebih berhasil dalam mengajar. Jadi, dalam uraian ini yang dimaksud azas-azas

didaktik ialah prinsip-prinsip, kaidah mengajar yang dilaksanakan oleh guru

secara maksimal, agar lebih berhasil.

Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan

pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik. Dalam hal ini guru

memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat pasif.

Pengajaran yang berpusat kepada guru bersifat teacher centered. Ilmu

pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya diambil dari buku-

buku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa.

Pelajaran serupa ini disebut intelektualistis.


Sebagian para ahli lainnya mengatakan bahwa mengajar merupakan

usaha penyampaian kebudayaan kepada anak didik. Definisi kedua ini hampir

sama maksudnya dengan definisi pertama. Tentu saja yang diinginkan adalah agar

anak mengenal kebudayaan bangsa, kebudayaan suku dan marganya. Tetapi lebih

dari itu diharapkan agar anak didik tidak hanya menguasai kebudayaan yang ada,

tetapi juga ikut memperkaya kebudayaan tersebut dengan menciptakan

kebudayaan baru menurut zaman yang senantiasa mengalami perubahan.

Sebagian para ahli yang lain lagi mengatakan bahwa mengajar

diartikan menata berbagai kondisi belajar secara pantas. Kondisi yang ditata itu

adalah kondisi eksternal anak didik. Termasuk di dalam kondisi eksternal ini

adalah komunikasi verbal guru dengan anak didik. Dengan demikian,

sesungguhnya kunci proses belajar-mengajar itu terletak pada penataan dan

perancangan yang memungkinkan anak didik dapat berinteraktif. Berinteraktif

maksudnya adalah terjadinya hubungan timbal¬ balik personal anak dengan

lingkungan. Anak didik dapat berinteraktif dengan lingkungannya, baik

lingkungan fisik maupun sosial.

Tiap usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau

menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta. didik. Yang dimaksud

dengan pola laku adalah kerangka dasar dari sejumlah kegiatan yang lazim

dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu

hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya

mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga

berupa kegiatan jasmani. yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik.
Umumnya rnanusia bertindak secara manusiawi apabila kedua jenis kegiatan

tersebut dibuat secara terjalin dan terpadu.

Di samping menumbuhkan dan menyempumakan pola laku,

pengajaran juga menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan dapat dirumuskan sebagai

keterarahan, kesiapsiagaan di dalam diri manusia untuk melakukan kegiatan yang

sama atau serupa atas cara yang lebih mudah, tanpa memeras atau memboroskan

tenaga. Kebiasaan akan timbul justru apabila kegiatan manusia, baik rohani

maupun jasmani dilakukan berulang kali dengan sadar dan penuh perhitungan.

Dikatakan pula bahwa proses menciptakan lingkungan belajar

sedemikian rupa disebut dengan pembelajaran. Belajar mungkin saja terjadi tanpa

pembelajaran, namun pengaruh suatu pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih

sering menguntungkan dan biasanya mudah diamati. Mengajar diartikan dengan

suatu keadaan untuk menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk

belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada

siswa saja tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media

pembelajaran yang sudah disiapkan. Gagne dan Briggs (1979) mengartikan

instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk

membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang,

disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses

belajar siswa yang bersifat internal.

3. Pembelajaran

Sepintas pengertian mengajar hampir sama dengan pembelajaran

namun pada dasarnya berbeda. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang
memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan

terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Sementara itu dalam keseharian di

sekolah-sekolah istilah pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami

sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya ada interaksi guru dan

siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya

perubahan sikap dan tingkahlaku siswa. Apa yang dipahami guru ini sesuai

dengan pengertian yang diuraikan dalam buku pedoman kurikulum (1994:3).

Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan

mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar

dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal

lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas

Duffy dan Roehler (1989) mengatakan apa yang dilakukan guru agar proses

belajar mengajar berjalan lancar, bermoral dan membuat siswa merasa nyaman

merupakan bagian dari aktivitas mengajar, juga secara khusus mencoba dan

berusaha untuk mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Sementara itu

pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan

pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum.

Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi

berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya

tujuan kurikulum.

Sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem

masyarakat yang memberinya masukan maupun menerima keluaran tersebut.

Pembelajaran mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik


menjadi siswa yang terdidik. Fungsi sistem pembelajaran ada tiga yaitu fungsi

belajar, fungsi pembelajaran dan fungsi penilaian. Fungsi belajar dilakukan oleh

komponen siswa, fungsi pembelajaran dan penilaian ( yang terbagi dalam

pengelolaan belajar dan sumber-sumber belajar) dilakukan oleh sesuatu di luar

diri siswa (Arief,S. 1984:10). Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa

pembelajaran namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu pembelajaran.

Pembelajaran yang efektif ditandai dengan berlangsungnya proses belajar dalam

diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila dalam

dirinya terjadi perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa

menjadi bisa dan sebagainya. Dalam pembelajaran hasil belajar dapat dilihat

langsung, oleh karena itu agar kemampuan siswa dapat dikontrol dan berkembang

semaksimal mungkin dalam proses belajar di kelas maka program pembelajaran

tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh para guru dengan memperhatikan

berbagai prinsip-prinsip pembelajaran yang telah diuji keunggulannya.

B. Kompetensi Guru

1. Pengertian

Menurut Lenfrancois dalam Jamal Ma’ruf (2009) kompetensi

merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses

belajar1. Dari pengertian tersebut dikatakan bahwa selama proses belajar stimulus

akan bergabung dengan isi memori dan menyebabkan terjadinya perubahan

kapasitas untuk melakukan sesuatu. Apabila seseorang telah sukses bagaimana

1
Ma’mur Asmani, Jamal. 2009. 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional. Jogjakarta.
Power Books. Hal. 37
mempelajari cara melakukan sesuatu pekerjaan yang kompleks dari sebelumnya,

maka pada diri individu tersebut pasti sudah terjadi perubahan kompetensi.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa bahwa kompetensi adalah

berlangsung lama yang menyebabkan individu mampu melakukan kinerja

tertentu.

Menurut Cowell kompetensi diartikan sebagai suatu keterampilan atau

kemahiran yang bersifat aktif. Kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat

sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks yang pada gilirannya akan

berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar, yang

lazimnya terdiri dari:

1) Penguasaan minimal kompetensi dasar;

2) Praktik kompetensi dasar;

3) Penambahan, penyempurnaan, atau pengembangan terhadap

kompetensi atau keterampilan.

Menurut Jamal Ma’mur (2009), kompetensi merupakan satu kesatuan

yang utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap

yang dinilai, yang terkait dengan profesi tertentu berkenaan dengan bagian-bagian

yang dapat diaktualisasikan dan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja

untuk menjalankan profesi tertentu2.

Mengembangkan potensi bagi guru menjadi keharusan, karena

tugasnya adalah mendidik anak didik dengan pengetahuan dan kearifan.

Berdasarkan hal tersebut, Hasyim Ashari (2008), mengatakan bahwa guru yang

2
Ma’mur Asmani, Jamal. 2009. 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional. Jogjakarta.
Power Books. Hal. 38
cerah masa depannya adalah mereka yang memenuhi tiga hal, yaitu sebagai

berikut:

1. Mereka yang kreatif yang memanfaatkan potensi yang dimilikinya

seperti menjadi pengajar yang powerfull (favorit), penulis buku materi

pelajaran, atau trainer.

2. Guru yang kreatif yang dapat mengelola waktu luangnya dengan

kegiatan-kegiatan yang produktif, seperti menjadi pengajar di bimbingan

belajar atau pun menjadi pengajar privat.

3. Guru yang berani membuat “lompatan-lompatan dalam hidup” dengan

berwirausaha, seperti mendirikan lembaga pendidikan atau kursus,

membuka usaha kecil, membuka industri rumah tangga, dan banyak

sekali alternatif usaha lain yang halal dan menguntungkan3.

Kualitas seorang guru harus menjadi prioritas dalam upaya

mengembangkan sebuah pola pendidikan yang efektif. Kualitas seorang guru

ditandai dengan seberapa tingkat kecerdasan, ketangkasan, dedikasi dan loyalitas

yang tinggi serta ikhlas dalam memajukan pendidikan dan mencerdaskan anak

didik4.

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa guru

profesional adalah guru yang mengajar pada mata pelajaran yang menjadi

keahliannya, mempunyai semangat tinggi dalam mengembangkannya, dan mampu

menjadi pioneer perubahan di tengah masyarakat.

3
M. Hasyim Ashari. 2007. Siapa Bilang Jadi Guru Hidupnya Susah? Kiat Parktis Mendapakan
penghasilan Tambahan. Yogyakarta. Pinus. Hal. 19-20.
4
MZ. Mandaru. 2005. Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari, Yogyakarta. Ar-Ruzz. Hal.
119.
2. Tugas Guru

Menurut Bahtiar Malingi (2009), sesuai undang-undang Republik

Indonesia no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing dan

mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

anak usia didni jalur pendiidkan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan tengah.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa seorang guru harus

memiliki minimal satu bidang keilmuan. Guru harus mempunyai sikap integritas

profesional.

Kedudukan guru sebagai seorang pengajar profesional sebagaimana

dimaksu dalam pasal 2 ayat 1 adalah untuk meningkatkan martabat dan peran

guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan

nasioanl. Yang dimaksud dengan guru adalah sebagai agen pembelajaran

(learning agent). Peran guru antara lain sbegai fasilitator, motivator, pemacu,

perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik di

dalam sebuah proses belajar mengajar di sekolah.

Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, seorang guru

berkewajiban:

a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang

bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi

secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni.


c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis

kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, dan

status sosial ekonomi oeserta didik dalam pembelajaran;

d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik guru,

nilai-nilai agama, dan etika.

e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Kompetensi Utama Guru

Dalam pasal 8 UU Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005,

kompetensi guru yaitu meliputi kompetensi pedagogis, kompetensi sosial,

kompetensi kepribadian, kompetensi profesional yang dieproleh melalui

pendidikan profesi5.

Berdasarkan Undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan empat

kompetensi guru tersebut dideskripsikan sebagai berikut:

1. Kompetensi Pedagogis

Kompetensi utama yang harus dimiliki guru agar pembelajaran yang

dilakukan efektif dan dinamis adalah kompetensi pedagogis. Guru harus belajar

secara maksimal untuk menguasai kompetensi pedoagogis secara teori dan

praktik.

Menurut Jamal Ma’ruf Asmani (2009) mengatakan bahwa kompetensi

pedagogis dalam standar nasional pendidikan, penjelasan dalam pasal 28 ayat 3

butir (a) adalah kemauan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi

pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, dan pelaksanaan pembelajaran,

5
Ma’mur Asmani, Jamal. 2009. 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional. Jogjakarta.
Power Books. Hal. 42-44
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan

berbagai potensi yang dimilikinya. Jadi, kompetensi ini bisa diartikan sebagai

kemampuan yang telah dimiliki seseorang (guru) dalam melaksanankan

danmegelola kegiatan proses belajar mengajar di kelas.

Kemampuan pedagogis ditunjukan dalam membantu, membimbing,

dan memimpin peserta didik. Menurut permendiknas nomor 17 tahun 2007,

kompetensi pedagogis guru mata pelajaran terdiri atas 37 buah kompetensi yang

dirangkum dalam 10 kompetensi inti seperti disajikan berikut ini:

1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual,

sosial, kultural, emosional, dan intelektual;

2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik;

3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang

diampu;

4) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik;

5) Memanfaatkan teknologi informasi dan kounikasi untuk kepentingan

pembelajaran;

6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki;

7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik;

8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar;

9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran;
10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran6.

Kompetensi pedagogis ini merupakan kemampuan guru dalam

mengelola pembelajaran, yang sekurang-kurangnya meliputi:

a. Pemahaman wawasan atau landasan pendidikan;

b. Pemahaman terhadap peserta didik;

c. Pengembangan kurikulum atau silabus;

d. Perancangan pembelajaran;

e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

f. Pemanfaatn teknologi pembelajaran;

g. Evaluasi proses dan hasil belajar;

h. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi

yang dimilikinya.

Jadi, kompetensi pedagogis meniscayakan seorang pengajar atau guru

untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya menajdi seorang ilmuwan

profesional yang mampu menghantarkannya untuk bisa mendorong dan

memberikan inspirasi anak didiknya akan pentingnya ilmu pengetahuan,

wawasan, pemikiran, cita-cita, kepercayaan diri, dan tekad menggapai hasil

maksimal dari setiap tahapan kehidupan yang dijalaninya.

2. Kompetensi Kepribadian

Kepribadian menurut Theodore M. Newcomb diartikan sebagai

organisasi sikap-sikap (predisposition) yang dimiliki seseorang sebagai latar

6
Ma’mur Asmani, Jamal. 2009. 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional. Jogjakarta.
Power Books. Hal. 65
belakang terhadap perilaku7. Kepribadian sangat erat kaitannya dengan sikap

seseorang untuk berbuat, mengetahui, berpikir, dan merasakan, yang pada

khususnya semua itu berlaku apabila berhubungan dengan orang lain atau

menanggapi suatu keadaan.

Kepribadian merupakan organisasi faktor-faktor biologis, psikologis,

dan sosiologis yang mendasari perilaku individu. Kepribadian mencakup

kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat yang khas dimiliki seseorang yang

berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain8.

Menurut Rifai (2009), seorang guru harus memiliki sikap yang dapat

memiliki kepribadian sehingga dapat dibedakan dengan guru yang lain. Memang,

kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar

dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau

ucapan ketika menghadapi suatu persoalan, atau melalui atasannya saja.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian

mencakup semua unsur, baik unsur psikis, maupun unsur fisik. Dapat dikatakan

bahwa sikap dan tindakan yang dilkukan oleh sseorang merupakan cerminan dari

kepribadian orang tersebut, selama hal tersebut ia lakukan dengan kesadaran.

Sehingga, apabila perilaku seseorang positif, maka boleh dikatakan

kepribadiannya baik, begitu juga sebaliknya. Apabila kepribadian seeorang telah

naik di mata masyarakat, maka wibawa nya pun akan naik pula.

7
Ma’mur Asmani, Jamal. 2009. 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional. Jogjakarta.
Power Books. Hal. 103
8
Moh. Roqib dan Nurfuadi. 2009. Kepribadian Guru, Upaya Mengembangkan Kepribadian Guru
yang Sehat di Masa depan. Grafindo Litera media. Yogyakarta. Hal. 15
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup beberapa

indikator yang haeus dimiliki, yaitu sebgai berikut:

a. Berakhlak mulia;

b. Arif dan bijaksana;

c. Berwibawa;

d. Stabil;

e. Dewasa

f. Jujur;

g. Mampu menjadi teladan bagi peserta didik danmasyarakat;

h. Secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri;

i. Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kesimpulannya, kepribadian akan turut mennetukan apakah para guru

dapat disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya justru menjadi perusak

anaj didiknya. Sehingga, sikap dan citra yang negatif dari seorang guru dan

berbagai penyebabnya harus dihindari jauh-jauh agar tidak mencemarkan nama

baik gur tersebut.

3. Kompetensi Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) menurut Aristoteles

adalah makhluk yang senantiasa ingin hidup berkelompok. Pendapat yang sama

menyatakan bahwa manusia adalah homo politicus. Manusia dalam hal ini tidak

bisa menyelesaikan segala permasalahannya sendiri. Dia membutuhkan orang lain

baik untuk memnuhi kebutuhannya maupun untuk menjalankan perannya selaku

makhluk hidup.
Guru selaku bagian dari masyarakat merupakan salah satu pribadi

yang mendapatkan perhatian khusus di masyarakat. Peranan dan segala tingkah

laku yang dilakukan guru senantiasa dipantau oleh masyarakat. Oleh akrena itu,

diperlukan sejumlah kompetensi sosial yang perlu dimiliki guru dalam

berinteraksi dengan lingkungan masyarakat di tempat dia tinggal.

Kompetensi sosial dalam kegaitan belajar ini berkaitan erat dengan

kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar sekolah dan

masyarakat tempat guru tinggal sehingga peranan dan cara guru berkomunikasi di

masyarakat diharapkan memiliki karakteristik tersendiri yang sedikit banyak

berbeda dengan orang lain yang bukan guru. Misi yang diemban guru adalah misi

kemanusiaan. Guru harus mempunyai kompetensi sosial karena guru adalah

penceramah zaman (Langeveld, 1955).

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari

masyarakat, yang sekurang-kurangnya meliputi:

a. Berkominikasi lisan, tulisan, dan atau isyarat;

b. Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;

c. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga

kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua/wali peserta didik;

d. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan menindahkan

norma sertai sistem nilai yang berlaku;

e. Menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan dan semangat kebersamaan.

4. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai

pengetahuan bidang ilmu teknologi dan seni yang sekurang-kurangnya

meliputi penguasaan:

a. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program

satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang

diampunya;

b. Konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang

relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program

satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang

diampu.

C. Pendidikan Agama Islam

1. Pendahuluan

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang

benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang

akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun

institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun

institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang

beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya

manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.

Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-

nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi

sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah
menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan

diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk

meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri,

perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap

sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan

secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai

keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak

didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak

akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan

yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari

paradigma pendidikan Barat yang sekular.

Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak

berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan.

Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah

banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam

kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan

berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih

dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan

visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki

tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem

pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang

memiliki paradigma yang pragmatis.


Dalam Skripsi ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan

tujuan dan sasaran pedidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-

dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga

memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam

pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran pendidikan dalam Islam

dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.

Pendidikan mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, yang selalu

mengandung fikiran para ahli dan pecinta pembaharuan. Para cendekiawan di

bidang pendidikan masing-masing memberi pandangan tentang masalah yang

berhubungan dengan pendidikan. Sekalipun mereka berlainan pendapat dalam

memberi batasan tentang pendidikan, akan tetapi ada kesepakatan diantara mereka

bahwa pendidikan itu dilaksanakan untuk mengembangkan potensi yang ada pada

dirinya, demi kesempurnaan pribadinya.

Untuk membahas pengertian pendidikan agama Islam, maka harus

dimengerti terlebih dahulu apa sebenarnya yang disebut dengan pendidikan itu

sendiri. Sehubungan dengan hal ini penulis mencoba mengemukakan teori

pendapat yang berkaitan dengan pengertian pendidikan.

1. Menurut Ahmad D. Marimba

“Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik

terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama”.

2. Menurut Ki Hajar Dewantara


Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang

ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat”.

3. Menurut Soegarda Poerbakawaca

“Pendidikan adalah segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk

mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta

keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya

dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya”.

4. Sedangkan menurut Mortimer J. Adler

“Pendidikan adalah dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan

kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan,

disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistic

dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya

sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”

Berpijak dari paduan pendapat di atas dapat dipahami bahwa

pendidikan merupakan proses atau usaha yang dilakukan dengan sadar, seksama

dan dengan pembiasaan melalui bimbingan, latihan dan sebagainya yang

semuanya bertujuan untuk membentuk kepribadian anak didik secara bertahap.

Jadi apabila ketiga rumusan pendidikan tersebut dipadukan dapat

ditarik kesimpulan, bahwa pendidikan mempunyai pengertian kegiatan yang

dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan

oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan

menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. Apa yang diberikan kepada
anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya dimasyarakat,

dimana kelak mereka hidup.

2. Pengertian

Pendidikan merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu,

boleh dikatakan bahwa setiap orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga

Pendidikan Agama Islam (PAI). Masyarakat awam mempersepsikan pendidikan

itu identik dengan sekolah , pemberian pelajaran, melatih anak dan sebagainya.

Sebagian masyarakat lainnya memiliki persepsi bahwa pendidikan itu

menyangkut berbagai aspek yang sangat luas,termasuk semua pengalaman yang

diperoleh anak dalam pembetukan dan pematangan pribadinya, baik yang

dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Sedangkan Pendidikan

Agama Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan

berisikan ajaran Islam.

Pendidikan sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan.

Bahkan konferensi internasional pertama tentang pendidikan Muslim (1977),

seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Naquib Al-Attas, ternyata belum

berhasil menyusun suatu definisi pendidikan yang dapat disepakati oleh para ahli

pendidikan secara bulat .

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa : "Pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,


kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara" .

Sedangkan definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam

Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

SD dan MI adalah : "Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana

dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati,

mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari

sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan,

pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman."

Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan agama

Islam, antara lain :

1. Menurut Omar Muhammad Al – Thoumy al – Syaebani

Pendidikan agama Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku

individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya

dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.”

2. Menurut Ahmad D. Marimba

Pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani

berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya

kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.

3. Pakar lain berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan pergaulan

yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan

kepada rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada

kebaikan disertai perasaan cinta kasih kebapakan dengan menyediakan


suasana yang baik dimana bakat dan kemampuan anak dapat tumbuh

berkembang secara lurus.

4. Menurut Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah

Umum Negeri (Ditbinpasiun), pengertian pendidikan agama Islam adalah

suatu bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah

selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam

Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta

menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai

pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia

dan akhiratnya kelak.

Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya mengandung pengertian

yang sama meskipun susunan bahasanya berbeda oleh karena itu beberapa

pengertian.

Di atas ditarik kesimpulan bahwa pendidikan agama Islam adalah

bimbingan dan usaha yang diberikan pada seseorang dalam pertumbuhan jasmani

dan usaha rohani agar tertanam nilai-nilai ajaran agama Islam untuk menuju pada

tingkat membentuk kepribadian yang utama, yaitu kepribadian muslim yang

mencapai kehidupan dunia dan akhirat.

Pelaksanaan pendidikan agama harus dilakukan oleh pengajar yang

meyakini, mengamalkan dan menguasai bahan agama tersebut. Hal ini karena

salah satu tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, dan pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab

keluarga masyarakat dan pemerintah.


3. Tujuan

Menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar

untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam ( knowing ), terampil

melakukan atau mempraktekkan ajaran Islam ( doing ), dan mengamalkan ajaran

Islam dalam kehidupan sehari-hari ( being ).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan

Agama Islam adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam,

keterampilan mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran Islam itu

dalam kehidupan sehari-hari. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan

utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu menjadi seorang

Muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh kesungguhan dan didasari

oleh keimanan yang kuat.

Upaya untuk mewujudkan sosok manusia seperti yang tertuang dalam

definisi pendidikan di atas tidaklah terwujud secara tiba-tiba. Upaya itu harus

melalui proses pendidikan dan kehidupan, khususnya pendidikan agama dan

kehidupan beragama. Proses itu berlangsung seumur hidup, di lingkungan

keluarga , sekolah dan lingkungan masyarakat.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan agama Islam

saat ini, adalah bagaimana cara penyampaian materi pelajaran agama tersebut

kepada peserta didik sehingga memperoleh hasil semaksimal mungkin.

Apabila kita perhatikan dalam proses perkembangan Pendidikan

Agama Islam, salah satu kendala yang paling menonjol dalam pelaksanaan

pendidikan agama ialah masalah metodologi. Metode merupakan bagian yang


sangat penting dan tidak terpisahkan dari semua komponen pendidikan lainnya,

seperti tujuan, materi, evaluasi, situasi dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam

pelaksanaan Pendidikan Agama diperlukan suatu pengetahuan tentang metodologi

Pendidikan Agama, dengan tujuan agar setiap pendidik agama dapat memperoleh

pengertian dan kemampuan sebagai pendidik yang profesional

Guru-guru Pendidikan Agama Islam masih kurang mempergunakan

beberapa metode secara terpadu. Kebanyakan guru lebih senang dan terbiasa

menerapkan metode ceramah saja yang dalam penyampaiannya sering

menjemukan peserta didik. Hal ini disebabkan guru-guru tersebut tidak menguasai

atau enggan menggunakan metode yang tepat, sehingga pembelajaran agama tidak

menyentuh aspek-aspek paedagogis dan psikologis.

Setiap guru Pendidikan Agama Islam harus memiliki pengetahuan

yang cukup mengenai berbagai metode yang dapat digunakan dalam situasi

tertentu secara tepat. Guru harus mampu menciptakan suatu situasi yang dapat

memudahkan tercapainya tujuan pendidikan. Menciptakan situasi berarti

memberikan motivasi agar dapat menarik minat siswa terhadap pendidikan agama

yang disampaikan oleh guru. Karena yang harus mencapai tujuan itu siswa, maka

ia harus berminat untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk menarik minat itulah

seorang guru harus menguasai dan menerapkan metodologi pembelajaran yang

sesuai.

Metodologi merupakan upaya sistematis untuk mencapai tujuan, oleh

karena itu diperlukan pengetahuan tentang tujuan itu sendiri. Tujuan harus

dirumuskan dengan sejelas-jelasnya sebelum seseorang menentukan dan memilih


metode pembelajaran yang akan dipergunakan. Karena kekaburan dalam tujuan

yang akan dicapai, menyebabkan kesulitan dalam memilih dan menentukan

metode yang tepat.

Setiap mata pelajaran memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri

dalam bahan atau materi pelajaran, baik sifat maupun tujuan, sehingga metode

yang digunakan pun berlainan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran

lainnya. Misalnya dari segi tujuan dan sifat pelajaran tawhid yang membicarakan

tentang masalah keimaman, tentu lebih bersifat filosofis, dari pada pelajaran fiqih,

seperti tentang shalat umpamanya yang bersifat praktis dan menekankan pada

aspek keterampilan. Oleh karena itu, cara penyajiannya atau metode yang dipakai

harus berbeda.

Selain dari kekhususan sifat dan tujuan materi pelajaran yang dapat

membedakan dalam penggunaan metode, juga faktor tingkat usia, tingkat

kemampuan berpikir, jenis lembaga pendidikan, perbedaan pribadi serta

kemampuan guru , dan sarana atau fasilitas yang berbeda baik dari segi kualitas

maupun kuantitasnya. Hal ini semua sangat mempengaruhi guru dalam memilih

metode yang tepat dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam

Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar

pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal

ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili dan

mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar,

seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu
adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan

kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan

interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya.

Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut9.

Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah

bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu,

mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar

masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan

dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat

dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu

terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah

pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung

akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan

duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas

di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni

kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.

Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip

keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan

pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan

antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat al-

9
Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Infinite Press, 2004, hal. 25-30
Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari

enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara

implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS.

Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali

mereka yang beriman dan beramal sholeh.” .

Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang

manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik

antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna

kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.

Nabi Muhammad Saw bersabda

“Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang

budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan

yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki)

itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).

Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Sesungguhnya prinsip ini

bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan

keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan

pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke

jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan

untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan,

disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah,


“Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya)

maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).

Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa

pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang

mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada

keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai

moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang

paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik

bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih

dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang

ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu

dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).

5. Mekanisme Pendidikan Islam

Mengenai mekanisme dalam menjalankan pendidikan Islam Dalam

karyanya Tahdzibul Akhlak, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syariat agama

memiliki peran penting dalam meluruskan akhlak remaja, yang membiasakan

mereka untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri

mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai

kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki

kewajiban untuk mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik.

Hal ini dapat dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau
perlu, al-taubikh (dihardik), diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir

(diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman).10 (konsep uqubah dalam Islam)

Akan tetapi, Berbeda dengan beberapa pandangan teori di atas, Ibnu

Khaldun justru berpandangan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kekerasan dalam

bentuk apapun seharusnya tidak dilakukan dalam dunia pendidikan. Karena dalam

pandangan Ibnu Khaldun, penggunaan kekerasan dalam pengajaran dapat

membahayakan anak didik, apalagi pada anak kecil, kekerasan merupakan bagian

dari sifat-sifat buruk. Disamping itu, Ia juga menambahkan bahwa perbuatan yang

lahir dari hukuman tidak murni berasal dari keinginan dan kesadaran anak didik.

Itu artinya pendidikan dengan metode ini juga sekaligus akan membiasakan

seseorang untuk berbohong dikarenakan takut dengan hukuman.11

6. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Islam

Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek

tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam

mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep

dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip

prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling

utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang

dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada

hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun

keinginan manusia.12
10
Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, tanpa
tahun, hal. 27
11
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hal.
763
12
Hilda Taba dalam Munzir Hitami, Ibid, hal. 32 
Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy

of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu

menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah

pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Sedangkan Joe Pack

merumuskan pendidikan sebagai “the art or process of imparting or acquiring

knomledge and habit through instructional as study”. Dalam definisi ini tekanan

kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi

kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer

Greene mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya

pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu

kehidupan yang bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan

yang menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.13

Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian

dihubungkan dengan Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan

pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik

karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya,

dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan

“ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu

mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta

lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja


13

Rosdakarya, 2002, hal. 6


lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam;

informal, formal, dan nonformal.14

Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya

dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya,

yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu

membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.

Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.15

Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi

dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah

memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu,

sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan

menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak

terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai

penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang

makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah

dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan

misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan

dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan

harmonis.16

14
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 5
15
Sulaiman, dalam Ibid, hal. 33
16
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun
Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, hal.
142
Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari

tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan

hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat al Qur’an

ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang sekaligus

menjadi tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk tujuan

yang bersifat teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat dipahami

karena mereka menganut konsep konsep ontologi positivistik yang mendasar

kebenaran hanya kepada empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati dan

terukur.17

Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama

Islam dalam dua hal, yaitu; a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai

dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; b) mendidik peserta didik untuk mempelajari

materi ajaran Islam. Sehingga pengertian pendidikan agama Islam merupakan

usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk

berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan materi-

materi tentang pengetahuan Islam.18

7. Kesimpulan

Dari beberapa uraian yang telah penulis kemukakan dari beberapa

pendapat para tokoh pendidikian Islam bahwa pendidikan pada dasarnya memiliki

beberapa tujuan. Tujuan yang terpenting adalah pembentukan akhlak objek

didikan sehingga semua tujuan pendidikan dapat dicapai dengan landasan moral

dan etika Islam, yang tentunya memiliki tujuan kemashlahatan di dalam mencapai
Munzir Hitami, Op. Cit, hal. 32
17

Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar,
18

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 22


tujuan tersebut. Mengenai mekanisme pelaksanaanya, hal ini tentunya

memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga nantinya implementasi dari

teori tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dipandang relevan dengan

kondisi yang terikat dengan faktor-faktor tertentu.

Anda mungkin juga menyukai