1
result of practice. Jadi belajar merupakan perubahan performans sebagai
hasil dari suatu praktik. Dari pendapat para ahli tersebut dapat
disimpulkan yang menjadi karakteristik belajar adalah sebagai berikut. 1)
Belajar itu membawa perubahan (behavioral changes, baik aktual
maupun potensial), 2) perubahan itu memberikan kecakapan baru, 3)
perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).
Menurut Ernest R. Hilgard dalam (Suryabrata, 1984) belajar
merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang
kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari
perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.Sifat perubahannya relatif
permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa
diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat
kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya. Menurut Winkel (1991), belajar
adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengelolaan pemahaman. (Wragg, 1994)
mengemukakan beberapa ciri umum kegiatan belajar, yakni 1) belajar
menunjukkan suatu aktivitas dari suatu individu baik disengaja ataupun
tanpa disadari, 2) belajar merupakan interaksi individu dengan
lingkungannya, 3) hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku.
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar juga dapat menyentuh
perubahan pada aspek afektif, termasuk perubahan emosional.
Perubahan-perubahan pada aspek ini pada umumnya tidak mudah dilihat
dalam waktu yang singkat, tetapi dapat dilihat dalam rentang waktu yang
relatif lama. Sebagai contoh seorang siswa yang dibiasakan berbicara
santun sesama teman di sekolah, jujur, dan bertanggung jawab akan
memakan waktu yang relatif lama sampai terjadi suatu perubahan yang
2
permanen. Abdillah (2002) berpendapat belajar adalah suatu usaha sadar
yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui
latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi belajar tersebut dapat dikatakan pada
hakekatnya belajar merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar
untuk meghasilkan suatu perubahan, yang berkaitan dengan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Belajar adalah
perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku
sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Dalam pengertian yang umum dan sederhana belajar seringkali
diartikan sebagai aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Belajar
adalah proses dimana seorang individu memperoleh berbagai kecakapan,
keterampilan dan sikap. Dalam konteks ini seseorang dikatakan
dikatakan belajar bilamana terjadi suatu perubahan, dari sebelumnya
tidak mengetahui menjadi mengetahui. Pengetahuan tersebut
dipersepsikan diperoleh dari guru. Keadaan ini memposisikan guru
sebagai orang yang serba mengetahui segala macam pengetahuan, tanpa
guru tidak ada kegiatan belajar. Sebagai contoh kita biasa mendengar
siswa mengatakan “hari ini kami tidak belajar” padahal yang mereka
maksud hari ini guru tidak dapat hadir di kelas pada jam pelajaran
tertentu. Jadi makna tidak belajar di sini adalah jika guru tidak hadir di
kelas maka tidak ada kegiatan belajar.
3
1.1.2 Pengertian Mengajar dan Pembelajaran
4
pengetahuan, tetapi juga melatih pola pikir siswa. Bagi kaum
konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan
dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi
dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Menurut
Hamalik mengajar memiliki beberapa definisi penting, diantaranya
adalah sebagai berikut.
a) Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa di
sekolah.
b) Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda
melalui lembaga pendidikan sekolah.
c) Mengajar adalah usaha mengorganisasikan lingkungan sehingga
menciptakan kondisi belajar bagi siswa.
d) Mengajar atau mendidik itu adalah memberikan bimbingan belajar
kepada siswa.
e) Mengajar adalah kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi
warga Negara yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat.
f) Mengajar adalah suatu proses membantu siswa menghadapi
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa,
mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa guna
membantu mereka menghadapi masalah yang terdapat pada kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini sebenarnya siswa dapat belajar sendiri tanpa
adanya guru pengajar, namun seringkali siswa mengalami kesulitan
dalam memahami isi buku atau memecahkan permasalahan terutama
5
untuk pelajaran matematika. Oleh sebab itu peranan guru dalam proses
belajar mengajar itu sangat penting.
Jika arti mengajar dibatasi dengan tatap muka di dalam kelas, maka
kata pembelajaran mengacu kepada segala kegiatan yang berpengaruh
langsung terhadap proses belajar siswa. Kata pembelajaran merupakan
istilah yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan guru dan siswa atau
kegiatan dosen dan mahasiswa. Sebelumnya dikenal istilah proses
belajar mengajar. Menurut Winataputra (2007) kata pembelajaran bisa
dikatakan diambil dari kata instruction yang berarti serangkaian kegiatan
yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar kepada
siswa. Dalam pembelajaran segala kegiatan berpengaruh langsung
terhadap proses belajar siswa, ada interaksi siswa yang tidak dibatasi
oleh kehadiran guru secara fisik, tetapi siswa dapat berinteraksi dan
belajar melalui media cetak, elektronik, dan sebagainya. Walaupun
demikian rancangan tetap pada guru. Pengajaran merupakan suatu
bentuk pembelajaran. Menurut Hadimiarso (1993) pembelajaran lebih
menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa” bukan pada
“apa yang dipelajari siswa”.
Pasal 1 butir 20 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ada lima komponen
pembelajaran, yaitu: interaksi, peserta didik, pendidik, sumber belajar,
dan lingkungan belajar. Interaksi mengandung arti hubungan timbal balik
guru dan siswa, antara siswa dan siswa, sumber belajar, dan lingkungan
sekitar dapat pula terjadi dalam upaya meningkatkan pengalaman belajar.
Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal yakni pendidikan di
sekolah, sebagian besar terjadi di kelas dan lingkungan sekolah, sebagian
6
lagi pembelajaran terjadi pada lingkungan masyarakat. Sebagai contoh
pada saat mempelajari matematika pokok bahasan bangun bidang dan
bangun ruang siswa dapat diberi tugas untuk mengamati bangun-bangun
yang ada di sekitar sekolah atau tempat lain. Menurut Hamzah dan
Muhlisrarini (2013) ada lima ciri-ciri pembelajaran, 1) inisiasi, 2)
falilitasi, 3) peningkatan proses belajar siswa, 4) interaksi yang
diprogramkan antara siswa dengan lingkungan, dan 5) adanya komponen
yang saling berhubungan.
7
berbagai keterampilan dan sikap yang esensial. Sekarang tidak cukup
guru untuk sekedar bersikap hangat dan menyayangi siswa-siswa, atau
sekedar menerapkan praktik-praktik mengajar yang semata-mata didasari
pada intuisi, preferensi pribadi, atau kearifan konvensioanal. Sama
seperti profesional yang lain seperti kedokteran, hukum, dan arsitektur,
guru seyogyanya memenuhi standard-standard praktik yang dapat
diterima.
Tujuan mengajar matematika dari mulai siswa SD/MI sampai
SMA/MA adalah agar siswa memiliki kecakapan atau kemahiran sebagai
berikut.
1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah.
2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol,
tabel, grafik, atau dugaan untuk memperjelas keadaan atau masalah.
3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau
menjelaskan gagasan atau pernyataan matematika.
4. Menyusun kemampuan strategi dalam membuat atau merumuskan,
menafsirkan dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan
masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Mengajar untuk Menyampaikan Ilmu. Dalam konteks pendidikan,
ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu eksak dan
noneksak. Ilmu eksak adalah ilmu yang membutuhkan logika,
perhitungan, dan daya analisis yang kuat, misalnya matem atika, fisika,
dan kimia. Ilmu eksak ini cenderung memaksimalkan kerja otak kiri.
8
Sebaliknya, ilmu noneksak adalah ilmu yang membutuhkan teori,
pemahaman, dan daya ingat yang kuat, misalnya ekonomi, seni, bahasa,
dan sebagainya. Berbeda dengan ilmu eksak, kinerja otak kanan sangat
dibutuhkan oleh ilmu noneksak ini.
Mengajar untuk Melatih Pola Pikir. Dalam bukunya yang berjudul
“Taxonomy of Effective Teaching”, Benjamin Bloom (Arend, 2008)
membagi pola pikir siswa didik menjadi 5 tingkatan. Kelima tingkatan
pola pikir tersebut adalah pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
dan kreatif.
Pengetahuan. Pada tingkatan ini, guru mengajar dengan cara
menyampaikan suatu fakta kepada siswa-siswa didiknya. Guru hanya
sebatas menyampaikan informasi saja kepada mereka. Hasil akhir yang
diharapkan adalah pengetahuan siswa menjadi bertambah. Mereka yang
semula tidak tahu mengenai suatu fakta menjadi tahu.
Pemahaman. Pada tingkat ini, guru mulai mengembangkan teknik
mengajar kepada siswa. Guru tidak hanya menyampaikan informasi saja,
tetapi juga merangsang pola pikir mereka terhadap apa-apa yang
diketahuinya. Misalnya, setelah mereka mengetahui pengertian sisi, titik
sudut, dan rusuk suatu kubus. Guru mencoba memberikan pertanyaan
mengenai banyaknya sisi, titik sudut, dan rusuk sebuah balok, prisma,
limas, tabung, dan bangun ruang yang lain.
Penerapan. Pada Tingkatan pola pikir ini, guru memberikan bentuk
kegiatan kepada siswanya dalam proses belajar. Mereka secara langsung
menerapkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya berdasarkan
pengetahuan maupun pemahaman yang dimilikinya.
Analisis. Pada tingkatan yang lebih jauh lagi, guru dapat menjelaskan
berbagai kemungkinan dan hubungan dalam suatu materi pembelajaran.
9
Dalam tahap ini, guru membuat siswa berpikir sendiri mengenai suatu
permasalahan dan mengajak mereka untuk membuat kesimpulan dari
pemikiran mereka.
Kreatif, Tingkatan yang terakhir adalah pola pikir kreatif. Pada tingkat
ini, guru tidak hanya membuat siswa berpikir sendiri terhadap suatu
permasalahan, tetapi juga membuat mereka dapat menciptakan sebuah
ide, konsep, gagasan, atau karya yang baru.
Warga negara dengan masyarakat yang sangat mejemuk dan
kompleks seperti masyarakat kita mengharapkan sekolah mampu
memenuhi berbagai macam tujuan. Sebagai contoh selain mengajarkan
keterampilan akdemik, masyarakat ingin sekolah juga membantu orang
tua membangun karakter siswa, menyiapkan siswa untuk bekerja dan
meneruskan budaya bangsa. Maksud pendidikan yang begitu banyak ini
menjadi tak terbendung kecualai guru fokus pada tujuan mengajarnya.
Dalam buku Learning to Teach (Arend, 2008) mengatakan tujuan akhir
mengajar adalah membantu siswa dapat menjadi siswa yang mandiri, dan
self regulated (mampu mengatur dirinya sendiri). Tujuan ini bukan
mengesampingkan tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tetapi justru
berfungsi sebagai tujuan menyeluruh dari beberapa tujuan lain dan
aktivitas guru lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya. Tujuan primer ini
didasari oleh dua asumsi. Salah satunya adalah pandangan kontemporer
bahwa pengetahuan tidak sepenuhnya tetap dan dapat
ditularkan/diteruskan, tetapi sesuatu yang dikonstruksi secara aktif oleh
semua individu, siswa maupun orang-orang dewasa, melalui pengalaman
pribadi maupun sosial. Asumsi lainnya adalah pandangan yang percaya
bahwa hal penting yang seharusnya dipelajari siswa adalah How to
learn.
10
1.3 Strategi Belajar Mengajar Matematika
11
menyeluruh dari beberapa aksioma dan definisi yang dipilih dan saling
bersesuaian.
12
matematika murni, dikembangkan oleh beberapa matematikawan
ternyata saat ini dapat diterapkan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi mutakhir.
Meskipun matematika memiliki definisi yang berbeda-beda,
namun masih dapat dilihat ciri-ciri atau karakteriktik dari matematika.
Beberapa karakteristik matematika adalah sebagai berikut.
1. Memiliki objek kajian abstrak. Objek-objek tersebut merupakan
objek dasar pikiran. Objek dasar itu adalah: (a) fakta, (2) konsep,
(3) operasi ataupun relasi, (4) prinsip. Selanjutnya objek dasar ini
dapat disusun suatu pola dan struktur matematika.
2. Bertumpu pada kesepakatan. Dalam matematika kesepakatan
yang paling mendasar adalah aksioma dan konsep primitif.
Aksioma digunakan untuk menghindarkan berputar-putar dalam
pembuktian, sedangkan konsep primitif digunakan untuk
menghindarkan berputar-putar dari pendefinisian.
3. Berpola pikir deduktif. Secara sedehana pola pikir deduktif dapat
dikatakan mengikuti hal-hal yang bersifat umum diarahkan kepada
hal-hal yang bersifat khusus.
4. Memiliki simbol yang kosong dari arti. Makna simbol kosong
dari arti ini menempatkan matematika dapat dipandang sebagai
bahasa simbol.
5. Memperhatikan semesta pembicaraan. Benar atau salahnya,
atau tidak adanya penyelesaian suatu model matematika ditentukan
oleh semesta pembicaraannya.
6. Konsisten dalam sistemnya. Sebagai contoh kita punya sistem
geometri dan aljabar, maka sistem geometri lepas dari sistem
aljabar.
13
1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Proses Belajar
dan Mengajar Matematika
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dan
mengajar terdiri dari faktor internal dan faktor internal. Faktor internal
berasal dari diri siswa seperti kecerdasan, motivasi, minat dan perhatian,
serta kondisi fisik siswa. Faktor eksternal berasal dari luar diri siswa
seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hudojo (1990) menguraikan
faktor internal dan eksternal ini menjadi 4 bagian, jika kita ingin
memperoleh hasil belajar matematika yang baik, maka faktor-faktor
berikut tersebut harus dikelola dengan baik.
14
disampaikan. Selain itu kemampuan guru memahami teori-teori
belajar akan membuat guru dapat memilih strategi yang sesuai
dengan materi yang diajarkan, hal ini akan memotivasi siswa
belajar lebih aktif.
3. Sarana dan Prasarana. Sarana yang lengkap seperti adanya
buku, media, dan laboratorium matematika merupakan fasilitas
yang penting dalam pembelajaran. Keadaan kelas yang sesuai
antara banyaknya siswa dengan keadaan kelas juga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi proses belajar dan mengajar.
Bagaimana mungkin mereka dapat belajar dengan enak, kalau
kelas itu tidak memadai bagi setiap siswa.
4. Penilaian. Mutu pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satunya adalah sistem penilaian (assesment) yang dilakukan
oleh guru. Setiap penilaian didasarkan pada tiga elemen mendasar
yang saling berhubungan, yaitu: aspek prestasi yang akan dinilai
(kognisi), tugas-tugas yang digunakan untuk mengumpulkan bukti
tentang prestasi siswa (observasi), dan metode yang digunakan
untuk menganalisis bukti yang dihasilkan dari tugas-tugas
(interpretasi). Menurut Hudojo (1990)selain digunakan untuk
mengetahui bagaimana hasil belajar siswa, penilaian juga
digunakan melihat interaksi antara guru dan siswa dalam
pembelajaran di kelas.
15
proses belajar dengan baik sehingga memperoleh hasil belajar yang
diinginkan dapat tercapai.
16
4. Guru efektif mengacu pada arah refleksi dan problem solving.
Mereka menganggap belajar mengajar adalah sebuah proses
seumur hidup, dan mendiagnosis berbagai situasi dan
mengadaptasikan serta menggunakan pengetahuan profesionalnya
secara tepat guna untuk meningkatkan pembelajaran siswa dan
sekolahnya.
17
pendidikan, strategi dapat diartikan a plan, method, or series of activities
designed to achieves a particular education goal. Jadi strategi dapat
diartikan sebagai perencanaan, motode yang berisi tentang perencanaan
tentang rangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Dalam konteks belajar-mengajar, strategi berarti
rencana tentang aktivitas guru dan siswa untuk mencapai tujuan
pengajaran. Ngalimun (2017) mengatakan dalam konteks belajar-
mengajar dapat diartikan pola umum perbuatan guru-siswa di dalam
perwujudan kegiatan belajar mengajar. Sifat pola umum tersebut berarti
macam dan urutan aktivitas yang dimaksud tampak dipergunakan guru-
siswa dalam berbagai peristiwa belajar. Dengan demikian maka konsep
strategi dalam hal ini menunjuk pada karakteristik abstrak dari
serangkaian perbuatan siswa-guru dalam peristiwa belajar-mengajar.
Implisit dari karakteristik abstrak tersebut adalah rasional yang
membedakan strategi yang satu dengan yang lain secara fundamental.
Istilah lain yang dipergunakan dalam untuk maksud ini adalah model-
model mengajar. Sedangkan rangkaian perbuatan guru-siswa dalam suatu
peristiwa belajar-mengajar aktual tertentu, dinamakan prosedur
instruksional.
Berikut ini akan diuraikan beberapa definisi strategi pembelajaran.
1. Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa
agar tujuan dapat dicapai secara efektif.
2. Dick dan Carrey (1990) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran
terdiri dari seluruh komponen materi pembelajaran dan prosedur
atau tahapan kegiatan belajar yang digunakan guru untuk
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
18
Selanjutnya mereka mengatakan strategi pembelajaran bukan
hanya terbatas pada prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja,
tetapi termasuk juga pengaturan materi yang akan disampaikan
kepada siswa.
3. Cropper dalam Wiryawan dan Noorhadi (1998) strategi
pembelajaran merupakan pemilihan atas berbagai jenis latihan
tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai.
Dari berbagai definisi strategi pembelajaran tersebut ada dua hal
yang dapat diperhatikan. Pertama, strategi pembelajaran merupakan
serangkaian rencana tindakan termasuk penggunaan metode dan
pemanfaatan berbagai sumber kekuatan. Kedua, strategi disusun untuk
mencapai tujuan tertentu. Jadi arah dari semua keputusan strategi adalah
pencapaian tujuan. Oleh sebab itu sebelum menentukan strategi perlu
dirumuskan tujuan dengan jelas yang dapat diukur dengan
keberhasilannya, sebab tujuan merupakan rohnya suatu strategi.
Beberapa istilah yang berdekatan dengan kata strategi
pembelajaran adalah: model, pendekatan, metode, dan teknik. Semua
istilah tersebut seringkali berhubungan dengan proses pembelajaran.
Suatu strategi pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada
pendekatan yang digunakan sedangkan bagaimana menjalankan strategi
tersebut dapat ditetapkan berbagai metode pembelajaran. Dalam rangka
menjalankan metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang
dianggapnya relevan dengan metode itu, dan setiap guru memiliki taktik
yang mungkin berbeda satu dengan yang lain.
Ada tiga jenis strategi yang berkaitan denga pembelajaran, yaitu:
1. Strategi pengorganisasian pembelajaran
19
2. Strategi pencapaian pembelajaran
3. Strategi pengelolaan pembelajaran
Strategi pengorganisasian pembelajaran, atau dikatakan strategi
pengorganisasian isi pelajaran disebut sebagai struktur strategi yang
mengacu pada cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta,
konsep, prosedur, dan prinsip yang berkaitan (Reigeluth, Bunderson, dan
Meril, 1977). Strategi pengorganisasian pembelajaran ini terdiri atas dua
strategi, yakni strategi mikro dan strategi makro. Strategi mikro mengacu
pada pengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada suatu konsep
atau prinsip. Strategi makro berkaitan dengan bagaimana memilih dan
menata urusan membuat sintesis dan rangkuman isi pembelajaran yang
saling berkaitan.
Strategi penyampaian pembelajaran, berfungsi untuk
menyampaikan isi pembelajaran kepada siswa, menyediakan informasi
atau bahan-bahan yang diperlukan siswa untuk menampilkan unjuk
kerja. Strategi pengelolaan pembelajaran, berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi
penyampaian mana yang digunakan dalam pembelajaran.
Menurut Hadimiarso (1989) klasifikasi strategi pembelajaran yang
akan dipilih berdasarkan atas pertimbngan sebagai berikut.
1. Tujuan belajar, jenis dan jenjang.
2. Sifat kedalaman dan banyaknya isi pelajaran.
3. Latar belakang, motivasi, dan kondidsi siswa.
4. Jumlah, kualifikasi, dan kompetensi tenaga pengajar.
5. Lama dan jadwal.
6. Sarana yang dapat dimanfaatkan.
20
Menurut Hamzah dan Muhlisrani (2013) pembahasan mengenai
strategi belajar meliputi dua strategi.
1. Belajar akan memberikan hasil baik apabila dihasilkan melalui
proses strategi ekspositori yang didasarkan atas teori informasi.
2. Belajar akan memberikan hasil baik apabila dihasilkan melalui
proses penemuan (discovery).
Sedangkan (Rowntree dalam Sanjaya, 2008) mengatakan bila dilihat dari
strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian,
yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual
learning Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi
pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan
strategi pembelajaran deduktif.
LATIHAN
1. Jelaskan dengan singkat dengan contoh yang konkret tentang
pengertian strategi pembelajaran.
2. Berilah suatu contoh strategi pembelajaran matematika melalui proses
penemuan dengan menggunakan strategi pembelajaran induktif.
3. Berilah suatu kesulitan pembelajaran matematika yang penyebabnya
terkait dengan hirarki belajar.
21
BAB 2
BERBAGAI TEORI BELAJAR
22
belajar tingkah laku yaitu teori belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov,
dan Bandura.
23
2) Hukum latihan (law of exercise) menyatakan bahwa jika hubungan
stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin
kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon
dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum
latihan pada dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan
respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika
proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini
dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis.
Seorang siswa yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering
ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai
dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3) Hukum akibat (law of effect) menjelaskan bahwa apabila asosiasi
yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu
kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti
bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan
memberikan kepuasan bagi siswa, dan siswa cenderung untuk
berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya
itu.
Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai
berikut:
1) Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan
bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 4
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan
stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang
24
ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun
psikomotornya.
3) Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus
tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan
situasi (respon selektif).
4) Hukum respon melalui analogi (law of response by analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah
dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah
dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur
yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang
sama, maka transfer akan semakin mudah.
5) Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum
dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan
penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar
antara lain:
1) Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja
tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons,
sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah
hubungan stimulus-respons.
2) Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya
lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini
yang benar. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan
25
meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jika
diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa.
3) Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan
kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons.
4) Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain
maupun pada individu lain.
26
percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan. Bertitik tolak dari asumsinya
bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian
Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing)
karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia.
Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.
27
mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu
tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari
luar dirinya.
28
sehingga siswa semakin sering melakukannya. Contoh penguatan positif
diantaranya adalah pujian yang diberikan pada siswa. Sikap guru yang
bergembira pada saat siswa menjawab pertanyaan, merupakan penguatan
positif pula. Untuk mengubah tingkah laku siswa dari negatif menjadi
positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk
memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku siswa.
Guru di dalam kelas mempunyai tugas untuk mengarahkan siswa dalam
aktivitas belajar, karena pada saat tersebut, kontrol berada pada guru,
yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada siswa
didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri siswa. Mereka yang mendapat
pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan
biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh
semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan
memotivasi siswa untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang
diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu
ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada siswa, sedangkan
hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan tentu
harus diarahkan pada respon siswa yang benar. Janganlah memberikan
penguatan atas respon siswa jika respon tersebut sebenarnya tidak
diperlukan.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang
efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar
respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu
dipertahankan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak
diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera
diberi penguatan negatif agar respon tersebut tidak diulangi lagi dan
29
berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa
berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung
pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks
30
harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang
malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforcement penting
dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi
atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku.
Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati
dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui
observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah
laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau
ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif.
Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat
mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku
dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan
kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya
sendiri.
Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:
1) Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
2) Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui
penyaksian cara orang/sekelompok orang yang mereaksi/merespon
sebuah stimulus tertentu.
3) Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara
pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya:
guru/orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses
perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya
pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).
31
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan
di dalam kelas, yaitu:
32
2.2 Teori Belajar Aliran Psikologi Kognitivisme
Teori belajar kognitivisme erat hubungannya dengan psikologi
kognitif. Adanya pemahaman di dalam jiwa seseorang berpengaruh
dengan bagaimana belajar yang baik, Prinsip teori belajar kognitivisme
adalah setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan segala
sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan
pemahaman atas dirinya. Setiap manusia mempunyai ide, kepercayaan,
dan prinsip-prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada
prosedr yang diterapkan dalam situasi kelas, bagaimana seorang siswa
mencapai pemahaman atas diri dan lingkungannya lalu menafsirkan diri
dan lingkungan psikologis belajarnya merupakan faktor yang saling
terkait. Setiap pemahaman diperoleh dari dari memahami diri sendiri dan
lingkungannya disebut insight. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori
belajar kognitivisme.
33
dimilikinya menjadi suatu struktur kognitif yang lebih luas/lengkap
sehingga mencapai pemahaman mendalam. Lev Semenovich Vygotsky
merupakan tokoh penting dalam konstruktivisme sosial. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu
memperhatikan lingkungan sosial. Ada dua konsep penting dalam teori
Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial
(yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu). Yang dimaksud dengan orang dewasa adalah guru
atau orang tua.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa
selama tahap- tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Berdasarkan uraian
di atas, Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan
seorang individu dicapai melalui interaksi sosial. Proses
pengkonstruksian pengetahuan seperti yang dikemukakan Vygotsky
paling tidak dapat diilustrasikan dalam beberapa tahap seperti pada
Gambar 2. Tahap perkembangan aktual (Tahap I) terjadi pada saat siswa
berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya.
Perkembangan aktual ini dapat mencapai tahap maksimum apabila
kepada mereka dihadapkan masalah menantang sehingga terjadinya
konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu dan memacu mereka
34
untuk menggunakan segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap II) terjadi pada saat siswa
berinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki
kemampuan lebih, seperti teman dan guru, atau dengan komunitas lain
seperti orang tua. Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap
maksimal jika pembelajaran dilakukan secara kooperatif (cooperative
learning) dalam kelompok kecil dua sampai empat orang dan guru
melakukan intervensi secara proporsional dan terarah. Dalam hal ini guru
dituntut terampil menerapkan teknik scaffolding yaitu membantu
kelompok secara tidak langsung menggunakan teknik bertanya dan
teknik probing yang efektif, atau memberikan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan ini terjadi rekonstruksi mental
yaitu berubahnya struktur kognitif dari skema yang telah ada menjadi
skema baru yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III) menurut
Vygotsky merupakan aktivitas mental tingkat tinggi jika terjadi karena
adanya interaksi sosial. Jika dikaitkan dengan teori perkembanga mental
yang dikemukakan Piaget, internalisasi merupakan proses
penyeimbangan struktur-struktur internal dengan masukan-masukan
eksternal. Proses kognitif seperti ini, pada tingkat perkembangan yang
lebih tinggi diakibatkan oleh rekonseptualisasi terhadap masalah atau
informasi sedemikian sehingga terjadi keseimbangan (keharmonisan)
dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai pertentangan atau konflik.
Pada level ini, diperlukan intervensi yang dilakukan secara sengaja oleh
guru atau yang lainnya sehingga proses asimilasi dan akomodasi
berlangsung dan mengakibatkan terjadinya keseimbangan (equilibrium).
35
Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika
menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan
bahasa matematika yang baru dalam mengkreasi pengetahuan.
Mengkonstruksi pengetahuan merupakan fokus yang krusial dari
pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa siswa belajar untuk
menggunakan bahasa baru dengan internalisasi pengetahuan dari kata
yang mereka katakan, pengembangan budaya siswa dari pengetahuan
kata dua proses fungsi. Pertama, pada tingkat sosial dan kedua, pada
tingkat individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai
pemahaman. Siswa menggunakandan menginternalisasikan kata-kata
baru yang saat itu diperoleh dari orang lain. Mereka selalu menemukan
diri mereka sendiri dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai
pelajaran baru. ZPD merupakan tempat pengetahuan seseorang di antara
pengetahuan saat itu dengan pengetahuan potensialnya.
36
memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing
bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah
mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri
dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu
bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-
ciri bangun persegipanjang tersebut.
2) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri
berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata
lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-
bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang
dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini
siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan
persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”
3) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri
yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai
contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika
pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-
sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat
ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun.
Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara
bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat
ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga
persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri
persegipanjang.
37
4) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan
secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat khusus, (2) siswa mampu memahami pengertian-
pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan
terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai
mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa
pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang
bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses
berpikir tersebut.
Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-
sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan
dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara
induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda
jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya
membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan
belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada
dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang
sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur
sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara
deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada
matematika.
Siswa pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Siswa pada
tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif.
Oleh karena itu, siswa pada tahap ini belum dapat menjawab
38
pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk
teorema atau dalil?”
5) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini siswa sudah memahami betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu
pembuktian. Sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan
postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa
pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan
tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini
memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa
mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem
matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa
membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada
tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih
dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem
geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan
berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan
bahwa terdapat tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu
waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola
secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir
siswa kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Menurut Van Hiele, semua siswa mempelajari geometri dengan melalui
tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan
39
adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai
memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang
satu dengan siswa yang lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu
ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau
kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru
dan proses belajar yang dilalui siswa. Bila dua orang yang mempunyai
tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran
maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut Van Hiele seorang siswa yang berada pada tingkat yang
lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang
berada pada tingkat yang lebih tinggi dari siswa tersebut. Kalaupun
siswa itu dipaksakan untuk memahaminya, siswa itu baru bisa
memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian. Adapun fase-
fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran
guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase
pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase
eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi. Berdasar hasil
penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berguna untuk
menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai
Perguruan Tinggi.
Van de Walle (1990) membuat deskripsi aktivitas yang lebih
sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut
Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap
pertama adalah sebagai berikut.
Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain adalah sebagai berikut.
40
1) Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk
memanipulasi.
41
2) Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal,
misalnya semua, suatu, dan jika-maka, serta mengamati validitas
konversi suatu relasi.
42
Ausubel & Robinson (dalam Dahar: 1989) kaitan antar kedua dimensi
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
43
menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya,
sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu
dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988) prasyarat-prasyarat belajar
bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus
bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor,
yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan
yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa
yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna.
Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
44
konsep itu. Menurut Sulaiman (1988) diferensiasi progresif adalah
cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan
secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara
terpisah dari satu kesatuan yang besar.
c) Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan
dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu
tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat
terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas,
lebih inklusif.
d) Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan
hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan,
melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru
dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus
memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru
dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya
yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang
tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
45
2.2.4. Teori Belajar Bruner
46
dibicarakan. Dengan demikian materi yang mempunyai suatu pola atau
struktur tertentu akan lebih mudah dipahami oleh anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema
pendidikan, yakni: (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum
hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, karena dalam struktur
pengetahuan kita menolong para siswa untuk melihat. (2) Kesiapan
(readiness) untuk belajar. Menurut Bruner (1966:29), kesiapan terdiri
atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang
memungkinkan seorang untuk mncapai keterampilan-keterampilan yang
lebih tinggi. (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan. Intuisi adalah
teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif
tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah
formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sahih
atau tidak, serta (4) motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-
cara yang dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.
47
Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan
kognitif sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat
pada dua prinsip, yaitu: (1) pengetahuan seseorang tentang alam
didasarkan pada model-model tentang kenyataan yang dibangunnya dan
(2) model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan
seseorang, kemudian model-model itu diadaptasi pada kegunaan bagi
orang yang bersangkutan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif
seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a) Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-
tergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam hal ini ada kalanya
seorang anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan
stimulus yang berubah-ubah, atau belajar mengubah responnya
dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Melalui
pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan
stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah stimulus
sebelum respons.
48
dengan pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang telah
dilakukan atau apa yang dilakukan.
49
simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak
lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa
pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek lain.
Dari hasil penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil terkait
penguasaan konsep-kosep oleh anak. Dalil-dalil tersebut adalah dalil-
dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem),
dalil kekontrasan dan dalil variasi (contrast and variation theorem), dalil
pengaitan (connectivity theorem).
2.2.4.2 Menerapkan Metode Penemuan dalam Pembelajaran
Salah satu dari model-model instruksional kognitif yang paling
berpengaruh adalah model belajar penemuan Jerome Bruner (1966).
Selanjutnya Bruner memberikan arahan bagaimana peran guru dalam
menerapkan belajar penemuan pada siswa, sebagai berikut.
a) Merencanakan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi
para siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya
menggunakan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa, kemudian
guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan, sehingga terjadi
konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah,
yang akan merangsang siswa untuk menyelidiki masalah itu,
menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-
konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah tersebut.
50
c) Pada saat siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan
sebagai pembimbing atau tutor. Guru hendaknya tidak
mengungkap terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, guru hendaknya memberikan saran- saran jika
diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan
balik pada saat yang tepat untuk perbaikan siswa.
d) Dalam menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes objektif
atau tes esay, karena tujuan-tujuan pembelajaran tidak dirumuskan
secara mendetail. Tujuan belajar penemuan adalah mempelajari
generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-
generalisasi itu.
LATIHAN
51
BAB 3
52
Yang artinya: Dua tujuan pendidikan terpenting adalah
mempromosikan retensi dan mempromosikan transfer (yang bila
terjadi, menunjukkan pembelajaran yang bermakna). Dimana
retensi mengharuskan siswa mengingat apa yang telah mereka
pelajari, sedangkan transfer mengharuskan siswa tidak hanya
mengingat tapi juga untuk memahami dan dapat menggunakan apa
yang telah mereka pelajari. (Anderson & Krathwohl, 2001, p. 63).
53
she must use one or more higher-order thinking processes. These
thinking processes are called problem solving”.
Yang artinya, Seorang siswa menimbulkan masalah saat ia ingin
mencapai tujuan atau sasaran tertentu namun tidak secara otomatis
mengenali jalan atau solusi yang tepat untuk digunakan dalam
mencapainya. Masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana
mencapai tujuan yang diinginkan. Karena seorang siswa tidak
dapat secara otomatis mengenali cara yang tepat untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, dia harus menggunakan satu atau lebih
proses berpikir tingkat tinggi. Proses berpikir ini disebut
pemecahan masalah. (Nitko & Brookhart, 2007, hal 215).
54
Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan komponen
kemampuan berpikir, yaitu kecakapan mengolah pikiran untuk
menghasilkan ide-ide yang baru. Selin itu, kreatifitas adalah kemampuan
seseorang untuk membangun dan mengembangkan ide-ide baru untuk
melihat peluang dan memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif tergolong kedalam kemampuan
berpikir tingkat tinggi
55
Selanjutnya, Keraf (1985) berpendapat bahwa penalaran adalah suatu
proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk
atau eviden ,menuju kepada suatu kesimpulan.
Yang terakhir, Gorys Keraf (1985:5) berpendapat bahwa penalaran
adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti,
fakta, petunjuk atau eviden, menuju kepada suatu kesimpulan.
Bernalar merupakan proses yang “dialektis” artinya selama kita
bernalar atau berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab untuk
dapat meletakkan hubungan antara pengetahuan-pengetahuan yang kita
miliki. Para ahli logika mengemukakan ada tiga proses yang harus dilalui
dalam bernalar, yaitu membentuk pengertian, membentuk pendapat,
membentuk kesimpulan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelanaran
(reasoning) adalah proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk
dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi. Unsur-unsur penalaran
adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi antara ketiganya
merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu
pernyataan teori. Penalaran melibatkan inferensi yaitu proses penurunan
kosekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan
simpulan/konklusi dari serangkaian pernyataan atau asersi.
Menurut John Dewey, proses penalaran manusia melalui tahapan
sebagai berikut.
1. Timbulnya rasa kesulitan, baik dalam bentuk kesulitan penyesuaian
terhadap suatu peralatan, kesulitan mengenai sifat, ataupun
kesulitan dalam menerangkan berbagai hal yang muncul secara
tiba-tiba.
56
2. Perasaan kesulitan ini selanjutnya diberi definisi dalam bentuk
permasalahan
3. Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang dapat berupa
perkiraan-perkiraan, dugaan sementara, atau teori-teori.
4. Ide-ide pemecahan tersebut diuraikan secara rasional dengan jalan
mengumpulkan bukti-bukti (data).
5. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkan
baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-
ciri tertentu yaitu:.
Logis, suatu penalaran harus memenuhi unsur logis, artinya
pemikiran yang ditimbang secara objektif dan didasarkan pada data
yang shahih.
Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas dari daya
imajinatif seseorang dalam merangkai, menyusun, atau
menghubungkan petunjuk-petunjuk akal pikirannya ke dalam suatu
pola tertentu.
Rasional, artinya adalah apa yang sedang dinalar merupakan suatu
fakta atau kenyataan yang memang dapat dipikirkan secara
mendalam.
Kronologi mengenai terjadinya penalaran dimulai dari pengamatan
indera atau observasi empirik. Proses itu di dalam pikiran menghasilkan
sejumlah pengertian dan proposisi sekaligus. Berdasarkan
pengamatanpengamatan indera yang sejenis, pikiran menyusun proposisi
yang sejenis pula. Proses inilah yang disebut dengan penalaran yaitu
bahwa berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap
57
benar kemudian digunakan untuk menyimpulkan sebuah proposisi baru
yang sebelumnya tidak diketahui.
58
Istilah penalaran matematika atau biasa yang dikenal dengan
penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan
mathematical reasoning. Karin Brodie menyatakan bahwa,
“Mathematical reasoning is reasoning about and with the object of
mathematics .” Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran
matematis adalah penalaran mengenai objek matematika. Objek
matematika dalam hal ini adalah cabang-cabang matematika yang
dipelajari seperti statistika, aljabar, geometri dan sebagainya.
Penalaran matematika dapat diartikan sebagai proses berpikir
mengenai bagaimana cara menjelaskan dan memenyelesaikan masalah
untuk mendapatkan solusi dalam penyelesaiannya. Dari definisi di atas
peneliti mengambil kesimpulan bahwa penalaran matematika adalah
suatu proses berpikir dalam mencari kebenaran terhadap objek
matematika, atau suatu proses 9 berpikir dalam mencari solusi
matematika yang kemudian ditarik kesimpulannya dari pernyataan
bersifat umum menjadi khusus, atau dari khusus menjadi umum.
Referensi lain yaitu Math Glossary menyatakan definisi penalaran
matematis sebagai berikut, “Mathematical reasoning: thinking through
math problems logically in order to arrive at solutions. It involves being
able to identify what is important and unimportant in solving a problem
and to explain or justify a solution.
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis
adalah berpikir mengenai permasalahan-permasalahan matematika secara
logis untuk memperoleh penyelesaian. Penalaran matematis juga
mensyaratkan kemampuan untuk memilah apa yang penting dan tidak
penting dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dan untuk
menjelaskan atau memberikan alasan atas sebuah penyelesaian.
59
Dari definisi yang tercantum pada Math Glossary tersebut, dapat
diketahui bahwa terdapat dua hal yang harus dimiliki siswa dalam
melakukan penalaran matematis yaitu kemampuan menjalankan
prosedural penyelesaian masalah secara matematis dan kemampuan
menjelaskan atau memberikan alasan atas penyelesaian yang dilakukan
Penalaran matematis mensyaratkan kemampuan untuk memilah
apa yang penting dan tidak penting dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan dan untuk menjelaskan atau memberikan alasan atas
sebuah penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa,
seharusnya guru tidak hanya memberikan pertanyaan kepada siswa yang
bersifat mengingat kembali tentang sesuatu atau prosedur metematika,
melainkan juga seharusnya memberikan pertanyaan yang mendorong
siswa untuk berpikir, bernalar, dan menjelaskan pengetahuannya.
Di dalam mempelajari matematika kemampuan penalaran dapat
dikembangkan pada saat siswa memahami suatu konsep (pengertian),
atau menemukan dan membuktikan suatu prinsip. Kemampuan
Penalaran dalam matematika dapat mengembangakan pandangan
seseorang tentang sesuatu permasalahan. Seorang yang nalarnya tinggi
memungkinkan akan mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu
permasalahan dibandingkan yang nalarnya rendah
Kemampuan penalaran matematis sangat diperlukan oleh siswa
untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan matematika. Dengan
adanya kemampuan bernalar siswa dapat memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
60
1. Penalaran Induktif
Menurut Priatna, penalaran induktif dimulai dengan memeriksa
keadaan khusus dan menuju penarikan kesimpulan umum.5 Hal ini
berarti penalaran induktif adalah proses berpikir untuk menarik suatu
kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum
berdasarkan pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui
kebenarannya.
2. Penalaran Deduktif
Menurut Suherman bahwa matematika dikenal sebagai ilmu deduktif.
Hal ini berarti proses pengerjaan matematika harus bersifat deduktif.
Menurut Matlin bahwa penalaran deduktif berarti membuat beberapa
kesimpulan logis berdasarkan informasi yang diberikan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa penalaran deduktif yaitu penalaran yang
mengambil kesimpulan berdasarkan hal yang umum, yang telah
dibuktikan terlebih dahulu.
61
Mengikuti aturan inferensi (Menarik kesimpulan), memeriksa
validitas
Menyusun argument yang valid
Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan
induksi matematik. Berdasarkan beberapa definisi mengenai
kemampuan penalaran matematis di atas maka peneliti menetapkan
definisi kemampuan penalaran matematis pada penelitian ini
sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan 11 kesimpulan atau
membuktikan sesuatu yang berhubungan dengan matematika
dalam menemukan kebenaran terhadap satu argumen yang sudah
ada sebelumnya
3.1.4 Indikator Penalaran Matematika.
Penalaran merupakan salah satu aspek yang sangat mendukung
keberhasilan dalam proses pemecahan masalah matematika siswa. Untuk
dapat menyelesaikan soal-soal matematika, siswa harus menggunakan
kemampuan berargumentasinya. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah
kemampuan bernalar atau yang disebut dengan penalaran. Sebab, materi
matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui penalaran, dan
penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.
Siswa dikatakan mampu melakukan penalaran matematika bila ia
mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Menurut Sumarmo, indikator penalaran matematika pada
pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat:
Menarik kesimpulan logis;
62
Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat- sifat dan
hubungan;
Memperkirakan jawaban dan proses solusi;
Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik;
Menyusun dan menguji konjektur;
Merumuskan lawan contoh (counter example);
Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen;
Menyusun argumen yang valid; dan i. Menyusun pembuktian
langsung, tak langsung, dan menggunakan induksi matematika.
Sedangkan berdasarkan penjelasan teknis Peraturan Dirjen
Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November
2004 tentang rapor diuraikan bahwa indikator siswa yang memiliki
kemampuan dalam penalaran matematika adalah:
Mengajukan dugaan.
Melakukan manipulasi matematika.
Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau
bukti terhadap kebenaran solusi.
Menarik kesimpulan dari pernyataan.
Memeriksa kesahihan suatu argumen.
Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi.
Berpikir adalah daya yang paling utama dan ciri khas yang
membedakan manusia dengan makhluk lain. Definisi berpikir
adalah satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan
63
yang terarah kepada suatu tujuan. Ciri-ciri yang terutama dari berpikir
adalah adanya abstraksi.
64
anak. Kemudian beliau mendefenisikan berpikir kritis (critical thinking),
yaitu: “Aktif, gigih, dan pertimbangan yang cermat mengenai sebuah
keyakinan atau bentuk pengetahuan apapun yang diterima dipandang
dari berbagai sudut alasan yang mendukung dan menyimpulkannya.
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan tingkat tinggi
yang sangat penting diajarkan kepada siswa selain keterampilan
berpikir kreatif. Apa itu berpikir kritis? Berikut ini disajikan beberapa
definisi mengenai berpikir kritis (keterampilan berpikir kritis).
Bobbi De Porter. dkk (2013:298) menyatakan bahwa berpikir kritis
adalah salah satu keterampilan tingkat tinggi yang sangat penting
diajarkan kepada siswa selain keterampilan berpikir kreatif.
Didalam berpikir kritis, kita berlatih atau memasukkan penilaian
atau evaluasi yang cermat, seperti menilai kelayakan suatu gagasan
atau produk.
Menurut Johnson berpikir kritis mengorganisasikan proses yang
digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah,
mengambil keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi
dan penemuan ilmiah.
Menurut Edward Glaser mendifinisikan bahwa “critical thinking
as: (1) an attitude of being disposed to consider in a thoughtful
way the problems and subjects that come within the range of one’s
experience; (2) knowledge of the methods of logical enquiry and
reasoning; and (3) some skill in applying those methods. Critical
thinking calls for a persistent effort to examine any belief or
supposed form of knowledge in the light of the evidence that
supports it and the further conclu sions to which it tends.”
Definisi di atas menjelaskan bahwa berpikir kritis sebagai: (1)
65
suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-
masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman
seseorang; (2) pengetahuan tentang metodemetode pemeriksaan
dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan
untuk menerapkan metode-metode tersebut.
Sedangkan menurut Ennis (1962) : Berpikir kritis adalah berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Definisi berpikir kritis menurut Beyer (1985) : Berpikir kritis
adalah kemampuan (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2)
membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3)
membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan
mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi
bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7)
mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Definisi berpikir kritis menurut Walker (2006) :Berpikir kritis
adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep,
mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau
mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi,
pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini diguanakan sebagai
dasar saat mengambil tindakan.
Definisi berpikir kritis menurut Chance (1986) :Berpikir kritis
adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan
menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan
memecahkan masalah.
66
Definisi berpikir kritis menurut Mertes (1991) :Berpikir kritis
adalah sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan
untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman
dengan sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu
keyakinan dan tindakan.
Definisi berpikir kritis menurut Angelo (1995):Berpikir kritis
adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi,
meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenali
permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan serta
mengevaluasi.
Setyowati, dkk (2011: 90-91) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir
peserta didik untuk membandingkan dua atau lebih informasi
dengan tujuan memperoleh pengetahuan melalui pengujian
terhadap gejala-gejala menyimpang dan kebenaran ilmiah.
Definisi berpikir kritis menurut Mustaji (2012): Berpikir kristis
adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan
pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau
dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berpikir
kritis, misalnya (1) membanding dan membedakan, (2) membuat
kategori, (2) meneliti bagian-bagian kecil dan keseluruhan, (3)
menerangkan sebab, (4) membuat sekuen / urutan, (5) menentukan
sumber yang dipercayai, dan (6) membuat ramalan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa kemampuan berpikir kritis yaitu sebuah kemampuan
yang dimiliki setiap orang untuk menganalisis ide atau gagasan ke arah
yang lebih spesifik untuk mengejar pengetahuan yang relevan tentang
67
dunia dengan melibatkan evaluasi bukti. Kemampuan berpikir kritis
sangat diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan hingga pada
tahap pencarian solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
3.2.1 Tujuan Berpikir Kritis
Ada beberapa tujuan mengembangkan keterampilan berpikir kritis,
diantaranya ialah:
68
berpikir kritis dapat berupa kejadian yang positif maupun negatif.
69
Menganalisis Mengidentifikasi kesimpulan
argument Mengidentifikasi kalimat-kalimat
pertanyaan
Mengidentifikasi dan menangani
suatu ketidakpastian
Melihat struktur dari suatu
argument
Membuat ringkasan
Bertanya dan Memberikan penjelasan
menjawab sederhana
pertanyaan Menyebutkan contoh
2 Membangun Mmpertimba Mempertimbangkan keahlian
keterampila ngkan Mempertimbangkan kemenarikan
n dasar apakah konflik
sumber dapat Mempertimbangkan kesesuaian
dipercaya sumber
atau tidak Mempertimbangkan penggunaan
prosedur yang tepat
Mempertimbangkan resiko untuk
reputasi
Kemampuan untuk memberikan
alas an
Mengobserv Melibatkan sedikit dugaan
asi dan Menggunakan waktu yang
mempertimb singkat antara observasi da
angkan laporan
laporan Melaporkan hasil observasi
observasi Merekam hasil observasi
Menggunakanbukti-bukti yang
benar
Menggunakan akses yang baik
Menggunakan teknologi
Mempertanggungjawabkan hasil
observasi
3 Menyimpul Mendeduksi Siklus logika Euler
ka dan Mengkondisikan logika
mempertimb Menyatakan tafsiran
angkan hasil
deduksi
70
Menginduksi Mengemukakan hal yang umum
dan Mengemukakan kesimpulan dan
mempertimb hipotesis
angkan hasil Mengemukakan hipotesis
induksi Merancang eksperimen
Menarik kesimpulan sesuai fakta
Menarik kesimpulan dari hasil
penyelidikan
Membuat Membuat dan menentukan hasil
dan pertimbangan berdasarkan latar
menentukan belakang fakta-fakta
hasil Membuat dan menentukan hasil
pertimbanga pertimbangan berdasarkan akibat
n Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan berdasarkan
penerapan fakta
Membuat dan menentukan hasil
pertimbanga
4 Memberikan Mendefinisik Membuat bentuk definisi
penjelasan an istilah Strategi membuat definisi
lanjut danmemperti Bertindak dengan memberikan
mbangk an penjelasan lanjut
suatu definisi Mengidentifikasi dan menangani
ketidakbenaran yang disengaja
Membuat isi definisi
Mengidentifi Penjelasan bukan pernyataan
kasi asumsi- Mengonstruksi argumen
asumsi
5 Mengatur Menentukan Mengungkap masalah
strategi dan suatu Memilih kriteria untuk
taktik tindakan mempertimbangkan solusi yang
mungkin
Merumuskan solusi alternatif
Menentukan tindakan sementara
Mengulang kembali
Mengamati penerapannya
Berinteraksi Menggunakan argumen
dengan orang Menggunakan strategi logika
lain Menggunakan strategi retorika
71
Menunjukkan posisi, orasi, atau
tulisan
Kemampuan berpikir kritis dapat diukur dengan menggunakan
instrumen yang dikembangkan melalui aspek dan indikator berpikir
kritis. Instrumen berpikir kritis dapat bertujuan untuk mengukur satu
aspek atau lebih dari satu aspek berpikir kritis (Ennis, 1993).
72
4. Berpikir latihan (practicing thinking)
Pemikir menganalisis pemikirannya secara aktif dalam sejumlah
bidang namun mereka masih mempunyai wawasan terbatas dalam
tingkatan berpikir yang mendalam.
5. Berpikir lanjut (advanced thinking)
Pemikir aktif menganalisis pikirannya, memiliki pengetahuan yang
penting tentang masalah pada tingkat berpikir yang mendalam.
Namun mereka belum mampu berpikir pada tingkat yang lebih tinggi
secara konsisten pada semua dimensi kehidupannya.
6. Berpikir yang unggul (master thinking)
Pemikir menginternalisasi kemampuan dasar berpikir secara
mendalam, berpikir kritis dilakukan secara sadar dan menggunakan
intuisi yang tinggi. Mereka menilai pikiran secara kejelasan,
ketepatan, ketelitian, relevansi, dan kelogisan secara intuitif.
73
atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian
disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika
Pemecahan masalah matematika adalah aplikasi dari konsep dan
keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa
kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi
yang berbeda. [CITATION Abd12 \p 205 \t \l 1057 ]
Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses
penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah
tersebut.[CITATION Her05 \p 2 \l 1057 ]. Selain itu, Amir (2016)
menyebutkan ada beberapa tahapan untuk menyelesaikan masalah, yaitu:
1. Memahami problem
Problem apa yang diadapi? Bagaimana kondisi dan datanya?
Bagaimana memilih kondisi-kondisi tersebut
2. Menyusun rencana
Menemukan hubungan antara data dengan hal-hal yang belum
diketahui. Apakah pernah problem yang mirip?
3. Melaksanakan rencana
Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa setiap
langkah dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar
4. Menengok ke belakang
Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat
Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk
menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan
dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Pemecahan masalah tidak
sekedar sebagai bentuk kemampuan meneraapkan aturan-aturan yang
telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan
74
lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan
pada tingkat yang lebih tinggi [ CITATION Mad11 \l 1057 ]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemecahan masalah adalah suatu kegiatan untuk mengatasi kesulitan
yang ditemui dengan menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan
yang telah diperoleh sebelumnya, sehingga diperoleh jalan untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Melalui penggunaan masalah-
masalah yang tidak rutin, siswa tidak hanya terfokus pada bagaimana
menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi yang ada, tetapi juga
menyadari kekuatan dan kegunaan matematika di dunnnia sekitar mereka
dan berlatih melakukan penyelidikan dan penerapan berbagai konsep
matematika yang telah mereka pelajari.
Kemampuan pemecahan masalah adalah pengetahuan tingkat
tinggi yang memerlukan suatu ketrampilan khusus dalam mencari solusi
atas masalah yang dihadapi dengan menggabungkan konsep-konsep dan
aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, sehingga diperoleh jalan
untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Menurut [ CITATION Geo73 \l 1057 ], ada empat langkah dalam
menyelesaikan masalah, yaitu:
(1) memahami masalah (understanding the problem). Hal ini tampak
dari kemampuan siswa memahami kondisi soal atau masalah
yang ada pada soal tersebut. Dapat dilihat dari kamampuan siswa
mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanya, dan
kecukupan unsur yang diperlukan.
(2) membuat rencana penyelesaian masalah (devisi a plan).
Kemampuan siswa memikirkan langkah-langkah apa saja yang
penting dan saling menunjang untuk dapat memecahkan
75
permasalahan yang diberikan, kemampuan siswa merumuskan
masalah matematika atau menyusun model matematika, dan juga
kemampuan siswa menerapkan strategi untuk menyelesaikan
berbagai masalah.
(3) melaksanakan rencana (carrying out the plan).Kemampuan siswa
membentuk sistematika soal yang lebih baku. Kemudian
kemampuan siswa memasukkan data-data hingga menjurus
kerencana pemecahannya.
(4) memeriksa kembali (looking back). Kemampuan siswa untuk
memeriksa kembali hasil kerja mereka.
3.4 Berpikir Kreatif (Creative Thinking)
3.4.1 Berpikir
Tuhan menganugerahkan akal pikiran kepada manusia sebagai
suatu anugrah yang sangat patut untuk disyukuri. Akal pikiran
dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai bukti bahwa manusia
merupakan makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk-
makhluk yang lain. Semua produk yang diciptakan manusia di dunia ini
adalah hasil dari kegiatan berpikir. Segala teknologi yang tercipta saat ini
yang telah begitu memudahkan manusia dalam aktivitasnya juga
merupakan hasil dari kegiatan berpikir.
Berpikir adalah daya yang paling utama dan merupakan ciri yang
khas yang membedakan manusia dengan hewan. Berpikir merupakan
kegiatan yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, karena selama
manusia hidup manusia akan terus berpikir.Berpikir berasal dari kata
pikir yang berarti akal budi; ingatan; angan-angan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Para ahli juga banyak mengungkapkan tentang definisi dari
berpikir, diantaranya seperti yang diutarakan oleh B. Clark (dalam
76
Azhari, 2013:4) bahwa“Berpikir adalah keadaan berpikir rasional, dapat
diukur. Dapat dikembangkan dengan latihan sadar dan sengaja. Tujuan
berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang
dikehendaki”. Sedangkan Slameto (2003: 142) mengatakan bahwa:
77
“Pengertian kreatif berhubungan dengan penemuan sesuatu,
mengenai hal yang menghasilkan sesuatu yang baru dengan
menggunakan sesuatu yang telah ada.Ini sesuai dengan perumusan
kreativitas secara tradisional.Secara tradisional kreativitas dibatasi
sebagai mewujudkan sesuatu yang baru dalam kenyataan. Sesuatu
yang baru itu mungkin perbuatan atau tingkah laku”.
Jadi, dari uraian di atas kreatif dapat kita artikan sebagai suatu
kemampuan/daya yang dimiliki oleh seseorang untukmenciptakan
sesuatu yang baru atau kemampuan untuk memandang suatu persoalan
dari perspektif yang tidak biasa, berbeda dari orang kebanyakan.
Kata-kata berpikir kreatif dan berpikir kritis saat ini tengah populer
di kalangan pengembang pembelajaran matematika. Karena bidang studi
matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang paling mampu
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis ini.
78
Banyak orang yang menyamakan definisi antara berpikir kreatif dan
berpikir kritis. Namun pada dasarnya terdapat perbedaan antara kedua
kata ini.
79
belajar mengajar. Hasil belajar dalam kecakapan kognitif itu
mempunyai hierarki/ bertingkat-tingkat. Adapun tingkat-tingkat
yang dimaksud adalah informasi non verbal, informasi fakta dan
pengetahuan verbal, konsep dan prinsip, pemecahan masalah dan
kreativitas ”.
80
Dari uraian diatas, maka peneliti menetapkan indikator untuk
mengukur kemampuan berpikir kreatif yaitu:
Pengertian Perilaku
81
Berpikir Lancar (fluency) 1. Mengajukan banyak pertanyaan
1. Mencetuskan banyak 2. Menjawab dengan sejumlah
gagasan, jawaban, jawaban jika ada
penyelesaian masalah atau 3. Mempunyai banyak gagasan
jawaban mengenai suatu masalah
2. Memberikan banyak cara 4. Lancar mengungkapkan gagasan-
atau saran untuk melakukan gagasannya
berbagai hal 5. Bekerja lebih cepat dan
3. Selalu memikirkan lebih dari melakukan lebih banyak dari
satu jawaban orang lain
6. Dapat dengan cepat melihat
kesalahan dan kelemahan dari
suatu objek atau situasi
Berpikir Luwes (flexibility) 1. Memberikan aneka ragam
1. Menghasilkan gagasan, penggunaan yang tak lazim
jawaban, atau pertanyaan terhadap suatu objek
yang bervariasi 2. Memberikan bermacam-macam
2. Dapat melihat suatu masalah penafsiran terhadap suatu gambar
dari sudut pandang yang , cerita atau masalah
berbeda 3. Menerapkan suatu konsep atau
3. Mencari banyak alternatif asas dengan cara yang berbeda-
atau arah yang berbeda beda
4. Mampu mengubah cara 4. Memberikan pertimbangan
pendekatan atau pemikiran terhadap situasi yang berbeda
dari yang diberikan orang lain
5. Dalam membahas,
mendiskusikan suatu situasi
selalu mempunyai posisi yang
bertentangan dengan mayoritas
kelompok
6. Jika diberikan suatu masalah
biasanya memikirkan bermacam-
macam cara untuk
menyelesaikannya
7. Menggolongkan hal-hal menurut
pembagian (kategori) yang
berbeda-beda
8. Mampu mengubah arah berpikir
secara spontan
Berpikir Orisinil (originality) 1. Memikirkan masalah-masalah
1. Mampu melahirkan atau hal yang tidak terpikirkan
82
ungkapan yang baru dan unik orang lain
2. Memikirkan cara-cara yang 2. Mempertanyakan cara-cara yang
tak lazim untuk lama dan berusaha memikirkan
mengungkapkan diri cara-cara yang baru
3. Mampu membuat kombinasi- 3. Memilih asimetri dalam
kombinasi yang tak lazim menggambarkan atau membuat
dari bagian-bagian atau desain
unsur-unsur 4. Memilih cara berpikir lain
daripada yang lain
5. Mencari pendekatan yang baru
dari yang klise
6. Setelah membaca atau
mendengar gagasan-gagasan,
bekerja untuk menyelesaikan
yang baru
7. Lebih senang mensintesa
daripada menganalisis sesuatu
Berpikir Elaboratif 1. Mencari arti yang lebih
(elaboration) mendalam terhadap jawabanatau
1. Mampu memperkaya dan pemecahan masalah dengan
mengembangkan suatu melakukan langkah-langkah yang
gagasan atau produk terperinci
2. Menambah atau merinci 2. Mengembangkan atau
detail-detail dari suatu objek, memperkaya gagasan orang lain
gagasan atau situasi sehingga 3. Mencoba atau menguji detail-
menjadi lebih menarik detail untuk melihat arah yang
akan ditempuh
4. Mempunyai rasa keindahan yang
kuat, sehingga tidak puas dengan
penampilan yang kosong atau
sederhana
5. Menambah garis-garis, warna-
warna, dan detail-detail (bagian-
bagian) terhadap gambarannya
sendiri atau gambar orang lain
83
tahun 1926 dalam bukunya The Art of Thought (Piirto, 1992), yang
menyatakan bahwa proses kreatif meliputi enam tahap 1) Persiapan, 2)
Inkubasi, 3) Iluminasi, dan 4) Verifikasi. Pada tahap pertama, seseorang
mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir,
mencari jawaban, bertanya kepada orang, dan sebagainya. Pada tahap
kedua, kegiatan mencari dan menghimpun data/informasi tidak
dilanjutkan. Tahap inkubasi ialah tahap dimana individu seakan-akan
melepaskan diri untuk sementara dari sadar, tetapi “mengeramnya”
dalam alam pra-sadar. Sebagaimana nyata dari analisis biografi maupun
dari laporan-laporan tokoh-tokoh seniman dan ilmuwan, tahap ini
penting artinya dalam proses timbulnya inspirasi. Mereka semua
melaporkan bahwa gagasan atau inspirasi yang merupakan titik mula
dari suatu penemuan atau kreasi baru berasal dari daerah pra-sadar atau
timbul dalam keadaan ketidaksadaran penuh.
Tahap verifikasi atau tahap evaluasi ialah tahap dimana ide atau
kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Disini diperlukan
pemikiran kritis dan konvergen. Dengan perkataan lain, proses
divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti oleh proses konvergensi
(pemikiran kritis).
Anak yang kreatif biasanya selalu ingin tahu, memiliki minat yang
luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan
84
remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri.
Mereka lebih berani mengambil risiko (tetapi dengan perhitungan) dari
pada anak-anak pada umumnya. Artinya dalam melakukan sesuatu yang
bagi mereka amat berarti, penting dan disukai, mereka tidak terlalu
menghiraukan kritik atau ejekan dari orang lain. Mereka pun tidak takut
untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka
walaupun mungkin tidak disetujui orang lain. Orang yang inovatif berani
untuk berbeda, menonjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari
tradisi. Rasa percaya diri, keuletan, dan ketekunan membuat mereka
tidak cepat putus asa dalam mencapai tujuan mereka.
85
BAB 4
86
Menurut sanjaya (2008:127) Pendekatan dapat diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.
Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran
langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran
ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta
strategi pembelajaran induktif. Berdasarkan pandangan para ahli
tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran dapat
diartikan sebagai pemikiran awal tentang jalan atau cara mendekati
sesuatu yang gunanya untuk mencapai tujuan pembelajaran , yang
merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya
masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis
tertentu. Dilihat dari pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan,
yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada
siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
PENDEKATAN PEMBELAJARAN
87
4.2.1 Pendekatan Kontekstual
4.2.1.1 Defenisi Pendekatan Kontekstual
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi
belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal.
Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta
atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang
dapat diterapkan (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003: 26).
Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman
seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga
pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan tertanam dalam
benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu
tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah bergantung kepada
skemata yang telah dimiliki seseorang (Ernest dalam Hudoyo, 1998: 4-
5)
Ruseffendi dalam Ismail (2002) mengatakan bahwa, pendekatan
adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau
siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Apabila melihatnya dari
sudut proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu dikelola. Contoh
pendekatan dalam pembelajaran matematika antara lain adalah Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pendekatan kontekstual adalah istilah lain
dari pendekatan cara belajar siswa aktif, sebab apa yang dilakukan dalam
pendekatan CBSA adalah sama dengan apa yang ada di dalam
pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual ini sebagai salah satu
pendekatan pembelajaran matematika yang terdapat dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Pada prinsipnya kurikulum tersebut adalah
mengisyaratkan kepada kita, agar dalam pembelajaran matematika di
88
sekolah, guru membawa siswa ke dalam dunia nyata. Dengan kata lain,
proses pembelajaran selalu digunakan dengan benda-benda konkrit yang
ada di lingkungan siswa.
Pendekatan konstektual merupakan suatu pendekatan belajar
dimana guru menjadikan situasi dunia nyata masuk dalam kelas dan
memtivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa untuk memecahkan masalah, bernalar dan
melaksanakan penemuan . Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa
makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana
mencapainya.
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar
lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam
lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan
memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan
materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran
lebih diutamakan daripada hasil belajar.
Uraian di atas akan lebih jelas, dengan memperhatikan contoh di
bawah ini. Guru menerangkan arti perkalian kepada siswa, melalui
metode tanya jawab dikombinasikan dengan metode ceramah sebagai
berikut.
Siswa : 3 + 3
89
Guru : Betul.
Selain 3 + 3, arti dari ialah
Siswa : 2 x 5
Guru : Bagus, berapakah 2 x 5
Siswa : 10
Guru : Betul, sekarang kamu Akbar selain 4 + 4 apa arti
Siswa : 2 + 2 + 2
90
Guru : Betul, Bapak ingin menggunakan perkalian. Coba siapa
yang dapat, tolong maju ke depan dan tulis di papan tulis soal di atas
dengan menggunakan perkalian.
Siswa C : 2 x 3
Guru : Coba perhatikan apakah jawaban C itu benar?
Siswa A : salah
Guru : semestinya apa jawababnnya?
Siswa A : 3 x 2
Guru : Mengapa ?
Siswa A : Sebab ada tiga himpunan yang banyaknya anggota dua-
dua
Guru : Betul sekali. Jadi ingat, guru sambil melihat ke siswa C
bahwa karena ada tiga buah himpunan, setiap himpunan
mempunyai dua anggota, maka
artinya 3 x 2 bukan 2 x 3
91
mengingat kembali materi atau pengetahuan yang sudah ada pada
dirinya.Tidak terlepas antara pemahaman yang akan mau diberikan
dengan pemahaman yang sudah ada pad diri siswa, sedemikian
sehingga pembentukan pengetahuan baru yang di bangun oleh
siswa tersebut terkait dengan pemahaman atau pengetahuan yang
sudah ada pada dirinya.
2. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar
dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru
(acquiring knowlwdge). Dalam hal ini pembelajaran yang
berlangsung bukan lagi pengulangan pengetahuan yang sudah di
capai, namun pembelajaran kontekstual dilakukan agar siswa
membangun sendiri pengetahuan yang baru atau pengetahuan yang
akan di pelajari. Siswa membentuk pemahamannya ang baru
dengan mendekatkan secara nyata.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk
dihafal tapi untuk diyakini dan dipahami.penghafalan
terhadapsebuah pengetahuan tanpa memahami maknanya
mengakibatkan pengetahuan cepat hilang, namun sebaliknya
pengetahuan yang diadapat dengan kepemahaman akan melekat
lama dalam memori diri siswa.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman
tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan
pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge)
terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
92
Sedangkan yang menjadi komponen dalam pendekatan
pembelajaran kontekstual yaitu ketujuh komponen utama sebagai
langkah penerapan dalam pembelajaran (Depdiknas, 2003: 10), yaitu:
1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa
belajar lebih bermakna dengan diberikan kesempatan untuk
bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru (constructivism).
2. Menciptakan group belajar yang saling
tergantung (interdependent learning groups) yaitu produk
pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain,
maka pembelajaran semestinya selalu dilaksanakan dalam
kelompok-kelompok belajar atau proses pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam kelompok.
3. Memfasilitasi kegiatan penemuan
(inquiry), yaitu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan
melalui hasil penemuan sendiri (bukan hasil mengingat).
4. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa
melalui pengajuan pertanyaan (questioning). bertanya merupakan
kegiatan guru yang bertujuan memotivasi, membimbing, dan
memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa
kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan
apa yang sudah diketahui dan menunjukkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat
diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa,
antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang
didatangkan di kelas.
93
5. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam
sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Guru
memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian
guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan
melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang
apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu kuncinya adalah
bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa
7. Penilaian sesungguhnya (authentic
assesment), adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran
yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu
siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu,
bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi
diakhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses,
bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah
satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya.
Strategi pengajaran kontekstual meliputi; keterhubungan,
pengalaman, keterpakaian, kerjasama, dan pentransferan (Crawford,
2001:3).
1. Keterhubungan
Keterhubungan merupakan kekuatan strategi pengajaran
kontekstual, juga merupakan jantungnya pembelajaran menurut paham
konstruktivisme. Crawford (2001: 3) menyebutkan keterhubungan
sebagai pembelajaran dalam konteks dari pengalaman seseorang atau
bagaimana mengetahui pengetahuan tersebut.
94
Guru menggunakan keterhubungan saat mereka menyatukan
konsep yang baru dengan sesuatu yang dikenal baik oleh siswa.
Bransford, Brown, and Cocking (Crawford, 2001: 3) menyatakan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa yang membawa memori
atau pengetahuan awal melalui situasi pembelajaran baru yang relevan
akan mampu menghargai kesesuaiannya. Dalam aktivitas ingatan siswa
atau pengetahuan awal dan pengenalan terhadap relevansi dari ingatan
atau pengetahuan, mereka menggunakan keterhubungan.
NCTM (Crawford, 2001: 5), menyebutkan, karena siswa belajar
melalui pengaitan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang
dimilikinya, maka guru hendaknya memahami apa yang telah diketahui
oleh siswanya. Guru yang efektif tahu bagaimana cara bertanya dan
merencanakan pembelajaran dalam mengungkap pengetahuan awal
siswa, guru dapat mendesain pengalaman dan pelajaran untuk merespon
dan membangun pengetahuan.
2. Pengalaman
Pengaitan antara informasi baru dengan pengalaman hidup atau
pengetahuan awal siswa terkadang tidak dapat dilakukan, karena siswa
tidak memiliki pengalaman tersebut sebelumnya. Situasi ini dapat
dimanipulasi oleh guru dengan membantu siswa mengkonstruk
pengetahuan baru tersebut dengan menggunakan pemanipulasian,
melakukan aktivitas pemecahan masalah dan kegiatan laboratorium.
Proses pemanipulasian dapat dilakukan dengan menggunakan
objek sederhana yang ada di sekitar siswa untuk mewujudkan konsep
yang abstrak menjadi konkret. Sebagai contoh, dalam matematika
misalnya dengan menggunakan sepuluh blok untuk mengenal dasar
95
bilangan. Beberapa program komputer, seperti Geometer’s Sketchpad
dan Cabri.
Melalui aktivitas pemecahan masalah, dapat memberi
pengalaman belajar yang mengikutsertakan siswa berkreasi dalam
mempelajari konsep kunci. Aktivitas ini juga mengajarkan kemampuan
menyelesaikan masalah, berfikir analisis, berkomunikasi dan interaksi
antar kelompok. Guru hendaknya mempersiapkan untuk memfasilitasi
diskusi siswanya dalam pemecahan masalah, kesimpulan siswa,
pendekatan dan hasil yang diperoleh siswa, mendemonstrasikan dan
menggeneralisasikan pengetahuan pada saat yang tepat. Kemampuan
menggunakan pengetahuan baru dalam situasi yang baru disebut
transferring.
Dengan melakukan aktivitas di laboratorium, siswa bekerja
dalam kelompok kecil. Aktivitas yang dilakukan meliputi pengumpulan
data dengan melakukan pengukuran, menganalisis data, membuat
kesimpulan dan prediksi dan melakukan refleksi terhadap konsep dasar
yang termuat dalam kegiatan.
3. Keterpakaian
Keterpakaian didefinisikan sebagai pembelajaran dengan memilih
konsep yang dapat digunakan. Siswa menggunakan konsep saat mereka
diikutsertakan dalam aktivitas penyelesaian masalah. Siswa dapat
mengemukakan situasi real yang ada dan menggunakan konsep
pengetahuan dalam kehidupan. Siswa dapat mengetahui pentingnya
konsep kunci dalam menyelesaikan masalah yang real.
Penelitian menunjukkan bahwa latihan berdasarkan pada kondisi
yang sesungguhnya dapat memotivasi siswa untuk mempelajari konsep
96
akademik dengan tingkat pemahaman yang lebih mendalam. Suatu
penelitian menyarankan strategi di kelas hendaknya:
1. Memfokuskan pada aspek kebermaknaan dari aktivitas
pembelajaran. Guru semestinya menekankan bagaimana
penugasan akademik dilakukan di kelas sebagai suatu penugasan
yang real dan bermakna dalam kehidupan nyata.
2. Mendesain penugasan dengan model baru, bervariasi, beragam
dan menarik. Guru hendaklah mencoba memberikan penugasan
kepada siswanya lebih bervariasi untuk meyakinkan bahwa tugas
yang diberikan baru, menarik atau memberikan pengalaman yang
menyenangkan ketika mengikutsertakan siswa.
3. Mendesain penugasan yang menantang tapi dapat diterima dalam
kapasitas kemampuan siswa. Bila tugas yang diberikan terlalu
mudah, akan menimbulkan kebosanan pada siswa sehingga siswa
kehilangana motivasi untuk mempelajari konsep yang baru.
Namun bila penugasan terlalu sulit akan menimbulkan rasa
frustasi pada diri siswa.
4. Kerjasama
Ketika siswa bekerja secara individu dalam menyelesaikan
latihan pemecahan masalah khususnya saat mereka masuk dalam situasi
yang sesungguhnya, terkadang siswa tidak dapat membuat kemajuan
dalam menyelesaikannya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan rasa
frustrasi pada diri siswa. Melalui strategi pembelajaran dalam konteks
saling berbagi, saling menanggapi, dan berkomunikasi antar siswa,
pembelajaran akan memberikan bantuan bagi siswa. Melalui kerja dalam
kelompok kecil, siswa dapat saling bertukar pengetahuan. Suatu
kesulitan diselesaikan bersama-sama. Ketika kelompok tersebut mampu
97
menyelesaikan persoalan yang diberikan, akan muncul rasa percaya diri
dan dapat memotivasi siswa untuk kembali menyelesaikan persoalan
yang mengandung bentuk pemecahan masalah.
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa kerjasama atau
pembelajaran secara bekerjasama memberikan prestasi yang lebih baik
dibandingkan belajar secara individual dan menggunakan metode
persaingan. Namun terkadang belajar dalam kelompok kecil menjadi
tidak efektif ketika dalam kelompok tersebut ada siswa yang tidak aktif
bekerja atau ada siswa yang begitu mendominasi kelompok. Johnson dan
Johnson (Crawford, 2001: 12) memberikan rambu-rambu untuk
membantu guru dalam menanggulangi kondisi negatif yang mungkin
muncul seperti berikut:
1. Membangun saling kertergantungan yang positif dalam kelompok
belajar siswa. Saling ketergantungan yang positif berarti bahwa
setiap siswa merasa bahwa mereka belum berhasil bila ada
anggota kelompok mereka yang tidak berhasil.
2. Berikan kesempatan siswa untuk saling memberi ketika
menyelesaikan tugas dan yakinkan bahwa kerjasama diantara
anggota kelompok merupakan salah satu unsur penilaian.
Interaksi terjadi antara siswa dengan siswa yang saling bantu dan
saling mendorong, menerangkan ide dan strategi pemecahan
masalah, dan mendiskusikan ide-ide yang berhubungan dengan
evaluasi.
3. Bantu setiap siswa secara individu agar bertanggung jawab
menyelesaikan tugas, dan tidak terlalu percaya begitu saja
membiarkan mereka dengan pekerjaannya. Johnson & Johnson
menyebutkan dua strategi untuk membantu siswa bertanggung
98
jawab: berikan tes secara individu untuk setiap siswa kemudian
pilih secara acak diantara kelompok siswa tersebut untuk
menyampaikan hasil kerja kelompoknya.
4. Siswa belajar secara berkelompok dengan berbagi diantara siswa
itu sendiri (antar siswa dengan siswa) dan membentuk suatu
keahlian dalam kelompok kecilnya. Keahlian tersebut meliputi
kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan,
berkomunikasi, dan mengelola perbedaan pendapat yang
mungkin muncul. Banyak siswa tingkat sekolah menengah atas
tidak diajarkan keahlian ini
5. Yakinkan bahwa kelompok belajar, berdiskusi sebagaimana yang
diinginkan dari fungsi suatu kelompok. Ketika siswa menerima
umpan balik atau memberikan partisipasinya dalam kelompok,
mereka dapat merefleksikan aturan mereka, jika dibutuhkan, dan
mengadaptasi kemampuan sosial mereka untuk membantu
kelompok secara objektif.
Dalam strategi pengajaran secara kontekstual, guru dapat
mengubah aturan saat dia menggunakan pembelajaran berkelompok.
Guru terkadang menjadi seorang pengajar, terkadang sebagai pengamat,
dan terkadang hanya sebagai fasilitator.
5. Pentransferan
Pentransferan merupakan strategi pengajaran dimana kita
mendefinisikan pembelajaran sebagai penggunaan pengetahuan dalam
konteks yang baru atau situasi baru dimana prosesnya tidak tertutup
hanya terjadi di lingkungan kelas saja. Penelitian menunjukkan bahwa
ketika guru mendesain penugasan dalam bentuk baru dan bervariasi
siswa akan merasa tertarik, termotivasi, tertantang, sehingga tujuan
99
penguasaan matematika dapat meningkat. American Association for the
Advancement of Science (Crawford, 2001: 14) menyatakan bahwa, jika
siswa diharapkan untuk mampu mengaplikasikan ide dalam suatu situasi
yang baru maka mereka harus berlatih untuk mengaplikasikan ide
mereka kedalam situasi baru.
Dari strategi pengajaran kontekstual di atas, nampak bahwa pendekatan
pengajaran yang didasarkan kepada pembelajaran kontekstual lebih
menekankan pada belajar bermakna dan belajar di sekolah yang
dikontekskan ke dalam situasi dan pengalaman siswa. Hal ini diharapkan
dapat menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa.
4.2.2. Pendekatan Matematika Realistik
4.2.2.1 Defenisi Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik adalah sebuah pendekatan
belajar matematika yang sudah dikembangkan sejak tahun 1971 oleh
sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht
University di Negeri Belanda. Pendekatan ini terlahir berdasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah
kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukanlah
hanya wadah memindahkan matematika dari guru kepada siswa, tetapi
kelas matematika adalah tempat siswa menemukan kembali ide dan
konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Konsep
ini memaparkan bahwa matematika itu dilihat sebagai kegiatan manusia
yang bermula dari pemecahan masalah . Dengan demikian, siswa tidak
dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan
guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan
berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai
100
segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-
hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap
sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih
penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan
istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Proses
ini digambarkan oleh de Lange (dalam Hadi, 2005) sebagai lingkaran
yang tak berujung (lihat Gambar 2)
Dunia Nyata
101
soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal,
siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara
mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri.
Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi
konsep matematika. Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba
menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks. matematisasi
horizontal berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia simbol,
sedangkan matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia simbol
itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau model
matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi
horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model
matematika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal.
Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai
individu (subjek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai
hasil interaksinya dengan lingkungan. Selanjutnya, dalam pendekatan ini
diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi untuk mengembangkan
sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang
matematika. Melalui eksplorasi berbagai masalah, baik masalah
kehidupan sehar-hari maupun masalah matematika, siswa dapat
merekonstruksi kembali temuan-temuan dalam bidang matematika. Jadi,
berdasarkan pemikiran ini konsepsi siswa dalam pendekatan ini adalah
sebagai beriikut:
Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide
matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri
102
Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan,
penyusunan kembali, dan penolakan ;
Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari
beragam pengalaman yang dimilikinya;
Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan
matematika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.
103
4.2.2.2 Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut
Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:
104
berpusat pada siswa karena mereka memecahkan masalah dari dunia
mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan guru hanya berperan
sebagai fasilitator, sedemikian sehingga pembelajarannya bePendekatan
Matematika Realistiktode penemuan terbimbing dan kontekstual karena
siswa dikondisikan untuk menemukan atau menemukan kembali konsep
dan prinsip matematika dan titik awal pembelajaran matematika adalah
masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa.
105
yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau
memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai
untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai
sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan
siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam
memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke
arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian
matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-
langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal.
Dalam hal ini,siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat
melangkah kearah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan
atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema
matematika tertentu, kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya
(matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisa si horisontal dan
matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan: proses matematisasi
horizontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal
yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah, membuat
model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain, sedangkan
matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu
hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan,
membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan
generalisasi, dan sebagainya.
Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan
dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika
yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada
awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan
banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa
106
dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian, siswa mulai
dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara
yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan
berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga
benar. Ini suatu fenomena didaktik. Dengan memperhatikan fenomena
didaktik yang ada didalam kelas, maka akan terbentuk proses
pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi
diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi
pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah (Marpaung, 2001: 4).
107
khusus untuk matematika. Juga telah disebutkan terdahulu, bahwa
konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk
memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh
persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang
matematika dan mengembangkan daya nalar. Lebih lanjut berkaitan
dengan konsepsi pendekatan matematika realistik ini, Sutarto Hadi
mengemukakan beberapa konsepsi pendekatan matematika realistik
tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa
pendekatan matematika realistik sejalan dengan paradigma baru
pendidikan, sehingga pendekatan matematika realistik pantas untuk
dikembangkan di Indonesia.
Konsepsi pendekatan matematika realistik tentang siswa adalah
siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika
yang mempengaruhi belajar selanjutnya, siswa memperoleh pengetahuan
baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri,
Pembentukan pengetahuan tersebut merupakan proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan
kembali dan penolakan, kemudian pengetahuan baru yang dibangun oleh
siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
Kemudian konsepsi pendekatan matematika realistik tentang guru
adalah guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran, guru harus
mampu membangun pembelajaran yang interaktif, Guru harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada
proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam
108
realistik tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-aspek (1)
Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’
bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya,
sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. (2)
Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut; (3) Siswa
mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/permasalahan yang diajukan; (4)
Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, sangat
memahami atas jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban
temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian
yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang
ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.
109
aktivitas tertentu serta pengalaman, mencatat apa yang telah kita pelajari
termasuk ide-ide baru maupun apa yang kita rasakan. Refleksi dapat
muncul dalam bentuk jurnal, diskusi, serta karya seni. Bagi guru,
mendapatkan informasi tentang apa yang siswa pelajari dan bagaimana
siswa mempelajarinya. Di samping itu, guru dapat melakukan perbaikan
dalam perencanaan dan pembelajaran pada kesempatan-kesempatan
berikutnya atau waktu yang akan datang. Sedangkan bagi siswa,
meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa, di samping itu
juga sama halnya seperti yang dilakukan guru.
110
pendidikan matematika Jepang. Menurut Nohda (2000), pendekatan ini
lahir berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shigeru Shimada,
Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya.
111
teman sekelas. Pada satu versi dari pendekatan open-ended, penemuan
masalah juga memainkan peran yang amat penting sebagai permasalahan
yang ditemukan oleh siswa yang saling berkaitan tetapi berbeda dari
permasalahan yang telah diselesaikan pada waktu yang lalu (Hashimoto,
1987). Penggunaan permasalahan yang memungkinkan siswa untuk
memunculkan penyelesaian yang beragam merupakan kunci istimewa
dalam pembelajaran matematika yang terkait dengan pengembangan
representasi dan fleksibilitas strategi siswa.
112
Therefore, the more essential certain knowledge is, the more
comprehensively it derives analogical, special, and general
knowledge. Metaphorically, more essential knowledge open the door
ahead more widely. At the same time, the essential original
knowledges can be reflected on many times later in the course of
evolution of mathematical knowledge. This reflection on the original
knowledge is a driving force to continue to step forward across the
door.
3) Related to teacher expedient decision-making in class, in
mathematics class, teachers often encounter students unexpected
ideas. In this bout, teachers have an important role to give the ideas
full play, and to take into account that other students can also
understand real amount of the unexpected ideas.
Dari pendapat di atas dapat disarikan hal-hal berikut ini.
113
pendapat atau pemikirannya sehingga pemikirannya itu dapat
diterima oleh siswa lainnya.
Pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended, masalah
merupakan alat pembelajaran yang utama. Silver (1997) menemukan
bahwa pengajuan masalah matematika merupakan suatu aktivitas dengan
dua pengertian yang berbeda, yaitu proses mengembangkan masalah
yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada, dan proses
memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata siswa
sendiri berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian siswa
mengajukan masalah mengacu pada situasi yang telah disiapkan oleh
guru. Menurut Sawada (1997: 27-28) Ada tiga tipe permasalahan open-
ended, seperti diuraikan berikut ini.
114
2) Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa
dapat menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam
permasalahan ini.
3) Sajikan bentuk-bentuk atau bangun geometri sehingga siswa dapat
membuat suatu konjektur.
4) Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan
aturan matematika.
5) Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga
siswa dapat mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk
menemukan sifat-sifat yang umum.
6) Berikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat membuat
generalisasi dari pekerjaannya.
Menurut Nohda (2000) tujuan pembelajaran open-ended adalah
untuk membantu meningkatkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis
siswa melalui problem solving secara simultan. Dengan kata lain
kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa harus ditingkatkan
semaksimal mungkin sesuai kemampuan tiap siswa. Aktivitas kelas yang
penuh ide-ide matematis pada akhirnya akan memacu kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa. Selain itu, pendekatan open-ended dapat
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam proses pengajaran
matematika. Dengan demikian, siswa memahami bahwa proses dalam
penyelesaian masalah berperan sama pentingnya seperti hasil akhir dari
pemecahan masalah itu. Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas
bahwa pendekatan open ended terkait erat dengan pemecahan masalah.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan open-
ended, terlihat bahwa terdapat beberapa kelebihan dalam pendekatan ini
115
sebagaimana dikemukakan oleh Sawada (dalam Becker dan Shimada,
1997: 23-24) yaitu:
1) Siswa-siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan
lebih sering menyampaikan ide-idenya.
2) Siswa-siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematisnya secara
menyeluruh.
3) Siswa-siswa secara tidak langsung akan termotivasi untuk
memberikan bukti-bukti dan penjelasan.
4) Siswa-siswa yang berkemampuan rendah pun dapat merespon
permasalahan dengan berbagai cara mereka sendiri.
5) Siswa menjadi kaya akan pengalaman dalam menemukan dan
menerima pengakuan dari siswa-siswa lainnya.
116
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran open-ended, Adapun
langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut.
Pendahuluan
Guru memberikan pendahuluan tentang materi pelajaran disertai
dengan penjelasan tentang kegunaan konsep yang akan diajarkan
dalam masalah kehidupan sehari-hari.
Kegiatan inti
a. Diawali dengan guru memberikan soal open-ended yang
berkaitan dengan materi yang akan diajarkan.
b. Guru meminta siswa untuk menyelesaikan soal tersebut
secara berkelompok.
c. Solusi dibahas bersama-sama, guru meminta salah
seorang siswa sebagai wakil dari suatu kelompok untuk
mengerjakannya di depan kelas dengan bimbingan guru.
d. Soal diselesaikan dan dikembangkan melalui pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh guru maupun siswa untuk
memberikan pemahaman mengenai konsep yang diajarkan.
e. Dalam proses tanya jawab, guru mendorong siswa agar
dapat memberikan jawaban dan kesimpulan penting tentang
konsep yang diajarkan.
f. Guru memberikan soal-soal lain yang berkaitan dengan
materi pelajaran dan siswa diminta mengerjakannya baik secara
individu maupun secara berkelompok.
3. Penutup
a. Guru mengingatkan kembali
tentang konsep-konsep inti dalam materi yang diberikan.
b. Guru memberi informasi apa yang
akan dipelajari pada pertemuan berikutnya dan menyampaikan
bahwa pada pertemuan selanjutnya akan selalu diberikan soal-soal
117
untuk dikerjakan bersama-sama dan salah seorang siswa akan
tampil ke depan kelas. Untuk itu setiap siswa harus
mempersiapkan dirinya.
c. Guru memberi soal-soal latihan
untuk dikerjakan di rumah secara individual.
118
BAB 5
METODE MENGAJAR MATEMATIKA
5.1 Defenisi Metode mengajar
Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal. Ini berarti metode digunakan untuk
merealisasikan proses belajar mengajar yang telah ditetapkan. Menurut
Abdurrahman Ginting, metode pembelajaran dapat diartikan cara atau
pola yang khas dalam memanfaatkan berbagai prinsip dasar pendidikan
serta berbagai teknik dan sumber daya terkait lainnya agar terjadi proses
pemblajaran pada diri pembelajar. Selanjutnya menurut Nana Sudjana
(2005: 76) metode pembelajaran adalah, “Metode pembelajaran ialah
cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan
siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Kemudian M. Sobri
Sutikno (2009: 88) menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara
menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi
proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Serta Gerlach dan Elly ( 80:14) berpendapat bahwa metode pembelajaran
dapat diartikan sebagai rencana yang sistematis untuk menyampaikan
informasi.
Berdasarkan definisi/ pengertian metode pembelajaran yang
dikemukakan tersebut di atas dapat disimpulkan metode pembelajaran
adalah suatu cara atau strategi yang dilakukan oleh seorang guru agar
terjadi proses belajar pada diri siswa untuk mencapai tujuan, dengan kata
lain metode pembelajaran adalah teknik penyajian yang dikuasai oleh
seorang guru untuk menyajikan materi pelajaran kepada murid di dalam
kelas baik secara individual atau secara kelompok agar materi pelajaran
119
dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh murid dengan baik.
Khusus metode pembelajaran di kelas, efektifitas metode dipengaruhi
oleh faktor tujuan, faktor siswa, faktor situasi dan faktor guru itu sendiri.
Dengan demikian metode dalam rangkaian sistem pembelajaran
memegang peran yang sangat penting, karena keberhasilan pembelajaran
sangat tergantung pada cara guru dalam menggunakan metode
pembelajaran.
Banyak metode yang bisa dipilih oleh seorang guru dalam
kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu setiap guru yang akan
mengajar diharapkan untuk memilih metode yang baik. Karena Baik dan
tidaknya suatu metode yang akan digunakan dalam proses belajar
mengajar terletak pada ketepatan memilih suatu metode sesuai dengan
tuntutan proses belajar mengajar. Adapun ciri-ciri metode yang baik
untuk proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
Bersifat luwes, fleksibel dan memiliki daya yang sesuai dengan
watak murid dan materi
Bersifat fungsional dalam menyatukan teori dengan praktik dan
mengantarkan murid pada kemampuan praktis.
120
Metode yang digunakan dapat membangkitkan motif, minat atau
gairah belajar murid.
121
melalui seleksi yang sesuai dengan perumusan tujuan pembelajaran.
Metode apapun yang dipilih dalam kegiatan belajar mengajar hendaklah
memperhatikan ketepatan (efektifitas) metode pemebelajaran yang
digunakan dalam proses belajar mengajar. Ketika mengajar sebaiknya
guru tidak mendominasi kegiatan anak. Guru dapat memberikan kegiatan
yang dapat memberi kesempatan pada anak mengobservasi sesuatu.
Ketika seorang guru dalam memilih metode pembelajaran untuk
digunakan dalam praktik mengajar, maka harus mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut :
1. Tidak ada metode yang paling unggul karena semua metode
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan memiliki
kelemahan serta keunggulannya masing-masing.
2. Setiap metode hanya sesuai untuk pembelajaran sejumlah
kompetensi tertentu dan tidak sesuai untuk pembelajaran sejumlah
kompetensi lainnya.
122
7. Tidak semua sekolah memiliki sarana dan fasilitas lainnya yang
lengkap.
123
menentukan metode pembelajaran yang sesuai di lingkungan
tersebut.
7. Fasilitas yang tersedia. Tersdianya fasilitas seperti, alat peraga,
media pengajaran dan fasilitas-fasilitas lainnya sangat menentukan
terhadap efektif tidaknya suatu metode.
8. Waktu yang tersedia. Disamping hal-hal di atas, masalah waktu
yang tersedia juga harus diperhatikan. Apakah waktunya cukup
jika menggunakan metode yang akan dipakai atau tidak.
9. Kebaikan dan kekurangan suatu metode. Dari masing-masing
metode yang ada, tentu memiliki kebaikan dan kekurangan.
Kekurangan suatu metode bisa dilengkapi dengan metode yang
lain. Oleh karena itu guru harus bisa mepertimbangkan metode
mana yang akan digunakan.
Adapun prinsip-prinsip penentuan metode dalam proses belajar
mengajar adalah sebagai berikut :
1. Prinsip motivasi dan tujuan belajar. Motivasi memiliki kekuatan
yang sangat dahsyat dalam proses belajar mengajar. Belajar tanpa
motivasi seperti badan tanpa jiwa. Demikian juga tujuan, proses
belajar mengajar yang tidak mempunyai tujuan yang jelas akan
tidak terarah.
2. Prinsip kematangan dan perbedaan individual. Semua
perkembangan pada anak memiliki tempo yang berbeda-beda,
karena itu setiap guru agar memperhatikan waktu dan irama
perkembangan anak, motif, intelegensi dan emosi kecepatan
menangkap pelajaran, serta pembawaan dan faktor lingkungan.
3. Prinsip penyediaan peluang dan pengalaman praktis. Belajar
dengan memperhatikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi
anak didik dan pengalaman langsung akan lebih memiliki makna
dari pada belajar verbalistik.
124
4. Integrasi pemahaman dan pengalaman. Penyatuan pemahaman
dan pengalaman menghendaki suatu proses pembelajaran yang
mampu menerapkan pengalaman nyata dalam suatu proses belajar
mengajar.
5. Prinsip fungsional. Belajar merupakan proses pengalaman hidup
yang bermanfaat bagi kehidupan berikutnya. Setiap belajar
nampaknya tidak bisa lepas dari nilai manfaat, sekalipun bisa
berupa nilai manfaat teoritis atau praktis bagi kehidupan sehari-
hari.
6. Prinsip penggembiraan. Belajar merupakan proses yang terus
berlanjut tanpa henti, tentu seiring kebutuhan dan tuntutan yang
terus berkembang. Berkaitan dengan kepentingan belajar yang
terus menerus, maka metode mengajar jangan sampai memberi
kesan memberatkan, sehingga kesadaran pada anak untuk belajar
cepat berakhir.
125
dalam penggunaannya dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Karena dianggap metode yang popular dan banyak dilakukan oleh guru,
maka kecenderungan untuk menganggap metode tersebut mudah
diterapkan di kelas semakin bertambah juga.
Metode ceramah yang dianggap sebagai penyebab utama dari
rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran memang patut
dibenarkan, tetapi juga anggapan itu sepenuhnya kurang tepat karena
setiap metode , baik metode pembelajaran klasik termasuk metode
ceramah maupun metode pembelajaran modern sama-sama mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang saling melengkapi satu
sama lain. Fakta bahwa metode ceramah itu sangat dipengaruhi oleh
pribadi guru yang bersangkutan tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Seorang guru harus memiliki keterampilan yang cukup untuk
menggunakan metode ceramah dalam proses belajar di kelas. Hal senada
diungkapkan oleh Dimyati dkk (1999:28) bahwa metode ceramah itu
sangat dipengaruhi oleh personalitas guru yaitu suara, gaya bahasa,
sikap, prosedur, kelancaran, kemudahan bahasa, keteraturan guru dalam
memberikan penejelasan yang idak dapat dimiliki secara mudah oleh
setiap guru.
Metode ceramah itu sendiri pada dasarnya memiliki banyak
pengertian dan jenisnya. Berikut ini beberapa pengertian dari metode
ceramah menurut beberapa ahli, antara lain :
1. Menurut Winarno Surahmad, M.Ed, ceramah adalah penerangan
dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelasnya, sedangkan
peranan murid mendengarkan dengan teliti, serta mencatat yang
pokok dari yang dikemukakan oleh guru.
2. Metode ceramah menurut Gilstrap dan Martin 1975 : ceramah
berasal dari bahasa latin yaitu Lecturu, Legu ( Legree, lectus) yang
berati membaca kemudian diartikan secara umum dengan mengajar
sebagai akibat dari guru menyampaikan pelajaran dengan
126
membaca dari buku dan mendiktekan pelajaran dengan
penggunaan buku.
127
Dari beberapa pendapat para ahli diatas metode ceramah adalah
cara menyampaikan sebuah materi pelajaran atau informasi dengan
penuturan lisan kepada siswa. Metode ceramah yaitu penerapan dan
penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelasnya, dengan
menggunakan alat bantu mengajar untuk memperjelas uraian yang
disampaikan kepada siswa. Metode ceramah ini sering kita jumpai pada
proses-proses pembelajaran di sekolah mulai dari tingkat yang rendah
sampai ke tingkat perguruan tinggi, sehingga metode seperti ini sudah
dianggap sebagai metode yang terbaik bagi guru untuk melakukan
interaksi belajar mengajar. Satu hal yang tidak pernah menjadi bahan
refleksi bagi guru adalah tentang efektifitas penggunaan metode ceramah
yaitu mengenai minat dan motivasi siswa, bahkan akhirnya juga
berdampak pada prestasi siswa.
Metode ceramah juga disebut juga kegiatan memberikan
informasi dengan kata-kata. Pengajaran sejarah, merupakan proses
pemberian informasi atau materi kepada siswa serta hasil dari
penggunaan metode tersebut sering tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Makna dan arti dari materi atau informasi tersebut terkadang
ditafsirkan berbeda atau salah oleh siswa. Hal ini karena tingkat
pemahaman setiap siswa yang berbeda-beda atau dilain pihak guru
sebagai pusat pembelajaran kurang pandai dalam menyampaikan
informasi atau materi kepada siswa. Jenis-jenis metode ceramah, terdiri
dari metode ceramah bervariasi, metode ceramah campuran dan metode
ceramah asli.
Anggapan-anggapan negatif tentang metode ceramah sudah
seharusnya patut diluruskan, baik dari segi pemahaman artikulasi oleh
guru maupun penerapannya dalam proses belajar mengajar disekolah.
Ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan
penuturan lisan dari guru kepada peserta didik, dalam pelaksanaan
ceramah untuk menjelaskan uraiannya, guru dapat menggunakan alat-
128
alat bantu media pembelajaran seperti gambar dan audio visual lainnya.
Definisi lain ceramah menurut bahasa berasal dari kata lego (bahasa
latin) yang diartikan secara umum dengan “mengajar” sebagai akibat
guru menyampaikan pelajaran dengan membaca dari buku dan
mendiktekan pelajaran dengan menggunakan buku kemudian
menjadi lecture method atau metode ceramah. Definisi
metode ceramah diatas, bila langsung diserap dan diaplikasikan tanpa
melalui pemahaman terlebih dahulu oleh para guru tentu hasil yang
didapat dari penerapan metode ini akan jauh dari harapan, seperti halnya
yang terjadi dalam problematika saat ini. Hampir setiap guru
menggunakan metode ceramah yang jauh dari kaidah-kaidah metode
ceramah seharusnya.
Metode ceramah dalam proses belajar mengajar sesungguhnya
tidak dapat dikatakan suatu metode yang salah. Hal ini dikarenakan
model pengajaran ini seperti yang dijelaskan diatas terdiri dari beberapa
jenis, yang nantinya dapat dieksploitasi atau dikreasikan menjadi suatu
metode ceramah yang menyenangkan, tidak seperti pada metode
ceramah klasik yang terkesan mendongeng. Metode ceramah dalam
penerapannya di dalam proses belajar mengajar juga memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan, antara lain :
Kelemahan :
1. Mudah menjadi verbalisme.
2. Yang visual menjadi rugi, dan yang auditif (mendengarkan) yang
benar-benar menerimanya.
129
5. Cenderung membuat siswa pasif
Kelebihan :
1. Guru mudah menguasai kelas.
130
siswa yang lebih banyak, metode ini ini mengandung unsur penonjolan
kebolehan guru,contohnya mendemonstrasikan pembuktian teorema-
teorema dalam matematika atau membuktikan sebuah rumus dalam
matematika,bisa juga menyelesaikan masalah berupa soal cerita.
Pada lembaga perguruan tinggi keguruan metode ini banyak
dipergunakan dari pada institusi non kependidikan, sebab pada institusi
pendidikan guru, bukan saja dosen harus mampu mendemonstrasikan
bagaimana cara mengajar, bertanya ,menjawab pertanyaan,memimpin
diskusi , menulis di papan tulis, membuat perisapan mengajar,
menggunakan kalkulator, menggunakan alat peraga, dan lain – lain.
Bahkan mahasiswanya yang nantinya adalah seorang guru harus dapat
berbuat demikian. Pada saat guru memberikan demonstrasi, calon guru
dapat mengajukan pertanyaan langsung. Kemudian ia dapat mencoba
sendiri meniru demonstrasi yang telah dicontohkan tersebut, misalnya
dengan simulasi, mengajar teman (peer teaching), bermain peran dan
praktek mengajar. Dengan mencoba sendiri ia akan memperoleh banyak
pengalaman.
Seorang guru atau calon gur dalam mendemonstrasikan sesuatu
itu, misalnya bagaimana sebaiknya berdiri d depan kelas, dalam
persiapannya ia harus berbuat seperti kalau ia akan mengajar.
1. Merumuskan tujuan pembelajaran
2. Membuat alat evaluasi
3. Memilih Topik
4. Memilih alat peraga ata pengajaran
5. Menentukan waktu
6. Melakukan langkah – langkah mengajar
7. Melakukan Evaluasi
Kegiatan yang penting kita lakukan setelah selesainya suatu
demonstrasi ialah diskusi tentang demonstrasi yang baru saja
dilakukan,baik yang telah dilakukan guru maupun oleh calon guru. Pada
waktu mengomentari hasil demnstrasi seseorang kadang –kadang tejadi
131
perbedaan pendapay. Menurut pengamat tertentu ia melakukan tindakan
atau mengucapkan sesuatu yang keliru, sedangkan menurt yang
berkepentingan tidak, karena itu alangkah baiknya kalau dalam kegiatan
semacam itu dbuat rekamannya. Alat rekaman ini selain menjadi alat
pelerai, juga dapat dignakan oleh calon guru untuk peningkatan
kemampuannya.
5.2.3 Metode Ekspositori
132
menyelesaikan soal-soal aplikasi tersebut di papan tulis atau di mejanya.
Dengan demikian siswa mungkin ada yang bekerja secara individual
tetapi juga tidak menutup kemungkinan siswa akan bekerja sama dengan
teman-teman yang dekat dengan tempat duduknya, dan sedikit ada tanya
jawab dalam proses tersebut, baik terjadi antara siswa ke siswa, antara
siswa ke guru, ataupun sebaliknya antara guru ke siswa. Pada kegiatan
akhir, siswa mencatat materi yang telah diterangkan guru yang mungkin
juga dilengkapi dengan soal-soal pekerjaan rumah.
133
dihafal sehingga tidak menuntut siswa berpikir ulang. Ketiga, tujuan
utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.
134
kita tidak mengetahui partisipasi dari laporan siswa yang merupakan
tulisan: apakah tulisannya sendiri atau bauatan orang lain, karena itu agar
penilaian kita lebih objektif dan timbul rasa tanggung jawab dari siswa
kita perlu mengajukan beberapa buah pertanyaan tentang hasil tugasnya
itu.
Dalam pemberian tugas rumah , dimaksud agar selain untuk
penguatan, juga untuk menimbulkan sikap positif terhadap matematika,
karena itu dianjurkan untuk tidak memberikan tugas terlalu berat atau
sukar dan sering, sehingga menyebabkan sikap siswa menjadi negatif
karena tidak ada waktu untuk bermain, tidur terpaksa terlambat, bangun
harus pagi –pagi sekali mencari orang lain yang dapat menolong dan
lain lain. Ingat bahwa yang memberitahu tugas itu bukan kita saja, bila
tugas (soal) itu terlalu banyak sama jeleknya. Soal – soal mudah yang
banyak akan menjemukan , soal – soal sukar yang banyak menjadikan
siswa frustasi.
Selain daripada soal –soal biasnya yang dijadikan tugas (PR)
siswa dalam matematika, guru dapat memilih topik menarik yang dapat
mereka pelajari (baca) atau ciptakan. Misalnya menciptakan sistem
numerasi baru, membuat percobaan serta alat – alatnya untuk memeriksa
apakah anak sudah memahami konsep kekekalan, membuat statistik
tentang rata – rata banyaknya anak setiap keluarganya dan lain – lain.
Tugas ini dapat tugas kelompok atau individu.
135
bulat negatif adalah bilangan positif itu bukan dari penemuan teteapi
diberitahu. Bila siswa belajar menemukan sesuatu dikatakan ia belajar
melalui penemuan. Bila guru mengajar siswa tidak dengan memberi tahu
tetapi memberikan kesempatan atau berdialog dengan siswa agar ia
menemukan sendiri, cara guru mengajar demikian disebut metode
penemuan.
Penemuan yang dimaksud disini bukan penemuan sungguh –
sungguh, sebab apa yang ditemukan itu sebenarnya sudah ditemukan
oleh orang lain. Jadi penemuan di sini ialah penemuan bagi siswa yang
bersangkutan saja. Belajar melalui metode penemuan berpusatkan
kepada anak didik. Cara in bukan merupakan cara baru, sejak lama sudah
diketahui dan digunakan orang dimana Socrtes sebagai pemulanya.
Metode mengajar penemuan adalah metode mengajar yang
mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh
pengetahuan yang sebelumnya belum diketahui nya melalui penemuan ia
sendiri. Pad metode penemuan ini bentuk akhir dari yang akan
ditemukan itu tidak diketahui misalnya dalam menemukan rumus luas
segitiga, dengan metode penemuan , siswa belum mengetahui bahwa
rumus luas segitiga adalah setengah kali panjang alas kali tinggi segitiga
tersebut. Siswa dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan sesuatu.
Pada metode penemuan, konsep, dalil,prosedur,algoritma dan
sejenisnya yang dipelajari siswa itu merupakan hal yang baru, belum
diketahui sebelumnya, tetapi gurunya sendiru sudah tahu apa yang akan
ditemukan siswa tersebut. Dengan metode ini anak dengan
pengalamannya untuk sampai kepada konsep yang harus ditemukan itu,
oleh karena itu metode penemuan ini sukar diorganisasikan dari
permulaan sebab sangat bergantung pada kemampuan siswa.
136
Pengajarannya harus disesuaikan dengan pengetahuan baru siswa yang
baru saja diperolehnya. Untuk mengurangi masalah ini pada umumnya
metode penemuan dibawakan melalui sedikit ekspositori kemudian
bekerja dalam kelompok.
Beberapa alasan penting mengapa belajar penemuan yaitu :
1. Pada kenyataannya ilmu –ilmu itu diperoleh melalui penemuan
2. Matematika adalah bahasa yang abstrak,konsep dan lain – lainnya
itu akan lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan
manipulasi dan berpengalaman dengan benda – benda kongkrit.
3. Melalui penemuan generalisasi yang akan diperoleh lebih bagus.
4. Dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
5. Setiap anak adalah makhluk kreatif
6. Menemukan sesuatu oleh sendiri dapat menumbuhkan rasa percaya
terhadap dirinya sendii, dapat meningkatkaan motivasi.
Terdapat beberapa petunjuk yang harus diperhatikan dalam
mengaplikasikan metode penemun sehingga penemuan yang dilakukan
siswa berhasil.
1. Yang dimaksud dengan menemukan pada metode penemuan hanya
berlaku bagi yang bersangkutan
2. Memikirkan dengan bagus, konsep yang akan ditemukan
3. Tidak semua materi dapat disajikan dengan menggunakan metode
penemuan
4. Metode penemuan itu memerlukan waktu relatif lebih banyak
5. Supaya tidak mengambil kesimpulan terlalu dini, berilah banyak
contoh – contohnya sebelum siswa mengambil kesimpulan
6. Bisa siswa sulit dalam mengenaralisasi, berilah bantuan kepada
siswa dengan menstimulisasi
137
7. Jangan Mengharapkan semua siswa mampu menemukan setiap
konsep yang kita untuk menemukannya
8. Lakukan pengecekan setiap kesimpulan yang ditemukan oleh siswa
9. Buatlah kegiatan sebagai aplikasi dari penemuan.
Penyajian materi dengan metode penemuan dapat dilakukan dalam
beberapa bentuk misalnya :
a. Dimulai dengan guru mengajukan beberapa persoalan atau
pertanyaan seperlunya, kemudian siswa mencari sendiri.
b. Memberikan gambar tanpa komentar untuk disimpulkan oleh anak
sendiri
c. Memberikan soal untuk sampai kepada suatu pola yang ditemukan
oleh siswa
d. Guru dan siswa dapat berdialog untuk menemukan sesuatu.
Salah satu tujuan dari belajar melalui inkuiri adalah agar siswa
belajar metode ilmiah dengan inkuiri dan mampu menerapkannya dalam
138
situasi lain. Terdapat 4 kegiatan dalam melakukan pembelajaran dengan
metode inkuiri:
1. Siswa dirangsang oleh guru dengan permasalahan, pernyataan,
pertanyaan, permainan dan lain – lain
2. Atas rangsangan itu, siswa menentukan prosedur mencari dan
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk memecahkan
permasalahan, siswa bekerja sendiri atau berkemlompok.
3. Siswa menghayati tentang pengetahuan yang diperolehnya dari
metode inkuiri tersebut
4. Siswa mengadakan penganalisaan mengenai metode inkuiri dan
rossedur yang dteukan untuk dijadikan metode ummum yang
dapat diaplikasikan pada suasana baru.
139
penengah , tutor atau pembantu, penilai , perumus atau pemimpin
diskusi. Dalam sebagai pemimpin diskusi guru memberikan kesempatan
kepada setiap anak untuk berpendapat, bahkan anak yang dalam katagori
pendiam sekalipun, guru harus punya cara agar si anak dapat
berpendapat, dan membatasi si anak yang selalu mendominasi dalam
proses diskusi.
Dalam diskusi siswa dituntut untuk selalu aktif berpartisipasi,
siswa dilatih berpikir kritis, siap mengemukakan pendapat dengan tepat,
berfikir secara obyektif dan menghargai pendapat orang lain. Dengan
demikian maka metode diskusi merupakan metode mengajar yang tepat
bagi masyarakat demokrasi. Penerapan metode ini akan menumbuhkan
pribadi – pribadi yang demokratis. Metode ini juga efektif dalam
meningkatkan pemahaman dan kemampan pemecahan masalah karena
setiap siswa digali terus akan kefahamannya tentang suatu hal dalam
memecahkan setiap persoalan yang diberikan.
Metode diskusi dapat membantu atau melangkapi metode
ceramah dari sudut bertambahanya sumber belajar, bila siswa (peserta
didik) memperoleh pengetahuan yang akan dibicarakan melalui sumber
lain. Dengan demikian siswa akan mampu berdiskusi tentang materi
khususnya materi matematika, setidak –tidaknya memahami topik yang
akan dibicarakan itu dari hasil bacaannya. Mengingat matematika ini,
juga ilmu – ilmu eksakta lainnya termasuk ilmu yang konsensusnya
tinggi maka metode diskusi ini lebih tepat dipergunakan untuk ilmu-ilmu
non eksakta. Pada instansi pendidikan metode diskusi in efektif pada
materi – materi kependidikan.
Berdasarkan dari kelibatan guru,metode diskusi dalam kelas
dapat dikelompokkan kedalam 4 macam diskusi.
140
1. Diskusi yang dimulai oleh guru berbicara untuk melihat sampai
berapa jauh materi atau konsep matematika yang telah diberikan
sudah dikuasai.
2. Tipe kedua diskusi yang juga dimulai oleh guru. Tetapi tujuannya
selain untuk mengetahui penguasaan konsep yang sudah diberikan,
juga untuk melihat konsep – konsep baru sebagai tambahan, tetapi
disini dialog itu terjadi bukan saja antara guru dan murid tertentu
tetapi juga antara guru dan murid lain.
3. Diskusi tipe ketiga ialah diskusi di mana guru memberikan
persoalan kemudian terjadi diskusi antara guru dan murid tentang
penyelesaian persoalan itu. Disini terjadi keseimbangan antara
keterlibatan guru dan murid dalm semua kegiatan.
4. Diskusi yang berorientasikan kepada pencarian permasalahan.
Tujuan, isi, kegiatan, dan arah diskusi ditentukan oleh siswa, tipe
diskusi yang berpusat kepada siswa.
Bila seorang guru yang memimpin diskusi dalam kelas,
sebaiknya sifat otoriter ditiadakan, sebaliknya harus mengedepankan
sifat sabar , toleransi, membagi keinginan dengan siswa. Karena dalam
proses diskusi mungkin sja siswa yang menentukan tujuan,memilih topik
dan menggunakan sumber belajar yang berbeda. Guru atau pendidikan
dalam metode diskusi harus memiliki sifat sebagai pengayom,pelerai
seperti seorang wasit. Dengan demikian dalam pelaksanaan metode
diskusi sebaiknya :
1. Tidak dipergunakan untuk menyampaikan informasi , sebab cara
ini kurang efektif dan kurang efisirn
2. Dipergunakan untuk topik matematika sederhana dan mudah
difahami.
141
3. Dipergunakan untuk menimbulkan sikap demokrasi
4. Berhati – hati bila dipergunakan untuk kelompok orang yang
berkarakter tidak baik
Dalam suatu proses diskusi diharapkan adanya pergantian dalam
berpendapat, sedapat mungkin setiap peserta ikut berbicara. Dalam kelas
yang berkapasitas tinggi sulit dilakukan mdel diskusi seperti biasa,
sehingga dilakukan pengaturan diskusi yang tepat agar diskusi lebih
teratur. Mungkin kita memerlukan pembagian kelompok diskusi yang
lebih kecil karena dharapkan adanya partisipasi yang lebih dari peserta.
Berdasarkan kondisi ruangan,materi yang disajikan, cara
pembahasan materi pengorganisasian diskusi , tujuan diskusi, dan lail –
lain, maka terdapat 4 jenis diskusi yaitu :
a. Diskusi Panel
b. Simposium
c. Lokakarya
d. Seminar.
(a) Diskusi Panel
Karakteristik dari diskusi panel ialah adanya beberapa pembicara
utama yang dianggap ahili atau berpengalaman yang disebut dengan
panelis.Panelis – panelis ini mngemukakan pendapatnya sesuai dengan
pendapatnya masing – masing. Yang tidak harus sejalan dalam
berpendapat, bahkan pembiacara utam tersebut diatur agar saling
bertentangan sehingga diskusipun semakin lebih menarik.
Pimpinan diskusi panel biasa disebut dengan moderator yang
bertindak sebagai pengatur pembicaraan, mempekenalkan para panelis,
mengajukan permasalahan yang akan di diskusikan. Peserta lainnya yang
duduk berhadapan dengan panelis mengajukan pertanyaan atau
142
pernyataan yang dianggap perlu baik oleh modertor maupun oleh peserta
lainnya .
Pada diskusi panel tidak perlu adanya peumusan sebagai
kesimpulan bersama,tetapi para pesert dapat diber tugas untuk
pemantapan,pemikiran lebih lanjut,membuat kesimpulan. Materi yang
baik untuk dalam diskusi panel misalnya, pengajaran matematika yang
terkini, masalah matematika bagi anak didik, karakter guru yang
berkompeten.
(b) Simposium
Dalam diskusi yang berupa simposium, terdapat juga beberapa
orang sebagai ahli, biasanya,agar simposium ini berhasil maka materi
yang dibahas dikumpas tuntas oleh ahli hingga terang benderang , sebab
sebelumnya ahli telah mempersiapan bahan atau materi, selanjutnya
terjadi penyanggahan yang dilakukan oleh penyanggah utama, setelah
terjadi penyanggahan kemudian dilakukan pandangan umum dengan
pelemparan pertanyaan dari peserta yang lain.
(c) Lokakarya
Istilah lokakarya menjadi trend belakangan ini, sebenarnya kata
lain dari kata lokakarya ini adalah musyawarah kerja atau dalam bahasa
inggris kita kenal dengan istilah “workshop”. Berbeda dengan diskusi
panel dan simposium,kegiatan lokakarya ini umumunya menggunakan
waktu yang relatif lebih lama.
Masalah yang dibahas pada lokakarya adalah sejenis dan pada
akhir kegiatan harus ada sesuatu produk , peserta lokakarya telah
memahami sasaran yang dicapai pada kegiatan lokakarya. Dalam
kelompok kecil peserta lokakarya berdiskusi untuk menyelesaikan soal
143
yang diberikan. Contoh lokakarya yaitu lokakarya penyususnan sialbus
matematika berbasis kurikulum 2013.
(d) Seminar
Apakah perbedaan seminar dan lokakarya?
Seminar adalah pertemuan ilmiah yang melakukan pembahasan
masalah yang sesuai dengan tema pada acara seminar tersebut,berbeda
pada lokakarya, terdapat beberapa anggota seminar yang hanya berperan
sebagai pendengar seminar saja, tidak memberikan ide yang dipaparkan
mata seminar, sedangkan pada lokakarya setiap peserta wajib
memberikan produk yang dihasilkan selama mengikuti lokakarya. Pada
seminar, ide yang dimunculkan pada acara berupa makalah – makalah
yang akan dipaparkan.
Beberapa kelebihan metode diskusi yang dapat kita lihat yaitu :
1. Memotivasi anak untuk berbicara dengan
bahasa yang baik,belajar mengemukakan pendapat dengan tepat
dalam waktu yang relatif singkat dan belajar menanggapi
penddapat orang lain dengan benar. Tentunya latihan begini adalah
hal yang penting buat calon guru.
2. Berlatih memcahkan masalah
3. Lebih efektif dalam mengubah sikap siswa
dibandingkan dengan cara ceramah. Siswa lebih aktif,lebih faham,
dan kreetif.
4. Siswa turut dalam menentukan tujuan,
topik,permasalahan, sumber dan lain -lain
144
Metode laboratorim adalah cara mengajar yang dapat dilakukan
dalam ruangan labortaorium, menurut Russeffendi (1988 :317) bahwa
metode laboratorium adalah pengajaran yang dilakukan dengan
menggunakan metode laboratorium, berkaitan dengan materi apapun
yang dibahasnya. Metode laboratorium tidak hanya sebatas
mendemonstrasikan ,menyelesaikan tugas –tugas sederhana, namum
metode ini menyangkut kejadian atau unsur yang harus dapat diamati
atau dimanipulasikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
metode laboratorium adalah mengajar yang memberikan banyak
kesempatan kepada siswa untuk memahami objek langsung, seperti
objek matematika dengan jalan mengkaji, menganalisis
menemukan,merumuskan dan mengetes hipotesis.
145
Meningkatkan kemampuan pemecahan amasalah , membuat
analisis, sintesis dan evaluasi
Mengubah pusat pembelajaran dari guru ke siswa, sehingga
mengurangi cara guru dengan ceramah,ekspositori atau
demonstrasi.
Dalam menerapkan metode mengajar laboratorium ini,kita harus
memperhatikan 3 hal berikut ini :
a. Tujuan Kegiatan Laboratorium itu
jelas,
b. Pengorganisasian kegiatan
laboratorim secara baik terpaut dengan kegiatan pengajaran pokok
c. Hindarkan kegiatan laboratorium
yang hanya membuang – buang waktu.
146
BAB 6
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
147
2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar agar
dapat mencapai tujuan pembelajaran.
3. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik.
4. Memerlukan lingkungan belajar dan pendukungnya.
Adapun model pembelajaran menurut Slavin (2010), model
pembelajaran merupakan suatu parameter terhadap suatu pendekatan
pembelajaran termasuk tujuan, sintaks, lingkungan dan sistem
pengelolaannya. Sedangkan itu, model adalah berupa kerangka
konseptual yang berupa prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu (Joyce dan Weil, 2009). Mereka juga berpendapat
“ Each model guides us as design intruction to help students achieve
various objects”, artinya, taip-tiap model membimbing guru dalam
merancang pembelajaran untuk membantu peserta didik memperoleh
berbagai tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, Model berfungsi
sebagai pedoman bagi para guru dalam merencanakan dan melaksanakan
aktiftitas belajar mengajar.
Setiap model pembelajaran harus memenuhi 4 unsur, yaitu: Sintaks
(syntax), sistem sosial (the social system), prinsip reaksi (principles of
reaction), sistem pendukung (support system) (Joyce dan Weil, 1986:14-
15). Sintaks adalah berupa tahap-tahap suatu model. Dimana tahap-tahan
tersebut akan dijadikan sebagai acuan dalam proses belajar mengajar,
mulai dari fase pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Adapun sistem
sosial dari suatu model adalah peran dan hubungan guru dan siswa
selama proses belajar berlangsung. Adakalanya pada suatu model siswa
berperan aktif menggali informasi sendiri sedangkan guru hanya sebagai
fasilitator. Selain itu, ada juga model yang memerankan siswa duduk
148
diam mendengarkan untuk mendapatkan informasi dari guru, dan guru
berperan sebagai sumber informasi.
Adapun unsur yang ketiga adalah prinsip reaksi, dimana pada
unsur ini menunjukkan bagaimana seorang guru seharusnya
memperlakukan dan bagaimana memberikan respon terhadap siswa.
Pada model pembelajaran tertentu, guru diharapkan memberikan respon
baik berupa penguatan, penilaian, ataupun memberi hadiah terhadap
prestasi siswa selama proses belajar. Sebaliknya, pada model yang lain
guru tidak diharuskan untuk memberikan penguatan, hadiah, dan lain
sebagainya. Adapun unsur terakhir adalah sistem pendukung, yaitu
berupa sarana prasarana, alat, media, dan bahan yang diperlukan uttuk
mendukung melaksanakan suatu model tertentu dalam kegitan belajar.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran sebagai kerangka konseptual berupa pola
yang tersusun secara sistematis dalam mengorganisasikan proses belajar
yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar yang bertujuan agar
siswa mampu memperoleh informasi, skill, gagasan, nilai, dan
mengembangkan cara nalar siswa. Model pembelajaran akan digunakan
oleh para guru untuk merencanakan proses belajar mengajar mulai dari
tahap perencanaan hingga pada tahap penutupan.
Selanjutnya, berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri model pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Model dibangun dan dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar
dan teori pendidikan. Misalnya, model penelitian kelompok
disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey.
2. Model yang dibangun memiliki misi dan tujuan khusus. Sebagai
contohnya, model induktif dirancang untuk mengembangkan
proses berpikir induktif.
149
3. Model yang dirancang secara umum dapat menjadi pedoman bagi
guru-guru untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran. Contohnya,
model pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk
memperbaiki kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
4. Jika model tertentu diterapkan akan setidaknya akan memberikan
dua dampak, yaitu: dampak Instruksional, yaitu berupa hasil
belajar yang terukur dan dampak pengiring, yaitu berupa hasil
belajar jangka panjang.
5. Suatu model terdiri dari 4 bagian, yaitu:
a. Sintaks (syntax)
b. Adanya prinsip reaksi
c. Sistem sosial
150
sejak tahun 1950-an, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh beraliran
humanistik, yaitu: Arthur Combs, Abraham Maslow (1962), james
Bugental (1964), Carl Ranson Rogers, Habermas, Kolb, Honey, dan
Mumford.
151
Model
Pengembang Tujuan Pembelajaran
Pembelajaran
Pembelajaran Carl Rogers Membangun pembentukan
tanpa arah (non- kemampuan berkembangan diri
directive) dalam arti kesadarn diri,
memahami diri, otonomi, percaya
diri, dan konsep diri..
Pertemuan Kelas William Peningkatan pemahaman dan
(Classroom Glasser tanggungjawab terhadap diri
Meeting) sendiri dan orang lain, agar dapat
saling berinteraksi dan membantu.
Sinektik Wiliam Peningkatan kompetensi
Gordon pemecahan masalah, kreatifitas,
dan berwawasan sosial.
Penemuan konsep David Hunt Meningkatkan fleksibilitas
seseorang dan dan kompleksitas
suatu konsep
Latihan kesadaran Fritrz Perls Peningkatan kemampuan
William kesadaran ekplorasi diri dan
Schutz memahami diri orang lain sebagai
pribadi yang unik
Aktualisasi diri Abraham Meningkatkan kemampuan
Maslow pemahaman terhadap diri sendiri
agar mampu mengaktualisasikan
dirinya.
152
pemprosesan berupa: 1) informasi-informasi verbal; 2) kompetensi
intelektual, 3) strategi kognitif, 4) sikap, dan 4) kecakapan motorik.
153
Pembelajaran
model latihan Richard Dirancang untuk membelajarkan siswa
penelitian Suchman dalam melakukan penelaran kausal. Selain
(Inquiry itu, bertujuan untuk meningkatkan rasa
Training) ingin tahu, kemampuan bertanya,
mengumpulkan informasi, mengolah
informasi, membangun hipotesis dan
konsep.
model berpikir Hilda Taba Dirancang untuk mengembangkan proses
induktif Bruce Joyce mental induktif dan penalaran akademik,
(Inductive yakni keterampilan mengklasifikasi,
Thinking) membuat dan menguji hipotesis, serta
memahami bagaimana membangun
pemahaman konseptual tentang materi ajar.
model Inkuiri Joseph J. Dirancang untuk meningkatkan
ilmiah Schwab keingintahuan terhadap suatu penomena,
(Scientific merancang eksplorasi, mengumpulkan data
Inquiry) kemudian menganalisisnya untuk
memahami penomena yang terjadi.
model Penata David Meningkatkan efisiensi kemampuan
Lajutan Ausubel pemrosesan informasi untuk meyerap dan
(Advance mengaitkan bidang-bidang pengetahuan.
Organizer)
model Belajar Michael Dirancang untuk meningkatkan
Pola Pressley, kemampuan memperoleh informasi,
Joel Levin, konsep, sistem konseptual, dan mengolah
Delaney informasi.
model Jerome Meningkatkan kemampuan penalaran
penemuan Bruner induktif, tetapi lebih cendrung pada
koncep Fred perkembangan dan analisis konsep.
(Consept Lighthall Selanjutnya, peserta didik diharapkan
Attainment) mampu mengembangkan dan menguji
hipotesis, serta belajar bermakna.
model Jean Piaget, Model ini fokus pada pengembangan
pengembangan Lawrence, intelektual secara umum dan mengatur
kognitif Kohlberg, proses belajar untuk memfasilitasi
Edmun perkembangan kognitif tersebut.
Sullivan,
Irvin Sigel
154
Kelompok model sistem perilaku disebut juga model modifikasi
perilaku (behavioral modification), sibernetika (cybernetics), atau terapi
perilaku (behavioral therapy). Adapun teori yang mendasari kelompok
model belajar sistem perilaku adalah teori-teori belajar behavioristik.
Teori ini membahas tentang perilaku yang terukur dan operasional.
Adapun tokoh-tokoh sebagai pelopor teori pembelajaran ini adalah
Edward Lee Thorndike, Ivan Pavlov, B. F Skinner, dan Watson. Pada
mulanya model ini dikembangkan dengan melakukan percobaan
terhadap kondisi yang bersifat klasikal oleh Ivan Pavlov, kemudian
dilanjutkan oleh Edward Lee Thondike dalam bentuk sistem reward
dalam proses belajar. Selanjutnya, B. F Skinner dikenal dengan teori
penguatan (reinforcement). Sedangkan, Watson sangat dikenal sebagai
seorang behavioris murni, hal ini disebabkan karena beliau
mensejajarkan kajian pendidikan dengan ilmu-ilmu lain seperti Biologi
atau Fisika, yang menitikberatkan pada pengalaman empirik semata,
yaitu sejauh mana sesuatu dapat diamati dan diukur.
Adapun prinsip dasar dari teori ini adalah pemberian rangsangan
dan respon yang dihasilkan. Selain itu, teori ini menitik beratkan pada
perubahan perilaku diri, yang tampak sebagai hasil belajar.
Joyce & Weil (2009:400) berpendapat “model modifikasi perilaku
merupakan desain pembelajaran yang menekankan pada perubahan
perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari stimulus yang diberikan.
Sementara Dunkin (1986) menyatakan bahwa Behavior model of
instruction are Systems for arranging The relationships among Three
variables : prompts, behavior, and consequences”. Beliau menjelaskan
bahwa ada tiga variabel saling berhubungan yang diatur oleh model
pembelajaran Sistem Perilaku. Variabel yang dimasud adalah petunjuk,
perilaku, dan akibat. Selain itu.
155
Menurut Joyce & Weil (2009:402-403) ada empat yang menjadi
prinsip pembelajaran prilaku, yaitu: perilaku sebagai fenomena yang bisa
diamati dan diidentifikasi, kebutuhan terhadap tingkah laku yang kurang
adaptif, tujuan tingkah laku adalah hal yang khusus, terpisah, dan
bergantung pada individu, dan teori tingkah laku fokus pada “hal-hal
yang ada di sini dan yang terjadi saat ini”
Ada beberapa yang menjadi ciri-ciri model pembelajaran sistem
perilaku, yaitu:
1. Lingkungan merupakan suatu hal yang dipandang sangat penting.
2. Model ini bersifat mekanistik
3. Sangat mempertimbangkan kejadian masa lalu
4. Menitikberatkan pada tingkah laku peserta didik yang tampak
dengan menggunakan metode yang obyektif.
Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran perilaku lahir
berdasarkan teori behavioristik. Dimana meyakini bahwa perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antar stimulasi dan respon.
Tolak ukur seseorang dikatakan telah belajar jika ia mampu
menunjukkan terjadinya perubahan tingkah laku. Adapun model-model
pembelajaran yang termasuk kedalam model ini diperlihatkan pada tabel
berikut.
156
berkomunikasi terpadu dan jujur,
yang didukung oleh lingkungan
belajar yang produktif.
Latihan B. F. Skinner Mengembangkan perilaku tertentu
Pengembangan dengan dukungan situasi tertentu
Konsep dan serta memodifikasi perilaku sesuai
Keterampian dengan stimulus dari lingkungan.
Belajar Sosial Albert Model ini bertujuan pada
Bandura pembentukan perilaku, mengurangi
Carl rasa takut, dan belajar mengobtrol
Thoresen diri sendiri.
Wes Becker
Belajar Carl Smith Fokus model ini ialah ketuntasan
Terprogram Mary Foltz penguasaan keterampilan dan
informasi
Belajar Tuntas Benjamin Model ini dilakukan dengan cara
Bloom membagi materi atau tugas menjadi
James Block unit-unit kecil agar peserta didik
B.F Skinner mudah mempelajari keterampilan
secara tuntas.
Kontrol David Model ini menitik beratkan pada
Kekhawatiran Johnson pengalihan pada kesantaian dari
Roger kecemasan dalam situasi sosial
Johnson
Latihan Gagne, Pembelajaran ini menekankan pada
Langsung Smith pola-pola perilaku dan keterampilan
diri pserta didik.
Simulasi Thomas Model ini digunakan agar mampu
Good menguasai keterampilan yang sangat
Jere Brophy kompleks dan konsep yang sangat
Wes Becker, luas cakupannya.
dll
157
pada awalnya dikembangkan oleh Max Wetheimer (1912), Kurt Koffa,
dan Kohler. Mereka berpendapat bahwa objek atau suatu kejadian
tertentu dipandang sebagia satu kesatuan dalam organisasi. Implikasi dari
teori ini, pembelajaran akan lebih bermakna apabila materi yang
diberikan dalam satu kesatuan yang utuh bukan dalam bentuk terbagi-
bagi. Selain itu, model ini juga dilandasi pada pemikiran bahwa kerja
sama ataupun gotong royong merupakan suatu kebiasaan yang sangat
penting dan harus dikembangkan dalam kehidupan manusia. Sehingga
terbentuknya hubungan antara individu yang baik dan harmonis.
Sehingga, model-model yang berorientasi sosial akan berdampak pada
perbaikan kecakapan sosial seseorang. Sehingga, mereka mapu dengan
baik menjalin hubungan baik dengan orang lain dan lingkungannya,
seperti menghormati orang lain, menghargai hak-hak orang lain, bekerja
keras, dan lain sebagainya. Model-model pembelajaran yang tergolong
kelompok ini beserta tokoh-tokohnya diberikan pada tabel berikut, yang
diadopsi dari Sani, R. A. (2013).
158
yang harmoni. Selain itu, model ini
juga menganggap penting akan
perkembangan keterampialan
penentu akademik seseorang.
Latihan Bethel Maine Model ini menitik beratkan pada
Laboratorium keterampilan antar pribadi dan
(sosial) kelompok dengan cara
meningkatkan kesadaran pribadi.
Bermain Peran Fannie Shafel Model ini dibangun dengan tujuan
George Fhafel agar peserta didik mampu
menemukan nilai-nilai pribadi dan
sosial. Sehingga Ia mampu
meningkatkan pemahaman pribadi
mengenai nilai dan perilaku.
Simulasi Sosial Sarene Model ini mampu membantu
Boocock peserta didik agar mengalami
Harold berbagai proses dan kenyataan
Guetzkow sosial, sehingga mereka
memperoleh konsep dan
keterampilan mengambil
keputusan.
Inkuiri Sosial Byron Model ini dirancang untuk
Massialas memecahkan permasalahan sosial
Benjamin Cox melalui penemuan dan penalaran
logis
Inkuiri Sosial Robert Slavin, Model ini dibangun untuk
Terstruktur dll menyelesaikan masalah-masalah
sosial dengan cara pendekatan
penemuan akademik.
Inkuiri Donald Olever Model ini dibangun atas dasar
Yurisprudensial James P. pengembangan hukum
(Hukum) Shaver (Yurisprudensial) sebagai acuan
untuk melakukan cara berpikir dan
memecahkan permasalahan sosial.
6.3 Model Pembelajaran Berbasis Masalah
159
model ini juga dikenal pada zaman Jhon Dewey, selanjutnya model ini
populer sampai saat ini. Problem based learning di Indonesia dikenal
dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang dibangun dengan
meciptakan suatu masalah. Model ini termasuk salah satu model inovatif,
yang mampu menciptakan kondisi belajar siswa menjadi aktif. Dimana,
untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa memerlukan pengetahuan
baru. Pada model ini guru diharuskan menciptakan suatu masalah yang
kontekstual sehingga mampu merangsang siswa untuk
menyelesaikannya.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) dikategorikan kedalam
active learning. Dimana model ini melibatkan peserta didik dalam proses
pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik.
Peserta didik diikutsertakan dalam pemecahan masalah melalui tahap-
tahap metode ilmiah, sehingga diharapkan keterampilan pemecahan
masalah dan kemandirian siswa dapat meningkat. Dimana keterampilan
ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dan problematika
kehidupan dimasa sekarang dan yang akan datang.
Beberapa pendapat ahli mengenai pengertian model pembelajaran
berbasis masalah adalah sebagai beikut.
1. Menurut Jhon Dewey, model pembelajaran berbasis masalah
adalah interaksi antara stimulus dan respon. Selain itu, terjadinya
hubungan antara dua arah antara belajar dan lingkungan.
2. H. S. Borrows (1982), adalah seorang inisiator pembangun model
ini, menyatakan bahwa masalah dapat dipergunakan untuk
mendapatkan atau mengintegrasikan pengetahuan baru.
3. Selain itu, menurut Arends bahwa model pembelajaran berbasis
masalah merupakan model pembelajaran dimana siswa diajarkan
pembelajaran yang autentik, bertujuan untuk menyusun
160
pengetahuan peserta didik, meningkatkan keterampilan berpikir
dan memecahkan masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa,
dan membangun kemandirian belajar peserta didik. (Arends, 2007)
4. Adapun pembelajaran berbasis masalah menurut Duch (1995)
adalah model yang dirancang menggunakan masalah yang autenik,
yang diberikan kepada siswa saat proses belajar untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan
memecahkan masalah.
161
atau terkenal dengan perkembangan intelektual yang berkenaan dengan
kesiapan siswa agar mampu belajar. Selain itu, Piaget dikenal juga
pengembang teori kontruktivisme pertama, dimana pembelajar
dikondisikan agar mampu membangun pengetahuan sendiri. Teori belajar
Piaget dan pandangan kontruktivisme sangat erat kaitannya dengan
prinsip-prinsip model pebelajaran berbasis masalah. Pembelajar secara
aktif mengkontruksi sendiri pengethuannya, dengan cara interaksi
langsung dengan lingkungan dan kehidupan nyata melalui proses
asimilasi dan akomodasi.
162
Disisi lain, kedua ahli ini memiliki perbedaan pandangan, Piaget
lebih menekankan pada kontruktivisme psikologi yang bersifat personal,
sedangkan Vygotsky lebih cendrung pada kontruktivisme psikologis
yang bersifat sosial. Vygotsky menganggap penting terhadap aspek
sosial, sebab akan mampu menimbulkan ide-ide baru sehingga akan
menambah peningkatan intelektual siswa. Kedua prinsip-prinsip
kontruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model belajar
berdasarkan masalah.
6.3.2 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
163
5. Pengujian Hipotesis, pada tahap ini peserta didik melakukan proses
uji hipotesis dengan merumuskan dan menarik kesimpulan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, pada tahab ini
siswa melakukan rekomendasi tahapan-tahapan dan hasil
pemecahan masalah yang telah ditemukan.
Richard I. Arends (2008), mengemukakan tahap-tahap pelaksanaan
pembelajaran berbasis masalah diberikan pada tabel dibawah ini.
164
masalah masalah terhadap suatu peristiwa,
sehingga jelas masalah apa yang akan
dikaji
2 Mendiagnosa Mendiagnosa masalah dengan cara
Masalah menentukan penyebab dan faktor
terjadinya masalah.
3 Merumuskan Mendiskusikan alternatif penyelesaikan
alternatif yang mungkin dilakukan
penyelesaian
4 Menentukan dan Menentukan dan menerapkan strategi
menerapkan strategi penyelesaian masalah
penyelesaian
5 Melakukan Evaluasi Melakukan evaluasi proses terhadap
Proses dan hasil seluruh kegiatan. Selanjutnya, evaluasi
hasil dilakukan terhadap akibat dari
penerapan strategi yang diterapkan.
165
dan motivasi dan mengembangkan hubungan interpersonal dengan
teman-teman sejawatnya.
166
7. Model pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada
peserta didik agar menerapkan pengetahuan yang mereka miliki
untuk memecahkan masalah nyata.
8. Model ini akan melatih kemandirian peserta didik dalam belajar.
167
Penilaian proses dapat dilakukan dengan mengamati peserta didik
selama proses belajar. Pengamatan ini sebaiknya menggunakan lembar
observasi yang dirancang secara terstruktur. Penilain proses
dipergunakan guru untuk mengetahui bagaimana siswa merencanakan,
menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi hasil pemecahannya.
Sehingga, informasi ini dapat dipergunakan untuk mengatasi
permasalahan peserta didik dalam pembelajaran berikutnya. Selain itu,
informasi ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kecakapan
peserta didik dalam menyelesaikan masalah.
168
job, merancang, mengkalkulasikan, melaksanakan pekerjaan dan
mengevaluasi hasil.
PjBL merupakan metode belajar yang menggunakan masalah
sebagai langkah awal dalam pengumpulan dan mengintegrasikan
pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dalam aktivitas secara nyata.
Sampai saat ini definisi atau pengertian yang menjelaskan tentang PjBL
secara resmi belum ada, beberapa ahli memiliki perbedaan dalam
memberikan definisi tentang PjBL. Pendapat para ahli tersebut antara
lain:
Wena (2011: 145) menyatakan bahwa “pembelajaran berbasis
proyek atau project based learning sebagai model pembelajaran
yang melibatkan peserta didik dalam transfer pengetahuan”.
Intel Corporation meberikan definisi terhadap pembelajaran berbasis
proyek sebagai “an instructional model that involves students in
investigations of compelling problems that culminate in authentic
products”(sebuah model pembelajaran yang melibatkan siswa
dalam penyelidikan permasalahan mendesak yang puncaknya
dalam hasil/produk yang asli).
Buck Institute for Education, project based learning adalah suatu
metode pembelajaran sistematis yang melibatkan siswa dalam
belajar ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui proses
penyelidikan terhadap masalahmasalah nyata dan pembuatan
berbagai karya atau tugas yang dirancang secara hati-hati
John Thomas, project based learning adalah pembelajaran yang
memerlukan tugas-tugas kompleks, didasarkan pada
pertanyaan/masalah menantang, yang melibatkan siswa dalam
mendesain, memecahkan masalah, membuat keputusan, atau
kegiatan investigasi, memberikan siswa kesempatan untuk bekerja
169
secara mandiri selama periode lama, dan berujung pada realistis
produk atau presentasi.
Thomas J. W. Moursund, et. all., menyebutkan bahwa PjBL adalah
model pengajaran dan pembelajaran yang menekankan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam suatu proyek. Hal
ini memungkinkan siswa untuk bekerja secara mandiri untuk
membangun pembelajarannya sendiri dan kemudian akan
mencapai puncaknya dalam suatu hasil yang realistis, seperti karya
yang dihasilkan siswa sendiri. Project based learning dapat
didefinisikan: (1) fokus pada konsep-konsep utama dari suatu
materi, (2) melibatkan pengalaman belajar yang melibatkan siswa
dalam persoalan komlpleks, namun realistik yang membuat mereka
mengembangkan dan menerapkan keterampilan serta pengetahuan
yang mereka miliki, (3) pembelajaran yang menuntut siswa untuk
mencari berbagai sumber informasi dalam rangka pemecahan
masalah, (4) pengalaman siswa belajar untuk mengelola dan
mengalokasikan sumber daya, seperti waktu dan bahan.
170
c. siswa merancang proses untuk mencapai hasil
d. siswa bertanggung jawab mendapatkan dan mengelola
informasi yang dikumpulkan
e. siswa melakukan evaluasi secara kontinu
f. siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan
g. hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya
Sentralistis (centrality)
Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas
pada kehidupan nyata untuk memperkaya pembelajaran. Proyek
dalam PjBL adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap
kurikulum.
Berfokus pada pertanyaan atau masalah (driving question)
Hal ini mengandung makna bahwa pekerjaan proyek yang
dilakukan oleh siswa bersumber pada pertanyaan atau persoalan
yangmenuntun siswa untuk menemukan konsep mengenai bidang
tertentu. Dalam hal ini aktivitas bekerja menjadi motivasi eksternal
yang dapat membangkitkanmotivasi internal pada diri siswa untuk
membangun kemandirian dalam menyelesaikan tugas.
Investigasi Konstruktif
Artinya bahwa dalam pembelajaran berbasis proyek terjadi proses
investigasi yang dilakukan oleh siswa untuk merumuskan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengerjakan proyek. Oleh
karena itu guru harus dapat merancang strategi pembelajaran
yang mendorong siswa untuk melakukan proses pencarian dan
171
atau pendalaman konsep pengetahuan dalam rangka
menyelesaikan masalah atau proyek yang dihadapi.
Otonomi
Dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa diberi kebebasan
atau otonomi untuk menentukan target sendiri dan bertanggung
jawab terhadap apa yangdikerjakan. Guru berperan sebagai
motivator dan fasilitator untuk mendukung keberhasilan siswa
dalam belajar.
Realistis
172
untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama
menyelesaikan proyek.
Menguji hasil (assess the outcome). Penilaian dilakukan untuk
membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar,
berperan dalam mengevaluasi kemajuan masingmasing peserta
didik.
173
Adapun kelemahan model Pembelajaran Berbasis Proyek, adalah:
Memerlukan banyak waktu yang harus diselesaikan untuk
menyelesaikan masalah.
Memerlukan biaya yang cukup banyak.
Banyak peralatan yang harus disediakan.
Ada kekhawatiran siswa hanya akan menguasai satu topik
tertentu yang dikerjakan
174
membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan
sebagainya.
175
bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan yang
mengarahkan siswa menemukan konsep ataupun suatu kesimpulan.
176
Ada beberapa langakah–langkah dalam mengaplikasi model
Discovery Learning, yaitu:
A. Perencanaan
Pada tahap perencanaan, hal-hal yang pelu dilakukan adalah:
a) Menentukan tujuan pembelajaran
b) Menentukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,
minat, gaya belajar dan sebagainya)
c) Memilih materi pembelajaran
d) Menentukan topik-topik yag harus dipelajari siswa secara induktif
(dari contoh-contoh generalisasi
e) Mengembangakan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-
contoh, ilustrasi, tugas dan sebaginya untuk dipelajari peserta didik
f) Mengetur topik-topk perlajaran dari yang sederhana ke kompleks,
dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai
ke simbolik
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa
177
model, strategi, metode yang akan mendukung sukses nya proses
pembelajaran pada diri peserta didik. Rencana yang dilakukan oleh guru
merupakan hasil rancangan yang baru dengan berpatokan kepada hasil
evaluasi di pembelajaran tahun sebelumnya. Agar keunggulan yang
diperoleh pada proses pembelajaran ditahun-tahun sebelumnya dapat
tetap digunakan dan kelemahannya dapat di antisipasi oleh guru agar
dapat dicari solusi nya.
Untuk mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas
tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum adalah sebagai berikut. (Hosnan, 2014:289)
Tabel. Sintaks Model Pembelajaran penemuan
178
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa
membuktikan benar
atau tidaknya
hipotesis
Tahap 4 Selama siswa bekerja Siswa mengolah data yang
Data guru membimbing telah terkumpul,
procesing/ dan klasifikasi, ditabulasi serta
pengolahan memfasilitasi. ditafsirkan pada tingkat
data kepercayaan tertentu.
Guru membimbing Siswa melakukan
dan memberi pemeriksaan untuk
kesempatan kepada membuktikan benar atau
Tahap 5
siswa untuk tidaknya hipotesis yang
Melakukan
menemukan suatu ditetapkan diawal
Verification/
konsep, teori, aturan,
Pembuktian
atau pemahaman
melalui contoh-
contoh.
Guru membimbing Secara berkelompok siswa
Tahap 6 siswa menarik kesimpulan,
Generalization mengambil merumuskan kaidah,
/ kesimpulan prinsip, ide generalisasi
Penarikan berdasarkan data dan atau konsep berdasarkan
kesimpulan menemukan sendiri data yang diperoleh
atau penemuan konsep yang ingin
ditanamkan.
Dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas, ada
beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum berikut:
1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki
sendiri. Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan,
atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian
yang memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi
179
untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan.Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada
kondisi internal yang mendorong eksplorasi.
2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah)
180
ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean
coding/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep
dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan
mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
5. Verification (pembuktian)
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya
C. Sistem Penilaian
181
Dalam model pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat
dilakukan dengan menggunakan tes maupun non tes. Penilaian dapat
berupa penilaian pengetahuan, sikap dan keterampilan, atau penilaian
hasil kerja siswa.
182
6.6 Model Pembelajaran Inkuiri
Selain kata Inquiry, dalam bahasa inggris ada juga kata discovery
yang memiliki makna yang hampir sama. Kata Inquiry dan Discovery
pada dasarnya memiliki makna yang hampir sama yaitu penemuan.
Namun, secara makna kata Inquiry lebih mengarah pada mencari dengan
melakukan sesuatu. Berkenaan dengan pemakaina kedua istilah ini, para
ahli terbagi ke dalam dua pendapat, yaitu: penggunaan istilah Inquiry
dan Discovery dapat diartikan dengan makna yang sama dan digunakan
saling bergantian atau keduanya secara bersamaan. Adapun pendapat
yang lain, sekalipun secara umum istilah Inquiry dan Discovery memiliki
makna yang sama, namun kedua istilah ini tetap memiliki makna khusus
yang berbeda.
183
menarik kesimpulan. Selain itu, peserta didik harus memiliki sikap
objektif, jujur, terbuka, rasa ingin tahu, disiplin, komitmen tinggi, kerja
keras, mandiri, dan lain sebagainya.
184
sebagai proses yang memerlukan aktifitas peseta didik. Disisi lain,
inkuiri memberikan peserta didik pengalaman memecahkan masalah
autentik dan mendorong mereka untuk aktif dan memberikan peluang
kepada mereka untuk mengambil inisiatif dalam mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sehingga
mampu meningkatkan kemampuan berpikir mereka. Dengan demimikian
model inquiry selaras dengan teori Gestalt.
Ada beberapa ciri-ciri yang menggambarkan model pembelajaran
inkuiri, yaitu:
1. Pembelajaran ini menempatkan siswa sebagai subjek belajar
(student centered learning). Dalam proses belajar, siswa berperan
aktif dalam melakukan proses belajar dengan cara menemukan
sendiri jawaban yang diselidiki.
2. Seluruh aktivitas yang dilakukan selama proses belajar menitik
beratkan pada penemuan jawaban sendiri dari penyelidikan,
sehingga mampu meningkatkan sikap disiplin , percaya diri dan
kemandirian dalam belajar. Disisi lain, seorang guru hanya
berfunsi sebagai fasilitator dan pembimbing.
3. Proses model ini mampu meningkatkan kemampuan tingkat tinggi,
seperti kemampuan berpikir logis, kritis, sistematis, dan
memecahkan masalah. Target pembelajaran dengan model ini tidak
hanya menguasai materi, akan tetapi lebih menitik beratkan pada
peningkatan potensi diri peserta didik.
Penerapan model pembelajaran inkuiri memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Meningkatkan kompetensi kreatif peserta didik
2. Menumbuhkan kemandirian belajar
3. Meningkatkan sikap ilmiah peserta didik.
4. Meningkatkan keterampilan menemukan dengan proses-proses
ilmiah seperti melakukan pengamatan, pengumpulan data dan
informasi, pengorganisiran data dan informasi, mengidentifikasi
185
variabel, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, serta menarik
kesimpulan.
186
Pada saat penerapan model ini, guru berperan murni sebagai
fasilitator dan motivator. Guru membimbing peserta didik dalam upaya
melakukan penyelidikan. Pada umumnya, peserta didik akan
menemukan kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan
memecahkan permasalahan. Sehingga untuk menghindari kegagalan
dalam menerapkan model ini, diperlukan peran guru secara maksimal
untuk menyiapkan dan melakukan berikut ini.
1. Merancang pertanyaan dan masalah yang relevan untuk
diselesaikan oleh peserta didik.
2. Memulai proses inkuiri dengan menagajukan pertanyaan dan
masalah yang telah dirancang sebelumnya.
3. Menstimulus peserta didik agar agar melakkan diskusi untuk
mencari alternatif penyelesaiaan.
4. Membimbing peserta didik yang kesulitan dalam memahami
materi pendukung yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
5. Guru diperkenankan untuk menjelaskan alur dan tatacara
penyelesaian masalah apabila sebagian besar siswa tidak mempu
melakukannya.
6. Jika peserta didik masih mengalami kesulitan dalam melakukan
penyelidikan, sebaiknya guru memberikan contoh cara melakukan
prosedur ilmiah.
Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri Ilmiah
Adapun sintaks model pembelajaran Inkuiri Ilmiah (Scientific
Inquiry), diberikan sebagai berikut.
Tahapan Kegiatan
Tahap 1 Peserta didik disajikan suatu bidang penelitian berupa
permasalahan-permasalahan yang akan diselidiki
Tahap 2 Siswa menyusun atau mendesain masalah. Pada tahap ini,
dimungkinkan peserta didik akan mengalami kendala
187
dalam memahami data, mengorganisir data, mengontrol
percobaan, dan membuat kesimpulan
Tahap 3 Siswa mengidentifikasi masalah dalam penelitian. Pada
tahap ini, siswa diharapkan mampu berspekulasi mengenai
masalah yang akan diselesaikan, sehingga mereka mampu
mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi.
Tahap 4 Peserta didik memperjelas masalah dan menyusun teori
pendukung untuk digunakan memecahkan masalah
penelitian. Pada tahab ini, peserta didik merancang
percobaan, menganalisis data dengan berbagai cara,
menghasilkan data, dll.
Sistem Sosial
Model pembelajaran ini memiliki iklim bekerja secara kooperatif,
dimana peserta didik dilibatkan dalam melakukan penelitian dengan
teknik ilmiah bersama dengan teman-temannya. Mereka melakukan
bersama bagaimana menentukan hipotesis yang baik, mencari bukti,
mengkritisi rancangan penelitian, dan lain sebagainya.
Prinsip Reaksi (Principles of Reaction)
Dalam mempraktekkan model pembelajaran inkuiri ilmiah,
setidaknya ada 4 peran guru yang sangat penting untuk diperhatikan,
yaitu: guru membimbing siswa dalam melakukan penelitian dan
mengikuti proses-proses ilmiah, guru mendukung dan memberi
penguatan kepada siswa agar mereka mampu menghadapi sulitnya
permasalahan yang harus diselesaikan, guru membimbing siswa untuk
membuat hipotesis, menafsirkan, mengkontruksi, dan menginterpretasi
hubungan masalah dengan realitas yang ditemukan, guru diharapkan
mampu memfasilitasi para peserta didik untuk mengevaluasi hasil
penelitian dan membandingkannya dengan alternatif yang lain.
Sistem Pendukung (Suppory System)
Agar model in dapat diterapkan dengan baik, maka diperlukan
sistem pendukung yaitu keterampilan instruktur yang mumpuni
melakukan inkuiri, mampu menyiapkan bahan penelitian yang terbaru
188
dan orisinal. Selain itu, dibutuhkan sistem pendukung berupa perangkat-
perangkat, alat, dan media sebagai pendukung.
Dampak Instruksional dan Pengiring (Instructional and Nurturant
Effects)
Adapun dampak instruksional dan pengiring model pembelajaran
inkuiri ilmiah diperlihatkan pada skema berikut ini.
Gambar. Dampak Intruksional dan pengiring model pembelajaran
inkuiri ilmiah
Model
Penemuan Ilmiah
Proses Penelitian
Pengetahuan Ilmiah
Ada beberapa kelebihan model pembelajaran inkuiri ilmih, lima
diantaranya adalah:
1. Model ini mampu menstimulus Semanagat kerjasama
peningkatan keterampilan
pemecahan masalah baru. Dengan model ini, peserta didik terlatih
keterbukaan
dan terbiasa menyelesaikan masalah dengan metode ilmiah.
2. Proses model inkuiri ilmiah mengajari siswa bagaimana untuk
belajar sesuai yang diinginkan, dan mampu meningkatkan
kemandirian belajar siswa. Secara bertahap, peserta didik akan
belajar bagaimana mengatur diri mereka untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah dengan langkah-
langkah ilmiah.
189
3. Proses belajar dengan model ini mendorong siswa untuk bekerja
sama, percaya diri, tanggung jawab, bersifat objektif, dan disiplin.
4. Mampu meningkatkan potensi intelektual peserta didik.
5. Peserta didik mampu mengolah data dan informasi menjadi suatu
pengetahuan baru berupa hasil penyelidikan.
Selain kelebihan, model inkuiri ilmiah memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya:
1. Sulit mengontrol dan mengukur keberhasilan setiap peserta didik.
2. Model ini sulit untuk diaplikasikan pada siswa yang tidak memiliki
motivasi tinggi. Sebab. Untuk menerapkannya diperlukan
keuletasn, disiplin, dan budaya belajar siswa yang mandiri.
3. Untuk menerapkan model ini dibutuhkan waktu yang cukup lama,
terutama bagi kelas yang belum terbiasa menerapkan model ini.
4. Dimungkinkan hasil penyelidikan yang ditemukan oleh peserta
didik keliru dan menyimpang dari yang diharapkan. Sehingga
dibutuhkan kerja dan peran guru semaksimal mungkin untuk
mengontrol berlangsungnya proses penyelidikan.
5. Model ini akan sulit diterapkan apabila jumlah peserta didik cukup
banyak dalam satu kelas.
190
meningkatkan pemahaman terhadap konsep-konsep secara logis serta
hubungan kausalitas dengan melakukan pengolahan data dan informasi
secara mandiri. Selain itu, peserta didik akan terbiasa melakukan belajar
dengan cara pendekatan baru, dimana mereka mampu membangun dan
mengembangkan suatu konsep baru dan menemukan sendiri hubungan-
hubungan antara berbagai variable melalui proses berpikir tingkat tinggi.
191
2. Membelajarkan peserta didik bagaimana menyusun informasi
untuk mendukung kesimpulan sementara.
3. Membelajarkan peserta didik bagaimana menganalisis suatu situasi
dalam menyelesaikan hubungan antara variabel.
Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri Latihan
Ada beberapa penjelasan para ahli mengenai sintaks model
pembelajaran inkuiri latihan, seperti Joyce & Weil dan Richard
Suchman. Joyce & Weil (2009), berpendapat ada lima tahapan yang
mesti dilakukan dalam menerapkan model ini. Selain itu, Richard
Suchman berpendapat cukup dengan fase. Adapun sintaks pembelajaran
latihan inkuiri dengan 5 tahap diberikan sebagai berikut (Joyce & Weil,
2009).
Tabel. Sintaks Model Pembelajaran Latihan Inkuiri (Joyce & Weil,
2009)
Tahapan Aktivitas
Tahap 1 Mengkonfrontasikan siswa dengan masalah. Hal-hal, yang
mesti dilakukan pada tahap ini adalah:
Guru menjelaskan prosedur-prosedur latihan inkuiri.
Guru memulai proses pembelajaran dengan
memberikan masalah yang unik kepada peserta didik.
Tahap 2 Pengumpulan Data-Memverifikasi
nguji keadaan dan kondisi dari objek
menguji bagaimana terjadinya kejadian dari situasi
masalah
Tahap 3 Pengumpulan-Eksperimen
Memisahkan variabel-variabel yang relevan,
Melakukan hipotesis (menguji) hubungan kausalitas
Tahap 4 Mengorganisasi, Merumuskan, dan Menjelaskan.
Merumuskan hukum-hukum atau penejelasan-
penjelasan.
Tahap 5 Menganalasis proses inkuiri
Menganalisis strategi-strategi pemecahan masalah yang
telah mereka gunakan selama penelitian dan
192
mengembangkan strategi yang lebih efektif.
Tahap Kegiatan
Perencanaan Mengidentifikasi tujuan
aktivitas Mempesiapkan masalah
Mempersiapkan alat peraga yang diperlukan
inkuiri Mempersiapkan media
Pelaksanaan Memberikan masalah kepada peserta didik
aktivitas Merumuskan hipotesis
Mengumpulkan data
inkuiri Mengakhiri kegiatan
Evaluasi Mengevaluasi proses inkuiri
aktivitas Mengevaluasi hasil penyelidikan
inkuiri
Berdasarkan teori pendukung dan pndapat para ahli mengenai
sintaks model pembelajaran latihan inkuiri dapat lebih dispesifikkan
sebagai berikut.
193
Menjelaskan rangkaian prosedur kegiatan inkuiri yang akan
dilakukan. Pada tahap ini, guru menjelaskan prosedur dan tujuan
kegiatan inkuiri.
Menjelaskan pentingnya mempelajari topik yang akan dipelajari
dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata.
Menyiapkan media dan alat-alat yang diperlukan.
Tahap 2. Merumuskan masalah
Pada tahap ini, guru membawa para siswa pada persoalan yang
mengandung teka-teki. Dikatakan teka-teki, sebab rumusan masalah
yang diberikan mempunyai jawaban yang menimbulkan rasa ingin
tahu peserta didik. Dalam merancang rumusan masalah, ada beberapa
hal yang mesti diperhatikan, yaitu.
Sebaiknya guru menjelaskan tatacara merumuskan suatu
masalah.
Untuk memotivasi peserta didik mencari jawaban atas masalah
yang dirumuskan, sebaiknya masalah ini dirumuskan oleh
peserta didik.
Masalah yang akan diselessaikan adalah masalah yang yang
mengandung teka-teki dan dapat diselesaikan.
Guru harus memastikan bahwa peserta didik telah menguasai
teori dan konsep pendukung yang diperlukan untuk menemukan
jawaban.
Tahap 3. Mengajukan hipotesis (jawaban sementara dari suatu
permasalahan)
Peserta didik harus benar-benar menganalisi akar masalah, agar
tidak keliru dalam menentukan jawaban sementara.
Hipotesis yang diajukan peserta didik harus didasarkan pada
kerangka berfikir yang kokoh.
Tahap 4. Mengumpulkan data dan informasi.
Setelah menentukan hipotesis, selanjutnya peserta didik melakukan
pengumpulan data dan informarmasi yang dibutuhkan untuk menguji
194
hipotesis. Semakin valid dan lengkap data yang diperoleh, tentu akan
semakin mudah melakukan pengujian hipotesis tersebut.
Tahap 5. Menguji Hipotesis
Pada tahap ini, peserta didik akan melakukan pengujian terhadap
hipotesisnya. Pada proses ini, peserta didik akan bekerja dengan
sungguh-sungguh dalam menentukan jawaban yang dianggap benar
berdasarkan data dan informasi yang didapat sebelumnya. Pada tahap
ini, peserta didik dilatih untuk memberikan jawaban dengan cara
berpikir logis, kritis, dan sistematis yang mengikuti prosedur ilmiah.
Tahap 6. Merumuskan Kesimpulan
Pada tahab ini, peserta didik mendeskripsikan temuannya dengan
sistematis.
Tahap 7. Mengevaluasi hasil dan proses inkuiri.
Pada tahap ini, peserta didik dan guru melakukan proses evaluasi
terhadap proses-proses inkuiri yang dilakukan siswa. Sebab, pada
penerapan model inkuiri sangat memprioritaskan proses-proses yang
dilakukan siswa sebagai pelajaran untuk melakukan inkuiri pada
masalah yang berbeda. Selain itu, guru dan peserta didik perlu
melakukan evaluasi terhadap hasil yang ditemukan untuk memastikan
bhwa temuan tersebut benar.
Sistem Sosial
195
yang terarah dan terukur, sebab semua peserta didik berkesempatan
untuk menyampaikan ide-ide yang relevan dan ilmiah (Joyce, B. & Weil,
M.,2009).
Prinsip Reaksi
Sistem Pendukung
196
Adapun dampak instruksional dalam model pembelajaran ini
adalah trategi untuk inkuiri kreatif dan proses ilmiah. Sedangkan,
dampak pengiringnya adalah semangat kreatifitas, hakikat keilmuan
yang tentatif, toleransi terhadap perbedaan pendapat, dan kemandirian
belajar (Joyce, B. & Weil, M.,2009). Dampak instruksional dan
pengiring dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar. Dampak intruksional dan pengiring model pembelajaran
latihan inkuiri
semangat kreatifitas
Strategi untuk inkuiri kreatif
hakikat keilmuan yang tentatif
6.7 Proses
Model Ilmiah
Pembelajaran Induktif
toleransi terhadap perbedaan pendapat
Model pembelajaran induktif merupakan sebuah model
pembelajaran bersifat langsung. Model ini telah terbuktibelajar
kemandirian mampu
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi apabila dilakukan
secara baik dan benar. Tingkat efektifitas model ini sangat bergantung
pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran,
dimana guru berfungsi sebagai pembimbing dan fasilitator.
197
1. Proses berpikir dapat dipelajari. Mengajar seperti yang digunakan
oleh Taba berarti membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir induktif melalui latihan (practice).
198
pendekatan yang berorientasi pada paham bahwa belajar pada dasarnya
adalah pengembangan intelektual. Pengembangan intelektual seseorang
akan berkembang melalui dua cara, yaitu : “secara induktif dan
deduktif”. Dalam pendekatan induktif pembehasan dimulai dengan fakta-
fakta atau data-data, konsep teori yang telah diuji berkali-kali kemudian
disusun ke atas menjadi suatu generalisasi kemudian ke hal yang khusus.
Sintaks Pembelajaran
199
Sistem Sosial
Prinsip Reaksi
Sistem Pendukung
Dampak
200
pengetahuan, dan berpikir logis. Kedua dampak tersebut dapat
dibagankan seperti gambar berikut.
Model Pembelajaran
Induktif
Berpikir logis
201
6.8 Model Pembelajaran Kooperatif
202
bantuan dan siapa yang dapat
memberikan bantuan
203
mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan pembelajaran ini mencakup tiga
jenis tujuan penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Ibrahim, dkk,
2000:7). Para ahli telah menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik, unggul
dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, dan
membantu siswa menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti
terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman ras, budaya dan
agama, strata sosial, kemampuan, dan ketidakmampuan (Ibrahim, dkk,
2000:9). Model pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan
baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja
bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Model pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa
yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung
satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan
struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama
lain. Model pembelajaran kooperatif sangat tepat digunakan untuk
melatihkan kerjasama dan kolaborasi, dan juga keterampilan-
keterampilan tanya jawab (Ibrahim, dkk, 2000: 9).
Menurut Johnson dan Johnson (1994) dan Sutton (1992), terdapat
lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu:
1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. Dalam
belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja
sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain.
Seorang siswa tidak sukses kecuali semua anggota kelompoknya
juga sukses. Siswa merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari
204
kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya
kelompok;
2. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat. Belajar kooperatif
meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini terjadi dalam hal
seorang siswa membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota
kelompok. Saling memberikan bantuan, pembelajaran berlangsung
secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok
mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini,
siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman
sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar koperatif
adalah dalam hal tukar-menukar ide mengenai masalah yang
sedang dipelajari bersama;
3. Tanggung jawab individual. Tanggung jawab individual dalam
belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal:
(a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) siswa
tidak dapat hanya sekadar “membonceng” pada hasil kerja teman
jawab siswa dan teman sekelompoknya;
4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. Dalam belajar
kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang
diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana siswa
berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana
siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide
dalam kelompok menuntut keterampilan khusus; dan
5. Proses kelompok. Belajar kooperatif tidak berlangsung tanpa
proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok
mendiskusikan bagaimana mereka mencapai tujuan dengan baik
dan membuat hubungan kerja yang baik.
205
Selain lima unsur penting yang terdapat dalam model pembelajaran
kooperatif, pembelajaran ini juga mengandung prinsip-prinsip yang
membedakan dengan pembelajaran lainnya. Konsep utama dari belajar
kooperatif menurut Slavin (1995) adalah sebagai berikut:
206
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu model
pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan
kerjasama, kreatif, berpikir kritis dan ada kemampuan untuk membantu
teman serta merupakan pembelajaran kooperatif yang sangat sederhana.
Teknik mengajar STAD dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai
metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam
pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Dalam
teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan
pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak
kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi.
Pembelajaran STAD adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif
yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu
mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya
(Arends 1997: 111).
STAD didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa
terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka
juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada
anggota kelompoknya yang lain.
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama
bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang
topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian
siswasiswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan
207
kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka
pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran STAD, terdapat kelompok asal dan
kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang
beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang
keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari
beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari
anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari
dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang
berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada
anggota kelompok asal.
Menurut Slavin STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu
prestasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, rekognisi tim.
a. Prestasi kelas. Materi dalam STAD pertama-tama dikenalkan
dalam prestasi didalam kelas.
b. Tim. Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh
bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras
dan etnisitas.
c. Kuis. Setelah sekitar satu atau dua periode setelah guru
memberikan presentasi dan sekitar satu atau dua periode praktek
tim, para siswa akan mengerjakan kuis individual.
d. Skor Kemajuan Individual. Gagasan dibalik skor kemajuan
individual adalah untuk memberikan kepada setiap siswa tujuan
kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat
dan memberikan kinerja yang lebih baik dari pada sebelumnya.
e. Rekognisi team. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk
penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai
kriteria tertentu
Adapun tahap-tahap Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams
Achievement Division (STAD), diberikan sebagai berikut:
208
1. Tahap Penyajian Materi
Guru menyajikan materi melalui metode ceramah, demonstrasi,
ekspositori, atau membahas buku pelajaran matematika. Dalam
tahap ini, guru menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan
memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang konsep yang akan
dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan apa yang telah
dimiliki dengan yang disampaikan oleh guru.
2. Tahap Kegiatan Kelompok Guru membagikan LKS kepada setiap
siswa sebagai bahan yang dipelajari guna kerja kelompok. Guru
menginformasikan bahwa LKS harus benar-benar dipahami bukan
sekedar diisi dan diserahkan pada guru. LKS juga digunakan
sebagai keterampilan kooperatif siswa. Dalam hal ini, apabila di
antara anggota kelompok ada yang belum memahami, maka teman
sekelompoknya wajib memberi penjelasan kembali karena guru
hanya sekedar menjadi fasilitator yang memonitor kegiatan setiap
kelompok.
3. Tahap Tes Individu
Tes individu atau hasil belajar ini digunakan setelah kegiatan
kelompok usai dan dikerjakan secara individu. Tes ini bertujuan
supaya siswa dapat menunjukkan apa yang mereka pahami saat
kegiatan kelompok berlangsung dan disumbangkan sebagai nilai
kelompok.
4. Tahap perhitungan Nilai Perkembangan Individu
Perhitungan nilai perkembangan individu dimaksudkan agar setiap
siswa terpacu untuk meraih prestasi yang maksimal. Perhitungan
nilai perkembangan individu dihitung berdasarkan skor awal. Skor
awal mewakili skor rata-rata siswa pada kuis-kuis sebelumnya.
Apabila memulai model kooperatif tipe STAD setelah memberikan
209
tiga kali atau lebih kuis, maka digunakan hasil nilai terakhir siswa
dari tahun lalu.
5. Tahap Penghargaan Kelompok
210
Memacu siswa untuk lebih aktif, kreatif serta bertanggungjawab
terhadap proses belajarnya
Mendorong siswa untuk berfikir kritis
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan ide yang
dimiliki untuk menjelaskan materi yang dipelajari kepada siswa
lain dalam kelompok tersebut.
Diskusi tidak didominasi oleh siswa tertentu saja tetapi semua
siswa dituntut untuk menjadi aktif dalam diskusi tersebut.
211
Sekarang kelompok Cooperative Learning mensistematisasi hasil
laporan kelima kelompok ahli menjadi tata tertib kelas yang akan
dipersentasikan.
Masing-masing kelompok menunjuk wakil untuk
mempresentasikan tata tertib yang telah dirumuskan
212
fair dibandingkan kompetisi dalam pembelajaran tradisional pada
umumnya.
Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournamet terdiri dari
5 komponen utama, yaitu: presentasi di kelas, tim (kelompok) game
(permainan), turnamen (pertandingan), dan rekognisi tim (penghargaan
kelompok)
1) Presentasi di kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam
penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung
atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat
penyajian kelas ini, siswa harus benar-benar memperhatikan dan
memahami materi yang diberikan guru, karena akan membantu
siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat
game karena skor game akan menentukan skor kelompok
2) Tim (team)
Kelompok biasanya terdiri atas empat sampai dengan lima orang
siswa. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi
bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk
mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan
optimal pada saat game. Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar
tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok
siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan
penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami
materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil
kerja kelompok.
3) Game
Game terdiri atas pertanyaan – pertanyaan yang kontennya relevan
yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa
213
dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Kebanyakan
gane terdiri dari pertanyaan – pertanyaan sederhana bernomor.
Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan
yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar
pertanyaan itu akan mendapatkan skor. Permaianan dalam TGT
dapat berupa pertanyaan – pertanyaan yang ditulis pada kartu kartu
yang diberi angka. Seorang siswa mengambil sebuah kartu
bernomor dan harus 26 menjawab pertanyaan sesuai nomor yang
tertera pada kartu tersebut.
4) Turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung.
Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah
guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan
kerja kelompok terhadap lembar kegiatan.
5) Rekognisi Tim (penghargan kelompok)
Penghargaan diberikan kepada tim yang menang atau mendapat
skor tertinggi, skor tersebut pada akhirnya akan dijadikan sebagai
tambahan nilai tugas siswa. Selain itu diberikan pada hadiah
(reward) sebagai motivasi belajar.
Adapun Kelebihan model kooperatif tipr Teams Games
Tournamest (TGT) adalah:
Dapat memperluas wawasan siswa.
Dapat merangsang kreativitas siswa dalam memunculkan ide
dalam memecahkan suatu masalah.
Dapat mengembangkan sikap menghargai pendapat orang lain dan
bekerja sama.
Dapat menumbuhkanpartisipasi siswa menjadi lebih aktif.
Sedangkan, kekurangan model kooperatif tipr Teams Games
Tournamest (TGT) yaitu:
1. Kemungkin besar permainan akan dikuasai oleh siswa yang suka
berbicara atau ingin menonjolkan diri.
214
2. Tidak dapat dipakai pada kelompok yang besar
3. Peserta mendapat informasi yang terbatas.
4. Menyerap waktu yang cukup banyak.
5. Tidak semua guru memahami cara siswa melakukan permainan.
6. Ruangan kelas menjadi ramai dan mengganggu ruangan lain.
Langkah-langkah Pelaksanaan model Team Games Tournament
(TGT) dijelaskan pada poin-poin berikut ini.
Umumkanlah penempatan meja Tournament dan mintalah mereka
memindahkan meja-meja bersama atau menyusun meja sebagai
meja turnamen.
Acaklah nomor-nomornya supaya para siswa tidak tahu mana meja
“ atas” dan yang “ bawah”.
Mintalah salah satu siswa yang anda pilih untuk membagikan satu
lembar permainan, satu lembar jawaban, satu kotak kartu nomor,
dan satu lembar skor permainan pada tiap meja.
Ambil kartu bernomor dan carilah soal yang berhubungan dengan
nomor tersebut pada lembar permainan. 5) Bacalah pertanyaannya
dengan keras.
Cobalah untuk menjawab, diantaranya adalah:
a) Penantang I (menantang jika memang dia mau dan memberikan
jawaban berbeda atau boleh melewatinya.
b) Penantang II (boleh menantang jika penantang 1 melewatinya
dan jika dia memang mau memberikan jawabannya). Apabila
semua penantang sudah melewati, penantang II memeriksa
lembar jawaban. Siapapun yang jawabannya benar berhak
menyimpan kartunya. Jika si pembaca salah, tidak ada sanksi,
tetapi jika kedua penantangnya yang salah, maka dia harus
mengembalikan kartu yang telah dimenangkannya kedalam
kotak, jika ada.
6.8.4 Model pembelajaran kooperatif tipe GI
Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif
yang paling kompleks. Model ini pertama kali dikembangkan oleh
215
Thelan. Dalam perkembangannya model ini diperluas dan dipertajam
oleh Sharan dari Universitas Tel Aviv. Pendekatan ini memerlukan norma
dan struktur kelas yang lebih kompleks daripada pendekatan yang lebih
berpusat kepada guru. Pendekatan ini juga memerlukan mengajar peserta
didik keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik.
Model cooperative learning adalah sebuah model pembelajaran
yang membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan maksud
agar siswa dapat bekerja dan belajar bersama dalam sebuah kelompok
untuk menyelesaikan tugas secara bersama dan saling membantu dalam
kelompoknya. Dalam model pembelajaran kooperatif lebih menekankan
pada tugas-tugas yang diberikan guru untuk diselesaikan bersama dengan
anggota kelompoknya, sedangkan peran guru hanya sebagai fasilitator
dalam membimbing siswa menyelesaikan tugas.
Group Investigation merupakan model pembelajaran yang
melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam bentuk topik maupun
cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Group Investigation
menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam
berkomunikasi ataupun dalam keterampilan proses kelompok
(Komalasari, 2011: 75). Model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation dapat dipakai guru untuk mengembangkan kreativitas
peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok. Model
pembelajaran kooperatif group investigation juga dirancang untuk
membantu terjadinya rasa tanggung jawab ketika peserta didik mengikuti
proses pembelajaran (Rusman, 2011).
Sedangkan menurut Miftahul Huda (2011: 16), “Group
Investigation diklasifikasikan sebagai metode investigasi kelompok
karena tugas-tugas yang diberikan sangat beragam, mendorong siswa
untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi dari beragam sumber,
216
komunikasinya bersifat bilateral dan multilateral, serta penghargaan yang
diberikan sangat implisit”. Dalam model group investigation, siswa
memiliki pilihan penuh untuk merencanakan apa yang dipelajari dan
diinvestigasi. Siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil secara
heterogen dan masing-masing kelompok diberi tugas dengan proyek
yang berbeda-beda. Berdasarkan pada pendapat para ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa model cooperative learning tipe group investigation
merupakan model pembelajaran kooperatif yang melibatkan siswa secara
maksimal dalam kegiatan pembelajaran mulai dari merencanakan topik-
topik yang akan dipelajari, bagaimana melaksanakan investigasinya,
hingga melakukan presentasi kelompok dan evaluasi. Model ini
menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri
materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahanbahan
yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari
melalui internet. Dalam menerapkan model investigasi kelompok pada
pembelajaran diperlukan keterampilan berkomunikasi yang baik antar
siswa untuk memperlancar jalannya proses kelompok, sehingga sebelum
melakukan investigasi kelompok guru diharapkan memberikan
pelatihan-pelatihan berkomunikasi kepada siswa. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Nur Asma (2006: 61) bahwa “keberhasilan pelaksanaan
Investigasi Kelompok sangat tergantung dengan latihan-latihan
berkomunikasi dan berbagai keterampilan sosial lain yang dilakukan
sebelumnya”.
Menurut pandangan Slavin dalam Joyce dkk (2009: 321),
pembelajaran dengan investigasi kelompok dapat dilakukan dengan
membagi tugas yang berbeda saat kelompok tengah mengerjakan suatu
tugas proyek. Cara tersebut dapat meningkatkan energi dari masing-
masing siswa. Masing-masing individu bertanggung jawab untuk
217
menguasai informasi tertentu dan menyampaikannya pada siswa lain.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin beragam bahan yang
dipelajari dalam suatu kelompok, maka perilaku atau tanggung jawab
terhadap tugas akan semakin positif.
Sedangkan menurut penelitian Sharan dalam Joyce dkk (2009:
321), semakin tinggi daya kooperatif suatu kelompok maka akan
semakin positif energi yang dimiliki siswa dalam mengerjakan tugas
maupun bergaul dengan temannya. Kompleksitas sosial yang semakin
bagus akan meningkatkan prestasi dan capaian dari beberapa tujuan
pembelajaran yang lebih kompleks, baik secara konsep maupun teori.
Menurut penelitian ini, peningkatan informasi dalam pembelajaran juga
dapat meningkatkan skill yang dimiliki siswa.
Adapun ciri-ciri model Pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation (GI) adalah sebagai berikut:
Para peserta didik bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dan
memiliki independensi terhadap guru.
Kegiatan-kegiatan peserta didik terfokus pada upaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan.
Kegiatan belajar peserta didik akan selalu mempersyaratkan
mereka untuk mengumpulkan sejumlah data, menganalisisnya dan
mencapai beberapa kesimpulan.
Peserta didik akan menggunakan pendekatan yang beragam di
dalam belajar.
Hasil-hasil dari penelitian peserta didik dipertukarkan di antara
seluruh peserta didik.
Langkah-langkah dalam pembelajaran Group Investigation
menurut Joyce dkk (2009: 319) adalah sebagai berikut:
1. Fase pertama: Siswa dihadapkan pada keadaan yang penuh teka-
teki dan membingungkan (direncanakan atau tidak)
2. Fase kedua: Siswa mengeksplorasi reaksi terhadap situasi.
218
3. Fase ketiga: Siswa merumuskan tugas dan mengatur pelajaran
(masalah definisi, peran, tugas, dll)
4. Fase keempat: Kemandirian dalam kelompok belajar
5. Fase kelima: Siswa menganalisis kemajuan dan proses
6. Fase keenam: Mendaur ulang aktivitas.
Sedangkan menurut Slavin (2010: 218), pembelajaran model
Group Investigation memiliki enam langkah:
1. Mengidentifikasikan topik dan mengatur murid ke dalam
kelompok.
a) Para siswa meneliti beberapa sumber, mengusulkan sejumlah
topik dan mengkategorikan saran-saran.
b) Para siswa bergabung dengan kelompoknya untuk mempelajari
topik yang telah mereka pilih.
c) Komposisi kelompok didasarkan pada ketertarikan siswa dan
harus bersifat heterogen.
d) Guru membantu dalam pengumpulan informasi dan
memfasilitasi pengaturan
2. Merencanakan tugas yang akan dipelajari
Para siswa merencanakan bersama mengenai: Apa yang kita
pelajari? Bagaimana kita mempelajarinya? Siapa melakukan apa?
(pembagian tugas) Untuk tujuan atau kepentingan apa kita
menginvestigasi topik ini?
3. Melaksanakan investigasi
a) Para siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan
membuat kesimpulan.
b) Tiap anggota kelompok berkontribusinuntuk usaha-usaha yang
dilakukan kelompoknya.
c) Para siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi, dan
mensintesis semua gagasan
4. Menyiapkan laporan akhir
a. Anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial dari
proyek mereka.
219
b. Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka
laporkan, dan bagaimana mereka akan membuat presentasi
mereka.
c. Wakil-wakil kelompok membentuk sebuah panitia acara untuk
mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi
5. Mempresentasikan laporan akhir
a. Presentasi yang dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai
macam bentuk.
b. Bagian presentasi tersebut harus dapat melibatkan
pendengarnya secara aktif.
c. Para pendengar tersebut mengevaluasi kejelasan dan
penampilan presentasi berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya oleh seluruh anggota kelas.
6. Evaluasi
a. Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik
tersebut, mengenai tugas yang telah mereka kerjakan, mengenai
eefektifan pengalaman-pengalaman mereka.
b. Guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi
pembelajaran siswa.
c. Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran
paling tinggi.
Setiap model memiliki kelbihan dan kekurangan, sehingga tidak
ada satu model pun yang superior dan cocok diterapkan untuk setiap
kondisi. Adapun kelebihan Pembelajaran Kooperatif Tipe Group
Investigatin (GI) adalah sebagai berikut:
a) Siswa tidak terlalu menggantungkan guru, akan tetapi dapat
menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri, menemukan
informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari peserta didik lain.
b) Dapat mengembangkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara
verbal dan membandingkan dengan ide-ide yang lain.
c) Dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari
akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
220
d) Dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menguji
ide dan pemahamannya sendiri, serta menerima umpan balik.
Peserta didik dapat praktik memecahkan masalah tanpa takut
membuat kesalahan karena keputusan yang dibuat adalah tanggung
jawab kelompoknya.
e) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan
motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir. hal ini
berguna untuk pendidikan jangka panjang.
Sedangkan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation (GI) adalah:
a) Keberhasilan model pembelajaran tipe group investigation ini
memerlukan periode waktu yang sangat lama. Dalam hal ini tidak
mungkin dapat tercapai hanya dengan sekali penerapan metode ini.
221
belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Model
pembelajaran tipe TPS merupakan pembelajaran kooperatif sederhana
yang memberi siswa banyak waktu untuk berpikir, menjawab, bekerja
sendiri dan saling membantu satu sama lain
Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share merupakan
suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas
Arends (2010). Sejalan dengan itu, menurut Trianto (2010: 81)
mengemukakan bahwa model pembelajaran Think Pair Share (TPS) atau
berpikir-berpasangan-berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Dari
pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dengan TPS siswa diberi
kesempatan untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian berdiskusi
dengan temannya. Sealin itu, diperkuat lagi dengan teori dari Ibrahim
(2011) yang mengemukakan bahwa model pembelajaran Think Pair
Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana
yang memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja
sama dengan orang lain. Think Pair Share (TPS) merupakan suatu model
pembelajaran kooperatif sederhana yang memiliki prosedur secara
eksplisit sehingga model pembelajaran TPS dapat disosialisasikan dan
digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran di sekolah (Hartina,
2008).
Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) memiliki prosedur yang
ditetapkan secara implisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak
untuk berpikir, menjawab permasalahan dan saling membantu satu sama
lain. Prosedur tersebut telah disusun dan dibentuk sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan waktu yang lebih banyak kepada siswa
222
untuk dapat berpikir dan merespon yang nantinya akan membangkitkan
pertisipasi siswa.
Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta
bekerja sama dengan orang lain. Dengan metode klasikal yang
memungkinkan hanya satu siswa yang maju dan membagikan hasilnya
untuk seluruh kelas, teknik Think-Pair-Share ini memberi kesempatan
sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan
menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain, yaitu pada saat guru
mempresentasikan sebuah pelajaran di kelas, siswa duduk berpasangan
didalam tim mereka.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
adalah tiga langkah utama yang terdiri dari Think (berpikir secara
individu), Pair (berpasangan dengan teman sebangku), dan Share
(berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas).
a. Think (Berpikir)
Pada tahap Think, siswa diminta untuk berpikir secara mandiri
mengenai pertanyaan atau masalah yang diajukan. Pada tahapan ini,
siswa sebaiknya menuliskan jawaban mereka, hal ini karena guru tidak
dapat memantau semua jawaban siswa satu per satu sehingga dengan
catatan. siswa tersebut, guru dapat memantau semua jawaban dan
selanjutnya akan dapat dilakukan perbaikan dan pelurusan atas konsep-
konsep maupun pemikiran yang masih salah.
Dengan adanya tahap ini, maka guru dapat mengurangi masalah
dari adanya siswa yang mengobrol karena pada tahap Think ini mereka
akan bekerja sendiri untuk dapat menyelesaikan masalah.
b. Pair (Berpasangan)
Langkah selanjutnya adalah berpasangan dengan teman
disampingnya, misalnya teman sebangkunya. Ini dilakukan agar siswa
yang bersangkutan dapat bertukar informasi satu sama lain dan saling
223
melengkapi ide-ide atau jawaban yang belum terpikirkan pada tahap
Think.
Pada tahap ini bahwa ada dua orang siswa untuk setiap pasangan.
Langkah ini dapat berkembang dengan meminta pasangan lain untuk
membentuk kelompok berempat dengan tujuan memperkaya pemikiran
mereka sebelum berbagi dengan kelompok lain yang lebih besar,
misalnya kelas. Namun dengan pertimbangan tertentu, terkadang
kelompok yang besar akan bersifat kurang efektif karena akan
mengurangi ruang dan kesempatan bagi tiap individu untuk berpikir dan
mengungkapkan idenya
c. Share (Berbagi)
Pada tahap ini setiap pasangan atau kelompok kemudian berbagi
hasil pemikiran, ide, dan jawaban mereka dengan pasangan atau
kelompok lain atau bisa ke kelompok yang lebih besar yaitu kelas.
Langkah ini merupakan penyempurnaan langkah-langkah sebelumnya,
dalam artian bahwa langkah ini menolong agar semua kelompok
berakhir pada titik yang sama yaitu jawaban yang paling benar. Pasangan
atau kelompok yang pemikirannya masih kurang sempurna atau yang
belum menyelesaikan permasalahannya diharapkan menjadi lebih
memahami pemecahan masalah yang diberikan berdasarkan penjelasan
kelompok lain yang berkesempatan untuk mengungkapkan
pemikirannya. Atau jika waktu memungkinkan, dapat juga memberi
kesempatan pada semua kelompok untuk maju dan menyampaikan hasil
diskusinya bersama pasangannya. Pada kesempatan ini guru dalam
meluruskan dan mengoreksi maupun memberikan penguatan jawaban di
akhir pembelajaran.
Dalam setiap strategi, metode, maupun model pembelajaran, tidak
akan ada sesuatu hal yang sempurna dan dapat digunakan dalam setiap
224
pembelajaran. Setiap jenis pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Adapun kelebihan model ini adalah:
Meningkatkan partisipasi siswa.
Lebih banyak kesempatan untuk kontribusi masing-masing
anggota kelompok.
Interaksi lebih mudah.
Lebih banyak ide muncul.
Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan.
Guru mudah memonitor.
Sedangkan Kekurangan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
adalah:
Jika ada perselisihan tidak ada penengah.
Membutuhkan lebih banyak waktu.
Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik.
Kurang kesempatan untuk kontribusi individu.
Siswa kurang mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak
memperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
225
Ennis, Robert H. 1962. A concept of critical thinking. Harvard
Educational Review, Vol 32(1), 81-111.
Erman Suherman dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA.
Halpern, Diane F. (1989). Thought and knowledge: An introduction to
critical thinking (2nd ed.). Hillsdale, NJ, England: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc. xvii 517 pp.
Hendra, Surya. 2013. Cara Belajar Orang Genius. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Hiil, Winfred F. (2012).”Theories Of Learning”. Bandung; Nusa Media
Hossoubah, Z. (2007). Develoving Creative and Critical Thinking Skills
(terjemahan) . Bandung: Yayasan Nuansa Cendia.
Johnson Lamb, Critical and Creative Thinking-Bloom’s Taxonomy,
dalam http://www. http://eduscapes.com/tap/topic69.html.
Joyce, B. & Weil, M. 2003. Models of Teaching. New Delhi: Prentice
Hall Inc.
Joyce, Bruce & Weil, M. (2009).”Models Of Teaching”. Yogyakarta;
Pustaka Pelajar
Krismanto. (2003). Beberapa Teknik, Model dan Strategi dalam
Pembelajaran Matematika. PPPG Matematika. Yogyakarta.
Lee. Virginia. S. (2011). “The Power of Inquiry as a Way of Learning”.
Innovative Higher Education 36,(3), 149-160.
Mustaji (2012). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif
dalam Pembelajaran. Tersedia online:
http://pasca.tp.ac.id/site/pengembangan-kemampuan-
berpikir-kritis-dan-kreatif-dalam-pembelajaran diakses
tanggal 23-12-2012.
226
Paul, Richard (1993).Critical Thinking: How to Prepare Students for a
Rapidly Changing World. Foundation for Critical Thinking.
Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Setyowati, dkk. 2011. Implementasi Pendekatan Konflik Dalam
Pembelajaran Fisika Untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7
(2011), 89-96.
Slavin, Robert.E. (2008). Cooperative Learning; Teori, Riset dan
Praktik. Bandung: PT. Nusa Media
Suchman, R.J. (1962). The elementary school training program in
scientific inquiry. Urbana: University of Illinois.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, edisi
4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Trianto. 2010. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik.
Penerbit. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA
Wena, Made. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
White, B.Y. & Frederiksen, J. 2000. Metacognitive facilitation: An
approach to making scientific inqury accessible to all. Thinker Tool
Walker, Paul & Finney, Nicholas. (1999). Skill Development and Critical
Thinking in Higher Education. Higher Education Research &
Development Unit, University College, London WC1E 6BT, UK
227
228