Anda di halaman 1dari 228

BAB 1

STRATEGI BELAJAR-MENGAJAR MATEMATIKA

1.1 Pengertian Belajar, Mengajar dan Pembelajaran


1.1.1 Pengertian Belajar
Pengajaran strategi merupakan elemen instruksional menjadi
bagian yang sangat penting dalam sutau pengajaran, sebab salah satu
karakteristik yang membedakan guru yang baik dan kurang baik adalah
kemampuannya menggunakan beragam strategi pembelajaran. Guru
yang kurang baik karena minim pengetahuan strategi pembelajaran akan
membuat siswa menjadi bosan dan kurang termotivasi untuk menggali
pengetahuan mereka. Seorang mahasiswa calon guru harus mengetahui
strategi-strategi yang dapat membuat siswa tertarik untuk belajar dan
menggali pengetahuannya.

Jika ditanya apa yang dimaksud dengan belajar?, maka maka


jawaban yang diperoleh bermacam-macam. Hal ini disebabkan karena
banyak aktivitas yang hampir semua orang menyetujui bahwa aktivitas
tertentu disebut belajar. Sebagai contoh menghapal, memperoleh
kosakata baru, dan sebagainya. Ada juga aktivitas yang tidak jelas
apakah itu termasuk belajar atau bukan. Misalnya memperoleh
bermacam-macam sikap sosial seperti memperoleh “berita hoax’,
kegemaran dan lain sebagainya. Merumuskan definisi mengenai belajar
bukanlah hal yang mudah. Cronbach (1954) mengatakan “learning is
shown by a change in behavior as a result of experience”. Jadi menurut
Cronbach belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari suatu pengalaman. Senada dengan pendapat tersebut
Spears (1955) mengatakan learning is a change in performance as a

1
result of practice. Jadi belajar merupakan perubahan performans sebagai
hasil dari suatu praktik. Dari pendapat para ahli tersebut dapat
disimpulkan yang menjadi karakteristik belajar adalah sebagai berikut. 1)
Belajar itu membawa perubahan (behavioral changes, baik aktual
maupun potensial), 2) perubahan itu memberikan kecakapan baru, 3)
perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).
Menurut Ernest R. Hilgard dalam (Suryabrata, 1984) belajar
merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang
kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari
perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya.Sifat perubahannya relatif
permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa
diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat
kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya. Menurut Winkel (1991), belajar
adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengelolaan pemahaman. (Wragg, 1994)
mengemukakan beberapa ciri umum kegiatan belajar, yakni 1) belajar
menunjukkan suatu aktivitas dari suatu individu baik disengaja ataupun
tanpa disadari, 2) belajar merupakan interaksi individu dengan
lingkungannya, 3) hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku.
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar juga dapat menyentuh
perubahan pada aspek afektif, termasuk perubahan emosional.
Perubahan-perubahan pada aspek ini pada umumnya tidak mudah dilihat
dalam waktu yang singkat, tetapi dapat dilihat dalam rentang waktu yang
relatif lama. Sebagai contoh seorang siswa yang dibiasakan berbicara
santun sesama teman di sekolah, jujur, dan bertanggung jawab akan
memakan waktu yang relatif lama sampai terjadi suatu perubahan yang

2
permanen. Abdillah (2002) berpendapat belajar adalah suatu usaha sadar
yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui
latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi belajar tersebut dapat dikatakan pada
hakekatnya belajar merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar
untuk meghasilkan suatu perubahan, yang berkaitan dengan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Belajar adalah
perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku
sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Dalam pengertian yang umum dan sederhana belajar seringkali
diartikan sebagai aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Belajar
adalah proses dimana seorang individu memperoleh berbagai kecakapan,
keterampilan dan sikap. Dalam konteks ini seseorang dikatakan
dikatakan belajar bilamana terjadi suatu perubahan, dari sebelumnya
tidak mengetahui menjadi mengetahui. Pengetahuan tersebut
dipersepsikan diperoleh dari guru. Keadaan ini memposisikan guru
sebagai orang yang serba mengetahui segala macam pengetahuan, tanpa
guru tidak ada kegiatan belajar. Sebagai contoh kita biasa mendengar
siswa mengatakan “hari ini kami tidak belajar” padahal yang mereka
maksud hari ini guru tidak dapat hadir di kelas pada jam pelajaran
tertentu. Jadi makna tidak belajar di sini adalah jika guru tidak hadir di
kelas maka tidak ada kegiatan belajar.

3
1.1.2 Pengertian Mengajar dan Pembelajaran

Pada dasarnya jika dikatakkan mengajar, tentu harus ada subyek


yang diberi pelajaran, yaitu siswa (peserta didik), dan subyek yang
mengajar adalah pengajar (guru). Pengajar bukan berarti harus bertatapan
muka secara langsung dengan yang diberikan pelajaran, bisa saja melalui
media, buku teks, modul dan lain-lain. Dari uraian ini tersirat bahwa
mengajar itu merupakan aktivitas dimana pengajar menyampaikan
informasi tentang pengetahuan/pengalaman yang dimiliki kepada siswa.
Sedangkan tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan
dapat dipahami siswa. Oleh karena itu mengajar yang baik hanya jika
hasil belajar siswa menjadi baik. Pernyataan ini hanya dapat dipenuhi
jika terjadi proses belajar yang baik. Menurut Hudojo (1990) dengan
proses belajar matematika yang baik, subyek yang belajar akan
memahami matematika dengan baik pula dan ia dengan mudah pula
mempelajari matematika selanjutnya, serta mudah pula
mengaplikasikannya ke situasi baru, yaitu dapat menyelesaikan masalah
matematika itu sendiri ataupun ilmu lainnya dalam kehidupan sehari-
hari.

Meskipun dalam hal mengajar matematika, syarat yang paling


penting bagi guru matematika adalah menguasai bahan matematika yang
diajarkan. Namun syarat penguasaan materi ini saja belumlah cukup agar
siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Seorang guru matematika
yang baik seyogyanya juga memahami toeri belajar sehingga belajar
matematika menjadi bermakna.
Secara umum, mengajar adalah menyampaikan ilmu pengetahuan
kepada para siswa di sekolah. Namun pada kenyataannya, pengertian
mengajar lebih dari itu. Mengajar tidak hanya menyampaikan ilmu

4
pengetahuan, tetapi juga melatih pola pikir siswa. Bagi kaum
konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan
dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi
dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Menurut
Hamalik mengajar memiliki beberapa definisi penting, diantaranya
adalah sebagai berikut.
a) Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa di
sekolah.
b) Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda
melalui lembaga pendidikan sekolah.
c) Mengajar adalah usaha mengorganisasikan lingkungan sehingga
menciptakan kondisi belajar bagi siswa.
d) Mengajar atau mendidik itu adalah memberikan bimbingan belajar
kepada siswa.
e) Mengajar adalah kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi
warga Negara yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat.
f) Mengajar adalah suatu proses membantu siswa menghadapi
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa,
mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa guna
membantu mereka menghadapi masalah yang terdapat pada kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini sebenarnya siswa dapat belajar sendiri tanpa
adanya guru pengajar, namun seringkali siswa mengalami kesulitan
dalam memahami isi buku atau memecahkan permasalahan terutama

5
untuk pelajaran matematika. Oleh sebab itu peranan guru dalam proses
belajar mengajar itu sangat penting.
Jika arti mengajar dibatasi dengan tatap muka di dalam kelas, maka
kata pembelajaran mengacu kepada segala kegiatan yang berpengaruh
langsung terhadap proses belajar siswa. Kata pembelajaran merupakan
istilah yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan guru dan siswa atau
kegiatan dosen dan mahasiswa. Sebelumnya dikenal istilah proses
belajar mengajar. Menurut Winataputra (2007) kata pembelajaran bisa
dikatakan diambil dari kata instruction yang berarti serangkaian kegiatan
yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar kepada
siswa. Dalam pembelajaran segala kegiatan berpengaruh langsung
terhadap proses belajar siswa, ada interaksi siswa yang tidak dibatasi
oleh kehadiran guru secara fisik, tetapi siswa dapat berinteraksi dan
belajar melalui media cetak, elektronik, dan sebagainya. Walaupun
demikian rancangan tetap pada guru. Pengajaran merupakan suatu
bentuk pembelajaran. Menurut Hadimiarso (1993) pembelajaran lebih
menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa” bukan pada
“apa yang dipelajari siswa”.
Pasal 1 butir 20 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ada lima komponen
pembelajaran, yaitu: interaksi, peserta didik, pendidik, sumber belajar,
dan lingkungan belajar. Interaksi mengandung arti hubungan timbal balik
guru dan siswa, antara siswa dan siswa, sumber belajar, dan lingkungan
sekitar dapat pula terjadi dalam upaya meningkatkan pengalaman belajar.
Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal yakni pendidikan di
sekolah, sebagian besar terjadi di kelas dan lingkungan sekolah, sebagian

6
lagi pembelajaran terjadi pada lingkungan masyarakat. Sebagai contoh
pada saat mempelajari matematika pokok bahasan bangun bidang dan
bangun ruang siswa dapat diberi tugas untuk mengamati bangun-bangun
yang ada di sekitar sekolah atau tempat lain. Menurut Hamzah dan
Muhlisrarini (2013) ada lima ciri-ciri pembelajaran, 1) inisiasi, 2)
falilitasi, 3) peningkatan proses belajar siswa, 4) interaksi yang
diprogramkan antara siswa dengan lingkungan, dan 5) adanya komponen
yang saling berhubungan.

1.2 Tujuan Pembelajaran Matematika

Ada beberapa terminologi yang terkait dengan mengajar dan


pembelajaran. Sepintas pengertian mengajar dan pembelajaran hampir
sama, namun pada dasarnya berbeda. Mengajar dapat diartikan sebagai
suatu aktivitas untuk menciptakan suatu situasi yang mampu mendorong
siswa untuk belajar. Dalam beberapa kajian dikemukakan bahwa
pembelajaran (instructions) sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu proses siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang
dirancang, disusun sedemikian sehingga akan mempengaruhi proses
belajar siswa yang bersifat internal. Dalam kehidupan sehari-hari istilah
pembelajaran atau proses pembelajaran seering dipahami sama dengan
proses belajar - mengajar yang di dalamnya terjadi interaksi antara guru
dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai terjadinya perubahan
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.

Konsepsi tentang mengajar merefleksikan nilai-nilai dan falsafah


sosial masyarakat luas, dan karena ini berubah maka pandangan
masyarakat tentang gurupun berubah. Dalam masyarakat, guru diberi
status profesional. Sebagai profesional, guru diharapkan untuk
menggunakan praktik terbaik untuk membantu siswa mempelajari

7
berbagai keterampilan dan sikap yang esensial. Sekarang tidak cukup
guru untuk sekedar bersikap hangat dan menyayangi siswa-siswa, atau
sekedar menerapkan praktik-praktik mengajar yang semata-mata didasari
pada intuisi, preferensi pribadi, atau kearifan konvensioanal. Sama
seperti profesional yang lain seperti kedokteran, hukum, dan arsitektur,
guru seyogyanya memenuhi standard-standard praktik yang dapat
diterima.
Tujuan mengajar matematika dari mulai siswa SD/MI sampai
SMA/MA adalah agar siswa memiliki kecakapan atau kemahiran sebagai
berikut.
1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah.
2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol,
tabel, grafik, atau dugaan untuk memperjelas keadaan atau masalah.
3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau
menjelaskan gagasan atau pernyataan matematika.
4. Menyusun kemampuan strategi dalam membuat atau merumuskan,
menafsirkan dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan
masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Mengajar untuk Menyampaikan Ilmu. Dalam konteks pendidikan,
ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu eksak dan
noneksak. Ilmu eksak adalah ilmu yang membutuhkan logika,
perhitungan, dan daya analisis yang kuat, misalnya matem atika, fisika,
dan kimia. Ilmu eksak ini cenderung memaksimalkan kerja otak kiri.

8
Sebaliknya, ilmu noneksak adalah ilmu yang membutuhkan teori,
pemahaman, dan daya ingat yang kuat, misalnya ekonomi, seni, bahasa,
dan sebagainya. Berbeda dengan ilmu eksak, kinerja otak kanan sangat
dibutuhkan oleh ilmu noneksak ini.
Mengajar untuk Melatih Pola Pikir. Dalam bukunya yang berjudul
“Taxonomy of Effective Teaching”, Benjamin Bloom (Arend, 2008)
membagi pola pikir siswa didik menjadi 5 tingkatan. Kelima tingkatan
pola pikir tersebut adalah pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
dan kreatif.
Pengetahuan. Pada tingkatan ini, guru mengajar dengan cara
menyampaikan suatu fakta kepada siswa-siswa didiknya. Guru hanya
sebatas menyampaikan informasi saja kepada mereka. Hasil akhir yang
diharapkan adalah pengetahuan siswa menjadi bertambah. Mereka yang
semula tidak tahu mengenai suatu fakta menjadi tahu.
Pemahaman. Pada tingkat ini, guru mulai mengembangkan teknik
mengajar kepada siswa. Guru tidak hanya menyampaikan informasi saja,
tetapi juga merangsang pola pikir mereka terhadap apa-apa yang
diketahuinya. Misalnya, setelah mereka mengetahui pengertian sisi, titik
sudut, dan rusuk suatu kubus. Guru mencoba memberikan pertanyaan
mengenai banyaknya sisi, titik sudut, dan rusuk sebuah balok, prisma,
limas, tabung, dan bangun ruang yang lain.
Penerapan. Pada Tingkatan pola pikir ini, guru memberikan bentuk
kegiatan kepada siswanya dalam proses belajar. Mereka secara langsung
menerapkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya berdasarkan
pengetahuan maupun pemahaman yang dimilikinya.
Analisis. Pada tingkatan yang lebih jauh lagi, guru dapat menjelaskan
berbagai kemungkinan dan hubungan dalam suatu materi pembelajaran.

9
Dalam tahap ini, guru membuat siswa berpikir sendiri mengenai suatu
permasalahan dan mengajak mereka untuk membuat kesimpulan dari
pemikiran mereka.
Kreatif, Tingkatan yang terakhir adalah pola pikir kreatif. Pada tingkat
ini, guru tidak hanya membuat siswa berpikir sendiri terhadap suatu
permasalahan, tetapi juga membuat mereka dapat menciptakan sebuah
ide, konsep, gagasan, atau karya yang baru.
Warga negara dengan masyarakat yang sangat mejemuk dan
kompleks seperti masyarakat kita mengharapkan sekolah mampu
memenuhi berbagai macam tujuan. Sebagai contoh selain mengajarkan
keterampilan akdemik, masyarakat ingin sekolah juga membantu orang
tua membangun karakter siswa, menyiapkan siswa untuk bekerja dan
meneruskan budaya bangsa. Maksud pendidikan yang begitu banyak ini
menjadi tak terbendung kecualai guru fokus pada tujuan mengajarnya.
Dalam buku Learning to Teach (Arend, 2008) mengatakan tujuan akhir
mengajar adalah membantu siswa dapat menjadi siswa yang mandiri, dan
self regulated (mampu mengatur dirinya sendiri). Tujuan ini bukan
mengesampingkan tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tetapi justru
berfungsi sebagai tujuan menyeluruh dari beberapa tujuan lain dan
aktivitas guru lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya. Tujuan primer ini
didasari oleh dua asumsi. Salah satunya adalah pandangan kontemporer
bahwa pengetahuan tidak sepenuhnya tetap dan dapat
ditularkan/diteruskan, tetapi sesuatu yang dikonstruksi secara aktif oleh
semua individu, siswa maupun orang-orang dewasa, melalui pengalaman
pribadi maupun sosial. Asumsi lainnya adalah pandangan yang percaya
bahwa hal penting yang seharusnya dipelajari siswa adalah How to
learn.

10
1.3 Strategi Belajar Mengajar Matematika

Sebelum membahas tentang strategi belajar mengajar matematika


sebaiknya kita juga memahami hakikat matematika. Dengan mengetahui
hakekat matematika akan mengetahui strategi pembelajaran apa yang
akan digunakan untuk suatu topik tertentu. Ruseffendi (1991)
mengatakan penerapan strategi dan metode belajar itu akan banyak arti
bila kita mengetahui hakekat matematika.

1.3.1 Hakekat matematika

Berbicara tentang hekekat matematika berarti menguraikan apa itu


matematika, apakah yang menjadi sifat-sifat dan karakteristik
matematika. Setiap hari kita selalu mengucapkan “matematika”, sebenar
matematika itu apa? bagaimana bentuknya? bagaimana
mengajarkannya?. Tidak terdapat satu definisi tentang matematika yang
disepakati oleh semua ahli/pakar matematika. Masing-masing pakar
matematika memiliki ketertarikan pada bidang tertentu dari matematika.
Menurut Wikipedia (2017) matematika berasal dari bahasa Yunani
(μαθηματικά - mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, relasi,
perubahan, dan beraneka topik pola, bentuk, dan entitas. Para
matematikawan mencari pola dan dimensi-dimensi kuantitatif lainnya,
berkenaan dengan bilangan, ruang, ilmu pengetahuan alam, komputer,
abstraksi imajiner, atau entitas-entitas lainnya. Dalam pandangan formalis,
matematika adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur
abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; pandangan
lain tergambar dalam filsafat matematika. Para matematikawan
merumuskan konjektur dan kebenaran baru melalui deduksi yang

11
menyeluruh dari beberapa aksioma dan definisi yang dipilih dan saling
bersesuaian.

Matematika lahir dan berkembang karena kebutuhan dan pikiran-


pikiran manusia. Menurut Ruseffendi (1991) matematika itu terdiri dari
4 wawasan yang luas, yakni: aritmatika, aljabar, geometri dan analisis.
Sedangkan Soedjadi (2000) memberikan definisi matematika sebagai
berikut.
1. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan
terorganisir secara sistematik.
2. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi.
3. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan
berhubungan dengan bilangan .
4. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan
masalah tentang ruang dan bentuk.
5. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang
logik.
6. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Dari pendapat-pendapat tentang definisi matematika tersebut,
seolah-olah matematika itu memiliki banyak muka. Ada pendapat
terkenal yang menyebutkan matematika sebagai pelayan dan sekaligus
raja dari ilmu-ilmu lain. Sebagai pelayan, matematika adalah ilmu yang
mendasari dan melayani berbagai ilmu pengetahuan lain. Sebagai
contoh, sejak masa sebelum masehi, misalnya zaman Mesir kuno, cabang
tertua dan termudah dari matematika (aritmetika) sudah digunakan untuk
membuat piramida, digunakan untuk menentukan waktu turun hujan, dan
sebagainya. Sebagai raja, perkembangan matematika tidak tergantung
pada ilmu-ilmu lain. Banyak cabang matematika yang dulu biasa disebut

12
matematika murni, dikembangkan oleh beberapa matematikawan
ternyata saat ini dapat diterapkan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi mutakhir.
Meskipun matematika memiliki definisi yang berbeda-beda,
namun masih dapat dilihat ciri-ciri atau karakteriktik dari matematika.
Beberapa karakteristik matematika adalah sebagai berikut.
1. Memiliki objek kajian abstrak. Objek-objek tersebut merupakan
objek dasar pikiran. Objek dasar itu adalah: (a) fakta, (2) konsep,
(3) operasi ataupun relasi, (4) prinsip. Selanjutnya objek dasar ini
dapat disusun suatu pola dan struktur matematika.
2. Bertumpu pada kesepakatan. Dalam matematika kesepakatan
yang paling mendasar adalah aksioma dan konsep primitif.
Aksioma digunakan untuk menghindarkan berputar-putar dalam
pembuktian, sedangkan konsep primitif digunakan untuk
menghindarkan berputar-putar dari pendefinisian.
3. Berpola pikir deduktif. Secara sedehana pola pikir deduktif dapat
dikatakan mengikuti hal-hal yang bersifat umum diarahkan kepada
hal-hal yang bersifat khusus.
4. Memiliki simbol yang kosong dari arti. Makna simbol kosong
dari arti ini menempatkan matematika dapat dipandang sebagai
bahasa simbol.
5. Memperhatikan semesta pembicaraan. Benar atau salahnya,
atau tidak adanya penyelesaian suatu model matematika ditentukan
oleh semesta pembicaraannya.
6. Konsisten dalam sistemnya. Sebagai contoh kita punya sistem
geometri dan aljabar, maka sistem geometri lepas dari sistem
aljabar.

13
1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Proses Belajar
dan Mengajar Matematika
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dan
mengajar terdiri dari faktor internal dan faktor internal. Faktor internal
berasal dari diri siswa seperti kecerdasan, motivasi, minat dan perhatian,
serta kondisi fisik siswa. Faktor eksternal berasal dari luar diri siswa
seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hudojo (1990) menguraikan
faktor internal dan eksternal ini menjadi 4 bagian, jika kita ingin
memperoleh hasil belajar matematika yang baik, maka faktor-faktor
berikut tersebut harus dikelola dengan baik.

1. Siswa. Proses belajar dan pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan


siswa, ketika guru mulai mengajar dengan seperangkat materi yang
akan disampaikan kepada siswa, maka mereka sudah siap mental
dan daya ingat serta kematangannya. Siap mental artinya tidak ada
yang mengganggu pikiran siswa ketika belajar. Untuk
meningkatkan daya ingat diperlukan latihan tertentu dalam
pembelajaran. Kematangan jiwa diperlukan agar siswa tidak selalu
ingin dibimbing atau tergantung pada guru.
2. Guru. Kemampuan guru dalam menguasai dan menyampaikan
materi matematika yang diajarkan sangat mempengaruhi terjadi
proses belajar. Selain itu guru juga harus memahami teori-teori
belajar. Seorang guru yang tidak menguasai materi matematika
yang diajarkannya akan menyebabkan rendahnya mutu
pembelajaran matematika. Jika guru yang tidak dapat
menyampaikan materi matematika yang diajarkan, akan
menyebabkan siswa kesulitan memahami materi yang

14
disampaikan. Selain itu kemampuan guru memahami teori-teori
belajar akan membuat guru dapat memilih strategi yang sesuai
dengan materi yang diajarkan, hal ini akan memotivasi siswa
belajar lebih aktif.
3. Sarana dan Prasarana. Sarana yang lengkap seperti adanya
buku, media, dan laboratorium matematika merupakan fasilitas
yang penting dalam pembelajaran. Keadaan kelas yang sesuai
antara banyaknya siswa dengan keadaan kelas juga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi proses belajar dan mengajar.
Bagaimana mungkin mereka dapat belajar dengan enak, kalau
kelas itu tidak memadai bagi setiap siswa.
4. Penilaian. Mutu pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satunya adalah sistem penilaian (assesment) yang dilakukan
oleh guru. Setiap penilaian didasarkan pada tiga elemen mendasar
yang saling berhubungan, yaitu: aspek prestasi yang akan dinilai
(kognisi), tugas-tugas yang digunakan untuk mengumpulkan bukti
tentang prestasi siswa (observasi), dan metode yang digunakan
untuk menganalisis bukti yang dihasilkan dari tugas-tugas
(interpretasi). Menurut Hudojo (1990)selain digunakan untuk
mengetahui bagaimana hasil belajar siswa, penilaian juga
digunakan melihat interaksi antara guru dan siswa dalam
pembelajaran di kelas.

Keempat faktor yang telah diuraikan mempengaruhi terjadinya


proses belajar dan belajar matematika. Proses pembelajaran tidak dapat
dipisahkan dari proses dan hasil belajar. Proses pembelajaran harus
dengan sengaja, diorganisasikan dengan baik agar dapat menumbuhkan

15
proses belajar dengan baik sehingga memperoleh hasil belajar yang
diinginkan dapat tercapai.

1.4 Pandangan tentang Guru Efektif

Sebelumnya kita telah membahas apa yang menjadi tujuan


mengajar, tentu saja tujuan ini akan tercapai bila sekolah memiliki
pengajaran yang efektif. Arends (2008) mengatakan pengajaran efektif
membutuhkan pemikiran yang seksama dan efektif tentang apa yang
dikerjakan guru dan efek tindakannya pada pembelajaran sosial dan
akademik siswa. Pengajaran efektif membutuhkan individu-individu
yang mampu secara akdemik, yang menguasai subjek yang akan
diajarkan, dan peduli pada kesejahteraan siswa-siswa dan kaum muda.
Pengajaran efektif juga membutuhkan individu-individu yang mampu
menelurkan hasil, terutama yang terkait dengan prestasi dalam
pembelajaran. Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan prasyarat
mengajar, tetapi belum cukup tanpa dilengkapi empat atribut berikut ini.
1. Guru efektif memiliki kualitas pribadi yang memungkinkan
mereka mengembangkan hubungan kemanusiaan dengan siswa,
orang tua, dan rekan sejawatnya untuk mengembangkan kelas yang
berkeadilan sosial dan demokratis.
2. Guru efektif paling tidak menguasai tiga hal, dasar pengetahuan
yang luas untuk menangani subjek yang diajarkannya,
perkembangan dan pembelajaran manusia dan pedagogi.
3. Guru efektif menguasai praktik mengajar yang dapat memotivasi
siswa, meningkatkan keterampilan dasar siswa, mengembangkan
kemampuan tingkat tinggi, dan menghasilkan siswa yang self-
regulated.

16
4. Guru efektif mengacu pada arah refleksi dan problem solving.
Mereka menganggap belajar mengajar adalah sebuah proses
seumur hidup, dan mendiagnosis berbagai situasi dan
mengadaptasikan serta menggunakan pengetahuan profesionalnya
secara tepat guna untuk meningkatkan pembelajaran siswa dan
sekolahnya.

1.5 Strategi – Strategi Pembelajaran Matematika

Sebelum membahas tentang strategi-straregi pengajaran


mateamatika, ada baiknya kita mengetahui mengapa kita perlu
mempelajari strategi-strategi belajar dalam pengajaran matematika. Salah
satu jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan oleh Claire Weinstein
dan Richard Meyer (Nur, 2005) karena pengajaran yang baik meliputi
mengajarkan siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana
berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri.

Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer dan


diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk
memenagkan peperangan. Sebelum berperang seseorang mengatur
strategi sebelum melakukan tindakan, ia akan mempertimbangkan
berbagai hal seperti bagaimana kekuatan pasukan termasuk peralatan
yang dimiliki dan kemapuan personalnya. Setelah semuanya diketahui,
selanjutnya ditentukan tindakan apa yang akan dilakukan, baik tenatng
siasat peperangan, taktik dan teknik, serta waktu yang tepat untuk
melakukan penyerangan. Dengan demikian dalam menyusun suatu
strategi perlu mempertimbangkan berbagai berbagai faktor baik dari
dalam maupun daari luar.
Ilustrasi tersebut menyimpulkan bahwa strategi yang digunakan
untuk memperoleh kesuksesan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia

17
pendidikan, strategi dapat diartikan a plan, method, or series of activities
designed to achieves a particular education goal. Jadi strategi dapat
diartikan sebagai perencanaan, motode yang berisi tentang perencanaan
tentang rangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Dalam konteks belajar-mengajar, strategi berarti
rencana tentang aktivitas guru dan siswa untuk mencapai tujuan
pengajaran. Ngalimun (2017) mengatakan dalam konteks belajar-
mengajar dapat diartikan pola umum perbuatan guru-siswa di dalam
perwujudan kegiatan belajar mengajar. Sifat pola umum tersebut berarti
macam dan urutan aktivitas yang dimaksud tampak dipergunakan guru-
siswa dalam berbagai peristiwa belajar. Dengan demikian maka konsep
strategi dalam hal ini menunjuk pada karakteristik abstrak dari
serangkaian perbuatan siswa-guru dalam peristiwa belajar-mengajar.
Implisit dari karakteristik abstrak tersebut adalah rasional yang
membedakan strategi yang satu dengan yang lain secara fundamental.
Istilah lain yang dipergunakan dalam untuk maksud ini adalah model-
model mengajar. Sedangkan rangkaian perbuatan guru-siswa dalam suatu
peristiwa belajar-mengajar aktual tertentu, dinamakan prosedur
instruksional.
Berikut ini akan diuraikan beberapa definisi strategi pembelajaran.
1. Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa
agar tujuan dapat dicapai secara efektif.
2. Dick dan Carrey (1990) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran
terdiri dari seluruh komponen materi pembelajaran dan prosedur
atau tahapan kegiatan belajar yang digunakan guru untuk
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

18
Selanjutnya mereka mengatakan strategi pembelajaran bukan
hanya terbatas pada prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja,
tetapi termasuk juga pengaturan materi yang akan disampaikan
kepada siswa.
3. Cropper dalam Wiryawan dan Noorhadi (1998) strategi
pembelajaran merupakan pemilihan atas berbagai jenis latihan
tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai.
Dari berbagai definisi strategi pembelajaran tersebut ada dua hal
yang dapat diperhatikan. Pertama, strategi pembelajaran merupakan
serangkaian rencana tindakan termasuk penggunaan metode dan
pemanfaatan berbagai sumber kekuatan. Kedua, strategi disusun untuk
mencapai tujuan tertentu. Jadi arah dari semua keputusan strategi adalah
pencapaian tujuan. Oleh sebab itu sebelum menentukan strategi perlu
dirumuskan tujuan dengan jelas yang dapat diukur dengan
keberhasilannya, sebab tujuan merupakan rohnya suatu strategi.
Beberapa istilah yang berdekatan dengan kata strategi
pembelajaran adalah: model, pendekatan, metode, dan teknik. Semua
istilah tersebut seringkali berhubungan dengan proses pembelajaran.
Suatu strategi pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada
pendekatan yang digunakan sedangkan bagaimana menjalankan strategi
tersebut dapat ditetapkan berbagai metode pembelajaran. Dalam rangka
menjalankan metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang
dianggapnya relevan dengan metode itu, dan setiap guru memiliki taktik
yang mungkin berbeda satu dengan yang lain.
Ada tiga jenis strategi yang berkaitan denga pembelajaran, yaitu:
1. Strategi pengorganisasian pembelajaran

19
2. Strategi pencapaian pembelajaran
3. Strategi pengelolaan pembelajaran
Strategi pengorganisasian pembelajaran, atau dikatakan strategi
pengorganisasian isi pelajaran disebut sebagai struktur strategi yang
mengacu pada cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta,
konsep, prosedur, dan prinsip yang berkaitan (Reigeluth, Bunderson, dan
Meril, 1977). Strategi pengorganisasian pembelajaran ini terdiri atas dua
strategi, yakni strategi mikro dan strategi makro. Strategi mikro mengacu
pada pengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada suatu konsep
atau prinsip. Strategi makro berkaitan dengan bagaimana memilih dan
menata urusan membuat sintesis dan rangkuman isi pembelajaran yang
saling berkaitan.
Strategi penyampaian pembelajaran, berfungsi untuk
menyampaikan isi pembelajaran kepada siswa, menyediakan informasi
atau bahan-bahan yang diperlukan siswa untuk menampilkan unjuk
kerja. Strategi pengelolaan pembelajaran, berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi
penyampaian mana yang digunakan dalam pembelajaran.
Menurut Hadimiarso (1989) klasifikasi strategi pembelajaran yang
akan dipilih berdasarkan atas pertimbngan sebagai berikut.
1. Tujuan belajar, jenis dan jenjang.
2. Sifat kedalaman dan banyaknya isi pelajaran.
3. Latar belakang, motivasi, dan kondidsi siswa.
4. Jumlah, kualifikasi, dan kompetensi tenaga pengajar.
5. Lama dan jadwal.
6. Sarana yang dapat dimanfaatkan.

20
Menurut Hamzah dan Muhlisrani (2013) pembahasan mengenai
strategi belajar meliputi dua strategi.
1. Belajar akan memberikan hasil baik apabila dihasilkan melalui
proses strategi ekspositori yang didasarkan atas teori informasi.
2. Belajar akan memberikan hasil baik apabila dihasilkan melalui
proses penemuan (discovery).
Sedangkan (Rowntree dalam Sanjaya, 2008) mengatakan bila dilihat dari
strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian,
yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual
learning Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi
pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan
strategi pembelajaran deduktif.

LATIHAN
1. Jelaskan dengan singkat dengan contoh yang konkret tentang
pengertian strategi pembelajaran.
2. Berilah suatu contoh strategi pembelajaran matematika melalui proses
penemuan dengan menggunakan strategi pembelajaran induktif.
3. Berilah suatu kesulitan pembelajaran matematika yang penyebabnya
terkait dengan hirarki belajar.

21
BAB 2
BERBAGAI TEORI BELAJAR

Psikologi belajar atau disebut juga dengan teori belajar adalah


teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu
(Suherman, dkk: 2001). Di dalamnya terdapat dua hal, yaitu 1) uraian
tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual; dan 2)
uraian tentang kegiatan intelektual siswa mengenai hal-hal yang bisa
dipikirkan pada usia tertentu. Dikenal dua teori belajar, yaitu teori belajar
tingkah laku (behaviorism) dan teori belajar kognitif.

2.1 Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah


perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara
konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang
menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-
hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar siswa,
baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar.
Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik
terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan
kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon)

Teori belajar tingkah laku dinyatakan oleh Orton (1987) sebagai


suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus
(rangsangan) dan respon (response). Berikut dipaparkan empat teori

22
belajar tingkah laku yaitu teori belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov,
dan Bandura.

2.1.1 Teori Belajar dari Thorndike

Edward Lee Thorndike (1874-1949) mengemukakan beberapa


hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan
lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti
dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa
timbul sebagai akibat siswa mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya.
Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah siswa berhasil
melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri siswa muncul
kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Siswa memperoleh
suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke
jenjang kesuksesan berikutnya.

Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike


ini disebut juga teori belajar koneksionisme.Pada hakikatnya belajar
merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum yang terkait dengan teori
koneksionisme yaitu hukum kesiapan : (law of readiness), hukum latihan
(law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1) Hukum kesiapan (law of readiness) menjelaskan kesiapan seorang
siswa dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang
mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan
kegiatan tertentu kemudian melakukan kegiatan tersebut, maka
tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-
tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi
dirinya.

23
2) Hukum latihan (law of exercise) menyatakan bahwa jika hubungan
stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin
kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon
dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum
latihan pada dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan
respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika
proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini
dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis.
Seorang siswa yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering
ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai
dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3) Hukum akibat (law of effect) menjelaskan bahwa apabila asosiasi
yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu
kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti
bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan
memberikan kepuasan bagi siswa, dan siswa cenderung untuk
berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya
itu.
Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai
berikut:
1) Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan
bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 4
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan
stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang

24
ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun
psikomotornya.
3) Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus
tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan
situasi (respon selektif).
4) Hukum respon melalui analogi (law of response by analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah
dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah
dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur
yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang
sama, maka transfer akan semakin mudah.
5) Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum
dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan
penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar
antara lain:
1) Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja
tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons,
sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah
hubungan stimulus-respons.
2) Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya
lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini
yang benar. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan

25
meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jika
diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa.
3) Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan
kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons.
4) Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain
maupun pada individu lain.

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar


sehari-hari diuraikan di bawah ini.
1) Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil
contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.

2) Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan


lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan
metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus
sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.

3) Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum


merupakan hal yang penting.Materi disusun dari materi yang
mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat
sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk
dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik
(konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik
berikutnya.

2.1.2 Teori Belajar Pavlov

Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov mengemukakan


konsep pembiasaan (conditioning). Classic conditioning (pengkondisian
atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui

26
percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan. Bertitik tolak dari asumsinya
bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian
Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing)
karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia.
Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.

Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan


dpat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat
digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan.
Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon
yang dikondisikan. Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia?
Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada
anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang
berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing,
tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa
menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila
tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak
menjajakan dagangannya. Contoh lain adalah bunyi bel di kelas untuk
penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi
proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari
pedagang makanan (bakso, es, siomay) yang sering lewat di depan
rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan


strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara

27
mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu
tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari
luar dirinya.

Terkait dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar


dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan
soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya,
menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
Misalkan dalam matematika siswa diharapkan berhasil dalam belajar
menghitung proses perkalian 45 x 5 = ?.

Dengan menggunakan prinsip S-R


45 x 5 = (40 x 5) + (5 x 5) = 200 +25 = 225
2.1.3 Teori Belajar Skinner
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner
mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku.
Burhus Frederic Skinner (1904-1990) menyatakan bahwa ganjaran atau
penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar.
Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan
respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang
sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang
mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih
mengarah pada hal-hal yang dapat diamati dan diukur.
Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan
positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai
stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya
perilaku siswa dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal
ini penguatan yang diberikan pada siswa memperkuat tindakan siswa,

28
sehingga siswa semakin sering melakukannya. Contoh penguatan positif
diantaranya adalah pujian yang diberikan pada siswa. Sikap guru yang
bergembira pada saat siswa menjawab pertanyaan, merupakan penguatan
positif pula. Untuk mengubah tingkah laku siswa dari negatif menjadi
positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk
memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku siswa.
Guru di dalam kelas mempunyai tugas untuk mengarahkan siswa dalam
aktivitas belajar, karena pada saat tersebut, kontrol berada pada guru,
yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada siswa
didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri siswa. Mereka yang mendapat
pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan
biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh
semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan
memotivasi siswa untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang
diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu
ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada siswa, sedangkan
hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan tentu
harus diarahkan pada respon siswa yang benar. Janganlah memberikan
penguatan atas respon siswa jika respon tersebut sebenarnya tidak
diperlukan.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang
efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar
respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu
dipertahankan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak
diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera
diberi penguatan negatif agar respon tersebut tidak diulangi lagi dan

29
berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa
berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).

2.1.4 Teori belajar Bandura

Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru.


Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal
yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik,
guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan
benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan
sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang
dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus
menjadi manusia model yang profesional.

Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata


refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia
itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan
antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi
kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.Teori Belajar Sosial (Social
Learning Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk
interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku,
dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya
dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh
kekuatan lingkungan itu.

2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung
pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks

30
harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang
malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforcement penting
dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi
atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku.
Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati
dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui
observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah
laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau
ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif.
Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat
mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku
dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan
kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya
sendiri.
Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:
1) Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
2) Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui
penyaksian cara orang/sekelompok orang yang mereaksi/merespon
sebuah stimulus tertentu.
3) Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara
pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya:
guru/orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses
perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya
pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).

31
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan
di dalam kelas, yaitu:

1) Siswa sering belajar hanya dengan mengamati orang lain, yaitu


guru.
2) Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara efektif
meningkatkan perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak
pantas. Hal ini dapat melibatkan berdiskusi dengan pelajar tentang
imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.
3) Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru
untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif,
seorang guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada,
yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi
4) Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan
berhati-hati agar mereka tidak meniru perilaku yang tidak pantas,
5) Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-
tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk mengembangkan
rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru dapat meningkatkan rasa
efektivitas diri siswa dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri
siswa, memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses,
danmenceritakan pengalaman sukses guru atau siswa itu sendiri.
6) Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis
untuk prestasi akademiknya. Guru harus memastikan bahwa target
prestasi siswa tidak lebih rendah dari potensi siswa yang
bersangkutan.
7) Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk
meningkatkan perilaku siswa.

32
2.2 Teori Belajar Aliran Psikologi Kognitivisme
Teori belajar kognitivisme erat hubungannya dengan psikologi
kognitif. Adanya pemahaman di dalam jiwa seseorang berpengaruh
dengan bagaimana belajar yang baik, Prinsip teori belajar kognitivisme
adalah setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan segala
sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan
pemahaman atas dirinya. Setiap manusia mempunyai ide, kepercayaan,
dan prinsip-prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada
prosedr yang diterapkan dalam situasi kelas, bagaimana seorang siswa
mencapai pemahaman atas diri dan lingkungannya lalu menafsirkan diri
dan lingkungan psikologis belajarnya merupakan faktor yang saling
terkait. Setiap pemahaman diperoleh dari dari memahami diri sendiri dan
lingkungannya disebut insight. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori
belajar kognitivisme.

2.2.1. Teori belajar Vygotsky


Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu akan
menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadiyang telah
dimilikinya untuk membantu memahami masalah atau materi baru. King
(1994) menyatakan bahwa individu dapat membuat inferensi tentang
informasi baru itu, menarik perspektif dari beberapa aspek pada
pengetahuan yang 10 dimilikinya, mengelaborasi materi baru dengan
menguraikannya secara rinci, dan menggeneralisasi hubungan antara
materi baru dengan informasi yang telah ada dalam memori siswa.
Aktivitas mental seperti inilah yang membantu siswa mereformulasi
informasi baru atau merestrukturisasi pengetahuan yang telah

33
dimilikinya menjadi suatu struktur kognitif yang lebih luas/lengkap
sehingga mencapai pemahaman mendalam. Lev Semenovich Vygotsky
merupakan tokoh penting dalam konstruktivisme sosial. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu
memperhatikan lingkungan sosial. Ada dua konsep penting dalam teori
Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial
(yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu). Yang dimaksud dengan orang dewasa adalah guru
atau orang tua.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa
selama tahap- tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Berdasarkan uraian
di atas, Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan
seorang individu dicapai melalui interaksi sosial. Proses
pengkonstruksian pengetahuan seperti yang dikemukakan Vygotsky
paling tidak dapat diilustrasikan dalam beberapa tahap seperti pada
Gambar 2. Tahap perkembangan aktual (Tahap I) terjadi pada saat siswa
berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya.
Perkembangan aktual ini dapat mencapai tahap maksimum apabila
kepada mereka dihadapkan masalah menantang sehingga terjadinya
konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu dan memacu mereka

34
untuk menggunakan segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap II) terjadi pada saat siswa
berinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki
kemampuan lebih, seperti teman dan guru, atau dengan komunitas lain
seperti orang tua. Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap
maksimal jika pembelajaran dilakukan secara kooperatif (cooperative
learning) dalam kelompok kecil dua sampai empat orang dan guru
melakukan intervensi secara proporsional dan terarah. Dalam hal ini guru
dituntut terampil menerapkan teknik scaffolding yaitu membantu
kelompok secara tidak langsung menggunakan teknik bertanya dan
teknik probing yang efektif, atau memberikan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan ini terjadi rekonstruksi mental
yaitu berubahnya struktur kognitif dari skema yang telah ada menjadi
skema baru yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III) menurut
Vygotsky merupakan aktivitas mental tingkat tinggi jika terjadi karena
adanya interaksi sosial. Jika dikaitkan dengan teori perkembanga mental
yang dikemukakan Piaget, internalisasi merupakan proses
penyeimbangan struktur-struktur internal dengan masukan-masukan
eksternal. Proses kognitif seperti ini, pada tingkat perkembangan yang
lebih tinggi diakibatkan oleh rekonseptualisasi terhadap masalah atau
informasi sedemikian sehingga terjadi keseimbangan (keharmonisan)
dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai pertentangan atau konflik.
Pada level ini, diperlukan intervensi yang dilakukan secara sengaja oleh
guru atau yang lainnya sehingga proses asimilasi dan akomodasi
berlangsung dan mengakibatkan terjadinya keseimbangan (equilibrium).

35
Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika
menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan
bahasa matematika yang baru dalam mengkreasi pengetahuan.
Mengkonstruksi pengetahuan merupakan fokus yang krusial dari
pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa siswa belajar untuk
menggunakan bahasa baru dengan internalisasi pengetahuan dari kata
yang mereka katakan, pengembangan budaya siswa dari pengetahuan
kata dua proses fungsi. Pertama, pada tingkat sosial dan kedua, pada
tingkat individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai
pemahaman. Siswa menggunakandan menginternalisasikan kata-kata
baru yang saat itu diperoleh dari orang lain. Mereka selalu menemukan
diri mereka sendiri dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai
pelajaran baru. ZPD merupakan tempat pengetahuan seseorang di antara
pengetahuan saat itu dengan pengetahuan potensialnya.

2.2.2 Teori Belajar Van Hiele


Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang
dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap
perkembangan mental siswa dalam geometri. van Hiele adalah seorang
guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitiandalam pembelajaran
geometri. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa
kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif siswa dalam
memahami geometri. Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap
pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi,
dan akurasi.

1) Tahap Visualisasi (Pengenalan)


Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri
sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum

36
memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing
bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah
mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri
dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu
bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-
ciri bangun persegipanjang tersebut.
2) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri
berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata
lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-
bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang
dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini
siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan
persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”
3) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri
yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai
contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika
pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-
sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat
ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun.
Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara
bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat
ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga
persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri
persegipanjang.

37
4) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan
secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat khusus, (2) siswa mampu memahami pengertian-
pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan
terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai
mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa
pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang
bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses
berpikir tersebut.
Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-
sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan
dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara
induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda
jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya
membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan
belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada
dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang
sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur
sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara
deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada
matematika.
Siswa pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Siswa pada
tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif.
Oleh karena itu, siswa pada tahap ini belum dapat menjawab

38
pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk
teorema atau dalil?”
5) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini siswa sudah memahami betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu
pembuktian. Sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan
postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa
pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan
tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini
memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa
mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem
matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa
membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada
tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih
dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem
geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan
berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan
bahwa terdapat tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu
waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola
secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir
siswa kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Menurut Van Hiele, semua siswa mempelajari geometri dengan melalui
tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan

39
adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai
memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang
satu dengan siswa yang lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu
ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau
kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru
dan proses belajar yang dilalui siswa. Bila dua orang yang mempunyai
tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran
maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut Van Hiele seorang siswa yang berada pada tingkat yang
lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang
berada pada tingkat yang lebih tinggi dari siswa tersebut. Kalaupun
siswa itu dipaksakan untuk memahaminya, siswa itu baru bisa
memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian. Adapun fase-
fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran
guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase
pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase
eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi. Berdasar hasil
penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berguna untuk
menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai
Perguruan Tinggi.
Van de Walle (1990) membuat deskripsi aktivitas yang lebih
sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut
Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap
pertama adalah sebagai berikut.
Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain adalah sebagai berikut.

40
1) Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk
memanipulasi.

2) Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan


berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.

3) Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan


mendeskripsikan berbagai bangun, dan

4) Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat,


menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model
yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat
bangun.
2) Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar
identifikasi
3) Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama
bangun tersebut.
4) Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat
bangun.

Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)


Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada
pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat
yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep.

41
2) Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal,
misalnya semua, suatu, dan jika-maka, serta mengamati validitas
konversi suatu relasi.

3) Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan


mulai mencari generalisasi atau kontra.

2.2.3. Teori Belajar Ausubel


David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel
memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna. Teori belajar
Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan
ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara
informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui
penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana
siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah
ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari
dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat
dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang
menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk
belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri
sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua,
siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan
yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan
tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi
baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada
dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan. Menurut

42
Ausubel & Robinson (dalam Dahar: 1989) kaitan antar kedua dimensi
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1: Bentuk-bentuk belajar

(menurut Ausubel & Robinson, 1969)

Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi


baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru
diasimilasikan pada subsume-subsume yang telah ada. Ausubel
membedakan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada
belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya,
sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi
siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu terdapat perbedaan
antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada belajar

43
menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya,
sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu
dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988) prasyarat-prasyarat belajar
bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus
bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor,
yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan
yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa
yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna.
Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.

2.2.3.1 Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel

Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi


belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar
bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam
menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

a) Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal


mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan
mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat
digunakanm siswa dalam membantu menanamkan pengetahuan
baru.
b) Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling
baik jika unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu
konsep diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian
barudiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari

44
konsep itu. Menurut Sulaiman (1988) diferensiasi progresif adalah
cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan
secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara
terpisah dari satu kesatuan yang besar.
c) Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan
dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu
tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat
terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas,
lebih inklusif.
d) Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan
hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan,
melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru
dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus
memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru
dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya
yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang
tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.

2.2.3.2 Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran

Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, Dadang


Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase
perencanaan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari
menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang
pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan
pengaturan awal. Sedangkan fase pelaksanaan dalam pemebelajaran
terdiri dari pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi
integratif.

45
2.2.4. Teori Belajar Bruner

Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dari


Universitas Haevard, Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran
psikologi belajar kognitif yang memberikan dorrongan agar pendidikan
memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir. Bruner
banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif
manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh pengetahuan,
menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan pengetahuan. Dalam
mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses,
pemikir, dan pencipta informasi. Bruner dalam teorinya menyatakan
bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran
diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait
antar konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan
memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa
materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih
mudah dipahami dan diingat anak.

Menurut Bruner (Hudoyo, 1990) belajar matematika adalah belajar


mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat
di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-
konsep dan struktur- struktur matematika itu. Siswa harus dapat
menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang
berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa.
Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya
agar dapat mengenal konsep dan struktur dalam materi yang sedang

46
dibicarakan. Dengan demikian materi yang mempunyai suatu pola atau
struktur tertentu akan lebih mudah dipahami oleh anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema
pendidikan, yakni: (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum
hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, karena dalam struktur
pengetahuan kita menolong para siswa untuk melihat. (2) Kesiapan
(readiness) untuk belajar. Menurut Bruner (1966:29), kesiapan terdiri
atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang
memungkinkan seorang untuk mncapai keterampilan-keterampilan yang
lebih tinggi. (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan. Intuisi adalah
teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif
tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah
formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sahih
atau tidak, serta (4) motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-
cara yang dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.

2.2.4.1 Belajar sebagai Proses Kognitif

Menurut Bruner dalam belajar melibatkan tiga proses yang


berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah (1)
memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji
relevan informasi dan ketepatan pengetahuan. Dalam belajar informasi
baru merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan
pengetahuan agar cocok atau sesuai dengan tugas baru. Jadi, transformasi
menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara
ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain. Kita menguji
relevansi dan ketepatan pengetahuan dengan minilai apakah cara kita
memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada.

47
Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan
kognitif sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat
pada dua prinsip, yaitu: (1) pengetahuan seseorang tentang alam
didasarkan pada model-model tentang kenyataan yang dibangunnya dan
(2) model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan
seseorang, kemudian model-model itu diadaptasi pada kegunaan bagi
orang yang bersangkutan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif
seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a) Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-
tergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam hal ini ada kalanya
seorang anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan
stimulus yang berubah-ubah, atau belajar mengubah responnya
dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Melalui
pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan
stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah stimulus
sebelum respons.

b) Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang


menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem
simpanan (storage system) yang sesuai dengan lingkungan. Sistem
inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk
bertindak di atas informasi yang diperoleh pada suatu kesempatan.
Ia melakukan ini dengan membuat ramalan-ramalan, dan
ektrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang disimpannya.

c) Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan


seseorang untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain,

48
dengan pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang telah
dilakukan atau apa yang dilakukan.

Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem


keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuan secara
sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara
penyajian (modes of presents), yaitu:
a) Cara penyajian enaktif
Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat
secara langsung dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek,
sehingga bersifat manipulatif. Anak belajar sesuatu pengetahuan
secara aktif, dengan menggunakan benda- benda konkret atau
situasi nyata. Dengan cara ini anak mengetahui suatu aspek dari
kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Cara ini
terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui
respon-respon motorik. Dalam cara penyajian ini anak secara
langsung terlihat.
b) Cara penyajian ikonik
Cara penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau
grafik, yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang
merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan
siswa dalam tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai
suatu media berpikir.
c) Cara penyajian simbolik
Cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak,
arbitrer, dan lebih fleksibel. Dalam tahap ini anak memanipulasi

49
simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak
lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa
pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek lain.
Dari hasil penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil terkait
penguasaan konsep-kosep oleh anak. Dalil-dalil tersebut adalah dalil-
dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem),
dalil kekontrasan dan dalil variasi (contrast and variation theorem), dalil
pengaitan (connectivity theorem).
2.2.4.2 Menerapkan Metode Penemuan dalam Pembelajaran
Salah satu dari model-model instruksional kognitif yang paling
berpengaruh adalah model belajar penemuan Jerome Bruner (1966).
Selanjutnya Bruner memberikan arahan bagaimana peran guru dalam
menerapkan belajar penemuan pada siswa, sebagai berikut.
a) Merencanakan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi
para siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya
menggunakan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa, kemudian
guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan, sehingga terjadi
konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah,
yang akan merangsang siswa untuk menyelidiki masalah itu,
menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-
konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah tersebut.

b) Urutan pengajaran hendaknya menggunakan cara penyajian


enaktif, ikonik, kemudian simbolik karena perkembangan
intelektual siswa diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik,
kemudian simbolik.

50
c) Pada saat siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan
sebagai pembimbing atau tutor. Guru hendaknya tidak
mengungkap terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, guru hendaknya memberikan saran- saran jika
diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan
balik pada saat yang tepat untuk perbaikan siswa.

d) Dalam menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes objektif
atau tes esay, karena tujuan-tujuan pembelajaran tidak dirumuskan
secara mendetail. Tujuan belajar penemuan adalah mempelajari
generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-
generalisasi itu.

LATIHAN

1. Menurut Thorndike, untuk mempelajari suatu bahan pelajaran yang


efektif dan efisien, jika materi belajar itu dibagi menjadi beberapa
bagian yang kemudian bagian-bagian tersebut saling dikaitkan. Coba
aplikasikan teori tersebut untuk menjelaskan segitiga siku-siku sama
kaki.
2. Berilah contoh penguatan positif dan penguatan negatif menurut
pandangan Skinner sehingga jelas perbedaan antara kedua pandangan
tersebut.
3. Apakah perbedaan mendasar dalam menjelaskan belajar antara aliran
psikologi tingkah laku dan psikologi kognitif?

51
BAB 3

KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI

Berbicara masalah berpikir, maka secara umum para ahli


membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu berpikir tingkat rendah
(lower order thinking (LOT)), seperti aspek pemahaman dan penerapan.
Yang kedua adalah berpikir tingkat tinggi (higher order thinking (HOT)),
seperti berpikir kreatif dan berpikir kritis. Selanjutnya dijelaskan bahwa
kemapuan berpikir tingkat tinggi seseorang dapat dilihat dari kemapuan
memecahkan masalah, kemapuan berpikir kritis dan kreatif (Johnson,
dalam Nurlela: 2015, h 10).

Berdasarkan definisinya, pemikiran tingkat tinggi dibagi menjadi


tiga, yaitu (1) definisi berpikir tingkat tinggi yang berkaitan dengan
mentransfer, (2) berpikir tingkat tinggi berkenaan dengan berpikir kritis,
(3) berpikir tingkat tinggi bila dipandang pada sisi pemecahan masalah.
Adapaun definisi berpikir tingkat tinggi bila dikaitkan pada mentransfer
menurut Anderson & Krathwohl (2001) yaitu:

“Two of the most important educational goals are to promote


retention and to promote transfer (which, when it occurs, indicates
meaningful learning. Retention requires that students remember
what they have learned, whereas transfer requires students not
only to remember but also to make sense of and be able to use
what they have learned”

52
Yang artinya: Dua tujuan pendidikan terpenting adalah
mempromosikan retensi dan mempromosikan transfer (yang bila
terjadi, menunjukkan pembelajaran yang bermakna). Dimana
retensi mengharuskan siswa mengingat apa yang telah mereka
pelajari, sedangkan transfer mengharuskan siswa tidak hanya
mengingat tapi juga untuk memahami dan dapat menggunakan apa
yang telah mereka pelajari. (Anderson & Krathwohl, 2001, p. 63).

Adapun definisi berpikir tingkat tinggi jika dikaitkan dengan


berpikir kritis menurut Norris & Ennis (1989), adalah.

“Critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused


on deciding what to believe or do”.
Yang artinya: Berpikir kritis adalah sesuatu yang masuk akan
(rasional), pemikiran yang reflektif yang terfokus pada
menentukan apa yang harus dipercaya atau dilakukan. (Norris &
Ennis, 1989, p. 3).

Selain itu, Barahal (2008, hal 299), mendefinisikan pemikiran


kritis sebagai "pemikiran cerdik (licik), yang meliputi penalaran,
pertanyaan, dan penyelidikan, pengamatan dan penggambaran,
perbandingan dan penghubung, menemukan kompleksitas, dan
mengeksplorasi sudut pandang.
Yang terakhir, definisi pemikiran tingkat tinggi bila dikaitkan
dengan pemecahan masalah menurut Nitko & Brookhart (2007, p. 215)
adalah:
“A student incurs a problem when the student wants to reach a
specific outcome or goal but does not automatically recognize the
proper path or solution to use to reach it. The problem to solve is
how to reach the desired goal. Because a student cannot
automatically recognize the proper way to reach the desired goal,

53
she must use one or more higher-order thinking processes. These
thinking processes are called problem solving”.
Yang artinya, Seorang siswa menimbulkan masalah saat ia ingin
mencapai tujuan atau sasaran tertentu namun tidak secara otomatis
mengenali jalan atau solusi yang tepat untuk digunakan dalam
mencapainya. Masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana
mencapai tujuan yang diinginkan. Karena seorang siswa tidak
dapat secara otomatis mengenali cara yang tepat untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, dia harus menggunakan satu atau lebih
proses berpikir tingkat tinggi. Proses berpikir ini disebut
pemecahan masalah. (Nitko & Brookhart, 2007, hal 215).

Sedangkan definisi pemecahan masalah menurut Bransford &


Stein (1984) adalah sebagai berikut:
“As you explore new domains you will need to remember
information, learn with understanding, critically evaluate ideas,
formulate creative alternatives, and communicate effectively. [A
problem-solving] model can be applied to each of these
problems . . . to help you to continue to learn on your own”.
Yang artinya: Ketika melakukan eksplorasi domain-domain baru
tentu diperlukan untuk melakukan proses mengingat informasi,
belajar dengan pemahaman, mengevaluasi gagasan secara kritis,
merumuskan alternatif-alternatif dengan kreatif, dan
berkomunikasi secara efektif. Model [pemecahan masalah] dapat
diterapkan pada masing-masing masalah ini....untuk membantu
seserorang terus belajar secara mandiri. (Bransford & Stein, 1984,
p. 122).
Selain itu, pemecahan masalah yaitu mentransfer pengetahuan dan
keterampilan yang sudah ada untuk menjawab pertanyaan yang belum
terjawab atau situasi sulit (Ormrod, 2009: h 393).

Secara umum, pemikiran tingkat tinggi jika diartikan melalui


pendekatan taksonomi Bloom (top end” of Bloom’s taxonomy) adalah
proses: Menganalisis, Mengevaluasi, dan Menciptakan, atau, dikenal
dengan istilah Analisis, Sintesis, dan Evaluasi (Anderson & Krathwohl,
2001).

54
Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan komponen
kemampuan berpikir, yaitu kecakapan mengolah pikiran untuk
menghasilkan ide-ide yang baru. Selin itu, kreatifitas adalah kemampuan
seseorang untuk membangun dan mengembangkan ide-ide baru untuk
melihat peluang dan memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif tergolong kedalam kemampuan
berpikir tingkat tinggi

Berdasarkan definisi para ahli mengenai kemampuan berpikir


tingkat tinggi diatas, maka terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif.
Agar memudahkan memahami materi ini, penulis mengkategorikan
pemikiran tingkat tinggi menjadi empat, yaitu:
 Penalaran logis (logical reasoning)
 Berpikir kritis (critical thinking)
 Pemecahan masalah (problem solving)
 Berpikir kreatif (creative thinking)

3.1 Penalaran Logis (Logical Reasoning)

Ada beberapa pendapat para ahli mengenai definisi penalaran,


yaitu:

 Bakry (1986:1) menyatakan bahwa penalaran (reasoning) merupakan


suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses
pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan
baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui.

 Selain itu, Suriasumantri (2001:42) mengemukakan secara singkat


bahwa penalaran adalah suatu aktifitas berpikir dalam pengambilan
suatu simpulan yang berupa pegetahuan.

55
 Selanjutnya, Keraf (1985) berpendapat bahwa penalaran adalah suatu
proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk
atau eviden ,menuju kepada suatu kesimpulan.
 Yang terakhir, Gorys Keraf (1985:5) berpendapat bahwa penalaran
adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti,
fakta, petunjuk atau eviden, menuju kepada suatu kesimpulan.
Bernalar merupakan proses yang “dialektis” artinya selama kita
bernalar atau berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab untuk
dapat meletakkan hubungan antara pengetahuan-pengetahuan yang kita
miliki. Para ahli logika mengemukakan ada tiga proses yang harus dilalui
dalam bernalar, yaitu membentuk pengertian, membentuk pendapat,
membentuk kesimpulan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelanaran
(reasoning) adalah proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk
dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi. Unsur-unsur penalaran
adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi antara ketiganya
merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu
pernyataan teori. Penalaran melibatkan inferensi yaitu proses penurunan
kosekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan
simpulan/konklusi dari serangkaian pernyataan atau asersi.
Menurut John Dewey, proses penalaran manusia melalui tahapan
sebagai berikut.
1. Timbulnya rasa kesulitan, baik dalam bentuk kesulitan penyesuaian
terhadap suatu peralatan, kesulitan mengenai sifat, ataupun
kesulitan dalam menerangkan berbagai hal yang muncul secara
tiba-tiba.

56
2. Perasaan kesulitan ini selanjutnya diberi definisi dalam bentuk
permasalahan
3. Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang dapat berupa
perkiraan-perkiraan, dugaan sementara, atau teori-teori.
4. Ide-ide pemecahan tersebut diuraikan secara rasional dengan jalan
mengumpulkan bukti-bukti (data).
5. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkan
baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-
ciri tertentu yaitu:.
 Logis, suatu penalaran harus memenuhi unsur logis, artinya
pemikiran yang ditimbang secara objektif dan didasarkan pada data
yang shahih.
 Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas dari daya
imajinatif seseorang dalam merangkai, menyusun, atau
menghubungkan petunjuk-petunjuk akal pikirannya ke dalam suatu
pola tertentu.
 Rasional, artinya adalah apa yang sedang dinalar merupakan suatu
fakta atau kenyataan yang memang dapat dipikirkan secara
mendalam.
Kronologi mengenai terjadinya penalaran dimulai dari pengamatan
indera atau observasi empirik. Proses itu di dalam pikiran menghasilkan
sejumlah pengertian dan proposisi sekaligus. Berdasarkan
pengamatanpengamatan indera yang sejenis, pikiran menyusun proposisi
yang sejenis pula. Proses inilah yang disebut dengan penalaran yaitu
bahwa berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap

57
benar kemudian digunakan untuk menyimpulkan sebuah proposisi baru
yang sebelumnya tidak diketahui.

3.1.1 Penalaran Matematika

Matematika pada dasarnya suatu alat untuk mengembangkan cara


berpikir, oleh karena itu matematika sangat diperlukan baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK
sehingga perlu dibekalkan kepada peserta didik, bahkan sejak jenjang
pendidikan Taman Kanak-kanak.

Selain itu, matematika merupakan suatu ilmu yang cara


bernalarnya deduktif formal dan abstrak (objek-objek penelaahannya
abstrak, hanya ada dalam pemikiran manusia sehingga hanya suatu hasil
karya dari kerja otak manusia). Objek penelaahan matematika tidak
sekedar kuantitas berupa bilangan-bilangan serta operasinya yang tidak
banyak artinya dalam matematika, tetapi lebih dititikberatkan kepada
hubungan, pola, bentuk, dan stuktur (unsur ruang).
Penalaran matematika diperlukan untuk menentukan apakah
sebuah argumen matematika benar atau salah dan dipakai untuk
membangun suatu argumen matematika. Penalaran matematika tidak
hanya penting untuk melakukan pembuktian atau pemeriksaan program,
tetapi juga untuk inferensi dalam suatu sistem kecerdasan buatan.
Pada dasarnya setiap penyelesaian soal matematika memerlukan
kemampuan penalaran. Melalui penalaran, siswa diharapkan dapat
melihat bahwa matematika merupakan kajian yang masuk akal atau
logis. Dengan 11 demikian siswa merasa yakin bahwa matematika dapat
dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dapat dievaluasi. Dan untuk
mengerjakan hal-hal yang berhubungan diperlukan bernalar.

58
Istilah penalaran matematika atau biasa yang dikenal dengan
penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan
mathematical reasoning. Karin Brodie menyatakan bahwa,
“Mathematical reasoning is reasoning about and with the object of
mathematics .” Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran
matematis adalah penalaran mengenai objek matematika. Objek
matematika dalam hal ini adalah cabang-cabang matematika yang
dipelajari seperti statistika, aljabar, geometri dan sebagainya.
Penalaran matematika dapat diartikan sebagai proses berpikir
mengenai bagaimana cara menjelaskan dan memenyelesaikan masalah
untuk mendapatkan solusi dalam penyelesaiannya. Dari definisi di atas
peneliti mengambil kesimpulan bahwa penalaran matematika adalah
suatu proses berpikir dalam mencari kebenaran terhadap objek
matematika, atau suatu proses 9 berpikir dalam mencari solusi
matematika yang kemudian ditarik kesimpulannya dari pernyataan
bersifat umum menjadi khusus, atau dari khusus menjadi umum.
Referensi lain yaitu Math Glossary menyatakan definisi penalaran
matematis sebagai berikut, “Mathematical reasoning: thinking through
math problems logically in order to arrive at solutions. It involves being
able to identify what is important and unimportant in solving a problem
and to explain or justify a solution.
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis
adalah berpikir mengenai permasalahan-permasalahan matematika secara
logis untuk memperoleh penyelesaian. Penalaran matematis juga
mensyaratkan kemampuan untuk memilah apa yang penting dan tidak
penting dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dan untuk
menjelaskan atau memberikan alasan atas sebuah penyelesaian.

59
Dari definisi yang tercantum pada Math Glossary tersebut, dapat
diketahui bahwa terdapat dua hal yang harus dimiliki siswa dalam
melakukan penalaran matematis yaitu kemampuan menjalankan
prosedural penyelesaian masalah secara matematis dan kemampuan
menjelaskan atau memberikan alasan atas penyelesaian yang dilakukan
Penalaran matematis mensyaratkan kemampuan untuk memilah
apa yang penting dan tidak penting dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan dan untuk menjelaskan atau memberikan alasan atas
sebuah penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa,
seharusnya guru tidak hanya memberikan pertanyaan kepada siswa yang
bersifat mengingat kembali tentang sesuatu atau prosedur metematika,
melainkan juga seharusnya memberikan pertanyaan yang mendorong
siswa untuk berpikir, bernalar, dan menjelaskan pengetahuannya.
Di dalam mempelajari matematika kemampuan penalaran dapat
dikembangkan pada saat siswa memahami suatu konsep (pengertian),
atau menemukan dan membuktikan suatu prinsip. Kemampuan
Penalaran dalam matematika dapat mengembangakan pandangan
seseorang tentang sesuatu permasalahan. Seorang yang nalarnya tinggi
memungkinkan akan mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu
permasalahan dibandingkan yang nalarnya rendah
Kemampuan penalaran matematis sangat diperlukan oleh siswa
untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan matematika. Dengan
adanya kemampuan bernalar siswa dapat memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.

3.1.2 Jenis Penalaran

Berbicara mengenai penalaran, maka terdapat dua jenis penalaran,


yaitu:

60
1. Penalaran Induktif
Menurut Priatna, penalaran induktif dimulai dengan memeriksa
keadaan khusus dan menuju penarikan kesimpulan umum.5 Hal ini
berarti penalaran induktif adalah proses berpikir untuk menarik suatu
kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum
berdasarkan pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui
kebenarannya.
2. Penalaran Deduktif
Menurut Suherman bahwa matematika dikenal sebagai ilmu deduktif.
Hal ini berarti proses pengerjaan matematika harus bersifat deduktif.
Menurut Matlin bahwa penalaran deduktif berarti membuat beberapa
kesimpulan logis berdasarkan informasi yang diberikan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa penalaran deduktif yaitu penalaran yang
mengambil kesimpulan berdasarkan hal yang umum, yang telah
dibuktikan terlebih dahulu.

3.1.3 Indikator Penalaran

Adapun indikator penalaran menurut Susilawati (2009)


memberikan sembilan indikator untuk penalaran matematika yaitu;

 Menarik kesimpulan secara logik


 Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat
dan hubungan
 Memperkirakan jawaban dan proses solusi
 Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematika, menarik analogi dan generalisasi
 Menyusun dan menguji konjektur
 Memberikan lawan contoh (Counter example) atau non contoh

61
 Mengikuti aturan inferensi (Menarik kesimpulan), memeriksa
validitas
 Menyusun argument yang valid
 Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan
induksi matematik. Berdasarkan beberapa definisi mengenai
kemampuan penalaran matematis di atas maka peneliti menetapkan
definisi kemampuan penalaran matematis pada penelitian ini
sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan 11 kesimpulan atau
membuktikan sesuatu yang berhubungan dengan matematika
dalam menemukan kebenaran terhadap satu argumen yang sudah
ada sebelumnya
3.1.4 Indikator Penalaran Matematika.
Penalaran merupakan salah satu aspek yang sangat mendukung
keberhasilan dalam proses pemecahan masalah matematika siswa. Untuk
dapat menyelesaikan soal-soal matematika, siswa harus menggunakan
kemampuan berargumentasinya. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah
kemampuan bernalar atau yang disebut dengan penalaran. Sebab, materi
matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui penalaran, dan
penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.
Siswa dikatakan mampu melakukan penalaran matematika bila ia
mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Menurut Sumarmo, indikator penalaran matematika pada
pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat:
 Menarik kesimpulan logis;

62
 Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat- sifat dan
hubungan;
 Memperkirakan jawaban dan proses solusi;
 Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik;
 Menyusun dan menguji konjektur;
 Merumuskan lawan contoh (counter example);
 Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen;
 Menyusun argumen yang valid; dan i. Menyusun pembuktian
langsung, tak langsung, dan menggunakan induksi matematika.
Sedangkan berdasarkan penjelasan teknis Peraturan Dirjen
Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November
2004 tentang rapor diuraikan bahwa indikator siswa yang memiliki
kemampuan dalam penalaran matematika adalah:
 Mengajukan dugaan.
 Melakukan manipulasi matematika.
 Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau
bukti terhadap kebenaran solusi.
 Menarik kesimpulan dari pernyataan.
 Memeriksa kesahihan suatu argumen.
 Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi.

3.2 Berpikir kritis (Critical Thinking)

Berpikir adalah daya yang paling utama dan ciri khas yang
membedakan manusia dengan makhluk lain. Definisi berpikir
adalah satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan

63
yang terarah kepada suatu tujuan. Ciri-ciri yang terutama dari berpikir
adalah adanya abstraksi.

Didalam hal ini abstraksi berarti anggapan lepasnya kualitas atau


relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-
mula dihadapi sebagai kenyataan. Konsep berpikir dalam arti yang
sempit adalah meletakkan atau mencari hubungan atau pertalian antara
abstraksi-abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa
yang lain seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan
(Ngalim Purwanto, 2010:43).
Berpikir kritis adalah seni menganalisis gagasan berdasarkan
penalaran logis. Berpikir kritis bukanlah berpikir lebih keras, melainkan
berpikir lebih baik. Seseorang yang mengasah kemampuan berpikir
kritisnya biasanya memiliki tingkat keingintahuan intelektual
(intellectual curiosity) yang tinggi. Dengan kata lain, mereka rela
menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk mempelajari segala
fenomena yang ada di sekitarnya. Orang-orang semacam ini kerap
dianggap skeptis, namun sebenarnya luar biasa cerdas.
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat
esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua
aspek kehidupan lainnya. Kemampuan berpikir kritis merupakan
kemampuan berpikir yang diawali dan diproses oleh otak kiri. “Berpikir
kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942.
Penelitian dan berbagai pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik
pembicaraan dalam sepuluh tahun terakhir ini
Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik dan merenungkan atau
mengkaji tentang proses berpikir orang lain. John Dewey mengatakan,
bahwa sekolah harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-

64
anak. Kemudian beliau mendefenisikan berpikir kritis (critical thinking),
yaitu: “Aktif, gigih, dan pertimbangan yang cermat mengenai sebuah
keyakinan atau bentuk pengetahuan apapun yang diterima dipandang
dari berbagai sudut alasan yang mendukung dan menyimpulkannya.
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan tingkat tinggi
yang sangat penting diajarkan kepada siswa selain keterampilan
berpikir kreatif. Apa itu berpikir kritis? Berikut ini disajikan beberapa
definisi mengenai berpikir kritis (keterampilan berpikir kritis).
 Bobbi De Porter. dkk (2013:298) menyatakan bahwa berpikir kritis
adalah salah satu keterampilan tingkat tinggi yang sangat penting
diajarkan kepada siswa selain keterampilan berpikir kreatif.
Didalam berpikir kritis, kita berlatih atau memasukkan penilaian
atau evaluasi yang cermat, seperti menilai kelayakan suatu gagasan
atau produk.
 Menurut Johnson berpikir kritis mengorganisasikan proses yang
digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah,
mengambil keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi
dan penemuan ilmiah.
 Menurut Edward Glaser mendifinisikan bahwa “critical thinking
as: (1) an attitude of being disposed to consider in a thoughtful
way the problems and subjects that come within the range of one’s
experience; (2) knowledge of the methods of logical enquiry and
reasoning; and (3) some skill in applying those methods. Critical
thinking calls for a persistent effort to examine any belief or
supposed form of knowledge in the light of the evidence that
supports it and the further conclu sions to which it tends.”
Definisi di atas menjelaskan bahwa berpikir kritis sebagai: (1)

65
suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-
masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman
seseorang; (2) pengetahuan tentang metodemetode pemeriksaan
dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan
untuk menerapkan metode-metode tersebut.
 Sedangkan menurut Ennis (1962) : Berpikir kritis adalah berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
 Definisi berpikir kritis menurut Beyer (1985) : Berpikir kritis
adalah kemampuan (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2)
membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3)
membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan
mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi
bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7)
mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
 Definisi berpikir kritis menurut Walker (2006) :Berpikir kritis
adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep,
mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau
mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi,
pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini diguanakan sebagai
dasar saat mengambil tindakan.
 Definisi berpikir kritis menurut Chance (1986) :Berpikir kritis
adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan
menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan
memecahkan masalah.

66
 Definisi berpikir kritis menurut Mertes (1991) :Berpikir kritis
adalah sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan
untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman
dengan sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu
keyakinan dan tindakan.
 Definisi berpikir kritis menurut Angelo (1995):Berpikir kritis
adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi,
meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenali
permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan serta
mengevaluasi.
 Setyowati, dkk (2011: 90-91) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir
peserta didik untuk membandingkan dua atau lebih informasi
dengan tujuan memperoleh pengetahuan melalui pengujian
terhadap gejala-gejala menyimpang dan kebenaran ilmiah.
 Definisi berpikir kritis menurut Mustaji (2012): Berpikir kristis
adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan
pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau
dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berpikir
kritis, misalnya (1) membanding dan membedakan, (2) membuat
kategori, (2) meneliti bagian-bagian kecil dan keseluruhan, (3)
menerangkan sebab, (4) membuat sekuen / urutan, (5) menentukan
sumber yang dipercayai, dan (6) membuat ramalan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa kemampuan berpikir kritis yaitu sebuah kemampuan
yang dimiliki setiap orang untuk menganalisis ide atau gagasan ke arah
yang lebih spesifik untuk mengejar pengetahuan yang relevan tentang

67
dunia dengan melibatkan evaluasi bukti. Kemampuan berpikir kritis
sangat diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan hingga pada
tahap pencarian solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
3.2.1 Tujuan Berpikir Kritis
Ada beberapa tujuan mengembangkan keterampilan berpikir kritis,
diantaranya ialah:

 untuk menguji suatu pendapat atau ide, termasuk di dalamnya


melakukan pertimbangan atau pemikiran yang didasarkan pada
pendapat yang diajukan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut
biasanya didukung oleh kriteria yang dapat
dipertanggungjawabkan

 Kemampuan berpikir kritis dapat mendorong siswa memunculkan


ide-ide atau pemikiran baru mengenai permasalahan tentang dunia.

 Siswa akan dilatih bagaimana menyeleksi berbagai pendapat,


sehingga dapat membedakan mana pendapat yang relevan dan
tidak relevan, mana pendapat yang benar dan tidak benar.

 Mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dapat


membantu siswa membuat kesimpulan dengan mempertimbangkan
data dan fakta yang terjadi di lapangan.
3.2.2 Komponen berpikir kritis
Brookfield mendefinisikan lima aspek dan empat komponen
berpikir kritis. Menurutnya, berpikir kritis terdiri dari aspek-aspek, yaitu:

 berpikir kritis adalah aktivitas yang produktif dan positif

 berpikir kritis adalah proses bukan hasil.

 perwujudan berpikir kritis sangat beragam tergantung dari


konteksnya.

68
 berpikir kritis dapat berupa kejadian yang positif maupun negatif.

 dan berpikir kritis dapat bersifat emosional dan rasional.

Sedangkan komponen berpikir kritis menurut beliau adalaha:

 Identifikasi dan menarik asumsi adalah pusat berpikir kritis.

 Menarik pentingnya konteks adalah penting dalam berpikir kritis.

 Pemikir kritis mencoba mengimajinasikan dan menggali alternatif.

 Mengimajinasikan dan menggali alternatif akan membawa pada


skeptisisme reflektif.
3.2.3 Indikator Berpikir Kritis
Menurut Ennis terdapat 12 indikator berpikir kritis yang terangkum
dalam 5 kelompok keterampilan berpikir, yaitu memberikan penjelasan
sederhana (elementary clarification), membangun keterampilan dasar
(basic support), menyimpulkan (interfence), membuat penjelasan lebih
lanjut (advance clarification), serta strategi dan taktik (strategy and
tactics). Kemudian 12 indikator tersebut dijabarkan dalam beberapa sub
indikator seperti pada tabel di bawah ini Cara mengukur kemampuan
berpikir kritis.
Tabel. Dua Belas Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Menurut
Ennis

N Kelompok Indikator Sub Indikator


o
1 Memberikan Memfokuska  Mengidentifikasi atau
penjelasan n pertanyaan merumuskan pertanyaan
sederhana  Mengidentifikasi atau
merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan kemungkinan
jawaban.
 Menjaga kondisi berpikir

69
Menganalisis  Mengidentifikasi kesimpulan
argument  Mengidentifikasi kalimat-kalimat
pertanyaan
 Mengidentifikasi dan menangani
suatu ketidakpastian
 Melihat struktur dari suatu
argument
 Membuat ringkasan
Bertanya dan  Memberikan penjelasan
menjawab sederhana
pertanyaan  Menyebutkan contoh
2 Membangun Mmpertimba  Mempertimbangkan keahlian
keterampila ngkan  Mempertimbangkan kemenarikan
n dasar apakah konflik
sumber dapat  Mempertimbangkan kesesuaian
dipercaya sumber
atau tidak  Mempertimbangkan penggunaan
prosedur yang tepat
 Mempertimbangkan resiko untuk
reputasi
 Kemampuan untuk memberikan
alas an
Mengobserv  Melibatkan sedikit dugaan
asi dan  Menggunakan waktu yang
mempertimb singkat antara observasi da
angkan laporan
laporan  Melaporkan hasil observasi
observasi  Merekam hasil observasi
 Menggunakanbukti-bukti yang
benar
 Menggunakan akses yang baik
 Menggunakan teknologi
 Mempertanggungjawabkan hasil
observasi
3 Menyimpul Mendeduksi  Siklus logika Euler
ka dan  Mengkondisikan logika
mempertimb  Menyatakan tafsiran
angkan hasil
deduksi

70
Menginduksi  Mengemukakan hal yang umum
dan  Mengemukakan kesimpulan dan
mempertimb hipotesis
angkan hasil  Mengemukakan hipotesis
induksi  Merancang eksperimen
 Menarik kesimpulan sesuai fakta
 Menarik kesimpulan dari hasil
penyelidikan
Membuat  Membuat dan menentukan hasil
dan pertimbangan berdasarkan latar
menentukan belakang fakta-fakta
hasil  Membuat dan menentukan hasil
pertimbanga pertimbangan berdasarkan akibat
n  Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan berdasarkan
penerapan fakta
 Membuat dan menentukan hasil
pertimbanga
4 Memberikan Mendefinisik  Membuat bentuk definisi
penjelasan an istilah  Strategi membuat definisi
lanjut danmemperti  Bertindak dengan memberikan
mbangk an penjelasan lanjut
suatu definisi  Mengidentifikasi dan menangani
ketidakbenaran yang disengaja
 Membuat isi definisi
Mengidentifi  Penjelasan bukan pernyataan
kasi asumsi-  Mengonstruksi argumen
asumsi
5 Mengatur Menentukan  Mengungkap masalah
strategi dan suatu  Memilih kriteria untuk
taktik tindakan mempertimbangkan solusi yang
mungkin
 Merumuskan solusi alternatif
 Menentukan tindakan sementara
 Mengulang kembali
 Mengamati penerapannya
Berinteraksi  Menggunakan argumen
dengan orang  Menggunakan strategi logika
lain  Menggunakan strategi retorika

71
 Menunjukkan posisi, orasi, atau
tulisan
Kemampuan berpikir kritis dapat diukur dengan menggunakan
instrumen yang dikembangkan melalui aspek dan indikator berpikir
kritis. Instrumen berpikir kritis dapat bertujuan untuk mengukur satu
aspek atau lebih dari satu aspek berpikir kritis (Ennis, 1993).

3.2.4 Tingkatan Berpikir Kritis

Elder & Paul menyebutkan ada enam tingkatan berpikir kritis,


yaitu:

1. Berpikir yang tidak direfleksikan (unreflective thinking)


Pemikir tidak menyadari peran berpikir dalam kehidupan, kurang
mampu menilai pemikirannya, dan mengembangkan beragam
kemampuan berpikir tanpa menyadarinya. Akibatnya gagal
menghargai berpikir sebagai aktivitas yang melibatkan elemen
bernalar. Mereka tidak menyadari standar yang tepat untuk penilaian
berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan.
2. Berpikir yang menantang (challenged thinking)
Pemikir sadar peran berpikir dalam kehidupan, menyadari berpikir
berkualitas membutuhkan berpikir reflektif yang disengaja, dan
menyadari berpikir yang dilakukan sering kekurangan tetapi tidak
dapat mengidentifikasikan dimana kekurangannya. Pemikir pada
tingkat ini memiliki kemampuan berpikir yang terbatas.
3. Berpikir permulaan (beginning thinking)
Pemikir mulai memodifikasi beberapa kemampuan berpikirnya tetapi
memiliki wawasan terbatas. Mereka kurang memiliki perencanaan
yang sistematis untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya.

72
4. Berpikir latihan (practicing thinking)
Pemikir menganalisis pemikirannya secara aktif dalam sejumlah
bidang namun mereka masih mempunyai wawasan terbatas dalam
tingkatan berpikir yang mendalam.
5. Berpikir lanjut (advanced thinking)
Pemikir aktif menganalisis pikirannya, memiliki pengetahuan yang
penting tentang masalah pada tingkat berpikir yang mendalam.
Namun mereka belum mampu berpikir pada tingkat yang lebih tinggi
secara konsisten pada semua dimensi kehidupannya.
6. Berpikir yang unggul (master thinking)
Pemikir menginternalisasi kemampuan dasar berpikir secara
mendalam, berpikir kritis dilakukan secara sadar dan menggunakan
intuisi yang tinggi. Mereka menilai pikiran secara kejelasan,
ketepatan, ketelitian, relevansi, dan kelogisan secara intuitif.

3.3 Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Seara umum, masalah adalah kesenjangan antara harapan dengan


kenyataan, antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi atau
faktanya. Masalah bersifat subjektif bagi setiap oraang, artinya bahwa
suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seseorang, tetapi bukan
menjadi masalah bagi orang lain. Begitu juga suatu pertanyaan
merupakan masalah bagi pada suatu saat namun bukan menjadi masalah
pada saat berikutnya bila masalah itu dapat diketahui cara
penyelesaiannya. Soal dapat dipandang sebagai suatu masalah bagi
seseorang, namun bagi orang lain mungkin hal yang rutin saja.

Dalam pembelajaran matematika, masalah dapat disajikan dalam


bentuk soal tidak rutin yang berupa soal cerita, penggambaran fenomena

73
atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian
disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika
Pemecahan masalah matematika adalah aplikasi dari konsep dan
keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa
kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi
yang berbeda. [CITATION Abd12 \p 205 \t \l 1057 ]
Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses
penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah
tersebut.[CITATION Her05 \p 2 \l 1057 ]. Selain itu, Amir (2016)
menyebutkan ada beberapa tahapan untuk menyelesaikan masalah, yaitu:
1. Memahami problem
Problem apa yang diadapi? Bagaimana kondisi dan datanya?
Bagaimana memilih kondisi-kondisi tersebut
2. Menyusun rencana
Menemukan hubungan antara data dengan hal-hal yang belum
diketahui. Apakah pernah problem yang mirip?
3. Melaksanakan rencana
Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa setiap
langkah dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar
4. Menengok ke belakang
Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat
Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk
menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan
dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Pemecahan masalah tidak
sekedar sebagai bentuk kemampuan meneraapkan aturan-aturan yang
telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan

74
lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan
pada tingkat yang lebih tinggi [ CITATION Mad11 \l 1057 ]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemecahan masalah adalah suatu kegiatan untuk mengatasi kesulitan
yang ditemui dengan menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan
yang telah diperoleh sebelumnya, sehingga diperoleh jalan untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Melalui penggunaan masalah-
masalah yang tidak rutin, siswa tidak hanya terfokus pada bagaimana
menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi yang ada, tetapi juga
menyadari kekuatan dan kegunaan matematika di dunnnia sekitar mereka
dan berlatih melakukan penyelidikan dan penerapan berbagai konsep
matematika yang telah mereka pelajari.
Kemampuan pemecahan masalah adalah pengetahuan tingkat
tinggi yang memerlukan suatu ketrampilan khusus dalam mencari solusi
atas masalah yang dihadapi dengan menggabungkan konsep-konsep dan
aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, sehingga diperoleh jalan
untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Menurut [ CITATION Geo73 \l 1057 ], ada empat langkah dalam
menyelesaikan masalah, yaitu:
(1) memahami masalah (understanding the problem). Hal ini tampak
dari kemampuan siswa memahami kondisi soal atau masalah
yang ada pada soal tersebut. Dapat dilihat dari kamampuan siswa
mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanya, dan
kecukupan unsur yang diperlukan.
(2) membuat rencana penyelesaian masalah (devisi a plan).
Kemampuan siswa memikirkan langkah-langkah apa saja yang
penting dan saling menunjang untuk dapat memecahkan

75
permasalahan yang diberikan, kemampuan siswa merumuskan
masalah matematika atau menyusun model matematika, dan juga
kemampuan siswa menerapkan strategi untuk menyelesaikan
berbagai masalah.
(3) melaksanakan rencana (carrying out the plan).Kemampuan siswa
membentuk sistematika soal yang lebih baku. Kemudian
kemampuan siswa memasukkan data-data hingga menjurus
kerencana pemecahannya.
(4) memeriksa kembali (looking back). Kemampuan siswa untuk
memeriksa kembali hasil kerja mereka.
3.4 Berpikir Kreatif (Creative Thinking)
3.4.1 Berpikir
Tuhan menganugerahkan akal pikiran kepada manusia sebagai
suatu anugrah yang sangat patut untuk disyukuri. Akal pikiran
dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai bukti bahwa manusia
merupakan makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk-
makhluk yang lain. Semua produk yang diciptakan manusia di dunia ini
adalah hasil dari kegiatan berpikir. Segala teknologi yang tercipta saat ini
yang telah begitu memudahkan manusia dalam aktivitasnya juga
merupakan hasil dari kegiatan berpikir.

Berpikir adalah daya yang paling utama dan merupakan ciri yang
khas yang membedakan manusia dengan hewan. Berpikir merupakan
kegiatan yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, karena selama
manusia hidup manusia akan terus berpikir.Berpikir berasal dari kata
pikir yang berarti akal budi; ingatan; angan-angan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Para ahli juga banyak mengungkapkan tentang definisi dari
berpikir, diantaranya seperti yang diutarakan oleh B. Clark (dalam

76
Azhari, 2013:4) bahwa“Berpikir adalah keadaan berpikir rasional, dapat
diukur. Dapat dikembangkan dengan latihan sadar dan sengaja. Tujuan
berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang
dikehendaki”. Sedangkan Slameto (2003: 142) mengatakan bahwa:

“Berpikir, memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang


baru adalah kegiatan yang kompleks dan berhubungan erat satu
dengan lain. Suatu masalah umumnya tidak dapat dipecahkan
tanpa berpikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang
baru bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan
sesuatu (benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang,
menciptakan sesuatu, itu mencakup pemecahan masalah”.

Selanjutnya, menurut Syaiful (2003:13) juga mengutarakan


pendapatnya mengenai berpikir, “Berpikir merupakan tindakan dan
perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami
oleh siswa sendiri”

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat kita


simpulkan bahwa berpikir adalah suatu kegiatan mental atau proses
dimana manusia menggunakan akal dan pikirannya untuk mencari suatu
pemecahan dari suatu permasalahan.

3.4.2 Pengertian Kreatif

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kreativitas


diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta, daya cipta, perihal
berkreasi, dan kekreatifan. Kreativitas berasal dari kata dasar “kreatif”,
yang berarti memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk
menciptakan, bersifat (mengandung daya cipta). Selanjutnya, Slameto
(2003:145) menyatakan bahwa :

77
“Pengertian kreatif berhubungan dengan penemuan sesuatu,
mengenai hal yang menghasilkan sesuatu yang baru dengan
menggunakan sesuatu yang telah ada.Ini sesuai dengan perumusan
kreativitas secara tradisional.Secara tradisional kreativitas dibatasi
sebagai mewujudkan sesuatu yang baru dalam kenyataan. Sesuatu
yang baru itu mungkin perbuatan atau tingkah laku”.

Adapun Menurut Guilford (dalam Slameto,2003:144) menyatakan


bahwa :

“Ada tiga komponen pokok dalam berpikir yaitu: pengerjaan


(operation), isi (contens) dan hasil (product). Komponen
pengerjaan terdiri dari: (1) Kognisi, berarti penemuan atau
penemuan kembali atau pengenalan kembali, (2) Mengingat,
berarti menyimpan apa yang telah dikenal, (3) Berpikir divergen,
berarti berpikir dalam arah yang berbeda-beda, akan diperoleh
jawaban-jawaban unik yang berbeda-beda tetapi benar, (4)Berpikir
konvergen, berarti berpikir menuju satu arah yang benar atau satu
jawaban yang paling tepat atau satu pemecahan dari suatu masalah,
(5)Evaluasi, berarti keputusan mengenai kebaikan, kebenaran atau
kesesuaian apa yang kita ketahui, kita ingat, dan apa yang kita
hasilkan dalam berpikir produktif ”.

Jadi, dari uraian di atas kreatif dapat kita artikan sebagai suatu
kemampuan/daya yang dimiliki oleh seseorang untukmenciptakan
sesuatu yang baru atau kemampuan untuk memandang suatu persoalan
dari perspektif yang tidak biasa, berbeda dari orang kebanyakan.

3.4.3 Pengertian Berpikir Kreatif

Kata-kata berpikir kreatif dan berpikir kritis saat ini tengah populer
di kalangan pengembang pembelajaran matematika. Karena bidang studi
matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang paling mampu
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis ini.

78
Banyak orang yang menyamakan definisi antara berpikir kreatif dan
berpikir kritis. Namun pada dasarnya terdapat perbedaan antara kedua
kata ini.

Dari uraian pada subbab sebelumnya, sebenarnya kita telah dapat


menarik kesimpulan bahwa berpikir kreatif merupakan kegiatan mental
yang dilakukan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu permasalahan
atau menciptakan suatu produk dengan perspektif yang baru, beda dari
orang kebanyakan. Tetapi untuk menguatkan definisi tersebut, maka
peneliti akan menguraikan definisi dari berpikir kreatif menurut para
ahli.

Berpikir kreatif merupakan suatu pemikiran yang menunjukkan


bahwa menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara melihat
banyaknya kemungkinan-kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah
harus sesuai dengan masalah dan tepat, selain itu jawabannya juga harus
bervariasi.

Pembahasan berpikir kreatif tidak pernah terlepas dengan


kreativitas. Dalam berpikir kreatif, seseorang akan melalui tahapan
mensintesis ide-ide, membangun ide-ide, merencanakan penerapan ide-
ide, dan menerapkan ide-ide tersebut sehingga menghasilkan sesuatu
atau produk yang baru bagi dirinya. Munandar (2012:12) menyatakan
bahwa: “kreativitas merupakan bakat yang secara potensial dimiliki oleh
setiap orang, yang dapat ditemukenali (diidentifikasi) dan dipupuk
melalui pendidikan”. Sejalan dengan itu Slameto (2003:138) menyatakan
bahwa:

“Kreativitas adalah hasil belajar dalam kecakapan kognitif,


sehingga untuk menjadi kreatif dapat dipelajari melalui proses

79
belajar mengajar. Hasil belajar dalam kecakapan kognitif itu
mempunyai hierarki/ bertingkat-tingkat. Adapun tingkat-tingkat
yang dimaksud adalah informasi non verbal, informasi fakta dan
pengetahuan verbal, konsep dan prinsip, pemecahan masalah dan
kreativitas ”.

Sagala Syaiful (2003:33) menyatakan bahwa “Keseluruhan tujuan


pendidikan dibagi atas hierarki atau taksonomi menurut Benjamin Bloom
(1956) menjadi tiga kawasan (domain) yaitu: (1) domain kognitif
mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan yang terdiri atas
enam macam kemampuan yang disusun secara hierarkis dari yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks yaitu pengetahuan (kemampuan
mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari), pemahaman
(kemampuan menangkap makna atau arti sesuatu hal), penerapan
(kemampuan mempergunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk
menghadapi situasi-situasi baru dan nyata), analysis (kemampuan
menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur
organisasinya dapat dipahami), sintesis (kemampuan memadukan
bagian-bagian menjadi satu keseluruhan yang berarti), dan penilaian
(kemampuan memberikan harga sesuatu hal berdasarkan kriteria intern,
kelompok, ekstern, atau yang telah ditetapkan terlebih dahulu)”.

3.4.4 Aspek-Aspek Berpikir Kreatif


Proses berpikir kreatif hanya akan terjadi jika dibangkitkan melalui
masalah yang memacu pada beberapa aspek perilaku kreatif. Menurut
Munandar (2012:50) menyatakan bahwa: “Kriteria penilaian kreatif
berkaitan dengan aspek-aspek berpikir kreatif, yaitu kelancaran,
kelenturan, orisinalitas, dan kerincian (elaborasi)”.

80
Dari uraian diatas, maka peneliti menetapkan indikator untuk
mengukur kemampuan berpikir kreatif yaitu:

1. Kemampuan berpikir lancar (Fluency) yaitu memberikan banyak


gagasan atau penyelesaian masalah dengan lancar
2. Kemampuan berpikir luwes (Fleksibilitas) yaitu memberikan
macam-macam cara yang berbeda-beda untuk menyelesaikan suatu
masalah atau soal dari sudut pandang yang berbeda.
3. Keaslian (Orisinalitas) yaitu cara yang digunakan merupakan hasil
pemikiran (ide) sendiri dimana cara penyelesaiannya berbeda serta
menarik.
4. Kemampuan berpikir elaboratif (Elaboration) yaitu memberikan
gagasan yang rinci dalam menyelesaikan masalah
Dari beberapa pendapat diatas, pada penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan aktivitas menggunakan
pikiran untuk mencari makna dan permasalahan terhadap sesuatu,
pembentukan ide, membuat pertimbangan dan keputusan atau
menyelesaikan masalah dengan menemukan sebanyak-banyaknya
jawaban atau penyelesaian yang mencerminkan adanya keluwesan
(fleksibel), kelancaran, kerincian serta kemampuan untuk
mengembangkan atau memperkaya suatu gagasan.

Untuk mengetahui aspek-aspek berpikir kreatif dengan lebih jelas,


Munandar (dalam Suriyani, 2014:62) memberikan uraian tentang aspek
berpikir kreatif sebagai dasar untuk mengukur tingkat berpikir kreatif
siswa seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1.Aspek-Aspek Berpikir Kreatif

Pengertian Perilaku

81
Berpikir Lancar (fluency) 1. Mengajukan banyak pertanyaan
1. Mencetuskan banyak 2. Menjawab dengan sejumlah
gagasan, jawaban, jawaban jika ada
penyelesaian masalah atau 3. Mempunyai banyak gagasan
jawaban mengenai suatu masalah
2. Memberikan banyak cara 4. Lancar mengungkapkan gagasan-
atau saran untuk melakukan gagasannya
berbagai hal 5. Bekerja lebih cepat dan
3. Selalu memikirkan lebih dari melakukan lebih banyak dari
satu jawaban orang lain
6. Dapat dengan cepat melihat
kesalahan dan kelemahan dari
suatu objek atau situasi
Berpikir Luwes (flexibility) 1. Memberikan aneka ragam
1. Menghasilkan gagasan, penggunaan yang tak lazim
jawaban, atau pertanyaan terhadap suatu objek
yang bervariasi 2. Memberikan bermacam-macam
2. Dapat melihat suatu masalah penafsiran terhadap suatu gambar
dari sudut pandang yang , cerita atau masalah
berbeda 3. Menerapkan suatu konsep atau
3. Mencari banyak alternatif asas dengan cara yang berbeda-
atau arah yang berbeda beda
4. Mampu mengubah cara 4. Memberikan pertimbangan
pendekatan atau pemikiran terhadap situasi yang berbeda
dari yang diberikan orang lain
5. Dalam membahas,
mendiskusikan suatu situasi
selalu mempunyai posisi yang
bertentangan dengan mayoritas
kelompok
6. Jika diberikan suatu masalah
biasanya memikirkan bermacam-
macam cara untuk
menyelesaikannya
7. Menggolongkan hal-hal menurut
pembagian (kategori) yang
berbeda-beda
8. Mampu mengubah arah berpikir
secara spontan
Berpikir Orisinil (originality) 1. Memikirkan masalah-masalah
1. Mampu melahirkan atau hal yang tidak terpikirkan

82
ungkapan yang baru dan unik orang lain
2. Memikirkan cara-cara yang 2. Mempertanyakan cara-cara yang
tak lazim untuk lama dan berusaha memikirkan
mengungkapkan diri cara-cara yang baru
3. Mampu membuat kombinasi- 3. Memilih asimetri dalam
kombinasi yang tak lazim menggambarkan atau membuat
dari bagian-bagian atau desain
unsur-unsur 4. Memilih cara berpikir lain
daripada yang lain
5. Mencari pendekatan yang baru
dari yang klise
6. Setelah membaca atau
mendengar gagasan-gagasan,
bekerja untuk menyelesaikan
yang baru
7. Lebih senang mensintesa
daripada menganalisis sesuatu
Berpikir Elaboratif 1. Mencari arti yang lebih
(elaboration) mendalam terhadap jawabanatau
1. Mampu memperkaya dan pemecahan masalah dengan
mengembangkan suatu melakukan langkah-langkah yang
gagasan atau produk terperinci
2. Menambah atau merinci 2. Mengembangkan atau
detail-detail dari suatu objek, memperkaya gagasan orang lain
gagasan atau situasi sehingga 3. Mencoba atau menguji detail-
menjadi lebih menarik detail untuk melihat arah yang
akan ditempuh
4. Mempunyai rasa keindahan yang
kuat, sehingga tidak puas dengan
penampilan yang kosong atau
sederhana
5. Menambah garis-garis, warna-
warna, dan detail-detail (bagian-
bagian) terhadap gambarannya
sendiri atau gambar orang lain

3.4.5 Proses Berpikir Kreatif

Menurut Munandar (2012:39) salah satu teori tradisioanl yang


sampai sekarang banyak dikutip ialah Teori Wallas yang dikemukakan

83
tahun 1926 dalam bukunya The Art of Thought (Piirto, 1992), yang
menyatakan bahwa proses kreatif meliputi enam tahap 1) Persiapan, 2)
Inkubasi, 3) Iluminasi, dan 4) Verifikasi. Pada tahap pertama, seseorang
mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir,
mencari jawaban, bertanya kepada orang, dan sebagainya. Pada tahap
kedua, kegiatan mencari dan menghimpun data/informasi tidak
dilanjutkan. Tahap inkubasi ialah tahap dimana individu seakan-akan
melepaskan diri untuk sementara dari sadar, tetapi “mengeramnya”
dalam alam pra-sadar. Sebagaimana nyata dari analisis biografi maupun
dari laporan-laporan tokoh-tokoh seniman dan ilmuwan, tahap ini
penting artinya dalam proses timbulnya inspirasi. Mereka semua
melaporkan bahwa gagasan atau inspirasi yang merupakan titik mula
dari suatu penemuan atau kreasi baru berasal dari daerah pra-sadar atau
timbul dalam keadaan ketidaksadaran penuh.

Tahap iluminasi ialah tahap timbulnya “insight” atau “Aha-


Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru, beserta proses-
proses psikologis yang mengawali dan mengikuti munculnya
inspirasi/gagasan baru.

Tahap verifikasi atau tahap evaluasi ialah tahap dimana ide atau
kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Disini diperlukan
pemikiran kritis dan konvergen. Dengan perkataan lain, proses
divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti oleh proses konvergensi
(pemikiran kritis).

3.4.6 Ciri-Ciri Kepribadian Kreatif

Anak yang kreatif biasanya selalu ingin tahu, memiliki minat yang
luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan

84
remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri.
Mereka lebih berani mengambil risiko (tetapi dengan perhitungan) dari
pada anak-anak pada umumnya. Artinya dalam melakukan sesuatu yang
bagi mereka amat berarti, penting dan disukai, mereka tidak terlalu
menghiraukan kritik atau ejekan dari orang lain. Mereka pun tidak takut
untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka
walaupun mungkin tidak disetujui orang lain. Orang yang inovatif berani
untuk berbeda, menonjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari
tradisi. Rasa percaya diri, keuletan, dan ketekunan membuat mereka
tidak cepat putus asa dalam mencapai tujuan mereka.

Munandar (2012:71) mengemukakan ciri-ciri orang yang memiliki


kemampuan berpikir kreatif yang tinggi yaitu :

a. rasa ingin tahu yang luas dan mendalam,


b. sering mengajukan pertanyaan yang baik,
c. memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah,
d. bebas dalam menyatakan pendapat,
e. mempunyai rasa keindahan yang dalam,
f. menonjol dalam salah satu bidang seni,
g. mampu melihat suatu masalah dari berbagai segi/sudut pandang,
h. mempunyai rasa humor yang luas,
i. mempunyai daya imajinasi,
j. orisinal dalam ungkapan gagasan dan dalam pemecahan masalah.
Semua anak memiliki potensi kreativitas, walaupun kemampuan
setiap anak berbeda tingkat kualitasnya. Seperti juga kemampuan
potensial lainnya, kemampuan ini dapat berkembang secara optimal
apabila diberikan perlakuan yang sesuai terutama dalam proses belajar
mengajar.

85
BAB 4

PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

4.1 Defensi Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran adalah suatu hal yang termasuk sangat


penting dalam proses belajar mengajar, keefektifan proses belajar
mengajar dapat terelaisasi melalui ketepatan pemilihan pendekatan.
Banyak para ahli pendidikan yang mendefensikan pendekatan
pembelajaran, diantaranya menurut pendapat Wahjoedi (1999:121)
bahwa, “pendekatan pembelajaran adalah cara mengelola kegiatan
belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif melakukan tugas belajar
sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal”. Kemudian
menurut Syaifuddin Sagala (2005: 68) bahwa, “Pendekatan pembelajaran
merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam
mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu”.
Menurut Suherman (1993:220) mengemukakan pendekatan dalam
pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh
oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari
sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu,
umum atau khusus.

86
Menurut sanjaya (2008:127) Pendekatan dapat diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.
Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran
langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran
ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta
strategi pembelajaran induktif. Berdasarkan pandangan para ahli
tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran dapat
diartikan sebagai pemikiran awal tentang jalan atau cara mendekati
sesuatu yang gunanya untuk mencapai tujuan pembelajaran , yang
merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya
masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis
tertentu. Dilihat dari pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan,
yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada
siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

PENDEKATAN PEMBELAJARAN

Berpusat Pada Guru (teacher centered approach).


Berpusat Pada siswa (student centered approach)

Gambar 5.1 Bagan Pendekatan Pembelajaran

4.2 Macam Macam Pendekatan Pembelajaran

87
4.2.1 Pendekatan Kontekstual
4.2.1.1 Defenisi Pendekatan Kontekstual
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi
belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal.
Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta
atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang
dapat diterapkan (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003: 26).
Menurut pandangan konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman
seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga
pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan tertanam dalam
benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu
tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah bergantung kepada
skemata yang telah dimiliki seseorang (Ernest dalam Hudoyo, 1998: 4-
5)
Ruseffendi dalam Ismail (2002) mengatakan bahwa, pendekatan
adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau
siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Apabila melihatnya dari
sudut proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu dikelola. Contoh
pendekatan dalam pembelajaran matematika antara lain adalah Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pendekatan kontekstual adalah istilah lain
dari pendekatan cara belajar siswa aktif, sebab apa yang dilakukan dalam
pendekatan CBSA adalah sama dengan apa yang ada di dalam
pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual ini sebagai salah satu
pendekatan pembelajaran matematika yang terdapat dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Pada prinsipnya kurikulum tersebut adalah
mengisyaratkan kepada kita, agar dalam pembelajaran matematika di

88
sekolah, guru membawa siswa ke dalam dunia nyata. Dengan kata lain,
proses pembelajaran selalu digunakan dengan benda-benda konkrit yang
ada di lingkungan siswa.
Pendekatan konstektual merupakan suatu pendekatan belajar
dimana guru menjadikan situasi dunia nyata masuk dalam kelas dan
memtivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa untuk memecahkan masalah, bernalar dan
melaksanakan penemuan . Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa
makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana
mencapainya.
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar
lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam
lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan
memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan
materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran
lebih diutamakan daripada hasil belajar.
Uraian di atas akan lebih jelas, dengan memperhatikan contoh di
bawah ini. Guru menerangkan arti perkalian kepada siswa, melalui
metode tanya jawab dikombinasikan dengan metode ceramah sebagai
berikut.

Guru : Apakah artinya

Siswa : 3 + 3

89
Guru : Betul.
Selain 3 + 3, arti dari ialah

“ dua kali tiga” ditulis 2 x 3 Berapakah 3 + 3 ?


Siswa : 6
Guru : Betul, karena 3 + 3 = 6 berapakah 2 x 3 ?
Siswa : 6 juga
Guru : Betul, kalau begitu 5 + 5 apakah artinya

Siswa : 2 x 5
Guru : Bagus, berapakah 2 x 5
Siswa : 10
Guru : Betul, sekarang kamu Akbar selain 4 + 4 apa arti

dan berapa hasilnya?


Akbar : 2 x 4 = 8
Guru : Bagus sekali, sekarang siapa yang dapat menjawab apa
artinya,

Siswa : 2 + 2 + 2

90
Guru : Betul, Bapak ingin menggunakan perkalian. Coba siapa
yang dapat, tolong maju ke depan dan tulis di papan tulis soal di atas
dengan menggunakan perkalian.
Siswa C : 2 x 3
Guru : Coba perhatikan apakah jawaban C itu benar?
Siswa A : salah
Guru : semestinya apa jawababnnya?
Siswa A : 3 x 2
Guru : Mengapa ?
Siswa A : Sebab ada tiga himpunan yang banyaknya anggota dua-
dua
Guru : Betul sekali. Jadi ingat, guru sambil melihat ke siswa C
bahwa karena ada tiga buah himpunan, setiap himpunan
mempunyai dua anggota, maka

artinya 3 x 2 bukan 2 x 3

4.2.1.2 Karakteristik dan Komponen Pendekatan Kontekstual

Lima karakteristik dalam proses pembelajaran yang menggunakan


pendekatan kontekstual:
1. Dalam pendekatan kontekstual pembelajaran
merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada
(activiting knowledge). Dalam hal ini guru beraktifitas atau
memberikan perlakuan yang dapat menjadikan siswa berupaya

91
mengingat kembali materi atau pengetahuan yang sudah ada pada
dirinya.Tidak terlepas antara pemahaman yang akan mau diberikan
dengan pemahaman yang sudah ada pad diri siswa, sedemikian
sehingga pembentukan pengetahuan baru yang di bangun oleh
siswa tersebut terkait dengan pemahaman atau pengetahuan yang
sudah ada pada dirinya.
2. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar
dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru
(acquiring knowlwdge). Dalam hal ini pembelajaran yang
berlangsung bukan lagi pengulangan pengetahuan yang sudah di
capai, namun pembelajaran kontekstual dilakukan agar siswa
membangun sendiri pengetahuan yang baru atau pengetahuan yang
akan di pelajari. Siswa membentuk pemahamannya ang baru
dengan mendekatkan secara nyata.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk
dihafal tapi untuk diyakini dan dipahami.penghafalan
terhadapsebuah pengetahuan tanpa memahami maknanya
mengakibatkan pengetahuan cepat hilang, namun sebaliknya
pengetahuan yang diadapat dengan kepemahaman akan melekat
lama dalam memori diri siswa.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman
tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan
pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge)
terhadap strategi pengembangan pengetahuan.

92
Sedangkan yang menjadi komponen dalam pendekatan
pembelajaran kontekstual yaitu ketujuh komponen utama sebagai
langkah penerapan dalam pembelajaran (Depdiknas, 2003: 10), yaitu:
1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa
belajar lebih bermakna dengan diberikan kesempatan untuk
bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru (constructivism).
2. Menciptakan group belajar yang saling
tergantung (interdependent learning groups) yaitu produk
pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain,
maka pembelajaran semestinya selalu dilaksanakan dalam
kelompok-kelompok belajar atau proses pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam kelompok.
3. Memfasilitasi kegiatan penemuan
(inquiry), yaitu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan
melalui hasil penemuan sendiri (bukan hasil mengingat).
4. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa
melalui pengajuan pertanyaan (questioning). bertanya merupakan
kegiatan guru yang bertujuan memotivasi, membimbing, dan
memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa
kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan
apa yang sudah diketahui dan menunjukkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat
diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa,
antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang
didatangkan di kelas.

93
5. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam
sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Guru
memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian
guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan
melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang
apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu kuncinya adalah
bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa
7. Penilaian sesungguhnya (authentic
assesment), adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran
yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu
siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu,
bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi
diakhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses,
bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah
satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya.
Strategi pengajaran kontekstual meliputi; keterhubungan,
pengalaman, keterpakaian, kerjasama, dan pentransferan (Crawford,
2001:3).
1. Keterhubungan
Keterhubungan merupakan kekuatan strategi pengajaran
kontekstual, juga merupakan jantungnya pembelajaran menurut paham
konstruktivisme. Crawford (2001: 3) menyebutkan keterhubungan
sebagai pembelajaran dalam konteks dari pengalaman seseorang atau
bagaimana mengetahui pengetahuan tersebut.

94
Guru menggunakan keterhubungan saat mereka menyatukan
konsep yang baru dengan sesuatu yang dikenal baik oleh siswa.
Bransford, Brown, and Cocking (Crawford, 2001: 3) menyatakan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa yang membawa memori
atau pengetahuan awal melalui situasi pembelajaran baru yang relevan
akan mampu menghargai kesesuaiannya. Dalam aktivitas ingatan siswa
atau pengetahuan awal dan pengenalan terhadap relevansi dari ingatan
atau pengetahuan, mereka menggunakan keterhubungan.
NCTM (Crawford, 2001: 5), menyebutkan, karena siswa belajar
melalui pengaitan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang
dimilikinya, maka guru hendaknya memahami apa yang telah diketahui
oleh siswanya. Guru yang efektif tahu bagaimana cara bertanya dan
merencanakan pembelajaran dalam mengungkap pengetahuan awal
siswa, guru dapat mendesain pengalaman dan pelajaran untuk merespon
dan membangun pengetahuan.
2. Pengalaman
Pengaitan antara informasi baru dengan pengalaman hidup atau
pengetahuan awal siswa terkadang tidak dapat dilakukan, karena siswa
tidak memiliki pengalaman tersebut sebelumnya. Situasi ini dapat
dimanipulasi oleh guru dengan membantu siswa mengkonstruk
pengetahuan baru tersebut dengan menggunakan pemanipulasian,
melakukan aktivitas pemecahan masalah dan kegiatan laboratorium.
Proses pemanipulasian dapat dilakukan dengan menggunakan
objek sederhana yang ada di sekitar siswa untuk mewujudkan konsep
yang abstrak menjadi konkret. Sebagai contoh, dalam matematika
misalnya dengan menggunakan sepuluh blok untuk mengenal dasar

95
bilangan. Beberapa program komputer, seperti Geometer’s Sketchpad
dan Cabri.
Melalui aktivitas pemecahan masalah, dapat memberi
pengalaman belajar yang mengikutsertakan siswa berkreasi dalam
mempelajari konsep kunci. Aktivitas ini juga mengajarkan kemampuan
menyelesaikan masalah, berfikir analisis, berkomunikasi dan interaksi
antar kelompok. Guru hendaknya mempersiapkan untuk memfasilitasi
diskusi siswanya dalam pemecahan masalah, kesimpulan siswa,
pendekatan dan hasil yang diperoleh siswa, mendemonstrasikan dan
menggeneralisasikan pengetahuan pada saat yang tepat. Kemampuan
menggunakan pengetahuan baru dalam situasi yang baru disebut
transferring.
Dengan melakukan aktivitas di laboratorium, siswa bekerja
dalam kelompok kecil. Aktivitas yang dilakukan meliputi pengumpulan
data dengan melakukan pengukuran, menganalisis data, membuat
kesimpulan dan prediksi dan melakukan refleksi terhadap konsep dasar
yang termuat dalam kegiatan.
3. Keterpakaian
Keterpakaian didefinisikan sebagai pembelajaran dengan memilih
konsep yang dapat digunakan. Siswa menggunakan konsep saat mereka
diikutsertakan dalam aktivitas penyelesaian masalah. Siswa dapat
mengemukakan situasi real yang ada dan menggunakan konsep
pengetahuan dalam kehidupan. Siswa dapat mengetahui pentingnya
konsep kunci dalam menyelesaikan masalah yang real.
Penelitian menunjukkan bahwa latihan berdasarkan pada kondisi
yang sesungguhnya dapat memotivasi siswa untuk mempelajari konsep

96
akademik dengan tingkat pemahaman yang lebih mendalam. Suatu
penelitian menyarankan strategi di kelas hendaknya:
1. Memfokuskan pada aspek kebermaknaan dari aktivitas
pembelajaran. Guru semestinya menekankan bagaimana
penugasan akademik dilakukan di kelas sebagai suatu penugasan
yang real dan bermakna dalam kehidupan nyata.
2. Mendesain penugasan dengan model baru, bervariasi, beragam
dan menarik. Guru hendaklah mencoba memberikan penugasan
kepada siswanya lebih bervariasi untuk meyakinkan bahwa tugas
yang diberikan baru, menarik atau memberikan pengalaman yang
menyenangkan ketika mengikutsertakan siswa.
3. Mendesain penugasan yang menantang tapi dapat diterima dalam
kapasitas kemampuan siswa. Bila tugas yang diberikan terlalu
mudah, akan menimbulkan kebosanan pada siswa sehingga siswa
kehilangana motivasi untuk mempelajari konsep yang baru.
Namun bila penugasan terlalu sulit akan menimbulkan rasa
frustasi pada diri siswa.
4. Kerjasama
Ketika siswa bekerja secara individu dalam menyelesaikan
latihan pemecahan masalah khususnya saat mereka masuk dalam situasi
yang sesungguhnya, terkadang siswa tidak dapat membuat kemajuan
dalam menyelesaikannya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan rasa
frustrasi pada diri siswa. Melalui strategi pembelajaran dalam konteks
saling berbagi, saling menanggapi, dan berkomunikasi antar siswa,
pembelajaran akan memberikan bantuan bagi siswa. Melalui kerja dalam
kelompok kecil, siswa dapat saling bertukar pengetahuan. Suatu
kesulitan diselesaikan bersama-sama. Ketika kelompok tersebut mampu

97
menyelesaikan persoalan yang diberikan, akan muncul rasa percaya diri
dan dapat memotivasi siswa untuk kembali menyelesaikan persoalan
yang mengandung bentuk pemecahan masalah.
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa kerjasama atau
pembelajaran secara bekerjasama memberikan prestasi yang lebih baik
dibandingkan belajar secara individual dan menggunakan metode
persaingan. Namun terkadang belajar dalam kelompok kecil menjadi
tidak efektif ketika dalam kelompok tersebut ada siswa yang tidak aktif
bekerja atau ada siswa yang begitu mendominasi kelompok. Johnson dan
Johnson (Crawford, 2001: 12) memberikan rambu-rambu untuk
membantu guru dalam menanggulangi kondisi negatif yang mungkin
muncul seperti berikut:
1. Membangun saling kertergantungan yang positif dalam kelompok
belajar siswa. Saling ketergantungan yang positif berarti bahwa
setiap siswa merasa bahwa mereka belum berhasil bila ada
anggota kelompok mereka yang tidak berhasil.
2. Berikan kesempatan siswa untuk saling memberi ketika
menyelesaikan tugas dan yakinkan bahwa kerjasama diantara
anggota kelompok merupakan salah satu unsur penilaian.
Interaksi terjadi antara siswa dengan siswa yang saling bantu dan
saling mendorong, menerangkan ide dan strategi pemecahan
masalah, dan mendiskusikan ide-ide yang berhubungan dengan
evaluasi.
3. Bantu setiap siswa secara individu agar bertanggung jawab
menyelesaikan tugas, dan tidak terlalu percaya begitu saja
membiarkan mereka dengan pekerjaannya. Johnson & Johnson
menyebutkan dua strategi untuk membantu siswa bertanggung

98
jawab: berikan tes secara individu untuk setiap siswa kemudian
pilih secara acak diantara kelompok siswa tersebut untuk
menyampaikan hasil kerja kelompoknya.
4. Siswa belajar secara berkelompok dengan berbagi diantara siswa
itu sendiri (antar siswa dengan siswa) dan membentuk suatu
keahlian dalam kelompok kecilnya. Keahlian tersebut meliputi
kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan,
berkomunikasi, dan mengelola perbedaan pendapat yang
mungkin muncul. Banyak siswa tingkat sekolah menengah atas
tidak diajarkan keahlian ini
5. Yakinkan bahwa kelompok belajar, berdiskusi sebagaimana yang
diinginkan dari fungsi suatu kelompok. Ketika siswa menerima
umpan balik atau memberikan partisipasinya dalam kelompok,
mereka dapat merefleksikan aturan mereka, jika dibutuhkan, dan
mengadaptasi kemampuan sosial mereka untuk membantu
kelompok secara objektif.
Dalam strategi pengajaran secara kontekstual, guru dapat
mengubah aturan saat dia menggunakan pembelajaran berkelompok.
Guru terkadang menjadi seorang pengajar, terkadang sebagai pengamat,
dan terkadang hanya sebagai fasilitator.
5. Pentransferan
Pentransferan merupakan strategi pengajaran dimana kita
mendefinisikan pembelajaran sebagai penggunaan pengetahuan dalam
konteks yang baru atau situasi baru dimana prosesnya tidak tertutup
hanya terjadi di lingkungan kelas saja. Penelitian menunjukkan bahwa
ketika guru mendesain penugasan dalam bentuk baru dan bervariasi
siswa akan merasa tertarik, termotivasi, tertantang, sehingga tujuan

99
penguasaan matematika dapat meningkat. American Association for the
Advancement of Science (Crawford, 2001: 14) menyatakan bahwa, jika
siswa diharapkan untuk mampu mengaplikasikan ide dalam suatu situasi
yang baru maka mereka harus berlatih untuk mengaplikasikan ide
mereka kedalam situasi baru.
Dari strategi pengajaran kontekstual di atas, nampak bahwa pendekatan
pengajaran yang didasarkan kepada pembelajaran kontekstual lebih
menekankan pada belajar bermakna dan belajar di sekolah yang
dikontekskan ke dalam situasi dan pengalaman siswa. Hal ini diharapkan
dapat menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa.
4.2.2. Pendekatan Matematika Realistik
4.2.2.1 Defenisi Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik adalah sebuah pendekatan
belajar matematika yang sudah dikembangkan sejak tahun 1971 oleh
sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht
University di Negeri Belanda. Pendekatan ini terlahir berdasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah
kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukanlah
hanya wadah memindahkan matematika dari guru kepada siswa, tetapi
kelas matematika adalah tempat siswa menemukan kembali ide dan
konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Konsep
ini memaparkan bahwa matematika itu dilihat sebagai kegiatan manusia
yang bermula dari pemecahan masalah . Dengan demikian, siswa tidak
dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan
guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan
berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai

100
segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-
hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap
sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih
penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan
istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Proses
ini digambarkan oleh de Lange (dalam Hadi, 2005) sebagai lingkaran
yang tak berujung (lihat Gambar 2)

Dunia Nyata

Matematisasi Dalam aplikasi Matematsasi dan Refleksi

Abstraksi dan Formalisasi

Gambar 2. Matematisasi Konseptual

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dsimpulkan bahwa


pendekatan matematika realistk adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang berbasis pada pendekatan materi matematika dengan kehidpan yang
nyata, dimana pemahaman matematika ini dibangun oleh siswa it sendiri
dengan fasilitatornya adalah guru.
Selanjutnya matematisasi dibedakan menjadi dua, yaitu
matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Kedua proses ini
digambarkan oleh Gravenmeijer (dalam Hadi, 2005) sebagai proses
penemuan kembali . Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian

101
soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal,
siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara
mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri.
Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi
konsep matematika. Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba
menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks. matematisasi
horizontal berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia simbol,
sedangkan matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia simbol
itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau model
matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi
horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model
matematika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal.
Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai
individu (subjek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai
hasil interaksinya dengan lingkungan. Selanjutnya, dalam pendekatan ini
diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi untuk mengembangkan
sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang
matematika. Melalui eksplorasi berbagai masalah, baik masalah
kehidupan sehar-hari maupun masalah matematika, siswa dapat
merekonstruksi kembali temuan-temuan dalam bidang matematika. Jadi,
berdasarkan pemikiran ini konsepsi siswa dalam pendekatan ini adalah
sebagai beriikut:
 Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide
matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
 Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri

102
 Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan,
penyusunan kembali, dan penolakan ;
 Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari
beragam pengalaman yang dimilikinya;
 Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan
matematika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.

Dengan memahami konsep siswa tersebut dalam pendekatan


matematika realistk,sedemikian sehingga guru juga memiliki peran yang
berbeda dibandingkan dengan penggunaan pendekatan tradisional. Kalau
dalam pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang otoritas
yang mencoba memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam
pendekatan matematika realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator,
moderator, dan evaluator yang menciptakan situasi dan menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus
mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang
mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri
maupun bersama siswa lain. Sehingga , peran guru dalam pendekatan
matematika realistik dapat dirumuskan sebagai berikut:

 Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;


 Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
 Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif
memberi sumbangan pada proses belajarnya;
 Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan
masalahmasalah dari dunia nyata; dan
 Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan
dunia nyata, baik fisik maupun sosial.

103
4.2.2.2 Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut
Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:

1. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems)


digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika
kepada siswa.
2. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model
matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik
dengan bantuan guru atau temannya.
3. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap
masalah yang mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda,
baik cara menemukannya maupun hasilnya).
4. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah
dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri
maupun hasil diskusi.
5. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika
yang memang ada hubungannya.
6. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan
hasilhasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip
matematika yang lebih rumit.
7. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi
atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai
kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar
dengan mengerjakan).

Hal yang perlu ditekankan dari karakteristik pendekatan


matematika realistik di atas adalah bahwa pembelajaran matematika
realistik termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran
matematika dilakukan melalui ”belajar dengan mengajarkan. Selanjunya
pendekatan matemtaika relistik juga termasuk pembelajaran yang

104
berpusat pada siswa karena mereka memecahkan masalah dari dunia
mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan guru hanya berperan
sebagai fasilitator, sedemikian sehingga pembelajarannya bePendekatan
Matematika Realistiktode penemuan terbimbing dan kontekstual karena
siswa dikondisikan untuk menemukan atau menemukan kembali konsep
dan prinsip matematika dan titik awal pembelajaran matematika adalah
masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa.

4.2.2.3 Implementasi Pendekatan Matematika Realistik

Untuk 4dapat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan


pendekatan matematika realistik, kita harus tahu prinsip-prinip yang
digunakan dalam pendekatan ini. Ada tiga prinsip kunci Pendekatan
Matematika Realistik (Gravemeijer, 1994: 90), yaitu

1. Guided Re-invention atau Menemukan Kembali Secara


Seimbang.
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan
matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa
dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif
bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun
sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai
dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-
contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang
selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat atau
definisi atau teorema atau aturan oleh siswa sendiri.

2. Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik.


Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan
kontribusinya bagi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika

105
yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau
memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai
untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai
sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan
siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam
memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke
arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian
matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-
langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal.
Dalam hal ini,siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat
melangkah kearah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan
atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema
matematika tertentu, kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya
(matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisa si horisontal dan
matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan: proses matematisasi
horizontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal
yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah, membuat
model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain, sedangkan
matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu
hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan,
membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan
generalisasi, dan sebagainya.
Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan
dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika
yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada
awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan
banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa

106
dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian, siswa mulai
dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara
yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan
berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga
benar. Ini suatu fenomena didaktik. Dengan memperhatikan fenomena
didaktik yang ada didalam kelas, maka akan terbentuk proses
pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi
diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi
pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah (Marpaung, 2001: 4).

3. Self-delevoped Models atau model dibangun sendiri oleh siswa.

Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa


mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri
oleh siswa, baik dalam proses matematisasi horizontal ataupun vertikal.
Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan satu
masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan
memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan
siswa. Dalam pembelajaran matematika realistik diharapkan terjadi
urutan ”situasi nyata”→”model dari situasi itu”→”model kearah
formal”→”pengetahuan formal”. Menurutnya, inilah yang disebut
”buttom up” dan merupakan prinsip Pendekatan Matematika Realistik
yang disebut ”Self-delevoped Models” (Soedjadi, 2000: 1)

Dikemukakan oleh Sutarto Hadi (2003: 2) bahwa teori


pendekatan matematika realistik sejalan dengan teori belajar yang
berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran
kontekstual (CTL). Namun baik konstruktivisme maupun pembelajaran
kontekstual mewakili teori belajar secara umum, sedangkan pendekatan
matematika realistik suatu teori pembelajaran yang dikembangkan

107
khusus untuk matematika. Juga telah disebutkan terdahulu, bahwa
konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk
memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh
persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang
matematika dan mengembangkan daya nalar. Lebih lanjut berkaitan
dengan konsepsi pendekatan matematika realistik ini, Sutarto Hadi
mengemukakan beberapa konsepsi pendekatan matematika realistik
tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa
pendekatan matematika realistik sejalan dengan paradigma baru
pendidikan, sehingga pendekatan matematika realistik pantas untuk
dikembangkan di Indonesia.
Konsepsi pendekatan matematika realistik tentang siswa adalah
siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika
yang mempengaruhi belajar selanjutnya, siswa memperoleh pengetahuan
baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri,
Pembentukan pengetahuan tersebut merupakan proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan
kembali dan penolakan, kemudian pengetahuan baru yang dibangun oleh
siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
Kemudian konsepsi pendekatan matematika realistik tentang guru
adalah guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran, guru harus
mampu membangun pembelajaran yang interaktif, Guru harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada
proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam

menafsirkan persoalan riil, dan Guru tidak terpancang pada materi


yang ada didalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan
dunia riil, baik fisik maupun sosial. Konsepsi pendekatan matematika

108
realistik tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-aspek (1)
Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’
bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya,
sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. (2)
Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut; (3) Siswa
mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan/permasalahan yang diajukan; (4)
Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, sangat
memahami atas jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban
temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian
yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang
ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.

4.2.2.4 Refleksi Pembelajaran Matematika Realistik

Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik,


interaksi sebagai salah satu prinsip utama juga merupakan bagian utama
yang turut mendorong terbentuknya refleksi. Interaksi yang berlangsung
dengan baik, akan melahirkan suatu learning community yang
memberikan peluang bagi berlangsungnya pembelajaran yang mampu
meningkatkan level pengetahuan siswa. Refleksi merupakan suatu upaya,
atau suatu aktivitas memberi peluang pada individu untuk
mengungkapkan tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Apakah
yang dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Menurut C-Stars
University of Washington mengemukakan bahwa refleksi merupakan
cerminan dari: bagaimana kita berpikir tentang apa yang telah kita
lakukan, melakukan review serta merespon terhadap peristiwa tertentu,

109
aktivitas tertentu serta pengalaman, mencatat apa yang telah kita pelajari
termasuk ide-ide baru maupun apa yang kita rasakan. Refleksi dapat
muncul dalam bentuk jurnal, diskusi, serta karya seni. Bagi guru,
mendapatkan informasi tentang apa yang siswa pelajari dan bagaimana
siswa mempelajarinya. Di samping itu, guru dapat melakukan perbaikan
dalam perencanaan dan pembelajaran pada kesempatan-kesempatan
berikutnya atau waktu yang akan datang. Sedangkan bagi siswa,
meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa, di samping itu
juga sama halnya seperti yang dilakukan guru.

4.2.3. Pendekatan Pembelajaran Open-ended

4.2.3.1 Defenisi Pendekatan Open-ended

Aliran konstruktivisme memandang bahwa dalam proses belajar-


mengajar perolehan pengetahuan diawali dengan adanya konflik kognitif
(Karli dan Yuliariatiningsih, 2000). Konflik kognitif ini hanya dapat
diatasi melalui kegiatan kajian tugas mandiri (self-regulation). Pada
akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa
melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell,
Driver, dan Leach, dalam Karli dan Yuliariatiningsih, 2000: 2-3). Oleh
karena itu menurut pandangan ini, pengetahuan itu dibangun secara aktif
oleh individu sendiri (Suparno, 1997:29). Tujuan pembelajaran
berdasarkan pandangan ini adalah membangun pemahaman, sehingga
belajar tidak ditekankan untuk memperoleh pengetahuan yang banyak,
tetapi yang utama adalah memberikan interpretasi melalui skemata yang
dimiliki siswa (Hudojo, 1998:6). Salah satu pendekatan pembelajaran
yang didasari oleh pandangan konstruktivisme adalah pendekatan open-
ended. Pendekatan Open-ended merupakan suatu upaya pembaharuan
pendidikan matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli

110
pendidikan matematika Jepang. Menurut Nohda (2000), pendekatan ini
lahir berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shigeru Shimada,
Toshio Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya.

Dalam pendekatan open-ended siswa berperan sebagai pusat


dalam proses pembelajaran, sehingga pengetahuan dikonsktruksi oleh
siswa sendiri. Untuk itu dalam pelaksanaannya pendekatan ini
mensyaratkan siswa untuk aktif belajar, baik dalam kelompok besar atau
kelompok kecil. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended
menyajikan suatu permasalahan yang memiliki beragam
penyelesaian/metode penyelesaiannya (Shimada, 1997: 10; Berenson,
1995: 183). Pendekatan ini memberikan keleluasaan bagi siswa untuk
mengemukakan jawaban. Dengan demikian, siswa memiliki kesempatan
untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman menemukan,
mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik. Dengan
diberikan kesempatan seperti ini, cara belajar siswa dapat terlatih dengan
baik. Selain itu dengan penggunaan berbagai macam persoalan terbuka,
pendekatan ini dapat meningkatkan kapasitas matematika siswa yang
lebih fleksibel (Hashimoto dalam Silver,1997).

Dengan pemberian suatu situasi permasalahan yang


penyelesaiannya tidak hanya dapat disajikan dengan satu cara, siswa
memperoleh pengalaman dalam menemukan hal baru, yaitu dengan cara
mengkombinasikan semua pengetahuan, keterampilan, dan cara berpikir
matematik yang telah dimiliki siswa dari pelajaran sebelumnya.
Selanjutnya siswa-siswa menganalisis permasalahan-permasalahan dan
metode pemecahan masalah melalui suatu proses pemecahan masalah
dengan satu cara dan kemudian mendiskusikan dan mengevaluasi variasi
dari metode penyelesaian yang dapat dikembangkan dan disajikan oleh

111
teman sekelas. Pada satu versi dari pendekatan open-ended, penemuan
masalah juga memainkan peran yang amat penting sebagai permasalahan
yang ditemukan oleh siswa yang saling berkaitan tetapi berbeda dari
permasalahan yang telah diselesaikan pada waktu yang lalu (Hashimoto,
1987). Penggunaan permasalahan yang memungkinkan siswa untuk
memunculkan penyelesaian yang beragam merupakan kunci istimewa
dalam pembelajaran matematika yang terkait dengan pengembangan
representasi dan fleksibilitas strategi siswa.

Selanjutnya Berenson (1995) memberi arah dalam melaksanakan


pendekatan open-ended, yakni dengan cara memberikan sejumlah
observasi (masalah, situasi masalah, gambar, grafik, dan sebagainya)
kepada siswa yang jawabnya kemungkinan berbeda antara siswa yang
satu dengan lainnya. Dalam pendekatan ini, ada 3 jenis perbedaan
jawaban sebagaimana dikemukakan oleh Katsuro (2000: 250). Ketiga
jenis perbedaan jawaban itu adalah: (1) siswa mengerti perbedaan
jawaban-jawaban; (2) siswa mengerti hubungan antara perbedaan
jawaban-jawaban; (3) siswa berkembang pengetahuan matematikanya
dan berpikir berdasarkan perbedaan jawaban-jawaban.

4.2.3.2 Prinsip Pendekatan Pembelajaran Open Ended

Menurut Nohda (2000:1-39), pembelajaran dengan pendekatan


open-ended mengasumsikan 3 prinsip yaitu:
1) Related to the autonomy of student activities. It requires that we
should appreciate the value of student activities for fear of being
just non-interfering.
2) Related to evolutionary and integral nature of mathematical
knowledges. Content mathematics is theoretical and systematic.

112
Therefore, the more essential certain knowledge is, the more
comprehensively it derives analogical, special, and general
knowledge. Metaphorically, more essential knowledge open the door
ahead more widely. At the same time, the essential original
knowledges can be reflected on many times later in the course of
evolution of mathematical knowledge. This reflection on the original
knowledge is a driving force to continue to step forward across the
door.
3) Related to teacher expedient decision-making in class, in
mathematics class, teachers often encounter students unexpected
ideas. In this bout, teachers have an important role to give the ideas
full play, and to take into account that other students can also
understand real amount of the unexpected ideas.
Dari pendapat di atas dapat disarikan hal-hal berikut ini.

(1) Berkenaan dengan aktivitas siswa. Dalam


pendekatan ini guru seharusnya menghargai aktivitas siswa.
(2) Berkenaan dengan sifat keterpaduan dan evolusi
pengetahuan matematika. Pengetahuan matematika bersifat teoritis
dan sistematis, oleh karena itu yang paling utama dalam belajar
matematika adalah penguasaan pengetahuan yang penting dan
mendasar. Pengetahuan awal yang dapat direfleksikan pada
berbagai waktu secara evolusi merupakan kekuatan yang dapat
dimunculkan dan merupakan pintu pembuka untuk pengetahuan
yang lebih luas lagi di masa yang akan datang.
(3) Berkenaan dengan peranan guru sebagai
pengambil keputusan. Guru berperan penting dalam memberi
gagasan agar siswa berpartisipasi aktif untuk mengemukakan

113
pendapat atau pemikirannya sehingga pemikirannya itu dapat
diterima oleh siswa lainnya.
Pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended, masalah
merupakan alat pembelajaran yang utama. Silver (1997) menemukan
bahwa pengajuan masalah matematika merupakan suatu aktivitas dengan
dua pengertian yang berbeda, yaitu proses mengembangkan masalah
yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada, dan proses
memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata siswa
sendiri berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian siswa
mengajukan masalah mengacu pada situasi yang telah disiapkan oleh
guru. Menurut Sawada (1997: 27-28) Ada tiga tipe permasalahan open-
ended, seperti diuraikan berikut ini.

1) Mencari hubungan: Siswa-siswa diberi pertanyaan untuk menemukan


suatu aturan matematis atau relasi/hubungan.
2) Klasifikasi: Siswa-siswa diberi pertanyaan untuk mengklasifikasi
berdasarkan karakteristik-karakteristik yang berbeda yang membuat
mereka memformulasikan konsep-konsep matematis.
3) Pengukuran: Siswa-siswa diberi pertanyaan untuk menemukan
ukuran numeris berkaitan dengan fenomena yang diberikan.
Permasalahan seperti ini menuntut siswa mengaplikasikan
pengetahuan matematis dan keterampilan yang mereka miliki untuk
menyelesaikan permasalahan ini.
Menurut Sawada (dalam Suherman dkk, 2003: 129-130) ada
beberapa cara untuk mengkonstruksi permasalahan yaitu:
1) Siapkan permasalahan melalui sebuah situasi fisik yang nyata dan
memuat beberapa variabel sedemikian hingga relasi matematis dapat
diamati siswa.

114
2) Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa
dapat menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam
permasalahan ini.
3) Sajikan bentuk-bentuk atau bangun geometri sehingga siswa dapat
membuat suatu konjektur.
4) Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan
aturan matematika.
5) Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga
siswa dapat mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk
menemukan sifat-sifat yang umum.
6) Berikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat membuat
generalisasi dari pekerjaannya.
Menurut Nohda (2000) tujuan pembelajaran open-ended adalah
untuk membantu meningkatkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis
siswa melalui problem solving secara simultan. Dengan kata lain
kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa harus ditingkatkan
semaksimal mungkin sesuai kemampuan tiap siswa. Aktivitas kelas yang
penuh ide-ide matematis pada akhirnya akan memacu kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa. Selain itu, pendekatan open-ended dapat
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam proses pengajaran
matematika. Dengan demikian, siswa memahami bahwa proses dalam
penyelesaian masalah berperan sama pentingnya seperti hasil akhir dari
pemecahan masalah itu. Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas
bahwa pendekatan open ended terkait erat dengan pemecahan masalah.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan open-
ended, terlihat bahwa terdapat beberapa kelebihan dalam pendekatan ini

115
sebagaimana dikemukakan oleh Sawada (dalam Becker dan Shimada,
1997: 23-24) yaitu:
1) Siswa-siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan
lebih sering menyampaikan ide-idenya.
2) Siswa-siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematisnya secara
menyeluruh.
3) Siswa-siswa secara tidak langsung akan termotivasi untuk
memberikan bukti-bukti dan penjelasan.
4) Siswa-siswa yang berkemampuan rendah pun dapat merespon
permasalahan dengan berbagai cara mereka sendiri.
5) Siswa menjadi kaya akan pengalaman dalam menemukan dan
menerima pengakuan dari siswa-siswa lainnya.

4.2.3.3 Implementasi Pendekatan Pembelajaran Open Ended

Menurut Sawada (dalam Becker dan Shimada, 1997: 32-33),


untuk mengembangkan rencana pembelajaran dengan pendekatan ini,
guru perlu memperhatikan hal-hal berikut ini.

1) Tuliskan semua respon yang diharapkan muncul dari siswa


(berupa jawaban yang beragam atas permasalahan yang diajukan
oleh guru).
2) Tujuan permasalahan yang diajukan oleh guru kepada siswa,
harus jelas.
3) Sajikan permasalahan semenarik mungkin.
4) Lengkapi prinsip “posing problem” sehingga siswa memahami
dengan mudah maksud dari permasalahan itu.
5) Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi
jawaban.

116
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran open-ended, Adapun
langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut.
 Pendahuluan
Guru memberikan pendahuluan tentang materi pelajaran disertai
dengan penjelasan tentang kegunaan konsep yang akan diajarkan
dalam masalah kehidupan sehari-hari.
 Kegiatan inti
a. Diawali dengan guru memberikan soal open-ended yang
berkaitan dengan materi yang akan diajarkan.
b. Guru meminta siswa untuk menyelesaikan soal tersebut
secara berkelompok.
c. Solusi dibahas bersama-sama, guru meminta salah
seorang siswa sebagai wakil dari suatu kelompok untuk
mengerjakannya di depan kelas dengan bimbingan guru.
d. Soal diselesaikan dan dikembangkan melalui pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh guru maupun siswa untuk
memberikan pemahaman mengenai konsep yang diajarkan.
e. Dalam proses tanya jawab, guru mendorong siswa agar
dapat memberikan jawaban dan kesimpulan penting tentang
konsep yang diajarkan.
f. Guru memberikan soal-soal lain yang berkaitan dengan
materi pelajaran dan siswa diminta mengerjakannya baik secara
individu maupun secara berkelompok.
3. Penutup
a. Guru mengingatkan kembali
tentang konsep-konsep inti dalam materi yang diberikan.
b. Guru memberi informasi apa yang
akan dipelajari pada pertemuan berikutnya dan menyampaikan
bahwa pada pertemuan selanjutnya akan selalu diberikan soal-soal

117
untuk dikerjakan bersama-sama dan salah seorang siswa akan
tampil ke depan kelas. Untuk itu setiap siswa harus
mempersiapkan dirinya.
c. Guru memberi soal-soal latihan
untuk dikerjakan di rumah secara individual.

118
BAB 5
METODE MENGAJAR MATEMATIKA
5.1 Defenisi Metode mengajar
Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal. Ini berarti metode digunakan untuk
merealisasikan proses belajar mengajar yang telah ditetapkan. Menurut
Abdurrahman Ginting, metode pembelajaran dapat diartikan cara atau
pola yang khas dalam memanfaatkan berbagai prinsip dasar pendidikan
serta berbagai teknik dan sumber daya terkait lainnya agar terjadi proses
pemblajaran pada diri pembelajar. Selanjutnya menurut Nana Sudjana
(2005: 76) metode pembelajaran adalah, “Metode pembelajaran ialah
cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan
siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Kemudian M. Sobri
Sutikno (2009: 88) menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara
menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi
proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Serta Gerlach dan Elly ( 80:14) berpendapat bahwa metode pembelajaran
dapat diartikan sebagai rencana yang sistematis untuk menyampaikan
informasi.
Berdasarkan definisi/ pengertian metode pembelajaran yang
dikemukakan tersebut di atas dapat disimpulkan metode pembelajaran
adalah suatu cara atau strategi yang dilakukan oleh seorang guru agar
terjadi proses belajar pada diri siswa untuk mencapai tujuan, dengan kata
lain metode pembelajaran adalah teknik penyajian yang dikuasai oleh
seorang guru untuk menyajikan materi pelajaran kepada murid di dalam
kelas baik secara individual atau secara kelompok agar materi pelajaran

119
dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh murid dengan baik.
Khusus metode pembelajaran di kelas, efektifitas metode dipengaruhi
oleh faktor tujuan, faktor siswa, faktor situasi dan faktor guru itu sendiri.
Dengan demikian metode dalam rangkaian sistem pembelajaran
memegang peran yang sangat penting, karena keberhasilan pembelajaran
sangat tergantung pada cara guru dalam menggunakan metode
pembelajaran.
Banyak metode yang bisa dipilih oleh seorang guru dalam
kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu setiap guru yang akan
mengajar diharapkan untuk memilih metode yang baik. Karena Baik dan
tidaknya suatu metode yang akan digunakan dalam proses belajar
mengajar terletak pada ketepatan memilih suatu metode sesuai dengan
tuntutan proses belajar mengajar. Adapun ciri-ciri metode yang baik
untuk proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
 Bersifat luwes, fleksibel dan memiliki daya yang sesuai dengan
watak murid dan materi
 Bersifat fungsional dalam menyatukan teori dengan praktik dan
mengantarkan murid pada kemampuan praktis.

 Tidak mereduksi materi, bahkan sebaliknya mengembangkan


materi.

 Memberikan keleluasaan pada murid untuk menyatakan


pendapat.

 Mampu menempatkan guru dalam posisi yang tepat, terhormat


dalam keseluruhan proses pembelajaran.
Sedangkan dalam penggunaan suatu metode pembelajaran harus
memperhatikan beberapa hal berikut :

120
 Metode yang digunakan dapat membangkitkan motif, minat atau
gairah belajar murid.

 Metode yang digunakan dapat menjamin perkembangan kegiatan


kepribadian murid.

 Metode yang digunakan dapat memberikan kesempatan kepada


murid untuk mewujudkan hasil karya.

 Metode yang digunakan dapat merangsang keinginan siswa untuk


belajar lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi.

 Metode yang digunakan dapat mendidik murid dalam teknik


belajar sendiri dan cara memperoleh ilmu pengetahuan melalui
usaha pribadi.

 Metode yang digunakan dapat meniadakan penyajian yang bersifat


verbalitas dan menggantinya dengan pengalaman atau situasi yang
nyata dan bertujuan.

 Metode yang digunakan dapat menanamkan dan mengembangkan


nilai-nilai serta sikap-sikap utama yang diharapkan dalam
kebiasaan cara bekerja yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa suatu
metode yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar bisa
dikatakan baik jika metode itu bisa mengembangkan potensi
peserta didik.
Dalam proses belajar mengajar, guru dalam menentukan metode
hendaknya tidak asal pakai, guru dalam menentukan metode harus

121
melalui seleksi yang sesuai dengan perumusan tujuan pembelajaran.
Metode apapun yang dipilih dalam kegiatan belajar mengajar hendaklah
memperhatikan ketepatan (efektifitas) metode pemebelajaran yang
digunakan dalam proses belajar mengajar. Ketika mengajar sebaiknya
guru tidak mendominasi kegiatan anak. Guru dapat memberikan kegiatan
yang dapat memberi kesempatan pada anak mengobservasi sesuatu.
Ketika seorang guru dalam memilih metode pembelajaran untuk
digunakan dalam praktik mengajar, maka harus mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut :
1. Tidak ada metode yang paling unggul karena semua metode
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan memiliki
kelemahan serta keunggulannya masing-masing.
2. Setiap metode hanya sesuai untuk pembelajaran sejumlah
kompetensi tertentu dan tidak sesuai untuk pembelajaran sejumlah
kompetensi lainnya.

3. Setiap kompetensi memiliki karakteristik yang umum maupun


yang spesifik sehingga pembelajaran suatu kompetensi
membutuhkan metode tertentu yang mungkin tidak sama dengan
kompetensi yang lain.

4. Setiap siswa memiliki sensitifitas berbeda terhadap metode


pembelajaran.

5. Setiap siswa memiliki bekal perilaku yang berbeda serta tingkat


kecerdasan yang berbeda pula.

6. Setiap materi pembelajaran membutuhkan waktu dan sarana yang


berbeda.

122
7. Tidak semua sekolah memiliki sarana dan fasilitas lainnya yang
lengkap.

8. Setiap guru memiliki kemampuan dan sikap yang berbeda dalam


menerapkan suatu metode pembelajaran.
Dengan alasan di atas, jalan terbaik adalah menggunakan
kombinasi dari metode yang sesuai dengan karakteristik materi yang
diajarkan, karakteristik siswa, kompetensi guru dalam metode yang akan
digunakan dan ketersediaan sarana prasarana dan waktu. Adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penentuan metode pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam
proses belajar mengajar harus menjadi perhatian utama bagi
seorang guru dalam menentukan metode apa yang dipakai (serasi).
2. Kemampuan guru. Efektif tidaknya suatu metode pembelajaran
juga sangat dipengaruhi pada kemampuan guru dalam
menggunakannya.
3. Misalnya seorang guru yang mahir dalam berbicara, maka bisa
menggunakan metode ceramah disamping metode yang lain
sebagai pendukungnya.
4. Anak didik. Guru dalam kegiatan belajar mengajar harus
memperhatikan anak didik. Karena mereka mempunyai
kemampuan, bakat, minat, kecerdasan, karakter, latar belakang
ekonomi yang berbeda-beda. Oleh karena itu dengan latar belakang
yang berbeda-beda guru harus pandai dalam menentukan metode
pembelajaran yang akan digunakan.
5. Situasi dan kondisi proses belajar mengajar dimana berlangsung.
6. Situasi dan konsidi proses belajar mengajar yang berada
dilingkungan dekat pasar yang ramai akan berdampak pada metode
pembelajaran yang akan digunakan. Sehingga guru bisa

123
menentukan metode pembelajaran yang sesuai di lingkungan
tersebut.
7. Fasilitas yang tersedia. Tersdianya fasilitas seperti, alat peraga,
media pengajaran dan fasilitas-fasilitas lainnya sangat menentukan
terhadap efektif tidaknya suatu metode.
8. Waktu yang tersedia. Disamping hal-hal di atas, masalah waktu
yang tersedia juga harus diperhatikan. Apakah waktunya cukup
jika menggunakan metode yang akan dipakai atau tidak.
9. Kebaikan dan kekurangan suatu metode. Dari masing-masing
metode yang ada, tentu memiliki kebaikan dan kekurangan.
Kekurangan suatu metode bisa dilengkapi dengan metode yang
lain. Oleh karena itu guru harus bisa mepertimbangkan metode
mana yang akan digunakan.
Adapun prinsip-prinsip penentuan metode dalam proses belajar
mengajar adalah sebagai berikut :
1. Prinsip motivasi dan tujuan belajar. Motivasi memiliki kekuatan
yang sangat dahsyat dalam proses belajar mengajar. Belajar tanpa
motivasi seperti badan tanpa jiwa. Demikian juga tujuan, proses
belajar mengajar yang tidak mempunyai tujuan yang jelas akan
tidak terarah.
2. Prinsip kematangan dan perbedaan individual. Semua
perkembangan pada anak memiliki tempo yang berbeda-beda,
karena itu setiap guru agar memperhatikan waktu dan irama
perkembangan anak, motif, intelegensi dan emosi kecepatan
menangkap pelajaran, serta pembawaan dan faktor lingkungan.
3. Prinsip penyediaan peluang dan pengalaman praktis. Belajar
dengan memperhatikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi
anak didik dan pengalaman langsung akan lebih memiliki makna
dari pada belajar verbalistik.

124
4. Integrasi pemahaman dan pengalaman. Penyatuan pemahaman
dan pengalaman menghendaki suatu proses pembelajaran yang
mampu menerapkan pengalaman nyata dalam suatu proses belajar
mengajar.
5. Prinsip fungsional. Belajar merupakan proses pengalaman hidup
yang bermanfaat bagi kehidupan berikutnya. Setiap belajar
nampaknya tidak bisa lepas dari nilai manfaat, sekalipun bisa
berupa nilai manfaat teoritis atau praktis bagi kehidupan sehari-
hari.
6. Prinsip penggembiraan. Belajar merupakan proses yang terus
berlanjut tanpa henti, tentu seiring kebutuhan dan tuntutan yang
terus berkembang. Berkaitan dengan kepentingan belajar yang
terus menerus, maka metode mengajar jangan sampai memberi
kesan memberatkan, sehingga kesadaran pada anak untuk belajar
cepat berakhir.

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip penentuan metode


pembelajaran di atas, diharapkan dalam proses belajar mengajar dapat
lebih efektif dan efisien dan dapat mengoptimalkan tercapainya tujuan
yang hendak dicapai, karena dengan memperhatikan prinsip-prinsip
tersebut seorang guru bisa mempertimbangkan mana metode yang sesuai
yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar.

5.2 Jenis – Jenis Metode Mengajar Matematika

5.2.1 Metode Ceramah

Metode ceramah adalah metode yang paling populer dan banyak


dilakukan oleh guru, selain mudah penyajian juga tidak banyak
memerlukan media (Sumantri M dkk, 2000:136). Hal ini menunjukkan
adanya kecenderungan menganggap bahwa metode ceramah itu mudah

125
dalam penggunaannya dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Karena dianggap metode yang popular dan banyak dilakukan oleh guru,
maka kecenderungan untuk menganggap metode tersebut mudah
diterapkan di kelas semakin bertambah juga.
Metode ceramah yang dianggap sebagai penyebab utama dari
rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran memang patut
dibenarkan, tetapi juga anggapan itu sepenuhnya kurang tepat karena
setiap metode , baik metode pembelajaran klasik termasuk metode
ceramah maupun metode pembelajaran modern sama-sama mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang saling melengkapi satu
sama lain. Fakta bahwa metode ceramah itu sangat dipengaruhi oleh
pribadi guru yang bersangkutan tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Seorang guru harus memiliki keterampilan yang cukup untuk
menggunakan metode ceramah dalam proses belajar di kelas. Hal senada
diungkapkan oleh Dimyati dkk (1999:28) bahwa metode ceramah itu
sangat dipengaruhi oleh personalitas guru yaitu suara, gaya bahasa,
sikap, prosedur, kelancaran, kemudahan bahasa, keteraturan guru dalam
memberikan penejelasan yang idak dapat dimiliki secara mudah oleh
setiap guru.
Metode ceramah itu sendiri pada dasarnya memiliki banyak
pengertian dan jenisnya. Berikut ini beberapa pengertian dari metode
ceramah menurut beberapa ahli, antara lain :
1. Menurut Winarno Surahmad, M.Ed, ceramah adalah penerangan
dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelasnya, sedangkan
peranan murid mendengarkan dengan teliti, serta mencatat yang
pokok dari yang dikemukakan oleh guru.
2. Metode ceramah menurut Gilstrap dan Martin 1975 : ceramah
berasal dari bahasa latin yaitu Lecturu, Legu ( Legree, lectus) yang
berati membaca kemudian diartikan secara umum dengan mengajar
sebagai akibat dari guru menyampaikan pelajaran dengan

126
membaca dari buku dan mendiktekan pelajaran dengan
penggunaan buku.

3. Sumantri M dkk (2000:136) mendefinisikan metode ceramah


sebagai penyajian pelajaran oleh guru dengan cara memberikan
penjelasan secara lisan kepada peserta didik. Sedangkan Winarno
Surakhmad (1980:98) mengartikan metode ceramah sebagai
sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan secara
lisan oleh seorang terhadap sekelompok pendengar. Alat utama
perhubungan dengan kelompok pendengar adalah bahasa lisan.
4. Sementara itu Dimyati dkk (1991:29) menungkapkan bahwa
metode ceramah adalah sebuah bentuk interaksi belajar mengajar
yang dilakukan melalui penjelasan dan penuturan secara lisan oleh
guru terhadap sekelompok peserta didik. Sekanjutnya, metode
ceramah adalah suatu cara penyajian bahan ajar atau cara mengajar
melalui penjelasan atau penuturan secara lisan oleh guru kepada
peserta didik (PS Widi Rahardjo, 2002: 52).
5. Menurut M Basyiruddin Usman (2002), metode ceramah adalah
teknik penyampaian pesan pengajaran yang sudah lazim
disampaikan oleh para guru di sekolah. Ceramah diartikan sebagai
suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru bilamana
diperlukan.
6. Muhibbin Syah (2000), metode ceramah dapat dikatakan sebagai
satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan
informasi dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur
atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham
siswa.
7. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang dimaksud metode
ceramah adalah cara belajar mengajar yang menekankan pada
pemberitaan satu arah dari pengajar kepada pelajar (pengajar aktif,
pelajar pasif).

127
Dari beberapa pendapat para ahli diatas metode ceramah adalah
cara menyampaikan sebuah materi pelajaran atau informasi dengan
penuturan lisan kepada siswa. Metode ceramah yaitu penerapan dan
penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelasnya, dengan
menggunakan alat bantu mengajar untuk memperjelas uraian yang
disampaikan kepada siswa. Metode ceramah ini sering kita jumpai pada
proses-proses pembelajaran di sekolah mulai dari tingkat yang rendah
sampai ke tingkat perguruan tinggi, sehingga metode seperti ini sudah
dianggap sebagai metode yang terbaik bagi guru untuk melakukan
interaksi belajar mengajar. Satu hal yang tidak pernah menjadi bahan
refleksi bagi guru adalah tentang efektifitas penggunaan metode ceramah
yaitu mengenai minat dan motivasi siswa, bahkan akhirnya juga
berdampak pada prestasi siswa.
Metode ceramah juga disebut juga kegiatan memberikan
informasi dengan kata-kata. Pengajaran sejarah, merupakan proses
pemberian informasi atau materi kepada siswa serta hasil dari
penggunaan metode tersebut sering tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Makna dan arti dari materi atau informasi tersebut terkadang
ditafsirkan berbeda atau salah oleh siswa. Hal ini karena tingkat
pemahaman setiap siswa yang berbeda-beda atau dilain pihak guru
sebagai pusat pembelajaran kurang pandai dalam menyampaikan
informasi atau materi kepada siswa. Jenis-jenis metode ceramah, terdiri
dari metode ceramah bervariasi, metode ceramah campuran dan metode
ceramah asli.
Anggapan-anggapan negatif tentang metode ceramah sudah
seharusnya patut diluruskan, baik dari segi pemahaman artikulasi oleh
guru maupun penerapannya dalam proses belajar mengajar disekolah.
Ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan
penuturan lisan dari guru kepada peserta didik, dalam pelaksanaan
ceramah untuk menjelaskan uraiannya, guru dapat menggunakan alat-

128
alat bantu media pembelajaran seperti gambar dan audio visual lainnya.
Definisi lain ceramah menurut bahasa berasal dari kata lego (bahasa
latin) yang diartikan secara umum dengan “mengajar” sebagai akibat
guru menyampaikan pelajaran dengan membaca dari buku dan
mendiktekan pelajaran dengan menggunakan buku kemudian
menjadi lecture method atau metode ceramah. Definisi
metode ceramah diatas, bila langsung diserap dan diaplikasikan tanpa
melalui pemahaman terlebih dahulu oleh para guru tentu hasil yang
didapat dari penerapan metode ini akan jauh dari harapan, seperti halnya
yang terjadi dalam problematika saat ini. Hampir setiap guru
menggunakan metode ceramah yang jauh dari kaidah-kaidah metode
ceramah seharusnya.
Metode ceramah dalam proses belajar mengajar sesungguhnya
tidak dapat dikatakan suatu metode yang salah. Hal ini dikarenakan
model pengajaran ini seperti yang dijelaskan diatas terdiri dari beberapa
jenis, yang nantinya dapat dieksploitasi atau dikreasikan menjadi suatu
metode ceramah yang menyenangkan, tidak seperti pada metode
ceramah klasik yang terkesan mendongeng. Metode ceramah dalam
penerapannya di dalam proses belajar mengajar juga memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan, antara lain :
Kelemahan :
1. Mudah menjadi verbalisme.
2. Yang visual menjadi rugi, dan yang auditif (mendengarkan) yang
benar-benar menerimanya.

3. Bila selalu digunakan dan terlalu digunakan dapat membuat


bosan.

4. Keberhasilan metode ini sangat bergantung pada siapa yang


menggunakannya.

129
5. Cenderung membuat siswa pasif
Kelebihan :
1. Guru mudah menguasai kelas.

2. Mudah mengorganisasikan tempat duduk / kelas.

3. Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar.

4. Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya.

5. Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik.

6. Lebih ekonomis dalam hal waktu.

7. Memberi kesempatan pada guru untuk menggunakan


pengalaman, pengetahuan dan kearifan.

8. Dapat menggunakan bahan pelajaran yang luas

9. Membantu siswa untuk mendengar secara akurat, kritis, dan


penuh perhatian.

10. Jika digunakan dengan tepat maka akan dapat menstimulasikan


dan meningkatkan keinginan belajar siswa dalam bidang
akademik.

11. Dapat menguatkan bacaan dan belajar siswa dari beberapa s

5.2.2 Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi yaitu metode yang berpusat pada pendidik


atau mengajar didominasi oleh pendidik. Namun masih dapat melibatkan

130
siswa yang lebih banyak, metode ini ini mengandung unsur penonjolan
kebolehan guru,contohnya mendemonstrasikan pembuktian teorema-
teorema dalam matematika atau membuktikan sebuah rumus dalam
matematika,bisa juga menyelesaikan masalah berupa soal cerita.
Pada lembaga perguruan tinggi keguruan metode ini banyak
dipergunakan dari pada institusi non kependidikan, sebab pada institusi
pendidikan guru, bukan saja dosen harus mampu mendemonstrasikan
bagaimana cara mengajar, bertanya ,menjawab pertanyaan,memimpin
diskusi , menulis di papan tulis, membuat perisapan mengajar,
menggunakan kalkulator, menggunakan alat peraga, dan lain – lain.
Bahkan mahasiswanya yang nantinya adalah seorang guru harus dapat
berbuat demikian. Pada saat guru memberikan demonstrasi, calon guru
dapat mengajukan pertanyaan langsung. Kemudian ia dapat mencoba
sendiri meniru demonstrasi yang telah dicontohkan tersebut, misalnya
dengan simulasi, mengajar teman (peer teaching), bermain peran dan
praktek mengajar. Dengan mencoba sendiri ia akan memperoleh banyak
pengalaman.
Seorang guru atau calon gur dalam mendemonstrasikan sesuatu
itu, misalnya bagaimana sebaiknya berdiri d depan kelas, dalam
persiapannya ia harus berbuat seperti kalau ia akan mengajar.
1. Merumuskan tujuan pembelajaran
2. Membuat alat evaluasi
3. Memilih Topik
4. Memilih alat peraga ata pengajaran
5. Menentukan waktu
6. Melakukan langkah – langkah mengajar
7. Melakukan Evaluasi
Kegiatan yang penting kita lakukan setelah selesainya suatu
demonstrasi ialah diskusi tentang demonstrasi yang baru saja
dilakukan,baik yang telah dilakukan guru maupun oleh calon guru. Pada
waktu mengomentari hasil demnstrasi seseorang kadang –kadang tejadi

131
perbedaan pendapay. Menurut pengamat tertentu ia melakukan tindakan
atau mengucapkan sesuatu yang keliru, sedangkan menurt yang
berkepentingan tidak, karena itu alangkah baiknya kalau dalam kegiatan
semacam itu dbuat rekamannya. Alat rekaman ini selain menjadi alat
pelerai, juga dapat dignakan oleh calon guru untuk peningkatan
kemampuannya.
5.2.3 Metode Ekspositori

Metode ekspositori ini adalah metode yang masih serumpun


dengan metode demonstrasi dan ceramah, karena sifatnya yang masih
sama yaitu guru memberikan informasi atau pengajaran berpusat kepada
guru di mana guru menjelaskan materi pelajaran, siswa diberikan
kesempatan bertanya, kemudian mengerjakan latihan, dan siswa belajar
secara sendiri-sendiri.
Suherman, dkk (2003) menyatakan bahwa metode ekspositori itu
sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan kepada
guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode
ekspositori dominasi guru berkurang, karena guru tidak terus menerus
berbicara. Guru berbicara pada awal pelajaran, pada topik yang baru, dan
menerangkan materi dan contoh-contoh soal. Siswa tidak hanya
mendengar dan membuat catatan, tetapi juga membuat soal latihan dan
bertanya kalau tidak mengerti.

Pada metode ekspositori ini, setelah guru memberikan informasi,


selanjutnya guru mulai memberikan konsep, mendemonstrasikan
keterampilannya mengenai pola, aturan, dan dalil-dalil tentang konsep
yang diajarkan, siswa diberikan kesempatan bertanya, guru memeriksa
apakah siswa sudah memahami materi yang diajarkan atau belum.
Selanjutnya guru memberikan beberapa contoh aplikasi konsep dan
siswa diminta untuk mengerjakannya, untuk selanjutnya meminta siswa

132
menyelesaikan soal-soal aplikasi tersebut di papan tulis atau di mejanya.
Dengan demikian siswa mungkin ada yang bekerja secara individual
tetapi juga tidak menutup kemungkinan siswa akan bekerja sama dengan
teman-teman yang dekat dengan tempat duduknya, dan sedikit ada tanya
jawab dalam proses tersebut, baik terjadi antara siswa ke siswa, antara
siswa ke guru, ataupun sebaliknya antara guru ke siswa. Pada kegiatan
akhir, siswa mencatat materi yang telah diterangkan guru yang mungkin
juga dilengkapi dengan soal-soal pekerjaan rumah.

Melihat penjelasan di atas, tentunya metode ekspositori itu adalah


metode mengajar yang biasa kita pakai dalam pengajaran matematika di
dalam kelas. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi (1988) yang
menyatakan bahwa metode ekspositori adalah sama dengan cara
mengajar yang biasa (tradisional) yang kita pakai pada pengajaran
matematika. Berkenaan dengan metode ekspositori Ausubel (Ruseffendi,
1988) percaya bahwa cara ekspositori (ceramah) merupakan cara belajar
yang paling efektif dan efisien yang dapat menyebabkan siswa belajar
secara bermakna.
Karakteristik metode ekspektori adalah pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari
seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa
dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Metode ekspositori
merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi
kepada guru, Sanjaya (2008: 179) mengatakan bahwa, Karakteristik
metode ekspositori. Pertama, metode ekspositori dilakukan dengan cara
menyampaikan materi pelajaran secara verbal. Kedua, biasanya materi
pembelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi,
seperti data atau fakta, konsep – konsep tertentu tertentu yang harus

133
dihafal sehingga tidak menuntut siswa berpikir ulang. Ketiga, tujuan
utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.

5.2.4 Metode Pemberian Tugas

Perkataan “pemberian tugas” tidak asing lagi bagi kita .


Minimum arti dari pemberan tugas itu ialah menyuruh menyelesaikan
soal –soal dirumah. Dalam pelajaran matematika tugas PR ( Pekerjaan
Rumah) itu sering sekali.

Apakah sebenarnya “ pemberian tugas itu?.


Bukanlah menyuruh belajar kemudian ditanya, menyuruh diskusi
dan melaporkan hasilnya, menyuruh membaca didalam hati lalu ditanya,
mengintisarikan suatu pembicaraan dan menyuruh menceritakan, dan
semacamnya itu juga pemberian tugas?
Sebenarnya itulah arti dari pemberian tugas yang sangat luas,
mulai dari arti yang paling sederhana sekali, contohnya menyuruh
berfikir dikelas sampai kepada yang paling kompleks, contohnya
mengerjakan tugas dengan metode proyek, apakah metode tugas itu
(tugas menghafal, menyimak suatu yang akan ditanya kemudian), apakah
metode tugas itu membuat makalah (tugas tulisan) , apakah metode tugas
itu diskusi yang hasilnya akan ditanyakan, itu semuanya sama yaitu
suatu cara yang menggunakan metode pemberian tugas.
Jadi karakteristik metode tugas ialah adanya tugas dan adanya
pertanggungjawaban dari yang diberi tugas. Apakah tugas itu berupa
perintah (guru otoriter), hasil kompromi atau keinginan siswa dan apakah
hasil kerjanya lisan atau tulisan sama saja namanya adalah metode
pemberian tugas.
Kesukaran yang biasanya kita hadapi ialah dalam penilaian
terhadap individual yang bekerja kelompok. Bila kita tidak menyaksikan

134
kita tidak mengetahui partisipasi dari laporan siswa yang merupakan
tulisan: apakah tulisannya sendiri atau bauatan orang lain, karena itu agar
penilaian kita lebih objektif dan timbul rasa tanggung jawab dari siswa
kita perlu mengajukan beberapa buah pertanyaan tentang hasil tugasnya
itu.
Dalam pemberian tugas rumah , dimaksud agar selain untuk
penguatan, juga untuk menimbulkan sikap positif terhadap matematika,
karena itu dianjurkan untuk tidak memberikan tugas terlalu berat atau
sukar dan sering, sehingga menyebabkan sikap siswa menjadi negatif
karena tidak ada waktu untuk bermain, tidur terpaksa terlambat, bangun
harus pagi –pagi sekali mencari orang lain yang dapat menolong dan
lain lain. Ingat bahwa yang memberitahu tugas itu bukan kita saja, bila
tugas (soal) itu terlalu banyak sama jeleknya. Soal – soal mudah yang
banyak akan menjemukan , soal – soal sukar yang banyak menjadikan
siswa frustasi.
Selain daripada soal –soal biasnya yang dijadikan tugas (PR)
siswa dalam matematika, guru dapat memilih topik menarik yang dapat
mereka pelajari (baca) atau ciptakan. Misalnya menciptakan sistem
numerasi baru, membuat percobaan serta alat – alatnya untuk memeriksa
apakah anak sudah memahami konsep kekekalan, membuat statistik
tentang rata – rata banyaknya anak setiap keluarganya dan lain – lain.
Tugas ini dapat tugas kelompok atau individu.

5.2.5 Metode Discovery (Penemuan)

Bagian terbesar dari matematika yang anak – anak pelajari di


sekolah tidak diperoleh melalui penemuan, tetapi diperoleh melalui
pemberitahuan, bacaan, meniru, melihat,mengamati dan semacamnya.
Misalnya, kebanyakan anak mengetahui bahwa pembagian dua bilangan

135
bulat negatif adalah bilangan positif itu bukan dari penemuan teteapi
diberitahu. Bila siswa belajar menemukan sesuatu dikatakan ia belajar
melalui penemuan. Bila guru mengajar siswa tidak dengan memberi tahu
tetapi memberikan kesempatan atau berdialog dengan siswa agar ia
menemukan sendiri, cara guru mengajar demikian disebut metode
penemuan.
Penemuan yang dimaksud disini bukan penemuan sungguh –
sungguh, sebab apa yang ditemukan itu sebenarnya sudah ditemukan
oleh orang lain. Jadi penemuan di sini ialah penemuan bagi siswa yang
bersangkutan saja. Belajar melalui metode penemuan berpusatkan
kepada anak didik. Cara in bukan merupakan cara baru, sejak lama sudah
diketahui dan digunakan orang dimana Socrtes sebagai pemulanya.
Metode mengajar penemuan adalah metode mengajar yang
mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh
pengetahuan yang sebelumnya belum diketahui nya melalui penemuan ia
sendiri. Pad metode penemuan ini bentuk akhir dari yang akan
ditemukan itu tidak diketahui misalnya dalam menemukan rumus luas
segitiga, dengan metode penemuan , siswa belum mengetahui bahwa
rumus luas segitiga adalah setengah kali panjang alas kali tinggi segitiga
tersebut. Siswa dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan sesuatu.
Pada metode penemuan, konsep, dalil,prosedur,algoritma dan
sejenisnya yang dipelajari siswa itu merupakan hal yang baru, belum
diketahui sebelumnya, tetapi gurunya sendiru sudah tahu apa yang akan
ditemukan siswa tersebut. Dengan metode ini anak dengan
pengalamannya untuk sampai kepada konsep yang harus ditemukan itu,
oleh karena itu metode penemuan ini sukar diorganisasikan dari
permulaan sebab sangat bergantung pada kemampuan siswa.

136
Pengajarannya harus disesuaikan dengan pengetahuan baru siswa yang
baru saja diperolehnya. Untuk mengurangi masalah ini pada umumnya
metode penemuan dibawakan melalui sedikit ekspositori kemudian
bekerja dalam kelompok.
Beberapa alasan penting mengapa belajar penemuan yaitu :
1. Pada kenyataannya ilmu –ilmu itu diperoleh melalui penemuan
2. Matematika adalah bahasa yang abstrak,konsep dan lain – lainnya
itu akan lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan
manipulasi dan berpengalaman dengan benda – benda kongkrit.
3. Melalui penemuan generalisasi yang akan diperoleh lebih bagus.
4. Dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
5. Setiap anak adalah makhluk kreatif
6. Menemukan sesuatu oleh sendiri dapat menumbuhkan rasa percaya
terhadap dirinya sendii, dapat meningkatkaan motivasi.
Terdapat beberapa petunjuk yang harus diperhatikan dalam
mengaplikasikan metode penemun sehingga penemuan yang dilakukan
siswa berhasil.
1. Yang dimaksud dengan menemukan pada metode penemuan hanya
berlaku bagi yang bersangkutan
2. Memikirkan dengan bagus, konsep yang akan ditemukan
3. Tidak semua materi dapat disajikan dengan menggunakan metode
penemuan
4. Metode penemuan itu memerlukan waktu relatif lebih banyak
5. Supaya tidak mengambil kesimpulan terlalu dini, berilah banyak
contoh – contohnya sebelum siswa mengambil kesimpulan
6. Bisa siswa sulit dalam mengenaralisasi, berilah bantuan kepada
siswa dengan menstimulisasi

137
7. Jangan Mengharapkan semua siswa mampu menemukan setiap
konsep yang kita untuk menemukannya
8. Lakukan pengecekan setiap kesimpulan yang ditemukan oleh siswa
9. Buatlah kegiatan sebagai aplikasi dari penemuan.
Penyajian materi dengan metode penemuan dapat dilakukan dalam
beberapa bentuk misalnya :
a. Dimulai dengan guru mengajukan beberapa persoalan atau
pertanyaan seperlunya, kemudian siswa mencari sendiri.
b. Memberikan gambar tanpa komentar untuk disimpulkan oleh anak
sendiri
c. Memberikan soal untuk sampai kepada suatu pola yang ditemukan
oleh siswa
d. Guru dan siswa dapat berdialog untuk menemukan sesuatu.

5.2.4 Metode Inkuiri

Metode inkuiri ialah metode mengajar yang serupa dengan


metode penemuan. Bedanya , pada metode penemuan biasanya
pembelajaran dengan penjelasan diawal sedikit dilanjutkan dengan
kelompok kecil, sedangkan inkuiri pembelajaran dimulai dengan
penjelasan awal, lanjut kelompok , individu. Pada metode penemuan ,
sesuatu yang akan ditemukan siswa telah diketahui oleh guru dan guru
membimbingnya, sama halnya dengan inkuiri, namun pada metode
inkuiri, penekanan hal yang penting adalah pada proses penemuannya
bukan hasil akhir penemuannya, guru berperan bukan hanya sebagai
pembimbing , tapi sebagai sumber informasi data yang menunjang siswa
dalam penemuannya.

Salah satu tujuan dari belajar melalui inkuiri adalah agar siswa
belajar metode ilmiah dengan inkuiri dan mampu menerapkannya dalam

138
situasi lain. Terdapat 4 kegiatan dalam melakukan pembelajaran dengan
metode inkuiri:
1. Siswa dirangsang oleh guru dengan permasalahan, pernyataan,
pertanyaan, permainan dan lain – lain
2. Atas rangsangan itu, siswa menentukan prosedur mencari dan
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk memecahkan
permasalahan, siswa bekerja sendiri atau berkemlompok.
3. Siswa menghayati tentang pengetahuan yang diperolehnya dari
metode inkuiri tersebut
4. Siswa mengadakan penganalisaan mengenai metode inkuiri dan
rossedur yang dteukan untuk dijadikan metode ummum yang
dapat diaplikasikan pada suasana baru.

5.2.5 Metode Diskusi

Pada metode yang masih berpusat kepad guru seperti metode


ceramah, ekspositori dan lainnya, komunikasi yang terjadi adalah
komunikasi satu arah saja dari guru ke murid. Cara ini sangat cocok
dipakai pada masa lampau semasa belum ada sumber belajar yang lain
selain dari guru itu sendiri. Tetapi sekarang, disamping guru sudah
banyak sumber lain yang dapat digunakan oleh peserta didik. Sehingga
metode belajar muncul dalam memanfaatkan fenomena ini salah satunya
adalah metode diskusi.

Komunikasi yang terjadi pada metode diskusi tidak hanya satu


arah, menjadikan komunikasi banyak arah. Metode diskusi menyebabkan
sumber pengetahuan itu tidak hanya datang dari seorang guru, bisa juga
dari sekelompok kecil siswa yang telah berdiskusi akan muncul
pengetahuan dari mereka, yang mereka dapatkan dari sumber lain.
Dalam metode ini guru dapat bertindak sebagai pencetus, pembimbing,

139
penengah , tutor atau pembantu, penilai , perumus atau pemimpin
diskusi. Dalam sebagai pemimpin diskusi guru memberikan kesempatan
kepada setiap anak untuk berpendapat, bahkan anak yang dalam katagori
pendiam sekalipun, guru harus punya cara agar si anak dapat
berpendapat, dan membatasi si anak yang selalu mendominasi dalam
proses diskusi.
Dalam diskusi siswa dituntut untuk selalu aktif berpartisipasi,
siswa dilatih berpikir kritis, siap mengemukakan pendapat dengan tepat,
berfikir secara obyektif dan menghargai pendapat orang lain. Dengan
demikian maka metode diskusi merupakan metode mengajar yang tepat
bagi masyarakat demokrasi. Penerapan metode ini akan menumbuhkan
pribadi – pribadi yang demokratis. Metode ini juga efektif dalam
meningkatkan pemahaman dan kemampan pemecahan masalah karena
setiap siswa digali terus akan kefahamannya tentang suatu hal dalam
memecahkan setiap persoalan yang diberikan.
Metode diskusi dapat membantu atau melangkapi metode
ceramah dari sudut bertambahanya sumber belajar, bila siswa (peserta
didik) memperoleh pengetahuan yang akan dibicarakan melalui sumber
lain. Dengan demikian siswa akan mampu berdiskusi tentang materi
khususnya materi matematika, setidak –tidaknya memahami topik yang
akan dibicarakan itu dari hasil bacaannya. Mengingat matematika ini,
juga ilmu – ilmu eksakta lainnya termasuk ilmu yang konsensusnya
tinggi maka metode diskusi ini lebih tepat dipergunakan untuk ilmu-ilmu
non eksakta. Pada instansi pendidikan metode diskusi in efektif pada
materi – materi kependidikan.
Berdasarkan dari kelibatan guru,metode diskusi dalam kelas
dapat dikelompokkan kedalam 4 macam diskusi.

140
1. Diskusi yang dimulai oleh guru berbicara untuk melihat sampai
berapa jauh materi atau konsep matematika yang telah diberikan
sudah dikuasai.
2. Tipe kedua diskusi yang juga dimulai oleh guru. Tetapi tujuannya
selain untuk mengetahui penguasaan konsep yang sudah diberikan,
juga untuk melihat konsep – konsep baru sebagai tambahan, tetapi
disini dialog itu terjadi bukan saja antara guru dan murid tertentu
tetapi juga antara guru dan murid lain.
3. Diskusi tipe ketiga ialah diskusi di mana guru memberikan
persoalan kemudian terjadi diskusi antara guru dan murid tentang
penyelesaian persoalan itu. Disini terjadi keseimbangan antara
keterlibatan guru dan murid dalm semua kegiatan.
4. Diskusi yang berorientasikan kepada pencarian permasalahan.
Tujuan, isi, kegiatan, dan arah diskusi ditentukan oleh siswa, tipe
diskusi yang berpusat kepada siswa.
Bila seorang guru yang memimpin diskusi dalam kelas,
sebaiknya sifat otoriter ditiadakan, sebaliknya harus mengedepankan
sifat sabar , toleransi, membagi keinginan dengan siswa. Karena dalam
proses diskusi mungkin sja siswa yang menentukan tujuan,memilih topik
dan menggunakan sumber belajar yang berbeda. Guru atau pendidikan
dalam metode diskusi harus memiliki sifat sebagai pengayom,pelerai
seperti seorang wasit. Dengan demikian dalam pelaksanaan metode
diskusi sebaiknya :
1. Tidak dipergunakan untuk menyampaikan informasi , sebab cara
ini kurang efektif dan kurang efisirn
2. Dipergunakan untuk topik matematika sederhana dan mudah
difahami.

141
3. Dipergunakan untuk menimbulkan sikap demokrasi
4. Berhati – hati bila dipergunakan untuk kelompok orang yang
berkarakter tidak baik
Dalam suatu proses diskusi diharapkan adanya pergantian dalam
berpendapat, sedapat mungkin setiap peserta ikut berbicara. Dalam kelas
yang berkapasitas tinggi sulit dilakukan mdel diskusi seperti biasa,
sehingga dilakukan pengaturan diskusi yang tepat agar diskusi lebih
teratur. Mungkin kita memerlukan pembagian kelompok diskusi yang
lebih kecil karena dharapkan adanya partisipasi yang lebih dari peserta.
Berdasarkan kondisi ruangan,materi yang disajikan, cara
pembahasan materi pengorganisasian diskusi , tujuan diskusi, dan lail –
lain, maka terdapat 4 jenis diskusi yaitu :
a. Diskusi Panel
b. Simposium
c. Lokakarya
d. Seminar.
(a) Diskusi Panel
Karakteristik dari diskusi panel ialah adanya beberapa pembicara
utama yang dianggap ahili atau berpengalaman yang disebut dengan
panelis.Panelis – panelis ini mngemukakan pendapatnya sesuai dengan
pendapatnya masing – masing. Yang tidak harus sejalan dalam
berpendapat, bahkan pembiacara utam tersebut diatur agar saling
bertentangan sehingga diskusipun semakin lebih menarik.
Pimpinan diskusi panel biasa disebut dengan moderator yang
bertindak sebagai pengatur pembicaraan, mempekenalkan para panelis,
mengajukan permasalahan yang akan di diskusikan. Peserta lainnya yang
duduk berhadapan dengan panelis mengajukan pertanyaan atau

142
pernyataan yang dianggap perlu baik oleh modertor maupun oleh peserta
lainnya .
Pada diskusi panel tidak perlu adanya peumusan sebagai
kesimpulan bersama,tetapi para pesert dapat diber tugas untuk
pemantapan,pemikiran lebih lanjut,membuat kesimpulan. Materi yang
baik untuk dalam diskusi panel misalnya, pengajaran matematika yang
terkini, masalah matematika bagi anak didik, karakter guru yang
berkompeten.
(b) Simposium
Dalam diskusi yang berupa simposium, terdapat juga beberapa
orang sebagai ahli, biasanya,agar simposium ini berhasil maka materi
yang dibahas dikumpas tuntas oleh ahli hingga terang benderang , sebab
sebelumnya ahli telah mempersiapan bahan atau materi, selanjutnya
terjadi penyanggahan yang dilakukan oleh penyanggah utama, setelah
terjadi penyanggahan kemudian dilakukan pandangan umum dengan
pelemparan pertanyaan dari peserta yang lain.
(c) Lokakarya
Istilah lokakarya menjadi trend belakangan ini, sebenarnya kata
lain dari kata lokakarya ini adalah musyawarah kerja atau dalam bahasa
inggris kita kenal dengan istilah “workshop”. Berbeda dengan diskusi
panel dan simposium,kegiatan lokakarya ini umumunya menggunakan
waktu yang relatif lebih lama.
Masalah yang dibahas pada lokakarya adalah sejenis dan pada
akhir kegiatan harus ada sesuatu produk , peserta lokakarya telah
memahami sasaran yang dicapai pada kegiatan lokakarya. Dalam
kelompok kecil peserta lokakarya berdiskusi untuk menyelesaikan soal

143
yang diberikan. Contoh lokakarya yaitu lokakarya penyususnan sialbus
matematika berbasis kurikulum 2013.

(d) Seminar
Apakah perbedaan seminar dan lokakarya?
Seminar adalah pertemuan ilmiah yang melakukan pembahasan
masalah yang sesuai dengan tema pada acara seminar tersebut,berbeda
pada lokakarya, terdapat beberapa anggota seminar yang hanya berperan
sebagai pendengar seminar saja, tidak memberikan ide yang dipaparkan
mata seminar, sedangkan pada lokakarya setiap peserta wajib
memberikan produk yang dihasilkan selama mengikuti lokakarya. Pada
seminar, ide yang dimunculkan pada acara berupa makalah – makalah
yang akan dipaparkan.
Beberapa kelebihan metode diskusi yang dapat kita lihat yaitu :
1. Memotivasi anak untuk berbicara dengan
bahasa yang baik,belajar mengemukakan pendapat dengan tepat
dalam waktu yang relatif singkat dan belajar menanggapi
penddapat orang lain dengan benar. Tentunya latihan begini adalah
hal yang penting buat calon guru.
2. Berlatih memcahkan masalah
3. Lebih efektif dalam mengubah sikap siswa
dibandingkan dengan cara ceramah. Siswa lebih aktif,lebih faham,
dan kreetif.
4. Siswa turut dalam menentukan tujuan,
topik,permasalahan, sumber dan lain -lain

5.2.8 Metode Laboratorium

144
Metode laboratorim adalah cara mengajar yang dapat dilakukan
dalam ruangan labortaorium, menurut Russeffendi (1988 :317) bahwa
metode laboratorium adalah pengajaran yang dilakukan dengan
menggunakan metode laboratorium, berkaitan dengan materi apapun
yang dibahasnya. Metode laboratorium tidak hanya sebatas
mendemonstrasikan ,menyelesaikan tugas –tugas sederhana, namum
metode ini menyangkut kejadian atau unsur yang harus dapat diamati
atau dimanipulasikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
metode laboratorium adalah mengajar yang memberikan banyak
kesempatan kepada siswa untuk memahami objek langsung, seperti
objek matematika dengan jalan mengkaji, menganalisis
menemukan,merumuskan dan mengetes hipotesis.

Kerja dengan metode laboratorium ini dapat dilakukan secara


individu atau kelompok. Bila kegiatannya individual, siswa dilatih untuk
belajar bekerja sendiri tidak menggantungkan kepada orang lain. Bila
kita berpedoman kepada perhitungan banyaknya siswa yang dapat
mengingat pelajaran melalui telinga,mata dan berbuat, yaitu kita dapat
mengingat setengah dari apa yang kita lihat, sedengankan tigaperempat
dari apa yang diperbuat, maka dengan begitu metode laboratorium ini
adalah metode yang sangat penting untuk peserta didik.
Bebera kelebihan menggunakan metode mengajar laboratorium
diantaranya yaitu:
 Siswa dapat belajar fakta,keterampilan konsep, dalil atau teori
melalui manaipulasi benda – benda kongkrit
 Meningkatkan keinginan belajar siswa ,belajar mealui berbuat ,
menghayati dan menghargai metode ilmiah.

145
 Meningkatkan kemampuan pemecahan amasalah , membuat
analisis, sintesis dan evaluasi
 Mengubah pusat pembelajaran dari guru ke siswa, sehingga
mengurangi cara guru dengan ceramah,ekspositori atau
demonstrasi.
Dalam menerapkan metode mengajar laboratorium ini,kita harus
memperhatikan 3 hal berikut ini :
a. Tujuan Kegiatan Laboratorium itu
jelas,
b. Pengorganisasian kegiatan
laboratorim secara baik terpaut dengan kegiatan pengajaran pokok
c. Hindarkan kegiatan laboratorium
yang hanya membuang – buang waktu.

146
BAB 6

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

6.1 Pengertian dan Definisi Model Pembelajaran

Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang disusun


secara sistematis yang kemudia dijadikan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran (Arrends, 2012). Model pembelajaran akan
mengacu pada pendekatan pembelajaran yang digunakan, yang termasuk
didalamnya berupa tujuan pembelajaran, fase-fase kegiatan
pembelajaran, lingkungan belajar dan pengelolaan kelas. Arrends (2012),
menjelaskan “the term teaching model refers to a particular approach
to instruction that includes its goals syntax, environment and
management system”. Yang artinya bahwa model pembelajaran
mengarah pada pendekatan pembelajaran tertentu yang termasuk pada
tujuan, sintaks, lingkungan, dan sistem pengelolaan. Selanjutnya, Beliau
berpendapat bahwa suatau model pembelajaran memiliki empat ciri
utama, yaitu:

1. Teori rasional yang logis yang disusun oleh pengembang model


pembelajaran.

147
2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar agar
dapat mencapai tujuan pembelajaran.
3. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik.
4. Memerlukan lingkungan belajar dan pendukungnya.
Adapun model pembelajaran menurut Slavin (2010), model
pembelajaran merupakan suatu parameter terhadap suatu pendekatan
pembelajaran termasuk tujuan, sintaks, lingkungan dan sistem
pengelolaannya. Sedangkan itu, model adalah berupa kerangka
konseptual yang berupa prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu (Joyce dan Weil, 2009). Mereka juga berpendapat
“ Each model guides us as design intruction to help students achieve
various objects”, artinya, taip-tiap model membimbing guru dalam
merancang pembelajaran untuk membantu peserta didik memperoleh
berbagai tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, Model berfungsi
sebagai pedoman bagi para guru dalam merencanakan dan melaksanakan
aktiftitas belajar mengajar.
Setiap model pembelajaran harus memenuhi 4 unsur, yaitu: Sintaks
(syntax), sistem sosial (the social system), prinsip reaksi (principles of
reaction), sistem pendukung (support system) (Joyce dan Weil, 1986:14-
15). Sintaks adalah berupa tahap-tahap suatu model. Dimana tahap-tahan
tersebut akan dijadikan sebagai acuan dalam proses belajar mengajar,
mulai dari fase pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Adapun sistem
sosial dari suatu model adalah peran dan hubungan guru dan siswa
selama proses belajar berlangsung. Adakalanya pada suatu model siswa
berperan aktif menggali informasi sendiri sedangkan guru hanya sebagai
fasilitator. Selain itu, ada juga model yang memerankan siswa duduk

148
diam mendengarkan untuk mendapatkan informasi dari guru, dan guru
berperan sebagai sumber informasi.
Adapun unsur yang ketiga adalah prinsip reaksi, dimana pada
unsur ini menunjukkan bagaimana seorang guru seharusnya
memperlakukan dan bagaimana memberikan respon terhadap siswa.
Pada model pembelajaran tertentu, guru diharapkan memberikan respon
baik berupa penguatan, penilaian, ataupun memberi hadiah terhadap
prestasi siswa selama proses belajar. Sebaliknya, pada model yang lain
guru tidak diharuskan untuk memberikan penguatan, hadiah, dan lain
sebagainya. Adapun unsur terakhir adalah sistem pendukung, yaitu
berupa sarana prasarana, alat, media, dan bahan yang diperlukan uttuk
mendukung melaksanakan suatu model tertentu dalam kegitan belajar.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran sebagai kerangka konseptual berupa pola
yang tersusun secara sistematis dalam mengorganisasikan proses belajar
yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar yang bertujuan agar
siswa mampu memperoleh informasi, skill, gagasan, nilai, dan
mengembangkan cara nalar siswa. Model pembelajaran akan digunakan
oleh para guru untuk merencanakan proses belajar mengajar mulai dari
tahap perencanaan hingga pada tahap penutupan.
Selanjutnya, berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri model pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Model dibangun dan dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar
dan teori pendidikan. Misalnya, model penelitian kelompok
disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey.
2. Model yang dibangun memiliki misi dan tujuan khusus. Sebagai
contohnya, model induktif dirancang untuk mengembangkan
proses berpikir induktif.

149
3. Model yang dirancang secara umum dapat menjadi pedoman bagi
guru-guru untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran. Contohnya,
model pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk
memperbaiki kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
4. Jika model tertentu diterapkan akan setidaknya akan memberikan
dua dampak, yaitu: dampak Instruksional, yaitu berupa hasil
belajar yang terukur dan dampak pengiring, yaitu berupa hasil
belajar jangka panjang.
5. Suatu model terdiri dari 4 bagian, yaitu:
a. Sintaks (syntax)
b. Adanya prinsip reaksi
c. Sistem sosial

d. Dan sistem pendukung.

6.2 Pembagian Model Pembelajaran

Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap berbagai model-


model yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan, Bruce Joyce dan
Marsha Weil (1986) meyimpulkan bahwa model pembelajaran dapat
dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) kelompok model personal; 2)
kelompok model pengolahan informasi; 3) kelompok model sistem
perilaku; 4) kelompok model interaksi sosial. Model-model
pembelajaran tersbut dikembangkan berlandaskan pada beberapa aspek,
yaitu: teori-teori belajar dan pengetahuan, lingkungan, materi yang
dipelajari dan bagaimana cara belajar, perilaku dalam pembelajaran, dan
perilaku.

6.2.1 Kelompok Model Personal atau Pengembangan Pribadi (The


Personal Family)
Model pembelajaran kelompok personal berorientasi terhadap
pengembangan diri siswa. Model ini lahir didasari pada teori Humanisme

150
sejak tahun 1950-an, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh beraliran
humanistik, yaitu: Arthur Combs, Abraham Maslow (1962), james
Bugental (1964), Carl Ranson Rogers, Habermas, Kolb, Honey, dan
Mumford.

Munculnya teori belajar humanistik sangat erat kaitannya dengan


gerakan pendidikan humanistik yang menitik beratkan pada hasil afektif.
Belajar tentang bagaimana belajar dan belajar untuk meingkatkan
kreatifitas dan kempetensii yang dimiliki individu secara unik.
Menurut teori ini, keberhasilan belajar terjadi apabila peserta didik
memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Teori belajar memahami
perilaku belajar berdasarkan pada sudut pandang siswa, bukan dari sudut
pandang guru maupun pengamatnya.
Salah satu ide utama lahirnya teori ini adalah individu yang belajar
harus mampu untuk mengetahui dan memahami dirinya sendiri
bagaimana melakukan proses belajar (self rugulated learning), apa yang
diperlukan untuk dipelajari, kapan waktu yang tepat untuk belajar, dan
bagaimana mereka belajar. Siswa harus mampu memotivasi
mengarahkan diri sendiri untuk belajar.
Setidaknya ada enam tujuan utama model pembelajaran personel,
yaitu: 1) meningkatkan kesehatan mental dan emosional siswa melaui
pengembangan percaya diri dan pandangan realistik mengenai dirinya
sendiri, 2) melibatkan siswa untuk menentukan bagaimana dia belajar
dan apa yang perlu untuk dipelajarinya, 3) mengembangkan pemahaman
diri (self-consept), 4) meningkatkan kreatifitas, 5) meningkatkan
kemampuan ekspresi diri, dan 6) meningkatkan keterbukaan siswa
terhadap pengalaman baru.
Model-model pembelajaran yang tergolong ke dalam kelompok ini
diperlihatkan pada tabel berikut ini.

151
Model
Pengembang Tujuan Pembelajaran
Pembelajaran
Pembelajaran Carl Rogers Membangun pembentukan
tanpa arah (non- kemampuan berkembangan diri
directive) dalam arti kesadarn diri,
memahami diri, otonomi, percaya
diri, dan konsep diri..
Pertemuan Kelas William Peningkatan pemahaman dan
(Classroom Glasser tanggungjawab terhadap diri
Meeting) sendiri dan orang lain, agar dapat
saling berinteraksi dan membantu.
Sinektik Wiliam Peningkatan kompetensi
Gordon pemecahan masalah, kreatifitas,
dan berwawasan sosial.
Penemuan konsep David Hunt Meningkatkan fleksibilitas
seseorang dan dan kompleksitas
suatu konsep
Latihan kesadaran Fritrz Perls Peningkatan kemampuan
William kesadaran ekplorasi diri dan
Schutz memahami diri orang lain sebagai
pribadi yang unik
Aktualisasi diri Abraham Meningkatkan kemampuan
Maslow pemahaman terhadap diri sendiri
agar mampu mengaktualisasikan
dirinya.

6.2.2 Kelompok Model Pemrosesan atau Pengolahan Informasi

Teori kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985), beliau


memperkenalkan teori pemrosesan informasi yang termasuk dalam teori
kognitif tentang belajar yang menjelaskan bagaimana informasi diterima,
disimpan, dan diambil kembali dari otak. Selanjutnya teori ini
menjelaskan bahwa dalam pembelajaran terjadi proses menerima
informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan luaran berupa
hasil belajar. Sedangkan hasil pembelajaran merupakan luaran dari

152
pemprosesan berupa: 1) informasi-informasi verbal; 2) kompetensi
intelektual, 3) strategi kognitif, 4) sikap, dan 4) kecakapan motorik.

Selanjutnya, kelompok model pengolahan informasi (The


Information Processing Family) dikembangkan berdasarkan teori
perkembangan kognitif, dimana teori ini dibangun oleh Jean Piaget.
Menurut Piaget ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif, yaitu: 1). Lingkungan fisik; 2). Kematangan; 3). Pengaruh
sosial; dan 4). Piaget menjelaskan bahwa perubahan struktur kognitif
seseorang terjadi melalui adaptasi yang berimbang. Selain itu, Proses
kognitif menurut Piaget terdiri dari tiga tahap, yaitu: proses asimilasi,
proses akomodasi, dan dan proses ekuilibrum.
Kelompok model ini berorientasi pada kemampuan seseorang
memperoleh, menguasai, dan memproses informasi dalam pikiran siswa,
sehingga mampu menguasai informasi secara tuntas dan dapat
memperbaiki kemampuannya. Adapun model-model pembelajaran yang
termasuk kedalam kelompok model pengolahan informasi adalah model
latihan penelitian (Inquiry Training), model berpikir induktif (Inductive
Thinking), model penelitian ilmiah (Scientific Inquiry), model pemandu
awal (Advance Organizer), model memorisasi (Memorization), model
pencapaian koncep (Consept Attainment), dan model pengembangan
intelek (Developing Intelect). Berikut diberikan tabel mengenai model,
tokoh dan tujuan pembelajaran kelompok model pengolahan informasi.

Tabel. Kelompok model model pengolahan informasi

Model Inisiator Tujuan Pembelajaran

153
Pembelajaran
model latihan Richard Dirancang untuk membelajarkan siswa
penelitian Suchman dalam melakukan penelaran kausal. Selain
(Inquiry itu, bertujuan untuk meningkatkan rasa
Training) ingin tahu, kemampuan bertanya,
mengumpulkan informasi, mengolah
informasi, membangun hipotesis dan
konsep.
model berpikir Hilda Taba Dirancang untuk mengembangkan proses
induktif Bruce Joyce mental induktif dan penalaran akademik,
(Inductive yakni keterampilan mengklasifikasi,
Thinking) membuat dan menguji hipotesis, serta
memahami bagaimana membangun
pemahaman konseptual tentang materi ajar.
model Inkuiri Joseph J. Dirancang untuk meningkatkan
ilmiah Schwab keingintahuan terhadap suatu penomena,
(Scientific merancang eksplorasi, mengumpulkan data
Inquiry) kemudian menganalisisnya untuk
memahami penomena yang terjadi.
model Penata David Meningkatkan efisiensi kemampuan
Lajutan Ausubel pemrosesan informasi untuk meyerap dan
(Advance mengaitkan bidang-bidang pengetahuan.
Organizer)
model Belajar Michael Dirancang untuk meningkatkan
Pola Pressley, kemampuan memperoleh informasi,
Joel Levin, konsep, sistem konseptual, dan mengolah
Delaney informasi.
model Jerome Meningkatkan kemampuan penalaran
penemuan Bruner induktif, tetapi lebih cendrung pada
koncep Fred perkembangan dan analisis konsep.
(Consept Lighthall Selanjutnya, peserta didik diharapkan
Attainment) mampu mengembangkan dan menguji
hipotesis, serta belajar bermakna.
model Jean Piaget, Model ini fokus pada pengembangan
pengembangan Lawrence, intelektual secara umum dan mengatur
kognitif Kohlberg, proses belajar untuk memfasilitasi
Edmun perkembangan kognitif tersebut.
Sullivan,
Irvin Sigel

6.2.3 Kelompok Model Sistem Perilaku (The Behavioral System


Family)

154
Kelompok model sistem perilaku disebut juga model modifikasi
perilaku (behavioral modification), sibernetika (cybernetics), atau terapi
perilaku (behavioral therapy). Adapun teori yang mendasari kelompok
model belajar sistem perilaku adalah teori-teori belajar behavioristik.
Teori ini membahas tentang perilaku yang terukur dan operasional.
Adapun tokoh-tokoh sebagai pelopor teori pembelajaran ini adalah
Edward Lee Thorndike, Ivan Pavlov, B. F Skinner, dan Watson. Pada
mulanya model ini dikembangkan dengan melakukan percobaan
terhadap kondisi yang bersifat klasikal oleh Ivan Pavlov, kemudian
dilanjutkan oleh Edward Lee Thondike dalam bentuk sistem reward
dalam proses belajar. Selanjutnya, B. F Skinner dikenal dengan teori
penguatan (reinforcement). Sedangkan, Watson sangat dikenal sebagai
seorang behavioris murni, hal ini disebabkan karena beliau
mensejajarkan kajian pendidikan dengan ilmu-ilmu lain seperti Biologi
atau Fisika, yang menitikberatkan pada pengalaman empirik semata,
yaitu sejauh mana sesuatu dapat diamati dan diukur.
Adapun prinsip dasar dari teori ini adalah pemberian rangsangan
dan respon yang dihasilkan. Selain itu, teori ini menitik beratkan pada
perubahan perilaku diri, yang tampak sebagai hasil belajar.
Joyce & Weil (2009:400) berpendapat “model modifikasi perilaku
merupakan desain pembelajaran yang menekankan pada perubahan
perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari stimulus yang diberikan.
Sementara Dunkin (1986) menyatakan bahwa Behavior model of
instruction are Systems for arranging The relationships among Three
variables : prompts, behavior, and consequences”. Beliau menjelaskan
bahwa ada tiga variabel saling berhubungan yang diatur oleh model
pembelajaran Sistem Perilaku. Variabel yang dimasud adalah petunjuk,
perilaku, dan akibat. Selain itu.

155
Menurut Joyce & Weil (2009:402-403) ada empat yang menjadi
prinsip pembelajaran prilaku, yaitu: perilaku sebagai fenomena yang bisa
diamati dan diidentifikasi, kebutuhan terhadap tingkah laku yang kurang
adaptif, tujuan tingkah laku adalah hal yang khusus, terpisah, dan
bergantung pada individu, dan teori tingkah laku fokus pada “hal-hal
yang ada di sini dan yang terjadi saat ini”
Ada beberapa yang menjadi ciri-ciri model pembelajaran sistem
perilaku, yaitu:
1. Lingkungan merupakan suatu hal yang dipandang sangat penting.
2. Model ini bersifat mekanistik
3. Sangat mempertimbangkan kejadian masa lalu
4. Menitikberatkan pada tingkah laku peserta didik yang tampak
dengan menggunakan metode yang obyektif.
Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran perilaku lahir
berdasarkan teori behavioristik. Dimana meyakini bahwa perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antar stimulasi dan respon.
Tolak ukur seseorang dikatakan telah belajar jika ia mampu
menunjukkan terjadinya perubahan tingkah laku. Adapun model-model
pembelajaran yang termasuk kedalam model ini diperlihatkan pada tabel
berikut.

Model Inisiator Tujuan Pembelajaran


Pembelajaran
Kontrol Diri B. F. Skinner Model ini bertujuan untuk
(1953) meningkatkan kemampuan
mengontrol diri dengan cara
pengendalian perilaku dan
keterampilan sosial.
Latihan Asertif B. F. Skinner Mengembangkan kemampuan

156
berkomunikasi terpadu dan jujur,
yang didukung oleh lingkungan
belajar yang produktif.
Latihan B. F. Skinner Mengembangkan perilaku tertentu
Pengembangan dengan dukungan situasi tertentu
Konsep dan serta memodifikasi perilaku sesuai
Keterampian dengan stimulus dari lingkungan.
Belajar Sosial Albert Model ini bertujuan pada
Bandura pembentukan perilaku, mengurangi
Carl rasa takut, dan belajar mengobtrol
Thoresen diri sendiri.
Wes Becker
Belajar Carl Smith Fokus model ini ialah ketuntasan
Terprogram Mary Foltz penguasaan keterampilan dan
informasi
Belajar Tuntas Benjamin Model ini dilakukan dengan cara
Bloom membagi materi atau tugas menjadi
James Block unit-unit kecil agar peserta didik
B.F Skinner mudah mempelajari keterampilan
secara tuntas.
Kontrol David Model ini menitik beratkan pada
Kekhawatiran Johnson pengalihan pada kesantaian dari
Roger kecemasan dalam situasi sosial
Johnson
Latihan Gagne, Pembelajaran ini menekankan pada
Langsung Smith pola-pola perilaku dan keterampilan
diri pserta didik.
Simulasi Thomas Model ini digunakan agar mampu
Good menguasai keterampilan yang sangat
Jere Brophy kompleks dan konsep yang sangat
Wes Becker, luas cakupannya.
dll

6.2.4 Kelompok Model Sosial (The Social Family)

Berkembangnya model sosial ini didasari oleh teori belajar Gestalt


(Field Theory), yang memandang penting akan hubungan baik antara
individu dengan masyarakat (Learning life together). Dimana teori ini

157
pada awalnya dikembangkan oleh Max Wetheimer (1912), Kurt Koffa,
dan Kohler. Mereka berpendapat bahwa objek atau suatu kejadian
tertentu dipandang sebagia satu kesatuan dalam organisasi. Implikasi dari
teori ini, pembelajaran akan lebih bermakna apabila materi yang
diberikan dalam satu kesatuan yang utuh bukan dalam bentuk terbagi-
bagi. Selain itu, model ini juga dilandasi pada pemikiran bahwa kerja
sama ataupun gotong royong merupakan suatu kebiasaan yang sangat
penting dan harus dikembangkan dalam kehidupan manusia. Sehingga
terbentuknya hubungan antara individu yang baik dan harmonis.
Sehingga, model-model yang berorientasi sosial akan berdampak pada
perbaikan kecakapan sosial seseorang. Sehingga, mereka mapu dengan
baik menjalin hubungan baik dengan orang lain dan lingkungannya,
seperti menghormati orang lain, menghargai hak-hak orang lain, bekerja
keras, dan lain sebagainya. Model-model pembelajaran yang tergolong
kelompok ini beserta tokoh-tokohnya diberikan pada tabel berikut, yang
diadopsi dari Sani, R. A. (2013).

Model Tokoh Tujuan Pembelajaran


Pembelajaran
Investigasi Herbert Telen Model ini menitik beratkan pada
Kelompok John Dewey keterampilan sosial seseorang,
Shlomo sehingga model ini bertujuan
Sharan meningkatkan keterampilan untuk
berpartisipasi dalam proses sosial

158
yang harmoni. Selain itu, model ini
juga menganggap penting akan
perkembangan keterampialan
penentu akademik seseorang.
Latihan Bethel Maine Model ini menitik beratkan pada
Laboratorium keterampilan antar pribadi dan
(sosial) kelompok dengan cara
meningkatkan kesadaran pribadi.
Bermain Peran Fannie Shafel Model ini dibangun dengan tujuan
George Fhafel agar peserta didik mampu
menemukan nilai-nilai pribadi dan
sosial. Sehingga Ia mampu
meningkatkan pemahaman pribadi
mengenai nilai dan perilaku.
Simulasi Sosial Sarene Model ini mampu membantu
Boocock peserta didik agar mengalami
Harold berbagai proses dan kenyataan
Guetzkow sosial, sehingga mereka
memperoleh konsep dan
keterampilan mengambil
keputusan.
Inkuiri Sosial Byron Model ini dirancang untuk
Massialas memecahkan permasalahan sosial
Benjamin Cox melalui penemuan dan penalaran
logis
Inkuiri Sosial Robert Slavin, Model ini dibangun untuk
Terstruktur dll menyelesaikan masalah-masalah
sosial dengan cara pendekatan
penemuan akademik.
Inkuiri Donald Olever Model ini dibangun atas dasar
Yurisprudensial James P. pengembangan hukum
(Hukum) Shaver (Yurisprudensial) sebagai acuan
untuk melakukan cara berpikir dan
memecahkan permasalahan sosial.
6.3 Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Model pembelajarn berbasis masalah pada awalnya dikembangkan


pada bidang kesehatan oleh Borrows (1988), selanjutnya diadaptasi oleh
Stepein Gallager yang diterapkan pada bidang pendidikan. Selain itu,

159
model ini juga dikenal pada zaman Jhon Dewey, selanjutnya model ini
populer sampai saat ini. Problem based learning di Indonesia dikenal
dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang dibangun dengan
meciptakan suatu masalah. Model ini termasuk salah satu model inovatif,
yang mampu menciptakan kondisi belajar siswa menjadi aktif. Dimana,
untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa memerlukan pengetahuan
baru. Pada model ini guru diharuskan menciptakan suatu masalah yang
kontekstual sehingga mampu merangsang siswa untuk
menyelesaikannya.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) dikategorikan kedalam
active learning. Dimana model ini melibatkan peserta didik dalam proses
pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik.
Peserta didik diikutsertakan dalam pemecahan masalah melalui tahap-
tahap metode ilmiah, sehingga diharapkan keterampilan pemecahan
masalah dan kemandirian siswa dapat meningkat. Dimana keterampilan
ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dan problematika
kehidupan dimasa sekarang dan yang akan datang.
Beberapa pendapat ahli mengenai pengertian model pembelajaran
berbasis masalah adalah sebagai beikut.
1. Menurut Jhon Dewey, model pembelajaran berbasis masalah
adalah interaksi antara stimulus dan respon. Selain itu, terjadinya
hubungan antara dua arah antara belajar dan lingkungan.
2. H. S. Borrows (1982), adalah seorang inisiator pembangun model
ini, menyatakan bahwa masalah dapat dipergunakan untuk
mendapatkan atau mengintegrasikan pengetahuan baru.
3. Selain itu, menurut Arends bahwa model pembelajaran berbasis
masalah merupakan model pembelajaran dimana siswa diajarkan
pembelajaran yang autentik, bertujuan untuk menyusun

160
pengetahuan peserta didik, meningkatkan keterampilan berpikir
dan memecahkan masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa,
dan membangun kemandirian belajar peserta didik. (Arends, 2007)
4. Adapun pembelajaran berbasis masalah menurut Duch (1995)
adalah model yang dirancang menggunakan masalah yang autenik,
yang diberikan kepada siswa saat proses belajar untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan
memecahkan masalah.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa


model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah
suatu model inovatif yang dibangun berlandaskan teori psikologi
kognitif, agar peserta didik mampu belajar aktif dan membangun
pengetahuannya sendiri dengan cara memecahkan masalah autentik
dengan menggunakan data-data dan informasi dan mengandalkan
pengetahuan sebelumnya. Model ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berupa kemampuan pemecahan
masalah, berpikir kritis, dan analitis. Selain itu, model ini juga mampu
meningkatkan kemandirian belajar siswa.

6.3.1 Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Berbasis


Masalah
Ada beberapa teori pendidikan yang mendukung model
pembelajaran berbasis masalah, yaitu teori belajar Jean Piaget (teori
perkembangan kognitif), teori belajar bermakna oleh David Ausubel, dan
teori belajar Vygotsky. Pada dasarnya, semua teori ini mendukung model
pembelajaran tersebut.
Misalnya, Piaget dikenal dengan teori perkembangan kognitif atau
disebut juga perkembangan mental manusia atau perkembangan kognitif

161
atau terkenal dengan perkembangan intelektual yang berkenaan dengan
kesiapan siswa agar mampu belajar. Selain itu, Piaget dikenal juga
pengembang teori kontruktivisme pertama, dimana pembelajar
dikondisikan agar mampu membangun pengetahuan sendiri. Teori belajar
Piaget dan pandangan kontruktivisme sangat erat kaitannya dengan
prinsip-prinsip model pebelajaran berbasis masalah. Pembelajar secara
aktif mengkontruksi sendiri pengethuannya, dengan cara interaksi
langsung dengan lingkungan dan kehidupan nyata melalui proses
asimilasi dan akomodasi.

Selain teori belajar Jean Piaget, model pembelajaran ini didukung


juga oleh teori belajar bermakna yang dikembangkan oleh David
Ausubel. Beliau membedakan antara belajar menghapal (rote learning)
dengan belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna
adalah membangun pengetahuan/ pemahaman dengan
menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa
sebelumnya. Sedangkan belajar menghafal, dimana dalam proses belajar
sama sekali tidak menghubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa. Belajar bermakna Ausubel berhubungan erat dengan
belajar berbasis masalah, sebab Ausubel berpendapat bahwa dalam
proses belajar pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk siap jadi,
melainkan siswa diharapkan menemukan sendiri. Selain itu pada
pembelajaran ini, informasi baru dikaitkan dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki siswa.
Teori belajar Vygotsky sejalan dengan teori belajar Piaget, dimana
mereka berpandangan bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat
pembelajar mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan dengan
mengaitkan pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya, proses
tersebut secara langsung memberikan pemahaman dan pengalaman baru.
Kedua ahli ini sama-sama mengembangkan kontruktivisme psikologi.
Akan tetapi

162
Disisi lain, kedua ahli ini memiliki perbedaan pandangan, Piaget
lebih menekankan pada kontruktivisme psikologi yang bersifat personal,
sedangkan Vygotsky lebih cendrung pada kontruktivisme psikologis
yang bersifat sosial. Vygotsky menganggap penting terhadap aspek
sosial, sebab akan mampu menimbulkan ide-ide baru sehingga akan
menambah peningkatan intelektual siswa. Kedua prinsip-prinsip
kontruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model belajar
berdasarkan masalah.
6.3.2 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

Ada beberapa perbedaan pendapat ahli pendidikan mengenai


tahapan model pembelajaran berbasis masalah. Misalnya, John Dewey
(2009), berpendapat bahwa ada 6 tahapan dalam pembelajaran berbasis
masalah, sedangkan David Johnson & Johnson dan Richard I. Arends
menyatakan hanya terdapat 5 langkah dalam pembelajaran tersebut.
Namun, jika difahami secara mendalam, tahapan-tahapan yang yang
dikemukan oleh kedua ahli ini memiliki kesamaan yang sangat kuat.
Adapun langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah menurut John
Dewey adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan masalah. Guru bersama peserta didik menentukan


dan mengembangkan suatu masalah nyata yang akan dipecahkan
pada saat belajar mengajar, akan tetapi guru tetap harus
menyiapkan masalah sebelum proses belajar.
2. Menganalisis dan mengkritisi masalah yang telah dirumuskan.
3. Merumuskan hipotesis, pada langkah ini siswa merumuskan
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah yang mungkin
dengan mengandalkan pengetahuan mereka sebelumnya.
4. Pengumpulan data, tahap ini peserta didik melakukan pencarian
berbagai informasi yang diperlukan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah.

163
5. Pengujian Hipotesis, pada tahap ini peserta didik melakukan proses
uji hipotesis dengan merumuskan dan menarik kesimpulan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, pada tahab ini
siswa melakukan rekomendasi tahapan-tahapan dan hasil
pemecahan masalah yang telah ditemukan.
Richard I. Arends (2008), mengemukakan tahap-tahap pelaksanaan
pembelajaran berbasis masalah diberikan pada tabel dibawah ini.

Fas Kegiatan Perilaku Guru


e
1 Menyiapkan  Guru membahas tujuan materi
masalah yang akan  Menjelaskan media dan alat-alat yang
diselesaikan oleh diperlukan selama proses belajar
peserta didik  Memotivasi siswa
 Mendorong siswa untuk turut aktif
dalam kegiatan belajar
2 Siswa memecahkan Guru membimbing siswa mendefinisikan
masalah dan mengorganisasikan tugas-tugas
belajar yang terkait dengan permasalahan.
3 investigasi masalah Guru memfasilitasi siswa untuk
mendapatkan informasi-informasi yang
dibutuhkan. Selanjutnya membantu
mereka melaksanakan eksperimen
4 Mengembangkan Guru membantu siswa dalam
dan merncanakan dan menyiapkan laporan
mepresentasikan dan hasil kerja, yang akan
hasil kerja dipresentasikan dan dipertontonkan
didepan kelas.
5 Menganalisis dan Guru memfasilitasi peserta didik untuk
mengevaluasi merefleksi terhadap proses-proses dan
proses pemecahan hasil pemecahan masalah
masalah
Adapun fase-fase model pembelajaran berbasis masalah yang
dikemukakan oleh David Johnson & Johnson, diberikan sebagai berikut.

Fase Kegiatan Keterangan


1 Mendefinisikan Pada tahab ini dilakukan perumusan

164
masalah masalah terhadap suatu peristiwa,
sehingga jelas masalah apa yang akan
dikaji
2 Mendiagnosa Mendiagnosa masalah dengan cara
Masalah menentukan penyebab dan faktor
terjadinya masalah.
3 Merumuskan Mendiskusikan alternatif penyelesaikan
alternatif yang mungkin dilakukan
penyelesaian
4 Menentukan dan Menentukan dan menerapkan strategi
menerapkan strategi penyelesaian masalah
penyelesaian
5 Melakukan Evaluasi Melakukan evaluasi proses terhadap
Proses dan hasil seluruh kegiatan. Selanjutnya, evaluasi
hasil dilakukan terhadap akibat dari
penerapan strategi yang diterapkan.

6.3.3 Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Berbasis Masalah


Ada tiga tujuan utama pembelajaran berbasis masalah, yaitu
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan
keterampilan berpikir, meningkatkan kemampuan mengarahkan diri
sendiri, dan pemodelan peranan orang dewasa secara autentik dan
memungkinkan siswa menjadi percaya diri.
Selain itu, pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa
manfaat, yang pertama mampu menciptakan pembelajaran bermakna.
Dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa akan
melakukan pemecahan masalah yang telah dirancang oleh guru. Mereka
akan mengerahkan segala kemampuan dan menerapkan konsep-konsep
yang telah dimiliki sebelumnya untuk memecahkan masalah dengan
kaedah-kaedah ilmiah. Proses ini tentu akan menciptakan pembelajaran
yang bermakna.
Selain itu, pembelajaran pemecahan masalah bermanfaat untuk
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, seperti berpikir
kritis dan pemecahan masalah. Selain itu, mampu menumbuhkan inisiatif

165
dan motivasi dan mengembangkan hubungan interpersonal dengan
teman-teman sejawatnya.

Yang terakhir, model pembelajaran ini bermanfaat untuk


mengajarkan siswa menyelesaikan masalah yang relevan dengan
kehidupan nyata. Siswa akan mengintegrasikan antara teori dan
keterampilan secara simultas dan menerapkannya dalam konteks
permasalahan nyata. Mereka akan lebih memahami betapa pentingnya
memahami konsep dan teori dalam menyelesaikan permasalahan nyata.

6.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah.

Model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa


kelebihan dan kekurangan. Adapun keunggulan yang dimiliki oleh model
ini diberikan sebagai beikut.

1. Model ini mampu mengembangkan kemampuan siswa untuk


memecahkan masalah. Selain itu, peserta didik diajarkan berperan
sebagai orang dewasa.
2. Selama proses belajar terjadi interaksi antara siswa dengan guru
dan siswa dengan siswa.
3. Peserta didik mengalami proses belajar sendiri, sehingga
memberikan kepuasan tersendiri ketika mereka menemukan
pengetahuan baru.
4. Model ini dirancang agar terjadi peningkatan naktivitas belajar
siswa.
5. Membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan baru
dan bertanggung jawab terhadap pembelajaran yang mereka
lakukan.
6. Model ini dmampu mengembangkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi, seperti berpikir lebih kritis, yang dibarengi dengan
kemampuan inovatif dan sikap kreatif.

166
7. Model pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada
peserta didik agar menerapkan pengetahuan yang mereka miliki
untuk memecahkan masalah nyata.
8. Model ini akan melatih kemandirian peserta didik dalam belajar.

Namun demikian, model pembelajaran berbasis masalah juga memiliki


beberapa kelemahan, yaitu:

1. Guru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merancang


penerapan model pembelajaran ini.

2. Model sulit diterapkan apabila siswa tidak memiliki minat,


motivasi, dan kemandirian belajar.

3. Siswa akan cepat jenuh jika tidak terbiasa mengalami proses


belajar pemecahan masalah .

4. Untuk menerapkan model ini membutuhkan waktu yang cukup


lama, karena diperlukan untuk mengumpulkan informasi dan data.

6.3.5 Asesmen dan Evaluasi Dalam Pembelajaran Berbasis Masalah

Melakukan evaluasi pada model pembelajaran berbasis masalah


harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Proses
evaluasi ini harus mampu mengukur apa yang menjadi indikator
keberhasilan belajar. Selain itu, dalam model pembelajaran bebasis
masalah tidak haya meniti beratkan pada perolehan pengetahun
dekleratif, akan tetapi juga pada pengalaman prosedural. Sehingga
penilaian tidak hanya dengan memberikan tes, akan tetapi juga
diperlukan untuk menilai proses dan pekerjaan yang dihasilkan oleh
peserta didik.

167
Penilaian proses dapat dilakukan dengan mengamati peserta didik
selama proses belajar. Pengamatan ini sebaiknya menggunakan lembar
observasi yang dirancang secara terstruktur. Penilain proses
dipergunakan guru untuk mengetahui bagaimana siswa merencanakan,
menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi hasil pemecahannya.
Sehingga, informasi ini dapat dipergunakan untuk mengatasi
permasalahan peserta didik dalam pembelajaran berikutnya. Selain itu,
informasi ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kecakapan
peserta didik dalam menyelesaikan masalah.

6.4 Model Pembelajaran Berbasis Proyek

Model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learing)


merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja
proyek. Sani (2013) juga menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
proyek dilakukan untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh dengan cara membuat karya atau proyek yang terkait
dengan materi ajar dan kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh siswa.

Model pembelajaran berbasis proyek atau project based learning


menyerupai pembelajaran berbasis masalah, hal ini dikarenakan
permulaan pembelajaran berdasarkan adanya permasalahan yang
diungkap, serta kegiatan belajar bersifat kolaboratif ataupun
berkelompok yang menekankan lingkungan peserta didik menjadi aktif.
Perbedaanya terletak pada objek, dimana pada pembelajaran berdasar
masalah diperlukan perumusan masalah, pengumpulan data dan analisis
sedangkan dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik lebih
didorong dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta didik lebih
didorong dalam kegiatan merancang atau desain dari mulai: merumuskan

168
job, merancang, mengkalkulasikan, melaksanakan pekerjaan dan
mengevaluasi hasil.
PjBL merupakan metode belajar yang menggunakan masalah
sebagai langkah awal dalam pengumpulan dan mengintegrasikan
pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dalam aktivitas secara nyata.
Sampai saat ini definisi atau pengertian yang menjelaskan tentang PjBL
secara resmi belum ada, beberapa ahli memiliki perbedaan dalam
memberikan definisi tentang PjBL. Pendapat para ahli tersebut antara
lain:
 Wena (2011: 145) menyatakan bahwa “pembelajaran berbasis
proyek atau project based learning sebagai model pembelajaran
yang melibatkan peserta didik dalam transfer pengetahuan”.
 Intel Corporation meberikan definisi terhadap pembelajaran berbasis
proyek sebagai “an instructional model that involves students in
investigations of compelling problems that culminate in authentic
products”(sebuah model pembelajaran yang melibatkan siswa
dalam penyelidikan permasalahan mendesak yang puncaknya
dalam hasil/produk yang asli).
 Buck Institute for Education, project based learning adalah suatu
metode pembelajaran sistematis yang melibatkan siswa dalam
belajar ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui proses
penyelidikan terhadap masalahmasalah nyata dan pembuatan
berbagai karya atau tugas yang dirancang secara hati-hati
 John Thomas, project based learning adalah pembelajaran yang
memerlukan tugas-tugas kompleks, didasarkan pada
pertanyaan/masalah menantang, yang melibatkan siswa dalam
mendesain, memecahkan masalah, membuat keputusan, atau
kegiatan investigasi, memberikan siswa kesempatan untuk bekerja

169
secara mandiri selama periode lama, dan berujung pada realistis
produk atau presentasi.
 Thomas J. W. Moursund, et. all., menyebutkan bahwa PjBL adalah
model pengajaran dan pembelajaran yang menekankan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam suatu proyek. Hal
ini memungkinkan siswa untuk bekerja secara mandiri untuk
membangun pembelajarannya sendiri dan kemudian akan
mencapai puncaknya dalam suatu hasil yang realistis, seperti karya
yang dihasilkan siswa sendiri. Project based learning dapat
didefinisikan: (1) fokus pada konsep-konsep utama dari suatu
materi, (2) melibatkan pengalaman belajar yang melibatkan siswa
dalam persoalan komlpleks, namun realistik yang membuat mereka
mengembangkan dan menerapkan keterampilan serta pengetahuan
yang mereka miliki, (3) pembelajaran yang menuntut siswa untuk
mencari berbagai sumber informasi dalam rangka pemecahan
masalah, (4) pengalaman siswa belajar untuk mengelola dan
mengalokasikan sumber daya, seperti waktu dan bahan.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa


project based learning adalah suatu model pembelajaran inovatif yang
melibatkan siswa secara aktif dapat berinisiatif untuk menghasilkan
proyek yang nyata dan dapat memotivasi siswa dalam kegiatan
pembelajaran.

6.4.1 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Proyek

Buck Institut for Education (dalam Wena, 2011) memberikan


karakteristik pembelajaran berbasis proyek yaitu :

a. siswa membuat keputusan dan membuat kerangka kerja


b. terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukansebelumnya

170
c. siswa merancang proses untuk mencapai hasil
d. siswa bertanggung jawab mendapatkan dan mengelola
informasi yang dikumpulkan
e. siswa melakukan evaluasi secara kontinu
f. siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan
g. hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya

h. atmosfir kelas memberi toleransi kesalahan dan perubahan

6.4.2 Prinsip-Prinsip Model Project Based Learning

pembelajaran berbasis proyek memiliki beberapa prinsip dalam


penerapannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

 Sentralistis (centrality)
Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas
pada kehidupan nyata untuk memperkaya pembelajaran. Proyek
dalam PjBL adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap
kurikulum.
 Berfokus pada pertanyaan atau masalah (driving question)
Hal ini mengandung makna bahwa pekerjaan proyek yang
dilakukan oleh siswa bersumber pada pertanyaan atau persoalan
yangmenuntun siswa untuk menemukan konsep mengenai bidang
tertentu. Dalam hal ini aktivitas bekerja menjadi motivasi eksternal
yang dapat membangkitkanmotivasi internal pada diri siswa untuk
membangun kemandirian dalam menyelesaikan tugas.
 Investigasi Konstruktif
Artinya bahwa dalam pembelajaran berbasis proyek terjadi proses
investigasi yang dilakukan oleh siswa untuk merumuskan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengerjakan proyek. Oleh
karena itu guru harus dapat merancang strategi pembelajaran
yang mendorong siswa untuk melakukan proses pencarian dan

171
atau pendalaman konsep pengetahuan dalam rangka
menyelesaikan masalah atau proyek yang dihadapi.
 Otonomi
Dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa diberi kebebasan
atau otonomi untuk menentukan target sendiri dan bertanggung
jawab terhadap apa yangdikerjakan. Guru berperan sebagai
motivator dan fasilitator untuk mendukung keberhasilan siswa
dalam belajar.
 Realistis

Proyek yang dikerjakan oleh siswa merupakan pekerjaan nyata


yang sesuai dengan kenyataan di lapangan kerja atau di
masyarakat. Proyek yang dikerjakan bukan dalam bentuk
simulasi atau imitasi, melainkan pekerjaan atau permasalahan
yang benar-benar nyata.

6.4.3 Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Proyek

Adapun langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai


berikut:

 Pembelajaran dimulai dengan memberikan pertanyaan yang dapat


memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas.
 Mendesain perencanaan proyek (design a plan for the project).
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan
peserta didik. Perencanaan berisi tentang aturan main, serta alat
dan bahan yang akan digunakan.
 Menyusun jadwal (create a schedule). Pengajar dan peserta didik
secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan
proyek.
 Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (monitor the
students and the progress of project). Pengajar bertanggungjawab

172
untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama
menyelesaikan proyek.
 Menguji hasil (assess the outcome). Penilaian dilakukan untuk
membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar,
berperan dalam mengevaluasi kemajuan masingmasing peserta
didik.

 Mengevaluasi pengalaman (evaluate the experience). Akhir


pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi
terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan.

6.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Berbasis Proyek

Model Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki beberapa kelebihan


dan kelemehana, adapun kelebihannya adalah:

 Meningkatkan motivasi siswa untuk belajar


 Meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah
 Membuat siswa lebih aktif dalam menyelesaikan permasalahan
yang Kompleks
 Meningkatkan kemampuan siswa dalam kerja sama
 Mendorong siswa mempraktikkan keterampilan berkomunikasi
 Meningkatkan keterampilan siswa dalam mengelola sumber daya
 Memberikan pengalaman kepada siswa dalam
mengorganisasikan proyek, mengalokasikan waktu, dan
mengelola sumber daya seperti peralatan dan bahan untuk
menyelesaikan tugas
 Memberikan kesempatan belajar bagi siswa untuk berkembang
sesuai kondisi dunia nyata
 Melibatkan siswa untuk belajar mengumpulkan informasi dan
menerapkan pengetahuan
 Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan

173
Adapun kelemahan model Pembelajaran Berbasis Proyek, adalah:
 Memerlukan banyak waktu yang harus diselesaikan untuk
menyelesaikan masalah.
 Memerlukan biaya yang cukup banyak.
 Banyak peralatan yang harus disediakan.
 Ada kekhawatiran siswa hanya akan menguasai satu topik
tertentu yang dikerjakan

6.5 Model Discovery Learning

Model Discovery Learning merupakan suatu model pembelajaran


yang mengacu kepada teori belajar dimana proses pembelajaran tidak
menyajikan dalam bentuk jadi tetapi diharapkan siswa mengorganisasi
sendiri pengetahuannya. Pada model pembelajaran Discovery Learning
lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Masalah yang dihadapkan kepada siswa
semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Dalam mengaplikasikan
model pembelajaran Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar secara aktif, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin
merubah kegiatan belajar mengajar dari teacher oriented menjadi student
oriented.

Menurut Jerome Bruner (Markaban, 2006:9). ”Discovery adalah


suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya
suatu produk atau item pengetahuan tertentu”. Sedangkan menurut Bell
(Hosnan, 2014: 281).”discovery adalah belajar yang terjadi sebagai hasil
dari siswa memenipulasi, membuat struktur, dan mentransformasikan
informasi sedemikian sehingga ia menemukan informasi baru ”. Proses
tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan,

174
membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan
sebagainya.

Dengan demikian di dalam pandangan Bruner, belajar dengan


penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa
dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil
sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan. Model penemuan
terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing
siswa dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk
berpikir sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat ”menemukan”
prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru.
Model penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran
penemuan yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan
petunjuk-petunjuk guru. Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk
pertanyaan membimbing

Menurut Ruseffendi (Karim, 2011: 23) model (mengajar)


penemuan adalah model mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian
rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya
ditemukan sendiri. Dengan kata lain pembelajaran dengan metode
penemuan merupakan salah satu cara untuk menyampaikan ide/gagasan
dengan proses menemukan, dalam proses ini siswa berusaha menemukan
konsep dan rumus dan semacamnya dengan bimbingan guru

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model Discovery


Learning adalah model pembelajaran yang dimana siswa berpikir sendiri
sehingga dapat “menemukan” prinsip umum yang diinginkan dengan

175
bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan yang
mengarahkan siswa menemukan konsep ataupun suatu kesimpulan.

6.5.1 Tujuan Pembelajaran Discovery Learning

Bell (Hosnan,2014: 284) mengemukakan beberapa tujuan spesifik


dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:

1) Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara


aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa
partisipasi siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan
digunakan.
2) Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar
menemukan pola dalam situasi konkrit maupun abstrak, juga siswa
banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang
diberikan
3) Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak
rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi
yang bermanfaat dalam menemukan.
4) Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara
kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta
mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain.
5) Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-
keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari
melalui penemuan lebih bermakna.
6) Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan
dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru
dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.

6.5.2 Langkah- langkah Dalam Model Pembelajaran Discovery


Learning

176
Ada beberapa langakah–langkah dalam mengaplikasi model
Discovery Learning, yaitu:
A. Perencanaan
Pada tahap perencanaan, hal-hal yang pelu dilakukan adalah:
a) Menentukan tujuan pembelajaran
b) Menentukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,
minat, gaya belajar dan sebagainya)
c) Memilih materi pembelajaran
d) Menentukan topik-topik yag harus dipelajari siswa secara induktif
(dari contoh-contoh generalisasi
e) Mengembangakan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-
contoh, ilustrasi, tugas dan sebaginya untuk dipelajari peserta didik
f) Mengetur topik-topk perlajaran dari yang sederhana ke kompleks,
dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai
ke simbolik
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

B. Sintaks atau Pelaksanaan Model Pembelajaran Discovery


Learning
Sintak merupakan serangkaian kegiatan yang harus diikuti dalam
pembelajaran mulai dari awal sampai akhir dari sebuah model
pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan. Dengan adanya sintaks dari
sebuah model pembelajaran, memberi kemudahan bagi guru sebagai
fasilitator dalam mengarahkan pembelajaran, sehingga waktu yang
tersedia dapat digunakan secara efektif dan efisien dan tujuan dari
pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang direncanakan di awal
oleh guru.
Maka sudah menjadi kewajiban dari seorang pendidik
merencanakan pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan, baik itu

177
model, strategi, metode yang akan mendukung sukses nya proses
pembelajaran pada diri peserta didik. Rencana yang dilakukan oleh guru
merupakan hasil rancangan yang baru dengan berpatokan kepada hasil
evaluasi di pembelajaran tahun sebelumnya. Agar keunggulan yang
diperoleh pada proses pembelajaran ditahun-tahun sebelumnya dapat
tetap digunakan dan kelemahannya dapat di antisipasi oleh guru agar
dapat dicari solusi nya.
Untuk mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas
tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum adalah sebagai berikut. (Hosnan, 2014:289)
Tabel. Sintaks Model Pembelajaran penemuan

Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa


Guru mengajukan Siswa menerima berbagai
berbagai macam pertanyaan guru, dan
pertanyaan, sehingga mencoba mencari jawaban
Tahap 1 menimbulkan sehingga muncul kondisi
Stimulation/ kebingungan pada diri interaksi belajar sehingga
Stimulasi siswa dapat mengembangkan
dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi
bahan
Guru memberi Siswa mengidentifikasi
kesempatan kepada sebanyak mungkin
Tahap 2
siswa masalah yang relevan
Problem
mengidentifikasi dengan bahan pelajaran,
statement/
sebanyak mungkin kemudian memilih salah
identifikasi
masalah yang relevan satu untuk dirumuskan
masalah
dengan bahan dalam bentuk hipotesis
pelajaran.
Tahap 3 Guru memberi Siswa mengumpulkan
Data kesempatan kepada informasi untuk
colection/ siswa Mengumpulkan membuktikan
pengumpulan informasi sebanyak benar/tidaknya hipotesis
data banyaknya yang
relevan untuk

178
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa
membuktikan benar
atau tidaknya
hipotesis
Tahap 4 Selama siswa bekerja Siswa mengolah data yang
Data guru membimbing telah terkumpul,
procesing/ dan klasifikasi, ditabulasi serta
pengolahan memfasilitasi. ditafsirkan pada tingkat
data kepercayaan tertentu.
Guru membimbing Siswa melakukan
dan memberi pemeriksaan untuk
kesempatan kepada membuktikan benar atau
Tahap 5
siswa untuk tidaknya hipotesis yang
Melakukan
menemukan suatu ditetapkan diawal
Verification/
konsep, teori, aturan,
Pembuktian
atau pemahaman
melalui contoh-
contoh.
Guru membimbing Secara berkelompok siswa
Tahap 6 siswa menarik kesimpulan,
Generalization mengambil merumuskan kaidah,
/ kesimpulan prinsip, ide generalisasi
Penarikan berdasarkan data dan atau konsep berdasarkan
kesimpulan menemukan sendiri data yang diperoleh
atau penemuan konsep yang ingin
ditanamkan.
Dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas, ada
beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum berikut:
1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki
sendiri. Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan,
atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian
yang memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi

179
untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan.Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada
kondisi internal yang mendorong eksplorasi.
2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah)

3. Data collection (pengumpulan data)


Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan
kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan
atau membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian anak
didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati
objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri
dan sebagainya.

4. Data processing (pengolahan data)


Menurut Syah (Hosnan, 2014: 289)data processing merupakan
kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para
siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu

180
ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean
coding/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep
dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan
mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

5. Verification (pembuktian)
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya

6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)


Tahap generalitation menarik kesimpulan adalah proses menarik
sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku
untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan
memperhatikan hasil verifikasi. Atau tahap dimana berdasarkan
hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau
generalisasi tertentu.Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.

Pada akhirnya, yang menjadi tujuan dalam model pembelajaran


penemuan menurut Bruner (Hosnan:2014: 283) “ hendaklah guru
memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang
Problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika.
Sehingga anak mampu merekonstruksi pengetahuannya sendiri.

C. Sistem Penilaian

181
Dalam model pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat
dilakukan dengan menggunakan tes maupun non tes. Penilaian dapat
berupa penilaian pengetahuan, sikap dan keterampilan, atau penilaian
hasil kerja siswa.

6.5.3 Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran Discovery


Learning
Beberapa kelebihan model pembelajaran Discovery Learning
adalah: (1) merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar
siswa aktif; (2) dengan menemukan dan menyelidiki sendiri konsep yang
dipelajari, maka hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan dan
tidak mudah dilupakan siswa; (3) pengertian yang ditemukan sendiri
merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan
atau ditransfer dalam situasi lain; (4) dengan menggunakan strategi
penemuan anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan
dapat dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar berpikir analisis dan
mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini
akan ditransfer dalam kehidupan nyata.

Sementara itu, kekurangan model pembelajaran ini adalah sebagai


berikut :
1. Waktu yang yang dibutuhkan relatif lebih lama khususnya pada
materi tertentu
2. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di
lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti
dengan model ceramah.

3. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini.


Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat
dikembangkan dengan Model Penemuan Terbimbing.

182
6.6 Model Pembelajaran Inkuiri

Inkuiri adalah kata yang sudah menjadi bahasa indonesia yang


diadopsi dari bahasa inggris yaitu inqury, yang bermakna ikut dalam
mencari informasi-informasi atau data-data, mengajukan pertanyaan, dan
melakukan penyelidikan. Adapun model pebelajaran inkuiri yaitu suatu
model inovatif yang menitik beratkan pada kegiatan penyelidikan atau
penemuan.

Selain kata Inquiry, dalam bahasa inggris ada juga kata discovery
yang memiliki makna yang hampir sama. Kata Inquiry dan Discovery
pada dasarnya memiliki makna yang hampir sama yaitu penemuan.
Namun, secara makna kata Inquiry lebih mengarah pada mencari dengan
melakukan sesuatu. Berkenaan dengan pemakaina kedua istilah ini, para
ahli terbagi ke dalam dua pendapat, yaitu: penggunaan istilah Inquiry
dan Discovery dapat diartikan dengan makna yang sama dan digunakan
saling bergantian atau keduanya secara bersamaan. Adapun pendapat
yang lain, sekalipun secara umum istilah Inquiry dan Discovery memiliki
makna yang sama, namun kedua istilah ini tetap memiliki makna khusus
yang berbeda.

Pembelajaran discovery meliputi pengalaman-pengalaman belajar


peserta didik untuk menjamin keberhasilan mereka dalam melakukan
proses-proses discovery. Disisi lain, pembelajaran inquiry dibangun dan
dikembangkan lebih luas dari pembelajaran discovery, dengan kata lain
pemebalajaran inqury adalah suatu perluasan dari proses-proses yang
terdapat pada pembelejaran discovery. Dimana, proses belajar inkuiri
mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya,
misalnya merumuskan masalah sendiri, merancang percobaan,
melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan

183
menarik kesimpulan. Selain itu, peserta didik harus memiliki sikap
objektif, jujur, terbuka, rasa ingin tahu, disiplin, komitmen tinggi, kerja
keras, mandiri, dan lain sebagainya.

Model inkuiri dirancang dan dikembangkan sebagai suatu


rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan seluruh kemampuan peserta
didik secara maksimal untuk melakukan penemuan dan penyelidikan
terhadap suatu masalah yang dilakukan dengan cara-cara ilmiah.
Selanjutnya, dalam proses belajar inkuiri peserta didik harus mampu
merumuskan sendiri penemuannya. Menurut Suchman (1996),
pembelajaran inkuiri adalah suatu pola pembelajaran untuk membantu
peserta didik belajar merumuskan dan menguji pendapatnya sendiri serta
memiliki kesadaran aka kemampuannya.
Pada dasarnya, sebuah model pembelajaran dibangun dan
dikembangkan didasari pada teori-teori belajar. Adapun teori yang
mendasari model pembalajaran inkuiri adalah teori Piaget dan teori
Gestalt. Dimana Piaget menyatakan bahwa perkembangan intelektual
suatu organisme berdasarkan pada fungsi organisasi dan adaptasi. Fungsi
organisasi memberikan organisme kompetensi mensistematikkan proses
fisik maupun maupun psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan
berhubungan. Sedangkan, fungsi adaptasi adalah kecendrungan
organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui proses
asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, teori ini lah yang mendasari teori
kontruktivisme.
Selanjutnya, menurut teori Gestalt bahwa belajar adalah proses
pengembangan Insight, yaitu pemahaman terhadap hubungan antara
bagian dalam suatu masalah. Teori gestal mempunyai tujuab yang jelas
dan luas. Selain memberikan pengetahuan akan tetapi juga mengajar
siswa untuk memecahkan masalah. Teori ini memandang belajar belajar

184
sebagai proses yang memerlukan aktifitas peseta didik. Disisi lain,
inkuiri memberikan peserta didik pengalaman memecahkan masalah
autentik dan mendorong mereka untuk aktif dan memberikan peluang
kepada mereka untuk mengambil inisiatif dalam mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sehingga
mampu meningkatkan kemampuan berpikir mereka. Dengan demimikian
model inquiry selaras dengan teori Gestalt.
Ada beberapa ciri-ciri yang menggambarkan model pembelajaran
inkuiri, yaitu:
1. Pembelajaran ini menempatkan siswa sebagai subjek belajar
(student centered learning). Dalam proses belajar, siswa berperan
aktif dalam melakukan proses belajar dengan cara menemukan
sendiri jawaban yang diselidiki.
2. Seluruh aktivitas yang dilakukan selama proses belajar menitik
beratkan pada penemuan jawaban sendiri dari penyelidikan,
sehingga mampu meningkatkan sikap disiplin , percaya diri dan
kemandirian dalam belajar. Disisi lain, seorang guru hanya
berfunsi sebagai fasilitator dan pembimbing.
3. Proses model ini mampu meningkatkan kemampuan tingkat tinggi,
seperti kemampuan berpikir logis, kritis, sistematis, dan
memecahkan masalah. Target pembelajaran dengan model ini tidak
hanya menguasai materi, akan tetapi lebih menitik beratkan pada
peningkatan potensi diri peserta didik.
Penerapan model pembelajaran inkuiri memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Meningkatkan kompetensi kreatif peserta didik
2. Menumbuhkan kemandirian belajar
3. Meningkatkan sikap ilmiah peserta didik.
4. Meningkatkan keterampilan menemukan dengan proses-proses
ilmiah seperti melakukan pengamatan, pengumpulan data dan
informasi, pengorganisiran data dan informasi, mengidentifikasi

185
variabel, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, serta menarik
kesimpulan.

Ada beberapa macam jenis-jenis model inkuiri, tiga diantaranya


adalah model pembelajaran inkuiri ilmiah, model pembelajaran latihan
inkuiri, model pembelajaran latihan inkuiri yurisprudensi. Dimana,
model inkuiri ilmiah dan model pembelajaran latihan inkuiri sangat
sesuai diterapkan pada matapelajaran matematika dan sains, sementara
model pembelajaran latihan inkuiri yurisprudensi cocok diterapkan pada
bidang sosil. Sehingga, pada buku ini hanya memaparkan model inkuiri
ilmiah dan model pembelajaran latihan inkuiri.

6.6.1 Model Pembelajaran Inkuiri Ilmiah

Inkuiri ilmiah (scientific inquiry) adalah suatu model yang menitik


beratkan pada penyelesaian masalah dengan menggunakan metode
ilmiah. Model ini mendorong siswa untuk melakukan belajar dengan
cara proses ilmiah. Dimana mereka akan melakukan pengumpulan data,
menganalisis data, membuktikan hipotesis dan teori, serta membangun
pengetahuannya secara mandiri. Inti dari model ini adalah melibatkan
siswa dalam masalah penelitian yang dijamin keasliannya (orisinal).

Dalam menerapkan model pembelajaran ini, seorang guru yang


berperan sebagai fasilitator dituntut agar mampu terampil membimbing
peserta didik untuk melakukan penelitian dan mengkontruksi masalah
yang relevan dan orisinal. Selain itu, seorang guru harus
mempertimbangkan kemampuan siswa untuk mendapatkan data-data,
informasi, media, dan alat yang dibutuhkan untuk melakukan
penyelidikan. Sebab, perangkat-perangkat, data dan informasi adalah
pertimbangan utama dalam menerapkan model ini.

186
Pada saat penerapan model ini, guru berperan murni sebagai
fasilitator dan motivator. Guru membimbing peserta didik dalam upaya
melakukan penyelidikan. Pada umumnya, peserta didik akan
menemukan kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan
memecahkan permasalahan. Sehingga untuk menghindari kegagalan
dalam menerapkan model ini, diperlukan peran guru secara maksimal
untuk menyiapkan dan melakukan berikut ini.
1. Merancang pertanyaan dan masalah yang relevan untuk
diselesaikan oleh peserta didik.
2. Memulai proses inkuiri dengan menagajukan pertanyaan dan
masalah yang telah dirancang sebelumnya.
3. Menstimulus peserta didik agar agar melakkan diskusi untuk
mencari alternatif penyelesaiaan.
4. Membimbing peserta didik yang kesulitan dalam memahami
materi pendukung yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
5. Guru diperkenankan untuk menjelaskan alur dan tatacara
penyelesaian masalah apabila sebagian besar siswa tidak mempu
melakukannya.
6. Jika peserta didik masih mengalami kesulitan dalam melakukan
penyelidikan, sebaiknya guru memberikan contoh cara melakukan
prosedur ilmiah.
Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri Ilmiah
Adapun sintaks model pembelajaran Inkuiri Ilmiah (Scientific
Inquiry), diberikan sebagai berikut.

Tahapan Kegiatan
Tahap 1 Peserta didik disajikan suatu bidang penelitian berupa
permasalahan-permasalahan yang akan diselidiki
Tahap 2 Siswa menyusun atau mendesain masalah. Pada tahap ini,
dimungkinkan peserta didik akan mengalami kendala

187
dalam memahami data, mengorganisir data, mengontrol
percobaan, dan membuat kesimpulan
Tahap 3 Siswa mengidentifikasi masalah dalam penelitian. Pada
tahap ini, siswa diharapkan mampu berspekulasi mengenai
masalah yang akan diselesaikan, sehingga mereka mampu
mengidentifikasi kesulitan yang dihadapi.
Tahap 4 Peserta didik memperjelas masalah dan menyusun teori
pendukung untuk digunakan memecahkan masalah
penelitian. Pada tahab ini, peserta didik merancang
percobaan, menganalisis data dengan berbagai cara,
menghasilkan data, dll.
Sistem Sosial
Model pembelajaran ini memiliki iklim bekerja secara kooperatif,
dimana peserta didik dilibatkan dalam melakukan penelitian dengan
teknik ilmiah bersama dengan teman-temannya. Mereka melakukan
bersama bagaimana menentukan hipotesis yang baik, mencari bukti,
mengkritisi rancangan penelitian, dan lain sebagainya.
Prinsip Reaksi (Principles of Reaction)
Dalam mempraktekkan model pembelajaran inkuiri ilmiah,
setidaknya ada 4 peran guru yang sangat penting untuk diperhatikan,
yaitu: guru membimbing siswa dalam melakukan penelitian dan
mengikuti proses-proses ilmiah, guru mendukung dan memberi
penguatan kepada siswa agar mereka mampu menghadapi sulitnya
permasalahan yang harus diselesaikan, guru membimbing siswa untuk
membuat hipotesis, menafsirkan, mengkontruksi, dan menginterpretasi
hubungan masalah dengan realitas yang ditemukan, guru diharapkan
mampu memfasilitasi para peserta didik untuk mengevaluasi hasil
penelitian dan membandingkannya dengan alternatif yang lain.
Sistem Pendukung (Suppory System)
Agar model in dapat diterapkan dengan baik, maka diperlukan
sistem pendukung yaitu keterampilan instruktur yang mumpuni
melakukan inkuiri, mampu menyiapkan bahan penelitian yang terbaru

188
dan orisinal. Selain itu, dibutuhkan sistem pendukung berupa perangkat-
perangkat, alat, dan media sebagai pendukung.
Dampak Instruksional dan Pengiring (Instructional and Nurturant
Effects)
Adapun dampak instruksional dan pengiring model pembelajaran
inkuiri ilmiah diperlihatkan pada skema berikut ini.
Gambar. Dampak Intruksional dan pengiring model pembelajaran
inkuiri ilmiah

Model
Penemuan Ilmiah

Dapak Intruksional Dampak Pengiring

Pengetahuan Ilmiah Komitmen melakukan penelitian

Proses Penelitian
Pengetahuan Ilmiah
Ada beberapa kelebihan model pembelajaran inkuiri ilmih, lima
diantaranya adalah:
1. Model ini mampu menstimulus Semanagat kerjasama
peningkatan keterampilan
pemecahan masalah baru. Dengan model ini, peserta didik terlatih
keterbukaan
dan terbiasa menyelesaikan masalah dengan metode ilmiah.
2. Proses model inkuiri ilmiah mengajari siswa bagaimana untuk
belajar sesuai yang diinginkan, dan mampu meningkatkan
kemandirian belajar siswa. Secara bertahap, peserta didik akan
belajar bagaimana mengatur diri mereka untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah dengan langkah-
langkah ilmiah.

189
3. Proses belajar dengan model ini mendorong siswa untuk bekerja
sama, percaya diri, tanggung jawab, bersifat objektif, dan disiplin.
4. Mampu meningkatkan potensi intelektual peserta didik.
5. Peserta didik mampu mengolah data dan informasi menjadi suatu
pengetahuan baru berupa hasil penyelidikan.
Selain kelebihan, model inkuiri ilmiah memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya:
1. Sulit mengontrol dan mengukur keberhasilan setiap peserta didik.
2. Model ini sulit untuk diaplikasikan pada siswa yang tidak memiliki
motivasi tinggi. Sebab. Untuk menerapkannya diperlukan
keuletasn, disiplin, dan budaya belajar siswa yang mandiri.
3. Untuk menerapkan model ini dibutuhkan waktu yang cukup lama,
terutama bagi kelas yang belum terbiasa menerapkan model ini.
4. Dimungkinkan hasil penyelidikan yang ditemukan oleh peserta
didik keliru dan menyimpang dari yang diharapkan. Sehingga
dibutuhkan kerja dan peran guru semaksimal mungkin untuk
mengontrol berlangsungnya proses penyelidikan.

5. Model ini akan sulit diterapkan apabila jumlah peserta didik cukup
banyak dalam satu kelas.

6.6.2 Model Pembelajaran Latihan Inkuiri

Model inkuiri latihan (Inquiry Training Model) adalah model


inovatif yang sangat cocok diterapkan pada bidang matematika dan
sains. Model ini dikembangkan oleh Richard Suchman (1962), yang
bertujuan untuk mengajari peserta didik melakukan investigasi dan
penjelasan terhadap fenomena yang tidak biasa ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, beliau menyatakan bahwa model ini
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan kognitif dalam
mengumpulkan dan mengolah data dengan prosedur ilmiah.
Konsekuensinya, dengan menerapkan model ini mereka akan mampu

190
meningkatkan pemahaman terhadap konsep-konsep secara logis serta
hubungan kausalitas dengan melakukan pengolahan data dan informasi
secara mandiri. Selain itu, peserta didik akan terbiasa melakukan belajar
dengan cara pendekatan baru, dimana mereka mampu membangun dan
mengembangkan suatu konsep baru dan menemukan sendiri hubungan-
hubungan antara berbagai variable melalui proses berpikir tingkat tinggi.

Inkuiri latihan adalah suatu model yang digunakan untuk mencari


suatu kebenaran dan pengetahuan baru. Penyelidikan diawali dengan
adanya suatu masalah, dimana untuk menyelesaikannya diperlukan
melakukan serangkaian observasi, pengumpulan data dan informasi
(Lee, Virginia. S., 2011). Selain itu, model ini membantu peserta didik
dalam menyusun fakta, membentu konsep secara mandiri, selanjutnya
menemukan jawaban atas masalah yang diselidiki baik berupa konsep
atau teori yang dapat menjelaskan suatu fenomena (Joyce & Weil, 2009).
Model ini melibatkan peserta didik untuk turut andil dalam
pemecahan masalah. Selain itu, peserta didik diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi penyelidikan suatu masalah
dengan melakukan latihan. Dimana latihan inkuiri diawali dengan suatu
teka-teki, selanjutnya mereka didorong untuk memecahkan permasalahan
tesebut.
Ada beberapa prinsip penting yang mesti diperhatiakan dalam
menerapkan model latihan inkuiri (Joyce & Weil, 2009), yaitu:
memastikan bahwa semua pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik
dapat dijawab dengan YA atau TIDAK. Ada beberpa tujuan mengapa
mengharuskan peserta didik mengajukan pertanyaan dengan jawaban YA
atau TIDAK, yaitu:
1. Membelajarkan peserta didik bagaimana cara menyusun
pertanyaan yang tersusun dan terarah.

191
2. Membelajarkan peserta didik bagaimana menyusun informasi
untuk mendukung kesimpulan sementara.
3. Membelajarkan peserta didik bagaimana menganalisis suatu situasi
dalam menyelesaikan hubungan antara variabel.
Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri Latihan
Ada beberapa penjelasan para ahli mengenai sintaks model
pembelajaran inkuiri latihan, seperti Joyce & Weil dan Richard
Suchman. Joyce & Weil (2009), berpendapat ada lima tahapan yang
mesti dilakukan dalam menerapkan model ini. Selain itu, Richard
Suchman berpendapat cukup dengan fase. Adapun sintaks pembelajaran
latihan inkuiri dengan 5 tahap diberikan sebagai berikut (Joyce & Weil,
2009).
Tabel. Sintaks Model Pembelajaran Latihan Inkuiri (Joyce & Weil,
2009)

Tahapan Aktivitas
Tahap 1 Mengkonfrontasikan siswa dengan masalah. Hal-hal, yang
mesti dilakukan pada tahap ini adalah:
 Guru menjelaskan prosedur-prosedur latihan inkuiri.
 Guru memulai proses pembelajaran dengan
memberikan masalah yang unik kepada peserta didik.
Tahap 2 Pengumpulan Data-Memverifikasi
 nguji keadaan dan kondisi dari objek
 menguji bagaimana terjadinya kejadian dari situasi
masalah
Tahap 3 Pengumpulan-Eksperimen
 Memisahkan variabel-variabel yang relevan,
 Melakukan hipotesis (menguji) hubungan kausalitas
Tahap 4 Mengorganisasi, Merumuskan, dan Menjelaskan.
 Merumuskan hukum-hukum atau penejelasan-
penjelasan.
Tahap 5 Menganalasis proses inkuiri
Menganalisis strategi-strategi pemecahan masalah yang
telah mereka gunakan selama penelitian dan

192
mengembangkan strategi yang lebih efektif.

Adapun sintaks model pembelajaran inkuiri menurut Suchman


diberikan sebagai berikut.

Tahap Kegiatan
Perencanaan  Mengidentifikasi tujuan
aktivitas  Mempesiapkan masalah
 Mempersiapkan alat peraga yang diperlukan
inkuiri  Mempersiapkan media
Pelaksanaan  Memberikan masalah kepada peserta didik
aktivitas  Merumuskan hipotesis
 Mengumpulkan data
inkuiri  Mengakhiri kegiatan
Evaluasi  Mengevaluasi proses inkuiri
aktivitas  Mengevaluasi hasil penyelidikan

inkuiri
Berdasarkan teori pendukung dan pndapat para ahli mengenai
sintaks model pembelajaran latihan inkuiri dapat lebih dispesifikkan
sebagai berikut.

Tahap dan Kegiatan Model Latihan Inkuiri


Tahap 1. Orientasi
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan pada tahap
ini, yaitu:
 Membangun suasana belajar yang kondusif dan responsif.
Peserta didik mesti termotivasi untuk melakukan inkuiri
terhadap masalah yang akan diberikan.
 Merangsang rasa ingin tahu siswa terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh guru.
 Siswa menebak jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh
guru.
 Mennjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan.

193
 Menjelaskan rangkaian prosedur kegiatan inkuiri yang akan
dilakukan. Pada tahap ini, guru menjelaskan prosedur dan tujuan
kegiatan inkuiri.
 Menjelaskan pentingnya mempelajari topik yang akan dipelajari
dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata.
 Menyiapkan media dan alat-alat yang diperlukan.
Tahap 2. Merumuskan masalah
Pada tahap ini, guru membawa para siswa pada persoalan yang
mengandung teka-teki. Dikatakan teka-teki, sebab rumusan masalah
yang diberikan mempunyai jawaban yang menimbulkan rasa ingin
tahu peserta didik. Dalam merancang rumusan masalah, ada beberapa
hal yang mesti diperhatikan, yaitu.
 Sebaiknya guru menjelaskan tatacara merumuskan suatu
masalah.
 Untuk memotivasi peserta didik mencari jawaban atas masalah
yang dirumuskan, sebaiknya masalah ini dirumuskan oleh
peserta didik.
 Masalah yang akan diselessaikan adalah masalah yang yang
mengandung teka-teki dan dapat diselesaikan.
 Guru harus memastikan bahwa peserta didik telah menguasai
teori dan konsep pendukung yang diperlukan untuk menemukan
jawaban.
Tahap 3. Mengajukan hipotesis (jawaban sementara dari suatu
permasalahan)
 Peserta didik harus benar-benar menganalisi akar masalah, agar
tidak keliru dalam menentukan jawaban sementara.
 Hipotesis yang diajukan peserta didik harus didasarkan pada
kerangka berfikir yang kokoh.
Tahap 4. Mengumpulkan data dan informasi.
Setelah menentukan hipotesis, selanjutnya peserta didik melakukan
pengumpulan data dan informarmasi yang dibutuhkan untuk menguji

194
hipotesis. Semakin valid dan lengkap data yang diperoleh, tentu akan
semakin mudah melakukan pengujian hipotesis tersebut.
Tahap 5. Menguji Hipotesis
Pada tahap ini, peserta didik akan melakukan pengujian terhadap
hipotesisnya. Pada proses ini, peserta didik akan bekerja dengan
sungguh-sungguh dalam menentukan jawaban yang dianggap benar
berdasarkan data dan informasi yang didapat sebelumnya. Pada tahap
ini, peserta didik dilatih untuk memberikan jawaban dengan cara
berpikir logis, kritis, dan sistematis yang mengikuti prosedur ilmiah.
Tahap 6. Merumuskan Kesimpulan
Pada tahab ini, peserta didik mendeskripsikan temuannya dengan
sistematis.
Tahap 7. Mengevaluasi hasil dan proses inkuiri.
Pada tahap ini, peserta didik dan guru melakukan proses evaluasi
terhadap proses-proses inkuiri yang dilakukan siswa. Sebab, pada
penerapan model inkuiri sangat memprioritaskan proses-proses yang
dilakukan siswa sebagai pelajaran untuk melakukan inkuiri pada
masalah yang berbeda. Selain itu, guru dan peserta didik perlu
melakukan evaluasi terhadap hasil yang ditemukan untuk memastikan
bhwa temuan tersebut benar.

Sistem Sosial

Sistem Sosial yang mendukung model latihan inkuiri adalah


kerjasama, kebebasan berpendapat, kesamaan derajat, kebebasan
intlektual, saling mendukung, dan menghargai sesama. Pada saat model
ini diterapkan, guru sebagai fasilitator mengontrol terjadinya komunikasi
antara peserta didik dan membimbing mereka dalam melakukan
prosedural latihan inkuiri, sehingga terjadi interaksi yang harmonis
antara peserta didik dan guru. Suasana belajar akan berjalan demokratis

195
yang terarah dan terukur, sebab semua peserta didik berkesempatan
untuk menyampaikan ide-ide yang relevan dan ilmiah (Joyce, B. & Weil,
M.,2009).

Prinsip Reaksi

Adapun prinsip-prinsip reaksi yang mesti dikembangkan pada


model latihan inkuiri adalah: guru mengajukan pertanyaan yang dapat
menyebabkan timbulnya rasa ingin tahu para peserta didik, sehingga
mereka termotivasi untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan, guru harus memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada peserta didik untuk memperbaiki pertanyaan dan
menjawab pertanyaan yang dijawab dengan YA atau TIDAK. Selain itu,
guru menyediakan waktu untuk membimbing mengenai konsep dan teori
yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya,
prinsip reaksi yang dibutuhkan, mendorong proses inkuiri berjalan
dengan baik, seperti kebebasan intelektual, interaksi, ekplorasi,
formulasi, serta menjeneralisasi.

Sistem Pendukung

Sistem pendukung yang diperlukan dalam pelaksanaan midel ini


adalah berupa materi konfrontasi yang mampu menstimulus proses
inkuiri, strategi inkuiri, dan masalah yang mampu memotivasi siswa
untuk menjawabnya, sehingga mereka bersemangat untuk melakukan
proses inkuiri.

Dampak Intruksional dan Pengiring

196
Adapun dampak instruksional dalam model pembelajaran ini
adalah trategi untuk inkuiri kreatif dan proses ilmiah. Sedangkan,
dampak pengiringnya adalah semangat kreatifitas, hakikat keilmuan
yang tentatif, toleransi terhadap perbedaan pendapat, dan kemandirian
belajar (Joyce, B. & Weil, M.,2009). Dampak instruksional dan
pengiring dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar. Dampak intruksional dan pengiring model pembelajaran
latihan inkuiri

Model Latihan Inkuiri

Dampak Pengiring Dampak Intruksional

semangat kreatifitas
Strategi untuk inkuiri kreatif
hakikat keilmuan yang tentatif

6.7 Proses
Model Ilmiah
Pembelajaran Induktif
toleransi terhadap perbedaan pendapat
Model pembelajaran induktif merupakan sebuah model
pembelajaran bersifat langsung. Model ini telah terbuktibelajar
kemandirian mampu
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi apabila dilakukan
secara baik dan benar. Tingkat efektifitas model ini sangat bergantung
pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran,
dimana guru berfungsi sebagai pembimbing dan fasilitator.

Model pembelajaran induktif dipelopori oleh Taba model yang


didesain untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Taba membangun
model ini dengan pendekatan yang didasarkan atas tiga asumsi, yaitu:

197
1. Proses berpikir dapat dipelajari. Mengajar seperti yang digunakan
oleh Taba berarti membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir induktif melalui latihan (practice).

2. Proses berpikir adalah suatu transaksi aktif antara individu dan


data. Ini berarti bahwa siswa menyampaikan sejumlah data dari
beberapa domain pelajaran. Siswa menyususn data ke dalam sistem
konseptual, menghubungkan poin-poin data dengan data yang lain,
membuat generalisasi dari hubungan yang mereka temukan, dan
membuat kesimpulan dengan hipotesis, meramalkan dan
menjelaskan fenomena.

3. Mengembangkan proses berpikir dengan urutan yang “sah menurut


aturan”. Postulat Taba bahwa untuk menguasai keterampilan
berpikir tertentu, pertama seseorang harus menguasai satu
keterampilan tertentu sebelumnya, dan urutan ini tidak bisa dibalik

Model pembelajaran induktif ini dibagi menjadi tiga fase yaitu:


pembelajaran konsep, interpretasi data dan aplikasi prinsip.
Pembentukan konsep merupakan proses berpikir yang kompleks yang
mencakup membandingkan, menganalisa dan mengklasifikasikan dan
penalaran induktif serta hasil dari sebuah pemahaman (Joyce & Weil;
2002).

Dari identifikasi Taba dan strategi yang dikembangkan dapat


disimpulkan bahwa model pembelajaran induktif adalah suatu kegiatan
belajar mengajar, dimana guru bertugas memfasilitasi siswa untuk
menemukan suatu kesimpulan sebagai aplikasi hasil belajar melalui
strategi pembentukan konsep, interpretasi data dan aplikasi prinsip.
Pendekatan induktif-deduktif dalam pembelajaran adalah salah satu

198
pendekatan yang berorientasi pada paham bahwa belajar pada dasarnya
adalah pengembangan intelektual. Pengembangan intelektual seseorang
akan berkembang melalui dua cara, yaitu : “secara induktif dan
deduktif”. Dalam pendekatan induktif pembehasan dimulai dengan fakta-
fakta atau data-data, konsep teori yang telah diuji berkali-kali kemudian
disusun ke atas menjadi suatu generalisasi kemudian ke hal yang khusus.

Sintaks Pembelajaran

Tahapan-tahapan model induktif menurut Taba mempunyai strategi-


strategi, yaitu: strategi pembentukan konsep, interpretasi data dan
aplikasi prinsip. Secara detail dijelaskan sebagai berikut:

Strategi I Tahap Pertama


Pembentukan Mengidentifikasi dan menyebutkan data satu
Konsep persatu. Data yang relevan dimasukkan ke dalam
topik atau masalah.
Tahap Kedua
Mengelompokkam data ke dalam katagori yang
sejenis
Tahap Ketiga
Mengembangkan labellabel dari setiap katagori
Strategi II Tahap Pertama
Intepretasi Data Mengidentifikasi dimensi-dimensi yang saling
berhubungan
Tahap Kedua
Menjelaskan dimensidimensi yang saling
behubungan
Tahap Ketiga
Membuat inferensi atau kesimpulan
Strategi III Tahap Pertama
aplikasi Prinsip Memprediksi akibat, menjelaskan fenomena
yang tidak lumrah dan melakukan hipotesis
Tahap Kedua
Menjelaskan dan atau mendukung hipotesis
Tahap Ketiga
Menguji perkiraan.

199
Sistem Sosial

Semua strategi dalam model ini adalah memerlukan lingkungan kelas


kooperatif, dengan aktivitas siswa yang baik. Hal ini menunjukkan
bahwa model ini mempunyai struktur yang cukup tinggi. Struktur itu
adalah bekerja sama, tetapi guru berperan sebagai inisiator dan
pengontrol aktivitas.

Prinsip Reaksi

Dalam mengimplementasikan model ini, Taba menetapkan guru dengan


petunjuk atau pedoman yang agak jelas untuk bereaksi dan merespon di
dalam setiap fase. Untuk itu prinsip reaksi yang diperlukan dalam model
ini adalah: guru mencocokkan tugas-tugas pada tingkat aktivitas kognitif
siswa dan menentukan juga kesiapan siswa.

Sistem Pendukung

Strategi-strategi ini dapat digunakan pada setiap pembelajaran yang


mempunyai jumlah data mentah besar yang dibutuhkan untuk
diorganisir. Untuk itu, dalam mendukung proses pembelajaran dengan
model ini siswa perlu data mentah untuk mengatur dan menganalisis.
Tugas guru adalah membantu siswa dalam pemrosesan data dengan cara-
cara yang kompleks, dan pada saat yang sama untuk meningkatkan
kapasitas umum sistemnya untuk memproses data.

Dampak

Dampak instruksional pada model berpikir induktif adalah pembentukan


informasi, konsep, keterampilan, dan hipotesis, dan, secara bersamaan
mengajarkan konsep, sistem konseptual dan aplikasinya. Dampak
pengiring model ini adalah spirit untuk meneliti, kesadaran terhadap sifat

200
pengetahuan, dan berpikir logis. Kedua dampak tersebut dapat
dibagankan seperti gambar berikut.

Gambar. Dampak intruksional dan pengiring model

Model Pembelajaran
Induktif

Dampak Intruksional Dampak Pengiring

Pembentukan informasi, konsep, keterampilan, dan hipotesis


Kesadaran akan hakikat pengetahuan

Berpikir logis

Semangat untuk menemukan


Mengajarkan konsep, sistem konseptual dan aplikasinya

201
6.8 Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan


pembelajaran yang melibatkan kelompok dimana siswa bekerja secara
berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Eggen dan Kauchak,
1996:279). Model pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha
untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan
pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam
kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi
dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi
dalam model pembelajaran koperatif siswa berperan ganda yaitu sebagai
siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk
mencapai sebuah tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan
keterampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat
bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.

Tabel Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan


Kelompok Belajar Konvensional
Kelompok Belajar
Kelompok Belajar Kooperatif
Konvensional

Adanya saling ketergantungan Guru sering membiarkan adanya


positif, saling membantu, dan saling siswa yang mendominasi
memberikan motivasi sehingga ada kelompok atau menggantungkan
interaksi promotif diri pada kelompok

Adanya akuntabilitas individual Akuntabilitas individual sering


yang mengukur penguasaan materi diabaikan sehingga tugas-tugas
pelajaran tiap anggota kelompok, sering diborong oleh salah
dan kelompok diberi umpan balik seorang anggota kelompok
tentang hasil belajar para sedangkan anggota kelompok
anggotanya sehingga dapat saling lainnya hanya “mendompleng”
mengetahui siapa yang memerlukan keberhasilan “pemborong”

202
bantuan dan siapa yang dapat
memberikan bantuan

Kelompok belajar heterogen, baik Kelompok belajar biasanya


dalam kemampuan akademik, jenis homogeny
kelamin, ras, etnik, dan sebagainya
sehingga dapat saling mengetahui
siapa yang memerlukan bantuan dan
siapa yang memberikan bantuan

Pimpinan kelompok dipilih secara Pemimpin kelompok sering


demokratis atau bergilir untuk ditentukan oleh guru atau
memberikan pengalaman memimpin kelompok dibiarkan untuk
bagi para anggota kelompok memilih pemimpinnya dengan
cara masing-masing

Keterampilan sosial yang diperlukan Keterampilan sosial sering tidak


dalam kerja gotong royong seperti
kepemimpinan, kemampuan secara langsung diajarkan
bermunikasi, memercayai orang
lain, dan mengelola konflik secara
langsung diajarkan

Pada saat belajar kooperatif sedang Pemantauan melalui observasi


berlangsung guru terus melakukan dan intervensi sering tidak
pemantauan melalui observasi dan dilakukan oleh guru pada saat
melakukan intervensi jika terjadi belajar kelompok sedang
masalah dalam kerja sama antar- berlangsung
anggota kelompok

Guru memperhatikan secara proses Guru sering tidak


kelompok yang terjadi dalam memperhatikan proses
kelompok-kelompok belajar kelompok yang terjadi dalam
kelompok-kelompok belajar

Penekanan tidak hanya pada Penekanan sering hanya pada


penyelesaian tugas tetapi juga penyelesaian tugas
hubungan interpersonal

Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan


mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama

203
mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan pembelajaran ini mencakup tiga
jenis tujuan penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Ibrahim, dkk,
2000:7). Para ahli telah menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik, unggul
dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, dan
membantu siswa menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti
terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman ras, budaya dan
agama, strata sosial, kemampuan, dan ketidakmampuan (Ibrahim, dkk,
2000:9). Model pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan
baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja
bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Model pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa
yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung
satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan
struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama
lain. Model pembelajaran kooperatif sangat tepat digunakan untuk
melatihkan kerjasama dan kolaborasi, dan juga keterampilan-
keterampilan tanya jawab (Ibrahim, dkk, 2000: 9).
Menurut Johnson dan Johnson (1994) dan Sutton (1992), terdapat
lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu:
1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. Dalam
belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja
sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain.
Seorang siswa tidak sukses kecuali semua anggota kelompoknya
juga sukses. Siswa merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari

204
kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya
kelompok;
2. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat. Belajar kooperatif
meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini terjadi dalam hal
seorang siswa membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota
kelompok. Saling memberikan bantuan, pembelajaran berlangsung
secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok
mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini,
siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman
sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar koperatif
adalah dalam hal tukar-menukar ide mengenai masalah yang
sedang dipelajari bersama;
3. Tanggung jawab individual. Tanggung jawab individual dalam
belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal:
(a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) siswa
tidak dapat hanya sekadar “membonceng” pada hasil kerja teman
jawab siswa dan teman sekelompoknya;
4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. Dalam belajar
kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang
diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana siswa
berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana
siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide
dalam kelompok menuntut keterampilan khusus; dan
5. Proses kelompok. Belajar kooperatif tidak berlangsung tanpa
proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok
mendiskusikan bagaimana mereka mencapai tujuan dengan baik
dan membuat hubungan kerja yang baik.

205
Selain lima unsur penting yang terdapat dalam model pembelajaran
kooperatif, pembelajaran ini juga mengandung prinsip-prinsip yang
membedakan dengan pembelajaran lainnya. Konsep utama dari belajar
kooperatif menurut Slavin (1995) adalah sebagai berikut:

 Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok


mencapai kriteria yang ditentukan;

 Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok


tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok.
Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang
lain dan memastikan setiap anggota kelompok telah siap
menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain;

 Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah


membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka
sendiri. Hal ini memastikan bahwa siswa berkemampuan tinggi,
sedang, dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang
terbaik dan bahwa kontribusi anggota kelompok sangat bernilai.

6.8.1 Model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams


Achievement Divisions)
Pembelajaran model koooperatif tipe STAD merupakan salah satu
pembelajaran kooperatif yang diterapkan untuk menghadapi kemampuan
siswa yang heterogen. Di mana model ini dipandang sebagai metode
yang paling sederhana dan langsung dari pendekatan pembelajaran
kooperatif.
Dalam model pembelajaran ini, masing-masing kelompok
beranggotakan 4-5 orang yang dibentuk dari anggota yang heterogen
terdiri dari laki-laki dan 11 perempuan yang berasal dari berbagai suku,
yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jadi, model

206
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu model
pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan
kerjasama, kreatif, berpikir kritis dan ada kemampuan untuk membantu
teman serta merupakan pembelajaran kooperatif yang sangat sederhana.
Teknik mengajar STAD dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai
metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam
pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Dalam
teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan
pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak
kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi.
Pembelajaran STAD adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif
yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu
mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya
(Arends 1997: 111).
STAD didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa
terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka
juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada
anggota kelompoknya yang lain.
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama
bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang
topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian
siswasiswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan

207
kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka
pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran STAD, terdapat kelompok asal dan
kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang
beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang
keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari
beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari
anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari
dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang
berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada
anggota kelompok asal.
Menurut Slavin STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu
prestasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, rekognisi tim.
a. Prestasi kelas. Materi dalam STAD pertama-tama dikenalkan
dalam prestasi didalam kelas.
b. Tim. Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh
bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras
dan etnisitas.
c. Kuis. Setelah sekitar satu atau dua periode setelah guru
memberikan presentasi dan sekitar satu atau dua periode praktek
tim, para siswa akan mengerjakan kuis individual.
d. Skor Kemajuan Individual. Gagasan dibalik skor kemajuan
individual adalah untuk memberikan kepada setiap siswa tujuan
kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat
dan memberikan kinerja yang lebih baik dari pada sebelumnya.
e. Rekognisi team. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk
penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai
kriteria tertentu
Adapun tahap-tahap Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams
Achievement Division (STAD), diberikan sebagai berikut:

208
1. Tahap Penyajian Materi
Guru menyajikan materi melalui metode ceramah, demonstrasi,
ekspositori, atau membahas buku pelajaran matematika. Dalam
tahap ini, guru menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan
memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang konsep yang akan
dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan apa yang telah
dimiliki dengan yang disampaikan oleh guru.
2. Tahap Kegiatan Kelompok Guru membagikan LKS kepada setiap
siswa sebagai bahan yang dipelajari guna kerja kelompok. Guru
menginformasikan bahwa LKS harus benar-benar dipahami bukan
sekedar diisi dan diserahkan pada guru. LKS juga digunakan
sebagai keterampilan kooperatif siswa. Dalam hal ini, apabila di
antara anggota kelompok ada yang belum memahami, maka teman
sekelompoknya wajib memberi penjelasan kembali karena guru
hanya sekedar menjadi fasilitator yang memonitor kegiatan setiap
kelompok.
3. Tahap Tes Individu
Tes individu atau hasil belajar ini digunakan setelah kegiatan
kelompok usai dan dikerjakan secara individu. Tes ini bertujuan
supaya siswa dapat menunjukkan apa yang mereka pahami saat
kegiatan kelompok berlangsung dan disumbangkan sebagai nilai
kelompok.
4. Tahap perhitungan Nilai Perkembangan Individu
Perhitungan nilai perkembangan individu dimaksudkan agar setiap
siswa terpacu untuk meraih prestasi yang maksimal. Perhitungan
nilai perkembangan individu dihitung berdasarkan skor awal. Skor
awal mewakili skor rata-rata siswa pada kuis-kuis sebelumnya.
Apabila memulai model kooperatif tipe STAD setelah memberikan

209
tiga kali atau lebih kuis, maka digunakan hasil nilai terakhir siswa
dari tahun lalu.
5. Tahap Penghargaan Kelompok

Penghargaan kelompok diberikan secara sederhana oleh peneliti


atas dasar aktivitas dan jumlah siswa yang tuntas belajar. Bentuk
penghargaannya sangat situasional. Peneliti (Guru) bisa
memberikan poin pada kelompok dengan aturanaturan khusus
ataupun dengan cara sederhana yang intinya kerja keras siswa
beserta kelompoknya dihargai apapun hasinya.

6.8.2 Model pembelajaran kooperatif tipe JIGSAW

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menurut Slavin (dalam


Trianto, 2011:73) mengemukakan bahwa pembelajaran ini memiliki
langkah-langkah, yaitu:

 siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya


5-6 orang);
 materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang
telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab;
 setiap anggota kelompok membaca subbab yang ditugaskan dan
bertanggung jawab untuk mempelajarinya;
 anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang
sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk
mendiskusikannya;
 setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya
bertugas mengajar teman-temannya;
 pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswi dikenai
tagihan berupa kuis individu.
Kelebihan Model Pembelajaran Tipe Jigsaw menurut Isjoni
(2009:13) kelebihan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, adalah:

210
 Memacu siswa untuk lebih aktif, kreatif serta bertanggungjawab
terhadap proses belajarnya
 Mendorong siswa untuk berfikir kritis
 Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan ide yang
dimiliki untuk menjelaskan materi yang dipelajari kepada siswa
lain dalam kelompok tersebut.
 Diskusi tidak didominasi oleh siswa tertentu saja tetapi semua
siswa dituntut untuk menjadi aktif dalam diskusi tersebut.

 Melibatkan semua anggota kelompok dalam diskusi 6. Melatih


siswa mengemukakan pendapat atau gagasan dari ide-ide.
Adapun langkah-langkah penerapan model Cooperative Learning
tipe Jigsaw adalah sebagai berikut:
 Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dengan
pembelajaran ini.
 Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok misal lima kelompok
 Guru membagi topik yang berbeda ke setiap kelompok
 Kelompok Cooperative Learning memilih ketua yang bertugas
membagi topik kepada anggotanya
 Anggota kelompok diperintahkan untuk berpasangan dengan
teman yang berbeda topik untuk saling tukar pikiran tentang topik
yang telah ditentukan dan mencatat hasilnya.
 Dari kelompok Cooperative diubah menjadi lima kelompok ahli
yang terdiri dari masing-masing anggota yang mendapatkan topik
yang sama.
 Setiap kelompok ahli membuat laporan tentang deskripsi perilaku
atau perlakuan dari topik yang ditugaskan.
 Dari kelompok ahli kembali lagi ke kelompok kooperatif asalnya
masing-masing dengan membawa lembar kerja.

211
 Sekarang kelompok Cooperative Learning mensistematisasi hasil
laporan kelima kelompok ahli menjadi tata tertib kelas yang akan
dipersentasikan.
 Masing-masing kelompok menunjuk wakil untuk
mempresentasikan tata tertib yang telah dirumuskan

 Trainer memberikan penilaian untuk menentukan peringkat tata


tertib terbaik.

6.8.3 Model pembelajaran kooperatif tipe TGT

Model pembelajaran TGT merupakan salah satu tipe model


pembelajaran kooperatif. Slavin (2005: 163) mengemukakan TGT adalah
model pembelajaran kooperatif menggunakan turnamen akademik dan
menggunakan kuis-kuis, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim
mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya
setara seperti mereka. Menurut Asma (2006: 54) model TGT adalah
suatu model pembelajaran oleh guru dan diakhiri dengan memberikan
sejumlah pertanyaan kepada siswa. Setelah itu siswa pindah ke
kelompok masing-masing untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang diberikan guru.
Sebagai ganti tes tertulis siswa akan bertemu di meja turnamen.
Model TGT pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan
Keith Edwards, merupakan metode pembelajaran pertama dari John
Hopkins (Slavin, 2005: 13). Metode ini memiliki banyak kesamaan
dengan STAD, tetapi TGT menambahkan dimensi kegembiraan dengan
mengganti kuis pada STAD menjadi permainan atau tournament.
Menurut Huda (2011: 117) dengan TGT siswa akan menikmati
bagaimana suasana turnamen, dan karena mereka berkompetisi dengan
kelompok yang memiliki kemampuan setara, membuat TGT terasa lebih

212
fair dibandingkan kompetisi dalam pembelajaran tradisional pada
umumnya.
Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournamet terdiri dari
5 komponen utama, yaitu: presentasi di kelas, tim (kelompok) game
(permainan), turnamen (pertandingan), dan rekognisi tim (penghargaan
kelompok)
1) Presentasi di kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam
penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung
atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat
penyajian kelas ini, siswa harus benar-benar memperhatikan dan
memahami materi yang diberikan guru, karena akan membantu
siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat
game karena skor game akan menentukan skor kelompok
2) Tim (team)
Kelompok biasanya terdiri atas empat sampai dengan lima orang
siswa. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi
bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk
mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan
optimal pada saat game. Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar
tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok
siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan
penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami
materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil
kerja kelompok.

3) Game
Game terdiri atas pertanyaan – pertanyaan yang kontennya relevan
yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa

213
dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Kebanyakan
gane terdiri dari pertanyaan – pertanyaan sederhana bernomor.
Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan
yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar
pertanyaan itu akan mendapatkan skor. Permaianan dalam TGT
dapat berupa pertanyaan – pertanyaan yang ditulis pada kartu kartu
yang diberi angka. Seorang siswa mengambil sebuah kartu
bernomor dan harus 26 menjawab pertanyaan sesuai nomor yang
tertera pada kartu tersebut.
4) Turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung.
Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah
guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan
kerja kelompok terhadap lembar kegiatan.
5) Rekognisi Tim (penghargan kelompok)
Penghargaan diberikan kepada tim yang menang atau mendapat
skor tertinggi, skor tersebut pada akhirnya akan dijadikan sebagai
tambahan nilai tugas siswa. Selain itu diberikan pada hadiah
(reward) sebagai motivasi belajar.
Adapun Kelebihan model kooperatif tipr Teams Games
Tournamest (TGT) adalah:
 Dapat memperluas wawasan siswa.
 Dapat merangsang kreativitas siswa dalam memunculkan ide
dalam memecahkan suatu masalah.
 Dapat mengembangkan sikap menghargai pendapat orang lain dan
bekerja sama.
 Dapat menumbuhkanpartisipasi siswa menjadi lebih aktif.
Sedangkan, kekurangan model kooperatif tipr Teams Games
Tournamest (TGT) yaitu:
1. Kemungkin besar permainan akan dikuasai oleh siswa yang suka
berbicara atau ingin menonjolkan diri.

214
2. Tidak dapat dipakai pada kelompok yang besar
3. Peserta mendapat informasi yang terbatas.
4. Menyerap waktu yang cukup banyak.
5. Tidak semua guru memahami cara siswa melakukan permainan.
6. Ruangan kelas menjadi ramai dan mengganggu ruangan lain.
Langkah-langkah Pelaksanaan model Team Games Tournament
(TGT) dijelaskan pada poin-poin berikut ini.
 Umumkanlah penempatan meja Tournament dan mintalah mereka
memindahkan meja-meja bersama atau menyusun meja sebagai
meja turnamen.
 Acaklah nomor-nomornya supaya para siswa tidak tahu mana meja
“ atas” dan yang “ bawah”.
 Mintalah salah satu siswa yang anda pilih untuk membagikan satu
lembar permainan, satu lembar jawaban, satu kotak kartu nomor,
dan satu lembar skor permainan pada tiap meja.
 Ambil kartu bernomor dan carilah soal yang berhubungan dengan
nomor tersebut pada lembar permainan. 5) Bacalah pertanyaannya
dengan keras.
 Cobalah untuk menjawab, diantaranya adalah:
a) Penantang I (menantang jika memang dia mau dan memberikan
jawaban berbeda atau boleh melewatinya.
b) Penantang II (boleh menantang jika penantang 1 melewatinya
dan jika dia memang mau memberikan jawabannya). Apabila
semua penantang sudah melewati, penantang II memeriksa
lembar jawaban. Siapapun yang jawabannya benar berhak
menyimpan kartunya. Jika si pembaca salah, tidak ada sanksi,
tetapi jika kedua penantangnya yang salah, maka dia harus
mengembalikan kartu yang telah dimenangkannya kedalam
kotak, jika ada.
6.8.4 Model pembelajaran kooperatif tipe GI
Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif
yang paling kompleks. Model ini pertama kali dikembangkan oleh

215
Thelan. Dalam perkembangannya model ini diperluas dan dipertajam
oleh Sharan dari Universitas Tel Aviv. Pendekatan ini memerlukan norma
dan struktur kelas yang lebih kompleks daripada pendekatan yang lebih
berpusat kepada guru. Pendekatan ini juga memerlukan mengajar peserta
didik keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik.
Model cooperative learning adalah sebuah model pembelajaran
yang membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan maksud
agar siswa dapat bekerja dan belajar bersama dalam sebuah kelompok
untuk menyelesaikan tugas secara bersama dan saling membantu dalam
kelompoknya. Dalam model pembelajaran kooperatif lebih menekankan
pada tugas-tugas yang diberikan guru untuk diselesaikan bersama dengan
anggota kelompoknya, sedangkan peran guru hanya sebagai fasilitator
dalam membimbing siswa menyelesaikan tugas.
Group Investigation merupakan model pembelajaran yang
melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam bentuk topik maupun
cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Group Investigation
menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam
berkomunikasi ataupun dalam keterampilan proses kelompok
(Komalasari, 2011: 75). Model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation dapat dipakai guru untuk mengembangkan kreativitas
peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok. Model
pembelajaran kooperatif group investigation juga dirancang untuk
membantu terjadinya rasa tanggung jawab ketika peserta didik mengikuti
proses pembelajaran (Rusman, 2011).
Sedangkan menurut Miftahul Huda (2011: 16), “Group
Investigation diklasifikasikan sebagai metode investigasi kelompok
karena tugas-tugas yang diberikan sangat beragam, mendorong siswa
untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi dari beragam sumber,

216
komunikasinya bersifat bilateral dan multilateral, serta penghargaan yang
diberikan sangat implisit”. Dalam model group investigation, siswa
memiliki pilihan penuh untuk merencanakan apa yang dipelajari dan
diinvestigasi. Siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil secara
heterogen dan masing-masing kelompok diberi tugas dengan proyek
yang berbeda-beda. Berdasarkan pada pendapat para ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa model cooperative learning tipe group investigation
merupakan model pembelajaran kooperatif yang melibatkan siswa secara
maksimal dalam kegiatan pembelajaran mulai dari merencanakan topik-
topik yang akan dipelajari, bagaimana melaksanakan investigasinya,
hingga melakukan presentasi kelompok dan evaluasi. Model ini
menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri
materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahanbahan
yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari
melalui internet. Dalam menerapkan model investigasi kelompok pada
pembelajaran diperlukan keterampilan berkomunikasi yang baik antar
siswa untuk memperlancar jalannya proses kelompok, sehingga sebelum
melakukan investigasi kelompok guru diharapkan memberikan
pelatihan-pelatihan berkomunikasi kepada siswa. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Nur Asma (2006: 61) bahwa “keberhasilan pelaksanaan
Investigasi Kelompok sangat tergantung dengan latihan-latihan
berkomunikasi dan berbagai keterampilan sosial lain yang dilakukan
sebelumnya”.
Menurut pandangan Slavin dalam Joyce dkk (2009: 321),
pembelajaran dengan investigasi kelompok dapat dilakukan dengan
membagi tugas yang berbeda saat kelompok tengah mengerjakan suatu
tugas proyek. Cara tersebut dapat meningkatkan energi dari masing-
masing siswa. Masing-masing individu bertanggung jawab untuk

217
menguasai informasi tertentu dan menyampaikannya pada siswa lain.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin beragam bahan yang
dipelajari dalam suatu kelompok, maka perilaku atau tanggung jawab
terhadap tugas akan semakin positif.
Sedangkan menurut penelitian Sharan dalam Joyce dkk (2009:
321), semakin tinggi daya kooperatif suatu kelompok maka akan
semakin positif energi yang dimiliki siswa dalam mengerjakan tugas
maupun bergaul dengan temannya. Kompleksitas sosial yang semakin
bagus akan meningkatkan prestasi dan capaian dari beberapa tujuan
pembelajaran yang lebih kompleks, baik secara konsep maupun teori.
Menurut penelitian ini, peningkatan informasi dalam pembelajaran juga
dapat meningkatkan skill yang dimiliki siswa.
Adapun ciri-ciri model Pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation (GI) adalah sebagai berikut:
 Para peserta didik bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dan
memiliki independensi terhadap guru.
 Kegiatan-kegiatan peserta didik terfokus pada upaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan.
 Kegiatan belajar peserta didik akan selalu mempersyaratkan
mereka untuk mengumpulkan sejumlah data, menganalisisnya dan
mencapai beberapa kesimpulan.
 Peserta didik akan menggunakan pendekatan yang beragam di
dalam belajar.
 Hasil-hasil dari penelitian peserta didik dipertukarkan di antara
seluruh peserta didik.
Langkah-langkah dalam pembelajaran Group Investigation
menurut Joyce dkk (2009: 319) adalah sebagai berikut:
1. Fase pertama: Siswa dihadapkan pada keadaan yang penuh teka-
teki dan membingungkan (direncanakan atau tidak)
2. Fase kedua: Siswa mengeksplorasi reaksi terhadap situasi.

218
3. Fase ketiga: Siswa merumuskan tugas dan mengatur pelajaran
(masalah definisi, peran, tugas, dll)
4. Fase keempat: Kemandirian dalam kelompok belajar
5. Fase kelima: Siswa menganalisis kemajuan dan proses
6. Fase keenam: Mendaur ulang aktivitas.
Sedangkan menurut Slavin (2010: 218), pembelajaran model
Group Investigation memiliki enam langkah:
1. Mengidentifikasikan topik dan mengatur murid ke dalam
kelompok.
a) Para siswa meneliti beberapa sumber, mengusulkan sejumlah
topik dan mengkategorikan saran-saran.
b) Para siswa bergabung dengan kelompoknya untuk mempelajari
topik yang telah mereka pilih.
c) Komposisi kelompok didasarkan pada ketertarikan siswa dan
harus bersifat heterogen.
d) Guru membantu dalam pengumpulan informasi dan
memfasilitasi pengaturan
2. Merencanakan tugas yang akan dipelajari
Para siswa merencanakan bersama mengenai: Apa yang kita
pelajari? Bagaimana kita mempelajarinya? Siapa melakukan apa?
(pembagian tugas) Untuk tujuan atau kepentingan apa kita
menginvestigasi topik ini?
3. Melaksanakan investigasi
a) Para siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan
membuat kesimpulan.
b) Tiap anggota kelompok berkontribusinuntuk usaha-usaha yang
dilakukan kelompoknya.
c) Para siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi, dan
mensintesis semua gagasan
4. Menyiapkan laporan akhir
a. Anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial dari
proyek mereka.

219
b. Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka
laporkan, dan bagaimana mereka akan membuat presentasi
mereka.
c. Wakil-wakil kelompok membentuk sebuah panitia acara untuk
mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi
5. Mempresentasikan laporan akhir
a. Presentasi yang dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai
macam bentuk.
b. Bagian presentasi tersebut harus dapat melibatkan
pendengarnya secara aktif.
c. Para pendengar tersebut mengevaluasi kejelasan dan
penampilan presentasi berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya oleh seluruh anggota kelas.
6. Evaluasi
a. Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik
tersebut, mengenai tugas yang telah mereka kerjakan, mengenai
eefektifan pengalaman-pengalaman mereka.
b. Guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi
pembelajaran siswa.
c. Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran
paling tinggi.
Setiap model memiliki kelbihan dan kekurangan, sehingga tidak
ada satu model pun yang superior dan cocok diterapkan untuk setiap
kondisi. Adapun kelebihan Pembelajaran Kooperatif Tipe Group
Investigatin (GI) adalah sebagai berikut:
a) Siswa tidak terlalu menggantungkan guru, akan tetapi dapat
menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri, menemukan
informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari peserta didik lain.
b) Dapat mengembangkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara
verbal dan membandingkan dengan ide-ide yang lain.
c) Dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari
akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.

220
d) Dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menguji
ide dan pemahamannya sendiri, serta menerima umpan balik.
Peserta didik dapat praktik memecahkan masalah tanpa takut
membuat kesalahan karena keputusan yang dibuat adalah tanggung
jawab kelompoknya.
e) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan
motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir. hal ini
berguna untuk pendidikan jangka panjang.
Sedangkan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation (GI) adalah:
a) Keberhasilan model pembelajaran tipe group investigation ini
memerlukan periode waktu yang sangat lama. Dalam hal ini tidak
mungkin dapat tercapai hanya dengan sekali penerapan metode ini.

b) Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang


sangat penting untuk siswa akan tetapi banyak aktifitas keseharian
yang harus mereka lakukan sendiri atau kemampuan yang
didasarkan pada kemampuan secara individual. Jadi, selain mereka
harus belajar secara kelompok akan tetapi mereka juga harus
belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk
mewujudkan hal tersebut dalam kooperatif bukanlah hal yang
mudah.

6.8.5 Model pembelajaran kooperatif tipe TPS

Model pembelajaran TPS dikembangkan oleh Frank Lyman, dkk


dari Universitas Maryland tahun 1981. TPS adalah pembelajaran yang
memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan bekerjasama
dengan orang lain. Dalam hal ini, guru sangat berperan penting untuk
membimbing siswa melakukan diskusi, sehingga terciptanya suasana

221
belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Model
pembelajaran tipe TPS merupakan pembelajaran kooperatif sederhana
yang memberi siswa banyak waktu untuk berpikir, menjawab, bekerja
sendiri dan saling membantu satu sama lain
Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share merupakan
suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas
Arends (2010). Sejalan dengan itu, menurut Trianto (2010: 81)
mengemukakan bahwa model pembelajaran Think Pair Share (TPS) atau
berpikir-berpasangan-berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Dari
pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dengan TPS siswa diberi
kesempatan untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian berdiskusi
dengan temannya. Sealin itu, diperkuat lagi dengan teori dari Ibrahim
(2011) yang mengemukakan bahwa model pembelajaran Think Pair
Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana
yang memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja
sama dengan orang lain. Think Pair Share (TPS) merupakan suatu model
pembelajaran kooperatif sederhana yang memiliki prosedur secara
eksplisit sehingga model pembelajaran TPS dapat disosialisasikan dan
digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran di sekolah (Hartina,
2008).
Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) memiliki prosedur yang
ditetapkan secara implisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak
untuk berpikir, menjawab permasalahan dan saling membantu satu sama
lain. Prosedur tersebut telah disusun dan dibentuk sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan waktu yang lebih banyak kepada siswa

222
untuk dapat berpikir dan merespon yang nantinya akan membangkitkan
pertisipasi siswa.
Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta
bekerja sama dengan orang lain. Dengan metode klasikal yang
memungkinkan hanya satu siswa yang maju dan membagikan hasilnya
untuk seluruh kelas, teknik Think-Pair-Share ini memberi kesempatan
sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan
menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain, yaitu pada saat guru
mempresentasikan sebuah pelajaran di kelas, siswa duduk berpasangan
didalam tim mereka.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
adalah tiga langkah utama yang terdiri dari Think (berpikir secara
individu), Pair (berpasangan dengan teman sebangku), dan Share
(berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas).
a. Think (Berpikir)
Pada tahap Think, siswa diminta untuk berpikir secara mandiri
mengenai pertanyaan atau masalah yang diajukan. Pada tahapan ini,
siswa sebaiknya menuliskan jawaban mereka, hal ini karena guru tidak
dapat memantau semua jawaban siswa satu per satu sehingga dengan
catatan. siswa tersebut, guru dapat memantau semua jawaban dan
selanjutnya akan dapat dilakukan perbaikan dan pelurusan atas konsep-
konsep maupun pemikiran yang masih salah.
Dengan adanya tahap ini, maka guru dapat mengurangi masalah
dari adanya siswa yang mengobrol karena pada tahap Think ini mereka
akan bekerja sendiri untuk dapat menyelesaikan masalah.
b. Pair (Berpasangan)
Langkah selanjutnya adalah berpasangan dengan teman
disampingnya, misalnya teman sebangkunya. Ini dilakukan agar siswa
yang bersangkutan dapat bertukar informasi satu sama lain dan saling

223
melengkapi ide-ide atau jawaban yang belum terpikirkan pada tahap
Think.
Pada tahap ini bahwa ada dua orang siswa untuk setiap pasangan.
Langkah ini dapat berkembang dengan meminta pasangan lain untuk
membentuk kelompok berempat dengan tujuan memperkaya pemikiran
mereka sebelum berbagi dengan kelompok lain yang lebih besar,
misalnya kelas. Namun dengan pertimbangan tertentu, terkadang
kelompok yang besar akan bersifat kurang efektif karena akan
mengurangi ruang dan kesempatan bagi tiap individu untuk berpikir dan
mengungkapkan idenya
c. Share (Berbagi)
Pada tahap ini setiap pasangan atau kelompok kemudian berbagi
hasil pemikiran, ide, dan jawaban mereka dengan pasangan atau
kelompok lain atau bisa ke kelompok yang lebih besar yaitu kelas.
Langkah ini merupakan penyempurnaan langkah-langkah sebelumnya,
dalam artian bahwa langkah ini menolong agar semua kelompok
berakhir pada titik yang sama yaitu jawaban yang paling benar. Pasangan
atau kelompok yang pemikirannya masih kurang sempurna atau yang
belum menyelesaikan permasalahannya diharapkan menjadi lebih
memahami pemecahan masalah yang diberikan berdasarkan penjelasan
kelompok lain yang berkesempatan untuk mengungkapkan
pemikirannya. Atau jika waktu memungkinkan, dapat juga memberi
kesempatan pada semua kelompok untuk maju dan menyampaikan hasil
diskusinya bersama pasangannya. Pada kesempatan ini guru dalam
meluruskan dan mengoreksi maupun memberikan penguatan jawaban di
akhir pembelajaran.
Dalam setiap strategi, metode, maupun model pembelajaran, tidak
akan ada sesuatu hal yang sempurna dan dapat digunakan dalam setiap

224
pembelajaran. Setiap jenis pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Adapun kelebihan model ini adalah:
 Meningkatkan partisipasi siswa.
 Lebih banyak kesempatan untuk kontribusi masing-masing
anggota kelompok.
 Interaksi lebih mudah.
 Lebih banyak ide muncul.
 Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan.
 Guru mudah memonitor.
Sedangkan Kekurangan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
adalah:
 Jika ada perselisihan tidak ada penengah.
 Membutuhkan lebih banyak waktu.
 Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik.
 Kurang kesempatan untuk kontribusi individu.
 Siswa kurang mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak
memperhatikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, A.G dan Ridwan, T. (2008). Implementasi Problem Based


Learning (PBL) Pada Proses Pembelajaran di BPTP
Bandung. [Online].
Arends, R.I. 2012. Learning to Teach. New York: McGrow Hill.
Brookhart, S. M. 2010. How to assess higher-order thinking skills in
your classroom. USA: ASCD.
Chance, P. (1986). Thinking in the classroom: A survey of programs.
New York: Teachers College, Columbia University.
DePorter, Bobbi. dkk. 2013. QUANTUM LEARNING: Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Ennis, R. H. (2011). The Nature of Critical Thinking: An Outline of
Critical Thinking Dispositions and Abilities. University of Illinois. On
line at
http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCr
iticalThinking_51711_000.pdf [diakses tanggal 19 Januari 2013].

225
Ennis, Robert H. 1962. A concept of critical thinking. Harvard
Educational Review, Vol 32(1), 81-111.
Erman Suherman dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA.
Halpern, Diane F. (1989). Thought and knowledge: An introduction to
critical thinking (2nd ed.). Hillsdale, NJ, England: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc. xvii 517 pp.
Hendra, Surya. 2013. Cara Belajar Orang Genius. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Hiil, Winfred F. (2012).”Theories Of Learning”. Bandung; Nusa Media
Hossoubah, Z. (2007). Develoving Creative and Critical Thinking Skills
(terjemahan) . Bandung: Yayasan Nuansa Cendia.
Johnson Lamb, Critical and Creative Thinking-Bloom’s Taxonomy,
dalam http://www. http://eduscapes.com/tap/topic69.html.
Joyce, B. & Weil, M. 2003. Models of Teaching. New Delhi: Prentice
Hall Inc.
Joyce, Bruce & Weil, M. (2009).”Models Of Teaching”. Yogyakarta;
Pustaka Pelajar
Krismanto. (2003). Beberapa Teknik, Model dan Strategi dalam
Pembelajaran Matematika. PPPG Matematika. Yogyakarta.
Lee. Virginia. S. (2011). “The Power of Inquiry as a Way of Learning”.
Innovative Higher Education 36,(3), 149-160.
Mustaji (2012). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif
dalam Pembelajaran. Tersedia online:
http://pasca.tp.ac.id/site/pengembangan-kemampuan-
berpikir-kritis-dan-kreatif-dalam-pembelajaran diakses
tanggal 23-12-2012.

Margaret W., (2009) Cognitive Psychology Seventh Edition International


Student Version. Asia: John Wiley & Sons, Inc.
Nurlela, L., Ismayati, E. 2015. Strategi Belajar Berpikir Kreatif.
Yogyakarta: Ombak.
Ormrod, J.E. 2009. Education Psychology, Developing Learner. Ohio:
Carlisle Communication, Ltd.

226
Paul, Richard (1993).Critical Thinking: How to Prepare Students for a
Rapidly Changing World. Foundation for Critical Thinking.
Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Setyowati, dkk. 2011. Implementasi Pendekatan Konflik Dalam
Pembelajaran Fisika Untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7
(2011), 89-96.
Slavin, Robert.E. (2008). Cooperative Learning; Teori, Riset dan
Praktik. Bandung: PT. Nusa Media
Suchman, R.J. (1962). The elementary school training program in
scientific inquiry. Urbana: University of Illinois.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, edisi
4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Trianto. 2010. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik.
Penerbit. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA
Wena, Made. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
White, B.Y. & Frederiksen, J. 2000. Metacognitive facilitation: An
approach to making scientific inqury accessible to all. Thinker Tool
Walker, Paul & Finney, Nicholas. (1999). Skill Development and Critical
Thinking in Higher Education. Higher Education Research &
Development Unit, University College, London WC1E 6BT, UK

227
228

Anda mungkin juga menyukai