Oleh:
Kelompok 7
Stres dan konflik merupakan sebuah cerminan perilaku individu dan kelompok
yang dapat mempengaruhi perilaku organisasi secara keseluruhan. Perilaku
organisasi mendasarkan diri terhadap apa yang dilakukan orang-orang dalam
organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja dari
organisasi, dan menyangkut pula mengenai aspek-aspek tingkah laku anggota
dalam organisasi atau suatu kelompok tertentu. Organisasi dapat memberikan
pengaruh pada anggota dalam organisasi, sebaliknya mereka bisa mempengaruhi
organisasi. Perilaku organisasi menekankan pada kemampuan memahami
persoalan yang muncul dan menjelaskan secara nyata tindakan-tindakan
pemecahan masalah. Fokus utama dari perilaku organisasi adalah pada perilaku
atau tingkah laku organisasi dan bagaimana perilaku dari anggota- anggota
organisasi mempengaruhi organisasi.
Salah satu masalah paling, serius dan sering, terjadi menimpa individu dan
onggota-anggota organisasi adalah masalah stress dan konflik. Tidak dapat kita
pungkiri bahwa seiring berkembangnya kebutuhan, seiring cepatnya mobilitas
kehidupan banyak kita jumpai orang-orang disekitar yang tidak sanggup bertahan
menghadapi kegagalan-kegagalan yang terjadi dalam kehidupannya, bahkan tak
luput mereka yang berhasil pun terkadang hanyut, takut kegagalan akan
menimpanya.
Stres menimbulkan pengaruh yang merusak dan berbahaya bagi kesehatan
jasmanu dan rohani seseorang. Cara orang berkomunikasi bisa jadi menimbulkan
stress pada diri mereka dan orang lain, karena komunikasi menimbulkan stres
dan juga merupakan respons terhadap stres, strategi untuk mengurangi stres dapat
diperkenalkan dalam berbagai waktu.
Begitu pula dengan konflik, konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut
dengan komunikasi, hal ini di maksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik
berarti kita harus mengetahui kemampuan dan prilaku komunikasi. Ketika seuatu
konflik muncul didalam sebuah lembaga atau organisasi, penyebabnya selalu
diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik, di lain pihak, konflik
diakibatkan juga oleh perbedaan kepentingan, pikiran, latar belakang
kebudayaan, dan intensitas komunikasi yang terjalin instens.
1.2 Tujuan
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat,
positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk
kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan
dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat
performance yang tinggi.
2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak
sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut
termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit
kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi,
yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
2.1.3 Faktor- faktor Penyebab Stres
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stress, yaitu faktor
lingkungan dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Secara umum
dikelompokkan sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
1. Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cendcrung muncul
pada para anggota yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan
sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari
lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga.
2. Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
di organisasi. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan
seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang
mengalami stres ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan
yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya.
3. Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang
berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak
diinginkan. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering
menyebabkan stres adalah perlakuan kasar atau pengamayaan fisik
dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung
terwujud hanya karena wanita.
4. Kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan fisik ini bisa berupa suhu
yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan
ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya,
begitu juga ruangan yang terlalu dingin.
5. Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam
pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung
neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya
orang lain, perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau
peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat.
6. Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan
pengalaman pribadi yang menyakitkan.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
juga dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik
biasanya dilatarbelakangi oleh individu maupun kelompok karena
ketidakcocokan atau perbedaan pendapat dalam hal tujuan yang akan dicapai.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu
pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut atau
satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan
menyerang secara negatif (Robbins, 1993). Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan
kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian
menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
2.2.2 Bentuk-bentuk Konflik Dalam Organisasi
1. Konflik Destruktif
Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi individu atau
individu-invidu dan atau organisasi atau organisasi-organisasi yang
terlibat didalamnya. Konflik demikian misalnya terjadi, apabila dua
orang karyawan tidak dapat bekerja sama karena terjadi sikap
permusuhan antar perorangan antara mereka (konflik emosional
destruktif) atau apabila anggota-anggota sebuah komite tidak dapat
mencapai persesuaian paham tentang tujuan- tujuan kelompok
(konflik emosional destruktif) atau apabila anggota-anggota sebuah
komite tidak dapat bertindak, karena mereka tidak dapat mencapai
persesuaian paham tentang tujuan-tujuan kelompok (konflik
substantif destruktif).
2. Konflik konstruktif
Konflik konstruktif menyebabkan timbulnya keuntungan-
keuntungan dan bukan kerugian-kerugian bagi individu atau
organisasi yang terlibat di dalamnya.
Adapun keuntungan yang dapat dicapai dari konflik demikian
menurut winardi (1994:6) adalah:
a. Kreativitas dan inovasi yang meningkat. Akibat adanya
konflik, orang- orang berupaya agar mereka melaksanakan
pekerjaan mereka atau mereka berprilaku dengan cara-cara
baru yang lebih baik.
b. Upaya yang meningkat (intensitasnya). Konflik dapat
menyebabkan diatasinya perasaan apatis dan ia dapat
menyebabkan orang-orang yang terlibat dengannya bekerja
lebih keras.
c. Ikatan (kohesi) yang makin kuat. Konflik yang terjadi dengan
pihak “luar”, dapat menyebabkan diperkuatnya identitas
kelompok, diperkuatnya ikatan (kohesi) dan komitmen untuk
mencapai tujuan bersama.
d. Ketegangan yang menyusut. Konflik dapat membantu
menyusutnyaketegangan-ketegangan antar pribadi, yang
apabila tidak demikian, di”tabung” hingga hal tersebut
menyebabkan timbulnya stress.
Berbicara mengenai komunikasi organisasi maka tak bisa lepas dari peranan dan
status yang dimiliki setiap orang di dalam organisasi, berdasarkan peranan dan
status itu pula akan menentukan bagaimana cara seseorang berkomunikasi
dengan orang lain. Jika pada masyarakat kita mengenali seseorang dengan peran
dan status yang beragam, maka dalam organisasi keragaman tersebut dapat
dilihat dari pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab berdasarkan potensi
dan kompetensi masing-masing orang yang ada di dalam organisasi tersebut.
Ketika jenis dan pembagian pekerjaan begitu banyak, beragam dan berbeda-
beda, maka dibutuhkan suatu hubungan komunikasi yang terjalin dengan baik.
Konflik dan stress adalah dua hal yang beriringan dalam perilaku organisasi.
Keduanya memiliki pengaruh yang baik atau positif dan juga pengaruh buruk
atau negatif. Dan keduanya merupakan perkara yang tidak bisa dihindari dalam
dinamika organisasi. Stres dan konflik tidak bisa dipisahkah, karena stres yang
berat dan berkepanjangan akan menimbulkan konflik dalam diri individu
maupun antar indvidu dalam organisasi. Konflik bisa terjadi dalam hubungan
antara pimpinan (manajer) dan bawahan karena karakter hubungan yang hirarkis.
Konflik yang terjadi dalam tataran rendah dapat dipandang sebagai bagian dari
manajemen yang diharapkan ada perubahan-perubahan berarti. Tetapi kalau
konflik sudah parah dan mendalam sehingga emosi sudah memainkan peranan
penting, hal tersebut menunjukkan kelemahan organisasi dan menempatkannya
pada posisi merugikan. Konflik yang terjadi dalam organisasi sangat sulit untuk
dihilangkan. Persaingan dan konflik mudah timbul dalam hubungan antar
kelompok karena berbagai faktor perbedaan sasaran, sistem nilai, upaya, dan
kepentingan. Doctoroff (Mada Sutapa, 2002) menyebut konflik sebagai ibu dari
segala perubahan (the mother of changes), karena kalau konflik dikelola dengan
baik akan mendorong pada perubahan yang berarti.
Mada Sutapa. 2002. Buku Pegangan Kuliah Organisasi Pendidikan. FIP Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Miftah Thoha. 1990. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali.
Jakarta.