net/publication/327931710
CITATIONS READS
0 5,147
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Dase erwin Juansah on 28 September 2018.
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui
Ketua LPPM,
RINGKASAN
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
kesempatan ini, disampaikan terima kasih pada berbagai pihak, yang mendukung
penelitian ini sejak saat persiapan, masa penelitian, pembahasan maupun pada saat
penyusunan laporan, sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Untuk itu,
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, MPd. Rektor Universitas Sultan Ageng
Dharma PerguruanTinggi.
2. Bapak Dr. H. Benny Irawan, SH. MH. M.Si. Ketua Lembaga Penelitian dan
ini.
3. Bapak Dr. H. Aceng Hasani, M.Pd. Dekan FKIP yang telah memberikan
6. Serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, arahan serta
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu krotik
dan saran sangat kami harapkan. Terakhir, kami berharap penelitian ini dapat
bermanfaat dan menginspirasi para peneliti lain untuk mengkaji penelitian yang
Tim Peneliti
6
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
ABSTRAK .............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Tabu......................................................................................
B. Hakikat Kebudayaan ..............................................................................
C. Masyarakat Baduy......................... .........................................................
D. Studi Pendahuluan .................................................................................
LAMPIRAN
7
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari gerakan tubuh,
dengan mimik muka atau dapat pula dengan menggunakan alat. Alat komunikasi
yang utama bagi manusia adalah bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa
lawan tuturnya.
Hubungan bahasa dan kebudayaan sangat erat, keduanya saling mengisi dan
mempengaruhi. Hal ini diperkuat oleh Chaer (1995:165) yang menjelaskan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai sekeping
mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain
berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam
8
bahasa, atau sebaliknya apa yang tampak dalam bahasa akan tercermin dalam
budaya.
ilmu yang mempelajarinya, yakni antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan
dan linguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan
aspek budaya (Sibarani, 2004: 49-50). Lebih lanjut Sibarani (2004 : 50) memaparkan
Istilah yang digunakan para ahli untuk bidang yang membicarakan kedua hubungan itu
kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat, dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu
suku bangsa.
Banyak hal yang dapat diteliti mengenai hubungan antara bahasa dan budaya,
salah satu diantaranya adalah Tabu. Tabu memegang peranan penting dalam bahasa.
Masalah ini sering dikaitkan dengan ilmu semantik karean tabu dianggap sebagai
penyebab berubahnya makna kata (Sumarsono 2012 : 106). Lebih lanjut Sumarsono
menjelaskan, sebuah kata yang ditabukan biasanya tidak dipakai, kemudian digunakan
kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri dan akibatnya kata yang tidak
bahwa taboo dipungut dari bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun bahasa
Polinesia. Di masyarakat Tonga kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang atau
harus dihindari. Dengan demikian, tabu dapat didefinisikan sebagai kata-kata yang
9
masyarakat sunda, tabu sering disinonimkan dengan kata pamali, artinya larangan
pantang. Pantang adalah tabu; sesuatu yang terlarang dikerjakan menurut adat, agaman
tingkah laku atau ucapan yang dipercayai bisa memberikan dampak buruk pada
sejauh menyangkut bahasa, adalah hal-hal tetentu tidak diucapkan, atau hanya
demikian, selalu saja ada orang-orang yang melanggar aturan tersebut sebagai
memperlihatkan tabu sebagai suatu hal yang irasional, sebagai bentuk gerakan
“kebebasan berbicara”.
dengan berbagai aspek kehidupan seperti budaya, keyakinan dan kepercayaan yang
bertolak dari tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat Baduy mempunyai pandangan yang berbeda terhadap suatu benda dan
berkaitan dengan adat istiadat yang berlaku di wilayahnya, seperti contoh di bawah ini.
Dari contoh ujaran no 1 di atas, menjelaskan seorang anak yang masih gadis
dilarang duduk di pintu, apabila seorang anak gadis duduk di pintu maka anak gadis
pemahaman bahwa seluruh anggota masyarakat Baduy harus hidup apa adanya, kalau
berlebihan tidak boleh sombong, kalau kurang harus terima apa adanya.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa sesuatu yang ditabukan atau
pamali juga terdapat dalam bahasa dan budaya Baduy. Pamali tersebut hidup dan
berkembang sampai sekarang pada masyarakat Baduy. Hal tersebut di atas, sejalan
dengan yang disampaikan Sapir dan Whorf (dilihat dalam Oktavianus, 2006: 112),
bahasa tidak dapat dipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat pendukungnya.
Salah satu kontribusi Sapir adalah analisis kosa kata suatu bahasa sangat penting untuk
memahami lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa bermukim.
pamali dalam bahasa masyarakat Baduy. Keinginan itu muncul, karena secara
sosiolinguistik peneliti berada pada masyarakat tutur yang sama yaitu penutur bahasa
sunda, selain itu juga penulis ingin lebih menggali mengenai kearifan lokal masyarakat
Baduy ditinjau dari sudut kebahasaannya, dan terakhir hasil penelitian ini merupakan
salah satu pemertahanan bahasa dan budaya masyarakat Baduy yang hampir punah.
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini
mendalam mengenai jenis pamali atau tabu yang terjadi dan ada di masayarakt
Baduy, ditinjau dari sudut bahasanya. Sedangkan secara umum, hasil penelitian ini
dapat menghasilkan sebuah kamus atau buku khususnya yang berkaitan ungkapan-
a. Secara teoretis, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
b. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pijakan dalam
masyarakat Baduy.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tabu
Pada bab II ini penulis paparkan beberapa teori terkait dengan ungkapan
larangan. Teori-teori yang digunakan selain dari buku sumber juga menggunakan
beberapa pustaka atau hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan ungkapan
laranga. Beberapa pustaka atau hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
mengenai pengertian dan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa merupakan media yang
dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan perasaaan manusia. Bahasa tidak dapat
bahasa erat hubungannya dengan pemakai bahasa karena bahasa merupakan alat
yang paling vital bagi kehidupan manusia. Sedangkan fungsi bahasa masih
menurut Samsuri yaitu bahasa adalah sebagai alat yang dipakai untuk membentuk
pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatan. Bahasa juga merupakan alat untuk
berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-
ide, dan oleh karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, alfabet orang-
13
sopan, isyarat-isyarat dan sebagainya. Akan tetapi, bahasa adalah sistem tanda
yang paling penting dari semua sistem tanda. Dari uraian di atas tampaklah bahwa
pikiran, tetapi pengembangan budaya, bahasa harus dipahami sebagai bagian dari
lengkap ia menjelaskan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2)
sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup, (5) sitem
mata pencarian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Dari ketujuh-tujuh unsur
kebudayaan itu, bahasa ditempatkan pada urutan yang pertama karena manusia
kebudayaan yang pertama dimiliki oleh manusia dan bahasa dapat berkembang
50).
14
Istilah yang digunakan para ahli untuk bidang yang membicarakan kedua
pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat, dan pola-
pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 50).
dan kebudayaan, salah satu diantaranya adalah tabu. Tabu erat hubungannya
yang bertolak dari tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Menurut Usman (2002: 434), pantang adalah tabu; sesuatu yang
Fairman (2009 : 27) menjelaskan bahwa Tabu adalah suatu perilaku yang
asing dalam suatu masyarakat tertentu dalam suatu konteks yang spesifik. Di tiap-
tiap kultur, ada dua jenis tabu: tabu tindakan (berbagai hal yang kamu tidaklah
diharapkan untuk lakukan) dan kata-kata tabu (berbagai hal yang kamu tidaklah
Sementara itu, ahli lain yang menjelaskan pengertian tabu yaitu yang
disampaikan oleh Smith (2007:6), ia menjelaskan bahwa tabu adalah gagasan atau
isu yang sangat menyiksa, mengancam, atau mempersulit dan tidak boleh
dibicarakan secara terbuka. Sedangkan, tabu adalah suatu perilaku yang asing dan
ketabunya berkaitan dengan hal-hal yang sangat krusial atau hal yang negatif
disekitar kelamin. Menurut Saragih di semua bahasa kata- kata yang dilarang, dari
selebor ke kata tak senonoh, sedikit kotor dan sepenuhnya cabul, terminologi
termasuk yang berkenaan dengan hal yang dirahasiakan pada bagian-bagian tubuh,
yaitu ilmu semnatik. Dalam ilmu semantik tabu dipandang sebagai penyebab
digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri, akibatnya kata yang
tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Tabu itu tidak hanya
menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan
santun dan tatakrama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak
(Sumarsono,2012:106).
yang asing dalam suatu masyarakat dan dalam konteks tertentu. Lebi h
yaitu, (1) taboo acts “tabu tindakan”, (2) taboo words “tabu kata-kata”.
“suatu konsep primitif yang bersifat membahayakan jiwa. Selain itu Frazer juga
16
mengkalsifikasikan tabu sebagai berukut: (1) tabooed acts “tabu tindakan”, (2)
antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak
dibenarkan”. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia
nenek moyangnya.
yang melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang
keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian
juga kata tabu. Tabu pada hakikatnya adalah”larangan” atau ”yang dilarang”.
Tabu adalah larangan yang jika dilanggar mendatangkan hukuman otomatis yang
diakibatkan oleh pengaruh magic dan religi (Winick, 1958: 502 dalam Laksana,
2009: 17).
Di samping istilah tabu ada juga istilah pantang (pantangan) yang juga
atau pantangan pelanggar hanya terkena sanksi fisik atau sanksi sosial. Selain
17
uraian di atas tersebut, mengenai larangan di masyarakat Sunda juga ada larangan
yang dikenal dengan Pamali, larangan karuhun, (upamana): ulah nyoo seune, ulah
(Satjadibrata,2005:277).
Dalam bahasa Sunda, “pamali” merupakan kata sifat. Kata ini sinonim
dengan kata “pantrang” dan “cadu” yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan
pantang atau tabu (Inggris: taboo). Kata bendanya adalah “kapamalian”. Kata ini
berarti sesuatu yang dianggap pamali yang kalau dilanggar akan ada matak-
itu, yakni akibat yang dipercaya kelak akan menimpa seseorang atau sesuatu
bila larangan itu dilanggar. Matak-nya ini ada yang diyakini akan berdampak
pada diri si pelanggar, ada pula yang akan berpengaruh pada lingkungannya.
terdapat perbedaan dan persamaan dalam pendefinisian kata tabu atau larangan.
menekankan bahwa larangan adalah sesuatu yang dilarang dalam bentuk tindakan
mendefinisikan larangan berkenaan dengan hal-hal yang bersifat gaib dan sopan
konsep primitif yang mengancam jiwa atau menyiksa, sedangkan Wincik larangan
itu sebagai sesuatu yang mendatangkan hukuman. Jadi larangan (pamali) suatu
18
konsep abstrak yang bermakna melarang baik dalam bentuk tindakan maupun
mengancam jiwa.
Salah seorang pakar, Frazer (1955) yang penelitiannya telah banyak diacu
Austronesia sebagai sumber data untuk membahas masalah tabu. Secara garis
besar, Frazer membagi tabu menjadi (1) tabu tindakan, (2) tabu orang, (3) tabu
benda/hal, dan (4) tabu kata-kata. Di samping itu, juga digolongkan tabu kata-kata
menjadi (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3) tabu nama orang yang
meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama Tuhan, dan (6) tabu
peneliti tentang larangan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan larangan secara
menghindarinya, dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) penutur diam, (2)
penutur berbisik, dan (3) penutur menggantikan/menyulih kata atau ungkapan tabu
dengan kata atau ungkapan lain yang dilazimkan dalam masyarakat itu. Cara
ketiga inilah yang berkaitan dengan tabu bahasa, yang selanjutnya disebut ”tabu
nama dan tabu kata-kata”. Di samping tabu nama dan tabu kata-kata, juga dibahas
mengisyaratkan bahwa pemahaman tabu bahasa harus dilihat dari sudut pandang
kebudayaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tabu dalam bahasa dapat dihindari
eufemisme, parafrase, diglosia/alih kode, dan teknonim. Dengan cara itu penutur
Masih sama dengan para ahli di atas, menurut Kridalaksana (2008: 140)
pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan
frase ingkar tidak dibenarkan”. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek
diartikan sebagai (1) perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan; (2)
sesuatu yang terlarang karena dipandang keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang
dalam penelitian ini adalah suatu ujaran yang mengandung perintah (aturan) yang
antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frasa ingkar tidak
dibenarkan.
konsep yang sama. Masyarakat Banten secara umum atau masayarakat Baduy
secara khusus lebih banyak menggunakan istilah pamali untuk hal-hal yang
dianggap tabu. Jadi, istilah pamali dan tabu merupakan satu konsep yang sama,
yaitu yang dilarang, baik karena kekuatan yang membahayakan (tabu positif)
Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap
kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu
diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang
bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat
menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan
perlakuan kasar dari masyarakat sekitar (Rodman, 1988 : 279). Lebih jelas
dua dilihat dari efek yang ditimbulkannya yaitu tabu positif karena yang dilarang
itu memberi efek kekuatan yang membahayakan dan tabu negatif disebabkan
kekuatan hidup seseorang. Sehingga untuk menggantikan kata yang dianggap tabu
Dalam masyarakat pemakai bahasa, kata dan ekpresi tabu mungkin tidak
keadaan tertentu sehingga lebih pantas untuk diucapkan. Kata dan ekspresi
penutur untuk memberikan label terhadap pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak
atau isu yang sangat menyiksa, mengancam, atau mempersulit dan tidak boleh
menjelaskan, tabu adalah suatu perilaku yang asing dan berpengaruhi pada
kegelisahan, merugikan.
adalah sejenis ungkapan larangan yang tidak boleh dikatakan atau dilakukan oleh
anggota masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan jika hal ini dilanggar akan
oleh orang tua kepada anak-anak. Misalnya “Tong nangtung dina panto, Pamali”
(Jangan berdiri di depan pintu, pamali). Hal yang sama juga berlaku di masyarakat
ungkapan larangan atau pamali yang sering diujarkan masyarakat baduy dalam
berbagai situasi.
22
bantuan dari pihak luar. Masyarakat Baduy dikenal dengan kearifan lokalnya yang
saat ini sebagian masyarakat Baduy masih tetap mempertahankan adat dan
Baduy mempunyai sistem tata letak dan peraturan tertentu. Konsep penempatan
seperti ini memang sudah dikenal pada tata letak wilayah dan rumah masyarakat
Masyarakat Baduy adalah penutur bahasa sunda, karena secara historis dan
geografis, dulu Baduy merupakan wilayah Jawa Barat yang notabene berbahasa
(tradisi) yang mengatur gaya hidup masyarakat Baduy, sehingga proses kehidupan
berjalan alami yang didukung oleh kontinuitas konservasi margasatwa dan habitat
memasak. Kayu merupakan jenis sumber energi terbarukan. Pada saat pembukaan
lahan untuk ladang pertanian, kayu yang ditebang dipergunakan untuk bahan bakar,
sedangkan ranting dan daun dipergunakan untuk pemupukan tanah. Mereka tidak
menggunakan alat-alat yang menggunakan listrik atau bahan bakar fosil, karena
terkadang lilin sering digunakan sebagai alternatif yang aman bagi lingkungan.
23
antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak
nenek moyangnya. Selain itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan)
yang melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang
keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian (Depdiknas,
2008: 791). Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tabu dalam bahasa sunda
yakni :
garis besar, Frazer membagi tabu menjadi: (1) tabooed acts (tabu tindakan), (2)
tabooed persons (tabu orang), (3) tabooed things (tabu benda/hal), dan (4) taboo ed
24
words (tabu kata-kata). Lebih lengkap Frazer membagi tabu kata-kata ke dalam
beberapa golongan lagi menjadi (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3)
tabu nama orang yang meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama
mengacu pada pendapat Frazer tentang tabu, hal ini menginspirasi kepada peneliti
yang telah dipaparkan di atas konsep pamali dalam masyarakat Baduy secara
prinsip berkaitan dengan tabu yang dalam bahasa Indonesia bermakna larangan.
melalui beberapa sudut pandang, antara lain : 1) eksistensi ungkapan larangan dalam
masyarakat.
dikelompokka ke dalam dua bagian, yaitu a) ungkapan larangan yang berupa peraturan dan
hukum berarti peraturan. Dengan demikian, peraturan dapat diartikan sama dengan
hukum. Ungkapan larangan yang berupa peraturan sama artinya dengan ungkapan
larangan yang berupa hukum, yaitu ungkapan larangan pada masyarakat baduy yang
25
peraturan/hukum, ungkapan larangan ini wajib diikuti oleh anggota masyarakat dan
apabila dilanggar ada sanksi nyata yang dikenakan kepada pelanggar. Berkait dengan
penjelasan di atas, ungkapan larangan yang berada dan berlaku serta dipatuhi oleh
dituangkan ke dalam bentuk naskah tertulis. Menurut Artadi (2006: 11) hukum tertulis
adalah hukum yang lazimnya ada dalam lingkup hukum positif, yaitu hukum yang
berupa peraturan/hukum tidak tertulis. Peraturan/hukum tidak tertulis adalah hukum yang
intinya adalah norma tidak tertulis, tetapi dijalankan sebagai pedoman perilaku yang
diabadikan oleh ingatan dari generasi ke generasi (Artadi, 2006: 31). Seperti yang telah
dipaparkan di atas, walaupun tidak memiliki peraturan yang tidak tertulis tetapi masyarakat
baduy sangat mematuhi peraturan tersebut dan dijadikan sebagai pedoman dalam
Merujuk pada penjelasan di atas, pada penelitian ini terdapat dua ungkapan
terbatas. Artinya, peraturan/hukum tidak tertulis yang terdapat pada suatu organisasi
26
belum tentu ada pada organisasi lainnya. Dengan demikian, ungkapan larangan yang
dan keharmonisan. Sebagai peraturan/hukum, sudah jelas ungkapan larangan itu akan
sebagai kebalikan dari ungkapan larangan yang berupa peraturan. Ungkapan larangan
yang berupa peraturan tidak memiliki sanksi yang nyata dan digunakan untuk mengatur
Sebaliknya, ungkapan larangan yang bukan peraturan tidak memiliki sanksi yang nyata
dan tidak digunakan untuk mengatur masyarakat. Dengan kata lain, ungkapan larangan
yang bukan peraturan/hukum tidak wajib dilakukan oleh anggota masyarakat. Ini sangat
Larangan menurut Kridalaksana (2008: 140) adalah ”makna ujaran yang bersifat
imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak dibenarkan”. Larangan ini
sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia yang berlaku dalam
27
Di samping itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan) yang
melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang keramat
atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008: 791). Di samping kata larangan, dikenal juga kata tabu. Tabu pada
hakikatnya adalah ”larangan” atau ”yang dilarang”. Tabu adalah larangan yang jika
dilanggar mendatangkan hukuman otomatis yang diakibatkan oleh pengaruh magi dan
religi (Winick, 1958: 502 dalam Laksana, 2009: 17). Di samping istilah tabu ada juga
istilah pantang (pantangan) yang juga berarti ’larangan’ sebagaimana halnya tabu.
B. Linguistik Kebudayaan
bagian dari kebudayaan sehingga mempelajari suatu bahasa secara tidak langsung
bahasa.
untuk mengetahui hubungan tersebut. Kajian tentang hubungan antara bahasa dan
sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan dan linguistik sebagai ilmu yang
kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola- pola
2004: 18) yang merupakan telaah bahasa dalam kaitannya dengan budaya
(Foley, 1997) yang lebih menekankan pada bahasa. Walaupun berdekatan antara
Linguistik Kebudayaan lebih menekankan pada kajian atas bahasa sebagai sumber
daya kebudayaan dan tuturan sebagai praktik budaya (Duranti, 1997: 1--2).
kedua ranah linguistik makro tersebut. Akan tetapi, keduanya tetap menjadikan
aspek-aspek linguistik sebagai inti kajian. Lebih lanjut dijelaskan, apabila arah
kajiannya menjadikan linguistik sebagai titik tolak kajian yang diikuti dengan
dari linguistik yang menaruh perhatian pada bahasa dalam konteks sosial dan
budaya yang lebih luas dan juga peran bahasa dalam menempa dan memelihara
praktik budaya dan struktur Sosial”(Foley, 1997: 3 dalam Pastika, 2004: 37).
berbagai bentuk dan struktur tuturan yang kompleks. Pengetahuan budaya sering
perhatian pada ontologi rakyat yang menentukan sifat dasar segala benda bagi
30
setiap kebudayaan.
Antropologi yang diajukan oleh Hymes (1963) dan Duranti (1977), Linguistik
Kebudayaan mengembangkan kajian atas bahasa sebagai sumber daya budaya dan
Linguistik Kebudayaan berusaha mengungkap the meaning behind the use, mis-
makna pemakaian bahasa sebagai objek materi kajiannya. Bahasa yang dihasilkan
mempunyai bentuk atau struktur bahasa. Bentuk atau struktur bahasa dalam
subkode yang bisa meliputi semua pemakaian bahasa bermakna kultural dalam
pelbagai bidang kehidupan. Itu berarti bahwa bahasa yang menjadi kajian
yang dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu atau bahasa itu telah berfungsi.
Masyarakat Banten secara umum dan baduy secara khusus: Kajian Linguistik
31
Berbicara mengenai hakikat kebudayaan, maka tidak bisa lepas dari kajian
kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan dalam arti luas bisa mencakup hal-hal
seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi, teknologi, bahasa. Bagi
antropologi, bahasa sering kali dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri (identitas)
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai mahluk
sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
ada pula padanan budaya dari bahasa Inggris “culture” yang berarti “kebudayaan”
32
yang diturunkan dari bahasa Latin “colere” yang berarti “mengolah, mengerjakan”,
terutama mengolah tanah atau bertani. Di samping istilah “kebudayaan” ada pula
istilah “peradaban” dari bahasa Inggris civilization. Istilah tersebut biasa dipakai
untuk menyebut bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah,
teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari
melalui akal budinya, sesuatu yang juga inheren dalam dirinya, ia membentuk suatu
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat ditarik simpulan bahwa kebudyaan
merupakan sesuatu yang dihasilkan manusia baik yang bersifat abstrak berupa nilai-
nilai maupun konkret berupa teknologi yang tercermin dalam pola tingkah laku
kehidupan sehari-harinya.
bagian dari kebudayaan sehingga mempelajari suatu bahasa secara tidak langsung
ataukah koordinatif. Kalau bersifat subordinatif mana yang menjadi main system
(sistem atas) dan mana pula yang menjadi subsystem (sistem bawahan).
kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal. Pertama, bahasa dan kebudayaan
seperti anak kembar siam, dua fenomena yang terikat erat, kedua hipotesis menurut
Edwar Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) yang lazim
disebut relativitas bahasa, yakni bahasa bukan hanya menentukan corak budaya,
tetapi juga menetukan cara dan jalan pikiran manusia; dan oleh karena itu
C. Masyarakat Baduy
Baduy adalah bahasa Sunda, karena secara umum masyarakat Kabupaten Lebak
penutur bahasa Sunda aktif. Namun, terdapat perbedaan yang mendasar antara
bahasa sunda yang tumbuh dan digunakan oleh masyarakat Lebak secara umum
mengenal satu bahasa yaitu bahasa Sunda. Selain sebagai masyarakat monolingual,
34
masyarakat Baduy juga tergolong masyarakat yang tidak diglosis, karena secara
umum masyarakat Baduy tidak mengenal variasi atau ragam dalam bahasa Sunda
menggunakan ragam yang sama. Bahkan bahasa yang digunakan ketika mereka
akan sama seperti halnya mereka berbicara dengan anggota masyarakat Baduy yang
lain. Dengan kata lain, pada masyarakat Baduy tidak dikenal istilah undak-usuk
bahasa sunda dengan undak usuknya. Artinya ada pemilihan ragama bahasa sunda
halus atau ragam sunda kasar ketika mereka berkomunikasi dengan lawan tuturnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan masyarakat Lebak adalah penutur bahasa sunda
yang diglosis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Rosidi yang
menjelaskan secara garis besar undak-usuk bahasa Sunda dibagi empat tingkatan,
yaitu tingkatan kasar, sedang, lemes, dan lemes pisan. ( Ajip Rosidi dalam Ekadjati,
1984:138).
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat istiadat, agama, dan ceritera nenek moyang hanya tersimpan di dalam
35
tuturan lisan saja. Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy,
jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu
dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni
dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal
keberadaannya.
disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam
ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting
dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten
merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy (Garna, 1993).
Isi terpenting dari pikukuh Baduy tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan
apapun’ atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-
adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladang
adalah sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat
diruncingkan.
adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan merekapun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
Objek religi terpenting bagi Masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang
lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setiap tahun sekali pada bulan Kalima,
yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan
ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti
lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu
lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi Masyarakat
Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun,
dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair
Daerah Kabupaten Lebak, 2001). Sebutan lain untuk masyarakat Baduy adalah
terasing atau mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh
pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas
5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah. Hak Ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
oleh aturan dan norma-norma yang berperanan penting dalam proses kehidupan
nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain yang
dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi
seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum,
untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. Homogenitas perilaku dan sosial
39
masyarakat Baduy dapat dilihat dari kesamaan tempat tinggal, kepercayaan, mata
Masyarakat Baduy sangat patuh terhadap norma dan aturan adat dalam
menjalani kehidupannya. Aturan adat dan norma tersebut warisan masa lalu yang
dipercaya dapat memberikan kebaikan jika dilaksanakan dengan baik. Aturan adat
dan norma ini mengatur semua hal dalam kehidupannya mulai dari aturan
sumber daya hutan dan lingkungan. Kepatuhan terhadap aturan adat menciptakan
perilaku yang baik terhadap alamnya dan merupakan kearifan lokal masyarakat
dalam berbagai kegiatan, seperti pengelolaa lahan pertanian, pengelolaan hutan dan
diatur oleh norma adat. Oleh karena itu, kegiatan utama masyarakat Baduy, pada
hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan
lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi : lahan pemukiman, pertanian, dan hutan
tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun,
serta lahan-lahan yang diberakan. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang dilindungi
oleh adat, seperti hutan lindung (leuweung kolot/titipan), dan hutan lindungan
40
kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak di sekitar mata air atau gunung
yang dikeramatkan. Hutan tetap ini merupakan hutan yang selalu akan
dipertahankan keberadaannya.
harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam padi
lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar mata pencaharian, tetapi juga
merupakan ibadah yang merupakan salah satu rukun Baduy. Oleh karena itu
Waktu libur ke ladang hanya pada hari Jumat dan Minggu, yang biasanya
dianggap kegiatan yang suci, karena mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci
upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat. Beberapa larangan dalam
proses kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy diantaranya adalah : (1) tanah
tetapi cukup dinunggal; (2) dilarang menggunakan pupuk dan oabat-obat kimia; (3)
Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng lindungan
lembur (hutan kampung); (4) waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling
mendahului. Ketentuan dan tata cara berladang sifatnya mutlak, ditentukan secara
adalah wilayah yang telah ditetapkan dan dilindungi oleh adat. Batas-batas
41
kawasan hutan tetap selalu diingatkan kepada seluruh masyarakat Baduy dan selalu
dikontrol setiap tiga bulan sekali. Kawasan hutan ini tidak boleh dialihfungsikan
untuk tujuan lain selain perlindungan lingkungan. Kawasan hutan tetap terdiri dari
leuweung titipan, yakni kawasan hutan primer yang telah ditetapkan secara turun
temurun yang letaknya di sebelah Selatan wilayah Baduy; dan leuweung lindungan
lembur, yakni kawasan hutan di sekitar mata air atau pada bukit-bukit yang
lindungan lembur ini bervariasi mulai dari 1 – 5 hektar, dan letaknya menyebar di
diantaranya adalah : Hutan Hulu Maung, Gunung Baduy, Ciduku, Hutan Hulu
tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk
ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah
menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari
bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang
ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut
awalnya adalah sekitar 7 – 11 tahun, sekarang ini hanya 5 tahun dan ada yang 3
tahun. Akibat dari memperpendek masa bera lahan ini adalah menurunnya produksi
kekurangan lahan ini adalah mencari lahan garapan di luar wilayah Baduy, baik
dengan membeli, sistem sewa ataupun bagi hasil. Untuk menambah pendapatannya,
pada lahan mereka di luar Baduy, ditanami beberapa jenis tanaman ekonomis
seperti cengkeh, kopi, kakao, dan karet. Dalam lima belas tahun terakhir ini,
adalah sengon, mahoni, kayu afrika, sungkai, aren, dan mindi. Tanaman kayu
tersebut akan ditebang pada saat akhir masa bera. Kayu hasil penebangannya ada
yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar. Dari
sisi konservasi, penanaman jenis-jenis tanaman kayu selama menunggu masa bera
dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus melindungi tanah dan lahannya
dari erosi; sedangkan dari segi ekonomi akan meningkatkan pendapatan petani dan
sekaligus mengatasi masalah kekurangan kayu. Saat ini, seluruh lahan yang
43
Leuweung lindungan lembur, leuweung kolot, hutan di sekitar mata air, dan
hutan tempat hulunya sungai tidak pernah dibuka menjadi ladang, bahkan sebagian
ditetapkan sebagai tempat yang keramat. Bagi orang Baduy, mempunyai banyak
banyaknya. Masyarakat yang banyak memiliki pohon dan rumpun bambu dianggap
hidupnya sudah mapan, bahkan seorang laki-laki yang akan menikah dilihat
kemapanan hidupnya dari lahan garapan, rumah, dan jumlah pohon atau rumpun
bambu yang dimiliki. Karena itu budaya menanam pohon dan bambu seakan
menjadi keharusan bagi masyarakat Baduy. Pohon yang ditanam adalah pohon-
pohon yang diambil buahnya, seperti durian, duku, langsat, manggis, petai, picung,
rambutan, mangga, dan kelapa. Pohon yang ditanam menjadi milik si penanam dan
akan diwariskan kepada anaknya. Menebang pohon di hutan tua atau hutan
diambil dari hutan skunder yang akan dijadikan ladang, atau membeli dari
masyarakat luar.
pendapatan, sedangkan bambu merupakan bahan baku utama rumah dan gubung
jenis pohon buah-buahan; sedangkan di tepi sungai kampung dan di sekitar mata
air serta selokannya banyak terdapat deretan rumpun bambu dan tumbuhan kirai
yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah
yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga
kelompok masyarakat panamping adalah yang dikenal sebagai Baduy Luar yang
seperti Cikadu, Kadu Ketug, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy
Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar
(Permana, 2001).
Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
nasional penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro
pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada
masyarakat Baduy adalah Puun yang ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut
berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan
dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya
macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro
pamarentah.
Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga
tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga,
mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar
Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro
tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut
sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua
D. Studi Pendahuluan
sehari-hari mereka selalu berpegang dan mematuhi pada aturan-aturan yang sudah
46
aturan atau pamali dilandasi oleh kepercayaan mereka terhadap hal-hal magis,
sehingga ketika mereka melanggar pamali maka akan berdampak buruk bagi
dirinya atau bagi keluarganya, bahkan sanksi yang lebih tinggi dikeluarkan dari
serta pemertahanan bahasa Baduy sebagai sebuah kearifan lokal di Provinsi Banten
peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pamali dalam
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
etnografis, studi grounded theory atau studi kasus. Metode penelitian yang penulis
penulis lakukan merujuk pada prosedur yang disampaikan oleh Spradley, antara
lain :
dengan penelitian.
48
dari berbagai sumber, seperti wawancara, observasi, dan dokumentasi. Setelah itu,
yang dipatuhi oleh masyarakat Baduy. Setelah data terkumpul, kemudian penulis
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini, yakni : 1) peristiwa,
jaro/puun dan sumber yang lain.; 2) informan, yaitu jaro/puun, anggota masyarakat
baduy dan steakholder yang lain, 3) dokumen, informasi tertulis yang berkenaan
dengan tabu dalam bahasa Indonesia atau pamali dalam masyarakat baduy.
Sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian yang telah penulis rumuskan,
maka teknik pengumpulan data berkait dengan penelitian yang penulis lakukan
pengamatan langsung/observasi.
3) kajian dokumentasi dan pustaka, mencatat semua hal yang berkaitan dengan
melakukan rekaman yang terjadi pada saat wawancara ataupun pada saat
berdasarkan prosedur tahapan analisis data metode etnografi, sebagai berikut, yakni
1. Analisis Domain,
menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial. Dari paparan tersebut,
penelitian dalam hal ini gambaran umum masyarakat baduy dengan segala
aktivitas kesehariannya.
2. Analisis Taksonomi
50
3. Analisis Komponen
Analisis komponen yaitu mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal
secara umum.
sesuai dengan fokus dan subfokus penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut,
penelitian ini ingin melihat apakah ada hubungan antara latar belakang
budaya dan bahasa yang berbeda antara masyarakat baduy secara khusus
melalui diskusi, pengecekan oleh anggota yang terlibat dan triangulasi. Lebih jelas,
kedalaman informasi data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha
tekun dan teliti mengamati serta mencatat semua informasi berkait dengan
ini peneliti melakukan diskusi dengan teman sejawat termasuk dengan pakar yang
menginformasikan hasil analisis dengan beberapa teori yang telah diuraikan dengan
BAB IV
A. REKAPITULASI ANGGARAN
Anggaran yang diajukan dalam penelitian ini, enulis tampilkan di bawah ini :
Diusulkan (Rp)
1. Gajidanupah 15.500.000
2. Bahanhabispakaidanperalatan 30.500.000
3. Perjalanan 29.550.000
Jumlah 117.300.000
B. JadwalPelaksanaanPenelitian
No Kegiatan Bulan
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
1 Pembuatan Proposal X
penelitian
53
3 Penelitian ke lapangan X X X X
(Baduy)
4 Analisis data X X X
5 Ujipakar X X
6 Merevisidata berdasarkan X
uji pakar
7 Membuatlaporan X X
8 Seminar danpublikasi X X
54
BAB V
kabupaten Lebak provinsi Banten sampai hari ini masih menjadi bahan yang sangat sexy
untuk dibicarakan. Bahkan, hingga saat ini masih banyak para peneliti yang melakukan
Berbicara mengenai asal-usul masyarakat baduy sampai hari ini masih menjadi
perdebatan panjang. Ada ahli yang menyatakan bahwa masyarakat baduy adalah
masyarakat keturunan pajajaran yang menyingkir dari utara ke selatan, ada juga yang
menyatakan bahwa masyarakat baduy adalah penduduk asli yang telah berabad-abad
Berdasarkan buku yang penulis baca, banyak faktor yang menjadi penghambat
dalam mengungkap tabir mengenai asal-usul orang baduy. Hal ini disebabkan oleh
ketertutupan masyarakat baduy akan perkembangan dunia luar dan juga aturan hidup atau
pikukuh atau pantang yang sudah mengakar turun menurun dari nenek moyangnya hingga
saat ini.
Dalam buku yang ditulis oleh Lukman Hakim (2012 :38) dijelaskan bahwa
beberapa penelitian yang pernah dilakukan para ahli untuk mengungkap mengenai tabir
kehidupan masyarakat baduy, antara lain : ekspedisi “de Lange” pada bulan Mei 1928 yang
terdiri dari antropolog dan physolog, yaitu Prof J Boeke, Prof.CD de Lange dan Prof. B.
55
Van Tricht, yang disertai oleh PAAD Djajadiningrat orang yang berpengaruh dan masih
keturunan orang baduy dan dianggap sebagai kokolot, selain itu juga Bupati Lebak RA
ekspedisi de Lange pun gagal karena masyarakat baduy menolak setiap pengaruh yang
datang dari dunia luar. Van Tricht, seorang dokter yang melakukan sebuah riset kesehatan
tahun 1928, mengatakan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran yang
Selain penelitian yang dilakukan oleh para ahli di atas, seorang peneliti lain pun
yang bernama NJC Geise melakukan penelitian yang sama tepatnya pada tahun 1952.
Geise pun tidak diizinkan masuk ke wilayah pemukiman baduy, ia hanya diperbolehkan
tinggal di luar perbatasan baduy, dan hasil penelitiannya pun dianggap gagal karena tidak
peroleh data yang jelas mengenai masyarakat baduy (Hakim, 2012 : 39).
Sementara itu terkait dengan keyakinan yang dianut masyarakat Baduy, agama
mereka disebut sunda wiwitan yang dianggap sebagai agama tertua di dunia. Masyarakat
baduy percaya kepada gusti nu maha suci, penguasa alam semesta yang mengutus Nabi
Adam ke bumi mengatur kehidupan orang baduy. Sedangkan Nabi Muhammad diutus
untuk mengatur umat manusia di dunia di luar orang baduy (Hakim, 2012 : 6).
Sir Thomas Stamfor Raffles (Hakim, 2012 : 41) menyebut orang baduy sebagai
orang Rawayan, sesuai dengan pengakuan orang baduy sendiri. Lebih lengkap ia
menjelaskan bahwa kata Baduy berasal dari Budha atau bahasa Arab, Badawi atau Beduwi.
Pernyataan Raffles ditolak oleh Prof. Husein Djajadiningrat, menurutnya jika dilihat dari
Sementara itu dari literatur yang lain, penamaan ‘Badui’, ‘Baduy’ atau ‘Urang
Baduy’ (Orang Baduy) bagi seluruh penduduk Desa Kanekes merupakan sebutan yang
telah digunakan sejak lama. Hal ini dapat ditelusuri dari laporan-laporan peneliti (etnografi)
Belanda seperti yang tulis oleh van Hoevell (1845); Jacob dan Miejer (1981); Pennings
(1902); Pleyte (1909); van Tricht (1928) dan Geise (1952) yang menyebut masyarakat yang
tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu dengan sebutan badoe’i, badoei, badoewi,
Kanekes, dan Rawayan (Garna, 1996). Diduga, sebutan-sebutan tersebut bukanlah sebutan
yang berasal dari penduduk itu sendiri. Sebutan ‘Baduy’ diperkirakan telah digunakan oleh
pengembara di Arab, Orang Badawi sedangkan sebutan Kanekes atau Urang Kanekes,
seperti yang diungkapkan oleh Nurhadi (1988), diduga merupakan sebutan yang berasal
Masyarakat Desa Kanekes menamai dirinya sesuai dengan asal dan wilayah
kampungnya, seperti Urang Cibeo untuk mereka yang tinggal di wilayah Kampung Cibeo,
urang Kaduketug, Urang Gajebo. Urang Tangtu (Baduy Dalam), dan Urang Panamping
(Baduy Luar) juga kerap digunakan sebagai penanda akan identias mereka dalam cakupan
Sebutan Baduy kini melekat pada penduduk Kanekes, ketika Kartu Tanda
penduduk (KTP) diperkenalkan untuk pertama kali pada tahun 1980 pada Masyarakat Adat
Baduy, identitas sebagai Urang Baduy (Orang Baduy) dibubuhkan pada KTP mereka.
‘Orang Baduy’ atau Baduy kini digunakan untuk menyebut individu atau masyarakatnya
dan ‘Kanekes’ merujuk kepada nama wilayah atau desa mereka. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes (2011) bahwa: “Kanekes ngaran
Desa, Baduy ngaran masyarakatna. Lian ti eta berarti sebutan nu diciptakeun ku urang
57
luar Baduy”. (Kanekes nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti
B. Temuan Penelitian
dengan teknik dasar sadap dan teknik lanjutan libat cakap. Peneliti terlibat aktif dan
reseptif. Aktif artinya peneliti ikut berbicara dalam dialog dan memberikan pertanyaan-
mendengarkan pembicaraan dan menerima apa adanya tanpa ada dialog yang secara
hutan dan lingkungan. Temuan penelitian ini didapatkan dari situasi dan kondisi yang
alamiah karena peneliti terlibat dalam aktivitas kehidupan masyarakat, serta dengan cara
wawancara terbuka namun tetap terarah, dimana kondisi wawancara tersebut berjalan
Berikut ini peneliti tampilkan temuan data yang berkaitan dengan ruang
No Ungkapan Pamali
12. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh mengotori tanah (berak)
16. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh bicara kotor dan kasar
19. Padi tidak boleh dibawa dengan kendaraan bermotor, harus dipanggul
24. Tidak boleh mencuri padi karena dianggap menistakan Nyi Pohaci
Sanghyang Asri
seperti yang terlihat dalam tabel di atas, sangat dipatuhi oleh seluruh masyarakat
baduy terutama masyarakat baduy tangtu yang sangat kuat memegang aturan
Masyarakat baduy mempercayai jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan
ada dampak baik bersifat pribadi ataupun secara umum. Misalnya, ada bencana alam,
banyak yang sakit dan sebagainya. Dari data hasil observasi dan wawancara diperoleh
25 data ungkapan pamali yang berkaiatn dengan kegiatan mengolah lahan pertanian.
60
No Ungkapan Pamali
7. Rumah yang dibangun harus apa adanya sesuai dengan kontur tanah
13. Tidak boleh menggunakan pakain modern untuk masyarakat baduy tangtu.
22. Pada saat mandi dan mencuci baju dilarang menggunakan sabun
23. Tidak boleh menyikat gigi dengan pasta gigi dan sikat gigi
27. Orang luar tidak boleh masuk ke halaman rumah puun tanpa seizinnya
62
29. Tidak boleh memasuki Sasaka Pada Ageung dan Sasaka Parahyang tanpa
seizin puun bagi orang baduy. Sementara untuk orang luar sama sekali
tidak diperbolehkan.
30. Tidak boleh berbicara dengan lawan jenis yang belum sah atau yang tidak
34. Dilarang keras pindah agama, sanksinya adalah dikeluarkan sebagai orang
baduy
bermasyarakat seperti yang terlihat dalam tabel di atas, sangat dipatuhi oleh seluruh
masyarakat baduy terutama masyarakat baduy tangtu yang sangat kuat memegang
aturan tersebut.
Masyarakat baduy mempercayai jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan
ada dampak baik bersifat pribadi ataupun secara umum/masal. Misalnya, ada
sama baik di baduy tangtu maupun baduy panamping. Akan tetapi, tidak semua aturan
yang di pegang teguh oleh masyarakat baduy tangtu berlaku di masyarakat baduy
panamping. Misalnya, jika di masyarakat baduy tangtu, wajib memakai pakaian hitam
dan putih (pakaian kanekes) yang berbeda dengan orang luar baduy, sedangkan
masyarakat baduy panamping boleh memakai pakaian modern seperti halnya masyarakat
umumnya. Jika masyarakat baduy tangtu tidak boleh menggunakan alat elektronik
bahkan mereka bisa menonton TV di masyarakat di luar baduy, sementara baduy tangtu
Dari data hasil observasi dan wawancara diperoleh 34 data ungkapan pamali yang
Lingkungan
berhubungan dengan aturan pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan. Data
No Ungkapan Pamali
64
Lindungan Lembur
Lindungan Lembur
tanah
7. Orang kulit putih (Cina dan Bule) tidak boleh masuk ke Taneuh
Larangan
8. Lahan tidak boleh dimiliki, hanya hak guna saja (untuk masyarakat baduy
10. Tidak boleh menanam tanaman atau pohon bernilai ekonomis seperti
pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan seperti yang terlihat dalam tabel di
atas, sangat dipatuhi oleh seluruh masyarakat baduy terutama masyarakat baduy
Masyarakat baduy mempercayai jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan
ada dampak baik bersifat pribadi ataupun dampak yang dirasakan oleh masyarakat
baduy secara umum. Misalnya, ada bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan dan
berlaku hampir sama baik di baduy tangtu maupun baduy panamping. Akan tetapi, tidak
semua aturan yang di pegang teguh oleh masyarakat baduy tangtu berlaku di masyarakat
baduy panamping. Dari data hasil observasi dan wawancara diperoleh 11 data ungkapan
pamali yang berkaiatn dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan
BAB VI
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pembahasan temuan penelitian yang telah
dituliskan di bab V. Pembahasan ini dilakukan dalam upaya menjelaskan lebih jauh tentang
ungkapan pamali atau jika dituturkan oleh masyarakat baduy dengan istilah teu wasa,
buyut. Berikut ini buyut atau pikukuh yang menjadi pandangan hidup masyarakat baduy
pengelolaan lahan pertanian. Terlebih dahulu peneliti paparkan mengenai jenis ungkapan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, ungkapan larangan ini
dapat dikatakan sebagai suatu tradisi secara turun temurun yang masih dijalankan dalam
masyarakat baduy.
Berdasarkan paparan teori terkait dengan temuan penelitian yang telah peneliti
paparkan di bab IV, dengan demikian ungkapan pamali, teu wasa dan buyut yang dipakai
di masyarakat baduy yang digunakan dalam segala sepek kehidupan termasuk dalam
pengelolaan lahan pertanian dapat dikategorikan sebagai ungkapan larangan yang berupa
Seperti kita ketahui bahwa mata pencaharian utama masyarakat baduy adalah
berladang atau menanam padi di huma (darat/gunung). Masyarakat baduy, baik baduy
dalam maupun baduy luar tidak mengenal istilah menanam padi di sawah (bertani), seperti
halnya masyarakat Banten secara umum, yang mereka lakukan hanya berladang dengan
masyarakat baduy yaitu membuat kain tenun dan kerjainan tangan lainnya seperti membuat
Masyarakat baduy adalah masyarakat yang sangat kuat memegang pikukuh yang
mereka selalu memegang aturan-aturan yang sudah menjadi ketentuan puun. Mereka
bahkan tidak pernah berani melanggar aturan yang telah menjadi pegangan hidupnya,
karena takut terjadi sesuatu dengan dirinya jika melanggar aturan tersebut.
69
pertanian merujuk pada pikukuh “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang
dirusak”. Pikukuh tersebut menjadi acuan masyarakat baduy pada saat berladang.
lahan pertanian atau dalam mengelola lahan pertanian, masyarakat baduy memiliki aturan-
aturan yang tidak tertulis yang berupa ungkapan larangan yang tidak boleh dilakukan pada
baduy pada saat mengelola lahan pertanian berdasarkan data temuan penelitian dapat
masyarakat baduy dari mulai membuka lahan pertanian, proses menanam padi sampai
dengan panen padi. Masyarakat baduy tidak berani melanggar aturan yang tidak tertulis
tersebut karena ketakutan akan mendapatkan bencana atau dampak dari pelanggaran
71
tersebut, baik secara pribadi atau langsung dirasakan oleh individu yang melanggar aturan
kegiatan pada saat memulai berladang, proses berladang, dan pada saat panen, seperti di
bawah ini.
Terdapat beberapa aturan/ungkapan larangan atau tabu atau pamali yang tidak
boleh dilakukan oleh masyarakat baduy pada saat memulai berladang, antara lain :
a) Tanah ladang tidak boleh di bolak-balik, pada saat memulai membuat ladang,
lebak secara umum, tanah yang digunakan untuk menanam tidak dicangkul
menanam padi mereka hanya menggunakan tugal yaitu sejenis batang pohon
b) Tidak mengubah kontur tanah dan tidak membuat terarsering atau sengkedan.
Masyarakat baduy pada saat berladang sama sekali tidak mengubah bentuk
tanah ladang, mereka tidak berani merusak bentuk asli tanah karena mereka
percaya tanah adalah titipan dari para leluhur mereka dan harus tetap dijaga.
Ungkapan pamali tersebut dipercaya ketika tidak mengubah bentuk tanah akan
c) Pada saat mau memulai berladang, masyarakat baduy menunggu perintah dari
puun. Mereka tidak saling mendahului dalam berladang. Selain itu, tempat
72
berladang pun harus berdasarkan aturan atau ketentuan puun dan sama sekali
Terkait dengan ungkapan larangan pamali pada saat proses berladang, terdapat
beberapa hal yang menjadi pantangan yang dianut masyarakat baduy, terutama yang
masyarakat baduy hampir sama seperti tidak mengubah bentuk tanah, tidak boleh
menggunakan pupuk dan obat kimia, serta tidak menanam budidaya perkebunan.
Ungkapan larangan atau aturan yang lebih kental dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat
baduy yaitu pada saat bekerja di huma serang milik girang seurat, aturan tersebut antara
lain : selama bekerja di huma serang tidak boleh mengotori lahan (berak), tidak boleh
merokok, tidak boleh meludah, tidak boleh kentut dan tidak boleh berbicara kotor dan
73
kasar. Selain itu, seluruh masyarakat baduy pada saat bekerja di huma serang harus
memakai pakaian bersih dan bagi kaum pria atau laki-laki harus memakai ikat.
Setelah masa membuat ladang dan masa berladang, masa selanjutnya adalah masa
panen. Pada saat masa panen pun banyak aturan yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh
masyarakat baduy, antara lain : hasil panen atau padi tidak boleh di bawa naik kendaraan
baik motor ataupun mobil, padi tidak boleh digiling di penggilingan padi, tetapi harus
ditumbuk di lumbung yang sudah disiapkan di perkampungan. Selain itu, hasil panen/padi
tidak boleh dijualbelikan dan dibuang percuma bahkan aturan yang palng ketat yaitu
masyarakat baduy tidak boleh mencuri padi. Jika aturan-aturan tersebut dilanggar, maka
pelanggar akan mendapatkan sangsi secara pribadi bahkan mungkin akan mendapatkan
masyarakat baduy seperti yang dijelaskan para penulis buku ataupun para peneliti,
atau Banten secara umum, hal ini disebabkan karena masyarakat baduy
seperti tidak memiliki televisi, radio, HP bahkan untuk alat penerangan pun mereka
umum.
dan jalani, sehingga banyak peneliti atau penulis buku yang menggambarkan
bahwa masyarakat baduy adalah masyarakat miskin. Tidak salah memang ketika
banyak penulis buku menjelaskan bahwa masyarakat baduy adalah miskin karena
untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka sama sekali tidak
punya televisi atau alat elektronik lainnya, begitupun dengan alat-alat rumah
tangga lainya seperti piring, gelas dan sebagainya. Berdasarkan gambaran tersebut
itulah maka asumsi-asumsi yang dibangun dalam buku atau penelitian yang
miskin.
peneliti di baduy, bahwa mereka memang hidup apa adanya dan tidak berlebihan.
kehidupan sehari-harinya. Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh
masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri,
Orang Baduy tidak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
papan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak membeli beras, tapi menanam sendiri.
Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri. Kayu sebagai bahan pembuat rumah
pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari
75
5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk
mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota tidak ditemukan di masyarakat baduy, hal
ini tampak pada beberapa hal lainnya. Misalnya, untuk penerangan, mereka tak
menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan
pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan
membagi ungkapan pamali dalam aturan hidup bermasyarakat ke dalam 2 (dua) bagian :
10. Pada saat mandi dan mencuci baju dilarang menggunakan sabun
11. Tidak boleh menyikat gigi dengan pasta gigi dan sikat gigi
12. Tidak boleh berbicara dengan lawan jenis yang belum sah atau yang
umum/menyeluruh :
kayu
7. Rumah yang dibangun harus apa adanya sesuai dengan kontur tanah
tangtu
16. Orang luar tidak boleh masuk ke halaman rumah puun tanpa
seizinnya
77
18. Tidak boleh memasuki Sasaka Pada Ageung dan Sasaka Parahyang
tanpa seizin puun bagi orang baduy. Sementara untuk orang luar
orang baduy
Terkait dengan paparan mengenai ungkapan larangan atau tabu dalam aturan hidup
empat) ungkapan pamali. Secara umum ungkapan pamali tersebut dijadikan sebagai
pedoman hidup oleh seluruh masyarakat baduy, baik ungkapan pamali yang bersifat
Berdasarkan hal tersebut di atas, sangatlah wajar jika banyak penulis dan peneliti
berdasarkan parameter di masyarakat umum tolok ukur yang dipakai bersifat materi
(kekayaan) seperti memiliki kendaraan, memakai perhiasaan, memiliki tanah yang luas dan
banyak dan memiliki rumah yang mewah. Sementara itu, kenyataan yang sebenarnya
tergambar dalam keseharian baik secara individu ataupun secara umum di masyarakat
baduy : mereka tidak memakai perhiasan, tidak memakai wangi-wangian, tidak memiliki
seperti halnya masyarakat umum, akan tetapi karena mereka memegang teguh aturan hidup
yang sudah turun temurun yang diajarkan oleh para pendahulunya dan sangat takut dengan
akibat yang ditimbulkan ketika mereka melanggar aturan atau pikukuh hidup.
78
Lingkungan
Masyarakat baduy pada dasarnya sama dengan masyarakat atau suku bangsa lain
di dunia, mereka memiliki ciri-ciri khas yang membedakan dengan suku bangsa lain.
termasuk dalam lingkungan hukum adat Jawa Barat (sekarang masuk wilayah Provinsi
Banten) bersama-sama dengan kelompok orang Betawi, orang Banten, dan orang Sunda.
Berdasarkan data yang diambil dari pemerintahan kabupaten Lebak, luas wilayah
yaitu 5.101, 85 ha, terdiri dari kawasan hutan lindung 2.946 ha dan hutan produksi 2.155
ha. Sementara itu, lokasi tempat tinggal masyarakat baduy berada di pegunungan Kendeng,
Banten Selatan. Kawasan gunung kendeng dikenal sebagai sumber beberapat mata air
sungai-sungai yang mengalir ke segala penjuru mata angin, sehingga mereka biasa disebut
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami masyarakat baduy memiliki wilayah yang
jelas secara berdasarkan peraturan daerah kabupaten Lebak dan memiliki sistem
pemerintahan ganda yaitu aturan hidup yang didasarkan pada aturan puun (pemerintahan
adat) dan aturan yang mengacu kepada peraturan pemerintah kabupaten. Kedua sistem itu
dijalankan secara simultan dan terus menerus dari para pendahulunya hingga saat ini.
Kepala pemerintahan adat berkedudukan di Kejeroan atau tangtu tilu (Kampung Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik), yang dipimpin oleh seorang puun. Seluruh masyarakat baduy
dalam segala macam aktivitasnya, baik yang bersifat sosial, agama dan adat istiadat harus
tunduk pada aturan yang dikeluarkan puun. Sementara itu, untuk menghubungkan
79
kampung Kaduketug. Tugas jaro pamarentah adalah menyampaikan hal-hal yang berkaitan
hal ini Bupati selain itu juga turut serta dalam program yang dilaksanakan oleh
Berdasarkan catatan yang ada, lahan pemukiman masyarakat baduy yang terdiri
dari pegunungan dengan lembah yang curam merupakan tanah hak ulayat yang diakui
batas-batasnya oleh pemerintah sejak tahun 1986. Menurut pengakuan masyarakat baduy
tanah yang mereka tinggali adalah taneuh titipan karuhun yang harus mereka pelihara
dengan baik dan dijaga dari pengaruh modernisme atau perkembangan kemajuan jaman.
Untuk menjaga taneuh titipan dari pengaruh kemajuan jaman dan modernisme
banyak aturan yang mengikat yang tidak boleh dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat
baduy. Aturan-aturan tersebut biasanya disampaikan dalam tuturan lisan dari para
pendahulunya, akan tetapi aturan-aturan tersebut sangat dipatuhi dalam semua aktvitas
Salah satu aturan yang masih dipegang kuat oleh masyarakat baduy yaitu aturan
pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan yang dibagi ke dalam dua bagian, antara
lain :
taneuh/leuweung titipan
Lindungan Lembur
4. Orang kulit putih (Cina dan Bule) tidak boleh masuk ke Taneuh
Larangan
sangat kuat memegang pikukuh atau aturan hidup yang berlaku dalam aktivitas
hutan dan lingkungan, ada beberapa aturan atau ungkapan pamali yang selalu harus
lembur. Berdasarkan aturan tersebut maka tidak satu pun anggota masyarakat baduy
yang berani membuka ladang di tanah titipan tersebut kecuali puun. Begitu pun
dengan aturan yang kedua, seluruh anggota masyarakat baduy dilarang menebang
pohon/kayu di tanah/leuweung titipan, maka tidak satu pun dari anggota masyarakat
baduy yang berani melanggar aturan tersebut, karena ketika mereka melanggar akan
mendapatkan sanksi dari puun baik yang bersifat pribadi, bahkan dampak dari
jika warga luar baduy sangat di larang kelas memasuki taneuh titipan terutama
adalah warga yang berkulit putih seperti cina dan bule, dan terakhir yaitu tidak
81
diperbolehkan ini dan itu, hampir sebagian besar mereka tidak bisa menjelaskan
alasan secara logis, mereka hanya mengatakan bahwa itu sudah menjadi
aturan/larangan yang harus dipatuhi, yang mereka katakan dalam bahasa sunda “eta
dan lingkungan
meratakan tanah
4. Lahan tidak boleh dimiliki, hanya hak guna saja (untuk masyarakat
hutan dan lingkungan, antara lain berkaitan dengan 1) tidak boleh mengubah jalur
air, berdasarkan larangan tersebut, mereka percaya ketika mengubah jalur air maka
tersebut, mereka membiarkan aliran air apa adanya dan satu hal lagi masyarakat
baduy tidak pernah membuat irigasi atau membuat bendungan untuk keperluan
mereka membuat irigasi sama saja dengan meungpeuk rejeki ti pangeran padahal
mengubah bentuk tanah, dari larangan ini bisa terlihat dari bentuk ladang yang
dimiliki masyarakat baduy yang berdasarkan kontur tanah. Mereka percaya ketika
mengubah bentuk tanah akan mengakibtkan bencana longsor atau gempa, maka
tanah apa adanya. Selain itu, ada asumsi dalam pemahaman mereka ketika
mengubah bentuk tanah sama saja dengan ngaruksak ciptaan pangeran padahal
dalam pemahamannya tanah itu harus dijaga agar tidak rusak dan dampak pengaruh
menganggap bahwa semua masyarakat baduy memiliki kedudukan yang sama, tidak
ada si kaya atau si miskin semuanya harus sama dihadapan pangeran, puun dan
kepercayaannya.
4) tanah tidak boleh dimiliki atau hanya hak guna pakai saja. Berdasarkan
baduy tidak memiliki apa-apa karena jika tanah dimiliki amak akan terjadi silang
bahkan yang lebih parah lagi akan terjadi perebutan tanah antara seluruh masyarakat
baduy.
penanaman pohon di ladang pun menjadi hal yang menarik untuk dianalisis. Dalam
bersifat ekonomis maka akan mengakibatkan kecemburuan sosial atau akan terjadi
berdampak kepada pemerataan status sosial yang berbeda-beda dan pada akhirnya
sekali ungkapan pamali yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh masyarakat baduy
bahwa pamali merupakan aturan yang bersifat mengikat dan sangat sakral serta
tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, ketika ada yang melanggar aturan-aturan yang
sudah diwariskan oleh para nenek moyang masyarakat baduy, maka pelanggar akan
84
mendapatkan sanksi dari puun, bahkan ketika pelanggaran tersebut sangat berat
dijelaskan bahwa kata-kata tabu atau pamali dalam masyarakat baduy memiliki
banyak makna dan kegunaan bagi masyarakat yang mempercayai dan menerapkan
dalam kehidupan mereka. Banyak hal tabu atau pamali yang berlaku dalam sebuah
tersebut adalah kata-kata orang tua zaman dulu yang pasti memiliki hikmah, dan
apabila dilanggar maka akan ada konsekwensi atas pelanggaran tersebut, baik
larangan atau tabu dan pamali dalam masyarakat baduy tidak mempunyai dasar
berbeda dengan larangan-larangan agama atau moral. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
ungkapan larangan atau tabu ini tidak terlacak dapa firman Tuhan atau wahyu Tuhan
tabu tidak sama dengan larangan agama, juga berbeda dengan larangan moral yang
dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat sebagai suatu sistem yang mengikat
mereka dalam tatanan kehidupan sosialnya. Larangan moral memiliki alasan dan
85
dasar yang jelas kenapa sesuatu dibolehkan atau tidak dibolehkan, sedangkan makna
tabu tidak memiliki landasan dan alasan yang jelas kenapa sesuatu itu dilarang.
Walaupun kegunaan dan fungsi tabu sama dengan larangan moral, akan tetapi
ungkapan tabu dihindari oleh seseorang yang meyakininya tanpa mereka sendiri
tahu atau mengerti kenapa sesuatu tersebut harus dihindari. Berdasarkan hal
tersebut, sangatlah jelas jika melakukan perbuiatan yang dilarang agama memiliki
konsekwensi dosa bagi para pelanggarnya sebagaiman tertera dalam firman Tuhan,
dan jika melakukan tindakan yang dilarang oleh hokum atau larangan moral
karena larangan moral sudah menjadi kesepakatan dan kesadaran kolektif anggota
konskewensi yang masih bersifat samar, supernatural dan tanpa diketahui kapan
Merujuk pada pendapat yang disampaikan para ahli dalam berbagai konsep
mengenai makna tabu. Menurut hemat penulis, nampaknya agak susah memasukan
larangan agama yang jelas akan landasan dan alasannya serta hukumannya atau
sanksinya. Akan tetapi, jika merujuk pada hukuman yang diberikan kepada
pamali yang berlaku di masyarakat baduy lebih mendekati kepada larangan moral
atau dikucilkan walaupun pada akhirnya akan mendapatkan sanksi langsung dari
puun.
tabu dengan kekuatan magic dan makhluk gaib seperti ruh dan jin (Humaeni, 2015
86
kerasukan ruh-ruh, konsekwensinya akan dijauhi secara fisik dan secara sosial dan
dia harus menghindari kontak dengan yang lain. Lebih lanjt Weber menjelaskan
bahwa do’a dari seorang ahli magis yang kharismatik juga bisa menyebabkan suatu
benda atau seseorang dilabeli sebagai tabu. Oleh sebab itu, kontak dengan seorang
pemilik tabu baru akan menimbulkan magic jahat, karena tabu yang dimilikinya
akan terpancarkan kepada orang yang melakukan kontak dengannya. Lebih lanjut
Weber menjelaskan bahwa tabu ada dan berkembang untuk kepentingan ekonomi,
politik, status, prestise, dan privilege dari seseorang atau golongan tertentu, untuk
tersebut tidak termasuk ke dalam ungkapan larangan agama dan ungkapan larangan
moral yang disampaikan oleh para ahli karena ungkapan larangan/pamali (tabu)
yang berlaku dijalankan oleh masyarakat baduy tidak memiliki landasan dan alasan
yang masuk akal. Akan tetapi, jika ditinjau dari hukuman atau sanksi maka
puun akan mendapatkan sanksi yang setimpal dengan kualitas dan kuantitas
BAB VII
A. Simpulan
1. Ungkapan pamali/tabu atau dalam bahasa secara umum ungkapan larangan yang
berlaku dan dilaksanakan secara aktif oleh masyarakat baduy merupakan aturan
hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun menurun melalui
Alqur’an, kitab, atau ajaran-ajaran lain yang dibukukan. Masyarakat baduy hanya
memperoleh dari lisan yang disampaikan oleh para pendahulunya. Akan tetapi,
dalam tiga kategori besar yaitu a) ungkapan pamali yang berkaitan dengan
hidup bermasyarakat, dan c) ungkapan pamali yang berkaitan dengan aturan dalam
(dua puluh lima) ungkapan pamali yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh
masyarakat baduy. Sementara itu, ungkapan pamali berkaitan dengan aturan hidup
88
pamali yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan
tersebut penulis peroleh pada saat berdiskusi/ngobrol dengan sumber data ketika
Temuan-temuan tersebut hanya sebatas yang penulis peroleh apa adanya pada saat
berdiskusi atau ngobrol sore dan malam karena terkadang mereka tidak mau
menyampaikan informasi terlalu banyak dengan alasan teu meunang ku aturan dan
pamali, sehingga hal ini berdampak pada perolehan data penelitian yang penulis
dapatkan. Akan tetapi, penulis bersyukur dan merasa senang luar biasa karena
B. Saran
kepuasan yang luar biasa, tetapi juga mendapatkan tantangan yang tidak sedikit. Untuk itu,
ada beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan sebagai acuan para peneliti berikutnya,
antara lain :
1. Data penelitian yang penulis peroleh belum tergali secara maksimal dan
optimal karena keterbatasan waktu yang dimiliki penulis tidak bisa tinggal
lama di baduy karena harus melaksanakan aktivitas lain di kampus. Untuk itu,
jika para peneliti yang akan datang mau meneliti tentang hal-hal yang terkait
jika memungkinkan untuk tinggal dan ikut serta dalam aktivitas keseharian
masyarakat baduy, penulis merasa yakin jika turut serta dalam aktivitas
seyogyanya ketika mengambil data penelitian harus menjaga tata krama yang
3. Penelitian yang penulis lakukan ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak data yang belum tergali, maka disilahkan kepada para peneliti yang
akan datang untuk mencari hal-hal lain yang belum banyak diteliti para peneliti
lain.
90
DAFTAR PUSTAKA
Burridge, Kate dan Allan, Keith. 2006. Forbidden Words. New York: Cambridge
University Press.
---------- 2010. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.
Frazer, Sir James George. 1980. Taboo And The Perils Of The Soul. Hongkong:
The Macmillan Press Ltd.
Kridalaksana, Harimurti. “Bahasa dan Linguistik” dalam Pesona Bahasa. Edit oleh
Kushartanti. Jakarta: Gramedia. 2007. Hal. 7.