Anda di halaman 1dari 91

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327931710

PAMALI dalam Masyarakat Baduy (Kajian Antropolinguistik)

Research · September 2018

CITATIONS READS

0 5,147

1 author:

Dase erwin Juansah


UNTIRTA
31 PUBLICATIONS   25 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

RESEACH View project

All content following this page was uploaded by Dase erwin Juansah on 28 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


2

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : PAMALI dalam Masyarakat Baduy


(Kajian Antropolinguistik)
Peneliti/Pelaksana :
Nama Lengkap : Dr. Dase Erwin Juansah, M.Pd.
NIDN : 0026077703
Jabatan Fungsional : Lektor
Program Studi : PendidikanBahasa Indonesia
Nomor HP : 081319993924
Alamat Surel (email) : daseerwin77@untirta.ac.id
Perguruan Tinggi : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Anggota Peneliti :
Nama Lengkap Erwin Salpa Riansi, M.Pd.
Alamat Surel (email) : salpariansierwin@gmail.com
Perguruan Tinggi : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
InsrtitusiMitra :
NamaInstitusiMitra :
PenanggungJawab :
TahunPelaksanaan : Tahun 2017
BiayaTahun Berjalan : Rp -
Biaya Keseluruhan : Rp 117. 000. 000,-
Mahasiswa yang terlibat : S1 2 orang
S2 1 orang
-

Serang, 30 Oktober 2017


Mengetahui Ketua Peneliti
Dekan FKIP,

Dr. H. Aceng Hasani, M.Pd. Dr. Dase Erwin Juansah, M.Pd.


NIP. 196708201998021003 NIP. 197707262003121001

Mengetahui
Ketua LPPM,

Dr. H. Benny Irawan, SH, MH., M.Si.


NIP. 196010251989091001
3

RINGKASAN

Masyarakat Baduy adalah masyarakat monolingual karena mereka hanya mengenal


satu bahasa yaitu bahasa Sunda. Selain sebagai masyarakat monolingual,
masyarakat Baduy juga tergolong masyarakat yang tidak diglosis, karena secara
umum masyarakat Baduy tidak mengenal variasi atau ragam dalam bahasa Sunda
sehingga dalam proses komunikasi sehari-hari di lingkungannya atau pun
berkomunikasi dengan masyarakat di luar lingkungannya mereka akan
menggunakan ragam yang sama. Bahkan bahasa yang digunakan ketika mereka
berkomunikasi dengan Bupati Lebak atau Gubernur Banten sekalipun bahasanya
akan sama seperti halnya mereka berbicara dengan anggota masyarakat Baduy yang
lain. Dengan kata lain, pada masyarakat Baduy tidak dikenal istilah undak-usuk
bahasa atau bahasa sunda halus dan bahasa sunda kasar.
Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda,
tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya,
atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat
dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan
dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian
sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari
masyarakat sekitar.
Kata pamali dantabumerupakanduakonsep yang sama. MasyarakatBanten secara
umum atau masyarakat Baduy secara khususlebih banyak menggunakan istilah
pamali untuk hal-hal yang dianggap tabu. Jadi, istilah pamali dan tabu merupakan
satu konsep yang sama, yaitu yang dilarang, baik karena kekuatan yang
membahayakan (tabu positif) maupun karena kekuatan yang mencemarkan atau
merusak kekuatan hidup seseorang (tabu negatif). Penelitian ini bertujuan menggali
lebih jauh mengenai kearifan lokal, khususnya ungkapan pamali dalam masyarakat baduy
yang begitu melekat dan sangat dipatuhi oleh anggota masyarakatnya.

Kata Kunci: UngkapanTabu “pamali, masyarakat Baduy


4

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Laporan Penelitian dengan judul

“Pamali dalam Masyarakat Baduy (sebuah Kajian Antropolinguistik) Pada

kesempatan ini, disampaikan terima kasih pada berbagai pihak, yang mendukung

penelitian ini sejak saat persiapan, masa penelitian, pembahasan maupun pada saat

penyusunan laporan, sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Untuk itu,

kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, MPd. Rektor Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa yang telah memberikan kesempatan pada kami untuk

mengembangkan keahlian penelitian di dalam memenuhi salah satu unsur Tri

Dharma PerguruanTinggi.

2. Bapak Dr. H. Benny Irawan, SH. MH. M.Si. Ketua Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat yang telah banyak memberikan dukungan teknis,

fasilitas, administrasi guna menunjang kelancaran di dalam laporan penelitian

ini.

3. Bapak Dr. H. Aceng Hasani, M.Pd. Dekan FKIP yang telah memberikan

motivasi dan semangat untuk meningkatkan produktivitas penelitian.

4. Bapak Dr. H. Suherman, M.Pd. Selaku Direktur Pascasarjana Untirta yang

selalu mendukung penulis dalam kegiatan penelitian ini.

5. Rekan-rekan dosen, khususnya dari FKIP yang telah memberikan semangat

untuk menyelesaikan penelitian ini.


5

6. Serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, arahan serta

dorongan dalam menyelesaikan laporan ini.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu krotik

dan saran sangat kami harapkan. Terakhir, kami berharap penelitian ini dapat

bermanfaat dan menginspirasi para peneliti lain untuk mengkaji penelitian yang

bernuansa kearifan lokal.

Serang, 30 Oktober 2017

Tim Peneliti
6

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................

ABSTRAK .............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................


B. Tujuan Khusus Penelitian.......................................................................
C. Kontribusi Penelitian ............................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tabu......................................................................................
B. Hakikat Kebudayaan ..............................................................................
C. Masyarakat Baduy......................... .........................................................
D. Studi Pendahuluan .................................................................................

BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................

A. Tempat dan Waktu Penelitian

B. Pendekatan, Metode, dan Prosedur

C. Data dan sumber data

D. Teknik Prosedur Pengumpulan Data

E. Teknik Analisis Data

F. Pemeriksaan Keabsahan Data

BAB IV TEMUAN PENELITIAN........................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...... ..................................................................................... ..

LAMPIRAN
7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.

Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari gerakan tubuh,

dengan mimik muka atau dapat pula dengan menggunakan alat. Alat komunikasi

yang utama bagi manusia adalah bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa

merupakan sarana pergaulan dan perhubungan sesama manusia untuk bertukar

pikiran, gagasan, dan mengungkapkan keinginan serta berbagi perasaan dengan

lawan tuturnya.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga dijadikan sebagai alat

pengembang kebudayaan dalam mewariskan budaya pada generasi berikutnya.

Sama halnya dengan bahasa, kebudayaan dipelajari, ditransmisikan, dan diwariskan

dari generasi ke generasi berikutnya melalui perbuatan dan melalui komunikasi.

Hubungan bahasa dan kebudayaan sangat erat, keduanya saling mengisi dan

mempengaruhi. Hal ini diperkuat oleh Chaer (1995:165) yang menjelaskan bahwa

hubungan antara bahasa dan kebudayaan yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat

merupakan hubungan yang subordinatif yaitu dimana bahasa berada di bawah

lingkup kebudayaan. Sementara itu Silzer (1990) menjelaskan bahwa hubungan

bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai sekeping

mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain

berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam
8

bahasa, atau sebaliknya apa yang tampak dalam bahasa akan tercermin dalam

budaya.

Kajian mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan, umumnya dilihat dari

ilmu yang mempelajarinya, yakni antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan

dan linguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan

antropologi (budaya) bekerjasama dalam mempelajari hubungan bahasa dengan aspek-

aspek budaya (Sibarani, 2004: 49-50). Lebih lanjut Sibarani (2004 : 50) memaparkan

Istilah yang digunakan para ahli untuk bidang yang membicarakan kedua hubungan itu

adalah antropolinguistik. Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari

variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungan dengan perkembangan waktu,

perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik,

kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat, dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu

suku bangsa.

Banyak hal yang dapat diteliti mengenai hubungan antara bahasa dan budaya,

salah satu diantaranya adalah Tabu. Tabu memegang peranan penting dalam bahasa.

Masalah ini sering dikaitkan dengan ilmu semantik karean tabu dianggap sebagai

penyebab berubahnya makna kata (Sumarsono 2012 : 106). Lebih lanjut Sumarsono

menjelaskan, sebuah kata yang ditabukan biasanya tidak dipakai, kemudian digunakan

kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri dan akibatnya kata yang tidak

ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan.

Ohoiwutun (1997 : 94) mengutip Fromkin &Rodman (1983 : 266) menjelaskan

bahwa taboo dipungut dari bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun bahasa

Polinesia. Di masyarakat Tonga kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang atau

harus dihindari. Dengan demikian, tabu dapat didefinisikan sebagai kata-kata yang
9

tidak boleh digunakan, setidak-tidaknya tidak dipakai di tengah-tengah masyarakt

beradab. Konsep tabu, pada masing-masing daerah di Indonesia berbeda-beda, dalam

masyarakat sunda, tabu sering disinonimkan dengan kata pamali, artinya larangan

karuhun. Sedangkan tabu di masyarakat minangkabau diistilahkan dengan kata

pantang. Pantang adalah tabu; sesuatu yang terlarang dikerjakan menurut adat, agaman

atau kebiasaan setempat.

Tabu merupakan ekspresi masyarakat atas pencelaan terhadap sejumlah

tingkah laku atau ucapan yang dipercayai bisa memberikan dampak buruk pada

anggota masyarakat, baik karena alasan-alasan kepercayaan maupun karena

perilaku atau ungkapan tersebut melanggar nilai-nilai moral. Konsekuensinya,

sejauh menyangkut bahasa, adalah hal-hal tetentu tidak diucapkan, atau hanya

digunakan dalam situasi-situasi tertentu oleh orang-orang tertentu pula. Namun

demikian, selalu saja ada orang-orang yang melanggar aturan tersebut sebagai

usaha memperlihatkan kebebasan diri terhadap larangan-larangan, atau untuk

memperlihatkan tabu sebagai suatu hal yang irasional, sebagai bentuk gerakan

“kebebasan berbicara”.

Berkaitan dengan paparan di atas, kata pamali (Sunda) erat hubungannya

dengan berbagai aspek kehidupan seperti budaya, keyakinan dan kepercayaan yang

bertolak dari tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat Baduy mempunyai pandangan yang berbeda terhadap suatu benda dan

lingkungannya. Bertolak dari pandangan tersebut, masyarakat Baduy mempunyai cara

untuk menghindari munculnya kata-kata pamali tersebut, termasuk pamali yang

berkaitan dengan adat istiadat yang berlaku di wilayahnya, seperti contoh di bawah ini.

1) Tong diuk dina panto, bisi nongtot jodo


10

Jangan duduk di pintu, takut susah dapat jodoh

2) Lojor teu menang di potong, pondok teu meunang di sambung

Panjang tidak boleh di potong, pendek tidak boleh di sambung

Dari contoh ujaran no 1 di atas, menjelaskan seorang anak yang masih gadis

dilarang duduk di pintu, apabila seorang anak gadis duduk di pintu maka anak gadis

tersebut akan susah mendapatkan jodoh. Sedangkan contoh ujaran no 2, memberikan

pemahaman bahwa seluruh anggota masyarakat Baduy harus hidup apa adanya, kalau

berlebihan tidak boleh sombong, kalau kurang harus terima apa adanya.

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa sesuatu yang ditabukan atau

pamali juga terdapat dalam bahasa dan budaya Baduy. Pamali tersebut hidup dan

berkembang sampai sekarang pada masyarakat Baduy. Hal tersebut di atas, sejalan

dengan yang disampaikan Sapir dan Whorf (dilihat dalam Oktavianus, 2006: 112),

bahasa tidak dapat dipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat pendukungnya.

Salah satu kontribusi Sapir adalah analisis kosa kata suatu bahasa sangat penting untuk

memahami lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa bermukim.

Berdasarkan gejala di atas, timbul keinginan peneliti untuk mengkaji ihwal

pamali dalam bahasa masyarakat Baduy. Keinginan itu muncul, karena secara

sosiolinguistik peneliti berada pada masyarakat tutur yang sama yaitu penutur bahasa

sunda, selain itu juga penulis ingin lebih menggali mengenai kearifan lokal masyarakat

Baduy ditinjau dari sudut kebahasaannya, dan terakhir hasil penelitian ini merupakan

salah satu pemertahanan bahasa dan budaya masyarakat Baduy yang hampir punah.

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini

adalah Bagaimanakah bentuk jenis pamali dalam masyarakat Baduy?


11

B. Tujuan Khusus Penelitian

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang

mendalam mengenai jenis pamali atau tabu yang terjadi dan ada di masayarakt

Baduy, ditinjau dari sudut bahasanya. Sedangkan secara umum, hasil penelitian ini

dapat menghasilkan sebuah kamus atau buku khususnya yang berkaitan ungkapan-

ungkapam pamali dalam masyarakat Baduy.

C. Temuan yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi sebagai berikut.

a. Secara teoretis, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

rujukan dalam pengembangan ilmu kebahasaan, khususnya pengembangan

bahasa dan budaya lokal.

b. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pijakan dalam

mengkaji lebih jauh mengenai kearifan lokal masyarakat Banten, khususnya

masyarakat Baduy.

c. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

keilmuan berupa pengembangan teori/konsep mengenai ungkapan-ungkapan

tabu yang ada dan terjadi masyarakat Baduy.


12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tabu

Pada bab II ini penulis paparkan beberapa teori terkait dengan ungkapan

larangan. Teori-teori yang digunakan selain dari buku sumber juga menggunakan

beberapa pustaka atau hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan ungkapan

laranga. Beberapa pustaka atau hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai

berikut.

Sebelum membahas mengenai pengertian tabu, ada baiknya dibahas

mengenai pengertian dan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa merupakan media yang

dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan perasaaan manusia. Bahasa tidak dapat

dipisahkan dari manusia karena bahasa selalu mengikuti setiap aktifitasnya.

Sementara itu, pengertian bahasa menurut Samsuri (1987:3) mengatakan bahwa

bahasa erat hubungannya dengan pemakai bahasa karena bahasa merupakan alat

yang paling vital bagi kehidupan manusia. Sedangkan fungsi bahasa masih

menurut Samsuri yaitu bahasa adalah sebagai alat yang dipakai untuk membentuk

pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatan. Bahasa juga merupakan alat untuk

mempengaruhi manusia. Dengan bahasa ini, manusia dapat menurunkan dan

mewariskan budayanya kepada generasi berikutnya.

Masih berkaitan dengan pengertian bahasa, Saussure (1966)

berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-

ide, dan oleh karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, alfabet orang-
13

orang yang bisu-tuli, upacara-upacara simbolis, formula-formula yang bersifat

sopan, isyarat-isyarat dan sebagainya. Akan tetapi, bahasa adalah sistem tanda

yang paling penting dari semua sistem tanda. Dari uraian di atas tampaklah bahwa

bahasa adalah dasar utama yang paling berakar pada manusia.

Sibarani (2004 : 47-49) menjelaskan bahwa bahasa bukan hanya sebagai

pikiran, tetapi pengembangan budaya, bahasa harus dipahami sebagai bagian dari

budaya. Sama halnya dengan bahasa, kebudayaan dipelajari, ditransmisikan, dan

diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui perbuatan dan melalui

komunikasi. Hubungan bahasa dan kebudayaan memang erat sekali. Lebih

lengkap ia menjelaskan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2)

sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup, (5) sitem

mata pencarian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Dari ketujuh-tujuh unsur

kebudayaan itu, bahasa ditempatkan pada urutan yang pertama karena manusia

merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi dalam kelompoknya. Untuk

berinteraksi dan berkomunikasi, manusia memerlukan bahasa. Bahasa merupakan

kebudayaan yang pertama dimiliki oleh manusia dan bahasa dapat berkembang

karena akal dan sistem pengetahuan manusia.

Pada umumnya ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan

kebudayaan yakni antropolinguistik. Antropologi itu sendiri yaitu sebagai ilmu

yang mengkaji kebudayaan sedangkan linguistik sebagai ilmu yang mengkaji

bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan antropologi (budaya) bekerjasama dalam

mempelajari hubungan bahasa dengan aspek-aspek budaya (Sibarani, 2004: 49-

50).
14

Istilah yang digunakan para ahli untuk bidang yang membicarakan kedua

hubungan itu adalah antropolinguistik. Antropolinguistik adalah cabang

linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungan

dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan,

pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat, dan pola-

pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 50).

Banyak peneliti yang mengkaji penelitian yang berkaitan dengan bahasa

dan kebudayaan, salah satu diantaranya adalah tabu. Tabu erat hubungannya

dengan berbagai aspek kehidupan seperti budaya, keyakinan dan kepercayaan

yang bertolak dari tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat. Menurut Usman (2002: 434), pantang adalah tabu; sesuatu yang

terlarang dikerjakan menurut adat, agama atau kebiasaan setempat.

Fairman (2009 : 27) menjelaskan bahwa Tabu adalah suatu perilaku yang

asing dalam suatu masyarakat tertentu dalam suatu konteks yang spesifik. Di tiap-

tiap kultur, ada dua jenis tabu: tabu tindakan (berbagai hal yang kamu tidaklah

diharapkan untuk lakukan) dan kata-kata tabu (berbagai hal yang kamu tidaklah

diharapkan untuk katakan). Sedangkan tindakan tabu beberapa mempunyai

bersesuaian kata-kata tabu.

Sementara itu, ahli lain yang menjelaskan pengertian tabu yaitu yang

disampaikan oleh Smith (2007:6), ia menjelaskan bahwa tabu adalah gagasan atau

isu yang sangat menyiksa, mengancam, atau mempersulit dan tidak boleh

dibicarakan secara terbuka. Sedangkan, tabu adalah suatu perilaku yang asing dan

berpengaruhi pada kehidupan sehari-hari. Tabu merupakan perilaku individu


15

yang dapat menyebabkan kegelisahan, merugikan (Allan danBurridge, 2006:1).

Di masyarakat barat tabu berhubungan dengan jenis kelamin. Status

ketabunya berkaitan dengan hal-hal yang sangat krusial atau hal yang negatif

disekitar kelamin. Menurut Saragih di semua bahasa kata- kata yang dilarang, dari

selebor ke kata tak senonoh, sedikit kotor dan sepenuhnya cabul, terminologi

termasuk yang berkenaan dengan hal yang dirahasiakan pada bagian-bagian tubuh,

seperti halnya ke kebirahian berhubungan kelamin.

Bidang ilmu bahasa yang kecenderungan membahas mengenai tabu

yaitu ilmu semnatik. Dalam ilmu semantik tabu dipandang sebagai penyebab

berubahnya makna kata. Sebuah kata ditabukan tidak dipakai, kemudian

digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri, akibatnya kata yang

tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Tabu itu tidak hanya

menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan

santun dan tatakrama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak

sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu

(Sumarsono,2012:106).

Fairman (2009:28) menjelaskan definisi tabu adalah suatu prilaku

yang asing dalam suatu masyarakat dan dalam konteks tertentu. Lebi h

lengkap Fairman m enjelaskan bahwa t abu diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu, (1) taboo acts “tabu tindakan”, (2) taboo words “tabu kata-kata”.

Sedangkan tabu menurut Frazer, (1955:101-418) SO much for the

primitive conceptions of the soul and the dangers to which it is exposed.

“suatu konsep primitif yang bersifat membahayakan jiwa. Selain itu Frazer juga
16

mengkalsifikasikan tabu sebagai berukut: (1) tabooed acts “tabu tindakan”, (2)

tabooed persons”tabu orang”, (3) tabooed things”tabu benda/hal”, dan (4)

t abooed words”tabu kata-kata”.

Sementara itu menurut Kridalaksana larangan (2008: 140) adalah”

makna ujaran yang bersifat melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk,

antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak

dibenarkan”. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia

yang berlaku dalam masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan,

adat istiadat, norma/hukum, yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari

nenek moyangnya.

Di samping itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan)

yang melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang

keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian

(Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 791). Di samping kata larangan, dikenal

juga kata tabu. Tabu pada hakikatnya adalah”larangan” atau ”yang dilarang”.

Tabu adalah larangan yang jika dilanggar mendatangkan hukuman otomatis yang

diakibatkan oleh pengaruh magic dan religi (Winick, 1958: 502 dalam Laksana,

2009: 17).

Di samping istilah tabu ada juga istilah pantang (pantangan) yang juga

berarti ’larangan’ sebagaimana halnya tabu. Lebih lanjut dijelaskan walaupun

tabu pada hakikatnya adalah”larangan”, keduanya menunjukkan perbedaan. Tabu,

pelanggarannya menyebabkan pelanggar terkena tulah, sedangkan pada larangan

atau pantangan pelanggar hanya terkena sanksi fisik atau sanksi sosial. Selain
17

uraian di atas tersebut, mengenai larangan di masyarakat Sunda juga ada larangan

yang dikenal dengan Pamali, larangan karuhun, (upamana): ulah nyoo seune, ulah

nyoo beas, ulah nginjeum jarum; kapamalian: pamali (atawa) palangan

(Satjadibrata,2005:277).

Dalam bahasa Sunda, “pamali” merupakan kata sifat. Kata ini sinonim

dengan kata “pantrang” dan “cadu” yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan

pantang atau tabu (Inggris: taboo). Kata bendanya adalah “kapamalian”. Kata ini

semakna dengan pantrangan (pantangan) dan panyaraman (larangan). Kapamalian

berarti sesuatu yang dianggap pamali yang kalau dilanggar akan ada matak-

nya (menyebabkan sesuatu) menurut kepercayaan karuhun. Dengan demikian,

yang membedakan kapamalian dengan larangan lainnya ialah pada matak-nya

itu, yakni akibat yang dipercaya kelak akan menimpa seseorang atau sesuatu

bila larangan itu dilanggar. Matak-nya ini ada yang diyakini akan berdampak

pada diri si pelanggar, ada pula yang akan berpengaruh pada lingkungannya.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas,

terdapat perbedaan dan persamaan dalam pendefinisian kata tabu atau larangan.

Adapun persamaan menurut Saragih, Kridalaksana, Fairman, misalnya

menekankan bahwa larangan adalah sesuatu yang dilarang dalam bentuk tindakan

dan kata-kata, sedangkan perbedaan dapat dilihat dari pendapat Sumarsono

mendefinisikan larangan berkenaan dengan hal-hal yang bersifat gaib dan sopan

santun dalam masyarakat, Frazer dan Smith mendefinisikan larangan sebagai

konsep primitif yang mengancam jiwa atau menyiksa, sedangkan Wincik larangan

itu sebagai sesuatu yang mendatangkan hukuman. Jadi larangan (pamali) suatu
18

konsep abstrak yang bermakna melarang baik dalam bentuk tindakan maupun

kata-kata/bahasa dan bagi yang melanggarnya akan mendatangkan atau

mengancam jiwa.

Salah seorang pakar, Frazer (1955) yang penelitiannya telah banyak diacu

menggunakan berbagai bahasa yang umumnya tergolong ke dalam rumpun bahasa

Austronesia sebagai sumber data untuk membahas masalah tabu. Secara garis

besar, Frazer membagi tabu menjadi (1) tabu tindakan, (2) tabu orang, (3) tabu

benda/hal, dan (4) tabu kata-kata. Di samping itu, juga digolongkan tabu kata-kata

menjadi (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3) tabu nama orang yang

meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama Tuhan, dan (6) tabu

kata-kata tertentu. Pendapat Frazer tentang tabu memberikan inspirasi kepada

peneliti tentang larangan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan larangan secara

prinsip berkaitan dengan tabu.

Sementara itu, Laksana (2009) menggunakan penggolongan tabu yang

dikemukakan oleh Frazer sebagai pegangan. Menurutnya, tabu bahasa adalah

larangan menggunakan kata atau ungkapan tertentu karena dianggap dapat

membahayakan jiwa atau mencemarkan nama baik seseorang. Untuk

menghindarinya, dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) penutur diam, (2)

penutur berbisik, dan (3) penutur menggantikan/menyulih kata atau ungkapan tabu

dengan kata atau ungkapan lain yang dilazimkan dalam masyarakat itu. Cara

ketiga inilah yang berkaitan dengan tabu bahasa, yang selanjutnya disebut ”tabu

nama dan tabu kata-kata”. Di samping tabu nama dan tabu kata-kata, juga dibahas

tentang tabu sumpah serapah.


19

Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan juga menentukan kebudayaan

mengisyaratkan bahwa pemahaman tabu bahasa harus dilihat dari sudut pandang

kebudayaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tabu dalam bahasa dapat dihindari

dengan bentuk-bentuk linguistik berupa majas (metafora dan metonimi),

eufemisme, parafrase, diglosia/alih kode, dan teknonim. Dengan cara itu penutur

dapat menghindarkan dirinya dari bahaya/kecemaran.

Masih sama dengan para ahli di atas, menurut Kridalaksana (2008: 140)

larangan adalah ”makna ujaran yang bersifat melarang; diungkapkan dengan

pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan

frase ingkar tidak dibenarkan”. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek

kehidupan manusia yang berlaku dalam masyarakat, seperti kebudayaan,

keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat, norma/hukum, yang didapatkan secara

tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Di samping itu, larangan juga

diartikan sebagai (1) perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan; (2)

sesuatu yang terlarang karena dipandang keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang

terlarang karena kekecualian (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 791).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, larangan yang dimaksudkan

dalam penelitian ini adalah suatu ujaran yang mengandung perintah (aturan) yang

melarang suatu perbuatan. Larangan itu diungkapkan dengan pelbagai bentuk,

antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frasa ingkar tidak

dibenarkan.

Larangan dalam bahasa sunda khususnya di masyarakat Banten

diidentikan dengan kata pamali/tabu. Kedua konsep tersebut merupakan dua


20

konsep yang sama. Masyarakat Banten secara umum atau masayarakat Baduy

secara khusus lebih banyak menggunakan istilah pamali untuk hal-hal yang

dianggap tabu. Jadi, istilah pamali dan tabu merupakan satu konsep yang sama,

yaitu yang dilarang, baik karena kekuatan yang membahayakan (tabu positif)

maupun karena kekuatan yang mencemarkan atau merusak kekuatan hidup

seseorang (tabu negatif) (Kridalaksana, 2001: 207).

Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap

kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu

kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat

diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang

bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat

menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan

perlakuan kasar dari masyarakat sekitar (Rodman, 1988 : 279). Lebih jelas

mengenai pengertian tabu, Harimurti Kridalaksana membagi istilah “tabu” menjadi

dua dilihat dari efek yang ditimbulkannya yaitu tabu positif karena yang dilarang

itu memberi efek kekuatan yang membahayakan dan tabu negatif disebabkan

larangan tersebut dapat memberikan kekuatan yang mencemarkan atau merusak

kekuatan hidup seseorang. Sehingga untuk menggantikan kata yang dianggap tabu

tersebut, seseorang mempergunakan eufemisme (kridalkasana, 2001 : 233).

Dalam masyarakat pemakai bahasa, kata dan ekpresi tabu mungkin tidak

terlihat senyata eufemisme, yang merupakan bentuk dari “penghalusan” keadaan-

keadaan tertentu sehingga lebih pantas untuk diucapkan. Kata dan ekspresi

eufemistik membuat seseorang dapat membicarakan tentang hal-hal yang tidak


21

menyenangkan dan menetralisasikannya. Sebagai contoh ungkapan yang

diekspresikan terhadap orang yang sedang sekarat dan meninggal dunia,

pengangguran, dan kriminal. Kata dan ekspresi eufemistik juga memperbolehkan

penutur untuk memberikan label terhadap pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak

menyenangkan dan membuatnya terdengar lebih menarik.

Masih berkaitan dengan pengertian tabu, Smith (2007:6) adalah gagasan

atau isu yang sangat menyiksa, mengancam, atau mempersulit dan tidak boleh

dibicarakan secara terbuka. Sementara itu Allan dan Burridge (2006 : 1)

menjelaskan, tabu adalah suatu perilaku yang asing dan berpengaruhi pada

kehidupan sehari-hari. Tabu merupakan perilaku individu yang dapat menyebabkan

kegelisahan, merugikan.

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tabu

adalah sejenis ungkapan larangan yang tidak boleh dikatakan atau dilakukan oleh

anggota masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan jika hal ini dilanggar akan

berdampak buruk, membahayakan, merugikan dan bahkan mendapatkan sanksi

yang keras dari masyarakat.

Ungkapan larangan atau pamali juga berlaku di masyarakat Banten secara

umum. Tidak jarang kita melihat ungkapan-ungkapan larangan yang dituturkan

oleh orang tua kepada anak-anak. Misalnya “Tong nangtung dina panto, Pamali”

(Jangan berdiri di depan pintu, pamali). Hal yang sama juga berlaku di masyarakat

Baduy, berdasarkan pengamatan awal peneliti ke daerah Baduy banyak sekali

ungkapan larangan atau pamali yang sering diujarkan masyarakat baduy dalam

berbagai situasi.
22

Masyarakat Baduy merupakan suku asli Indonesia yang telah berabad-abad

hidup di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, tanpa

bantuan dari pihak luar. Masyarakat Baduy dikenal dengan kearifan lokalnya yang

mengutamakan konservasi dengan gaya hidup terintegrasi dengan alam. Hingga

saat ini sebagian masyarakat Baduy masih tetap mempertahankan adat dan

budayanya dan belum terpengaruh arus modernisasi. Permukiman masyarakat

Baduy mempunyai sistem tata letak dan peraturan tertentu. Konsep penempatan

seperti ini memang sudah dikenal pada tata letak wilayah dan rumah masyarakat

Sunda pada umumnya.

Masyarakat Baduy adalah penutur bahasa sunda, karena secara historis dan

geografis, dulu Baduy merupakan wilayah Jawa Barat yang notabene berbahasa

Sunda. Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat baduy mempunyai Pikukuh

(tradisi) yang mengatur gaya hidup masyarakat Baduy, sehingga proses kehidupan

berjalan alami yang didukung oleh kontinuitas konservasi margasatwa dan habitat

tumbuhan. Masyarakat Baduy menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk

memasak. Kayu merupakan jenis sumber energi terbarukan. Pada saat pembukaan

lahan untuk ladang pertanian, kayu yang ditebang dipergunakan untuk bahan bakar,

sedangkan ranting dan daun dipergunakan untuk pemupukan tanah. Mereka tidak

menggunakan alat-alat yang menggunakan listrik atau bahan bakar fosil, karena

dilarang oleh pikukuh. Untuk penerangan, mereka dilarang menggunakan bahan

kimiawi. Dalam usaha minimalisasi konsumsi energi, minyak picung atau

terkadang lilin sering digunakan sebagai alternatif yang aman bagi lingkungan.
23

Berbicara tentang konsep tabu, dalam masyarakat baduy sering diidentikan

dengan ungkapan “pamali” sedangkan dalam bahasa Indonesia sering diselaraskan

sebagai ungkapan “larangan”. Larangan menurut Kridalaksana (2008: 140) adalah

”makna ujaran yang bersifat melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk,

antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak

dibenarkan”. Larangan sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia

yang berlaku dalam masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan,

adat istiadat, norma/hukum, yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari

nenek moyangnya. Selain itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan)

yang melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang

keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian (Depdiknas,

2008: 791). Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tabu dalam bahasa sunda

yang dipakai masyarakat Baduy merupakan ungkapan larangan dalam konsep

dalam bahasa Indonesia.

Wijana (2006: 110) memaparkan berdasarkan motivasi psikologis yang

melatarbelakanginya, kata-kata tabu muncul sekurang-kurangnya karena tiga hal,

yakni :

1. Adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear)

2. Sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan (Taboo of delicaly)

3. Sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas ( taboo of propriety)

Seperti telah dipaparkan pada awal bab 2, Frazer (1955:101-148) secara

garis besar, Frazer membagi tabu menjadi: (1) tabooed acts (tabu tindakan), (2)

tabooed persons (tabu orang), (3) tabooed things (tabu benda/hal), dan (4) taboo ed
24

words (tabu kata-kata). Lebih lengkap Frazer membagi tabu kata-kata ke dalam

beberapa golongan lagi menjadi (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3)

tabu nama orang yang meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama

Tuhan, dan (6) tabu kata-kata tertentu.

Berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, penelitian ini

mengacu pada pendapat Frazer tentang tabu, hal ini menginspirasi kepada peneliti

tentang konsep pamali dalam masyarakat Baduy, karena berdasarkan teori-teori

yang telah dipaparkan di atas konsep pamali dalam masyarakat Baduy secara

prinsip berkaitan dengan tabu yang dalam bahasa Indonesia bermakna larangan.

Ungkapan larangan yang ada pada masyarakat baduy dapat diklasifikasikan

melalui beberapa sudut pandang, antara lain : 1) eksistensi ungkapan larangan dalam

masyarakat.

1. Ungkapan Larangan Berdasarkan Eksistensinya di Masyarakat

Terkait dengan eksistensi ungkapan larangan pada masyarakat baduy, dapat

dikelompokka ke dalam dua bagian, yaitu a) ungkapan larangan yang berupa peraturan dan

b) ungkapan larangan yang berupa bukan peraturan.

a. Ungkapan Larangan yang Berupa Peraturan

Peraturan adalah “tatanan” (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk

mengatur, disamping itu, dalam Departemen Pendidikan Nasional (2008:510) dijelaskan

hukum berarti peraturan. Dengan demikian, peraturan dapat diartikan sama dengan

hukum. Ungkapan larangan yang berupa peraturan sama artinya dengan ungkapan

larangan yang berupa hukum, yaitu ungkapan larangan pada masyarakat baduy yang
25

berupa ketentuan yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Sebagai

peraturan/hukum, ungkapan larangan ini wajib diikuti oleh anggota masyarakat dan

apabila dilanggar ada sanksi nyata yang dikenakan kepada pelanggar. Berkait dengan

penjelasan di atas, ungkapan larangan yang berada dan berlaku serta dipatuhi oleh

masyarakat baduy yaitu berupa peraturan/hukum tidak tertulis.

1) Ungkapan Larangan yang Berupa Peraturan Tertulis

Peraturan tertulis atau hukum tertulis artinya peraturan yang telah

dituangkan ke dalam bentuk naskah tertulis. Menurut Artadi (2006: 11) hukum tertulis

adalah hukum yang lazimnya ada dalam lingkup hukum positif, yaitu hukum yang

dinyatakanberlaku. Ungkapan larangan berupa peraturan/hukum tertulis di masyarakat

baduy tidak ditemukan.

2) Ungkapan Larangan yang Berupa Peraturan Tidak Tertulis

Di samping berupa peraturan/hukum tertulis, ungkapan larangan juga

berupa peraturan/hukum tidak tertulis. Peraturan/hukum tidak tertulis adalah hukum yang

intinya adalah norma tidak tertulis, tetapi dijalankan sebagai pedoman perilaku yang

diabadikan oleh ingatan dari generasi ke generasi (Artadi, 2006: 31). Seperti yang telah

dipaparkan di atas, walaupun tidak memiliki peraturan yang tidak tertulis tetapi masyarakat

baduy sangat mematuhi peraturan tersebut dan dijadikan sebagai pedoman dalam

pelaksanaan kehidupan sehari-harinya.

Merujuk pada penjelasan di atas, pada penelitian ini terdapat dua ungkapan

larangan berupa peraturan. Peraturan/hukum tidak tertulis dibuat berdasarkan

kesepakatan antaranggota masyarakat dalam suatu organisasi dan pemakaiannya bersifat

terbatas. Artinya, peraturan/hukum tidak tertulis yang terdapat pada suatu organisasi
26

belum tentu ada pada organisasi lainnya. Dengan demikian, ungkapan larangan yang

berupa peraturan/hukum tidak tertulis maksudnya adalah ungkapan larangan yang

digunakan untuk mengatur anggota masyarakat yang dibuat berdasarkan kesepakatan

tidak tertulis oleh para pendahulu atau nenek moyang.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan, baik ungkapan larangan yang

berupa peraturan/hukum tertulis maupun ungkapan larangan yang berupa

peraturan/hukum tidak tertulis, pada prinsipnya bertujuan untuk mengatur pergaulan

hidup antarsesama anggota masyarakat, dan lingkungannya sehingga tercipta ketertiban

dan keharmonisan. Sebagai peraturan/hukum, sudah jelas ungkapan larangan itu akan

ada sanksinya apabila dilanggar walaupun hanya berupa teguran lisan.

b. Ungkapan Larangan yang Bukan Peraturan

Ungkapan larangan yang bukan peraturan dalam penelitian ini dimaksudkan

sebagai kebalikan dari ungkapan larangan yang berupa peraturan. Ungkapan larangan

yang berupa peraturan tidak memiliki sanksi yang nyata dan digunakan untuk mengatur

anggota masyarakatnya. Anggota masyarakatnya wajib mengikuti atau melaksanakannya.

Sebaliknya, ungkapan larangan yang bukan peraturan tidak memiliki sanksi yang nyata

dan tidak digunakan untuk mengatur masyarakat. Dengan kata lain, ungkapan larangan

yang bukan peraturan/hukum tidak wajib dilakukan oleh anggota masyarakat. Ini sangat

bergantung pada keyakinan seseorang terhadap ungkapan larangan itu.

Larangan menurut Kridalaksana (2008: 140) adalah ”makna ujaran yang bersifat

melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk

imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak dibenarkan”. Larangan ini

sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia yang berlaku dalam
27

masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat, norma/hukum,

yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya.

Di samping itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan) yang

melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang keramat

atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian (Departemen Pendidikan

Nasional, 2008: 791). Di samping kata larangan, dikenal juga kata tabu. Tabu pada

hakikatnya adalah ”larangan” atau ”yang dilarang”. Tabu adalah larangan yang jika

dilanggar mendatangkan hukuman otomatis yang diakibatkan oleh pengaruh magi dan

religi (Winick, 1958: 502 dalam Laksana, 2009: 17). Di samping istilah tabu ada juga

istilah pantang (pantangan) yang juga berarti ’larangan’ sebagaimana halnya tabu.

B. Linguistik Kebudayaan

Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya

saling memengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Bahasa adalah

bagian dari kebudayaan sehingga mempelajari suatu bahasa secara tidak langsung

juga mempelajari kebudayaan. Artinya, bahasa harus dipelajari dalam konteks

kebudayaan dan demikian sebaliknya kebudayaan baru bisa dipelajari melalui

bahasa.

Eratnya hubungan antara bahasa dan kebudayaan memunculkan kajian

untuk mengetahui hubungan tersebut. Kajian tentang hubungan antara bahasa dan

kebudayaan pada umumnya dilihat dari ilmu yang mepelajarinya. Antropologi

sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan dan linguistik sebagai ilmu yang

mengkaji bahasa. Selanjutnya, Linguistik dan Antropologi bekerja sama dalam

mempelajari hubungan bahasa dan aspek-aspek budaya dengan sebutan


28

antropolinguistik. Antropolinguistik maksudnya cabang linguistik yang mepelajari

variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan

waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh

kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola- pola

kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 49--50).

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut kajian tentang

hubungan antara bahasa dan budaya. Istilah-istilah itu adalah Linguistic

Anthropology (Duranti, 1997) dan Anthropological Linguistics (Foley, 1997).

Selanjutnya, dalam rangka pengembangan kajian interdisipliner antara linguistik

dan kebudayaan yang terpadu dengan Antropologi Budaya (Cultural

Anthropology), Bagus (1995) menamakan ”Linguistik Kebudayaan” (Mbete,

2004: 18) yang merupakan telaah bahasa dalam kaitannya dengan budaya

(Yadnya, 2004: 57).

Sebagai bidang kajian yang bersifat interdisipliner, Linguistik

Kebudayaan berdekatan dengan Linguistic Anthropology (Duranti, 1997)

yang lebih menekankan pada aspek Antropologi dan Anthropological Linguistics

(Foley, 1997) yang lebih menekankan pada bahasa. Walaupun berdekatan antara

Linguistik Kebudayaan dan Antropologi Linguistik tidak sepenuhnya sama.

Linguistik Kebudayaan lebih menekankan pada kajian atas bahasa sebagai sumber

daya kebudayaan dan tuturan sebagai praktik budaya (Duranti, 1997: 1--2).

Antropologi Linguistik lebih menekankan pada kajian deskripsi tentang bahasa

suku-suku bangsa, sedangkan Linguistik Kebudayaan mendalami makna yang ada

di balik realitas melalui tuturan (speech) dan bahasa (language).


29

Sementara itu, Pastika (2004: 35--37) menyatakan perbedaan antara

Antropologi Linguistik (Linguistic Anthropology) dan Linguistik Antropologi

(Anthropological Linguistics) berkaitan dengan lingkup kajian, metode, dan teori

kedua ranah linguistik makro tersebut. Akan tetapi, keduanya tetap menjadikan

aspek-aspek linguistik sebagai inti kajian. Lebih lanjut dijelaskan, apabila arah

kajiannya menjadikan linguistik sebagai titik tolak kajian yang diikuti dengan

persepsi Antropologi, disebut sebagai”Linguistik Antropologi”. Sebaliknya,

apabila persepsi linguistik dimunculkan dari data Antropologi, dipilihlah nama

”Antropologi Linguistik”. Inti Antropologi Linguistik adalah bahasa dalam

konteks Antropologi, sedangkan Linguistik Antropolologi merupakan “bagian

dari linguistik yang menaruh perhatian pada bahasa dalam konteks sosial dan

budaya yang lebih luas dan juga peran bahasa dalam menempa dan memelihara

praktik budaya dan struktur Sosial”(Foley, 1997: 3 dalam Pastika, 2004: 37).

Sementara itu Palmer (1996: 4--5) menyatakan Linguistik Kebudayaan

sebagai istilah untuk penggabungan antara tiga pendekatan tradisional, yaitu

linguistik aliran Boas, etnosemantik (etnosains), dan etnografi berbicara. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa mempelajari bahasa merupakan kegiatan mendengar

kegegeran budaya yang bergulat dengan pengalaman. Oleh karena itu,

pengetahuan budaya sangat dipentingkan untuk menafsirkan tuturan konvensional

khususnnya metafora dan metonimi yang semakin banyak ditemukan dalam

berbagai bentuk dan struktur tuturan yang kompleks. Pengetahuan budaya sering

mengambil bentuk model kognitif. Linguistik Kebudayaan juga menaruh

perhatian pada ontologi rakyat yang menentukan sifat dasar segala benda bagi
30

setiap kebudayaan.

Menurut Mbete (2004: 19) apabila dipadankan dengan Linguistik

Antropologi yang diajukan oleh Hymes (1963) dan Duranti (1977), Linguistik

Kebudayaan mengembangkan kajian atas bahasa sebagai sumber daya budaya dan

tuturan sebagai praktik budaya (study of language as a cultural resource and

speaking as a cultural practices). Dengan kata lain, Linguistik Kebudayaan

memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang kebermaknaannya hanya bisa

dipahami secara menyeluruh apabila dikaitkan dengan budaya penuturnya.

Linguistik Kebudayaan berusaha mengungkap the meaning behind the use, mis-

use or non-use of language (Yadnya, 2004: 58).

Secara ontologis Linguistik Kebudayaan menjadikan bentuk, fungsi, dan

makna pemakaian bahasa sebagai objek materi kajiannya. Bahasa yang dihasilkan

oleh alat ucap manusia untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya

mempunyai bentuk atau struktur bahasa. Bentuk atau struktur bahasa dalam

Linguistik Kebudayaan lebih menekankan pada variasi-variasi bentuk, kode, dan

subkode yang bisa meliputi semua pemakaian bahasa bermakna kultural dalam

pelbagai bidang kehidupan. Itu berarti bahwa bahasa yang menjadi kajian

Linguistik Kebudayaan adalah bahasa yang sudah digunakan secara kontekstual

yang dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu atau bahasa itu telah berfungsi.

Selanjutnya, struktur bahasa yang telah digunakan secara fungsional dan

kontekstual memiliki makna dan tujuan tertentu (Mbete, 2004: 25--31).

Berdasarkan uraian di atas jelaslah penelitian “Ungkapan Larangan pada

Masyarakat Banten secara umum dan baduy secara khusus: Kajian Linguistik
31

Kebudayaan” adalah penelitian bidang Linguistik Kebudayaan. Hal ini disebabkan

oleh ungkapan larangan merupakan pemakaian bahasa daerah yang muncul

akibat perilaku budaya masyarakat penuturnya.

Berbicara mengenai hakikat kebudayaan, maka tidak bisa lepas dari kajian

ilmu antroplogi. Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut

kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan dalam arti luas bisa mencakup hal-hal

seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi, teknologi, bahasa. Bagi

antropologi, bahasa sering kali dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri (identitas)

bagi sekelompok orang berdasarkan etnik (Sumarsono, 2012:13).

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar (Koentjaraningrat, 2009:144). Sementara itu, Sibarani dalam Kemendikbud,

(2011:851) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan manusia

yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai mahluk

sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman

tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya.

Secara morfologi kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta

buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan

demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar

(Koentjaraningrat, 2009:144). Selain berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”

ada pula padanan budaya dari bahasa Inggris “culture” yang berarti “kebudayaan”
32

yang diturunkan dari bahasa Latin “colere” yang berarti “mengolah, mengerjakan”,

terutama mengolah tanah atau bertani. Di samping istilah “kebudayaan” ada pula

istilah “peradaban” dari bahasa Inggris civilization. Istilah tersebut biasa dipakai

untuk menyebut bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah,

misalnya kesenian, sopan-santun pergaulan dan sebagainya. Istilah “peradaban”

juga digunakan untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem

teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari

masyarakat kota yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat, 2009:146).

Budaya merupakan sesuatu yang mencakup seluruh kehidupan manusia

baik secara langsung maupun tidak langsung, setelah kehadirannya di dunia,

melalui akal budinya, sesuatu yang juga inheren dalam dirinya, ia membentuk suatu

dunia ciptaannya sendiri yang disebut budaya, dengan menggunakan alam-dunia

fisik-serta segala isinya sebagai ramuannya (Simatupang dalam Purwo, 2000:25).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat ditarik simpulan bahwa kebudyaan

merupakan sesuatu yang dihasilkan manusia baik yang bersifat abstrak berupa nilai-

nilai maupun konkret berupa teknologi yang tercermin dalam pola tingkah laku

kehidupan sehari-harinya.

Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya

saling memengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Bahasa adalah

bagian dari kebudayaan sehingga mempelajari suatu bahasa secara tidak langsung

juga mempelajari kebudayaan. Artinya, bahasa harus dipelajari dalam konteks

kebudayaan dan demikian sebaliknya kebudayaan baru bisa dipelajari melalui

bahasa. Menurut Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi,


33

hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif,

dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Sedangkan

Masinambouw,1985 (dalam Chaer,1995:218) mempersoalkan bagaimana

hubungan antara kebahasaan dan kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif,

ataukah koordinatif. Kalau bersifat subordinatif mana yang menjadi main system

(sistem atas) dan mana pula yang menjadi subsystem (sistem bawahan).

Kebanyakan ahli mengatakan bahwa kebudayaanlah yang menjadi main system,

sedangkan bahasa hanya merupakan subsystem. Mengenai hubungan bahasa dan

kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal. Pertama, bahasa dan kebudayaan

seperti anak kembar siam, dua fenomena yang terikat erat, kedua hipotesis menurut

Edwar Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) yang lazim

disebut relativitas bahasa, yakni bahasa bukan hanya menentukan corak budaya,

tetapi juga menetukan cara dan jalan pikiran manusia; dan oleh karena itu

mempengaruhi pula tindak lakunya (Chaer,1995:218).

C. Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy secara letak geografi berada di bawah naungan

pemerintahan Kabupaten Lebak. Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat

Baduy adalah bahasa Sunda, karena secara umum masyarakat Kabupaten Lebak

penutur bahasa Sunda aktif. Namun, terdapat perbedaan yang mendasar antara

bahasa sunda yang tumbuh dan digunakan oleh masyarakat Lebak secara umum

dengan bahasa sunda yang digunakan oleh masyarakat Baduy.

Masyarakat Baduy adalah masyarakat monolingual karena mereka hanya

mengenal satu bahasa yaitu bahasa Sunda. Selain sebagai masyarakat monolingual,
34

masyarakat Baduy juga tergolong masyarakat yang tidak diglosis, karena secara

umum masyarakat Baduy tidak mengenal variasi atau ragam dalam bahasa Sunda

sehingga dalam proses komunikasi sehari-hari di lingkungannya atau pun

berkomunikasi dengan masyarakat di luar lingkungannya mereka akan

menggunakan ragam yang sama. Bahkan bahasa yang digunakan ketika mereka

berkomunikasi dengan Bupati Lebak atau Gubernur Banten sekalipun bahasanya

akan sama seperti halnya mereka berbicara dengan anggota masyarakat Baduy yang

lain. Dengan kata lain, pada masyarakat Baduy tidak dikenal istilah undak-usuk

bahasa atau bahasa sunda halus dan bahasa sunda kasar.

Kenyataan di atas berbeda dengan perkembangan bahasa sunda di

masyarakat Lebak. Secara umum masyarakat Lebak mengenal dan menggunakan

bahasa sunda dengan undak usuknya. Artinya ada pemilihan ragama bahasa sunda

halus atau ragam sunda kasar ketika mereka berkomunikasi dengan lawan tuturnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan masyarakat Lebak adalah penutur bahasa sunda

yang diglosis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Rosidi yang

menjelaskan secara garis besar undak-usuk bahasa Sunda dibagi empat tingkatan,

yaitu tingkatan kasar, sedang, lemes, dan lemes pisan. ( Ajip Rosidi dalam Ekadjati,

1984:138).

Bahasa yang mereka gunakan tergolong ke dalam Bahasa Sunda dengan

subdialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka

lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan

pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis,

sehingga adat istiadat, agama, dan ceritera nenek moyang hanya tersimpan di dalam
35

tuturan lisan saja. Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy,

jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu

dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula

dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.

Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga

Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni

dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan

pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis

dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan

Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal

keberadaannya.

Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim

disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam

ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting

dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten

merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari

berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari

wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut

sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu

dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat

terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di

wilayah Gunung Kendeng tersebut.


36

Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya

menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami

wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,

identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk

melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Kepercayaan masyarakat Baduy yang disebut sebagai ‘Sunda Wiwitan’

berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada

perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.

Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat

mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy (Garna, 1993).

Isi terpenting dari pikukuh Baduy tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan

apapun’ atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-

hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut

adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladang

adalah sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat

terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang

diruncingkan.

Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa

adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang.

Perkataan dan tindakan merekapun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam

berdagang mereka tidak melakukan tawar menawar.


37

Objek religi terpenting bagi Masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang

lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy mengunjungi

lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setiap tahun sekali pada bulan Kalima,

yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan

ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti

rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu

lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu

lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi Masyarakat

Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun,

dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair

keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Dalam literatur yang diterbitkan oleh pemerintahan kabupaten Lebak,

masyarakat Baduy adalah kelompok masyarakat Sunda yang tinggal di Desa

Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Pemerintah

Daerah Kabupaten Lebak, 2001). Sebutan lain untuk masyarakat Baduy adalah

urang rawayan atau urang kanekes.

Masyarakat Baduy merupakan salah satu suku yang hidupnya masih

terasing atau mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh

kegiatan pembangunan. Di masyarakat Baduy tidak ada listrik, tidak ada

pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas

kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya

sangat sederhana. Aturan adat melarang warganya untuk menerima modernisasi


38

pembangunan. Untuk mencapai ke lokasi pemukiman, hanya bisa ditempuh dengan

berjalan kaki melalui jalan setapak tanpa pengerasan.

Berkaitan dengan wilayah, masyarakat Baduy menempati wilayah seluas

5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah. Hak Ulayat

adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum

adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para

warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam

wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara

masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Sementara itu dalam pola kehidupan masyarakat Baduy sangat ditentukan

oleh aturan dan norma-norma yang berperanan penting dalam proses kehidupan

sosial mereka. Aturan dan norma-norma yang berlaku membentuk homogenitas

perilaku masyarakatnya. Menurut Depdiknas (2005), perilaku diartikan sebagai

tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Azwar

(2010) menjelaskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi terhadap

stimulus lingkungan sosial. Perilaku merupakan fungsi dari karakteristik individu

dan lingkungannya. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif,

nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain yang

berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan. Sedangkan aturan dan norma itu

dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi

seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum,

untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. Homogenitas perilaku dan sosial
39

masyarakat Baduy dapat dilihat dari kesamaan tempat tinggal, kepercayaan, mata

pencaharian, pakaian, dan kehidupannya sehari-hari dalam menyikapi alam

lingkungan dan masyarakat luar (Senoaji, 2003).

Masyarakat Baduy sangat patuh terhadap norma dan aturan adat dalam

menjalani kehidupannya. Aturan adat dan norma tersebut warisan masa lalu yang

dipercaya dapat memberikan kebaikan jika dilaksanakan dengan baik. Aturan adat

dan norma ini mengatur semua hal dalam kehidupannya mulai dari aturan

mengelola lahan pertanian, aturan hidup bermasyarakat, dan aturan memanfaatkan

sumber daya hutan dan lingkungan. Kepatuhan terhadap aturan adat menciptakan

perilaku yang baik terhadap alamnya dan merupakan kearifan lokal masyarakat

dalam mengelola lingkungannya. Perilaku masyarakat Baduy diimplementasikan

dalam berbagai kegiatan, seperti pengelolaa lahan pertanian, pengelolaan hutan dan

perhatian pada lingkungan sekelilingnya.

Masyarakat Baduy berpendapat bahwa dirinya diciptakan untuk menjaga

tanah larangan yang merupakan pusatnya bumi. Mereka dituntut untuk

menyelamatkan hutan tutupannya dengan menerapkan pola hidup seadanya yang

diatur oleh norma adat. Oleh karena itu, kegiatan utama masyarakat Baduy, pada

hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan

pengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan lingkungan. Tata guna

lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi : lahan pemukiman, pertanian, dan hutan

tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun,

serta lahan-lahan yang diberakan. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang dilindungi

oleh adat, seperti hutan lindung (leuweung kolot/titipan), dan hutan lindungan
40

kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak di sekitar mata air atau gunung

yang dikeramatkan. Hutan tetap ini merupakan hutan yang selalu akan

dipertahankan keberadaannya.

Terkait dengan aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, pekerjaan wajib yang

harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam padi

lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar mata pencaharian, tetapi juga

merupakan ibadah yang merupakan salah satu rukun Baduy. Oleh karena itu

kegiatan sehari-hari masyarakat Baduy adalah mengangani setiap ladangnya.

Waktu libur ke ladang hanya pada hari Jumat dan Minggu, yang biasanya

digunakan untuk kegiatan sosial di setiap kampungnya. Kegiatan berladang ini

dianggap kegiatan yang suci, karena mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci

Sanghyang Asri. Kegiatan berladangnya akan selalu diikuti dengan upacara-

upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat. Beberapa larangan dalam

proses kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy diantaranya adalah : (1) tanah

tidak boleh dibalik, maksudnya dalam kegiatan penanaman dilarang mencangkul,

tetapi cukup dinunggal; (2) dilarang menggunakan pupuk dan oabat-obat kimia; (3)

Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng lindungan

lembur (hutan kampung); (4) waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling

mendahului. Ketentuan dan tata cara berladang sifatnya mutlak, ditentukan secara

musyawarah oleh ketua adat di Baduy-Dalam berdasarkan pikukuh karuhun serta

berlaku untuk semua warga Baduy.

Sementara itu, berkait dengan kawasan hutan dalam masyarakat Baduy

adalah wilayah yang telah ditetapkan dan dilindungi oleh adat. Batas-batas
41

kawasan hutan tetap selalu diingatkan kepada seluruh masyarakat Baduy dan selalu

dikontrol setiap tiga bulan sekali. Kawasan hutan ini tidak boleh dialihfungsikan

untuk tujuan lain selain perlindungan lingkungan. Kawasan hutan tetap terdiri dari

leuweung titipan, yakni kawasan hutan primer yang telah ditetapkan secara turun

temurun yang letaknya di sebelah Selatan wilayah Baduy; dan leuweung lindungan

lembur, yakni kawasan hutan di sekitar mata air atau pada bukit-bukit yang

dikeramatkan. Fungsi utama hutan lindungan lembur ini adalah untuk

perlindungan terhadap sumber mata air di sekitar perlampungan. Luas hutan

lindungan lembur ini bervariasi mulai dari 1 – 5 hektar, dan letaknya menyebar di

perkampungan masyarakat Baduy. Beberapa nama hutan lindungan lembur

diantaranya adalah : Hutan Hulu Maung, Gunung Baduy, Ciduku, Hutan Hulu

Ciboleger, Hutan Kiara Koneng, Leuweung Legok, dan Hutan

Cigaru. Masyarakat Baduy secara bersama-sama selalu menjaga dan

mempertahankan kawasan hutan tetapnya dari gangguan pihak luar.

Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman

Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah

tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk

ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah

menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari

bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang

ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut

pada awalnya 7 sampai 10 tahun.


42

Berdasarkan perbadingan luas lahan garapan dengan jumlah kepala

keluarga, telah terjadi kekurangan lahan garapan di Baduy. Apakah Masyarakat

Baduy merambah hutan untuk mengatasi kekurangan lahan tersebut. Untuk

mengatasi kekurangan lahan pertaniannya, masyarakat Baduy memperpendek masa

berlahannya. Putranto (1988) menjelaskan bahwa masa berlahan masyarakat Baduy

awalnya adalah sekitar 7 – 11 tahun, sekarang ini hanya 5 tahun dan ada yang 3

tahun. Akibat dari memperpendek masa bera lahan ini adalah menurunnya produksi

hasil pertaniannya. Beberapa warga Baduy-Dalam bahkan mulai ngahuma pada

ladangnya selama dua tahun.

Cara lain yang dipakai oleh Masyarakat Baduy-Luar untuk mengatasi

kekurangan lahan ini adalah mencari lahan garapan di luar wilayah Baduy, baik

dengan membeli, sistem sewa ataupun bagi hasil. Untuk menambah pendapatannya,

pada lahan mereka di luar Baduy, ditanami beberapa jenis tanaman ekonomis

seperti cengkeh, kopi, kakao, dan karet. Dalam lima belas tahun terakhir ini,

masyarakat Baduy-Luar diperbolehkan menanam tanaman kayu di ladangnya. Jenis

tanaman kayu yang ditanam masyarakat Baduy-Luar di ladangnya diantaranya

adalah sengon, mahoni, kayu afrika, sungkai, aren, dan mindi. Tanaman kayu

tersebut akan ditebang pada saat akhir masa bera. Kayu hasil penebangannya ada

yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar. Dari

sisi konservasi, penanaman jenis-jenis tanaman kayu selama menunggu masa bera

dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus melindungi tanah dan lahannya

dari erosi; sedangkan dari segi ekonomi akan meningkatkan pendapatan petani dan

sekaligus mengatasi masalah kekurangan kayu. Saat ini, seluruh lahan yang
43

dikelola oleh masyarakat Baduy-Luar ditanami tanaman kayu yang penanamannya

dilakukan bersamaan pada saat menanam padi.

Leuweung lindungan lembur, leuweung kolot, hutan di sekitar mata air, dan

hutan tempat hulunya sungai tidak pernah dibuka menjadi ladang, bahkan sebagian

ditetapkan sebagai tempat yang keramat. Bagi orang Baduy, mempunyai banyak

pohon tanaman keras adalah merupakan suatu kebanggaan. Ketentuan adat

menuntut kepada masyarakatnya untuk memiliki pohon sebanyak-

banyaknya. Masyarakat yang banyak memiliki pohon dan rumpun bambu dianggap

hidupnya sudah mapan, bahkan seorang laki-laki yang akan menikah dilihat

kemapanan hidupnya dari lahan garapan, rumah, dan jumlah pohon atau rumpun

bambu yang dimiliki. Karena itu budaya menanam pohon dan bambu seakan

menjadi keharusan bagi masyarakat Baduy. Pohon yang ditanam adalah pohon-

pohon yang diambil buahnya, seperti durian, duku, langsat, manggis, petai, picung,

rambutan, mangga, dan kelapa. Pohon yang ditanam menjadi milik si penanam dan

akan diwariskan kepada anaknya. Menebang pohon di hutan tua atau hutan

kampung merupakan suatu larangan. Kebutuhan kayu pertukangan hanya boleh

diambil dari hutan skunder yang akan dijadikan ladang, atau membeli dari

masyarakat luar.

Kesadaran masyarakat Baduy untuk menanam pohon dan bambu sangat

tinggi. Pohon akan menghasilkan buah yang bisa menambah

pendapatan, sedangkan bambu merupakan bahan baku utama rumah dan gubung

ladang. Fenomena itu akan terlihat begitu memasuki pemukiman masyarakat

Baduy. Pemukimannya selalu dikelilingi oleh hutan kampung dengan berbagai


44

jenis pohon buah-buahan; sedangkan di tepi sungai kampung dan di sekitar mata

air serta selokannya banyak terdapat deretan rumpun bambu dan tumbuhan kirai

(bahan atap rumah).

Pembagian masyarakat Baduy, secara umum terbagi menjadi tiga kelompok

yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah

yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga

yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik). Sedangkan

kelompok masyarakat panamping adalah yang dikenal sebagai Baduy Luar yang

tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam,

seperti Cikadu, Kadu Ketug, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.

Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy

Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang

tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam). Kampung

Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar

(Permana, 2001).

Dalam sistem pemerintahan masyarakat Baduy mengenal 2 sistem

pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan

Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya

masyarakat Baduy. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan

sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan dalam pelaksanaannya. Secara

nasional penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro

pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada

pimpinan adat Baduy yang tertinggi, yaitu Puun.


45

Dalam kehidupan bermasyarakat, pemimpin adat tertinggi dalam

masyarakat Baduy adalah Puun yang ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut

berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan

dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya

berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Pelaksana

sehari-hari pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan oleh Jaro. Di Baduy ada 4

macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro

pamarentah.

Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga

tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga,

mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar

Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro

tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut

sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai

penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintah nasional, yang

dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua

kampung (Makmur, 2001).

D. Studi Pendahuluan

Berdasarkan observasi awal ke daerah Baduy, peneliti menemukan

beberapa pantangan/pamali dalam bahasa sunda di masyarakat Baduy atau tabu

dalam bahasa Indonesia. Pemahaman pamali dalam masyarakat baduy sangat

dipegang kuat oleh seluruh anggota masyarakatnya, sehingga dalam aktivitas

sehari-hari mereka selalu berpegang dan mematuhi pada aturan-aturan yang sudah
46

ada yang dikeluarkan oleh Puun/Jaro. Kepatuhan masyarakat Baduy terhadap

aturan atau pamali dilandasi oleh kepercayaan mereka terhadap hal-hal magis,

sehingga ketika mereka melanggar pamali maka akan berdampak buruk bagi

dirinya atau bagi keluarganya, bahkan sanksi yang lebih tinggi dikeluarkan dari

keanggotaan masyarakat Baduy.

Berkaitan dengan paparan di atas, dan dalam upaya pelestarian budaya

serta pemertahanan bahasa Baduy sebagai sebuah kearifan lokal di Provinsi Banten

peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pamali dalam

masyarakat Baduy Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.


47

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang akan peneliti laksanakan bertempat di masyarakat Baduy.

Secara wilayah kecamatan, baduy termasuk wilayah kecamatan Leuwidamar,

kabupaten Lebak, provinsi Banten. Waktu pelaksanaan penelitian akan

dilaksanakan kurang lebih selama satu tahun anggaran.

B. Pendekatan, Metode, dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif

biasanya menggunakan strategi penelitian seperti naratif, fenomenologis,

etnografis, studi grounded theory atau studi kasus. Metode penelitian yang penulis

gunakan dalam penelitian ini yaitu metode etnografis.

Sementara itu, berkaitan dengan prosedur penelitian langkah-langkah yang

penulis lakukan merujuk pada prosedur yang disampaikan oleh Spradley, antara

lain :

1. Menentukan tempat penelitian yaitu komunitas masyarakat Baduy,

kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak Provinsi Banten;

2. mengajukan pertanyaan, tercantum di rumusan masalah penelitian,

3. pengumpulan data, dilakukan dengan observasi partisipan dan wawancara;

4. pembuatan suatu rekaman etnografi, dilakukan dengan pengambilan catatan

lapangan, pengambilan foto, dan pengambilan dokumentasi yang berkaitan

dengan penelitian.
48

5. analisis data, yaitu dengan analisis domain, analisis taksonomi, analisis

komponen, dan analisis tema dan budaya.

C. Data dan Sumber Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian kualitatif biasanya dilakukan

dari berbagai sumber, seperti wawancara, observasi, dan dokumentasi. Setelah itu,

peneliti mereview semua data, memberikan makna, dan mengolahnya ke dalam

kategori-kategori atau tema-tema yang melintasi semua sumber data.

Dalam penelitian ini yang menjadi data penelitian,yaitu ungkapan pamali

yang dipatuhi oleh masyarakat Baduy. Setelah data terkumpul, kemudian penulis

analisis dengan merujuk pada teori tabu yang disampaikan frazer.

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini, yakni : 1) peristiwa,

proses percakapan atau wawancara yang dilakukan dengan anggota masyarakat,

jaro/puun dan sumber yang lain.; 2) informan, yaitu jaro/puun, anggota masyarakat

baduy dan steakholder yang lain, 3) dokumen, informasi tertulis yang berkenaan

dengan tabu dalam bahasa Indonesia atau pamali dalam masyarakat baduy.

D. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data

Sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian yang telah penulis rumuskan,

maka teknik pengumpulan data berkait dengan penelitian yang penulis lakukan

melalui beberapa teknik, antara lain :

1) Observasi partisipan/pengamatan berperan serta, teknik ini dilakukan dalam

upaya menjaring data mengenai ungkapan pamali dalam masyarakat baduy;


49

2) wawancara, teknik ini dilakukan dalam upaya mengenali sumber

data/informan (jaro/puun dan masyarakat) berkait dengan latar belakang

bahasa dan budayanya. Kegiatan wawancara hanya merupakan data

pendukung untuk melengkapi data yang telah penulis peroleh melalui

pengamatan langsung/observasi.

3) kajian dokumentasi dan pustaka, mencatat semua hal yang berkaitan dengan

data dan sumber data;

4) membuat catatan lapangan. Mencatat semua peristiwa yang terjadi secara

apa adanya berkaitan dengan pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan.

5) membuat rekaman data, pengambilan data di lapangan dilakukan dengan

melakukan rekaman yang terjadi pada saat wawancara ataupun pada saat

melakukan percakapan dengan masyarakat baduy.

E. Prosedur Analisis Data

Dalam menganalisis data penelitian, penulis melakukan analisis

berdasarkan prosedur tahapan analisis data metode etnografi, sebagai berikut, yakni

analisis domain, taksonomi, komponen, dan tema budaya.

1. Analisis Domain,

Analisis domain dilakukan dalam upaya memperoleh gambaran umum dan

menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial. Dari paparan tersebut,

sekaitan dengan penelitian ini, penulis berupaya menggambarkan objek

penelitian dalam hal ini gambaran umum masyarakat baduy dengan segala

aktivitas kesehariannya.

2. Analisis Taksonomi
50

Analisis taksonomi yaitu menjabarkan domain-domain yang dipilih menjadi

rinci untuk mengetahui struktur internalnya. Adapun yang menjadi domain

dalam penelitian ini yaitu ungkapan pamali dalam masyarakat baduy.

3. Analisis Komponen

Analisis komponen yaitu mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal

dengan cara mengontraskan antarelemen. Analisis komponen dalam

penelitian ini, yaitu 1) ungkapan pamali dalam masyarakat baduy dengan

tabu dalam bahasa Indonesia ataupun tabu/pamali dalam kebudayaan sunda

secara umum.

4. Analisis Tema dan Budaya

Analsis tema yaitu mencari hubungan di antara domain dan hubungan

dengan keseluruhan,yang selanjutnya dinyatakan ke dalam tema-tema

sesuai dengan fokus dan subfokus penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut,

penelitian ini ingin melihat apakah ada hubungan antara latar belakang

budaya dan bahasa yang berbeda antara masyarakat baduy secara khusus

dengan budaya sunda secara umum.

F. Pemeriksaan Keabsahan Data

Banyak ahli yang menjelaskan berkait dengan pemeriksaan keabsahan data.

Moleong (2000 : 178-184) mengatakan bahwa agar diperoleh temuan dan

interpretasi yang benar tentang hasil penelitian, dilakukan pemeriksaan keabsahan

data. Hal ini dilakukan melalui ketekunan pengamatan, pemeriksaan sejawat

melalui diskusi, pengecekan oleh anggota yang terlibat dan triangulasi. Lebih jelas,

penulis paparkan di bawah ini.


51

Kegiatan ketekunan pengamatan dilakukan dalam upaya memeroleh

kedalaman informasi data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha

tekun dan teliti mengamati serta mencatat semua informasi berkait dengan

penggunaan ungkapan pamali dalam masyarakat baduy.

Langkah selanjutnya, yaitu melakukan pemeriksaan sejawat. Pada kegiatan

ini peneliti melakukan diskusi dengan teman sejawat termasuk dengan pakar yang

secara kompetensi akademik memahami tradisi atau budaya baduy.

Sementara itu kegiatan triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah triangulasi teoretis dan metodologis. Triangulasi metodologis dilakukan

dengan memadukan antara observasi, perekaman, dan wawancara. Kegiatan

wawancara dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang tidak diperoleh dalam

observasi dan perekaman, sedangkan triangulasi teoretis dilakukan dengan

menginformasikan hasil analisis dengan beberapa teori yang telah diuraikan dengan

tujuan untuk mendapatkan penguatan kredibilitas temuan penelitian.


52

BAB IV

BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN

A. REKAPITULASI ANGGARAN

Anggaran yang diajukan dalam penelitian ini, enulis tampilkan di bawah ini :

No JenisPengeluaran Biaya yang

Diusulkan (Rp)

1. Gajidanupah 15.500.000

2. Bahanhabispakaidanperalatan 30.500.000

3. Perjalanan 29.550.000

4. Lain-lain (publikasi, seminar, laporandan lain-lain 41.750.000

Jumlah 117.300.000

B. JadwalPelaksanaanPenelitian

Sementara terkait dengan jadwal penelitian, penulis tampilkan di bawah ini.

No Kegiatan Bulan

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2

1 Pembuatan Proposal X

2 Survey ulang ke tempat X X

penelitian
53

3 Penelitian ke lapangan X X X X

(Baduy)

4 Analisis data X X X

5 Ujipakar X X

6 Merevisidata berdasarkan X

uji pakar

7 Membuatlaporan X X

8 Seminar danpublikasi X X
54

BAB V

TEMUAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

1. Asal-usul Masyarakat baduy

Masyarakat baduy yang tinggal di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,

kabupaten Lebak provinsi Banten sampai hari ini masih menjadi bahan yang sangat sexy

untuk dibicarakan. Bahkan, hingga saat ini masih banyak para peneliti yang melakukan

penelitian dengan data dan sumber datanya masyarakat baduy.

Berbicara mengenai asal-usul masyarakat baduy sampai hari ini masih menjadi

perdebatan panjang. Ada ahli yang menyatakan bahwa masyarakat baduy adalah

masyarakat keturunan pajajaran yang menyingkir dari utara ke selatan, ada juga yang

menyatakan bahwa masyarakat baduy adalah penduduk asli yang telah berabad-abad

tinggal di wilayah tersebut.

Berdasarkan buku yang penulis baca, banyak faktor yang menjadi penghambat

dalam mengungkap tabir mengenai asal-usul orang baduy. Hal ini disebabkan oleh

ketertutupan masyarakat baduy akan perkembangan dunia luar dan juga aturan hidup atau

pikukuh atau pantang yang sudah mengakar turun menurun dari nenek moyangnya hingga

saat ini.

Dalam buku yang ditulis oleh Lukman Hakim (2012 :38) dijelaskan bahwa

beberapa penelitian yang pernah dilakukan para ahli untuk mengungkap mengenai tabir

kehidupan masyarakat baduy, antara lain : ekspedisi “de Lange” pada bulan Mei 1928 yang

terdiri dari antropolog dan physolog, yaitu Prof J Boeke, Prof.CD de Lange dan Prof. B.
55

Van Tricht, yang disertai oleh PAAD Djajadiningrat orang yang berpengaruh dan masih

keturunan orang baduy dan dianggap sebagai kokolot, selain itu juga Bupati Lebak RA

Gondosaputra, Patih R Martakusumah dan wedana Leuwidamar, Sumitro. Hasil dari

ekspedisi de Lange pun gagal karena masyarakat baduy menolak setiap pengaruh yang

datang dari dunia luar. Van Tricht, seorang dokter yang melakukan sebuah riset kesehatan

tahun 1928, mengatakan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran yang

tetap mempertahankan dengan gigih kejayaaannya terhadap islam yang mengalahkannya

pada abad XVI.

Selain penelitian yang dilakukan oleh para ahli di atas, seorang peneliti lain pun

yang bernama NJC Geise melakukan penelitian yang sama tepatnya pada tahun 1952.

Geise pun tidak diizinkan masuk ke wilayah pemukiman baduy, ia hanya diperbolehkan

tinggal di luar perbatasan baduy, dan hasil penelitiannya pun dianggap gagal karena tidak

peroleh data yang jelas mengenai masyarakat baduy (Hakim, 2012 : 39).

Sementara itu terkait dengan keyakinan yang dianut masyarakat Baduy, agama

mereka disebut sunda wiwitan yang dianggap sebagai agama tertua di dunia. Masyarakat

baduy percaya kepada gusti nu maha suci, penguasa alam semesta yang mengutus Nabi

Adam ke bumi mengatur kehidupan orang baduy. Sedangkan Nabi Muhammad diutus

untuk mengatur umat manusia di dunia di luar orang baduy (Hakim, 2012 : 6).

Sir Thomas Stamfor Raffles (Hakim, 2012 : 41) menyebut orang baduy sebagai

orang Rawayan, sesuai dengan pengakuan orang baduy sendiri. Lebih lengkap ia

menjelaskan bahwa kata Baduy berasal dari Budha atau bahasa Arab, Badawi atau Beduwi.

Pernyataan Raffles ditolak oleh Prof. Husein Djajadiningrat, menurutnya jika dilihat dari

ilmu bahasa akhiran uy adalah type bahasa sunda.


56

Sementara itu dari literatur yang lain, penamaan ‘Badui’, ‘Baduy’ atau ‘Urang

Baduy’ (Orang Baduy) bagi seluruh penduduk Desa Kanekes merupakan sebutan yang

telah digunakan sejak lama. Hal ini dapat ditelusuri dari laporan-laporan peneliti (etnografi)

Belanda seperti yang tulis oleh van Hoevell (1845); Jacob dan Miejer (1981); Pennings

(1902); Pleyte (1909); van Tricht (1928) dan Geise (1952) yang menyebut masyarakat yang

tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu dengan sebutan badoe’i, badoei, badoewi,

Kanekes, dan Rawayan (Garna, 1996). Diduga, sebutan-sebutan tersebut bukanlah sebutan

yang berasal dari penduduk itu sendiri. Sebutan ‘Baduy’ diperkirakan telah digunakan oleh

beberapa peneliti yang menyamakan masyarakat tersebut dengan kelompok masyarakat

pengembara di Arab, Orang Badawi sedangkan sebutan Kanekes atau Urang Kanekes,

seperti yang diungkapkan oleh Nurhadi (1988), diduga merupakan sebutan yang berasal

dari nama sungai yaitu Ci Kanekes yang mengalir ke daerah tersebut.

Masyarakat Desa Kanekes menamai dirinya sesuai dengan asal dan wilayah

kampungnya, seperti Urang Cibeo untuk mereka yang tinggal di wilayah Kampung Cibeo,

urang Kaduketug, Urang Gajebo. Urang Tangtu (Baduy Dalam), dan Urang Panamping

(Baduy Luar) juga kerap digunakan sebagai penanda akan identias mereka dalam cakupan

wilayah berdasarkan Adat.

Sebutan Baduy kini melekat pada penduduk Kanekes, ketika Kartu Tanda

penduduk (KTP) diperkenalkan untuk pertama kali pada tahun 1980 pada Masyarakat Adat

Baduy, identitas sebagai Urang Baduy (Orang Baduy) dibubuhkan pada KTP mereka.

‘Orang Baduy’ atau Baduy kini digunakan untuk menyebut individu atau masyarakatnya

dan ‘Kanekes’ merujuk kepada nama wilayah atau desa mereka. Hal ini sebagaimana yang

diungkapkan oleh Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes (2011) bahwa: “Kanekes ngaran

Desa, Baduy ngaran masyarakatna. Lian ti eta berarti sebutan nu diciptakeun ku urang
57

luar Baduy”. (Kanekes nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti

sebutan yang diciptakan oleh orang luar Baduy).

B. Temuan Penelitian

Temuan data lisan dikumpulkan dengan metode simak yang dikolaborasikan

dengan teknik dasar sadap dan teknik lanjutan libat cakap. Peneliti terlibat aktif dan

reseptif. Aktif artinya peneliti ikut berbicara dalam dialog dan memberikan pertanyaan-

pertanyaan yang berkaitan dengan Pamali, sementara reseptif artinya hanya

mendengarkan pembicaraan dan menerima apa adanya tanpa ada dialog yang secara

spesifik membicarakan ungkapan larangan (Pamali).

Temuan penelitian ungkapan larangan (pamali) di masyarakat Baduy

diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) bagian antara lain : 1) Aturan mengelola lahan

pertanian, 2) aturan hidup bermasyarakat, dan 3) aturan pemanfaatan sumber daya

hutan dan lingkungan. Temuan penelitian ini didapatkan dari situasi dan kondisi yang

alamiah karena peneliti terlibat dalam aktivitas kehidupan masyarakat, serta dengan cara

wawancara terbuka namun tetap terarah, dimana kondisi wawancara tersebut berjalan

seperti obrolan biasa.

Berikut ini peneliti tampilkan temuan data yang berkaitan dengan ruang

lingkup pemakaian bahasa pamali/tabo di masyarakat baduy.

1. Ungkapan Pamali dalam Mengelola Lahan Pertanian

Data di bawah ini merupakan data-data yang berkaitan dengan ungkapan

pamali atau ungkapan larangan yang berlaku di masyarakat baduy yang

berhubungan dengan kegiatan pengelolaan lahan pertanian. Data yang peneliti

tampilkan merupakan data yang diperoleh berdasarkan observasi, wawancara dan


58

referensi yang menunjang terhadap data penelitian.

No Ungkapan Pamali

1. Tanah tidak boleh di balik, pamali

2. Dilarang menggunakan pupuk dan obat kimia

3. Waktu berladang harus sesuai ketentuan ketua adat

4. Berladang tidak saling mendahului

5. Tidak mengubah kontur lahan

6. Tidak mengolah lahan dengan bajak cukup dengan tugal

7. Tidak membuat terasering

8. Dilarang menanam budidaya perkebunan

9. Dilarang berladang sembarangan

10. Dilarang membuka ladang di leuweung titipan

11. Selama bekerja di huma serang, harus tertib

12. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh mengotori tanah (berak)

13. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh merokok

14. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh meludah

15. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh kentut


59

16. Selama bekerja di huma serang, tidak boleh bicara kotor dan kasar

17. Selama bekerja di huma serang, harus menggunakan pakaian bersih

18. Selama bekerja di huma serang, pria wajib memakai iket

19. Padi tidak boleh dibawa dengan kendaraan bermotor, harus dipanggul

20. Padi tidak boleh digiling, harus ditumbuk

21. Padi tidak boleh dibakar atau dibikin kerak

22. Padi tidak boleh dibuang percuma

23. Padi tidak boleh diperjualbelikan

24. Tidak boleh mencuri padi karena dianggap menistakan Nyi Pohaci

Sanghyang Asri

25. Tidak boleh membuat sawah dan kolam ikan

Klasifikasi pamali yang berkaitan dengan kegiatan mengolah lahan pertanian

seperti yang terlihat dalam tabel di atas, sangat dipatuhi oleh seluruh masyarakat

baduy terutama masyarakat baduy tangtu yang sangat kuat memegang aturan

tersebut. Sementara kalau masyarakat baduy panamping sedikit lebih longgar

dibandingkan baduy tangtu dalam melaksanakan aturan/larangan/pamali.

Masyarakat baduy mempercayai jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan

ada dampak baik bersifat pribadi ataupun secara umum. Misalnya, ada bencana alam,

banyak yang sakit dan sebagainya. Dari data hasil observasi dan wawancara diperoleh

25 data ungkapan pamali yang berkaiatn dengan kegiatan mengolah lahan pertanian.
60

2. Ungkapan Pamali dalam Aturan Hidup Bermasyarakat

Data di bawah ini merupakan data-data yang berkaitan dengan ungkapan

pamali atau ungkapan larangan yang berlaku di masyarakat baduy yang

berhubungan dengan aturan hidup bermasyarakat. Data yang peneliti tampilkan

merupakan data yang diperoleh berdasarkan observasi, wawancara dan referensi

yang menunjang terhadap data penelitian.

No Ungkapan Pamali

1. Di masyarakat baduy tidak boleh ada lampu penerangan/listrik

2. Di masyarakat tidak baduy boleh ada pengerasan jalan/aspal

3. Di masyarakat baduy tidak boleh ada sekolah

4. Di masyarakat baduy tidak boleh ada fasilitas kesehatan

5. Masyarakat Baduy tidak boleh ada/menaiki kendaraan/transportasi

6. Ketika membangun rumah tidak boleh menggunakan paku, tembok, cat,

atap genting hanya boleh menggunakan tali untuk mengikat kayu.

7. Rumah yang dibangun harus apa adanya sesuai dengan kontur tanah

8. Perkataan tidak boleh bohong, harus jujur tanpa basa-basi

9. Pada saat jual beli tidak boleh melakukan tawar menawar

10. Tidak boleh menggunakan sandal terutama untuk masyarakat baduy

tangtu, kalau panamping masih boleh menggunakan sandal


61

11. Tidak diperkenankan menggunakan alat elektronik (teknologi)

12. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan. Kecuali rumah puun

13. Tidak boleh menggunakan pakain modern untuk masyarakat baduy tangtu.

14. Tidak boleh mencuri dan merampas miliki orang lain

15. Tidak boleh ingkar dan tidak boleh menipu

16. Tidak boleh minum minuman yang memabukkan

17. Masyarakat baduy tidak boleh poligami

18. Tidak menikmati makanan jika matahari sudah terbenam

19. Tidak memakai bunga dan harum-haruman

20. Tidak memakai perhiasaan seperti emas dan perak

21. Dilarang memelihara binatang berkaki empat.

22. Pada saat mandi dan mencuci baju dilarang menggunakan sabun

23. Tidak boleh menyikat gigi dengan pasta gigi dan sikat gigi

24. Menyimpan baju di kopek (kepek)

25. Tidak boleh meracun ikan

26. Rumah tidak boleh berjendela, terutama masyarakat baduy tangtu

27. Orang luar tidak boleh masuk ke halaman rumah puun tanpa seizinnya
62

28. Tidak boleh mendirikan kampung panamping di selatan Cikeusik

29. Tidak boleh memasuki Sasaka Pada Ageung dan Sasaka Parahyang tanpa

seizin puun bagi orang baduy. Sementara untuk orang luar sama sekali

tidak diperbolehkan.

30. Tidak boleh berbicara dengan lawan jenis yang belum sah atau yang tidak

terikat hubungan kekeluargaan dan pernikahan.

31. Tidak boleh menempel hiasan dinding dengan hiasan

32. Tidak memperlakukan kuburan secara berlebihan

33. Masyarakat baduy tangtu, tidak boleh merokok.

34. Dilarang keras pindah agama, sanksinya adalah dikeluarkan sebagai orang

baduy

Klasifikasi ungkapan pamali yang berkaitan dengan kegiatan aturan hidup

bermasyarakat seperti yang terlihat dalam tabel di atas, sangat dipatuhi oleh seluruh

masyarakat baduy terutama masyarakat baduy tangtu yang sangat kuat memegang

aturan tersebut.

Sementara kalau masyarakat baduy panamping sedikit lebih longgar

dibandingkan baduy tangtu dalam melaksanakan aturan/larangan/pamali.

Masyarakat baduy mempercayai jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan

ada dampak baik bersifat pribadi ataupun secara umum/masal. Misalnya, ada

bencana alam, banyak yang sakit dan sebagainya.


63

Aturan hidup bermasyarakat di masyarakat baduy secara umum berlaku hampir

sama baik di baduy tangtu maupun baduy panamping. Akan tetapi, tidak semua aturan

yang di pegang teguh oleh masyarakat baduy tangtu berlaku di masyarakat baduy

panamping. Misalnya, jika di masyarakat baduy tangtu, wajib memakai pakaian hitam

dan putih (pakaian kanekes) yang berbeda dengan orang luar baduy, sedangkan

masyarakat baduy panamping boleh memakai pakaian modern seperti halnya masyarakat

umumnya. Jika masyarakat baduy tangtu tidak boleh menggunakan alat elektronik

seperti HP, sedangkan baduy panamping masih ditemukan yang menggunakan HP

bahkan mereka bisa menonton TV di masyarakat di luar baduy, sementara baduy tangtu

sama sekali tidak boleh menggunakan HP dan menonton TV.

Dari data hasil observasi dan wawancara diperoleh 34 data ungkapan pamali yang

berkaitan dengan kegiatan aturan hidup bermasyarakat di baduy.

3. Ungkapan Pamali dalam Aturan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan

Lingkungan

Data di bawah ini merupakan data-data yang berkaitan dengan ungkapan

pamali atau ungkapan larangan yang berlaku di masyarakat baduy yang

berhubungan dengan aturan pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan. Data

yang peneliti tampilkan merupakan data yang diperoleh berdasarkan observasi,

wawancara dan referensi yang menunjang terhadap data penelitian.

No Ungkapan Pamali
64

1. Dilarang membuka ladang/huma di leuweung Titipan atau Leuweung

Lindungan Lembur

2. Tidak boleh menebang kayu di leuweung Titipan atau Leuweung

Lindungan Lembur

3. Tidak boleh sewenang-wenang membinasakan makhluk hidup

4. Dilarang mengubah jalan air seperti membuat irigasi atau bendungan

5. Dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan

tanah

6. Dilarang masuk ke hutan titipan

7. Orang kulit putih (Cina dan Bule) tidak boleh masuk ke Taneuh

Larangan

8. Lahan tidak boleh dimiliki, hanya hak guna saja (untuk masyarakat baduy

tangtu) sedangkan untuk baduy panamping boleh memiliki dan

disewakan/diperjualbelikan sesama baduy panamping, tetapi tidak boleh

dengan orang luar baduy.

9. Tanah tidak boleh dibuat sengkedan (terasering)

10. Tidak boleh menanam tanaman atau pohon bernilai ekonomis seperti

cengkeh dan kopi.

11. Tidak boleh memotret di taneuh larangan


65

Klasifikasi ungkapan pamali yang berkaitan dengan kegiatan aturan

pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan seperti yang terlihat dalam tabel di

atas, sangat dipatuhi oleh seluruh masyarakat baduy terutama masyarakat baduy

tangtu yang sangat kuat memegang aturan tersebut.

Sementara kalau masyarakat baduy panamping sedikit lebih longgar

dibandingkan baduy tangtu dalam melaksanakan aturan/larangan/pamali.

Masyarakat baduy mempercayai jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan

ada dampak baik bersifat pribadi ataupun dampak yang dirasakan oleh masyarakat

baduy secara umum. Misalnya, ada bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan dan

kebakaran kampung, banyak yang sakit dan sebagainya.

Aturan pemanfaatan hutan dan lingkungan di masyarakat baduy secara umum

berlaku hampir sama baik di baduy tangtu maupun baduy panamping. Akan tetapi, tidak

semua aturan yang di pegang teguh oleh masyarakat baduy tangtu berlaku di masyarakat

baduy panamping. Dari data hasil observasi dan wawancara diperoleh 11 data ungkapan

pamali yang berkaiatn dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan

lingkungan di masyarakat baduy.


66

BAB VI

PEMBAHASAN TEMUAN HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pembahasan temuan penelitian yang telah

dituliskan di bab V. Pembahasan ini dilakukan dalam upaya menjelaskan lebih jauh tentang

ungkapan pamali atau jika dituturkan oleh masyarakat baduy dengan istilah teu wasa,

buyut. Berikut ini buyut atau pikukuh yang menjadi pandangan hidup masyarakat baduy

dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

buyut nu dititipkeun ka puun (buyut yang dititipkan kepada puun)


nagara satelung puluh telu (negara tiga puluh tiga)
bangsawan sawidak lima (sungai enam puluh lima)
pancer salawe nagara (pusat dua puluh lima Negara)
gunung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancur)
lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak)
larangan teu meunang dirempak (larangan tak boleh dilanggar)
buyut teu meunang dirobah (buyut tak boleh diubah)
lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong)
pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung)
nu lain kudu dilainkeun (yang bukan harus ditiadakan)
nu ulah kudu diulahken (yang lain harus dipandang lain)
nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan)
mipit kudu amit (mengambil harus pamit)
ngala kudu menta (mengambil harus minta)
67

ngeduk cikur kudu mihatur (mengambil kencur harus


memberitahukan yang punya)

nyokel jahe kudu micarek (mencungkil jahe harus memberi tahu)


ngagedag kudu beware (mengguncang pohon supaya buahnya
berjatuhan harus memberitahu terlebih dulu)

nyaur kudu diukur (bertutur harus diukur)


nyabda kudu diunggang (berkata harus dipikirkan supaya tidak
menyakitkan)

ulah ngomong sageto-geto (jangan bicara sembarangan)


ulah lemek sadaek-daek (jangan bicara seenaknya)
ulah maling papanjingan (jangan mencuri walaupun kekurangan)
ulah jinah papacangan (jangan berjinah dan berpacaran)
kudu ngadek sacekna (harus menetak setepatnya)
nilas saplasna (menebas setebasnya)
akibatna (akibatnya)
matak burung jadi ratu (bisa gagal menjadi pemimpin)
matak edan jadi menak (bisa gila menjadi menak)
matak pupul pengaruh (bisa hilang pengaruh)
matak hambar komara (bisa hilang kewibawaan)
matak teu mahi juritan (bisa kalah berkelahi)
matak teu jaya perang (bisa kalah berperang)
matak eleh jajaten (bisa hilang keberanian)
matak eleh kasakten (bisa hilang kesaktian)
68

A. Ungkapan Pamali Berkait dengan Pengolahan Lahan Pertanian

Sebelum membahas mengenai ungkapan pamali yang berkaitan dengan

pengelolaan lahan pertanian. Terlebih dahulu peneliti paparkan mengenai jenis ungkapan

larangan secara umum. Ungkapan larangan/pamali pada masyarakat baduy diwariskan

secara turun temurun dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, ungkapan larangan ini

dapat dikatakan sebagai suatu tradisi secara turun temurun yang masih dijalankan dalam

masyarakat baduy.

Berdasarkan paparan teori terkait dengan temuan penelitian yang telah peneliti

paparkan di bab IV, dengan demikian ungkapan pamali, teu wasa dan buyut yang dipakai

di masyarakat baduy yang digunakan dalam segala sepek kehidupan termasuk dalam

pengelolaan lahan pertanian dapat dikategorikan sebagai ungkapan larangan yang berupa

peratuiran/aturan yang tidak tertulis.

Seperti kita ketahui bahwa mata pencaharian utama masyarakat baduy adalah

berladang atau menanam padi di huma (darat/gunung). Masyarakat baduy, baik baduy

dalam maupun baduy luar tidak mengenal istilah menanam padi di sawah (bertani), seperti

halnya masyarakat Banten secara umum, yang mereka lakukan hanya berladang dengan

berpindah-pindah tempat (nomaden). Selain bertanni di ladang, mata pencaharian lain

masyarakat baduy yaitu membuat kain tenun dan kerjainan tangan lainnya seperti membuat

koja dan membuat golok.

Masyarakat baduy adalah masyarakat yang sangat kuat memegang pikukuh yang

diaplikasikan dalam aktivitas kehidupan sehari-harinya. Dalam kegiatan berladang pun

mereka selalu memegang aturan-aturan yang sudah menjadi ketentuan puun. Mereka

bahkan tidak pernah berani melanggar aturan yang telah menjadi pegangan hidupnya,

karena takut terjadi sesuatu dengan dirinya jika melanggar aturan tersebut.
69

Ungkapan pamali yang menjadi pantangan dalam kegiatan pengelolaan lahan

pertanian merujuk pada pikukuh “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang

dirusak”. Pikukuh tersebut menjadi acuan masyarakat baduy pada saat berladang.

Berdasarkan gambaran temuan penelitian, peneliti membagi ungkapan pamali

dalam pengelolaan lahan pertanian ke dalam 3 (tiga) tahap/bagian :

a. Pada saat memulai berladang :

1. Tanah ladang tidak dibolak-balik

2. Berladang tidak saling mendahului

3. Tidak mengubah kontur tanah ladang

4. Tidak membuat terasering atau sengkedan

5. Tidak mengolah ladang dengan bajak cukup dengan tugal saja

6. Waktu berladang harus sesuai ketentuan puun

7. Dilarang berladang secara sembarangan

8. Tidak membuka ladang di leuweung titipan

9. Tidak boleh membuat sawah dan kolam ikan

b. Pada masa/waktu berladang :

1. Padi tidak boleh menggunakan pupuk dan obat kimia

2. Orang baduy tidak menanam budidaya perkebunan

3. Selama bekerja di huma serang¸harus tertib

4. Selama bekerja di huma serang¸tidak boleh mengotori lahan (berak)

5. Selama bekerja di huma serang¸tidak boleh merokok

6. Selama bekerja di huma serang¸tidak boleh meludah

7. Selama bekerja di huma serang¸tidak boleh kentut

8. Selama bekerja di huma serang¸tidak boleh berbicara kotor dan kasar

9. Selama bekerja di huma serang¸harus memakai pakaian bersih


70

10. Selama bekerja di huma serang¸kaum pria harus memakai ikat

c. Pada masa panen :

1. Padi tidak boleh di bawa dengan kendaraan motor

2. Padi tidak boleh di giling, harus ditumbuk

3. Padi tidak boleh dibakar

4. Padi tidak boleh dibuang percuma

5. Padi tidak boleh dijualbelikan

6. Tidak boleh mencuri padi

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaaan

lahan pertanian atau dalam mengelola lahan pertanian, masyarakat baduy memiliki aturan-

aturan yang tidak tertulis yang berupa ungkapan larangan yang tidak boleh dilakukan pada

saat mengelola lahan pertanian atau pada saat bertani.

Adapun larangan/ungkapan pamali yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat

baduy pada saat mengelola lahan pertanian berdasarkan data temuan penelitian dapat

dikelompokkan pada 3 kelompok, yaitu :

1) Ungkapan larangan pamali pada saat memulai berladang

2) Ungkapan larangan pamali pada saat proses berladang

3) Ungkapan larangan pamali pada saat panen padi (ladang).

Ungkapan larangan/pamali seperti yang tertera di atas, sangat dipatuhi oleh

masyarakat baduy dari mulai membuka lahan pertanian, proses menanam padi sampai

dengan panen padi. Masyarakat baduy tidak berani melanggar aturan yang tidak tertulis

tersebut karena ketakutan akan mendapatkan bencana atau dampak dari pelanggaran
71

tersebut, baik secara pribadi atau langsung dirasakan oleh individu yang melanggar aturan

maupun secara umum.

Lebih lengkap peneliti paparkan pembahasan temuan penelitian berkait dengan

kegiatan pada saat memulai berladang, proses berladang, dan pada saat panen, seperti di

bawah ini.

1) Ungkapan larangan pamali pada saat memulai berladang

Terdapat beberapa aturan/ungkapan larangan atau tabu atau pamali yang tidak

boleh dilakukan oleh masyarakat baduy pada saat memulai berladang, antara lain :

a) Tanah ladang tidak boleh di bolak-balik, pada saat memulai membuat ladang,

masyarakat baduy tidak menggunakan cangkul seperti halnya masyarakat

lebak secara umum, tanah yang digunakan untuk menanam tidak dicangkul

dan dibolak-balik tetapi hanya membuat lubang di tanah tersebut. Untuk

menanam padi mereka hanya menggunakan tugal yaitu sejenis batang pohon

yang dibuat runcing diujungnya untuk membuat lubang di tanah yang

digunakan untuk menanam padi.

b) Tidak mengubah kontur tanah dan tidak membuat terarsering atau sengkedan.

Masyarakat baduy pada saat berladang sama sekali tidak mengubah bentuk

tanah ladang, mereka tidak berani merusak bentuk asli tanah karena mereka

percaya tanah adalah titipan dari para leluhur mereka dan harus tetap dijaga.

Ungkapan pamali tersebut dipercaya ketika tidak mengubah bentuk tanah akan

terhindar dari bencana alam seperti banjir ataupun longsor.

c) Pada saat mau memulai berladang, masyarakat baduy menunggu perintah dari

puun. Mereka tidak saling mendahului dalam berladang. Selain itu, tempat
72

berladang pun harus berdasarkan aturan atau ketentuan puun dan sama sekali

tidak dibolehkan membuka ladang di leuweung titipan serta tidak

diperbolehkan membuat sawah dan kolam ikan.

2) Ungkapan larangan pamali pada saat proses berladang

Sebelum membahas ungkapan larangan/pamali pada saat proses berladang,

terlebih dahulu peneliti paparkan jenis-jenis huma/ladang di masyarakat baduy :

1. Huma serang, tempatnya di taneuh larangan pemiliknya girang seurat

2. Huma puun, tempatnya di taneuh larangan pemiliknya puun

3. Huma tangtu, tempatnya di taneuh larangan milik warga tangtu

4. Huma tuladan, lokasinya di pajaroan milik para jaro dan kokolot

5. Huma panamping, lokasinya di daerah panamping, milik warga panamping

6. Huma urang baduy, luar desa kanekes, milik warga pajaroan.

Terkait dengan ungkapan larangan pamali pada saat proses berladang, terdapat

beberapa hal yang menjadi pantangan yang dianut masyarakat baduy, terutama yang

berkaitan dengan huma serang yang berada di taneuh larangan.

Secara umum aturan atau larangan/tabu pada saat proses berladang/ngahuma di

masyarakat baduy hampir sama seperti tidak mengubah bentuk tanah, tidak boleh

menggunakan pupuk dan obat kimia, serta tidak menanam budidaya perkebunan.

Ungkapan larangan atau aturan yang lebih kental dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat

baduy yaitu pada saat bekerja di huma serang milik girang seurat, aturan tersebut antara

lain : selama bekerja di huma serang tidak boleh mengotori lahan (berak), tidak boleh

merokok, tidak boleh meludah, tidak boleh kentut dan tidak boleh berbicara kotor dan
73

kasar. Selain itu, seluruh masyarakat baduy pada saat bekerja di huma serang harus

memakai pakaian bersih dan bagi kaum pria atau laki-laki harus memakai ikat.

3) Ungkapan larangan pamali pada saat panen padi (ladang).

Setelah masa membuat ladang dan masa berladang, masa selanjutnya adalah masa

panen. Pada saat masa panen pun banyak aturan yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh

masyarakat baduy, antara lain : hasil panen atau padi tidak boleh di bawa naik kendaraan

baik motor ataupun mobil, padi tidak boleh digiling di penggilingan padi, tetapi harus

ditumbuk di lumbung yang sudah disiapkan di perkampungan. Selain itu, hasil panen/padi

tidak boleh dijualbelikan dan dibuang percuma bahkan aturan yang palng ketat yaitu

masyarakat baduy tidak boleh mencuri padi. Jika aturan-aturan tersebut dilanggar, maka

pelanggar akan mendapatkan sangsi secara pribadi bahkan mungkin akan mendapatkan

bencana secara keseluruhan.

B. Ungkapan Pamali dalam Aturan Hidup Bermasyarakat

Dalam beberapa literatur yang berkembang di masyarakat, secara umum

masyarakat baduy seperti yang dijelaskan para penulis buku ataupun para peneliti,

digambarkan sebagai masyarakat terbelakang dibandingkan masyarakat Indonesia

atau Banten secara umum, hal ini disebabkan karena masyarakat baduy

menolak/tidak menerima perkembangan zaman atau modernisme. Hal ini terlihat

dari aktivitas kehidupan sehari-hari yang tidak mengenal perkembangan elektronik

seperti tidak memiliki televisi, radio, HP bahkan untuk alat penerangan pun mereka

tidak memakai listrik. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan dalam

pemahaman atau peningkatan pengetahuan pun mereka tidak membolehkan

masyarakatnya untuk bersekolah seperti anak-anak di masyarakat lebak secara


74

umum.

Sementara itu, karena kesederhanaan hidup yang masyarakat baduy anut

dan jalani, sehingga banyak peneliti atau penulis buku yang menggambarkan

bahwa masyarakat baduy adalah masyarakat miskin. Tidak salah memang ketika

banyak penulis buku menjelaskan bahwa masyarakat baduy adalah miskin karena

berdasarkan observasi selama pengambilan data yang penulis lakukan di baduy,

untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka sama sekali tidak

berlebihan bahkan mungkin kurang saking mereka memegang philosofi

kesederhanaan hidup. Misalnya, jangan pernah berharap mereka memiliki atau

punya televisi atau alat elektronik lainnya, begitupun dengan alat-alat rumah

tangga lainya seperti piring, gelas dan sebagainya. Berdasarkan gambaran tersebut

itulah maka asumsi-asumsi yang dibangun dalam buku atau penelitian yang

dilakukan oleh peneliti mengidentikan bahwa masyarakat baduy adalah masyarakat

miskin.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang sumber pada saat

peneliti di baduy, bahwa mereka memang hidup apa adanya dan tidak berlebihan.

Masyarakat baduy secara umum sangat memegang prinsip kearifan dalam

kehidupan sehari-harinya. Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh

masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri,

baik secara sosial maupun secara ekonomi.

Orang Baduy tidak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan

papan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak membeli beras, tapi menanam sendiri.

Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri. Kayu sebagai bahan pembuat rumah

pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari
75

5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk

menjaga 120 titik mata air.

Kemandirian masyarakat baduy berbeda dengan masyarakat kota umumnya, hasrat

mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota tidak ditemukan di masyarakat baduy, hal

ini tampak pada beberapa hal lainnya. Misalnya, untuk penerangan, mereka tak

menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan

pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan

insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.

Berdasarkan gambaran temuan dan pembahasan penelitian di atas, peneliti

membagi ungkapan pamali dalam aturan hidup bermasyarakat ke dalam 2 (dua) bagian :

a. Pamali yang Berkaitan dengan Aturan hidup yang bersifat pribadi :

1. Perkataan tidak boleh bohong, harus jujur tanpa basa-basi

2. Tidak diperkenankan menggunakan alat elektronik (teknologi)

3. Tidak boleh mencuri dan merampas miliki orang lain

4. Tidak boleh ingkar dan tidak boleh menipu

5. Tidak boleh minum minuman yang memabukkan

6. Masyarakat baduy tidak boleh poligami

7. Tidak menikmati makanan jika matahari sudah terbenam

8. Tidak memakai bunga dan harum-haruman

9. Tidak memakai perhiasaan seperti emas dan perak

10. Pada saat mandi dan mencuci baju dilarang menggunakan sabun

11. Tidak boleh menyikat gigi dengan pasta gigi dan sikat gigi

12. Tidak boleh berbicara dengan lawan jenis yang belum sah atau yang

tidak terikat hubungan kekeluargaan dan pernikahan


76

13. Masyarakat baduy tangtu, tidak boleh merokok.

b. Pamali yang berkaitan dengan Aturan hidup yang bersifat

umum/menyeluruh :

1. Di masyarakat baduy tidak boleh ada lampu penerangan/listrik

2. Di masyarakat tidak baduy boleh ada pengerasan jalan/aspal

3. Di masyarakat baduy tidak boleh ada sekolah

4. Di masyarakat baduy tidak boleh ada fasilitas kesehatan

5. Masyarakat Baduy tidak boleh ada/menaiki kendaraan/transportasi

6. Ketika membangun rumah tidak boleh menggunakan paku, tembok,

cat, atap genting hanya boleh menggunakan tali untuk mengikat

kayu

7. Rumah yang dibangun harus apa adanya sesuai dengan kontur tanah

8. Pada saat jual beli tidak boleh melakukan tawar menawar

9. Tidak boleh menggunakan sandal terutama untuk masyarakat baduy

tangtu, kalau panamping masih boleh menggunakan sandal

10. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan. Kecuali rumah puun

11. Tidak boleh menggunakan pakain modern untuk masyarakat baduy

tangtu

12. Dilarang memelihara binatang berkaki empat

13. Menyimpan baju di kopek (kepek)

14. Tidak boleh meracun ikan

15. Rumah tidak boleh berjendela, terutama masyarakat baduy tangtu

16. Orang luar tidak boleh masuk ke halaman rumah puun tanpa

seizinnya
77

17. Tidak boleh mendirikan kampung panamping di selatan Cikeusik

18. Tidak boleh memasuki Sasaka Pada Ageung dan Sasaka Parahyang

tanpa seizin puun bagi orang baduy. Sementara untuk orang luar

sama sekali tidak diperbolehkan

19. Tidak boleh menempel hiasan dinding dengan hiasan

20. Tidak memperlakukan kuburan secara berlebihan

21. Dilarang keras pindah agama, sanksinya adalah dikeluarkan sebagai

orang baduy

Terkait dengan paparan mengenai ungkapan larangan atau tabu dalam aturan hidup

bermasyarakat di masyarakat baduy berdasarkan hasil temuan berjumlah 34 (tiga puluh

empat) ungkapan pamali. Secara umum ungkapan pamali tersebut dijadikan sebagai

pedoman hidup oleh seluruh masyarakat baduy, baik ungkapan pamali yang bersifat

individu maupun ungkapan pamali yang bersifat umum atau menyeluruh.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sangatlah wajar jika banyak penulis dan peneliti

yang menggambarkan bahwa masyarakat baduy adalah masyarakat miskin karena

berdasarkan parameter di masyarakat umum tolok ukur yang dipakai bersifat materi

(kekayaan) seperti memiliki kendaraan, memakai perhiasaan, memiliki tanah yang luas dan

banyak dan memiliki rumah yang mewah. Sementara itu, kenyataan yang sebenarnya

tergambar dalam keseharian baik secara individu ataupun secara umum di masyarakat

baduy : mereka tidak memakai perhiasan, tidak memakai wangi-wangian, tidak memiliki

rumah mewah, dan tidak memiliki kendaraan serta alat eleketronik.

Kenyataan di atas bukanlah karena masyarakat baduy tidak memiliki keinginan

seperti halnya masyarakat umum, akan tetapi karena mereka memegang teguh aturan hidup

yang sudah turun temurun yang diajarkan oleh para pendahulunya dan sangat takut dengan

akibat yang ditimbulkan ketika mereka melanggar aturan atau pikukuh hidup.
78

C. Ungkapan Pamali dalam Aturan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan

Lingkungan

Masyarakat baduy pada dasarnya sama dengan masyarakat atau suku bangsa lain

di dunia, mereka memiliki ciri-ciri khas yang membedakan dengan suku bangsa lain.

Menurut Kuntjaraningrat (Hakim, 2012 : 1) menjelaskan bahwa masyarakat baduy

termasuk dalam lingkungan hukum adat Jawa Barat (sekarang masuk wilayah Provinsi

Banten) bersama-sama dengan kelompok orang Betawi, orang Banten, dan orang Sunda.

Berdasarkan data yang diambil dari pemerintahan kabupaten Lebak, luas wilayah

administratif pemukiman masyarakat baduy di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar

yaitu 5.101, 85 ha, terdiri dari kawasan hutan lindung 2.946 ha dan hutan produksi 2.155

ha. Sementara itu, lokasi tempat tinggal masyarakat baduy berada di pegunungan Kendeng,

Banten Selatan. Kawasan gunung kendeng dikenal sebagai sumber beberapat mata air

sungai-sungai yang mengalir ke segala penjuru mata angin, sehingga mereka biasa disebut

sebagai pengawas daerah konservasi alam di Banten (Hakim, 2012 : 87).

Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami masyarakat baduy memiliki wilayah yang

jelas secara berdasarkan peraturan daerah kabupaten Lebak dan memiliki sistem

pemerintahan ganda yaitu aturan hidup yang didasarkan pada aturan puun (pemerintahan

adat) dan aturan yang mengacu kepada peraturan pemerintah kabupaten. Kedua sistem itu

dijalankan secara simultan dan terus menerus dari para pendahulunya hingga saat ini.

Kepala pemerintahan adat berkedudukan di Kejeroan atau tangtu tilu (Kampung Cibeo,

Cikertawana, dan Cikeusik), yang dipimpin oleh seorang puun. Seluruh masyarakat baduy

dalam segala macam aktivitasnya, baik yang bersifat sosial, agama dan adat istiadat harus

tunduk pada aturan yang dikeluarkan puun. Sementara itu, untuk menghubungkan
79

kepentingan dan komunikasi antara masyarakat baduy dengan pemerintahan kabupaten

Lebak, biasanya ditunjuk/dipimpin oleh seorang jaro pamarentah yang berkedudukan di

kampung Kaduketug. Tugas jaro pamarentah adalah menyampaikan hal-hal yang berkaitan

dengan kepentingan seluruh masyarakat baduy ke pemerintahan kabupaten Lebak dalam

hal ini Bupati selain itu juga turut serta dalam program yang dilaksanakan oleh

pemerintahan kabupaten Lebak.

Berdasarkan catatan yang ada, lahan pemukiman masyarakat baduy yang terdiri

dari pegunungan dengan lembah yang curam merupakan tanah hak ulayat yang diakui

batas-batasnya oleh pemerintah sejak tahun 1986. Menurut pengakuan masyarakat baduy

tanah yang mereka tinggali adalah taneuh titipan karuhun yang harus mereka pelihara

dengan baik dan dijaga dari pengaruh modernisme atau perkembangan kemajuan jaman.

Untuk menjaga taneuh titipan dari pengaruh kemajuan jaman dan modernisme

banyak aturan yang mengikat yang tidak boleh dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat

baduy. Aturan-aturan tersebut biasanya disampaikan dalam tuturan lisan dari para

pendahulunya, akan tetapi aturan-aturan tersebut sangat dipatuhi dalam semua aktvitas

kehidupan masyarakat baduy.

Salah satu aturan yang masih dipegang kuat oleh masyarakat baduy yaitu aturan

pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan yang dibagi ke dalam dua bagian, antara

lain :

a. Pamali yang Berkaitan dengan Aturan yang berkaitan dengan

taneuh/leuweung titipan

1. Dilarang membuka ladang/huma di leuweung Titipan atau

Leuweung Lindungan Lembur


80

2. Tidak boleh menebang kayu di leuweung Titipan atau Leuweung

Lindungan Lembur

3. Dilarang masuk ke hutan titipan

4. Orang kulit putih (Cina dan Bule) tidak boleh masuk ke Taneuh

Larangan

5. Tidak boleh memotret di taneuh larangan.

Seperti dijelaskan dalam paparan sebelumnya bahwa masyarakat baduy

sangat kuat memegang pikukuh atau aturan hidup yang berlaku dalam aktivitas

kehidupan sehari-harinya. Begitu pun dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya

hutan dan lingkungan, ada beberapa aturan atau ungkapan pamali yang selalu harus

dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat baduy. Misalnya, anggota masyarakat

baduy tidak boleh membuka ladang di leuweung titipan/leuweung lindungan

lembur. Berdasarkan aturan tersebut maka tidak satu pun anggota masyarakat baduy

yang berani membuka ladang di tanah titipan tersebut kecuali puun. Begitu pun

dengan aturan yang kedua, seluruh anggota masyarakat baduy dilarang menebang

pohon/kayu di tanah/leuweung titipan, maka tidak satu pun dari anggota masyarakat

baduy yang berani melanggar aturan tersebut, karena ketika mereka melanggar akan

mendapatkan sanksi dari puun baik yang bersifat pribadi, bahkan dampak dari

pelanggaran tersebut dapat berdampak pada masayarakat baduy secara umum,

misalnya datangnya musibah atau penyakit yang mendera masyarakat.

Selanjutnya aturan lain yang berkait dengan taneuh/leuweung titipan adalah

anggota masyarakat baduy tidak boleh memasuki taneuh/leuweung titpan, apalagi

jika warga luar baduy sangat di larang kelas memasuki taneuh titipan terutama

adalah warga yang berkulit putih seperti cina dan bule, dan terakhir yaitu tidak
81

boleh memotret taneuh/leuweung titipan karena akan mengakibatkan bencana alam

dan akan mendapatkan sanksi dari puun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota masyarakat baduy, ketika

penulis bertanya langsung tentang aturan-aturan tersebut, kenapa tidak

diperbolehkan ini dan itu, hampir sebagian besar mereka tidak bisa menjelaskan

alasan secara logis, mereka hanya mengatakan bahwa itu sudah menjadi

aturan/larangan yang harus dipatuhi, yang mereka katakan dalam bahasa sunda “eta

mah geus tidituna atau teu wasa”.

b. Pamali yang Berkaitan dengan Aturan yang berkaitan dengan hutan

dan lingkungan

1. Tidak boleh sewenang-wenang membinasakan makhluk hidup

2. Dilarang mengubah jalan air seperti membuat irigasi atau bendungan

3. Dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau

meratakan tanah

4. Lahan tidak boleh dimiliki, hanya hak guna saja (untuk masyarakat

baduy tangtu) sedangkan untuk baduy panamping boleh memiliki

dan disewakan/diperjualbelikan sesama baduy panamping, tetapi

tidak boleh dengan orang luar baduy

5. Tanah tidak boleh dibuat sengkedan (terasering)

6. Tidak boleh menanam tanaman atau pohon bernilai ekonomis seperti

cengkeh dan kopi

Selain berkaitan dengan taneuh/leuweung titipan seperti yang penulis

jelaskan di atas, aturan/larangan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya


82

hutan dan lingkungan, antara lain berkaitan dengan 1) tidak boleh mengubah jalur

air, berdasarkan larangan tersebut, mereka percaya ketika mengubah jalur air maka

akan mengakibatkan banjir melanda masyarakat baduy. Sehingga dari aturan

tersebut, mereka membiarkan aliran air apa adanya dan satu hal lagi masyarakat

baduy tidak pernah membuat irigasi atau membuat bendungan untuk keperluan

pemenuhan air dalam kehidupannya. Masyarakat baduy, sangat percaya ketika

mereka membuat irigasi sama saja dengan meungpeuk rejeki ti pangeran padahal

mereka menganggap bahwa air adalah sumber kehidupannya. 2) tidak boleh

mengubah bentuk tanah, dari larangan ini bisa terlihat dari bentuk ladang yang

dimiliki masyarakat baduy yang berdasarkan kontur tanah. Mereka percaya ketika

mengubah bentuk tanah akan mengakibtkan bencana longsor atau gempa, maka

dalam aplikasi kehidupan bertanam/berladang biasanya mereka mengikuti bentuk

tanah apa adanya. Selain itu, ada asumsi dalam pemahaman mereka ketika

mengubah bentuk tanah sama saja dengan ngaruksak ciptaan pangeran padahal

dalam pemahamannya tanah itu harus dijaga agar tidak rusak dan dampak pengaruh

kemajuan jaman 3) tidak boleh membuat sengkedan (terasering), dari aturan

laranga tersebut mereka percaya bahwa sengkeda atau terasering merupakan

perwajahan status sosial, dalam aturan hidup masyarakat baduy mereka

menganggap bahwa semua masyarakat baduy memiliki kedudukan yang sama, tidak

ada si kaya atau si miskin semuanya harus sama dihadapan pangeran, puun dan

kepercayaannya.

4) tanah tidak boleh dimiliki atau hanya hak guna pakai saja. Berdasarkan

aturan tersebut memberikan pemahaman bahwa secara status sosial masyarakat

baduy tidak memiliki apa-apa karena jika tanah dimiliki amak akan terjadi silang

sengketa terkait dengan kepemilikan tanah tersebut dan akan melahirkan


83

kedudukan/status sosial yang berbeda-beda di masyarakat baduy yang pada

akhirnya akan menjadi pemicu ketidakharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat

bahkan yang lebih parah lagi akan terjadi perebutan tanah antara seluruh masyarakat

baduy.

5) tidak boleh menanam tanaman atau pohon bernilai ekonomis, aturan

penanaman pohon di ladang pun menjadi hal yang menarik untuk dianalisis. Dalam

aturan tersebut masyarakat baduy tidak diperbolehkan menanam tanamana yang

bersifat ekonomis seperti cengkeh dan kopi.

Berdasarkan hal tersebut, jika dianalisis secara logika penulis

berkesimpulan bahwa ketika masyarakat baduy dibiarkan menanam pohon yang

bersifat ekonomis maka akan mengakibatkan kecemburuan sosial atau akan terjadi

persaingan di dalam anggota masyarakat baduy tersebut. Hal tersebut tentunya

berdampak kepada pemerataan status sosial yang berbeda-beda dan pada akhirnya

akan mengakibatkan persaingan sosial dimasyarakat baduy itu sendiri.

D. Ungkapan Pamali dalam Sudut Pandang Ahli

Seperti telah dijelaskan dalam pembahasan di atas, bahwa sangat banyak

sekali ungkapan pamali yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh masyarakat baduy

dalam semua kativitas kehidupan sehari-harinya. Mereka sangat mempercayai

bahwa pamali merupakan aturan yang bersifat mengikat dan sangat sakral serta

tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, ketika ada yang melanggar aturan-aturan yang

sudah diwariskan oleh para nenek moyang masyarakat baduy, maka pelanggar akan
84

mendapatkan sanksi dari puun, bahkan ketika pelanggaran tersebut sangat berat

tidak menutup kemungkinan mereka akan dikeluarkan dari komunitas mereka.

Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh oleh Humaeni (2015 : 71)

dijelaskan bahwa kata-kata tabu atau pamali dalam masyarakat baduy memiliki

banyak makna dan kegunaan bagi masyarakat yang mempercayai dan menerapkan

dalam kehidupan mereka. Banyak hal tabu atau pamali yang berlaku dalam sebuah

masyarakat yang sulit untuk dirasionalisasikan oleh pikiran masyarakat di luar

komunitas tersebut. Seringkali masyarakat meyakini, mengikuti dan menghindari

pelanggaran atas ungkapan-ungjapan tabu dengan alasan ungkapan-ungkapan tabu

tersebut adalah kata-kata orang tua zaman dulu yang pasti memiliki hikmah, dan

apabila dilanggar maka akan ada konsekwensi atas pelanggaran tersebut, baik

berupa penderitaan fisik maupun penderitaan psikis.

Sementara itu, Freud (Humaeni, 2015 :72) berpendapat bahwa ungkapan

larangan atau tabu dan pamali dalam masyarakat baduy tidak mempunyai dasar

pembenaran dan asal-usulnya tidak diketahui. Pembatasan-pembatasan tabu

berbeda dengan larangan-larangan agama atau moral. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

ungkapan larangan atau tabu ini tidak terlacak dapa firman Tuhan atau wahyu Tuhan

seperti yang tertera dalam kitab-kitab-Nya, tapi pembatasan-pembatasan tabu itu

sendiri betul-betul ada dan memaksakan seluruh anggota masyarakat yang

mempercayai tabu tersebut.

Berdasarkan pendapat Freud tersebut, dapat dimpulkan bahwa ungkapan

tabu tidak sama dengan larangan agama, juga berbeda dengan larangan moral yang

dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat sebagai suatu sistem yang mengikat

mereka dalam tatanan kehidupan sosialnya. Larangan moral memiliki alasan dan
85

dasar yang jelas kenapa sesuatu dibolehkan atau tidak dibolehkan, sedangkan makna

tabu tidak memiliki landasan dan alasan yang jelas kenapa sesuatu itu dilarang.

Walaupun kegunaan dan fungsi tabu sama dengan larangan moral, akan tetapi

ungkapan tabu dihindari oleh seseorang yang meyakininya tanpa mereka sendiri

tahu atau mengerti kenapa sesuatu tersebut harus dihindari. Berdasarkan hal

tersebut, sangatlah jelas jika melakukan perbuiatan yang dilarang agama memiliki

konsekwensi dosa bagi para pelanggarnya sebagaiman tertera dalam firman Tuhan,

dan jika melakukan tindakan yang dilarang oleh hokum atau larangan moral

memiliki konsekwensi dikucilkan atau menjadi bahan pembicaraan masyarakat

karena larangan moral sudah menjadi kesepakatan dan kesadaran kolektif anggota

masyarakat tersebut, sedangkan melanggar pantangan atau tabu akan membawa

konskewensi yang masih bersifat samar, supernatural dan tanpa diketahui kapan

sanksi dari pelanggaran tersebut akan menimpa pelanggar tabu.

Merujuk pada pendapat yang disampaikan para ahli dalam berbagai konsep

mengenai makna tabu. Menurut hemat penulis, nampaknya agak susah memasukan

ungkapan pamali dalam masyarakat baduy ke dalam larangan moral ataupun

larangan agama yang jelas akan landasan dan alasannya serta hukumannya atau

sanksinya. Akan tetapi, jika merujuk pada hukuman yang diberikan kepada

pelanggar tabu/pamali tersebut, kecenderungan ungkapan tabu atau ungkapan

pamali yang berlaku di masyarakat baduy lebih mendekati kepada larangan moral

karena sanksi atau hukumannya akan manjadi pergunjingan di masyarakat baduy

atau dikucilkan walaupun pada akhirnya akan mendapatkan sanksi langsung dari

puun.

Sementara itu, berbeda dengan ahli sebelumnya, Weber mengaitkan konsep

tabu dengan kekuatan magic dan makhluk gaib seperti ruh dan jin (Humaeni, 2015
86

: 74). Menurutnya dimanapun kepercayaan terhadap roh-roh berkembang, diyakini

bahwa kejadian-kejadian ganjil dalam kehidupan masyarakat itu disebabkan oleh

masuknya mahluk-mahluk gaib tersebut ke dalam tubuh seseorang. Seseorang yang

kerasukan ruh-ruh, konsekwensinya akan dijauhi secara fisik dan secara sosial dan

dia harus menghindari kontak dengan yang lain. Lebih lanjt Weber menjelaskan

bahwa do’a dari seorang ahli magis yang kharismatik juga bisa menyebabkan suatu

benda atau seseorang dilabeli sebagai tabu. Oleh sebab itu, kontak dengan seorang

pemilik tabu baru akan menimbulkan magic jahat, karena tabu yang dimilikinya

akan terpancarkan kepada orang yang melakukan kontak dengannya. Lebih lanjut

Weber menjelaskan bahwa tabu ada dan berkembang untuk kepentingan ekonomi,

politik, status, prestise, dan privilege dari seseorang atau golongan tertentu, untuk

mempertahankan kepentingan dan otoritas mereka di masyarakat.

Berdasarkan pendapat yang disampaikan para ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa ungkapan pamali yang dipercayai dan diyakini masyarakat

baduy termasuk ke dalam ungkapan larangan. Walaupun ungkapan larangan

tersebut tidak termasuk ke dalam ungkapan larangan agama dan ungkapan larangan

moral yang disampaikan oleh para ahli karena ungkapan larangan/pamali (tabu)

yang berlaku dijalankan oleh masyarakat baduy tidak memiliki landasan dan alasan

yang masuk akal. Akan tetapi, jika ditinjau dari hukuman atau sanksi maka

ungkapan pamali di masyarakat baduy termasuk ke dalam larangan moral dan

larangan agama, karena pelanggaran terhadap aturan-aturan yang dilarang oleh

puun akan mendapatkan sanksi yang setimpal dengan kualitas dan kuantitas

pelanggarannya, bahkan pelanggar akan mendapatkan sanksi moral berupa

pengucilan dari masyarakat baduy secara umum.


87

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan dan pembahasan penelitian berkait dengan ungkapan pamali

di masyarakat Baduy, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

A. Simpulan

1. Ungkapan pamali/tabu atau dalam bahasa secara umum ungkapan larangan yang

berlaku dan dilaksanakan secara aktif oleh masyarakat baduy merupakan aturan

hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun menurun melalui

bahasa lisan. Ungkapan pamali tersebut tidak terdokumentasikan seperti halnya

Alqur’an, kitab, atau ajaran-ajaran lain yang dibukukan. Masyarakat baduy hanya

memperoleh dari lisan yang disampaikan oleh para pendahulunya. Akan tetapi,

walau hanya berupa ajaran/aturan lisan, seluruh anggota masyarakat baduy

melaksanakan dengan baik dan sungguh-sungguh. Bahkan mereka sangat takut

untuk melanggar aturan tersebut.

2. Secara umum, ungkapan pamali yang berlaku di masyarakat baduy terbagi ke

dalam tiga kategori besar yaitu a) ungkapan pamali yang berkaitan dengan

pengelolaan lahan pertanian, b) ungkapan pamali yang berkaitan dengan aturan

hidup bermasyarakat, dan c) ungkapan pamali yang berkaitan dengan aturan dalam

pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan. Masing-masing aturan tersebut

memiliki sub/bagian-bagian tersendiri. Berdasarkan temuan hasil penelitian

ungkapan pamali yang berkaitan dengan pengelolaan lahan pertanian memiliki 25

(dua puluh lima) ungkapan pamali yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh

masyarakat baduy. Sementara itu, ungkapan pamali berkaitan dengan aturan hidup
88

bermasyarakat memiliki 34 (tiga puluh empat) ungkapan pamali, dan ungkapan

pamali yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan dan lingkungan

memiliki 11 (sebelas) ungkapan pamali. Temuan-temuan ungkapan pamali

tersebut penulis peroleh pada saat berdiskusi/ngobrol dengan sumber data ketika

penulis berinteraksi langsung di rumah atau di lingkungan baduy.

Temuan-temuan tersebut hanya sebatas yang penulis peroleh apa adanya pada saat

berdiskusi atau ngobrol sore dan malam karena terkadang mereka tidak mau

menyampaikan informasi terlalu banyak dengan alasan teu meunang ku aturan dan

pamali, sehingga hal ini berdampak pada perolehan data penelitian yang penulis

dapatkan. Akan tetapi, penulis bersyukur dan merasa senang luar biasa karena

memang tidak mudah mengorek informasi dari komunitas adat baduy.

B. Saran

Setelah melaksanakan penelitian di masyarakat adat baduy, penulis merasakan

kepuasan yang luar biasa, tetapi juga mendapatkan tantangan yang tidak sedikit. Untuk itu,

ada beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan sebagai acuan para peneliti berikutnya,

antara lain :

1. Data penelitian yang penulis peroleh belum tergali secara maksimal dan

optimal karena keterbatasan waktu yang dimiliki penulis tidak bisa tinggal

lama di baduy karena harus melaksanakan aktivitas lain di kampus. Untuk itu,

jika para peneliti yang akan datang mau meneliti tentang hal-hal yang terkait

dengan masyarakat baduy sebaiknya menyediakan waktu yang cukup malah

jika memungkinkan untuk tinggal dan ikut serta dalam aktivitas keseharian

masyarakat baduy, penulis merasa yakin jika turut serta dalam aktivitas

tersebut maka data penelitian akan jauh lebih banyak diperoleh.


89

2. Masyarakat baduy adalah masyarakat yang masih memegang teguh aturan

yang sudah lama diwariskan/diturunkan oleh para pendahulunya, maka

seyogyanya ketika mengambil data penelitian harus menjaga tata krama yang

berlaku di baduy agar mereka tidak tersinggung dan merasa disakiti.

3. Penelitian yang penulis lakukan ini masih jauh dari sempurna dan masih

banyak data yang belum tergali, maka disilahkan kepada para peneliti yang

akan datang untuk mencari hal-hal lain yang belum banyak diteliti para peneliti

lain.
90

DAFTAR PUSTAKA

Burridge, Kate dan Allan, Keith. 2006. Forbidden Words. New York: Cambridge
University Press.

Chaer, Abdul. 1995. Sosilinguitik. Jakarta: Rineka Cipta.

------------------.2009. Sosilinguitik. Jakarta: Rineka Cipta.

Emzir. 2007.MetodologiPenelitianPendidikan.Jakarta : PT. RajagrafindoPersada.

---------- 2010. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.

Frazer, Sir James George. 1980. Taboo And The Perils Of The Soul. Hongkong:
The Macmillan Press Ltd.

Kemendikbud, 2011. Pemberdayaan Bahasa Indonesia Memperkukuh Budaya


Bangsa Dalam Era Globalisasi. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kemendikbud

Koentjaraningrat. 2009. Ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. “Bahasa dan Linguistik” dalam Pesona Bahasa. Edit oleh
Kushartanti. Jakarta: Gramedia. 2007. Hal. 7.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

--------------------. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguitik. Jakarta : Visipro

Rodman, Robert.,1988. An Introduction to Language USA: The Dryden Press.

Satjadibrata, R. 2005. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat

Smith F. Anthony, 2007. The Taboos Of Leadership. San Francisco: Wiley

Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____dan Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijana, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik;KajianTeoridanAnalisis Yogyakarta:


PustakaPelajar.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai