Anda di halaman 1dari 19

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION) SEHUBUNGAN DENGAN

PERMASALAHAN PENCABUTAN IZIN USAHA PT GADJAH MADA


COAL DAN HUBUNGAN KERJASAMA PT GADJAH MADA COAL
DENGAN PT JOHA TAMBANG DAN PT BERINGIN TAMBANG

Kompetisi Legal Opinion

Gadjah Mada Business Law Competition 2022

Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh:
Tim 011

2022
FR-FH-18.Rev.1

SURAT KETERANGAN DELEGASI

Dengan ini kami menyatakan bahwa nama-nama yang tercantum di bawah ini adalah benar
merupakan delegasi dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara untuk mengikuti kegiatan
Kompetisi Legal Opinion Gadjah Mada Business Law Competition 2022 Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.

No. Nama NIM Status

1. Andryan Liandi 205200269 Ketua Delegasi

2. Juan Matheus 205200078 Anggota Delegasi

3. Patricia Louise Sunarto 205190177 Official

Menyetujui,

Dekan/Wakil Dekan, Ketua Delegasi,

Prof. Dr. Amad Sudiro, S.H., Andryan Liandi


M.H, M.M., M.Kn.
NIDN 0307026701 205200269
Ref: 06/L&P/LO/IV/2022 20 April 2022

Kepada Yth.
Direktur Utama
PT Gadjah Mada Coal
di tempat
UP. Board of Directors
Perihal:

Pendapat Hukum (Legal Opinion) Sehubungan dengan Permasalahan


Pencabutan Izin Usaha PT Gadjah Mada Coal dan Hubungan Kerjasama PT
Gadjah Mada Coal dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang

Dengan Hormat,

Kami yang bertandatangan di bawah ini, Andryan Liandi, S.H., M.H. dan Juan
Matheus, S.H., M.H., konsultan hukum dari kantor hukum Liandi & Partners yang
telah ditunjuk dan dimintakan untuk menyampaikan pendapat hukum (legal opinion)
mengenai permasalahan pencabutan izin usaha dari PT Gadjah Mada Coal dan
permasalahan hubungan kerjasama dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin
Tambang yang sedang dihadapi oleh PT Gadjah Mada Coal.

A. Summary Perkara
Kasus ini bermula pada tahun 2021 saat terjadinya krisis batubara di Indonesia
yang membuat pemerintah berupaya untuk mengatasi krisis tersebut melalui
Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021, pemerintah
menetapkan persentase penjualan batubara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic
Market Obligation (DMO)) sebesar 25% dari rencana jumlah produksi batubara
tahunan untuk wajib dipenuhi oleh pemegang IUP/IUPK atau Perjanjian Karya
Perusaha Pertambangan Batubara (PKP2B). Pada tahun 2022, pemerintah kembali

1
menegaskan kebijakan DMO melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 dan
keterangan Presiden pada 6 Januari 2022 yang memerintahkan pencabutan 2078 izin
usaha pertambangan yang tidak produktif melalui Satuan Tugas Penataan Penggunaan
Lahan dan Penataan Investasi yang akan memberi rekomendasi pencabutan izin
kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM. Pada tanggal 4 April 2022, PT Gadjah
Mada Coal menjadi salah satu dari 1033 perusahaan batubara yang izin
pertambangannya dicabut. Pencabutan izin yang dilakukan terhadap PT GMC telah
mendatangkan permasalahan dan kerugian terhadap kegiatan usahanya termasuk
hubungan kerjasama dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang. Kedua
badan usaha tersebut merasa dirugikan akibat pencabutan izin yang dialami oleh PT
GMC dan menganggap PT GMC telah mengingkari kewajiban yang disepakati dalam
kerjasama mereka. Menanggapi pencabutan izin yang dilakukan terhadapnya, PT
GMC bersurat kepada Kementerian ESDM pada 18 April 2022. Alasan keberatan PT
GMC dalam upaya yang dilakukannya tersebut adalah dari adanya pandemi
COVID-19 yang menyebabkan PT GMC mengalami kerugian hingga mengganggu
kestabilan keuangan perusahaan sehingga berdasarkan kajian internal perusahaan
yang dilakukannya pada pertengahan tahun 2021, PT GMC memutuskan untuk
berfokus pada kegiatan ekspor dalam rangka mengembalikan stabilitas keuangan
perusahaan. Namun, hingga saat ini tidak ada tanggapan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Kementerian ESDM. PT GMC hingga sebelum pencabutan izin telah
menjalankan izin yang diberikan kepadanya secara produktif, menjalankan izin
tersebut sesuai dengan peruntukan dan peraturan yang ada, serta melaporkan RKAB
secara berkala.

B. Fakta-Fakta dan Kronologi (Facts)


Berdasarkan keterangan dan berkas pemeriksaan yang telah kami baca, kami
menemukan beberapa fakta, antara lain:

2
F.1 PT Gadjah Mada Coal (“PT GMC”) merupakan perusahaan yang didirikan sesuai
hukum Indonesia yang berkedudukan di Jalan Lubuk Beringin Nomor 138, Manggul,
Kecamatan Lahat, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan;
F.2 PT GMC berdiri pada tahun 1984 sesuai dengan Akta Pendirian Nomor 04 tanggal 08
Mei 1984 yang dibuat oleh Biru Tjandra, S.H., Notaris di Lahat sesuai dengan
Anggaran Dasar Perusahaan dan telah mendapatkan pengesahan Departemen
Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No.X.A.5/515/20 pada 15
Mei 1984 yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 20
September 1984 Nomor 11 Tambahan Nomor 106;
F.3 PT GMC memiliki komposisi saham penanaman modal asing yang terdiri atas PT
Bridgerton Resources TBK (Indonesia) sebesar 25%, PT Bulaksumur Coal
(Indonesia) sebesar 26%, Toro Investments (Jerman) sebesar 18%, dan Shire
Investments Limited (Belanda) sebesar 31%;
F.4 Pada 02 Oktober 1984 PT GMC masuk ke dalam PKP2B dan memiliki hak untuk
melakukan eksplorasi, produksi, dan pemasaran batubara di wilayah yang
diperjanjikan, yakni daerah seluas 80.000 ha di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera
Selatan hingga tahun 2021;
F.5 Bahwa pada 2021, PT GMC mendapatkan perpanjangan izin PKP2B dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (“Kementerian
ESDM”) dalam bentuk IUPK;
F.6 Bahwa dalam melaksanakan kegiatan usaha jasa pertambangan, PT GMC bekerja
sama dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang;
F.7 Bahwa pada 4 April 2021, IUPK yang dimiliki oleh PT GMC dicabut oleh
Kementerian Investasi/Kepala BKPM;
F.8 Bahwa pada 18 April 2022, PT GMC bersurat kepada Kementerian ESDM yang
berisikan alasan keberatan pencabutan IUPK yang menyebabkan PT GMC
mengalami kerugian hingga mengganggu kestabilan keuangan perusahaan. Namun,

3
hingga saat ini tidak ada tanggapan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh
Kementerian ESDM tentang surat keberatan yang telah disampaikan oleh PT GMC;

C. Permasalahan (Issues)
Berdasarkan keterangan yang diberikan, maka kami akan menguraikan secara
berurutan terkait permasalahan-permasalahan hukum sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahan pencabutan IUP/IUPK yang dilakukan oleh pemerintah?
2. Apakah pencabutan izin terhadap PT GMC yang menyebabkan PT GMC tidak dapat
memenuhi tanggung jawab yang telah disepakati bersama dengan PT Joha Tambang
dan PT Beringin Tambang dapat dikategorikan sebagai force majeure atau
wanprestasi?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh PT GMC untuk penyelesaian perkara kasus
tersebut?

D. Penelusuran Regulasi Hukum dan Dokumen yang Berkaitan (Rules)


Berdasarkan fakta dan permasalahan di atas, kami mendasarkan Pendapat Hukum
ini pada sejumlah peraturan, yakni:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”);
2. Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”);
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (“UU PTUN”);
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“UU AAPS”).
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (“UU Adm
Pemerintahan”);

4
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dan Perubahannya sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2020 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (“UU Minerba”);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Mineral dan Batubara (“PP 96/2021”);
9. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan
Lahan dan Penataan Investasi (“Keppres 1/2022”);
10. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25
Tahun 2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang
Pertambangan Mineral dan Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (“Permen ESDM
19/2020”);
11. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian
Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar
Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad)
(“Perma 2/2019”);
12. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
13.K/HK.021/MEM.S/2022 tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif,
Pelarangan Penjualan Batubara Ke Luar Negeri dan Pengenaan Denda Serta Dana
Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri (“Kepmen ESDM
13/2022”);
13. Akta Pendirian Nomor 04 Tanggal 08 Mei 1984 beserta Anggaran Dasar Perusahaan
milik PT GMC;
14. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Gadjah Mada Coal;
15. Kontrak kerjasama PT GMC dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang;
16. Surat Keputusan Pencabutan IUPK PT Gadjah Mada Coal.

Pendapat hukum ini kami berikan atas dasar asumsi, kualifikasi, dan batasan:

5
1. Bahwa dalam memberikan legal opinion ini dilakukan dengan menganalisis dan
menginterpretasikan secara seksama dan teliti sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia dan hukum
internasional sebagaimana diuraikan dalam pendapat hukum ini;
2. Bahwa dalam memberikan legal opinion ini kami mendasarkan kepada fakta
hukum yang ada dan ketiadaan suatu dokumen yang tidak pernah kami ketahui,
memungkinkan analisis pendapat hukum ini berubah; dan
3. Bahwa semua peraturan yang diteliti terbatas hanya sampai pada tanggal pendapat
hukum ini dibuat.

E. Analisis dan Opini Hukum (Analysis)


Untuk menjawab pokok-pokok permasalahan hukum yang telah diuraikan di atas,
maka kami akan menjabarkan pendapat hukum kami sebagai berikut:
1. Argumen Bahwa Pencabutan IUPK PT GMC oleh Pemerintah Tidak Sah dan
Cacat Secara Hukum
Bahwa berdasarkan Pasal 52 UU Adm Pemerintahan, syarat sahnya keputusan
pejabat pemerintah haruslah memenuhi tiga syarat, yaitu dibuat oleh pejabat
yang berwenang, memenuhi prosedur pembuatan ketika dibuat, dan substansinya
sesuai dengan objek keputusan. Selain itu, sahnya suatu keputusan wajib
didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) sehingga untuk mengetahui sah atau tidaknya
keputusan pencabutan IUPK oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM yang
disengketakan haruslah diuji berdasarkan 3 syarat tersebut.
a. Surat Keputusan Pencabutan IUPK PT GMC Cacat Dari Segi Kewenangan
Berdasarkan fakta yang terungkap, IUPK milik PT GMC dicabut oleh Menteri
Investasi/Kepala BKPM. Pasal 1 angka 38 UU Minerba menyebutkan bahwa Menteri
ESDM adalah menteri yang berwenang untuk mengurusi bidang batubara. Dalam
Pasal 117 UU Minerba diatur bahwa salah satu alasan IUPK dapat berakhir adalah
karena dicabut, sedangkan Pasal 119 UU Minerba menyebutkan salah satu alasan

6
IUPK dapat dicabut oleh Menteri ESDM adalah pemegang IUPK tidak memenuhi
kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa memang yang berhak untuk mencabut IUPK adalah
Menteri ESDM, bukanlah Menteri Investasi/Kepala BKPM, seperti apa yang telah
ditentukan dalam Pasal 3 huruf b Keppres 1/2022. Kewenangan Menteri ESDM untuk
mencabut IUPK merupakan sebuah bentuk dari kewenangan atribusi berdasarkan
Pasal 1 angka 22 UU Adm Pemerintahan (wewenang yang diberikan oleh
badan/pejabat pemerintahan oleh UUD NRI 1945 atau UU). Dalam hal Menteri
Investasi/Kepala BKPM dapat mencabut IUPK diperlukan adanya kewenangan
delegatif (pelimpahan kewenangan oleh badan/pejabat pemerintahan yang lebih tinggi
ke badan/pejabat pemerintahan yang lebih rendah). Pengaturan tentang kewenangan
delegasi sendiri diatur di dalam Pasal 12 UU Adm Pemerintahan, di mana sebagai
salah satu cara pendelegasian wewenang adalah melalui penetapan dalam peraturan
pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan daerah. Berdasarkan fakta yang
terungkap, Menteri Investasi/Kepala BKPM tidak mendapatkan kewenangan delegasi
sesuai yang telah ditetapkan dalam UU Adm Pemerintahan karena hanya diatur
melalui Keppres 1/2022. Meskipun terdapat Permen ESDM 19/2020 yang mengatur
pendelegasian kewenangan pengakhiran IUPK dari Menteri ESDM kepada Menteri
Investasi/Kepala BKPM. Bila merujuk kepada UU Adm Pemerintahan maka
pendelegasian wewenang tidak dapat dilakukan oleh peraturan menteri. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Menteri Investasi/Kepala BKPM tidak
berwenang dalam melakukan pencabutan IUPK PT GMC atau dapat disebut
cacat kewenangan.
b. Surat Keputusan Pencabutan IUPK PT GMC Cacat dari Segi Prosedural
Dalam Pasal 185 hingga Pasal 188 PP 96/2021 jo. Diktum Kesatu Kepmen
ESDM 13/2022 mengatur bahwa apabila terjadi pelanggaran administrasi oleh pelaku
usaha, maka mereka wajib diberi peringatan tertulis terlebih dahulu sebanyak 3 kali
dengan rentan waktu masing-masing peringatan sepanjang 30 hari kalender. Lalu

7
apabila peringatan tersebut tidak dihiraukan, maka dikenakan sanksi penghentian
sementara sebagian atau keseluruhan kegiatan pertambangan selama 60 hari kalender
sejak peringatan tertulis terakhir berakhir. Apabila pelaku usaha tetap tidak
melakukan kewajibannya maka sanksi pencabutan IUPK barulah dapat diberikan
kepada pelaku usaha. Maka apabila melihat dari tanggal pembentukan Satuan Tugas,
yaitu tanggal 20 Januari, pencabutan IUPK paling cepat baru bisa dilakukan ketika
pada Juni 2022. Selain dari prosedur yang telah dijabarkan melalui PP 96/2021, pada
Pasal 55 UU Adm Pemerintahan mensyaratkan agar setiap keputusan diberi
pertimbangan berdasarkan alasan yuridis, sosiologis, dan filosofis sebagai dasar
penetapan keputusan. Lebih lanjut dalam Pasal 46 UU Adm Pemerintahan mengatur
bahwa badan/pejabat wajib mensosialisasikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan juga fakta-fakta
yang terkait terhadap penetapan keputusan. Terlebih lagi dalam setiap keputusan
badan/pejabat pemerintah wajib didasarkan kepada AUPB sesuai dengan Pasal 9 dan
10 UU Adm Pemerintahan. Dapat dikatakan bahwa dengan dilakukannya pencabutan
IUPK secara sporadik dan tanpa gradasi, hal tersebut telah melanggar asas tidak
menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, dan juga kepentingan umum.
Mengingat dalam pencabutan tersebut bukan hanya pelaku usaha yang terkena
dampak, tetapi para pekerja apabila harus dilakukan pemecatan massal dan juga
pendapatan negara atau pendapatan daerah akan menurun. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penerbitan keputusan pencabutan IUPK PT GMC dilaksanakan
tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam perundang-undangan
atau dapat disebut cacat prosedural. Merujuk pada isi Pasal 56 UU Adm
Pemerintahan, jika suatu Keputusan Badan/Pejabat Pemerintah yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang tidak memenuhi syarat, maka keputusan tersebut
merupakan keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan.
2. Argumen bahwa tindakan PT GMC tidak memenuhi prestasinya ke PT Joha
Tambang dan PT Beringin Tambang akibat izinnya dicabut sebagai wanprestasi

8
a. Tindakan PT GMC yang Tidak Memenuhi Tanggung Jawabnya Telah Memenuhi
Unsur Wanprestasi
Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Oleh karena itu,
semua pihak yang berkaitan harus melaksanakan kewajiban yang telah disepakati.
Berdasarkan fakta yang terungkap, pencabutan IUPK yang dimiliki oleh PT GMC
membuat PT GMC tidak dapat melakukan kewajibannya yang telah disepakati
bersama dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang. Dalam menentukan
apakah pencabutan izin terhadap PT GMC yang menyebabkan PT GMC tidak dapat
memenuhi tanggung jawab dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar (force
majeure) atau wanprestasi, maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu unsur-unsur
dari wanprestasi itu sendiri. Wanprestasi adalah kegagalan untuk memenuhi
kewajiban yang sudah diperjanjikan. Terdapat 3 unsur yang harus terpenuhi agar
suatu kondisi dapat dikatakan sebagai wanprestasi, yakni adanya perjanjian yang sah,
adanya kesalahan, dan kerugian. Unsur “adanya perjanjian yang sah” merupakan
salah satu syarat sahnya sebuah kesepakatan yang dilakukan. Berdasarkan fakta yang
terungkap dalam menjalankan kegiatannya, PT GMC bekerjasama dengan PT
Joha Tambang dan PT Beringin Tambang untuk melaksanakan kegiatan usaha
jasa pertambangan. Yang dimaksud unsur “kesalahan” adalah adanya pihak yang
melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama. Berdasarkan fakta yang
terungkap, PT GMC tidak berhasil memenuhi prestasinya kepada PT Joha
Tambang dan PT Beringin Tambang sehingga tindakan tersebut melanggar
kesepakatan yang telah diperjanjikan. Unsur “kerugian” dapat berarti ada salah
satu pihak yang dirugikan. Berdasarkan fakta yang terungkap, ketidak terpenuhinya
kewajiban akibat dicabutnya izin pertambangan PT GMC menimbulkan
kerugian bagi PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang.
b. Tindakan Wanprestasi PT GMC Tidak Disebabkan oleh Force Majeure

9
Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya sebuah wanprestasi, yakni keadaan
kahar (force majeure), kelalaian dari salah satu pihak, dan ada pihak yang sengaja
melanggar perjanjian. Force majeure merupakan suatu keadaan setelah dibuatnya
perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut Pasal
1244 dan 1245 KUH Perdata, ada unsur yang harus dipenuhi untuk suatu kondisi
dapat dikatakan sebagai force majeure seperti tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitur, tidak ada itikad buruk dari debitur, adanya keadaan yang tidak
disengaja oleh debitur, keadaan itu menghalangi debitur berprestasi, jika prestasi
dilaksanakan maka akan terkena larangan, keadaan di luar kesalahan debitur, debitur
tidak gagal berprestasi, kejadian tersebut tidak terduga oleh siapapun baik debitur
maupun pihak lain, dan debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
Peristiwa pencabutan IUPK milik PT GMC oleh pemerintah akibat tidak
terpenuhinya 25% kuota pemenuhan DMO batubara tidak dapat dikategorikan
sebagai force majeure karena kondisi tersebut dapat diduga sebelumnya. Hal ini
terlihat dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Minerba yang menyatakan pemerintah
dapat menetapkan kebijakan pengutamaan batubara untuk kepentingan nasional.
Dalam Pasal 157-166 PP 96/2020 diatur mengenai kewajiban penyediaan suplai
batubara untuk kebutuhan dalam negeri melalui kegiatan pengendalian produksi dan
penjualan minerba baik melalui impor maupun ekspor. Selain itu, kebijakan
pemerintah terkait DMO bukan merupakan kebijakan di bidang moneter yang dapat
secara langsung menghambat pelaksanaan dari perjanjian antara PT GMC dengan PT
John Tambang dan PT Beringin Tambang sehingga dalil force majeure tidak dapat
digunakan sebagai alasan tidak terpenuhi kewajiban dari PT GMC.
3. Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh PT GMC terhadap pencabutan IUPK
oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM
a. PT GMC Dapat Melakukan Upaya Administratif
Pasal 48 UU PTUN dan Pasal 75 ayat (1) UU Adm Pemerintahan
memperbolehkan PT GMC untuk menyelesaikan permasalahan pencabutan izin

10
usahanya melalui proses administratif terlebih dahulu. Menurut penjelasan dari
Pasal 48 tersebut terdapat dua bentuk upaya administratif, yaitu keberatan dan
banding. Upaya keberatan administratif dapat diajukan secara tertulis oleh PT GMC
dalam waktu paling lama 21 hari kerja sejak diumumkannya keputusan pencabutan
tersebut kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM. yang menerbitkan keputusan
pencabutan IUPK sesuai Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU Adm Pemerintahan. Oleh
karena itu, PT GMC seharusnya menyuratkan keberatannya kepada Menteri
Investasi/Kepala BKPM bukan Menteri ESDM. Apabila PT GMC tidak puas
dengan hasil keberatan tersebut, maka dapat mengajukan upaya banding
administratif. Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU Adm Pemerintahan Upaya
banding administratif dapat diajukan oleh PT GMC dalam waktu paling lama 10 hari
kerja sejak keputusan upaya keberatan administratif diterima secara tertulis kepada
Presiden RI selaku atasan dari Menteri Investasi/Kepala BKPM yang menetapkan
SK pencabutan IUPK
b. Melalui Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Convention on the Settlement of
Investment Disputes between States and Nationals of other States maka dalam
menyelesaikan perselisihan antara suatu negara dengan perorangan atau perusahaan
asing yang menanam modalnya di negara tersebut dapat dilakukan dengan jalan
damai atau alternatif penyelesaian sengketa. Berdasarkan hal tersebut maka PT GMC
dapat mengupayakan penyelesaian sengketa secara musyawarah atau melalui
upaya alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti mediasi, konsiliasi, dan
negosiasi sesuai UU AAPS untuk mendapatkan kembali IUPK milik PT GMC
sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
c. Melakukan Gugatan Terhadap Keputusan Pencabutan IUPK Ke Pengadilan Tata
Usaha Negara
Sebelum dapat mengajukan gugatan pencabutan keputusan ke PTUN, perlu dilihat
terlebih dahulu apakah keputusan yang dipermasalahkan dapat disebut sebagai obyek

11
sengketa di PTUN. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU PTUN, syarat suatu keputusan
tata usaha negara (KTUN) adalah tertulis, dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN,
berdasarkan peraturan perundang-undangan, bersifat konkret, final, individual, dan
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keputusan
pencabutan IUPK PT GMC oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM adalah KTUN
yang berbentuk tertulis, ditujukan kepada PT GMC, tidak bersifat abstrak, dan
tindakan faktual yang mengakibatkan IUPK PT GMC tidak berlaku lagi sehingga SK
pencabutan IUPK PT GMC tersebut telah memenuhi syarat sebagai obyek
sengketa PTUN. Apabila PT GMC sudah menempuh penyelesaian secara
administratif dan tidak menghasilkan keputusan yang diharapkan, maka sesuai Pasal
53 UU PTUN, PT GMC dapat mengajukan gugatan pembatalan terhadap
keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM ke PTUN dengan dalil SK tersebut
bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan AUPB. Sebagaimana
yang telah dipaparkan sebelumnya, dikarenakan keputusan pencabutan IUPK PT
GMC tidak sah, maka merujuk pada Pasal 66 UU Adm Pemerintahan, SK tersebut
dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan dikarenakan cacat hukum. Sesuai isi
Pasal 54 UU PTUN, PT GMC dapat mengajukan gugatan kepada PTUN Palembang
dimana selanjutnya dapat diteruskan kepada PTUN Jakarta, atau dapat langsung
diajukan kepada PTUN Jakarta (berdasarkan domisili kantor Menteri
Investasi/Kepala BKPM) dengan tenggang waktu pengajuan gugatan 90 hari atau
pada 3 Juli 2022 setelah dikeluarkannya keputusan pencabutan IUPK PT GMC.
Apabila setelah melalui proses pemeriksaan perkara dan pengadilan mengabulkan
tuntutan penggugat serta dengan menyatakan bahwa keputusan pencabutan IUPK
tidak sah, maka PT GMC memiliki dasar untuk mempertahankan hak hukum atas
IUPK yang dimilikinya. Selanjutnya, PT GMC dapat memintakan proses eksekusi
putusan yang paling lama dilakukan 21 hari kerja sejak putusan tersebut ditetapkan.
Dokumen yang perlu disiapkan untuk melakukan gugatan adalah surat gugatan,
surat kuasa khusus apabila menggunakan kuasa hukum, dan alat-alat bukti sesuai

12
Pasal 100 UU PTUN, yaitu surat-surat yang terkait seperti keputusan pencabutan
IUPK, dokumen keterangan ahli (affidavit ahli), serta dokumen keterangan saksi.
Perkiraan proses litigasi akan memakan waktu selama 3-4 bulan.
d. Melakukan Gugatan Perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum yang
dilakukan Pemerintah ke PTUN
Pasal 87 UU Adm Pemerintahan memperluas makna objek sengketa gugatan dari
KTUN sebagai penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual yang dapat
diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pejabat Pemerintah yang dalam
melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan dan melakukan perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi warga negara, maka dapat digugat
ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam kasus ini, tindakan pencabutan IUPK milik
PT GMC secara langsung merupakan tindakan faktual dari SK pencabutan IUPK PT
GMC dan PT GMC dapat melayangkan gugatan pencabutan KTUN dilengkapi
dengan disertai ganti rugi sesuai Pasal 97 ayat (10) UU PTUN. Berdasarkan hal
tersebut maka PT GMC bisa melakukan gugatan atas kerugian yang dialaminya
secara perdata dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) oleh
Pemerintah selaku Penguasa (Onrechtmatige overheidsdaad/OOD). Berdasarkan
Pasal 1365 KUHPerdata ada 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk mengatakan
tindakan sebagai PMH, yaitu perbuatan melawan hukum, kesalahan, adanya
kerugian yang dialami, hubungan sebab akibat antara perbuatan (kausalitas) dan
kerugian. Terkait unsur ‘perbuatan melawan hukum”, dalam hukum perdata terdapat
doktrin yang mengatakan bahwa PMH tidak hanya pada pelanggaran peraturan tetapi
juga termaksud pada perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain, tidak sesuai
dengan kaidah tata susila, dan bertentangan dengan asas kepatutan, kehati-hatian
dalam hidup masyarakat. Sehingga dalam apabila dalam tindakan pejabat negara
ditemukan melanggar satu saja dari keempat kriteria yang telah disebut maka dapat
dikatakan tindakan tersebut melawan hukum. SK Pencabutan IUPK PT GMC telah
melanggar hukum sesuai penjelasan argumen 1. Untuk unsur ‘kesalahan’ telah jelas

13
bahwa penerbitan SK pencabutan IUPK PT GMC dikeluarkan tergesa-gesa dan tanpa
memperhatikan prosedur yang seharusnya diikuti sehingga pemerintah telah lalai dan
salah dalam penerbitan SK tersebut. Berikutnya unsur ‘kerugian’ dan ‘kausalitas’
sebagai dampak dari pencabutan IUPK PT GMC membuat PT GMC tidak dapat
melakukan produksi batubara selama 16 hari terhitung sejak 4 April 2022 dan PT
GMC juga telah dituntut ganti rugi oleh PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang
atas ketidakterpenuhi PT GMC memenuhi kewajibannya dikarenakan IUPK telah
dicabut sehingga jelas pencabutan IUPK PT GMC oleh Menteri Investasi/Kepala
BKPM telah secara langsung menimbulkan kerugian sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Dengan demikian, tindakan faktual Menteri Investasi/Kepala BKPM
melalui SK pencabutan tersebut merupakan tindakan PMH. Dalam Perma
2/2019, wewenang mengadili perkara Gugatan OOD dilimpahkan kepada PTUN. PT
GMC dapat mengajukan gugatan kepada PTUN Palembang dimana selanjutnya dapat
diteruskan kepada PTUN Jakarta berdasarkan Pasal 54 UU PTUN jo. Pasal 118 HIR
(Asas Sequitor Forum Rei), atau berdasarkan PTUN dimana obyek sengketa tersebut
berlaku berdasarkan Pasal 118 ayat (3) HIR (Asas Forum Rei Sitae). Dokumen yang
perlu disiapkan saat ingin melakukan gugatan adalah surat gugatan, surat kuasa
khusus apabila menggunakan kuasa hukum, dan alat-alat bukti sesuai dengan Pasal
100 UU PTUN jo. Pasal 164 HIR, yaitu surat-surat yang terkait seperti SK
pencabutan IUPK, kontrak kerjasama dengan PT Joha Tambang dan PT Beringin
Tambang, dokumen keterangan ahli (affidavit ahli), serta dokumen keterangan saksi.
Perkiraan proses litigasi akan memakan waktu selama 3-4 bulan.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi (Conclusion)


Setelah melakukan analisis berdasarkan dasar hukum terkait pokok permasalahan
yang ada maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Surat keputusan pencabutan IUPK milik PT GMC oleh Menteri Investasi/Kepala
BKPM tidak sah dan telah cacat hukum secara kewenangan dan prosedural karena

14
melanggar peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
2. Dikarenakan pencabutan ini dapat diduga sebelumnya sehingga tindakan PT
GMC yang tidak dapat memenuhi tanggung jawab yang telah disepakati dengan
PT Joha Tambang dan PT Beringin Tambang dapat dikategorikan sebagai
wanprestasi.
3. Untuk mendapatkan kembali IUPKnya agar dapat memenuhi tanggung jawab
maka PT GMC dapat melakukan beberapa tahapan upaya hukum, antara lain:
a. Upaya administrasi yang terdiri atas pengajuan keberatan ke Menteri
Investasi/Kepala BKPM dan pengajuan banding ke Presiden RI.
b. Upaya alternatif penyelesaian sengketa dengan melakukan mediasi, konsiliasi,
dan negosiasi.
c. Upaya mengajukan gugatan terhadap keputusan pencabutan IUPK PT GMC
dan mengajukan gugatan dengan dalil tindakan melawan hukum yang
dilakukan oleh penguasa ke PTUN yang disertai dokumen yang berkaitan.

Demikian pendapat hukum ini kami buat dengan sebenarnya selaku konsultan hukum
yang independen dan tidak terafiliasi dan atau terasosiasi dengan Pemerintah
Indonesia, PT GMC, PT Joha Tambang maupun PT Beringin Tambang. Oleh karena
itu, kami bertanggung jawab sepenuhnya atas pendapat hukum ini. Atas perhatiannya,
kami mengucapkan terimakasih.
Hormat kami,
Konsultan Hukum Senior Liandi & Partners

Andryan Liandi, S.H., M.H. Juan Matheus, S.H., M.H.

15
CamScanner
CamScanner

Anda mungkin juga menyukai