Anda di halaman 1dari 37

ALSA Legal Writing Competition

Local Chapter Universitas Udayana


2023
Team No. 010

Universitas Andalas

Legal Opinion

Advokat Pejuang Iklim Indonesia (PII)

Kuasa Hukum :
Eunike A. Napitupulu || Imelia Ermanda ||
Martin N. Situmeang

Kepada Masyarakat Pesisir Bali Utara

Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali


Nomor: 46.PII.LO.1010.VI.2023 Jakarta, 1 Juli 2023

Kepada
Yth. Masyarakat Pesisir Kabupaten Buleleng
Provinsi Bali
Di- Tempat

Perihal : Pendapat Hukum (Legal Opinion) terhadap kasus pencemaran


lingkungan akibat minyak yang dilakukan oleh PT. Mega Petro
Jaya (Persero) di perairan laut Bali Utara

Dengan hormat,
Kami, Dr. Martin Situmeang S.H., M.H., Eunike Agalia Napitupulu, S.H., M.H., Imelia
Ermanda, S.H., M.H., Advokat pada Organisasi Nirlaba PEJUANG IKLIM INDONESIA
(PII), beralamat di Jalan Dr. GSSJ Ratulangi No. 34, Kec. Menteng, Jakarta Pusat, Provinsi
DKI Jakarta, selaku kuasa hukum dari Masyarakat pesisir Kabupaten Buleleng berdasarkan
surat penunjukan konsultan hukum dengan nomor 34/PII/SPn/30/VII/2023 tanggal 29 Juli
2023.
Sehubungan dengan permohonan masyarakat pesisir Kabupaten Buleleng mengenai
pemberian pendapat hukum ( Legal Opinion ) terhadap dugaan pencemaran lingkungan akibat
tumpahan minyak yang dilakukan PT. Mega Petro Jaya (Persero) akibat kebocoran pada sumur
pengeboran milik mereka. Maka, kami sebagai konsultan hukum masyarakat Kabupaten
Buleleng menyampaikan Opini Hukum dengan didasarkan pada kualifikasi bahwa pendapat
hukum ini terbatas pada Hukum Republik Indonesia serta pendapat hukum ini diberikan
berdasarkan Hukum Republik Indonesia yang berlaku hingga tanggal diberikannya pendapat
ini dan sepanjang pengetahuan kami (the best of our knowledge). Kami sebagai Konsultan
Hukum dari Pejuang Iklim Indonesia menyampaikan opini hukum terkait hal-hal yang
dimaksud sebagai berikut:
I. Permasalahan
Adapun pokok permasalahan hukum yang dijadikan fokus dalam pembuatan opini
hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah upaya hukum yang dapat diajukan oleh masyarakat yang dirugikan dari
kebocoran minyak untuk melaporkan PT MPJ (Persero)?
2. Hal-hal apa saja yang perlu disiapkan oleh advokat Pejuang Iklim Indonesia (PII)
selaku wakil dari masyarakat untuk mengajukan tuntutan terhadap PT MPJ (Persero)?
3. Pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh PT MPJ (Persero) dan bagaimana bentuk
pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada PT MPJ (Persero) sebagai
konsekuensi dari pelanggaran yang telah dilakukan?

II. Bahan- Bahan Pendukung


1. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup milik PT MPJ (Persero);
2. Dokumen Perizinan Berusaha milik PT MPJ (Persero);
3. Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup;
4. Anggaran Dasar PT Mega Petro Jaya (Persero);
5. RUPS PT Mega Petro Jaya (Persero);
6. Surat Keputusan Komisaris tentang Keadaan Darurat Perusahaan.

III. Dasar Hukum


Dalam Opini Hukum ini kami telah menelusuri beberapa peraturan perundang-
undangan ataupun dasar hukum yang berkaitan dengan penyelesaian permasalahan di
atas sebagai berikut, yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
7. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut;
8. PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;
9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan, Pengaduan Dugaan Pencemaran dan/atau
Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan;
10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2021 tentang Tata Cara Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
11. Asas-asas hukum, doktrin hukum, serta teori hukum sebagai tambahan dasar hukum.

IV. Fakta Hukum dan Kronologis


1. Bahwa PT Mega Petro Jaya (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dengan kepemilikan saham oleh Negara Republik Indonesia sebesar 80%
saham dari jumlah saham PT MPJ. Perusahaan yang bergerak dalam bidang minyak
dan gas ini bertujuan pendirian mengejar keuntungan dan memperhatikan
kepentingan negara serta masyarakat;
2. Bahwa sejak tahun 1968, PT MPJ (Persero) sudah melakukan kegiatan eksplorasi dan
produksi minyak di berbagai wilayah Indonesia. Perusahaan ini juga telah
memberikan kontribusi yang signifikan dalam menyediakan pasokan energi nasional
dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia;
3. Bahwa pada tanggal 15 Juli 2022 telah terjadi kebocoran bersamaan dengan
keluarnya gelembung gas. Atas kejadian itu dugaan kuat penyebab kebocoran
dikarenakan anomali tekanan saat pengeboran sumur CCA-4 milik PT. MPJ (Persero)
yang terletak di sebelah selatan Pulau Madura, 21 Mil dari Pelabuhan Tanjung
Saronggi;
4. Bahwa setelah terjadi kebocoran gelembung gas menyebabkan menara pengeboran
mengalami kemiringan sekitar delapan derajat. Kejadian ini langsung ditangani
petugas PT MPJ (Persero). Namun, karena badai laut berintensitas tinggi
menghambat penanganan petugas PT MPJ ( Persero) sehingga gelembung gas gagal
untuk diredam yang mengharuskan petugas dievakuasi ke tempat aman;
5. Bahwa pada tanggal 18 dan 19 Juli 2022, lapisan minyak mulai muncul di atas
gelembung gas yang terus meluas dan terus berlanjut sampai pada tanggal 20 Juli
2022;
6. Bahwa pada tanggal 20 Juli 2022, akibat dari gelembung gas yang gagal diredam
mengakibatkan minyak dari sumur tumpah dan mencemari Laut Jawa ke arah timur
dan PT MPJ melakukan tindakan Oil Bloom sebagai teknik penanggulangan
tumpahan minyak yang harus dilakukan pertama kali ketika adanya tumpahan
minyak di perairan laut, namun tetap gagal akibat dari ketinggian ombak di laut
sebagai dampak dari badai yang terjadi;
7. Bahwa setidak-tidaknya pada tanggal 20 Juli 2022, PT MPJ (Persero) menyampaikan
keadaan darurat dan langsung berinteraksi dengan lembaga pemerintah terkait seperti
SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, TNI, Polri, Kemenko Bidang Kemaritiman, dan Basarnas;
8. Bahwa atas kejadian ini berbagai Non Governmental Organization (NGO) mencari
dan menyuarakan fakta-fakta yang mereka temukan. Salah satunya adalah arah angin
yang tidak terduga dan arus laut yang kuat menjadi pembawa tumpahan minyak ke
perairan dan pesisir Bali Utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng sehingga
memberikan dampak yang lebih buruk daripada di kawasan Laut Jawa;
9. Bahwa setidaknya terdapat dua puluh desa dan satu kelurahan dalam dua kecamatan
di Bali Utara yang berdampak besar dari tumpahan minyak ini di antaranya, Desa
Banyupoh, Celukan Bawang, Gerokgak, Musi, Patas, Pejarakan, Pemuteran,
Pengulon, Penyabangan, Sanggalangit, Sumberklampok, Sumberkima di Kecamatan
Gerokgak dan Desa Banjar Asem, Kalianget, Kalisa da, Lokapaksa, Pengastulan,
Sulanyah, Tangguwisia, Umeanyar, dan Kelurahan Seririt di Kecamatan Seririt;
10. Bahwa pada tanggal 15 Mei 2020 PT MPJ (Persero) telah melakukan
penandatanganan perjanjian asuransi dengan PT. Asuransi Industri Indonesia (AII)
yang berisikan perlindungan asuransi yang komprehensif untuk segala risiko yang
mungkin terjadi dalam operasional PT MPJ (Persero) dan keuntungan sebagai
penyedia layanan asuransi bagi PT AII;
11. Bahwa setelah terjadinya kebocoran minyak, PT MPJ (Persero) menganggap
kejadian ini sebagai Force Majeure dan terus berusaha untuk mengaktifkan klausul
asuransi mereka sesuai dengan perjanjian yang dilakukan PT MPJ (Persero) dengan
PT AII;
12. Bahwa isi perjanjian asuransi yang telah disepakati adalah sebagai berikut :
 Property insurance yang mencakup kerusakan atau kehilangan aset fisik pabrik
kilang, termasuk bangunan, peralatan, jaringan pipa, dan tangki penyimpanan.
 Liability Insurance, yang mencakup perlindungan dari klaim dan tuntutan
hukum atas cedera atau kerusakan yang mungkin timbul dari operasi kilang. Hal
ini mencakup pertanggungan untuk cedera tubuh pihak ketiga, kerusakan
properti, pencemaran lingkungan, dan tanggung jawab produk.
 Business interruption insurance, yang mencakup hilangnya pendapatan dan
biaya lain yang timbul selama waktu henti karena peristiwa yang ditanggung,
seperti kebakaran, bencana alam, atau kegagalan peralatan;
13. Bahwa Klaim atas Property insurance dan Business interruption insurance telah
dicairkan sedangkan klaim atas Liability insurance tengah dilakukan proses
renegosiasi oleh PT MPJ (Persero);
14. Bahwa PT AII sendiri menolak penyetujuan renegosiasi dikarenakan kejadian ini
terjadi karena kebocoran minyak telah meluas hingga ke perairan di luar domisili
pengeboran sumur CCA-4 milik PT MPJ (Persero) dan telah menimbulkan kerugian
yang signifikan terhadap daerah terdampak yakni Bali Utara sehingga hanya akan
membayar sesuai dengan perjanjian awal sebesar 15 miliar;
15. Bahwa atas kejadian pencemaran tumpahan minyak telah mengakibatkan kerugian
yang signifikan bagi lingkungan, ekonomi, serta kesehatan masyarakat. Kerugian
yang sangat besar terhadap lingkungan hidup masyarakat pesisir Perairan Bali Utara.
Tumpahan minyak ini telah mencapai lebih dari 3.000 barel/hari dengan volume 23
juta kubik per harinya sehingga menyebabkan rusaknya biota laut dan terancamnya
ekosistem laut secara keseluruhan;
16. Bahwa dampak yang paling terlihat akibat pencemaran ini adalah banyaknya ikan,
udang dan bandeng yang ditemukan mati di sekitar wilayah perairan yang tercemar
serta ditemukannya lima bangkai lumba-lumba akibat terkontaminasi oleh zat-zat
beracun dari minyak PT PMJ (Persero). Selain itu, berdampak juga bagi lingkungan
hidup dengan rusaknya 232.000 pohon bakau dalam 89,19 hektar hutan bakau;
17. Bahwa atas kandungan senyawa kimia beracun minyak bernama Hidrokarbon
Aromatik Polisiklik (HAP) berpotensi merusak permanen terhadap genetik makhluk
hidup laut serta merusak materi genetik yang menyebabkan mutasi genetik pada
spesies tersebut;
18. Bahwa selain berdampak kepada lingkungan hidup, pencemaran ini juga
mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat. Terutama masyarakat yang
tinggal di sekitar pesisir pantai yang berlangsung hidup dari usaha tambak dan
menjadi nelayan. Banyak nelayan yang mengalami kerugian karena tidak dapat
melakukan aktivitas penangkapan ikan serta tambak udang, bandeng dan garam
masyarakat di Bali Utara juga terkontaminasi minyak sehingga mengalami gagal
panen. Sejumlah tempat wisata juga harus ditutup pemerintah Buleleng yang
memperburuk kondisi ekonomi masyarakat;
19. Bahwa akibat pencemaran mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat,
tercatat hampir puluhan ribu orang mengalami mual, pusing, sesak nafas, batuk, dan
infeksi saluran pernapasan lainnya. Faktanya, tiga per empat populasi masyarakat
didiagnosis dengan penyakit Herpes Zoster atau cacar api akibat pencemaran
tumpahan minyak tersebut;
20. Bahwa Klien kami, Masyarakat Bali Utara tidak dapat melaporkan dan meminta
kejelasan kepada Komisi II DPRD Buleleng sebab tumpahan minyak awal terjadinya
berada pada daerah Madura, Jawa Timur dan bukan kewenangan mereka. Jika akan
melaporkan ke Komisi II DPRD Jawa Timur masyarakat Buleleng tidak memiliki
kewenangan maupun legal standing yang jelas;
21. Bahwa masyarakat Bali Utara sudah memberikan tiga kali surat somasi guna
meminta penjelasan dan pertanggungjawaban terkait peristiwa ini. Surat somasi
pertama dan kedua tidak terjawab oleh PT MPJ (Persero). Lalu pada surat somasi
ketiga, PT MPJ (Persero) berkenan memberikan penjelasan yang pada akhirnya
menyatakan bahwa PT. MPJ tidak bisa bertanggung jawab akibat asuransi dari PT
AII tak kunjung cair. PT MPJ sendiri seperti lepas tangan terhadap peristiwa ini dan
menyatakan bahwa PT AII yang berhak untuk bertanggung jawab atas kejadian ini.

V. Analisis Hukum dan Pendapat Hukum


Setelah memeriksa dan meneliti dokumen-dokumen terkait, dengan ini kami
memberikan Opini Hukum sebagai berikut:
1. Masyarakat yang Dirugikan dari Kebocoran Minyak dapat Menempuh
Upaya Hukum melalui Litigasi yang Berupa Upaya Administratif, Gugatan Ganti
Kerugian Perdata, dan/atau Tuntutan Pidana ke Pengadilan Negeri maupun Non
Litigasi.
PT MPJ (Persero) telah mencemari perairan lepas pantai selatan Pulau Madura
hingga perairan dan pesisir Bali Utara sejak dinyatakan terjadinya tumpahan minyak
pada tanggal 15 Juli 2022 dimana dampaknya terus mencemari wilayah laut dan pesisir
daerah tersebut hingga saat ini. Para masyarakat yang dirugikan tidak hanya merasakan
kerugian dari segi ekologis, namun juga dari segi finansial dan kesehatan dimana
masyarakat tersebut mengalami penurunan pendapatan dari kuantitas dan kualitas hasil
tambak sekaligus penyakit-penyakit yang datang karena terpapar minyak dari PT MPJ
(Persero). PT MPJ (Persero) telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, pihak dari PT MPJ seharusnya melakukan
penanggulangan dan pemulihan terhadap lingkungan yang sudah tercemar oleh limbah
pabrik tersebut. PT MPJ (Persero) merupakan badan usaha yang berbadan hukum dan
termasuk ke dalam subjek hukum yang diatur dalam UUPPLH, sehingga PT MPJ
(Pesero) harus menanggung segala tindakan yang menyebabkan pencemaran dan/atau
kerusakan yang terjadi di perairan dan pesisir Pulau Madura hingga Bali Utara.
Berdasarkan UUPPLH ada tiga jenis pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada
PT MPJ (Persero) meliputi sanksi administrasi, upaya hukum non litigasi, dan upaya
hukum litigasi dapat berupa gugatan perdata dan tuntutan pidana.
Upaya awal bagi masyarakat yang dirugikan dari tumpahan minyak PT MPJ
(Persero) adalah melalui upaya administratif. Berdasarkan Pasal 76 UU PPLH disebutkan
bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota dapat menerapkan sanksi administratif
kepada penanggung jawab usaha apabila ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan. Sanksi administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang
bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata
usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan atas
dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Perizinan
Berusaha atau Persetujuan Pemerintah. Pengaturan lebih lanjut mengenai sanksi
administratif ini dapat ditemukan dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dalam Pasal
508 terdapat jenis-jenis sanksi administratif yaitu berupa teguran tertulis, paksaan
pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan Berusaha; dan/atau pencabutan
Perizinan Berusaha.
Sanksi administratif yang berupa peringatan tertulis, paksaan pemerintah,
pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan harus diterapkan secara
berurutan, namun tidak menutup kemungkinan sanksi yang berupa paksaan pemerintah
diberlakukan terlebih dahulu tanpa adanya peringatan tertulis apabila pelanggaran yang
dilakukan menyebabkan ancaman serta dampak yang serius bagi manusia dan lingkungan
hidup serta kerugian yang sangat besar bagi lingkungan dan manusia apabila tidak segera
dihentikan. Dalam hal ini pencemaran minyak yang terjadi telah memberikan dampak
yang serius bagi manusia dan lingkungan hidup dibuktikan dengan banyaknya biota laut
yang mati akibat pencemaran minyak dan banyaknya masyarakat yang sakit setelah
terpapar oleh air laut yang terkena pencemaran tersebut. Maka dari itu KLHK dapat
memberikan langsung tindakan yang berupa paksaan pemerintah.
Selanjutnya mengenai sanksi administratif yang berupa denda administratif
dalam Pasal 514 Jo. Pasal 517 disebutkan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dapat dikenai denda administratif apabila karena kelalaiannya, melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya Baku Mutu Udara Ambien, Baku Mutu
Air, Baku Mutu Air Laut, baku mutu gangguan, dan atau Kriteria Baku Kerusakan
Lingkungan Hidup, yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait Persetujuan
Lingkungan yang dimilikinya. Dikaitkan dengan kasus tersebut PT MPJ (Persero) karena
kelalaiannya telah melampaui baku mutu air laut yang telah ditetapkan di dalam
Lampiran PP No. 22 Tahun 2021 dan Perizinan Berusahanya, hal ini terlihat dari adanya
penelitian mengukur kadar zat pencemar di perairan tersebut yang sampai dengan
kandungan 0,1 mg/L. Oleh karena itu, PT MPJ (Persero) dapat dikenakan denda
administratif akibat kelalaiannya.
Sanksi selanjutnya mengenai Pembekuan Perizinan Berusaha diatur dalam Pasal
521 PP No. 22 tahun 2021, dimana pembekuan izin berusaha ini dapat dilakukan apabila
penanggung jawab usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah, denda administratif,
dan/atau tidak membayar denda setiap keterlambatan atas pelaksanaan paksaan
pemerintah. Dikaitkan dengan fakta yang terjadi apabila kedepannya dilakukan
pengawasan terhadap PT MPJ (Persero) dan ditemukan bahwa perusahaan tersebut
tidaklah melaksanakan paksaan pemerintah, denda administratif dan/ atau tidak
membayar denda setiap keterlambatan atas pelaksanaan paksaan pemerintah, maka PT
MPJ (Persero) dapat dikenakan pembekuan perizinan berusaha.
Berikutnya adalah sanksi pencabutan perizinan berusaha di dalam Pasal 522 PP
No. 22 Tahun 2021, dimana penanggung jawab usaha jika dikaitkan dengan kasus adalah
PT MPJ (Persero) dapat dikenakan pencabutan perizinan usahanya apabila tidak
melaksanakan setiap sanksi administratif sebelumnya ditambah melakukan pencemaran
lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang tidak dapat ditanggulangi
atau sulit dipulihkan. Sejauh ini kasus pencemaran minyak di perairan Laut Jawa dan
Bali sepertinya masih dapat ditanggulangi dengan mencoba beberapa daya upaya yang
ditawarkan sehingga terhadap pasal ini apabila dikaitkan dengan kasus PT MPJ (Persero)
dapat dikenakan pencabutan berusaha apabila tidak melaksanakan sanksi administratif
yang diwajibkan sebelumnya.
Mengenai penerapan sanksi ini dapat dilakukan tahap kedua yakni melalui
Kementerian apabila dilihat nantinya Pemerintah Daerah secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengawasan pelaksanaan sanksi
administratif ini dilakukan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/wali kota.
Oleh karena terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat pada setiap pasal
yang mengatur mengenai sanksi administratif, maka terhadap PT MPJ (Persero)
ini dikenakan sanksi administratif sebagai upaya menanggulangi pencemaran
minyak yang terjadi di perairan Laut Jawa hingga Bali.
Mengenai pengenaan atas sanksi administrasi kepada PT MPJ (Persero) hanya
berfokus kepada penanggulangan dan pemulihan lingkungan yang terdampak oleh
pencemaran saja, untuk masyarakat yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti
kerugian melalui upaya non litigasi maupun litigasi. Berdasarkan UUPPLH, salah satu
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang dirugikan adalah dengan
melalui alternatif penyelesaian sengketa (non-litigasi), seperti negosiasi, mediasi,
ataupun konsiliasi yang dapat dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
Berdasarkan Pasal 85 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai penyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, dimana hal ini bertujuan untuk
menyepakati bentuk dan besarnya ganti rugi, pemulihan dan/ atau tindakan, dan tindakan
untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Apabila dalam hal penyelesaian sengketa melalui non litigasi tidak mencapai
kesepakatan, maka berdasarkan aturan yang diatur dalam Pasal 87, masyarakat yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata. Tindakan pencemaran minyak yang
dilakukan oleh PT MPJ (Persero) menyebabkan kerugian bagi masyarakat yang terdapat
di Pesisir Bali Utara. Tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan
hukum yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1366, dimana bunyi pasal tersebut adalah :
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.” Perbuatan melawan hukum memiliki unsur-unsur yang
wajib dipenuhi untuk dapat suatu peristiwa dikatakan sebagai perbuatan melawan
hukum, yaitu perbuatan harus bersifat melawan hukum, terdapatnya kesalahan pada
pelaku, timbulnya kerugian, serta terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dengan
kerugian.1 Unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Harus ada suatu perbuatan melawan hukum, bahwa sejak Lindenbaum Vs Cohen
Arrest (1919) terhadap kriteria baru mengenai perbuatan melawan yang semula
hanya perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang atau

1
Wau, H. S. M., Azwar, T. K. D., Yefrizawati, Y., & Barus, U. M, “Pertanggungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta yang Keliru (Studi Putusan MA Nomor 628 K/PDT/2020”), JURNAL MERCATORIA, 15(1),
10–18 (2022), hal. 4, https://doi.org/10.31289/mercatoria.v15i1.6243 diakses 30 Juni 2023
peraturan kemudian diperluas mencakup : “Suatu perbuatan yang walaupun tidak
bertentangan dengan hukum apabila ternyata bertentangan dengan kepatutan
dalam pergaulan masyarakat”.
Definisi perbuatan melawan hukum menurut M.A Moegini Djodjodirdjo di dalam
bukunya yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum adalah kealpaan berbuat, yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang. 2 Oleh
karena itu, apabila dikaitkan dengan fakta kasus atas tindakan yang dilakukan PT
MPJ (Persero) dalam melakukan pencemaran minyak terhadap perairan Laut Jawa
hingga Bali merupakan perbuatan melawan hukum karena di dalamnya melanggar
hak masyarakat dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan
bertentangan dengan kewajiban hukum perusahaan dalam bertanggung jawab
terhadap pelestarian lingkungan sekitarnya.
b. Harus ada kerugian yang diderita, kerugian yang disebabkan oleh perbuatan
melawan hukum dapat berupa kerugian materiil maupun non materiil yang nyata-
nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh. Kerugian non materiil
merupakan kerugian yang bersifat psikologis, misalnya: ketakutan, sakit atau
kehilangan kesenangan hidup serta terganggunya aktivitas akibat dari perbuatan
orang lain tersebut yang bisa dinilai dengan uang.
Berdasarkan fakta, masyarakat pesisir Bali Utara secara materiil dirugikan atas
pencemaran minyak yang dilakukan oleh PT MPJ (Persero) terutama bagi nelayan
dan pemilik tambak udang, bandeng, dan garam yang mencari penghasilan untuk
bertahan hidup lewat hal tersebut telah kehilangan pendapatan mereka, bila
diperhitungkan dengan rincian pendapatan rata-rata Rp 80.000/hari. Selain itu juga
ada kerugian atas ditutupnya sejumlah tempat wisata pantai sebagai akibat dari
tumpahan minyak, jika diperhitungkan dengan rincian pendapatan rata-rata Rp
200.000/hari. Kerugian non materiil dapat diuraikan berdasarkan dampak
psikologis dan kesehatan masyarakat yang terganggu akibat pencemaran minyak
yang bisa dinilai dengan uang, dimana masyarakat khawatir dan sebagian
menunjukan gejala depresi dalam memikirkan tekanan bagaimana memenuhi

2
Djojodirdjo, M. A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat (aansprakelijkheid) Untuk
Kerugian Yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1982), [20].
kebutuhan hidup dan memberi makan keluarga mereka. Selain itu, kerugian juga
dialami terhadap kesehatan berpuluh-puluh ribu orang yang mengalami gejala
mual, pusing, sesak nafas, batuk dan infeksi saluran pernapasan lainnya akibat
dampak dari kebocoran minyak, bahkan sebagian didiagnosis terkena penyakit
cacar api yang dikatakan memiliki keterkaitan dengan pencemaran tumpahan
minyak tersebut. Mengenai kerugian non materiil ini apabila diperhitungkan adalah
mencapai hingga Rp 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah). Terhadap kerugian
materil dan non materiil tersebut secara nyata diketahui oleh umum (noteire feiten),
sehingga haruslah menjadi perhatian serius majelis hakim dalam memberikan
putusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat yang dirugikan.
c. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan;
Hubungan kausalitas terdiri dari beberapa sebab yang merupakan peristiwa,
sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya perbuatan, tetapi terdiri dari
beberapa syarat dari perbuatan. Hal ini sesuai dengan pendapat atau teori yang
dikemukakan oleh Von Buri, yaitu: Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu
perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat.
Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi
dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk
timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab. 3
Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan
hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan
yang sifatnya melawan hukum. Berdasarkan hal tersebut kerugian materil dan non
materiil masyarakat pesisir Bali Utara barulah terjadi sebagai akibat dari terjadinya
pencemaran minyak akibat kelalaian yang dilakukan oleh PT MPJ (Persero),
mengenai kerugian atas kesehatan masyarakat pesisir Bali juga dibuktikan dengan
surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa kandungan yang terdapat dalam
minyak mentah akibat pencemaran di laut merupakan penyebab dari setiap gejala-
gejala yang masyarakat rasakan karena terpapar zat beracun melalui saluran
pernapasan ataupun konsumsi ikan yang mengandung zat beracun hasil dari
pencemaran air laut dengan minyak mentah oleh PT MPJ (Persero).
d. Harus ada unsur kelalaian atau kekurang hati-hatian, kesalahan yang timbul harus
dapat diukur secara objektif harus dibuktikan bahwa manusia biasa dapat menduga

3
R.Setiawan.Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Bina Cipta, Bandung, 2007). [87].
kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah seseorang
untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan secara subjektif harus dibuktikan
bahwa pelaku memiliki keahlian untuk berbuat dan dapat menduga akibat
perbuatannya. (Tidak berbuat sesuatu yang seharusnya sehingga mengakibatkan
timbulnya kerugian). Dalam hal ini seharusnya PT MPJ (Persero) dapat
memperkirakan setiap kemungkinan dampak buruk yang terjadi beserta telah
memperhitungkan penanggulangan yang akan dilakukan apabila terjadi hal-hal
yang yang tidak diinginkan, seperti memperkirakan cuaca di laut sebelum
pengeboran sumur dilakukan atau memastikan prosedur pengeboran sudah
dilakukan secara maksimal, dan sebagainya.

Oleh karena terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum dari peristiwa


pencemaran minyak oleh PT MPJ (Persero), maka perusahaan tersebut diwajibkan
karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian yang terjadi di masyarakat
pesisir Bali Utara. Masyarakat yang dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan
ganti rugi materiil dan non materiil secara perdata sesuai dengan Pasal 87 UU
PPLH, yaitu : “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”Adapun Pengadilan yang berhak
menangani perkara ini adalah Pengadilan Negeri Sumenep, Jawa Timur, hal tersebut
karena mengacu kepada asas pengajuan gugatan, yaitu Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg,
dimana yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat
tinggal tergugat / letak objek sengketa, dimana dalam kasus ini tempat kedudukan
Tergugat yakni PT MPJ (Persero) adalah sebelah selatan Pulau Madura tepatnya di
Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur yakni wilayah yurisdiksi
Pengadilan Negeri Sumenep. Masyarakat yang dirugikan dapat mengajukan gugatan
secara berkelompok atau class action. Menurut Mertokusumo class action adalah
gugatan sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dalam satu perkara
yang diajukan oleh salah seorang anggota atau lebih dari kelompok tersebut tanpa
menyebut anggota-anggota kelompok tersebut satu demi satu.4 Class action ini diatur
dalam Pasal 91 UU PPLH dengan penggunaan istilah gugatan perwakilan kelompok.

4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Yogyakarta, 2002), [67].
Prosedur gugatan class action ini selanjutnya diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dimana syarat gugatan class action
haruslah terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum serta
tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompok serta jumlah pengajuan
gugatan sedemikian banyak sehingga tidak efektif apabila gugatan dilakukan secara
sendiri-sendiri.

Walaupun telah dilakukan upaya hukum berupa pengenaan sanksi administrasi,


negosiasi dan gugatan ganti kerugian, tidak menutup kemungkinan pencemaran
lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT MPJ (Persero) ini dapat dikenakan tuntutan
pidana sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh pelaku mempunyai sifat jahat. 5
Penegakan hukum pidana tidaklah berfungsi untuk memperbaiki lingkungan yang
tercemar, akan tetapi penegakan hukum pidana ini lebih kepada memberikan efek jera
kepada para pelaku pencemaran dan pengrusakan lingkungan. 6 Sanksi pidana ini sifatnya
subsidiaritas, artinya ketentuan pidana dapat diberlakukan apabila sanksi administrasi
dan perdata tidak efektif, tingkat kesalahan pelaku relative berat, akibat perbuatan relatif
besar dan/ atau perbuatan menimbulkan keresahan di masyarakat. 7 Tindak pidana yang
diatur dalam UU PPLH digolongkan sebagai delik biasa, artinya penyidik bersikap aktif
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan serangkaian tindakan
penyelidikan dan penyidikan, namun masyarakat di sini tetap dapat mengajukan laporan.
Pengajuan laporan tersebut diajukan kepada Kepolisian ataupun Pejabat Pegawai Negeri
Sipil Bidang Lingkungan Hidup (PPNS LH). Setelah menerima laporan, barulah aparat
tersebut melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan untuk memperoleh bukti-
bukti bahwa memang telah ada kegiatan mencemari dan merusak lingkungan hidup.
Langkah selanjutnya sama dengan proses beracara pidana yang diatur di dalam KUHAP.

UU PPLH memberikan 8 jenis tindak pidana di bidang lingkungan hidup, dalam


hal ini PT MPJ (Persero) dapat dikenakan Pasal 99 ayat (2) UU PPLH yang berbunyi:
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00

5
Gatot Supramono, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia, (Rineka Cipta Jakarta, 2013), [124]
6
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993), [126].
7
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Asas Subsidiaritas dan Asas Precautionary
dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, (Mandar Maju, Bandung, 2007), [49].
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
Berdasarkan pasal tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur sebagai berikut:

Ad. 1 Setiap orang;

Definisi “setiap orang” pada unsur ini adalah menunjuk pada subjek pelaku tindak pidana
yang didakwa telah melakukan perbuatan yang diuraikan dalam surat dakwaan yang
dapat dilakukan oleh setiap orang dan dapat dipertanggungjawabkan serta cakap secara
hukum. Definisi “Setiap orang” pada UU PPLH adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Lebih lanjut
dapat dilihat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) UU PPLH dimana tindak pidana
lingkungan hidup dapat dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi
perintah atau yang orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut. Inti dari pasal tersebut adalah hakim dapat menjatuhkan pidana kepada
pelakunya yang berupa badan usaha dan orang yang memberikan perintah, atau
pidananya dijatuhkan kepada salah satunya yaitu kepada badan usaha atau orang
memberi perintah saja, dalam hal ini dapat dikenakan. Pasal 116 ayat (2) UU PPLH ini
menganut prinsip vicarious liability, dimana yang dikenakan pertanggungjawaban adalah
pemimpin badan usaha atau siapa saja yang memberi tugas atau perintah atas setiap
perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya, dalam hal ini dapat dilihat
dalam Anggaran Dasar PT MPJ (Persero) mengenai jajaran direksinya.

Ad. 2 Karena Kelalaiannya;

Pengertian kelalaian (culpa) menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro adalah


kesalahan pada umumnya. Dalam ilmu pengetahuan memiliki arti teknis yaitu suatu
macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi8, sedangkan menurut Jan
Remmelink mengatakan bahwa pada intinya culpa mencakup kurang (cermat) berpikir,
kurang pengetahuan atau bertindak kurang terarah, merujuk pada kemampuan psikis
seseorang, dalam artian tidak atau kurang menduga secara nyata akibat fatal dari tindakan
orang tersebut padahal itu mudah atau seharusnya dilakukan. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud
dengan kelalaian, hanya disebutkan kelalaian disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-

8
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum pidana Indonesia, (Bandung,PT.Eresco, 1989), [72].
hati atau kealpaan9, seperti halnya penjelasan R. Soesilo bahwa maksud dari “karena
salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, alamat kurang perhatian. Van
Hammel menyatakan bahwa 2 hal yang terdapat dalam kealpaan adalah tidak ada
penduga duga dan tidak ada penghati-hatian. Menurut Syahrul Machmud dalam delik
hukum lingkungan maka untuk bisa membedakan mengenai secara sengaja dengan,
kealpaan atau kelalaian maka yang harus diperhatikan adalah dalam delik dengan sengaja
berarti niat jahatnya telah ada sejak awal, sedangkan delik kealpaan niat jahatnya belum
ada dari awal, namun akibat perbuatannya tersebut alam tercemar dan/rusak. 10

Dikaitkan dengan fakta yang ada pada kasus ini, PT MPJ (Persero) pada tanggal
15 Juli 2022 melakukan pengeboran sumur di kilang minyak mereka, namun ternyata
telah terjadi kebocoran gelembung gas yang diduga disebabkan oleh anomali tekanan
saat pengeboran sumur CCA-4 yang terletak di sebelah selatan Pulau Madura. Akibat
selanjutnya dari pengeboran sumur tersebut adalah terhadap menara pengeboran milik
PT MPJ (Persero) mengalami kemiringan sekitar delapan derajat, alhasil petugas ahli di
bidang perminyakan tersebut turun tangan untuk mengatasinya. Namun pada saat ingin
ditangani oleh petugas ahli dari PT MPJ (Persero) disinyalir telah terjadi badai laut
berintensitas tinggi sehingga menghambat penanganan petugas PT MPJ (Persero).
Kemudian pada tanggal 18 dan 19 Juli 2022, lapisan minyak mulai muncul dan tepatnya
di tanggal 20 Juli 2022 mulailah sumur tersebut tumpah dan mencemari Laut Jawa ke
arah timur. Dalam hal ini, seharusnya PT MPJ (Persero) sudah dapat memprediksikan
dan mengetahui bahkan sadar akan kemungkinan bahwa akan terjadi badai laut
berintensitas tinggi pada tanggal 15 juli tersebut, namun dari pihak PT MPJ (Persero)
tetap melakukan pengeboran sumur CCA-4 di kilang minyak mereka tanpa
mengantisipasi cuaca yang seharusnya sudah diketahui. Terlihat bahwa tindakan yang
dilakukan PT MPJ (Persero) berupa kelalaian dan tidak mengindahkan segala
kemungkinan buruk yang akan terjadi. PT MPJ (Persero) juga telah melakukan upaya
pencegahan seperti melakukan teknik oil bloom, yaitu teknik penanggulangan tumpahan
minyak yang harus dilakukan pertama kali ketika melihat adanya tumpahan minyak di
perairan. Fungsi utama dari Oil Boom adalah untuk melokalisir tumpahan minyak agar

9
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003) [177].
10
Syahrul Machmud, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana
Lingkungan Di Indonesia. Fungsionalisasi Azaz Ultimum Remedium Sebagai Pengganti Azaz Subsidaritas,
(Bandung, Mandar Maju, 2012), [235].
tidak melebar. Namun, upaya tersebut gagal akibat badai laut yang terjadi sehingga oil
boom ini tidak dapat beroperasi apabila ketinggian gelombang laut mencapai 3-4 meter.
Berdasarkan keilmuan dan praktik beberapa perusahaan kilang minyak, terdapat
beberapa upaya yang dapat dilakukan apabila suatu perusahaan minyak mengalami
kebocoran, akan tetapi pihak PT MPJ (Persero) tidak berupaya untuk mengatasi
permasalahannya dan meminta bantuan dengan melakukan interaksi kepada lembaga
pemerintah terkait seperti SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TNI, Polri, Kemenko Bidang
Kemaritiman dan Basarnas untuk dapat dinyatakan sebagai keadaan darurat.

Setelah meminta untuk dapat dinyatakan sebagai keadaan darurat, PT MPJ


(Persero) tidak segera juga melakukan upaya penanggulangan, seperti yang diamanatkan
dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut Pasal 2 ayat (3) yang intinya menyatakan bahwa
setiap pimpinan atau penanggung jawab perusahaan wajib menanggulangi terjadinya
keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau
kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat yang bersangkutan.
Kemudian dalam rangka penanggulangan, dapat dibentuk Tim Nasional Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, namun hal tersebut tidak dilakukan hingga
minyak tersebut telah sampai di perairan dan pesisir Bali Utara, tepatnya di Kabupaten
Buleleng akibat arah angin dan arus laut yang kuat.

Ad. 3 Mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi
atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut. Penetapan Baku Mutu Air Laut ini meliputi Baku Mutu
Air Laut untuk Perairan Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota Laut. Dalam kasus ini, baku
mutu air laut untuk biota laut dapat dilihat dari fakta yang terjadi terhadap kerusakan
biota laut beserta ekosistemnya seperti ikan, udang, dan bandeng banyak ditemukan mati
di sekitar wilayah perairan yang tercemar bahkan 232.000 pohon bakau dalam 89.19
hektar hutan bakau serta 9,54 hektar padang lamun mengalami kerusakan akibat tercemar
oleh minyak dari PT MPJ (Persero). Mengenai wisata bahari juga mengalami kerugian
dimana Pemerintah Kabupaten Buleleng tersebut menutup sejumlah tempat wisata
pantai. Mengenai parameter baku mutu air laut kandungannya dibatasi dengan ukuran
yang telah ditentukan di dalam Lampiran VIII Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Berdasarkan penelitian kandungan unsur pencemar yang terdapat dalam


penelitian yang dilakukan di perairan Bali Utara, terdapat sekitar 0,1 mg/L. Hal tersebut
menyebabkan telah dilampauinya baku mutu air laut oleh PT MPJ (Persero) ke perairan
yang ada di Laut Jawa hingga Bali, oleh karena itu kerusakan terhadap biota laut terjadi.

Ad. 4 Akibat orang luka dan/ atau bahaya kesehatan manusia;

Berdasarkan fakta yang ada dikaitkan dengan unsur tersebut lebih kepada akibat
yang diderita terhadap bahaya kesehatan manusia., Pencemaran minyak oleh PT MPJ
(Persero) tersebut telah memberikan kerugian kepada masyarakat sekitar pesisir, dimana
berpuluh-puluh ribu orang telah terpengaruh oleh dampak kebocoran minyak seperti
mual, pusing, sesak napas, batuk dan infeksi saluran pernapasan lainnya. Kemudian tiga
per empat dari populasi masyarakat setempat telah didiagnosis dengan penyakit herpes
zoster atau cacar api, yaitu penyakit yang berhubungan dengan kulit akibat dari virus
Varicella Zoster (VZV). Bahkan dampak dari pencemaran minyak tersebut dapat
mendatangkan kanker pada manusia akibat zat yang bernama hydrocarbon cyclic yang
terkandung dalam minyak mentah. Setiap kerugian kesehatan yang dialami oleh
masyarakat tersebut telah diperkuat dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh
dokter, sehingga fakta tersebut dapat diakui keabsahannya.

Oleh karena telah terpenuhinya unsur yang terdapat dalam Pasal 99 ayat (1) UU
PPLH, maka PT MPJ (Persero) dapat dituntut secara pidana ke Pengadilan Negeri
Sumenep, karena berdasarkan tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti) yang diatur
dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP yaitu “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala
perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”, tempat
tindak pidana dilakukan berdasarkan kasus ini adalah tempat kedudukan PT MPJ
(Persero) yaitu di sebelah selatan Pulau Madura tepatnya di Kecamatan Saronggi,
Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
2. Advokat Pejuang Iklim Indonesia selaku wakil dari masyarakat harus
mempersiapkan beberapa hal yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan
kepada PT MPJ (Persero)

Dalam hal mengajukan tuntutan advokat Pejuang Iklim Indonesia harus


mempersiapkan fakta-fakta hukum serta dokumen-dokumen yang berkaitan tentang
peristiwa kerusakan dan pencemaran yang terjadi. Fakta-fakta tersebut dapat digunakan
untuk mengajukan tuntutan maupun gugatan kepada PT. MPJ (Persero) yang melakukan
pencemaran lingkungan hidup di daerah tempat mereka melakukan eksploitasi kekayaan
sumber daya alam dan seharusnya PT. MPJ (Persero) melakukan upaya pelestarian dan
penjagaan lingkungan hidup itu sendiri

Namun, sebelumnya apakah sebuah organisasi lingkungan hidup dapat


mengajukan gugatan ataupun tuntutan serta dapat mewakili masyarakat yang dirugikan
dalam menyelesaikan kasus ini?. Sebuah organisasi lingkungan hidup memiliki dasar
hukum maupun legal standing dalam hal ini Pejuang Iklim Indonesia (PII) yang mewakili
masyarakat kabupaten Buleleng yang sedang mengajukan upaya hukum terhadap
permasalahan yang terjadi. Di dalam Undang - Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 92 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.”

Berdasarkan pasal tersebut maka, sebuah organisasi lingkungan hidup yang


berbentuk badan hukum serta ditegaskan dalam Anggaran Dasarnya bahwa organisasi
tersebut didirikan demi kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Sehingga Pejuang
Iklim Indonesia telah memenuhi syarat-syarat tersebut dan tentu saja memiliki hak dan
Legal Standing untuk mengajukan sebuah gugatan demi mewakili dan membantu
masyarakat menuntut dan meminta ganti rugi serta tanggung jawab akibat perbuatan
yang dilakukan PT. MPJ (Persero) sehingga terjadi pencemaran lingkungan laut di
lingkungan mereka.

Berdasarkan kronologi dan keterangan dari masyarakat dan berbagai pihak


Kami Advokat Pejuang Iklim Indonesia (PII) selaku kuasa hukum masyarakat kabupaten
Buleleng dapat melakukan berbagai upaya hukum untuk menyelesaikan peristiwa
pencemaran ini diantaranya melalui :

a. Tindakan Administratif;
b. Tindakan Perdata (Proses Keperdataan);
c. Tindakan pidana (Proses pemidanaan).

Ketiga bentuk upaya hukum tersebut tidak ada yang menjadi skala prioritas atau
upaya hukum yang pertama dan terakhir. Di dalam pelanggaran lingkungan, tindakan
pidana bukan dan tidak harus menjadi upaya hukum terakhir jika upaya hukum yang lain
tidak terselesaikan. Namun, karena mengingat tempat kejadian pencemaran tidak hanya
ada di Buleleng, Provinsi Bali juga terjadi di Pulau Madura, Jawa Timur sehingga kita
dapat melaksanakan upaya pidana jika masyarakat dari Pulau Madura sendiri tidak
melakukan upaya Pidana karena mengingat asas Ne Bis In Idem yang berarti “Suatu
perkara dengan objek, para pihak serta pokok perkara yang sama dan telah diputus
pengadilan dengan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diperiksa maupun diputus
kembali untuk kedua kalinya”. Maka, harus diperhatikan terlebih dahulu apakah
masyarakat Pulau Madura telah mengajukan tindakan pidana apa belum.

Upaya hukum yang dilakukan oleh kami selaku kuasa hukum dari masyarakat
Kabupaten Buleleng adalah melalui tindakan administratif yang akan diajukan kepada
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini yaitu : Presiden Republik Indonesia,
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia dan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Republik Indonesia. Sebagaimana Pasal 28 H
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menyatakan


masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan
aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran yang dilakukan
berupa pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan,
dan/atau penyampaian informasi dan laporan. Dengan objek pengaduan yang dapat
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 22 tahun 2017 Pasal 5 ayat (1)
diantaranya :
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan, dan/atau
c. Pasca Pelaksanaan.

Selain itu, Objek pengaduan yang dapat diadukan oleh masyarakat berdasarkan Pasal 5
ayat (2) terdiri atas :

a. usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki atau tidak sesuai dengan izin di
bidang lingkungan hidup dan/atau kehutanan;
b. pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
c. perusakan hutan;
d. pengelolaan limbah B3 yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan;
e. pembalakan liar;
f. pembakaran hutan dan lahan;
g. perambahan kawasan hutan;
h. perburuan, peredaran, dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal;
i. konflik tenurial kawasan hutan;
j. pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional; dan/atau
k. usaha dan/atau kegiatan lainnya yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, kehutanan, atau
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Untuk melakukan tindakan pengaduan atas pelanggaran maupun pencemaran


yang terjadi dilingkungan masyarakat terdapat tata cara yang diatur dalam ketentuan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 22 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan
Hidup dan/atau Perusakan Hutan yaitu sebagai berikut :

Pasal 10

(1) Pengaduan dapat disampaikan kepada Instansi Penanggung Jawab baik secara
langsung maupun tidak langsung.
(2) Pengaduan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mendatangi dan menyampaikan pengaduan kepada Sekretariat Pengaduan atau Pos
Pengaduan.
(3) Pengaduan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui Media Pengaduan.
(4) Media pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:

a. telepon;
b. faksimili;
c. surat;
d. surat elektronik;
e. website;
f. media sosial;
g. pesan singkat;
h. aplikasi pengaduan; atau
i. media lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.

(5) Pengaduan paling sedikit memuat informasi:

a. identitas pengadu berupa nama, alamat, nomor telepon yang bisa dihubungi atau
email;
b. lokasi kejadian;
c. dugaan sumber atau penyebab;
d. waktu, uraian kejadian dan dampak yang dirasakan.
e. penyelesaian yang diinginkan; dan
f. informasi pengaduan pernah atau belum disampaikan ke Instansi Penanggung
Jawab.

(6) Pengaduan dapat disampaikan sesuai dengan format formulir pengaduan atau berisi
informasi yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Format formulir pengaduan sebagaimana pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan.

Melakukan pengaduan secara langsung, masyarakat dapat mendatangi Kantor


Sekretariat Penanganan Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
yang beralamat di Gedung Manggala Wanabakti Blok 1 Lantai 1, Jln. Gatot Subroto,
Senayan Jakarta, Indonesia, 10207. Upaya hukum selanjutnya yang akan kami lakukan
adalah tindakan hukum Perdata. Namun, sebelum mengajukan sebuah gugatan perdata
yang akan dilayangkan atas tindakan pencemaran PT. MPJ terlebih dahulu akan
dilakukan tindakan Non Litigasi (penyelesaian sengketa di luar pengadilan) di antaranya
sebagai berikut :

a. Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan


antara para pihak yang bersengketa atau wakilnya di luar pengadilan tanpa
menggunakan pihak ketiga netral.
b. Mediasi (Mediation) adalah bentuk atau cara penyelesaian sengketa lingkungan
hidup melalui perundingan di antara para pihak yang bersengketa dengan
menggunakan jasa seorang mediator (penengah).
c. Konsiliasi (Conciliation) adalah penyelesaian sengketa melalui jasa Komite
Konsiliasi (Consiliator) yang diberikan kekuasaan oleh para pihak guna membuat
konsep persetujuan yang dapat disepakati oleh para pihak guna menyelesaikan
masalah diantara mereka.
d. Arbitrase (Arbitration) adalah cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan umum yang dilakukan dengan menggunakan seorang arbiter guna
memberikan keputusan dalam penyelesaian sengketa para pihak, cara penyelesaian
ini didasarkan pada perjanjian arbitrase.

Jika penyelesaian melalui Non Litigasi tidak mencapai kesepakatan dan


kesepahaman maka, dalam hal ini kami sebagai kuasa hukum dapat melanjutkan tindakan
hukum keperdataan dan kami yang merupakan perwakilan dari Non Governmental
Organization (NGO) atau perwakilan dari kelompok masyarakat kabupaten Buleleng
yang terkena dampak pencemaran telah diatur lebih lanjut cara mengajukan suatu
gugatan Class Action melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2022 tentang acara gugatan
perwakilan kelompok dengan melengkapi beberapa hal yang ditemukan pada pasal
berikut:

Pasal 2

Gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara Gugatan Perwakilan


Kelompok apabila:

a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien
apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam
satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di
antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian
pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

Berdasarkan Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2022 bahwa seluruh tata cara yang
telah dijabarkan telah terpenuhi dengan jumlah anggota masyarakat yang mengajukan
gugatan akibat pencemaran yang dilakukan oleh PT. MPJ di lingkungan laut mereka
sehingga mengalami kerugian yang sangat besar dan signifikan, serta tuntutan yang akan
diajukan oleh masyarakat kabupaten Buleleng pada dasarnya memiliki kesamaan fakta
dan peristiwa yang terjadi. Ketentuan mengenai isi gugatan yang akan diajukan oleh
anggota kelompok maupun kami selaku kuasa hukum diatur dalam pasal berikut ini,
yaitu:

Pasal 3

Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan sebagaimana diatur


dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus
memuat:

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;


b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama
anggota kelompok satu persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan
kewajiban melakukan pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang
teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan
terinci;
e. Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok
atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci
memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian
kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim
atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Pengajuan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri harus mempersiapkan


alat bukti tertulis paling utama sesuai dengan Pasal 1866 KUHPerdata, yaitu
Dokumen dari Dinas Lingkungan Hidup berupa AMDAL dan Izin Lingkungan.
Selain daripada mempersiapkan alat bukti surat, kesaksian dari seorang saksi juga
penting saat mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga ataupun tuntutan
pidana ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat bukti saksi
merupakan keterangan yang paling utama, diikuti dengan keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan saksi-saksi yang penting dari perkara ini
adalah setiap orang yang terdampak akibat pencemaran yaitu nelayan, buruh tambak, dan
masyarakat pesisir Bali Utara. Dalam Pasal 183 KUHAP memberikan minimal 2 alat
bukti yang sah serta keyakinan bagi hakim untuk dapat menjatuhkan pidana sebagaimana
pasal tersebut berbunyi, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Oleh karena itu, tim advokat membantu jaksa penuntut umum agar dapat
mempersiapkan alat-alat bukti yang relevan sesuai dengan Pasal 184 KUHP untuk
mengajukan tuntutan pidana terhadap PT MPJ (Persero)

3. Pelanggaran yang dilakukan oleh PT MPJ (Persero) beserta


Pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada PT MPJ (Persero) sebagai
konsekuensi dari pelanggaran yang telah dilakukan

Pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT MPJ (Persero) adalah:

1) Pasal 99 ayat (2) UU No, 32 Tahun 2009


PT MPJ (Persero) dalam hal ini telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu air laut yang telah tercantum dalam Lampiran VIII PP No.21
Tahun 2021. Akibat kelalaiannya tersebut membahayakan kesehatan manusia.
Kandungan PAH yang ditemukan pada perairan laut yang tercemar minyak adalah
sebesar 0,1 dimana hal ini telah melewati baku mutu air laut yakni sebesar 0,003.
2) Pasal 106 jo Pasal 69 ayat (1) huruf d
Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah NKRI yakni dalam hal ini zat
Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) atau Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
(PAHs). Zat ini bersifat korosif, karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik yang mana hal
ini berdasarkan pada PP No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) pada huruf j, termasuk dalam bahan B3.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3 (Pasal 1 angka 22 UU 32 Tahun 2009
sebagaimana telah diubah dalam Perppu No. 2 Tahun 2022) . Zat yang terkandung dalam
minyak PT MPJ yakni zat Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) atau Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons (PAHs). Zat ini bersifat korosif, karsinogenik, mutagenik, dan
teratogenik yang mana hal ini berdasarkan pada PP No. 74 Tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) pada huruf
j. Penentuan status Limbah B3 sesuai yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021
tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(selanjutnya disebut Permen LHK No. 6 Tahun 2021) disebutkan bahwa penetapan status
Limbah B3 dilakukan terhadap:
a. Limbah B3 dari sumber spesifik:
1. untuk dikecualikan dari Pengelolaan Limbah B3; atau
2. sebagai Produk Samping,
Dan
b. Limbah yang terindikasi memiliki karakteristik Limbah B3 sebagai:
1. Limbah B3; atau
2. Limbah non B3.
Lebih lanjut dijelaskan pada ayat (2) Limbah B3 sumber spesifik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi Limbah B3 dari Sumber Spesifik Umum dan Sumber Spesifik
Khusus sebagaimana tercantum dalam Tabel 3 dan Tabel 4 Lampiran IX PP No. 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Maka zat Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) termasuk Limbah B3 pada Tabel 3,
pada nomor 6 yaitu petrokimia industri yang menghasilkan produk organik dari proses
pemecahan fraksi minyak bumi atau gas alam, termasuk produk turunan langsung dari
produk dasarnya misalnya parafin, olefin, naftan dan hidrokarbon aromatis dan termasuk
dalam uraian limbah sludge dari proses produksi dan fasilitas penyimpanan minyak bumi
atau gas alam. Uraian limbah ini termasuk dalam kategori bahaya 1. Mengacu pada Pasal
17 ayat (2) Permen LHK No. 6 Tahun 2021, Limbah B3 pada kategori bahaya 1
ditetapkan beracun setelah :

1. memiliki karakteristik mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius,


dan/atau korosif;
2. dilakukan uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) dengan
menunjukkan hasil konsentrasi zat pencemar melebihi atau sama dengan
konsentrasi zat pencemar yang tercantum pada TCLP A pada lampiran XI PP
No. 22 Tahun 2021; dan/atau
3. pada Uji Toksikologi LD50 lebih kecil dari atau sama dengan 50 mg/kg (lima
puluh miligram per kilogram) berat badan hewan uji. Untuk uji karakteristik
korosif juga disesuaikan dengan metode uji yang tercantum dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf e Permen LHK No. 6 Tahun 2021 dengan kriteria sesuai penetapan
dalam nomor 5 pada Lampiran X PP No. 22 Tahun 2021.
Dengan demikian, berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa zat
Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) atau Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
(PAHs) termasuk dalam Limbah B3 dari sumber spesifik bersifat korosif dan termasuk
kategori bahaya 1. Dampak dari Limbah B3 kategori bahaya 1 memiliki dampak akut
(cepat atau tiba-tiba) langsung terhadap manusia dan berdampak negatif terhadap
lingkungan hidup.

Bentuk pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada PT MPJ (Persero):


1. Pertanggungjawaban administrasi:
Berdasarkan pada Pasal 76 UU No. 32 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah
dalam UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap
Perizinan Berusaha , sanksi yang dapat dikenai yaitu paksaan pemerintahan, pencabutan
izin lingkungan (lanjutkan dgn PP 22/2021)
a. Paksaan Pemerintah
Pada kasus ini, sesuai Pasal 511 ayat (2) maka pengenaan paksaan pemerintah akan
dijatuhi tanpa didahului dengan teguran tertulis karena pelanggaran yang telah
dilakukan oleh PT MPJ (Persero) telah menimbulkan:
1. ancaman yang serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
2. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya sebagai akibat dari minyak yang telah
tumpah dan mencemari perairan laut Madura hingga meluas ke perairan Bali
Utara; dan
3. kerugian yang ditimbulkan sangat besar terhadap lingkungan hidup jika tidak
segera dihentikan pencemaran dari minyak tersebut.
Adapun paksaan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh PT MPJ (Persero) adalah:
1. Melakukan pemulihan terhadap lingkungan hidup yang terdampak tumpahan
minyak di perairan Pulau Madura dan Bali Utara. Tahap pertama sebagai
pemulihan awal dapat dilakukan dengan membersihkan minyak yang ada di
perairan laut Madura dan Bali Utara dengan menggunakan teknik oil boom.
Teknik penanggulangan ini harus dilakukan saat pertama kali ketika melihat
adanya tumpahan minyak di perairan. Fungsi teknik oil boom untuk
membersihkan dan mengendalikan tumpahan minyak agar tidak melebar. Fokus
pembersihan minyak dapat dilakukan pada wilayah yang terdapat tumpahan
minyak yaitu Desa Banyupoh, Celukan Bawang, Gerokgak, Musi, Patas,
Pejarakan, Pemuteran, Pengulon, Penyabangan, Sanggalangit, Sumberklampok,
Sumberkima di Kecamatan Gerokgak dan Desa Banjar Asem, Kalianget,
Kalisada, Lokapaksa, Pengastulan, Sulanyah, Tangguwisia, Umeanyar, dan
Kelurahan Seririt di Kecamatan Seririt
2. Melakukan perubahan perizinan berusaha berbasis risiko terkait dengan hal-hal
yang berdampak bagi lingkungan.
3. Melakukan audit lingkungan terhadap operasional kegiatan PT MPJ (Persero)
dengan memasukkan analisis risiko terhadap keamanan produksi dan eksplorasi
minyak.
4. Melakukan upgrade terhadap sistem peringatan dini penanganan minyak secara
otomatis dari Standard Operating Procedure (SOP) penanganan minyak
5. Melakukan upgrade terhadap teknologi dan metode sistem pemantauan yang
akurat mengenai data kondisi cuaca, pendeteksian kecelakaan dan insiden
tumpahan minyak
6. Melakukan upgrade terhadap fasilitas dan peralatan yang memadai untuk segala
macam musim dan cuaca, disertifikasi untuk dapat beroperasi pada suhu panas
dan dingin serta potensi interaksi dengan laut, dan mencakup deteksi laju
kebocoran dan sistem inspeksi in-line terhadap saluran pipa
7. Melakukan check up berkala pada sumur pengeboran beserta dengan pipa sumur
8. Membuat tata kerja penggunaan alat pengoperasian pompa (transfer crude oil)
dalam keadaan darurat serta melakukan sosialisasi terhadap pelaksanaannya
kepada pekerja di lapangan.
Dalam hal paksaan pemerintah dapat dikenai denda jika pelaksanaannya mengalami
keterlambatan.

b. Denda Administratif
Dalam hal ini PT MPJ (Persero) dikenai denda administratif mengenai kelalaiannya
melakukan perbuatan yang melebihi baku mutu air laut sebagaimana telah diatur dalam
Lampiran VIII PP No, 22 Tahun 2021 yaitu terhadap parameter PAH (Poliaromatik
Hidrokarbon) sebesar 0,003 baik untuk wisata bahari maupun biota laut. PT MPJ atas
kelalaiannya menyebabkan melebihi baku mutu air laut dengan kandungan 0,1. Maka
berdasarkan Pasal 520 PP No. 22 Tahun 2021, PT MPJ (Persero) dikenai denda paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

c. Pembekuan Perizinan Berusaha


Berdasarkan Pasal 521 PP No. 22 Tahun 2021, PT MPJ (Persero) dapat dikenai
pengenaan pembekuan perizinan berusaha jika:
a. tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
b. tidak membayar denda administratif; dan/atau
c. tidak membayar denda setiap keterlambatan atas pelaksanaan paksaan pemerintah

d. Pencabutan Perizinan Berusaha


Sesuai yang tercantum dalam Pasal 522 PP No. 22 Tahun 2021, maka pencabutan
perizinan berusaha terhadap PT MPJ (Persero) dapat dikenai jika:
a. tidak melaksanakan kewajiban dalam paksaan pemerintah;
b. tidak membayar denda administratif;
c. tidak membayar denda atas keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah;
d. tidak melaksanakan kewajiban dalam pembekuan Perizinan Berusaha atau
Persetujuan Pemerintah; dan/atau
e. melakukan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup
yang tidak dapat ditanggulangi atau sulit dipulihkan

2. Pertanggungjawaban Hukum Perdata:


Sebuah subjek dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata akibat dari
perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada orang lain. Dengan demikian
dalam hal ini, PT MPJ (Persero) karena salahnya yang telah menimbulkan kerugian yang
disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya wajib untuk mengganti kerugian bagi
para penduduk yang terdampak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1366
KUHPerdata, apabila subjek hukum itu
Kerugian Materiil:
1) Wakil Kelas I (dari Kecamatan Gerokgak: Desa Banyupoh, Celukan Bawang,
Gerokgak, Musi, Patas, Pejarakan, Pemuteran, Pengulon, Penyabangan,
Sanggalangit, Sumberklampok, Sumberkima)
Kerugian atas kematian ikan, udang, dan bandeng serta rusaknya ekosistem laut yang
mengakibatkan nelayan dan pembudidaya tambak udang, bandeng, dan garam tidak
dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan serta bagi pemilik tambak mengalami gagal
panen. Bila diperhitungkan dengan rincian pendapatan rata-rata Rp 80.000/hari sehingga
dalam 1 tahun atau 12 bulan menjadi:
= Rp 80.000 x 30 hari x 12 bulan
= Rp 2.400.000 x 12 bulan
= Rp 28.800.000,-
(dua puluh delapan juta delapan ratus ribu rupiah).
Dimana nominal diatas merupakan kerugian yang diderita oleh perorangan sehingga
untuk kerugian yang dialami oleh 200 orang dalam Wakil Kelas I menjadi:
= Rp 28.800.000,- x 150 orang
= Rp 4.320.000.000
(empat milyar tiga ratus dua puluh juta rupiah)

2) Wakil Kelas II (dari Kecamatan Seririt: Desa Banjar Asem, Kalianget, Kalisada,
Lokapaksa, Pengastulan, Sulanyah, Tangguwisia, Umeanyar, dan Kelurahan Seririt)
Kerugian atas kematian ikan, udang, dan bandeng serta rusaknya ekosistem laut yang
mengakibatkan nelayan dan pembudidaya tambak udang, bandeng, dan garam tidak
dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan serta bagi pemilik tambak mengalami gagal
panen. Bila diperhitungkan dengan rincian pendapatan rata-rata Rp 80.000/hari sehingga
dalam 1 tahun atau 12 bulan menjadi:
= Rp 80.000 x 30 hari x 12 bulan
= Rp 2.400.000 x 12 bulan
= Rp 28.800.000,-
(dua puluh delapan juta delapan ratus ribu rupiah).
Dimana nominal diatas merupakan kerugian yang diderita oleh perorangan sehingga
untuk kerugian yang dialami oleh 100 orang dalam Wakil Kelas I menjadi:
= Rp 28.800.000,- x 100 orang
= Rp 2.880.000.000
(dua milyar delapan ratus delapan puluh delapan juta rupiah)

3) Wakil Kelas III (dari Kecamatan Gerokgak: Desa Banyupoh, Celukan Bawang,
Gerokgak, Musi, Patas, Pejarakan, Pemuteran, Pengulon, Penyabangan,
Sanggalangit, Sumberklampok, Sumberkima)
Kerugian atas ditutupnya sejumlah tempat wisata pantai sebagai akibat dari tumpahan
minyak. Bila diperhitungkan dengan rincian pendapatan rata-rata Rp 200.000/hari
sehingga dalam 1 tahun atau 12 bulan menjadi
= Rp 200.000 x 30 hari x 12 bulan
= Rp6.000.000 x 12 bulan
= Rp 72.000.000.
(tujuh puluh dua juta rupiah)
Nominal diatas merupakan kerugian yang diderita oleh perorangan sehingga untuk
kerugian yang dialami oleh 100 orang dalam Wakil Kelas III menjadi:
= Rp 72.000.000 x 100 orang
= Rp 7.200.000.000
(tujuh miliar dua ratus juta rupiah)

4) Wakil Kelas IV(dari Kecamatan Seririt: Desa Banjar Asem, Kalianget, Kalisada,
Lokapaksa, Pengastulan, Sulanyah, Tangguwisia, Umeanyar, dan Kelurahan Seririt)
Kerugian atas ditutupnya sejumlah tempat wisata pantai sebagai akibat dari tumpahan
minyak. Bila diperhitungkan dengan rincian pendapatan rata-rata Rp 200.000/hari
sehingga dalam 1 tahun atau 12 bulan menjadi
= Rp 200.000 x 30 hari x 12 bulan
= Rp6.000.000 x 12 bulan
= Rp 72.000.000.
(tujuh puluh dua juta rupiah)
Nominal diatas merupakan kerugian yang diderita oleh perorangan sehingga untuk
kerugian yang dialami oleh 90 orang dalam Wakil Kelas III menjadi:
= Rp 72.000.000 x 90 orang
= Rp 6.480.000.000
(enam milyar empat ratus delapan puluh juta rupiah)

Kerugian Immateriil:
Kerugian yang timbul karena rusaknya lingkungan dan pemulihan lingkungan tersebut
dalam rentang waktu paling cepat lima tahun dan selama itu masyarakat tidak dapat
berusaha dengan baik dan hal tersebut jika dinilai dengan uang sesuai dengan statusnya
berdasarkan ketentuan hukum untuk itu (yurisprudensi Mahkamah Agung RI) adalah Rp
100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).

Jadi total kerugian Materiil dan Immateriil yang telah diderita masyarakat karena
perbuatan melawan hukum yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya
adalah Rp 4.320.000.000 + Rp 2.880.000.000 + Rp 7.200.000.000 + Rp 6.480.000.000 +
Rp 100.000.000.000 = Rp 120.880.000.000 (seratus dua puluh milyar delapan ratus
delapan puluh juta rupiah)

3. Pertanggungjawaban Hukum Pidana:


Dalam UU PPLH pertanggungjawaban badan usaha diatur pada Pasal 116 sampai
Pasal 119 UUPPLH. Pada Pasal 116 ayat (1) huruf a sanksi pidana dijatuhkan kepada
badan usaha sementara pada huruf b memang mengharuskan penyidik dan penuntut
umum untuk membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga
memerlukan kerja keras penyidik dan penuntut umum dalam membuktikan peran
pengurus dalam tindak pidana lingkungan. Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116 ayat
(1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara serta merta
atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih memudahkan dalam
upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran para pengurus secara
spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan pada Pasal 118 UUPPLH
memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana
lingkungan, tuntutan dan hukuman “dikenakan terhadap pimpinan badan usaha atas dasar
pimpinan perusahaan yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima
tindakan tersebut”. Pengertian “menerima tindakan tersebut” adalah “menyetujui,
membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik,
atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.”
Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 UUPPLH merupakan sebuah terobosan
atau kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar
secara sungguh-sungguh melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemulihan
pencemaran atau perusakan lingkungan manakala memimpin badan usaha. Rumusan
ketentuan Pasal 118 UUPPLH mirip dengan vicarious liability dalam sistem hukum
Anglo Saxon dan sejalan dengan konsep akademik yang dikemukakan oleh
Reskodiputro. Jika badan usaha terbukti melakukan tindak pidana lingkungan, jenis-jenis
hukuman terhadap badan usaha tersebut berdasarkan Pasal 119 UUPPLH adalah:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa setelah diundangkannya Undang-Undang
(UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pertanggungjawaban mutlak
atau strict liability yang dianut dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 berubah menjadi
pertanggungjawaban fault based liability dimana dalam hal ini PT MPJ (Persero)
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola Limbah B3 JIKA terbukti adanya
unsur kesalahan. Selain itu dalam Pasal 116 ayat (1) UUPPLH juga menganut asas
vicarious liability, dimana saksi pidana yang dijatuhkan kepada pemberi perintah atau
pimpinan tanpa memperhatikan tindak pidana dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-
sama terhadap tindak pidana yang dilakukan orang yang berada di lingkungan kerja.
Dalam hal ini pegawai dari PT MPJ (Persero) dapat ditetapkan sebagai salah satu
tersangka dalam kasus pencemaran lingkungan di perairan laut Bali Utara dengan syarat
bahwa pegawai tersebut yang bertanggung jawab terhadap pengawasan penyaluran
minyak dan atas kelalaiannya tidak melakukan upaya pencegahan lebih lanjut saat
capping gagal dilakukan. Maka sesuai yang tercantum dalam Pasal 99 ayat (2) UUPPLH
pegawai tersebut atas kelalaiannya mengakibatkan bahaya kesehatan manusia maka
dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

VI. Kesimpulan dan Saran/ Solusi Permasalahan


Adapun kesimpulan yang dapat kami berikan adalah:
1. Tindakan yang dilakukan PT MPJ (Persero) merupakan suatu pelanggaran
hukum terhadap pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang diatur
dalam UU PPLH;
2. Masyarakat yang dirugikan akibat pencemaran minyak oleh PT MPJ (Persero)
dapat menyelesaikan sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, gugatan
ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri Sumenep dengan menggunakan Pasal
1366 KUHPerdata, dan/atau dapat mengajukan tuntutan pidana ke Pengadilan
Negeri Sumenep berdasarkan Pasal 99 ayat (2) UU PPLH;
3. Penanggulangan terhadap lingkungan yang rusak dan tercemar akibat
kebocoran minyak dari PT MPJ (Persero) dapat dilakukan melalui upaya
administratif, dimana dalam upaya tersebut dikenal beberapa sanksi
administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif,
pembekuan perizinan Berusaha; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.
Pengawasan terhadap pelaksanaan sanksi administratif ini dilakukan oleh
Menteri, Gubernur, Bupati/wali kota;
4. Beberapa dokumen yang perlu disiapkan oleh Advokat Pejuang Iklim Indonesia
(PII) sebagai penerima kuasa dalam hal mewakili para masyarakat yang
dirugikan oleh pencemaran minyak dari PT MPJ (Persero) adalah seperti
Dokumen dari Dinas Lingkungan Hidup berupa AMDAL dan Izin Lingkungan,
CD RW berisi 1 (satu) foto Para nelayan dilokasi, 4 video lokasi pulau yang
terkena pertumpahan minyak, dan alat bukti surat lainnya;
5. Terhadap PT MPJ (Persero) yang telah lalai dalam melakukan pengeboran
sumur miliknya hingga mengakibatkan pencemaran minyak di perairan Laut
Jawa hingga Bali melanggar ketentuan yang terdapat dalam UU PPLH Pasal 99
ayat (2) yang intinya karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia dapat dipidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah);
6. PT MPJ (Persero) dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hal ganti kerugian
perdata baik itu kerugian materil dan immaterial dan dimintai tanggung jawab
untuk melakukan pemulihan dan pengembalian kerusakan lingkungan hidup
yang telah tercemar akibat kelalaian yang dilakukan PT MPJ (Persero) tersebut.
Mengenai pertanggungjawaban yang terdapat dalam UU PPLH yang telah
diperbarui melalui Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang, pertanggungjawaban mutlak atau strict liability berubah
menjadi pertanggungjawaban fault based liability dimana dalam hal ini PT MPJ
(Persero) bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi. Selain itu
dalam Pasal 116 ayat (1) UUPPLH juga menganut asas vicarious liability, yang
intinya pegawai dari PT MPJ (Persero) dapat ditetapkan sebagai salah satu
tersangka dalam kasus pencemaran lingkungan di perairan laut Bali Utara
dengan syarat bahwa pegawai tersebut yang bertanggung jawab terhadap
pengawasan penyaluran minyak dan atas kelalaiannya tidak melakukan upaya
pencegahan lebih lanjut saat capping gagal dilakukan;

Mengenai saran dan juga rekomendasi, kami memberikan rekomendasi berupa:


1. Mengupayakan agar perkara ini dapat diselesaikan melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang tersedia seperti negosiasi, mediasi, atau konsiliasi
dengan bantuan pihak ketiga yang netral agar penyelesaian sengketa dapat
diterima oleh kedua belah pihak;
2. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka sebaiknya mengajukan tuntutan pidana
ke Pengadilan Negeri Sumenep dengan tetap meminta ganti kerugian agar ganti
kerugian tersebut dapat dicantumkan di amar putusan;
3. Terakhir mengupayakan agar PT MPJ (Persero) melakukan proses penyelesaian
permasalahan dengan cara memberikan kompensasi kepada Masyarakat yang
dirugikan dengan membentuk Tim Penanganan Dampak Musibah Tumpahan
Minyak Mentah di Perairan Laut wilayah Jawa Timur termasuk juga di perairan
laut Wilayah Pesisir Bali yang merupakan daerah domisili masyarakat yang
dirugikan. Tim yang telah dibentuk agar segera melakukan pendataan dan
verifikasi sebagai dasar Penentuan siapa saja masyarakat di wilayah pesisir Bali
yang mengalami dampak Tumpahan Minyak PT MPJ (Persero) tersebut karena
mereka berhak untuk mendapatkan kompensasi.

VII. Daftar Pustaka


Buku
Djojodirdjo, M. A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat
(aansprakelijkheid) Untuk Kerugian Yang Disebabkan Karena Perbuatan
Melawan Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1982),
Gatot Supramono, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia, (Rineka
Cipta Jakarta, 2013)
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, (Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993)
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003)
R.Setiawan.Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Bina Cipta, Bandung, 2007).
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Yogyakarta, 2002),
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Asas Subsidiaritas dan
Asas Precautionary dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, (Mandar
Maju, Bandung, 2007),
Syahrul Machmud, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif
Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia. Fungsionalisasi Azaz
Ultimum Remedium Sebagai Pengganti Azaz Subsidaritas, (Bandung, Mandar
Maju, 2012),
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum pidana Indonesia, (Bandung,PT.Eresco,
1989).
Jurnal
Wau, H. S. M., Azwar, T. K. D., Yefrizawati, Y., & Barus, U. M,
“Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta yang Keliru (Studi
Putusan MA Nomor 628 K/PDT/2020”), JURNAL MERCATORIA, 15(1), 10–
18 (2022), https://doi.org/10.31289/mercatoria.v15i1.6243 diakses 30 Juni
2023

Anda mungkin juga menyukai