Anda di halaman 1dari 11

NAMA : SELVIANI

NIM : F02 17 319

REVIEW BUKU

Judul : Climate Change di Negara Berkembang – Berdasarkan Netherlands climate change

BAB 4 : Evaluation, Lessons Learned Outlook

Editor : M.A van Drunen, R Lasage and C. Dorland

Jumlah Halaman : 190

Dewasa ini pembahasan mengenai climate change adalah primadona yang sering diabaikan.
Banyak rezim internasional yang tercipta dari kesepakatan Negara- Negara perihal hal tersebut
menjadi salah satu contoh bagaimana climate change merupakan isu internasional yang memiliki
pengaruh signifikan. Namun yang menjadi masalah selanjutnya adalah implementasi dari
kebijakan tersebut tidak pernah maksimal dilakukan oleh Negara- Negara anggota yang akhirnya
menjadi boomerang munculnya perdebatan disertai kritik panjang yang tidak ada titik temu.
Akhirnya kesepakatan yang ada mulai terabaikan, hukum internasional terlalu lemah dalam
mengikat Negara- Negara yang terlibat dalam sebuah agreement, Apalagi Negara super power
yang memiliki wewenang lebih dalam pengambilan keputusan internasional. Negara pemegang
hak veto misalnya. Maka tidak heran banyak kesepakatan mengenai perubahan iklim yang
kehilangan eksistensinya di dunia Internasional.

Seperti yang di bahas di bab ini, bagaimana pemangku kebijakan memiliki peran penting dalam
mengeluarkan kebijakan seperti mengurai emisi dan menangani kerusakan lingkungan di
negaranya. Namun mengingat bahwa permasalahan perubahan iklim adalah masalah kolektif,
hingga dampak dari apa yang dilakukan di satu Negara mempengaruhi seluruh dunia. Hal
tersebut tentu mendatangkan argumen baru yang dilandaskan pada kepentingan.

Amerika Serikat misalnya, salah satu penghasil emisi terbesar di dunia. Namun yang terjadi
Donald Trump sebagai presiden Negara tersebut malah mengeluarkan statement bahwa climate
change hanya sebuah konsep yang diciptakan peneliti saja. Tidak heran karena Trump
merupakan pebisnis ulung yang terlibat dalam banyak kegiatan penghasil emisi yang membuat es
kutub mencair hingga garis pantai di Negara pasifik terus mendekat ke pemukiman.

Kepentingan, tidak dipungkiri Negara- Negara maju seperti Eropa cukup perduli dengan
mengeluarkan kebijakan ekolabel untuk mengurangi dampak dari perubahan lingkungan. Mereka
ketat dalam menyeleksi barang impor yang masuk ke dalam negaranya, seperti kelapa sawit yang
kemudian banyak mendapat masalah. Negara- Negara maju juga memiliki kewajiban
memberikan bantuan kepada Negara- Negara berkembang untuk menjaga hutan hujan. Terdapat
kontradiksi karena Eropa merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar dan disaat yang sama
Negara maju seolah memberikan tanggup jawab kerusakan kepada Negara berkembang hanya
karena mereka punya modal. Sedangkan industri tetap mengalami peningkatan disana

Dalam buku disebutkan bagaimana Amerika Serikat dan Australia tidak meratifikasi Protokol
Kyoto sejak awal menunjukkan bagaimana Negara- Negara maju tidak memiliki konsentrasi
terhadap isu tersebut. Bayangkan bagaimana Negara- Negara dunia bersaing dalam industri dan
pasar, kemudian ada sebagian Negara yang mengurangi operasi sebagai salah satu kontribusi
dalam perubahan iklim, namun disaat yang sama ada Negara yang tidak mengindahkan hal
tersebut. Tentu saja akan terjadi ‘kecemburuan’ sampai akhirnya kebijakan yang ada pun mulai
terabaikan untuk mengejar nilai ekonomi yang lebih besar.

Dibahas juga bagaimana teknologi mulai berkembang, Negara- Negara harusnya mulai beralih
dari energi yang tidak dapat diperbarui, menjadi energi yang terbarukan. Mari mengimajinasikan
jika hal tersebut benar- benar dilakukan, apa yang akan terjadi pada Negara dengan pendapatan
utama adalah sektor tersebut? Negara- Negara Timur Tengah dan Afrika misalnya, upgrade
teknologi yang terjadi tentu membutuhkan modal yang besar, Negara maju mungkin akan
mampu melakukan hal tersebut. Mereka bisa menggunakan transportasi listrik, energi yang
mungkin tidak lagi bergantung kepada migas. Namun bagaimana dengan Negara berkembang?
Yang bahkan saat ini tertatih untuk melawan ketimpangan?

Negara- Negara tidak start di posisi yang sama. Indonesia contohnya memiliki masalah terhadap
kebakaran hutan dan lahan. Namun menurut BNPB 80 persen hutan yang terbakar berubah
menjadi perkebunan sawit dan lahan industri lainnya. Namun ketika penolakan terhadap sawit
terjadi karena ‘kesucian’ Uni Eropa dalam mengatasi perubahan iklim, maka telah terjadi
kerugian besar terhadap Negara. Menurut data kementerian pertanian 2018, pekerja sawit swasta
maupun Negara mencapai 4,42 juta orang. Apa yang akan mereka lakukan jika sawit mengalami
kejatuhan harga dan ditolak dipasaran?

Ada banyak nyawa yang bergantung dalam Negara eksportir. Negara industri dapat terus
memproduksi dan bersaing di dalam pasar bahkan setelah dunia beralih dalam hal teknologi.
Mereka memiliki kapabilitas dalam sarana- prasarana serta kapital. Tidak seperti Negara- Negara
Timur Tengah dan Afrika yang masih bermasalah dengan ketimpangan serta presentase
kelaparan yang tinggi. Apa yang akan terjadi jika produksi minyak yang saat ini menjadi
penghasilan terbesar Negara mereka jatuh?

Lalu apakah kita tidak perlu mengatasi climate change? Tentu saja tidak seperti itu. hanya saja
kondisi setiap Negara tidak sama. Ilmuan di Amerika Serikat tengah melawan kepentingan para
pemilik kapital dalam pembahasan climate change, namun berbeda dengan Negara- Negara
Afrika yang setiap hari harus menyaksikan orang meninggal karena kelaparan. Lantas bagaimana
mereka bisa untuk sekedar meluangkan waktu dalam memikirkan perubahan iklim, jika ancaman
kematian keluarganya karena kelaparan terus meneror?

Dalam kasus climate change, sering sekali kebijakan yang ada sulit terealisasikan karena
kepentingan Negara- Negara yang terancam. Pembahasan ini tidak akan pernah selesai jika para
stake holder tidak mampu untuk memperoleh keputusan bulat disertai implementasi yang serius.
Bukan lagi berbicara kerugian dalam hal perekonomian, namun bagaimana agar eksploitasi
terhadap alam dapat berkurang.

Namun disaat yang sama ada hal yang keluar dari dasar bacaan. Seolah pembahasan tentang
climate change menempatkan Negara maju adalah aktor utama yang menggerakkan sekaligus
terdampak paling besar. Diskusi meminggirkian Negara- Negara berkembang penghasil minyak
seperti yang disebutkan sebelumnya. Tidak ada pembicaraan perihal nasib masyarakan Afrika
yang terpaksa melakukan tambang illegal karena kesulitan dalam keadaan ekonomi yang
mencekik, jutaan warga Indonesia yang mendapatkan penghidupan dari sawit, bagaimana nasib
mereka jika kebijakan dalam menanganan climate change akhirnya menghambat penghasilan
mereka?
Hal tersebutlah yang tidak memiliki tempat khusus dalam diskusi perilah climate change.
Memperhitungkan aktor non Negara maju harusnya menjadi pokok bahasan. Seperti dalam bab
ini banyak sekali kebijakan yang dibahas, rencana tentang bagaimana masa depan dilakukan.
Namun fokus pembahasan selalu bagaimana Negara maju mengatasi masalah emisi dan Negara
berkembang diberikan bantuan untuk menjaga hutannya. Negara maju tentang perbenturan
kepentingan dan praktik elite Negara berkembang terus melakukan eksploitasi terhadap alam.
Tidak percakapan tentang solusi kelangsungan hidup dari masyarakat yang terdampak dalam
perubahan, seolah mereka tidak cukup penting masuk dalam variable diskusi.

Climate change memang menjadi tantangan yang sangat besar bagi seluruh Negara di dunia.
Untuk itu, perlu perhitungan yang adil bagi Negara- Negara. Selama ini Negara maju seolah
mendapat keuntungan dari rezim yang tercipta. Mereka memiliki kapital untuk melepaskan
tanggung jawab dengan memberi bantuan penanganan terhadap permasalahan lingkungan.
Namun, tidak ada sanksi jika emisi yang dikeluarkan Negara- Negara tersebut melebihi
kesepakatan, tapi mereka memiliki power untuk menghukum Negara- Negara berkembang yang
tidak mengikuti peraturan yang ada. Contohnya seperti kasus kelapa sawit yang dijelaskan
sebelumnya.

Kesimpulan

Dari berbagai regulasi yang dijelaskan dalam bab ini, terlihat bagaimana bias kebijakan terhadap
Negara maju selalu terselip di dalam rezim. Untuk itu, penanggunalanan terhadap climate change
harus meletakkan Negara maju dan berkembang dengan ‘posisi’ yang sama. Kedua Negara
dirugikan, untuk itu pemikiran perihal rencana masa depan harus memperhitungkan kedua belah
pihak. Negara industri mungkin akan membahas tentang bagaimana industri mereka berjalan
tanpa energi yang merusak alam, disaat yang sama pembahasan perihal kelangsungan hidup
Negara yang bergantung pada energi tersebut harus menjadi topik yang sama pentingnya.

Karena rezim internasional yang tidak mengikat seperti aturan dalam domestik Negara, maka
harus ada kesadaran dari semua Negara untuk mengatasi isu perubahan iklim tersebut. Dan cara
agar Negara industri ataupun Negara berkembang dapat memperoleh kesepakatan adalah dengan
memperhitungkan langkah kedepannya untuk meminimalisir dampak dari perubahan hidup
masyarakat dunia menjadi perduli terhadap lingkugan. Hal tersebut dikarenakan ekonomi tetap
menjadi faktor paling penting dalam kesejahteraan hidup warga Negara. Namun kesadaran
bahwa climate change adalah ancaman nyata harus disadari oleh Negara- Negara dunia tanpa
melihat status mereka, maju ataupun berkembang.

Saran

Sudah banyak rezim internasional yang dihasilkan dengan tema perubahan iklim. Namun selalu
tidak memberikan dampak signifikan dalam pengimplementasian. Hal tersebut seperti yang telah
disebutkan karena perbenturan kepentingan dan tidak adanya daya paksaan dari rezim yang ada.
Negara industri yang meletakkan diri sebagai aktor utama juga menjadi penghambat bagaimana
kritikan yang berasal dari Negara berkembang berdatangan. Karena tidak dipungkiri bahwa
industri dan eksploitasi dari investor Negara maju memang salah satu penyebab paling besar
dalam kerusakan lingkungan. Sehingga stigma ‘lempar batu sembunyi tangan’ menjadi melekat
dalam setiap rezim internasional perihal climate change.

Jika ingin kebijakan dalam mengatasi perubahan iklim terlaksana dengan baik, maka ide- ide
yang bersifat utopis harus dihilangkan. Kembali kepada bagaimana kondisi di setiap Negara
berbeda, maka biarkan realitas lapangan menjadi salah satu faktor dalam perumusan kebijakan
yang akan diambil. Tidak dipungkiri juga bagaimana mayoritas pemegang kekuasaan di dunia
adalah para pebisnis yang tentu saja tidak ingin dirugikan. Untuk itu, masyarakat juga harus ikut
berperan dalam melawan climate change mengingat aktor internasional ‘selalu’ berlandaskan
kepetingan.

Masalah kolektif hanya mempunyai jalan keluar bersama. Negara maju dan berkembang sama-
sama punya dampak namun dalam penanggunalanan memiliki situasi yang berbeda. Untuk itu
diperlukan kebijakan yang setara bagi Negara maju dan berkembang dalam penangan perubahan
iklim. Kepentingan akan selalu menjadi kendala, namun kekuatan masyarakat internasional tidak
bisa disepelekan melihat aktor individu semakin memiliki peran di dunia Internasional.

Salah satu cara agar cita- cita dalam ‘kesetaraan’ antara Negara tersebut adalah dengan tidak
mengindahkan hak veto yang ada serta Negara berkembang ikut berperang aktif dalam
perumusan kebijakan. Selama ini, semua Negara memang dikatakan memiliki posisi yang sama
namun dalam pemberian argumen Negara maju lebih memiliki keluwesan serta kekuatan untuk
menekan karena bantuan yang telah diberikan.
Judul : Profits, Security, and Human Right in Developing Countries – Global Lessons from
Canada’s Extractive Sector in Colombia

BAB 3 : Ethnicity, Episteme, and Gold : The Struggle for Human Security in Marmoto

Editor : James Rochlin

Jumlah Halaman : 190

Dalam bab ini pembahasan dipenuhi dengan ketimpangan yang terjadi di Kolombia akibat sistem
kelas yang masih melekat di masyarakat. Seolah belum cukup kompleks, kehahiran perusahaan
transnasional juga menambah permasalahan yang ada di Kolombia. Khas TNC bagaimana dalam
sistem mereka cenderung zero sum game untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan
pengeluaran sekecil- kecilnya.

Dalam kasus Negara berkembang hal tersebut memang seolah bagian dari ‘budaya’ itu sendiri.
Elit menguasai sektor perekonomian sehingga terjadi ketidakmerataan pendapatan, disamping itu
selalu ada pihak lain yang memanfaatkan hal tersebut seperti perusahaan transnasional yang
mengambil kesempatan dalam ketimpangan yang terjadi dalam banyak Negara berkembang.

Kehadiran TNC ini sering kali menjadi malapetaka di Negara berkembang, perbenturan
kepentingan yang kemudian melahirkan konsep kutukan sumber daya alam. Seperti kasus di
Marmoto dimana ada 2 kepentingan yang saling beririsan, TNC dan Marmoto itu sendiri.

Marmoto dan sejarah panjang eksploitasi. Kedatangan Spayol pada 1937 menjadi asal mulai
dimana tambang di daerah ini diambil alih. Penduduk diberlakukan tidak manusiawi hingga
munculnya etnis baru bawaan penjajah seperti tenaga kerja asal Afrika. Banyak Negara di dunia
yang tidak bisa lepas dari trauma penjajahan hingga mereka tidak sanggup berjalan di atas kaki
sendiri. Hal tersebut menjengkelkan bagaimana Negara- Negara yang bertanggung jawab akan
hal tersebut seolah melunasi dosa setelah Negara jajahan merdeka, pada seharusnya ada sanksi
bagi mereka telah membangun tembok yang sangat kokoh yang menjadi penghambat Negara
bekas koloni untuk survive di dunia intenasional.

Sama halnya dengan Marmoto. Setelah kepergian penjajah, maka akan muncul segelintir orang
yang masih terkoneksi dengan Negara penjajah kemudian akan menguasai pemerintahan.
Tambang Marmoto kembali diambil alih dengan dukungan pemerintah yang memiliki militer di
pihak mereka. Kali ini Inggris yang menjadi dalang dari hal tersebut.

Pemerintah Marmoto brutal menembak siapa saja yang berani mengeluakan protes. Kemudian
kebijakan tersebut akan dikiritik dunia Intenasional dengan mengatakan bahwa otoritas Marmoto
melanggar hak asasi masnusia, namun akan melupakan siapa yang menjadi penyebab hal
tersebut. Inggris sebagai Negara adidaya akan selalu aman dari kecaman dan sanksi padahal telah
menjadi penyebab ketimpangan dan ketidak stabilan di sebuah Negara.

Pemerintah Kolombia yang banyak mewakilkan kepentingian perusahaan asing seperti dengan
mengeluarkan aturan bahwa penambang rakyat merupakan kegiatan illegal karena tidak memiliki
sertifikat resmi (dan memang tidak diupayakan sedemikian rupa), namun membiarkan TNC
mengeksploitasi sumber emas. Dalam hal ini tugas Negara yang harusnya menghadirkan
keamanan bagi rakyatnya, fisik ataupun finansial bukan hanya gagal namun menyalahi aturan
yang ada.

Hal tersebut juga merupakan dampak dari penjajahan, bagaimana Negara selama beratus tahun di
bawah kendali colonial dengan akses pendidikan yang tidak mumpuni hingga mental yang
dibentuk sedemikian rapuh karena trauma, akhirnya menyebabkan ketika Negara tersebut
merdeka ketidak siapan tejadi dalam segala bidang. Ketika Negara adi daya angkat kaki, maka
selanjutnya akan terjadi perebutan kekuasaan yang tentu saja dimenangkan oleh elite. Hal
tersebut membuat ekonomi dan kekuasaan hanya berputar di siklus kecil hingga melahirkan
kepemimpinan yang otoriter.

Dalam situasi tersebut jika dihubungankan dengan review buku sebelumnya, menunjukkan
bagaimana masyarakat Marmoto berjuang untuk memenuhi kehidupan hidup dengan
menambang, karena Negara tidak hadir untuk mereka. Kritikan untuk eksploitasi terhadap lahan
bisa saja terarah karena penambangan, namun dalam keadaan ketika kelaparan terus menghantui
membuat pemikiran tentang climate change tidak bekerja pada masyarakat disana. Apalagi
dampak dari perubahan iklim tidak langsung terlihat, namun kelaparan bisa membunuhmu
seketika.

Namun komunitas Marnoto tidak tinggal diam dalam segala ketidakadilan. Mereka melawan
dengan mendapatkan legitiminasi nasional ataupun internasional dengan membangun jaringan
solidaritas. Pemerintah Kanada yang mendapat 2 tekanan baik dari investor ataupun rakyatnya
sendiri tentu berada dalam dilemma, walaupun di banyak kesempatan lebih memilih berada
dalam sisi investor.

Kasus Marmoto sebenarnya adalah salah satu bagian dari ‘kutukan sumber daya alam’ seperti
yang disebutkan sebelumnya. Diawali oleh Spanyol, Inggris sampai saat ini masih bermasalah
dalam tingkatan internasional, nasional bahkan di bagian terkecil yaitu permasalah etnis di
Marmoto itu sendiri.

Permasalahan terbesar di Marmoto adalah bagaimana kegagalan Negara dalam emlaksanakan


tugasnya. Peran utama Negara adalah melindungi Hak Asasi Manusia, bukan malah
memperlakukan rakyat dengan sangat tidak adil sampai penembakan. Namun dalam kasus
Marmoto jarang ada kasus terkait pelanggaram HAM tersebut menjadi headline di berita
internasional. Hal tersebut ditenggarai karena dibalik kasus tersebut ada banyak kepentingan
Negara- Negara adidaya yang memiliki kemampuan untuk mengontrol media. Adapun LSM
yang bergerak di bidang HAM sering mempublikasikan keadaan masyarakan kepada dunia.

Penambang tradisional sebenarnya berada dalam dilemma harga, mereka suka terhadap harga
tinggi namun disaat yang sama hal tersebut akan membuat TNC dari Negara- Negara adidaya
akan semakin getol untuk membuat tambang terbuka dan menggeser mereka. Dan ketika itu
terjadi, maka sulit mengingat Negara bahkan tidak berpihak kepada mereka.

Kasus Marmoto sangat kompeks karena ketika kepentingan dari Negara yang memiliki power
besar sudah mengintervensi, maka akan sulit untuk jalan keluar ditemukan. Hal tersebut
dikarenakan mereka bahkan bisa merubah regulasi internasional, apalagi sebuah daerah di
Negara dengan otoritas ‘boneka’ investor.

Kasus tersebut banyak terjadi di Negara- Negara berkembang. Rakyat mungkin bisa melakukan
protes dan menuntut agar pemimpin yang tidak adil terhadap rakyat tersebut turun dari
kekuasaan, namun perlindungan dari ‘tangan tak terlihat’ investor membuat mereka tidak
tersentuh. Apalagi Negara memiliki segala akses termasuk militer yang membuat rakyat banyak
menjadi korban kekerasan.
Lalu sebenarnya apa yang bisa menolong masyarakat Marmoto? Dunia internasional yang
dirancang dengan model ekonomi kapitalis mendorong adanya investasi. Perusahaan- perusahaan
TNC yang ada di dunia saat ini disokong oleh legalitas dari sistem internasional. Masyarakat
hanya bisa menuntut Negara, tapi tidak dengan TNC.

Sebenarnya yang menjadi aspek tidak disebutkan adalah sistem dunia itu sendiri. Negara
berkembang yang tidak mampu secara industri untuk mengelolah sumber daya alam mereka
sendiri berakhir di tangan investor asing. Dunia yang semakin kehilangan batas- batas territorial
akibat globalisasi juga tidak mempunyai daya untuk menolak kemajuan tersebut. Karena
kasusnya akan seperti Korea Utara, diasingkan dari dunia Internasional.

Masyarakat Marmoto tidak punya banyak pilihan selain melawan rezim tidak pro terhadap rakyat
dengan melakukan banyak aksi. Di dalam buku dijelaskan bahwa pernah terjadi pemogokan
terhadap petugas tambang. Namun tentu saja hal tersebut belum cukup untuk mendesak otoritas
memberikan hak legal kepada warga untuk melakukan pertambangan.

Amerika Latin walaupun sudah diberi label ‘demokrasi’ karena pengaruh Amerika Serikat
namun tetap saja dalam praktiknya tidak demikian. Pemimpin- peminpin disana cenderung
otoriter dan hal tersebut anehnya ‘dibiarkan saja’. Kalau misalnya kita melihat kasus Irak dan
Libya misalnya. Bahkan NATO turut campur dalam menjatuhkan rezim Muammar Qadafi atas
nama hak asasi manusia. Amerika Serikat juga menjadi dalang dari banyaknya Negara Timur
Tengah dan Afrika Utara yang terdampak dalam gelombang Arab Spring. Masih segar diingatan
bagaimana Suriah digempur habis- habisan oleh Amerika Serikat dan sekutu dikarenakan
tuduhan pengembangan senjata biokimia yang disinyalir digunakan kepada warga Libya sendiri
padahal PBB tidak membenarkan hal tersebut.

Tapi berbeda kasus dengan Amerika Latin, Marmoto misalnya salah satu daerah disana. Kenapa
demikian? Rezim Bashar al A-ssad di Suriah terkenal tidak cocok dengan segala kepentingan
Amerika Serikat, maka beralasan jika AS sangat getol dalam upaya ‘menyebar demokrasi’ ala
mereka. Namun Amerika Latin yang berada dibawah kuasa AS sebagai ‘leader’ dari kawasan
tentu tidak demikian. Jika sampai rakyat Marmoto diberi kelegalan dalam pertambangan serta
didukung oleh rezim yang pro terhadap rakyat, maka kepentingan perusahaan- perusaan asing
akan terancam. Untuk itu, ‘pembiaran’ pelanggaran hak asasi manusia tersebut mewakilkan
banyak kepentingan.

Kesimpulan

Krisis kemanusiaan yang terjadi di Marmoto adalah salah satu bentuk bagaimana sumber daya
alam dalam hal ini minyak dapat menyebabkan problematika yang sangat kompleks. Terlalu
banyak perbenturan kepentingan dari tingkat paling tinggi sampai bagian terkecil dalam
masyarakat. Tambang emas menjadi alasan perbenturan etnis tentang siapa yang lebih pantas
disaat yang sama keamanan warga Negara malah terancam dikarenakan kehadiran Negara itu
sendiri dalam mewakili kepentingan investor Asing.

Namun yang luput dari pembahasan adalah bagaimana peran dari penjajahan masa kolonial
masih berdampak terhadap perpecahan dalam domestic Marmoto. Ketidaksiapan pasca
kemerdekaan membuat masyarakat sangat bergantung pada tambang di bahwa sebuah sistem
pemerintahan yang menekan hak- hak rakyat. Banyak aksi dilakukan dalam menentang
kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat, namun otoritas memiliki segalanya seperti
ekonomi bahkan militer ditambah dukungan dari Asing yang mereka wakili kepentingannya.

Negara kehilangan peran dalam melindungi warga dan meneggakkan hak asasi manusia menjadi
sorotan dalam pembahasan. Walaupun banyak LSM yang sudah ikut serta dalam menyiarkan
keadaan masyarakat disana, namun tidak banyak hal yang dapat berubah. Negara asal investor
adalah mereka yang mempunyai kekuatan bahkan dalam pengambilan kebijakan internasional.
Untuk itu tidak akan banyak perubahan selain kecaman yang tidak bersifat menekan di Marmoto.

Ketika ada suatu rezim yang berkuasa namun tidak dicintai rakyatnya, tentu dalam demokrasi
kekuatan people power seperti yang dipertontonkan ketika Arab Spring dapat terlaksana. Namun
bagi Negara dimana rezim disokong oleh kepentingan Negara adidaya, maka hal tersebut seolah
sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Saran

Dalam bab ini banyak menyorot Negara yang gagal dalam melaksanakan tugasnya. Namun
kurang mengupas tentang Negara- Negara apa saja yang mengambilk kepentingan dari tambang
emas yang ada di Marmoto. Negara adikuasa serta sistem yang mereka ‘ciptakan’ juga harus
disorot karena menjadi akar dari pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi disana.

Anda mungkin juga menyukai