Anda di halaman 1dari 20

Pemetaan Daerah Potensi Resapan dengan Mengintegrasikan Metode Penginderaan Jauh

dan Sistem Informasi Geografis di Daerah Aliran Sungai Opak Bagian Tengah,
Kecamatan Prambanan dan Sekitarnya, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Erika Aurellia1, Rezky Aditiyo2, dan Urwatul Wusqa2

1. Program Studi Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia, Pondok Cina, Beji, Depok, 16424, Indonesia
2. Program Studi Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia, Pondok Cina, Beji, Depok, 16424, Indonesia

Email: erika.aurellia@ui.ac.id

Abstrak
Penelitian dilakukan di Daerah Aliran Sungai Opak Wilayah Prambanan dan sekitarnya
meliputi Kecamatan Prambanan dan Piyungan, Yogyakarta dengan luas area sebesar 74,84 km.
Selama beberapa tahun terakhir, daerah penelitian kerap dilanda krisis air bersih bahkan di musim
penghujan. Kejadian ini sejalan dengan semakin bertambahnya pembangunan permukiman,
tempat wisata, dan penginapan di daerah tersebut. Maka, peneliti melakukan pemetaan daerah
potensi resapan sebagai salah satu upaya konservasi daerah resapan air dalam perencanaan tata
ruang. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat peta potensi ialah metode
penginderaan jauh dan SIG. Pada beberapa penelitian sebelumnya, metode ini dinilai cukup efektif
dalam memetakan daerah resapan. Adapun berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat beberapa
parameter yang digunakan penelitian ini untuk memetakan daerah resapan, yaitu kemiringan
lereng, jenis tanah, litologi, tutupan lahan, densitas drainase, densitas kelurusan, dan curah hujan.
Parameter-parameter ini kemudian diolah menjadi peta-peta tematik lalu direklasifikasi sesuai
dengan tingkat kemampuan setiap kelasnya dalam menyerap dan meloloskan air ke akuifer.
Setelah itu, dilakukan pembobotan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan hasil yaitu: kemiringan lereng 32,3%, jenis tanah 23,4%, litologi 17,6%, tutupan lahan
10,4%, densitas drainase 7,6%, densitas kelurusan 4,7%, dan curah hujan 3,7%. Hasil integrasi
ketujuh parameter menghasilkan lima kelas daerah potensi resapan yaitu potensi sangat rendah
mencakup 0,6% daerah penelitian, potensi rendah mencakup 7,2%, potensi moderat mencakup
29,3%, potensi tinggi mencakup 42,5%, dan potensi sangat tinggi mencakup 20,7% daerah
penelitian.

Kata kunci: air tanah, potensi resapan, AHP, SIG


Groundwater Recharge Zone Mapping by Integrating Remotes Sensing and Geographic
Information System Methods in Middle Opak Watershed. Prambanan Subdistrict and Its
Surroundings, Sleman Regency, Yogyakarta Special Region.

ABSTRACT

The research was conducted in the Opak River Watershed in the Prambanan and
surrounding areas, covering Prambanan and Piyungan sub-districts, Yogyakarta with an area of
74.84 km. Over the past 5 years, the research area has been frequently hit by floods that inundate
settlements and rice fields owned by residents. This incident is in line with the increasing
development of settlements, tourist attractions, and inns in the area. So, the researcher conducted
a mapping of potential infiltration areas as one of the efforts to conserve water catchment areas in
spatial planning. One method that can be used to create a potential map is remote sensing and GIS.
In some previous studies, this method was considered quite effective in mapping infiltration areas.
As based on previous research, there are several parameters used by this research to map
infiltration areas, namely slope, soil type, lithology, land cover, drainage density, straightness
density, and rainfall. These parameters were then processed into thematic maps and reclassified
according to the level of ability of each class to absorb and pass water to the aquifer. After that,
weighting was done using the Analytical Hierarchy Process (AHP) method with the results: slope
32.3%, soil type 23.4%, lithology 17.6%, land cover 10.4%, drainage density 7.6%, alignment
density 4.7%, and rainfall 3.7%. The integration of the seven parameters resulted in five classes of
infiltration potential areas: very low potential covering 0.6% of the study area, low potential
covering 7.2%, moderate potential covering 29.3%, high potential covering 42.5%, and very high
potential covering 20.7% of the study area.

Keyword: groundwater, recharge potential, AHP, GIS

Pendahuluan
Air tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting dalam menunjang aktivitas
manusia. Air tanah sendiri dapat diartikan sebagai aliran air yang mengalir dibawah tanah dalam
berbagai bentuk yang dipengaruhi oleh gravitasi bumi, struktur perlapisan batuan, serta
kelembapan tanah (Asdak, 2010). Menurut Domene & Sauri tahun 2006, peningkatan kebutuhan
air tanah umumnya berbanding lurus dengan perkembangan peradaban manusia. Perkembangan
peradaban dapat meningkatkan terjadinya alih fungsi lahan yang menjadi salah satu penyebab
terjadinya banjir (California Water Resource Departement, 2022). Maka, dapat dilakukan
pemetaan daerah resapan air sebagai salah satu upaya konservasi lahan resapan yang dapat
mengurangi resiko terjadinya banjir (Reddy, C, 1990).
Pemetaan daerah resapan dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya dengan
pemanfaatan citra satelit (Dar, et. al., 2021). Hasil pengolahan data citra satelit kemudian
dikombinasikan dengan metode analytical hierarchy process (AHP) atau metode pembobotan
berbagai macam komponen yang menjadi parameter dalam menentukan suatu hasil (Ghosh & Kar,
2017). Penggunaan metode penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan metode AHP untuk
memetakan daerah resapan telah terbukti memiliki hasil yang cukup memuaskan berdasarkan
sejumlah penelitian terdahulu (Syafarani, et. al., 2022; Suryanta, et. al., 2018; Atmaja, et. al., 2020;
Kaliraj, et. al., 2013; Adibah, et. al., 2013; Dar, et. al., 2021; Zghibi, et. al., 2020; Das, et. al., 2019;
Hastono, et. al., 2012). Penelitian umumnya dilakukan di daerah beriklim kering tetapi terdapat
pula penelitian yang dilakukan di iklim tropis.
Pada penelitian ini pemetaan daerah resapan dilakukan di Daerah Aliran Sungai Opak
bagian tengah tepatnya pada wilayah Prambanan dan Sekitarnya, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tercatat bahwa beberapa tahun terakhir daerah penelitian kerap kali mengalami
masalah krisis air bersih bahkan terjadi di musim penghujan. Pembangunan permukiman, tempat
wisata, dan penginapan juga semakin meningkat setiap tahunnya sehingga meningkatkan resiko
terjadinya krisis. Pemetaan daerah resapan sebagai daerah penyerap air hujan diharapkan dapat
menjadi acuan bagi pembangunan serta konservasi lahan agar dapat mengurangi resiko krisis air
di kemudian hari.
Tinjauan Teoritis
1. Geologi dan Tektonik Regional
Menurut Van Bemmelen pada tahun 1949, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona
Depresi Sentral Jawa di bagian barat dan Zona Pegunungan Selatan di bagian timur. Daerah
Penelitian tersusun atas dua formasi yaitu Formasi Semilir yang berisikan tuf, tuf lapilli, lapilli
batuapung, breksi batuapung dan serpih dengan variasi komposisi dari andesit hingga dasit serta
Endapan Merapi Muda yang berisikan endapan lahar, fluvium, dan endapan awan panas. Adapun
daerah penelitian memiliki pola tegasan Meratus dan Jawa.
2. Hidrogeologi
Hidrogeologi merupakan suatu bidang ilmu yang meliputi hubungan proses geologi dengan
air yang mencakup proses masuk dan mengalirnya air dari permukaan ke akuifer dan bagaimana
air tanah berhubungan dengan batuan sekitarnya.
3. Daerah Resapan
Daerah resapan merupakan daerah tempat masuknya air menuju akuifer melalui zona tak
jenuh air setelah terjadinya infiltrasi dan perkolasi akibat presipitasi (Freeze and Cherry, 1979).
Mekanisme resapan terbagi menjadi tiga yaitu direct recharge, indirect recharge, dan localized
recharge.
4. Daerah Aliran Sungai
Menurut Kodoatie dan kawan-kawan pada tahun 2018, Daerah Aliran Sungai merupakan
wilayah yang terdiri atas sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi secara topografis oleh
punggungan-punggungan bukit serta berguna sebagai media penyimpanan dan pengaliran air hasil
presipitasi menuju ke danau atau laut. Air hujan yang turun di DAS akan menjadi air tanah setelah
mengalami infiltrasi dan perkolasi serta tersimpan dalam suatu cekungan air tanah.
5. Hidrogeologi regional
Sebagian daerah penelitian termasuk ke dalam CAT Yogyakarta sedangkan area
perbukitan tidak termasuk dalam CAT. Daerah perbukitan tersusun atas batuan yang
kemampuannya kecil untuk menyimpan dan meloloskan air (Kristanto, 2020). Saat musim hujan,
tanah pada daerah perbukitan Prambanan >10 meter dengan fluktuasi kedalaman muka air tanah
antara 4-15 meter. Saat musim kemarau sebagian besar air tanah ditemukan pada lapisan akuifer
dalam (> 40 meter) (PUP-ESDM DIY, 2018).
6. Parameter Penentuan Daerah Resapan
6.1 Jenis Litologi
Jenis litologi memiliki pengaruh yang cukup krusial dalam menentukan tinggi
rendahnya potensi resapan air di suatu daerah (Masqoom, et. al., 2022). Menurut Fetter
pada tahun 2014, batuan plutonik, vulkanik, maupun batuan sedimen memiliki tingkat
porositas dan permeabilitas yang berbeda-beda bergantung pada faktor genesa dan faktor
lainnya.
6.2 Jenis Tanah
Sifat fisik tanah seperti tekstur dan porositas mempengaruhi bagaimana presipitasi
meresap dan tersimpan di dalam tanah sehingga berdampak terhadap potensi daerah
resapan (Price, et. al, 2010). Permeabilitas umumnya tinggi pada sedimen yang berbutir
kasar sedangkan pada material lempung permeabilitas cenderung buruk.
6.3 Kemiringan Lereng
Topografi dan kemiringan lereng di suatu daerah mempengaruhi tingkat peresapan
air ke dalam tanah. Pada topografi yang landai, kecepatan aliran air permukaan lebih
lambat sehingga lebih banyak waktu air untuk menyerap ke dalam tanah dan sebaliknya.
6.4 Tutupan Lahan
Tutupan lahan yang memiliki permeabilitas tinggi akan meningkatkan potensi
resapan, sebaliknya, apabila permeabilitas dari tutupan lahan rendah maka semakin sulit
air mengalami penyerapan (Silwal dan Pathak, 2018).
6.5 Densitas Kelurusan
Kelurusan merupakan suatu morfologi yang umumnya tercipta akibat adanya
aktivitas tektonik dimana produk dari aktivitas tektonik salah satunya adalah struktur
geologi. Maka, daerah dengan tingkat densitas kelurusan tinggi kemungkinan memiliki
tingkat penyerapan air yang bagus akibat terdapatnya struktur geologi sebagai
permeabilitas sekunder.
6.6 Densitas Drainase
Densitas drainase rendah menandakan penyerapan tinggi yang kemungkinan dapat
mengindikasikan potensi resapan yang baik. Apabila densitas drainase rendah, air hujan
akan menyerap ke tanah dan tidak terbawa aliran permukaan.
6.7 Curah Hujan
Curah hujan memiliki peran yang signifikan dalam proses pengisian air ke dalam
tanah dan umumnya curah hujan tinggi berbanding lurus dengan potensi resapan di suatu
daerah (Dar, et. al., 2021).
7. Analytical Hierarchy Process
Berdasarkan Saaty pada tahun 1987, metode Analytical Hierarchy Process
merupakan teori dasar dari suatu perhitungan yang digunakan untuk memperoleh skala
rasio dari perbandingan berpasangan yang diskrit dan kontinu atau dengan kata lain AHP
merupakan suatu metode kuantitatif yang melibatkan proses pemilahan dan pemilihan
alternatif keputusan berdasarkan sejumlah kriteria.
Dalam melakukan pemetaan daerah resapan menggunakan metode AHP, alokasi
bobot dari berbagai peta tematik dan klasifikasi yang sesuai ditentukan oleh kompetensi
peneliti dalam memberikan bobot dan peringkat yang sesuai (Das, et. al., 2018). Adapun
signifikansi relatif dari setiap faktor dapat ditentukan menggunakan skala 1-9 oleh Saaty
tahun 1980 (Gambar 1).

Gambar 1. Skala Intensitas Penilaian AHP (Saaty, 1980)

Metode Penelitian
Berikut ini adalah diagram alir dari penelitian:
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Hasil Penelitian
1. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng pada daerah penelitian memiliki rentang nilai dari 0° – 54,31°
yang dibagi menjadi lima kelas (Tabel 1). Bagian barat didominasi dengan warna hijau tua
dengan sedikit hijau muda yang menandakan bagian barat memiliki kemiringan lereng
yang datar hingga cukup landai sedangkan bagian timur dan selatan memiliki relief
topografi yang lebih beragam (Gambar 3).
Tabel 1. Tabel Kelas Lereng.
No. Kelas Lereng (°) Area (Km2) Persentase (%) Rank
1 0 – 10,86 49,3 65,9 5
2 10,86 – 21,72 18,4 24,6 4
3 21,72 – 32,59 6,1 8,2 3
4 32,59 – 43,45 1 1,3 2
5 43,45 – 54,31 0,04 Hampir 0 1

Gambar 3. Peta Kemiringan Lereng


2. Jenis Tanah
Berdasarkan data yang didapatkan dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia, daerah penelitian terdiri atas tiga jenis
tanah yaitu Litosol, Regosol Coklat Keabuan, dan Grumosol Kelabu (Tabel 2). Bagian
timur dari daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah berupa litosol, kemudian bagian
barat dari daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah berupa Regosol Coklat Keabuan,
dan bagian tengah dari daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah berupa Grumosol
Kelabu (Gambar 4).
Tabel 2. Tabel Jenis Tanah.
No. Jenis Tanah Area (Km2) Persentase (%) Rank
1 Litosol 36,8 65,9 5
2 Regosol Coklat Keabuan 31,6 24,6 4
3 Grumusol Kelabu 6,4 8,2 3

Gambar 4. Peta Jenis Tanah


3. Litologi
Berdasarkan pengamatan lapangan didapatkan dua satuan litologi yaitu Satuan Tuf
Semilir yang berisikan litologi tuf dengan sisipan pasirtufan dan lapilli serta endapan
alluvium yang merupakan endapan yang berasal dari material yang belum terkonsolidasi
berupa pasir, lanau, lempung, serta fragmen hasil lapukan litologi yang berada di daerah
penelitian (Gambar 5).

Gambar 5. Peta Persebaran Litologi


4. Tutupan Lahan (NDVI)
Daerah penelitian didominasi oleh vegetasi cukup rapat (Gambar 6) yang
ditemukan pada sisi perbukitan sebelah timur. Pada sisi barat cenderung telah terjadi alih
fungsi lahan sehingga indeks vegetasi menjadi rendah. Maka, area dengan vegetasi yang
lebih rapat akan memiliki nilai yang lebih tinggi dalam penentuan daerah resapan.
Gambar 6. Peta Tutupan Lahan
5. Densitas Kelurusan
Parameter selanjutnya dalam penentuan daerah potensi resapan adalah densitas
kelurusan. Kelurusan berperan sebagai permeabilitas sekunder dalam penyerapan air ke
akuifer. Berdasarkan hasil auto lineament extraction pada PCI Geomatica, kelurusan
sangat dominan ditemukan di perbukitan sebelah timur dan selatan (Gambar 7). Hal ini
berkorelasi dengan bentukkan bentang alamnya yang berupa perbukitan struktural
sehingga dapat diasumsikan kelurusan berasosiasi dengan keberadaan struktur geologi
yang dapat mendukung permeabilitas sekunder di suatu area.
Gambar 7. Peta Densitas Kelurusan
6. Densitas Drainase
Densitas drainase merupakan parameter yang berbanding terbalik dengan densitas
kelurusan dimana semakin tinggi densitas drainase akan semakin banyak air hujan yang
turun langsung mengalir dan tidak terserap ke tanah sedangkan apabila densitas drainase
semakin rendah maka akan semakin sedikit air hujan yang turun langsung dan tidak
terserap ke tanah sehingga memungkinkan air untuk mengalami infiltrasi ke dalam tanah.
Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 8), didapatkan area perbukitan sebelah timur dan
selatan memiliki densitas tinggi pada daerah penelitian. Sedangkan pada area dataran
sebelah barat densitas drainase mendekati nol sehingga infiltasi air dapat berjalan dengan
sangat baik.
Gambar 8. Peta Densitas Drainase
7. Curah Hujan
Curah hujan merupakan suplai air dalam proses infiltrasi air tanah. Nilai curah
hujan taunan didapat berdasarkan hasil kalkulasi nilai rata-rata curah hujan selama sepuluh
tahun dari tahun 2010 hingga 2020 yang diambil di tiga stasiun pengukuran curah hujan
yaitu Stasiun Terong, Stasiun Kedung Keris, dan Stasiun Tanjung Tirto. Stasiun Terong
memiliki curah hujan rata-rata sebesar 1760,2 mm/tahun, Stasiun Kedung Keris memiliki
curah hujan rata-rata sebesar 1878,2 mm/tahun, dan Stasiun Tanjung Tirto memiliki curah
hujan rata-rata sebesar 2108,5 mm/tahun. Ketiga stasiun tersebut kemudian dihubungkan
dengan metode polygon Thiessen (Gambar 9) sehingga dapat terlihat area cakupan setiap
stasiun curah hujan di daerah penelitian.
Gambar 9. Peta Curah Hujan
8. Pembobotan Parameter Daerah Resapan
Setelah dilakukan analisis pada setiap peta tematik maka dilakukan pembobotan
sesuai dengan data yang didapat dari hasil analisis di daerah penelitian dengan
menggunakan peranti lunak Super Decision. Pembobotan dilakukan dengan
mengkuantifikasi penilaian kualitatif dari peneliti ke dalam sebuah tabel perbandingan
berpasangan atau pairwise comparison matrix (Tabel 3). Setelah itu dibuat pula tabel
ranking untuk setiap nilai klasifikasi dari parameter yang ada (Tabel 4).
Tabel 3. Tabel Perbandingan Berpasangan Parameter Daerah Potensi Resapan.

Curah Hujan
Kemiringan

Jenis Tanah

Kelurusan
Tutupan

Drainase
Litologi

Densitas

Densitas
Lereng

Lahan
Bobot
Parameter CR
(%)

Kemiringan Lereng 1 2 3 3 4 5 5 32,3


Jenis Tanah 1/2 1 2 3 3 5 5 23,4
Litologi 1/3 1/2 1 3 3 5 5 17,6
Tutupan Lahan 1/3 1/3 1/3 1 2 3 3 0,038 10,4
Densitas Drainase 1/4 1/3 1/3 1/2 1 2 3 7,9
Densitas Kelurusan 1/5 1/5 1/5 1/3 1/2 1 2 4,7
Curah Hujan 1/5 1/5 1/5 1/3 1/3 1/2 1 3,7
Total Bobot 100,0

Tabel 4. Tabel Pembobotan dan Rangking Setiap Parameter.


Parameter Klasifikasi Rank Potensi Resapan Bobot
0 - 10,86249695 5 Sangat Tinggi
10,86249696 - 21,7249939 4 Tinggi
Kemiringan Lereng
21,72499391 - 32,58749084 3 Sedang 0,32
(°)
32,58749085 - 43,44998779 2 Rendah
43,4499878 - 54,31248474 1 Sangat Rendah
Litosol (sand) 5 Sangat Tinggi
Jenis Tanah Regosol (sandy loam) 4 Tinggi 0,23
Grumosol (clay loam) 3 Sedang
Aluvium (Qa) 4 Tinggi
Litologi 0,18
Tuf Semilir (Tms) 3 Sedang
Rapat 5 Sangat Tinggi
Cukup Rapat 4 Tinggi
Tutupan Lahan Tidak Rapat 3 Sedang 0,10
Non Vegetasi 2 Rendah
Badan Air 1 Sangat Rendah
0,007487235 - 1,062954662 5 Sangat Tinggi
1,062954663 - 2,11842209 4 Tinggi
Densitas Drainase
2,118422091 - 3,173889517 3 Sedang 0,08
(km/km2)
3,173889518 - 4,229356944 2 Rendah
4,229356945 - 5,284824371 1 Sangat Rendah
6,506137849 - 8,13267231 5 Sangat Tinggi
4,879603387 - 6,506137848 4 Tinggi
Densitas Kelurusan
3,253068925 - 4,879603386 3 Sedang 0,05
(km/km2)
1,626534463 - 3,253068924 2 Rendah
0 - 1,626534462 1 Sangat Rendah
2108 3 Sedang
Curah Hujan
1878 2 Rendah 0,04
(mm/tahun
1760 2 Rendah
9. Peta Daerah Potensi Resapan
Berdasarkan hasil integrasi pada ketujuh peta tematik dari parameter potensi daerah
resapan, maka diperoleh hasil berupa peta daerah potensi resapan (Gambar 10). Daerah
penelitian terbagi menjadi lima tingkat potensi resapan (Tabel 5) yaitu potensi sangat
rendah, potensi rendah, potensi moderat, potensi tinggi, dan potensi sangat tinggi.
Tabel 5. Tabel Klasifikasi Daerah Potensi Resapan.
Nilai Potensi Daerah Tingkat Potensi Daerah Area
No. Persentase (%)
Resapan Resapan (Km2)
1 0,59 – 1,44 Potensi Sangat Rendah 0,4 0,6
2 1,45 – 2,29 Potensi Rendah 5,4 7,2
3 2,30 – 3,13 Potensi Moderat 21,9 29,3
4 3,14 – 3,98 Potensi Tinggi 31,9 42,5
5 3,99 – 4,83 Potensi Sangat Tinggi 15,5 20,7
Gambar 10. Peta Daerah Potensi Resapan
Kesimpulan
Daerah penelitian memiliki luas area sebesar 74,84 km2 dan terbagi menjadi lima
klasifikasi potensi resapan dengan dominasi potensi tinggi hingga sangat tinggi yang
mencakup 63,2% daerah penelitian. Daerah potensi tinggi hingga sangat tinggi dapat
ditemukan di area dataran yang utamanya dipengaruhi oleh kemiringan lereng landai, jenis
tanah dan batuan dengan kemampuan infiltrasi baik, serta densitas drainase rendah.
Adapun daerah perbukitan didominasi oleh potensi resapan moderat yang mencakup
29,3% daerah penelitian dan di beberapa area dengan kemiringan lereng yang curam dan
densitas drainase tinggi potensi semakin menurun ke tingkat rendah hingga sangat rendah.
Kemiringan lereng, jenis tanah, dan jenis batuan menjadi faktor utama yang
memengaruhi tingkat potensi resapan sedangkan tutupan lahan, densitas drainase, densitas
kelurusan, dan curah hujan menjadi faktor pendukung. Pada beberapa area dengan
kemiringan lereng, jenis tanah, dan jenis batuan yang mendukung resapan air, tutupan
lahan bervegetasi rendah dapat menurunkan nilai potensi dan dapat semakin menurun
apabila terus terjadi alih fungsi lahan. Adapun pada area dengan kemiringan lereng dan
jenis batuan yang kurang mendukung, vegetasi rapat serta adanya permeabilitas sekunder
dari analisis kelurusan diasumsikan dapat meningkatkan nilai potensi resapan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka terdapat beberapa saran yang dapar diberikan
penulis yaitu:
1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan validasi daerah potensi dengan
melakukan pemetaan mata air dan sumur atau dengan studi laju infiltrasi.
2. Studi tentang tanah dan analisis porositas batuan mungkin akan meningkatkan validitas
mengenai laju infiltrasi tanah dan batuan sehingga dapat dipertimbangkan untuk
dilkakukan pada penelitian selanjutnya.
3. Penambahan metode-metode di atas diharapkan dapat meningkatkan akurasi peta daerah
potensi resapan sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengembangan daerah.
Daftar Pustaka
Adibah, N., Kahar, S., & Sasmito, B. (2013). Aplikasi Penginderaan Jauh Dan
Sistem Informasi Geografis Untuk Analisis Daerah Resapan Air (Studi Kasus :
Kota Pekalongan. Jurnal Geodesi Undip, 2(2).
https://doi.org/10.14710/jgundip.2013.2445
Asdak, C. (2010). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
California Departement of Water Resources. (2002). Drought [halaman web]. Diakses
dari https://water.ca.gov/water-basics/drought
Dar, T., Rai, N., Bhat, A. (2021). Delineation of potential groundwater recharge zones
using analytical hierarchy prosess (AHP). Geology, Ecology, and Landscapes, 5(4),
292-307.
Das, B., Pal, S. C. (2019). Combination of GIS and fuzzy-AHP for delineating
groundwater recharge potential zones in the critical Goghat-II block of West
Bengal, India. Hydroresearch, 2, 21-30.
Domene, E., Sauri, D. (2006). Urbanisation and Water Consumption: Influencing
Factors in the Metropolitan Region Barcelona. Urban Studies, 43(9), 1605-1623.
Fetter, C. W. (2018). Applied Hydrogeology. Waveland Press
Freeze, R. A., & Cherry, J. A. (1979). Groundwater (No. 629.1 F7) diakses dari
http://hydrogeologistswithoutborders.org/wordpress/1979-english/chapter-8/
Ghosh, A., Kar, S. K. (2018). Application of analytical hierarchy process (AHP) for
flood risk assessment: a case study in Malda district of West Bengal, India. Springer
Nature, 94, 349-368.
Hastono, F. D., Sudarsono, B., Sasmito, B. (2012). Identifikasi Daerah Resapan Air
Dengan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Sub DAS Keduang). Jurnal
Geodesi Undip, 1-9.
Kodoatie, R. J. (2012). Tata Ruang Air Tanah. Yogyakarta: Penerbit Andi
Reddy, C. (1990). Hydrological Processes and Water Management in Urban Areas.
United Kingdom: IAHS Press.
Saaty, R. W. (1987). The analytic hierarchy process – what it is and how it is used.
Mathematical Modelling, 9(3), 161-176.
Silwal, C. B., & Pathak, D. (2018). Review on practices and state of the art methods on
delineation of ground water potential using GIS and remote sensing. Bulletin of the
Department of Geology, 7-20.
Syafarini, H., Hendrayana, H., Winardi, S. (2021). Determination of Priority Areas for
Groundwater Development by Using the Analytic Hierarchy Process Method in
Rote Island. IOP Conference Series: Earth and Environtmental Science,
doi:10.1088/1755-1315/930/1/012052
Van Bemmelen, R.W. (1949). The Geology Of Indonesia Vol. IA: General Geology Of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes. The Hague: The Hague Government
Printing Office 1949.
Zghibi, A., Mirchi, A., Msaddek, M. H., Merzougoui, A., Zouhri, L., Taupin, J. D.,
Chekirbane, A., Chenini, I., Tarhouni, J. (2020). Using Analytical Hierarchy
Process and Multi-Influencing Factors to Map Groundwater Recharge Zones in a
Semi-Arid Mediterranean Coastal Aquifer. Water, 12, 1-27.

Anda mungkin juga menyukai