dan Sistem Informasi Geografis di Daerah Aliran Sungai Opak Bagian Tengah,
Kecamatan Prambanan dan Sekitarnya, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
1. Program Studi Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia, Pondok Cina, Beji, Depok, 16424, Indonesia
2. Program Studi Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia, Pondok Cina, Beji, Depok, 16424, Indonesia
Email: erika.aurellia@ui.ac.id
Abstrak
Penelitian dilakukan di Daerah Aliran Sungai Opak Wilayah Prambanan dan sekitarnya
meliputi Kecamatan Prambanan dan Piyungan, Yogyakarta dengan luas area sebesar 74,84 km.
Selama beberapa tahun terakhir, daerah penelitian kerap dilanda krisis air bersih bahkan di musim
penghujan. Kejadian ini sejalan dengan semakin bertambahnya pembangunan permukiman,
tempat wisata, dan penginapan di daerah tersebut. Maka, peneliti melakukan pemetaan daerah
potensi resapan sebagai salah satu upaya konservasi daerah resapan air dalam perencanaan tata
ruang. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat peta potensi ialah metode
penginderaan jauh dan SIG. Pada beberapa penelitian sebelumnya, metode ini dinilai cukup efektif
dalam memetakan daerah resapan. Adapun berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat beberapa
parameter yang digunakan penelitian ini untuk memetakan daerah resapan, yaitu kemiringan
lereng, jenis tanah, litologi, tutupan lahan, densitas drainase, densitas kelurusan, dan curah hujan.
Parameter-parameter ini kemudian diolah menjadi peta-peta tematik lalu direklasifikasi sesuai
dengan tingkat kemampuan setiap kelasnya dalam menyerap dan meloloskan air ke akuifer.
Setelah itu, dilakukan pembobotan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan hasil yaitu: kemiringan lereng 32,3%, jenis tanah 23,4%, litologi 17,6%, tutupan lahan
10,4%, densitas drainase 7,6%, densitas kelurusan 4,7%, dan curah hujan 3,7%. Hasil integrasi
ketujuh parameter menghasilkan lima kelas daerah potensi resapan yaitu potensi sangat rendah
mencakup 0,6% daerah penelitian, potensi rendah mencakup 7,2%, potensi moderat mencakup
29,3%, potensi tinggi mencakup 42,5%, dan potensi sangat tinggi mencakup 20,7% daerah
penelitian.
ABSTRACT
The research was conducted in the Opak River Watershed in the Prambanan and
surrounding areas, covering Prambanan and Piyungan sub-districts, Yogyakarta with an area of
74.84 km. Over the past 5 years, the research area has been frequently hit by floods that inundate
settlements and rice fields owned by residents. This incident is in line with the increasing
development of settlements, tourist attractions, and inns in the area. So, the researcher conducted
a mapping of potential infiltration areas as one of the efforts to conserve water catchment areas in
spatial planning. One method that can be used to create a potential map is remote sensing and GIS.
In some previous studies, this method was considered quite effective in mapping infiltration areas.
As based on previous research, there are several parameters used by this research to map
infiltration areas, namely slope, soil type, lithology, land cover, drainage density, straightness
density, and rainfall. These parameters were then processed into thematic maps and reclassified
according to the level of ability of each class to absorb and pass water to the aquifer. After that,
weighting was done using the Analytical Hierarchy Process (AHP) method with the results: slope
32.3%, soil type 23.4%, lithology 17.6%, land cover 10.4%, drainage density 7.6%, alignment
density 4.7%, and rainfall 3.7%. The integration of the seven parameters resulted in five classes of
infiltration potential areas: very low potential covering 0.6% of the study area, low potential
covering 7.2%, moderate potential covering 29.3%, high potential covering 42.5%, and very high
potential covering 20.7% of the study area.
Pendahuluan
Air tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting dalam menunjang aktivitas
manusia. Air tanah sendiri dapat diartikan sebagai aliran air yang mengalir dibawah tanah dalam
berbagai bentuk yang dipengaruhi oleh gravitasi bumi, struktur perlapisan batuan, serta
kelembapan tanah (Asdak, 2010). Menurut Domene & Sauri tahun 2006, peningkatan kebutuhan
air tanah umumnya berbanding lurus dengan perkembangan peradaban manusia. Perkembangan
peradaban dapat meningkatkan terjadinya alih fungsi lahan yang menjadi salah satu penyebab
terjadinya banjir (California Water Resource Departement, 2022). Maka, dapat dilakukan
pemetaan daerah resapan air sebagai salah satu upaya konservasi lahan resapan yang dapat
mengurangi resiko terjadinya banjir (Reddy, C, 1990).
Pemetaan daerah resapan dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya dengan
pemanfaatan citra satelit (Dar, et. al., 2021). Hasil pengolahan data citra satelit kemudian
dikombinasikan dengan metode analytical hierarchy process (AHP) atau metode pembobotan
berbagai macam komponen yang menjadi parameter dalam menentukan suatu hasil (Ghosh & Kar,
2017). Penggunaan metode penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan metode AHP untuk
memetakan daerah resapan telah terbukti memiliki hasil yang cukup memuaskan berdasarkan
sejumlah penelitian terdahulu (Syafarani, et. al., 2022; Suryanta, et. al., 2018; Atmaja, et. al., 2020;
Kaliraj, et. al., 2013; Adibah, et. al., 2013; Dar, et. al., 2021; Zghibi, et. al., 2020; Das, et. al., 2019;
Hastono, et. al., 2012). Penelitian umumnya dilakukan di daerah beriklim kering tetapi terdapat
pula penelitian yang dilakukan di iklim tropis.
Pada penelitian ini pemetaan daerah resapan dilakukan di Daerah Aliran Sungai Opak
bagian tengah tepatnya pada wilayah Prambanan dan Sekitarnya, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tercatat bahwa beberapa tahun terakhir daerah penelitian kerap kali mengalami
masalah krisis air bersih bahkan terjadi di musim penghujan. Pembangunan permukiman, tempat
wisata, dan penginapan juga semakin meningkat setiap tahunnya sehingga meningkatkan resiko
terjadinya krisis. Pemetaan daerah resapan sebagai daerah penyerap air hujan diharapkan dapat
menjadi acuan bagi pembangunan serta konservasi lahan agar dapat mengurangi resiko krisis air
di kemudian hari.
Tinjauan Teoritis
1. Geologi dan Tektonik Regional
Menurut Van Bemmelen pada tahun 1949, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona
Depresi Sentral Jawa di bagian barat dan Zona Pegunungan Selatan di bagian timur. Daerah
Penelitian tersusun atas dua formasi yaitu Formasi Semilir yang berisikan tuf, tuf lapilli, lapilli
batuapung, breksi batuapung dan serpih dengan variasi komposisi dari andesit hingga dasit serta
Endapan Merapi Muda yang berisikan endapan lahar, fluvium, dan endapan awan panas. Adapun
daerah penelitian memiliki pola tegasan Meratus dan Jawa.
2. Hidrogeologi
Hidrogeologi merupakan suatu bidang ilmu yang meliputi hubungan proses geologi dengan
air yang mencakup proses masuk dan mengalirnya air dari permukaan ke akuifer dan bagaimana
air tanah berhubungan dengan batuan sekitarnya.
3. Daerah Resapan
Daerah resapan merupakan daerah tempat masuknya air menuju akuifer melalui zona tak
jenuh air setelah terjadinya infiltrasi dan perkolasi akibat presipitasi (Freeze and Cherry, 1979).
Mekanisme resapan terbagi menjadi tiga yaitu direct recharge, indirect recharge, dan localized
recharge.
4. Daerah Aliran Sungai
Menurut Kodoatie dan kawan-kawan pada tahun 2018, Daerah Aliran Sungai merupakan
wilayah yang terdiri atas sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi secara topografis oleh
punggungan-punggungan bukit serta berguna sebagai media penyimpanan dan pengaliran air hasil
presipitasi menuju ke danau atau laut. Air hujan yang turun di DAS akan menjadi air tanah setelah
mengalami infiltrasi dan perkolasi serta tersimpan dalam suatu cekungan air tanah.
5. Hidrogeologi regional
Sebagian daerah penelitian termasuk ke dalam CAT Yogyakarta sedangkan area
perbukitan tidak termasuk dalam CAT. Daerah perbukitan tersusun atas batuan yang
kemampuannya kecil untuk menyimpan dan meloloskan air (Kristanto, 2020). Saat musim hujan,
tanah pada daerah perbukitan Prambanan >10 meter dengan fluktuasi kedalaman muka air tanah
antara 4-15 meter. Saat musim kemarau sebagian besar air tanah ditemukan pada lapisan akuifer
dalam (> 40 meter) (PUP-ESDM DIY, 2018).
6. Parameter Penentuan Daerah Resapan
6.1 Jenis Litologi
Jenis litologi memiliki pengaruh yang cukup krusial dalam menentukan tinggi
rendahnya potensi resapan air di suatu daerah (Masqoom, et. al., 2022). Menurut Fetter
pada tahun 2014, batuan plutonik, vulkanik, maupun batuan sedimen memiliki tingkat
porositas dan permeabilitas yang berbeda-beda bergantung pada faktor genesa dan faktor
lainnya.
6.2 Jenis Tanah
Sifat fisik tanah seperti tekstur dan porositas mempengaruhi bagaimana presipitasi
meresap dan tersimpan di dalam tanah sehingga berdampak terhadap potensi daerah
resapan (Price, et. al, 2010). Permeabilitas umumnya tinggi pada sedimen yang berbutir
kasar sedangkan pada material lempung permeabilitas cenderung buruk.
6.3 Kemiringan Lereng
Topografi dan kemiringan lereng di suatu daerah mempengaruhi tingkat peresapan
air ke dalam tanah. Pada topografi yang landai, kecepatan aliran air permukaan lebih
lambat sehingga lebih banyak waktu air untuk menyerap ke dalam tanah dan sebaliknya.
6.4 Tutupan Lahan
Tutupan lahan yang memiliki permeabilitas tinggi akan meningkatkan potensi
resapan, sebaliknya, apabila permeabilitas dari tutupan lahan rendah maka semakin sulit
air mengalami penyerapan (Silwal dan Pathak, 2018).
6.5 Densitas Kelurusan
Kelurusan merupakan suatu morfologi yang umumnya tercipta akibat adanya
aktivitas tektonik dimana produk dari aktivitas tektonik salah satunya adalah struktur
geologi. Maka, daerah dengan tingkat densitas kelurusan tinggi kemungkinan memiliki
tingkat penyerapan air yang bagus akibat terdapatnya struktur geologi sebagai
permeabilitas sekunder.
6.6 Densitas Drainase
Densitas drainase rendah menandakan penyerapan tinggi yang kemungkinan dapat
mengindikasikan potensi resapan yang baik. Apabila densitas drainase rendah, air hujan
akan menyerap ke tanah dan tidak terbawa aliran permukaan.
6.7 Curah Hujan
Curah hujan memiliki peran yang signifikan dalam proses pengisian air ke dalam
tanah dan umumnya curah hujan tinggi berbanding lurus dengan potensi resapan di suatu
daerah (Dar, et. al., 2021).
7. Analytical Hierarchy Process
Berdasarkan Saaty pada tahun 1987, metode Analytical Hierarchy Process
merupakan teori dasar dari suatu perhitungan yang digunakan untuk memperoleh skala
rasio dari perbandingan berpasangan yang diskrit dan kontinu atau dengan kata lain AHP
merupakan suatu metode kuantitatif yang melibatkan proses pemilahan dan pemilihan
alternatif keputusan berdasarkan sejumlah kriteria.
Dalam melakukan pemetaan daerah resapan menggunakan metode AHP, alokasi
bobot dari berbagai peta tematik dan klasifikasi yang sesuai ditentukan oleh kompetensi
peneliti dalam memberikan bobot dan peringkat yang sesuai (Das, et. al., 2018). Adapun
signifikansi relatif dari setiap faktor dapat ditentukan menggunakan skala 1-9 oleh Saaty
tahun 1980 (Gambar 1).
Metode Penelitian
Berikut ini adalah diagram alir dari penelitian:
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Hasil Penelitian
1. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng pada daerah penelitian memiliki rentang nilai dari 0° – 54,31°
yang dibagi menjadi lima kelas (Tabel 1). Bagian barat didominasi dengan warna hijau tua
dengan sedikit hijau muda yang menandakan bagian barat memiliki kemiringan lereng
yang datar hingga cukup landai sedangkan bagian timur dan selatan memiliki relief
topografi yang lebih beragam (Gambar 3).
Tabel 1. Tabel Kelas Lereng.
No. Kelas Lereng (°) Area (Km2) Persentase (%) Rank
1 0 – 10,86 49,3 65,9 5
2 10,86 – 21,72 18,4 24,6 4
3 21,72 – 32,59 6,1 8,2 3
4 32,59 – 43,45 1 1,3 2
5 43,45 – 54,31 0,04 Hampir 0 1
Curah Hujan
Kemiringan
Jenis Tanah
Kelurusan
Tutupan
Drainase
Litologi
Densitas
Densitas
Lereng
Lahan
Bobot
Parameter CR
(%)