Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENCEGAHAN IMS DAN HIV PADA KRISIS KESEHATAN

MATA KULIAH : KEGAWATDARURATAN MASYARAKAT

DOSEN : NS. WAHYU CAHYONO, S.KEP., M.KES

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


1. BAIQ ALIFIA MAULIN (022.03.0163)
2. FEBRYANTI INDASARI (022.03.0165)
3. INTAN AYU FRANSISKA (022.03.0167)
4. NUR KARINAH (022.03.0169)
5. RISKA OKTAVIANA (022.03.0171)
6. WINDI WINANDA (022.03.0172)
7. MARZAH SUSANTI (022.03.0175)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES MATARAM

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG D-IV KEBIDANAN

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


BAB I

PENDAHULUAN

1. Situasi HIV dan IMS di Indonesia


Infeksi menular seksual (IMS) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Negara berkembang, IMS akan menyebabkan individu rentan terhadap infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Berdasarkan data Centres for Disease
Control and Prevention (CDC) tahun 2014, diperkirakan terdapat sekitar 20 juta
kasus IMS baru di Amerika Serikat tiap tahunnya, 50% diantaranya mengenai
populasi usia muda (15-24 tahun). Infeksi menular seksual juga dapat
menimbulkan berbagai komplikasi seperti infertilitas, kehamilan ektopik, abortus
spontan, dan berat badan bayi lahir rendah, meningkatkan risiko terinfeksi
HIV/AIDS dan kanker.
Indonesia masih menghadapi permasalahan terkait HIV/AIDS dan penyakit
infeksi menular seksual (IMS). Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia hingga Triwulan I tahun 2021, jumlah kumulatif kasus HIV di
Indonesia dilaporkan sebanyak 427.201 kasus dan jumlah kasus AIDS dilaporkan
sebanyak 131.147 kasus. Selama periode Januari hingga Maret 2021, jumlah
kasus HIV dilaporkan sebanyak 7.650 kasus serta jumlah kasus AIDS sebanyak
1.677 kasus. Jika dilihat distribusi kasus HIV berdasarkan karakteristik usia,
persentase kasus HIV didominasi oleh kelompok usia produktif (25-49 tahun),
yaitu mencapai 71,3% serta diikuti oleh kelompok usia muda (20- 24 tahun), yaitu
mencapai 16.3%. Jika dilihat berdasarkan karakteristik jenis kelamin, persentase
kasus HIV pada laki-laki jauh lebih besar (69,0%) dibandingkan dengan
kelompok perempuan (31,0%). Sedangkan jika dilihat dari faktor risiko,
persentase kasus HIV masih didominasi pada kelompok heteroseksual (51,5%),
homoseksual (20,0%), dan penggunaan jarum suntik secara bergantian (10,6%)
(Kemenkes RI, 2021).
Temuan kasus penyakit infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia juga
masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia pada periode Januari hingga Maret 2021, jumlah kasus IMS
berdasarkan pendekatan diagnosa sindrom/klinis adalah sebanyak 7.364 kasus dan
berdasarkan diagnosa laboratorium adalah sebanyak 11.133 kasus. Jika dilihat
berdasarkan pendekatan diagnosa sindrom/klinis, penyakit duh tubuh vagina
(5.160 kasus) dan duh tubuh uretra (1.451 kasus) yang disebabkan oleh infeksi
bakteri menjadi kasus dengan jumlah paling banyak dibandingkan dengan kasus
IMS yang lain. Sedangkan jika dilihat dari pendekatan diagnosa laboratorium,
peradangan leher rahim (3.031 kasus) dan sifilis dini (2.976 kasus) menjadi kasus
dengan jumlah paling banyak dibandingkan dengan kasus IMS lain (Kemenkes
RI, 2021).
Berbagai upaya pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS dan IMS sudah
dilakukan oleh pemerintah, mulai dari promosi kesehatan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait bahaya HIV dan IMS,
meningkatkan cakupan tes dan pengobatan HIV serta IMS, hingga memperkuat
sistem surveilans penyakit HIV dan IMS (Tarigan et al., 2020; Gedela et al.,
2021). Bahkan, integrasi layanan HIV dan IMS dengan program lain juga
dilakukan, salah satunya adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi
Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak (Kemenkes RI, 2019).
Namun, pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian HIV serta IMS ini
mengalami beberapa kendala. Salah satu kendala yang sulit untuk dihindari adalah
terjadinya bencana dan krisis kemanusiaan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENCEGAHAN IMS DAN HIV PADA KRISIS KESEHATAN


Infeksi Menular Seksual (IMS), adalah infeksi yang disebabkan oleh virus,
bakteri, parasit, protozoa dan jamur yang ditularkan melalui hubungan seksualInfeksi
menular seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-
ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menginfeksi sel darah
putih dan menyebabkan penurunan imunitas manusia (WHO, 2014 dalam Pusdatin
Kemenkes, 2014).

1. Jenis-jenis IMS

Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan
manifestasi klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan umur (tabel 1).
Tabel 1. Patogen penyebab dan jenis IMS yang ditimbulkan.

Patogen Manifestasi klinis dan penyakit yang ditimbulkan


Infeksi Bakteri
Neisseria Gonore
gonorrhoeae Laki-laki : uretritis, epididimitis, orkitis, kemandulan
Perempuan : servisitis, endometritis, salphingitis,
bartolinitis, penyakit radang panggul, kemandulan, ketuban
pecah dini, perihepatitis
Laki-laki dan perempuan : proktitis, faringitis, infeksi
gonokokus diseminata
Chlamydia Klamidiosis
trachomatis Laki-laki : urethritis, epididymitis, orkitis, infertilitas
Perempuan : servisitis, endometritis, salphingitis, penyakit
radang panggul, infertilitas, ketuban pecah dini, umumnya
asimtomatis
Laki-laki dan perempuan : prokitis, faringitis,
sindrom reiter Neonatus : konjungtivitis,
Treponema pallidum pneumonia
Sifilis
Laki-laki dan perempuan : ulkus durum dengan
pembesaran getah bening lokal, erupsi kulit, kondiloma
lata, kerusakan tulang, kardiovaskular dan neurologis
Haemophilus ducreyi Perempuan : abortus, bayi lahir mati, kelahiran
premature Neonatus : lahir mati, sifilis kongenital
Chancroid (ulkus mole)
Laki-laki dan perempuan : ulkus genitalis yang nyeri,
Klebsiella dapat disertai dengan bubo
(calymmatobacteriu Granuloma Inguinale (Donovanosis)
m granulomatosis) Laki-laki dan perempuan : pembengkakan kelenjar getah
bening dan lesi ulseratif daerah inguinal, genitalia dan anus
Mycoplasma Laki-laki : duh tubuh uretra (uretritis non-gonore) Perempuan
genitalium : servisitis dan uretritis non-gonore
Laki-laki : duh tubuh uretra (uretritis non-gonore) Perempuan
Ureplasma : servisitis dan uretritis non-gonokokus
urealyticum

Infeksi Virus
Human Infeksi HIV / Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Immunodeficiency Laki-laki dan perempuan : penyakit yang berkaitan dengan
Virus (HIV) infeksi HIV, AIDS
Herpes simplex Herpes genitalis
virus (HSV) tipe 2 Laki-laki dan perempuan : lesi vesikuler dan/atau ulseratif di
dan tipe 1 daerah genitalia dan anus
Neonatus : herpes neonatus Kondiloma akuminata
Laki-laki : kondiloma akuminata di daerah penis dan anus,
Humman kanker penis dan anus
papillomavirus Perempuan : kondiloma akuminata di daerah vulva, vagina,
(HPV) anus, dan serviks; kanker serviks, vulva, dan anus
Neonatus : papilloma laring Hepatitis virus
Laki-laki dan perempuan : hepatitis akut, sirosis hati, kanker
hati Moluskum kontagiosum
Virus Hepatitis B
Laki-laki dan perempuan : papul multipel, diskret,
berumbilikasi di
Virus moluskum
kontagiosum daerah genitalia atau generalisata
Infeksi Protozoa
Trichomonas Trikomoniasis
vaginalis Laki-laki : urethritis non-gonokokus, sering asimtomatis
Perempuan : vaginitis dengan duh tubuh yang banyak dan
berbusa, kelahiran prematur
Neonatus : bayi dengan berat badan lahir rendah
Infeksi Jamur
Candida albicans Kandidiasis
Laki-laki : infeksi di daerah glans penis
Perempuan : vulvo-vaginitis dengan duh tubuh vagina
bergumpal, disertai rasa gatal dan terbakar di daerah vulva

Infeksi Parasit
Phthirus pubis Pedikulosis Pubis
Laki-laki dan perempuan : papul eritematosa, gatal, terdapat
kutu dan telur di rambut pubis
Sarcoptes scabei Skabies
Papul gatal, di tempat predileksi terutama malam hari

2. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi IMS ditentukan oleh adanya perubahan demografi dan sosial
ekonomi. Terdapat sekitar 340 juta kasus baru IMS, diantaranya infeksi Treponema
pallidum, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis dan Trichomonas vaginalis
terjadi tiap tahun pada pria maupun wanita usia 15-49 tahun, dengan proporsi terbesar
di Asia tenggara, diikuti oleh Afrika dan Amerika Selatan. Pada wanita hamil,
penyakit sifilis yang tidak diobati dapat menyebabkan

bayi lahir mati sebanyak 25%, dan mengakibatkan kematian neonatus sebanyak
14%. Prevalensi sifilis pada wanita hamil di Afrika rata-rata 4%-15%. Infeksi
Chlamydia dan Gonococcal yang tidak diobati pada wanita dapat menyebabkan
penyakit radang panggul pada 40% kasus, satu dari empat pasien ini menimbulkan
kemandulan. Terdapat 4000 bayi baru lahir di seluruh dunia menjadi buta tiap
tahunnya yang disebabkan oleh infeksi mata karena ibu mereka menderita infeksi
Gonococcal dan Chlamydia yang tidak diobati.
Pada tahun 2014, telah tercatat 234 kasus baru di Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah poliklinik kulit dan kelamin sudivisi infeksi menular seksual, yang
paling banyak yaitu Infeksi Human Papilloma Virus (kondiloma akuminata)
37,6% (88 orang), urethritis gonore 13,6% (32 orang) dan sifilis 8,5% (20 orang).
Dari segi usia, tercatat paling sering menderita IMS yaitu usia 15-44 tahun.
3. Penularan
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung, yaitu kontak dengan
eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan
seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat ataupun tidak terlihat
dengan jelas. Penularan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual baik vaginal,
oral, maupun anal.
Penularan HIV juga dapat terjadi dengan cara lain, yaitu transfusi darah dengan
darah yang sudah terinfeksi HIV, saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba,
tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/ tidak sengaja, menindik telinga
atau tato dengan jarum yang tidak steril, penggunaan alat pisau cukur secara bersama-
sama, dari ibu kepada bayi saat hamil, saat melahirkan, dan saat menyusui.

4. Tujuan Pencegahan
a. Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan infeksi menular
seksual
Infeksi menular seksual dapat menimbulkan beban morbiditas dan mortalitas
terutama di negara sedang berkembang dengan sumber daya yang terbatas. Secara

langsung memiliki dampak pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi, dan


secara tidak langsung berperan dalam mempermudah transmisi seksual infeksi
HIV dan dampaknya terhadap perekonomian perorangan maupun nasional.

Spektrum gangguan kesehatan yang ditimbulkan IMS mulai dari penyakit


akut yang ringan sampai lesi yang terasa nyeri serta gangguan psikologis.
Misalnya, infeksi oleh N.gonorrhoeae menimbulkan nyeri saat berkemih
(disuria) pada laki-laki, dan nyeri perut bagian bawah akut ataupun kronis
pada perempuan. Apabila tidak diobati, infeksi oleh T.pallidum, meskipun
tidak nyeri pada stadium awal, namun dapat menimbulkan berbagai kelainan
neurologis, kardiovaskular serta gangguan tulang di kemudian hari, serta
abortus pada perempuan hamil dengan infeksi akut. Chancroid dapat
menimbulkan ulkus dengan rasa nyeri hebat dan bila terlambat diobati dapat
menyebabkan destruksi jaringan, terutama pada pasien imunokompromais.
Infeksi herpes genitalis menimbulkan gangguan psikoseksual karena bersifat
rekurens dan menimbulkan rasa nyeri, terutama pada pasien muda. Biaya yang
dikeluarkan, termasuk biaya langsung baik medis dan non medis, serta biaya
tidak langsung akibat waktuyang hilang untuk melakukan aktivitas produktif
seperti waktu untuk pergi berobat, waktu tunggu di sarana pelayanan
kesehatan, serta waktu untuk pemeriksaan tenaga kesehatan.

b. Mencegah infeksi Human Immunodeficiency Virus

Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui
hubungan seksual, terutama pada populasi yang memiliki banyak pasangan
seksual, misalnya penjaja seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS dengan
bentuk inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV
saat melakukan hubungan seksual tanpa pelindung antara seorang yang telah
terinfeksi IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis atau
seseorang dengan riwayat pernah menderita ulkus genitalis diperkirakan
meningkatkan risiko tertular HIV 50-300 kali setiap melakukan hubungan
seksual tanpa pelindung.

c. Mencegah efek kehamilan yang buruk

Infeksi menular seksual yang tidak diobati, seringkali dihubungkan dengan


infeksi kongenital atau perinatal pada neonatus, terutama di daerah dengan
angka prevalensi IMS yang tinggi. Wanita hamil dengan sifilis dini yang tidak
diobati, sebanyak 25% akan mengakibatkan janin lahir mati dan 14%
kematian neonatus, dan menyebabkan kematian perinatal sebesar 40%.
Kehamilan pada perempuan dengan infeksi gonokokus yang tidak diobati,
sebesar 35% akan menimbulkan abortus spontan dan kelahiran prematur,
dan sampai 10% akan menyebabkan kematian perinatal. Apabila tidak ada
upaya pencegahan, 30% bayi yang lahir dari ibu dengan klamidiosis tanpa
diobati, akan mengalami oftalmia neonatorum yang dapat mengakibatkan
kebutaan.

5. Program Pencegahan
1.1 Kegiatan promosi kesehatan
Strategi pemberdayaan dan promosi dalam upaya pengendalian IMS, HIV
dan AIDS didasari atas 3 (tiga) strategi dasar promosi kesehatan, yaitu Gerakan
Pemberdayaan sebagai ujung tombak, yang didukung oleh Bina Suasana dan
Advokasi. Strategi tersebut harus dikombinasikan dengan semangat dan dukungan
dari pasangan. Seluruh strategi tersebut diarahkan agar masyarakat mampu
mempraktekkan perilaku mencegah dan mengatasi masalah kesehatannya.

1.2 Pemberdayaan masyarakat

Merupakan proses pemberian informasi secara terus-menerus dan


berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran, agar sasaran memiliki pengetahuan, sikap, dan
mempraktekan perilaku yang diharapkan. Sasaran dari pemberdayaan
dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS adalah masyarakat umum,
khususnya individu kelompok usia15-24 tahun agar tidak tertular IMS dan
HIV-AIDS, serta mencegah kelompok sasaran yang berperilaku risiko
tinggi agar tidak terkena HIV-AIDS.
1.3 Bina suasana

Merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial


yang mendorong masyarakat umum, populasi berperilaku risiko tinggi,
petugas kesehatan agar bersedia menanggulangi penyebaran HIV dan AIDS
secara bersama. Lingkungan sosial yang mendukung dapat diartikan
sebagai:
a. Hilangnya sikap menstigma dan mendiskriminasi masyarakat maupun
petugas kesehatan terhadap populasi berperilaku risiko tinggi pada
umumnya (Wanita pekerja seks komersial, waria, LSL, pelanggan
penjaja seks dan pengguna narkoba) dan orang dengan HIV positif pada
khususnya.
b. Adanya dukungan positif dari masyarakat umum terhadap praktek
pencegahan penularan IMS dan HIV dengan perilaku seks aman dan
persepsi positif terhadap kondom sebagai alat pencegahan dalam bidang
kesehatan.
c. Adanya dukungan positif dari masyarakat umum terhadap praktek
pencegahan penularan HIV dengan perilaku penggunaan jarum suntik
steril.

1.4 Advokasi
Merupakan upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari seluruh masyarakat. Advokasi diarahkan untuk
menghasilkan kebijakan yang mendukung pada upaya penanggulangan HIV dan
AIDS, terutama pada upaya penurunan IMS dan HIV melalui praktek perilaku
seks aman maupun praktek penggunaan jarum suntik steril.
Strategi untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung pada upaya
penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebagai berikut :
a. Mendapatkan komitmen dan dukungan gubernur dan bupati/walikota.
b. Mendapatkan komitmen dan dukungan dari departemen teknis terkait pada
wilayah prioritas.
c. Mendapatkan komitmen dan dukungan dari populasi kelompok umur 15 tahun
ke atas, dengan prioritas 15-24 tahun.
1.5 Kemitraan

Kemitraan adalah upaya menjalin kerja sama denganberbagai pihak untuk


menjalankan program yang terintegrasi dan koordinatif dalam setiap
komponen program yang ditentukan.
Adapun strategi dalam kemitraan yakni :

a. Kerjasama dengan gubernur, walikota/bupati pada wilayah prioritas.

b. Kerjasama dengan departemen teknis terkait pada wilayah prioritas.

c. Kerjasama dengan stakeholder pada wilayah prioritas.

d. Kerjasama dengan lembaga mitra strategis (Lembaga Swadaya


Masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, dunia
usaha, lembaga donor).
e. Kerjasama dengan media massa nasional hingga lokal
berdasarkanprioritas dan kebutuhan.

1.6 Program intervensi perubahan perilaku

Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, secara umum


intervensi dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok besar yakni: 1)
Intervensi Perilaku dan 2) Intervensi Biomedis. Intervensi, memiliki makna
memasukkan sesuatu di antara satu hal dengan hal lain. Misalnya,
menengahi antara layanan kesehatan dengan pasien. Asumsi utama dari
sebagian besar intervensi adalah untuk mengurangi atau menekan biaya
ekonomi dan sosial yang ditanggung jika intervensi tidak dilakukan atau
dibiarkan begitu saja. Intervensi, khususnya perubahan perilaku dibutuhkan
agar setiap orang, terlebih populasi berperilaku risiko tinggi dapat terhindar
dari IMS/HIV.
Intervensi agar orang yang berperilaku risiko tinggi. memahami
cara-cara melindungi diri, sehingga terhindar dari penularan. Dalam hal ini
pencegahan atas risiko yang lebih buruk lebih diutamakan, mengingat
beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a. HIV belum dapat disembuhkan, sehingga mencegah agar tidak menjadi HIV
positif sangatlah menguntungkan dibanding mengatasi masalah yang muncul
menjadi positif.
b. Jika telah positif HIV, untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik, maka
pada tingkat tertentu harus mengkonsumsi ARV. ARV adalah obat yang harus
diminum seumur hidup. Dengan demikian biaya ekonomi yang harus
ditanggung untu menyediakan obat agar dapat diminum secara teratur harus
ditanggung seumur hidup pula.
c. Stigma masih melekat kuat pada orang-orang yang telah terinfeksi HIV,
sehingga biaya psikososial yang harus ditanggung pun sangat besar. Intervensi
Perubahan Perilaku adalah kombinasi berbagai kegiatan yang terencana
secara strategis berkaitan dengan kebutuhan kelompok tertentu dan
dikembangkan dengan kelompok itu untuk membantu mengurangi perilaku
berisiko dan rentan pada penularan IMS dan HIV denga menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk perubahan individu dan kolektif.
Tujuan intervensi perubahan perilaku adalah mengurangi perilaku berisiko
serta mempertahankanperilaku aman dengan menciptakan lingkungan yang
mendukung perubahan perilaku individu dan kolektif. Sementara itu tujuan
khusus intervensi perubahan perilaku, terutama untuk populasi yang dianggap
paling berisiko (Most at Risk Population/MARP) terhadap penularan HIV, adalah
mendorong perubahan perilaku yang bermakna terutama dalam hal perubahan
perilaku untuk melakukan hubungan seks aman (penggunaan kondom) dan
perubahan perilaku untuk mengakses pelayanan kesehatan yang tepat.13,14

Sasaran primer program ini adalah kelompok populasi berperilaku risiko tinggi
terhadap penularan HIV. Kelompok populasi yang dimaksud terdiri dari pekerja
seks komersial (perempuan dan laki-laki), Waria, Lelaki berhubungan Seks
dengan Lelaki (LSL) dan pelanggan/pasangan dari 3 kelompok di Atas Sasaran
sekunder adalah semua orang yang dianggap mempunyai pengaruh secara
langsung pada sasaran primer.
1.7 Membentuk klinik infeksi menular seksual

Infeksi menular seksual dapat meningkatkan penularan HIV,


disamping itu juga dapat menjadi penyebab infertilitas, kehamilan ektopik,
infeksi kongenital. Kasus IMS yang tidak diobati akan menambah beban
tingginya morbiditas dan mortalitas pada perempuan, laki-laki, dan anak-
anak. Pencegahan dan pengendalian IMS merupakanbagian integral dalam
upaya pelayanan kesehatan. Penularan IMS dapat dikendalikan dengan
intervensi pada pekerja seks komersial dan pelanggannya serta kelompok
risiko tinggi lainnya dengan cara yang efektif. 16 Intervensi pada penjaja dan
pelanggan seks memberikan dampak yang besar dalam menurunkan
prevalensi IMS. Meskipun demikian intervensi juga perlu dilakukan pada
populasi risiko rendah (remaja, anak, WUS, bumil), termasuk eliminasi
sifilis kongenital. Pelaksanaan program harus dilakukan secara integrasi dan
komprehensif dengan program dan layanan yang telah ada.

Tujuan umum dari program ini adalah menurunnya angka kesakitan


dan angka kematian akibat IMS/HIV. Tujuan Khusus aadalah menegah
penularan untuk menurunkan insiden IMS dan meningkatkan
penatalaksanaan kasus IMS untuk menurnkan morbiditas dan mortalitas
serta meningkatkan kinerja manajemen program.Sasaran dari kelompok
berperilaku risiko tinggi dan masyarakat umum/ kelompok yang dianggap
berisiko rendah (ibu hamil, remaja,anak-anak).

B. KOORDINASI, KOLABORASI, DAN INTEGRASI DALAM SITUASI


DARURAT BENCANA

Pada situasi bencana dan krisis kesehatan, upaya pemenuhan layanan terkait
HIV dan IMS secara komprehensif memerlukan adanya integras antara dua sistem,
yaitu sistem layanan kesehatan serta sistem layanan komunitas (Sutrisna et al.,
2021). Hal ini bertujuan untuk menjamin adanya kesatuan rangkaian layanan HIV
dan IMS yang berkesinambungan. Oleh sebab itu, upaya untuk koordinasi,
kolaborasi, dan integrasi sangat penting untuk dilakukan antara layanan kesehatan
dengan layanan di komunitas:

1. Upaya Koordinasi

Upaya koordinasi dalam upaya pengumpulan data maupun merujuk pasien


antara layanan kesehatan dengan layanan komunitas sangat penting untuk
dilakukan, khususnya dalam penyediaan layanan HIV dan IMS di situasi
bencana.

2. Upaya Kolaborasi

Upaya kolaborasi prinsipnya dilakukan dengan berbagi peran antara layanan


kesehatan dengan layanan komunitas dalam menyediakan pelayanan HIV dan
IMS di situasi bencana. Kolaborasi yang dapat dilakukan mulai dari tahap
penentuan prioritas masalah, pengumpulan data, penyediaan logistic, hingga
upaya monitoring dan evaluasi cakupan program HIV dan IMS di situasi
bencana. Hal ini bertujuan agar layanan HIV dan IMS yang diberikan sesuai
dengan kebutuhan kelompok sasaran, terutama untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hak-hak orang dengan HIV berkaitan dengan isu kofidensialitas,
kekerasan, pemaksaan, stigma, dan diskriminasi.

3. Upaya Integrasi

Upaya intergasi layanan HIV dan IMS antara layanan komunitas dengan
layanan kesehatan di situasi bencana sangat penting untuk dilakukan untuk
menjamin layanan yang berkesinambungan serta meningkatkan efektivitas serta
efisiensi pelayanan. Dalam hal ini, integrasi antara layanan HIV dan IMS di
fasilitas kesehatan dengan layanan komunitas tidak hanya dilakukan ketika
bencana terjadi, tetapi sebaiknya dilakukan di masa pra-bencana. Salah satu
integrasi yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan database pasien
yang bisa diakses oleh layanan kesehatan maupun komunitas, sehingga ketika
terjadi bencana 12 dapat memudahkan untuk memetakan orang dengan HIV
maupun penderita IMS yang memerlukan bantuan.
2.1 Dalam melakukan upaya koordinasi, terdapat beberapa kegiatan yang
dapat dilakukan antara layanan kesehatan dengan layanan di
komunitas terkait dengan program HIV dan IMS di situasi bencana :

a. Upaya Edukasi melalui Kelompok Dukungan Sebaya

Dalam situasi bencana, edukasi yang dilakukan untuk menyasar


orang dengan HIV tidak hanya berfokus pada upaya untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran untuk patuh menjalani terapi, tetapi juga upaya
edukasi terkait cara mengakses dan tempat mengakses layanan HIV dan
IMS yang aman di situasi bencana. Hal ini bertujuan untuk memastikan
bahwa orang dengan HIV mampu mengakses layanan sesuai dengan
kebutuhan dan tidak mengalami putus pengobatan. Dalam hal ini, pelibatan
kelompok dukungan sebaya sangat penting untuk upaya edukasi ini agar
lebih bisa menjangkau lebih banyak orang dengan HIV di situasi bencana.

b. Pelibatan Komunitas dalam Komunikasi dan Promosi Kesehatan

Di situasi bencana, sering kali sarana komunikasi seperti jaringan


telepon dan internet terputus. Pada situasi seperti ini, upaya untuk
melibatkan komunitas dalam penyampaian informasi terkait ketersediaan
layanan HIV dan IMS yang bisa diakses di tenda darurat sangat penting
untuk dilakukan. Ketika saluran komunikasi mulai pulih, maka upaya
promosi kesehatan yang menyasar orang dengan HIV dan IMS dapat
dilakukan melalui saluran radio, media sosial, televisi, maupun internet
untuk memastikan semua kelompok sasaran bisa dijangkau.

c. Layanan Pendampingan Orang dengan HIV

Meskipun kegiatan pendapingan terhadap orang dengan HIV sudah


berjalan di situasi normal, sering kali kegiatan pendampingan ini akan
terhambat jika terjadi bencana. Hal ini dikarenakan hilangnya kontak 13
kelompok sasaran karena tersebar mengungsi. Untuk memastikan kelompok
sasaran orang dengan HIV tetap mampu mengakses layanan HIV dan IMS
di situasi bencana. Selain itu, layanan pendampingan ini juga penting
dilakukan untuk memastikan kelompok sasaran terbebas dari segala bentuk
kekerasan, stigma, dan diskriminasi di tempat pengungsian atau ketika
dalam situasi bencana.

2.2 Upaya Kolaborasi Dalam melakukan upaya kolaborasi, terdapat beberapa


kegiatan yang dapat dilakukan antara layanan kesehatan dengan layanan di
komunitas terkait dengan program HIV dan IMS di situasi bencana :

a. Mobilisasi komunitas orang dengan HIV

Pada situasi bencana, mobiliasi kelompok komunitas dan layanan


kesehatan sangat penting untuk dilakukan, terutama dalam merancang
kegiatan bersama untuk pelayanan HIV dan IMS. Beberapa bentuk kegiatan
bersama yang bisa dirancang adalah untuk pendataan, penyediaan dan
penyaluran logistik berupa kondom dan obat-obatan, pelatihan dan edukasi
terkait HIV dan IMS, serta melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi
terkait program HIV dan IMS agar memastikan bahwa layanan yang diberikan
sudah sesuai dengan kebutuhan.

b. Dukungan Retensi Pengobatan melalui Kelompok Kepatuhan Minum


Obat

Terbatasnya akses terhadap layanan HIV dan IMS di situasi bencana


meningkatkan risiko untuk putus pengobatan. Oleh sebab itu, perlu adanya
kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan dengan komunitas untuk
membentuk kelompok kepatuhan minum obat, terutama untuk memastikan
bahwa akses terhadap ARV dan obat IMS bisa terpenuhi di situasi bencana.

c. Dukungan Psikososial Pengobatan HIV

Dukungan Sebaya Situasi bencana sering kali menimbulkan trauma bagi


orang dengan HIV. Selain itu, adanya ketakutan akan kekerasan, stigma, dan
diskriminasi juga dapat menimbulkan permasalahan psikologis pada orang
dengan HIV. Oleh sebab itu, kolaborasi dalam menyediakan dukungan
psikososial (psikologis, ekonomi, dll.) dalam pengobatan HIV melalui
keterlibatan kelompok dukungan sebaya sangat penting untuk dilakukan oleh
layanan kesehatan agar upaya pengobatan HIV maupun IMS dapat dilakukan
secara komprehensif.
2.3 Upaya Integrasi Dalam melakukan upaya integrasi, terdapat beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan antara layanan kesehatan dengan layanan
di komunitas terkait dengan program HIV dan IMS di situasi bencana :

a. Layanan Tes HIV dan IMS

Pada situasi bencana, perilaku seksual berisiko sangat mungkin


untuk terjadi akibat terbatasnya akses terhadap kondom maupun situasi
untuk melakukan hubungan seksual yang aman. Oleh sebab itu, layanan tes
HIV dan IMS juga diperlukan untuk menemukan kasus yang baru, sehingga
upaya untuk memberikan pengobatan secara dini bisa dilakukan. Untuk itu,
integrase layanan kesehatan dan layanan komunitas dalam memberikan tes
HIV dan IMS sangat penting dilakukan. Menjamin bahwa layanan tes HIV
maupun IMS sudah tersedia dan ramah kelompok rentan seperti LSL,
waria, dan pekerja seks, juga sangat penting untuk dilakukan. Hal ini untuk
memastikan bahwa layanan tes HIV dan IMS yang ada sudah memberikan
pelayanan yang bebas dari segala bentuk pemaksaan, kekerasan, stigma,
dan diskriminasi.

b. Distribusi Logistik (Kondom, ART dan Obat IMS)

Dalam situasi bencana, menjamin distribusi logistik seperti kondom,


ART, dan obat-obatan IMS sangat penting untuk dilakukan agar
pencegahan dan pengendalian HIV serta IMS tetap berjalan. Untuk itu,
kelompok komunitas dapat berperan untuk membantu layanan kesehatan
dalam pendistribusian logistik ini. Hal ini dikarenakan kelompok komunitas
lebih bisa menjangkau komunitasnya (seperti kelompok LSL, waria, dan
pekerja seks).
BAB III

PEMBAHASAN

PENCEGAHAN IMS DAN HIV PADA KRISIS KESEHATAN

1. PENULARAN HIV,IMS DAN KEKERASAN SEKSUAL SERTA RELEVANSI


NYA DENGAN SITUASI DARURAT BENCANA.

Berdasarkan data dari Kemenkes RI Tri Wulan 1 Tahun 2021 jumlah kasus HIV
di Indonesia sejumlah 427.201 kasus dan kasus AIDS 1677 kasus. Sementara kasus IMS
dari periode Januari- maret ‘2021 adalah 7364 kasus dan kejadian kekerasan seksual yang
terjadi /terlapor di tahun 2021 338.496 menurut siaran pers komnas perempuan.

Berbagai upaya di lakukan oleh pemerintah dalam upaya pencegahan dan


pengobatan HIV/AIDS dan IMS ,mulai dari upaya Promosi Kesehatan dalam meningkat
kan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, meningkatakn cakupan tes hingga
memperkuat system suveilanns penyakit HIV dan IMS ( Tarigan et.al ;2020;Gedela
et.al,2021). Bahkan Integrasi layanan HIV dan IMS dengan program lain juga di lakukan
salah satu nya adalah dengan di terbitkannnya Peraturan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia Nomoir 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi penularan HIV, Sphilis, dan Hepatitis
B dari Ibu ke anak (Kemenkes RI,2019).

Namun pelaksanaan program tersebut mengalami beberapa kendala salah satunya


kendala yang sulit di hindari adalah terjadinya bencana. Mengapa demikian ? karena
Negara kita adalah negara yang sangat rentan terjadi bencana seperti bencana gempa
bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, banjir dan kekeringan. Situasi ini dapat
mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus atau tidak terpantau nya secara teratur proses
pemantauan penularan HIV dan IMS terutama pada kelompok minoritas.
2. KEWASPADAAN STANDAR.
Pada situasi bencana upaya pemenuhan layanan terkait HIV dan IMS secara
komprehensif memerlukan adanya integrasi antar 2 sistem yaitu system layanan kesehatan
serta system layanan komunitas. Hal ini bertujuan untuk menjamin adanya rangkaian
layanan HIV dan IMS yang berkesinambungan. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya
koordinasi, kolaborasi dan itegrasi dalam melakukan upaya kewaspadaad standar pada
kasus HIV dan IMS pada situasi bencana.
a. Upaya koordinasi yaitu kegiatan pengambilan data dalam penyediaan layananan HIV dan
IMS dalam situasi bencana.
b. Upaya kolaborasi yaitu kegiatanya penentuan prioritas masalah, pengumpulan data,
penyadiaan logistic hingga monitoring dan evaluasi cakupan program HIV dan IMS
dalam situasi bencana.
c. Upaya integrasi yaitu kegiatan yang bisa dilkukan adalah menyediakan data base pasien
sehingga bisa di akses oleh layanan kesehatan komunitas sehingga Ketika terjadi
bencanadapat memudahkan untuk memetakanorang dengan HIV maupun IMs yang
memerlukan bantuan.

3. PENYEDIAAN KONDOM GRATIS.


Dalam situasi bencana menjamin distribusi logistic seperti tersedianya kondom,
obat ARV dan obat IMS sangat penting untuk dilakukan agar pencegahan dan
pengendalian kasus HIV dan IMS dapat berjalan. Terbatas nya akses terhadap layanan
HIV dan IMS di situasi bencana meningkatkan risiko penyebaran dan penularan penyakit
tersebut terutama petugas yang memberikan layanan pada saat bencana. Untuk itu perlu
kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan dengan komunitas. Berbagai bentuk
kegiatan yang di lakukan antara lain pembagian kondom gratis.
Beberapa penelitian menunjukkan, penggunaan kondom dapat menurunkan risiko
terjadinya IMS diantaranya klamidiasis, gonore dan trikomoniasis. Kondom juga dapat
menurunkan risiko terjadinya penyakit radang panggul pada wanita. Penggunaan kondom
yang baik dan benar dapat menurunkan risiko infeksi HPV, penyakit yang berhubungan
dengan HPV, herpes genital, sifilis, dan chancroid dimana daerah yang terinfeksi atau
daerah yang berpotensi terpapar penyakit dapat ditutupi oleh kondom.
1. Menggunakan kondom baru pada setiap tindakan seksual
2. Hati-hati dalam menggunakan kondom untuk mencegah kerusakan dari kuku,
gigi atau benda tajam lainnya.
3. Pasang kondom segera setelah penis ereksi dan sebelum genital, oral dan anal
kontak dengan pasangan.
4. Menggunakan pelumas yang berbahan dasar air
5. Untuk mencegah kondom tergelincir, harus memegang kondom dengan kuat
pada pangkal penis selama penarikan dan menariknya selama penis masih
ereksi.
4. TRANSFUSI DARAH AMAN.
Infeksi HIV juga berpotensi terjadi pada saat merespon terhadap bencana.
Terpapar darah korban bencana yang terinfeksi kepada tenaga kesehatan dan respons
kebencanaan lainya, selain itu transfuse darah yang tidak melalui penjaringan
penyakit bisa menyebarkan penyakit HIV,Hepatitis B dan penyakit Infeksi lainaya.
Oleh karena demikian di harapkan dalam transfusi darah perlu di lakukan skrining
penyakit pada penyumbang darah untuk menghentikan proses penularan baik dalam
keadaan darurat bencana atau pun situasi normal.

5. PEMANTAUAN PENULARAN HIV DAN IMS.


Kegiatan pemantauan di lakukan secara berjenjang mulai dari tingkat pusat,
propinsi, kota/kabupaten, puskesmas hingga ke tingkat unit layanan khusus kasus HIV
dan IMS. Kegiatan yang di lakukan dalam pemantauan tersebut adalah ;
1. Melakukan pemantauan dan evaluasi serta bimbingan tekhnis PPIA dalam
pelayanan ANC terpadu.
2. Menggunakan hasil pemetaan dan evaluasi untuk memberikan advokasi pada
pemerintah daerah.
3. Mengadakan petemuan secara berkala untuk mengetahui perkembngan kasus HIV
dan IMS terutama dalam hal pemantuan pengobtan maupun penemuan kasus baru.
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan,


sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV.
Keberadaan IMS telah menimbulkan pengaruh besar dalam pengendalian
HIVAIDS.Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan seksual
dengan manifestasi klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan umur. Meskipun IMS
terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun penularan dapat juga terjadi
dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau
transfer jaringan yang telah terinfeksi, kadang kadang dapat ditularkan melalui alat
kesehatan yang tidak steril.

Saat ini negara berkembang memiliki program untuk mencegah terjadinya


peningkatan prevalensi IMS termasuk HIV/AIDS. Program promosi kesehatan,
intervensi perubahan perilaku, pembentukan klinik IMS, pengurangan dampak buruk
napza, pembentukan klinik PMTCT. Tujuan dari program pencegahan ini adalah
mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait IMS, mencegah IMS, mencegah
komplikasi serius pada perempuan dan mencegah efek kehamilan yang buruk. Selain
program dari pemerintah, terdapat cara-cara pencegahan penularan lain, seperti
menunda atau mengurangi jumlah pasangan seksual, vaksinasi, penggunaan kondom,
dan sirkumsisi pada laki-laki. Program dan cara-cara pencegahan tersebut harus
ditunjang dengan konseling perubahan perilaku berisiko serta melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap program-program tersebut
DAFTAR PUSTAKA

BNPB (2016) Risiko Bencana Indonesia.


Jakarta: BNPB. BNPB (2020) Definisi Bencana, Informasi. Tersedia pada:
https://www.bnpb.go.id/definisi-bencana.
Engkus, E. et al. (2020) “Covid-19: Kebijakan mitigasi penyebaran dan dampak
sosial ekonomi di Indonesia,” LP2M.
Gedela, K. et al. (2021) “Getting Indonesia’s HIV epidemic to zero? One size does
not fit all,” International journal of STD & AIDS. SAGE Publications Sage
UK: London, England, 32(3), hal. 290–299.
Hidayati, D. (2008) “Kesiapsiagaan masyarakat: Paradigma baru pengelolaan
bencana alam,” Jurnal Kependudukan Indonesia
IASC TF (2003) Guidelines HIV/AIDS Interventions in Emergency Settings.
Geneva, Switzerland.
Kemenkes RI (2019) Pedoman Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis dan
Hepatitis B dari Ibu ke Anak. Edisi 2019. Diedit oleh R. Sidjabat et al.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI (2021) Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi
Menular Seksual (PIMS) Triwulan I tahun 2021. Jakarta. Tersedia pada:
https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_TW_I_2021_FINA
L.pdf.
Sutrisna, A., Januraga, P. P., Kaunang, J. A., & Wardhana, A. (2021). Studi
Positioning Layanan Komunitas pada Program Pengendalian HIV dalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Baswara Press.
Tarigan, Y. N. et al. (2020) “Changes in the HIV continuum of care following
expanded access to HIV testing and treatment in Indonesia: A retrospective
population-based cohort study,” PloS one. Public Library of Science
San Francisco, CA USA, 15(9), hal. e0239041.
WHO (2019) Mental health in emergencies.

Anda mungkin juga menyukai