Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN PUSTAKA KepadaYth:

Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal :
Jam :

PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI


MENULAR SEKSUAL DAN HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Oleh :
Made Martina Windari

Pembimbing:
Dr. dr. AAGP Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2015

0
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……..………………………………........................... 3
2.1. Infeksi Menular Seksual…………………………………………….. 3
2.1.1 Definisi…………………………………………………….. 3
2.1.2 Jenis-jenis………………………………………………….. 3
2.1.3 Epidemiologi………………………………………………. 4
2.1.4 Penularan…………………………………………………... 5
2.2. Tujuan Pencegahan………………………………………………….. 6
2.2.1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan
infeksi menular seksual…………………………………….. 6
2.2.2. Mencegah infeksi Human Immunodeficiency Virus..................6
2.2.3. Mencegah komplikasi serius pada perempuan..........................7
2.2.4. Mencegah efek kehamilan yang buruk......................................7
2.3. Program Pencegahan...............................................................................8
2.3.1. Kegiatan promosi kesehatan......................................................8
2.3.1.1. Pemberdayaan masyarakat.......................................8
2.3.1.2. Bina suasana............................................................8
2.3.1.3. Advokasi..................................................................9
2.3.1.4. Kemitraan................................................................9
2.3.2. Program intervensi perubahan perilaku.....................................10
2.3.3. Membentuk klinik infeksi menular seksual……………… 11
2.3.4. Pengurangan dampak buruk napza………………………. 12
2.3.5. Pembentukan klinik Prevention of Mother to
Child Transmission………………………………………… 1
2.4. Metode Pencegahan…………………………………………………. 14
2.4.1. Menunda atau mengurangi jumlah pasangan seksual……… 14
2.4.2. Vaksinasi…………………………………………………… 14
2.4.3. Penggunaan kondom………………………………………. 15
2.4.4. Sirkumsisi pada laki-laki…………………………………... 16
2.5. Populasi Khusus…………………………………………………….. 16
2.5.1. Wanita hamil………………………………………………. 16
2.5.2. Remaja……………………………………………………... 17
2.5.3. Anak-anak………………………………………………….. 18
2.5.4. Orang di lembaga masyarakat……………………………… 18
2.5.5. Laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki…………... 18
2.5.6. Perempuan berhubungan seksual dengan perempuan…….. 19
2.6. Konseling untuk Mencegah Infeksi Menular Seksual………………. 20
2.7. Monitoring dan Evaluasi……………………………………………. 22
BAB III RINGKASAN………………………………………………………………….. 24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 25

1
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi menular seksual (IMS) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Negara berkembang, IMS akan menyebabkan individu rentan terhadap infeksi
Human Immunodeficiency Virus(HIV). Berdasarkan data Centres for Disease
Control and Prevention (CDC) tahun 2014, diperkirakan terdapat sekitar 20 juta
kasus IMS baru di Amerika Serikat tiap tahunnya, 50% diantaranya mengenai
populasi usia muda (15-24 tahun).Infeksi menular seksual juga dapat
menimbulkan berbagai komplikasi seperti infertilitas, kehamilan ektopik, abortus
spontan, dan berat badan bayi lahir rendah, meningkatkan risiko terinfeksi
HIV/AIDS dan kanker.
Selama dekade terakhir, insiden IMS cukup cepat meningkat di berbagai
negera, baik di negara maju maupun negara berkembang. 1,2 Saat ini, IMS sudah
tersebar secara luas dan menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi, dan
politik.3,4Bagi negara berkembang seperti Indonesia, IMS menimbulkan
permasalahan yang cukup besar karena terbatasnya sumber daya
manusia.Kegagalan menemukan dan mengobati IMS pada stadium dini dapat
menimbulkan komplikasi serius dan berbagai gejala sisa.5 Infeksi Menular
Seksual diketahui juga mempermudah penularan HIVyang selanjutnya dapat
berkembang menjadi AIDSdengan tingkat kematian yang tinggi. Saat ini di
Indonesia, prevalensi IMS termasuk HIVbelum akurat, disebabkan sistem
pencatatan dan pelaporan kasus masih belum lengkap.6,7
Program penanggulangan IMS dan HIV telah berjalan di Indonesia kurang
lebih selama20 tahun sejak ditemukannya kasus Aquired Imuno Deficiency Virus
(AIDS) pertama kali pada tahun 1987.1,2Hingga kini, program penanggulangan
telah berkembang pesat meliputi pencegahan hingga pengobatan, perawatan dan
dukungan. Perkembangan program ini menunjukkan pula pemahaman yang lebih
baik bagi para penyelenggara dan pelaksana program terhadap persoalan IMS dan
HIV serta berkembangnya ragam, besaran dan cepatnya respon untuk
mengatasinya.4

2
Tinjauan pustaka ini dibuat untuk menambah pengetahuanmengenai cara-
cara yang dapat digunakan sebagai pencegahan penularan IMS, sehingga
diharapkan dapat menurunkan insiden terjadinya HIV/AIDS.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Menular Seksual


2.1.1. Definisi
Infeksi Menular Seksual (IMS), adalah infeksi yang disebabkan oleh virus,
bakteri, parasit, protozoa dan jamur yang ditularkan melalui hubungan
seksualInfeksi menular seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan
seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal.1,2

2.1.2. Jenis-jenis
Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan
manifestasi klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan umur (tabel 1).
Tabel 1. Patogen penyebab dan jenis IMS yang ditimbulkan.1
Patogen Manifestasi klinis dan penyakit yang ditimbulkan
Infeksi Bakteri
Neisseria gonorrhoeae Gonore
Laki-laki : uretritis, epididimitis, orkitis, kemandulan
Perempuan : servisitis, endometritis, salphingitis, bartolinitis, penyakit
radang panggul, kemandulan, ketuban pecah dini, perihepatitis
Laki-laki dan perempuan : proktitis, faringitis, infeksi gonokokus
diseminata
Chlamydia trachomatis Klamidiosis
Laki-laki : urethritis, epididymitis, orkitis, infertilitas
Perempuan : servisitis, endometritis, salphingitis, penyakit radang
panggul, infertilitas, ketuban pecah dini, umumnya asimtomatis
Laki-laki dan perempuan : prokitis, faringitis, sindrom reiter
Neonatus : konjungtivitis, pneumonia
Treponema pallidum Sifilis
Laki-laki dan perempuan : ulkus durum dengan pembesaran getah
bening lokal, erupsi kulit, kondiloma lata, kerusakan tulang,
kardiovaskular dan neurologis
Perempuan : abortus, bayi lahir mati, kelahiran premature
Neonatus : lahir mati, sifilis kongenital
Haemophilus ducreyi Chancroid (ulkus mole)
Laki-laki dan perempuan : ulkus genitalis yang nyeri, dapat disertai
dengan bubo
Klebsiella Granuloma Inguinale (Donovanosis)
(calymmatobacterium Laki-laki dan perempuan : pembengkakan kelenjar getah bening dan
granulomatosis) lesi ulseratif daerah inguinal, genitalia dan anus
Patogen Manifestasi klinis dan penyakit yang ditimbulkan

4
Mycoplasma genitalium Laki-laki : duh tubuh uretra (uretritis non-gonore)
Perempuan : servisitis dan uretritis non-gonore
Ureplasma urealyticum Laki-laki : duh tubuh uretra (uretritis non-gonore)
Perempuan : servisitis dan uretritis non-gonokokus
Infeksi Virus
Human Infeksi HIV / Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Immunodeficiency Virus Laki-laki dan perempuan : penyakit yang berkaitan dengan infeksi
(HIV) HIV, AIDS
Herpes simplex virus Herpes genitalis
(HSV) tipe 2 dan tipe 1 Laki-laki dan perempuan : lesi vesikuler dan/atau ulseratif di daerah
genitalia dan anus
Neonatus : herpes neonatus
Humman Kondiloma akuminata
papillomavirus (HPV) Laki-laki : kondiloma akuminata di daerah penis dan anus, kanker
penis dan anus
Perempuan : kondiloma akuminata di daerah vulva, vagina, anus, dan
serviks; kanker serviks, vulva, dan anus
Neonatus : papilloma laring
Virus Hepatitis B Hepatitis virus
Laki-laki dan perempuan : hepatitis akut, sirosis hati, kanker hati
Virus moluskum Moluskum kontagiosum
kontagiosum Laki-laki dan perempuan : papul multipel, diskret, berumbilikasi di
daerah genitalia atau generalisata
Infeksi Protozoa
Trichomonas vaginalis Trikomoniasis
Laki-laki : urethritis non-gonokokus, sering asimtomatis
Perempuan : vaginitis dengan duh tubuh yang banyak dan berbusa,
kelahiran prematur
Neonatus : bayi dengan berat badan lahir rendah
Infeksi Jamur
Candida albicans Kandidiasis
Laki-laki : infeksi di daerah glans penis
Perempuan : vulvo-vaginitis dengan duh tubuh vagina bergumpal,
disertai rasa gatal dan terbakar di daerah vulva
Infeksi Parasit
Phthirus pubis Pedikulosis Pubis
Laki-laki dan perempuan : papul eritematosa, gatal, terdapat kutu dan
telur di rambut pubis
Sarcoptes scabei Skabies
Papul gatal, di tempat predileksi terutama malam hari

2.1.2. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi IMS ditentukan oleh adanya perubahan demografi dan
sosial ekonomi. Terdapat sekitar 340 juta kasus baru IMS, diantaranya infeksi
Treponema pallidum, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis dan
Trichomonas vaginalis terjadi tiap tahun pada pria maupun wanita usia 15-49
tahun, dengan proporsi terbesar di Asia tenggara, diikuti oleh Afrika dan Amerika
Selatan.3Pada wanita hamil, penyakit sifilis yang tidak diobati dapatmenyebabkan

5
bayi lahir mati sebanyak 25%, dan mengakibatkan kematian neonatus sebanyak
14%. Prevalensi sifilis pada wanita hamil di Afrika rata-rata 4%-15%. Infeksi
Chlamydia dan Gonococcal yang tidak diobati pada wanita dapat menyebabkan
penyakit radang panggul pada 40% kasus, satu dari empat pasien ini menimbulkan
kemandulan. Terdapat 4000 bayi baru lahir di seluruh dunia menjadi buta tiap
tahunnya yang disebabkan oleh infeksi mata karena ibu mereka menderita infeksi
Gonococcal dan Chlamydia yang tidak diobati.2,5
Pada tahun 2014, telah tercatat 234 kasus baru di Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah poliklinik kulit dan kelamin sudivisi infeksi menular seksual, yang
paling banyak yaitu Infeksi Human Papilloma Virus (kondiloma akuminata)
37,6% (88 orang), urethritis gonore 13,6% (32 orang) dan sifilis 8,5% (20 orang).
Dari segi usia, tercatat paling sering menderita IMS yaitu usia 15-44 tahun.9

2.1.3. Penularan
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung, yaitu kontak dengan
eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan
seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat ataupun tidak
terlihat dengan jelas. Penularan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan
seksual baik vaginal, oral, maupun anal.11
Penularan HIV juga dapat terjadi dengan cara lain, yaitu transfusi darah
dengan darah yang sudah terinfeksi HIV, saling bertukar jarum suntik pada
pemakaian narkoba, tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/ tidak
sengaja, menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril, penggunaan
alat pisau cukur secara bersama-sama, dari ibu kepada bayi saat hamil, saat
melahirkan, dan saat menyusui.2,1

2.2. Tujuan Pencegahan


2.2.1 Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan infeksi
menularseksual
Infeksi menular seksual dapat menimbulkan beban morbiditas dan mortalitas
terutama di negara sedang berkembang dengan sumber daya yang terbatas. Secara

6
langsung memiliki dampak pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi, dan secara
tidak langsung berperan dalam mempermudah transmisi seksual infeksi HIV dan
dampaknya terhadap perekonomian perorangan maupun nasional.1,2
Spektrum gangguan kesehatan yang ditimbulkan IMS mulai dari penyakit
akut yang ringan sampai lesi yang terasa nyeri serta gangguan psikologis.
Misalnya, infeksi oleh N.gonorrhoeae menimbulkan nyeri saat berkemih (disuria)
pada laki-laki, dan nyeri perut bagian bawah akut ataupun kronis pada perempuan.
Apabila tidak diobati, infeksi oleh T.pallidum, meskipun tidak nyeri pada stadium
awal, namun dapat menimbulkan berbagai kelainan neurologis, kardiovaskular
serta gangguan tulang di kemudian hari, serta abortus pada perempuan hamil
dengan infeksi akut. Chancroid dapat menimbulkan ulkus dengan rasa nyeri hebat
dan bila terlambat diobati dapat menyebabkan destruksi jaringan, terutama pada
pasien imunokompromais. Infeksi herpes genitalis menimbulkan gangguan
psikoseksual karena bersifat rekurens dan menimbulkan rasa nyeri, terutama pada
pasien muda. Biaya yang dikeluarkan, termasuk biaya langsung baik medis dan
non medis, serta biaya tidak langsung akibat waktuyang hilang untuk melakukan
aktivitas produktif seperti waktu untuk pergi berobat, waktu tunggu di sarana
pelayanan kesehatan, serta waktu untuk pemeriksaan tenaga kesehatan.3,13

2.2.2. Mencegah infeksi Human Immunodeficiency Virus


Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui
hubungan seksual, terutama pada populasi yang memiliki banyak pasangan
seksual, misalnya penjaja seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS dengan bentuk
inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saat
melakukan hubungan seksual tanpa pelindung antara seorang yang telah terinfeksi
IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis atau seseorang
dengan riwayat pernah menderita ulkus genitalis diperkirakan meningkatkan
risiko tertular HIV 50-300 kali setiap melakukan hubungan seksual tanpa
pelindung. 1,2

2.2.3. Mencegah komplikasi serius pada perempuan

7
Infeksi menular seksual merupakan penyebab kemandulan yang sering terjadi,
terutama pada perempuan. Sekitar 10%-40% perempuan dengan infeksi
Chlamydia yang tidak diobati akan mengalami penyakit radang panggul (PRP).
Kerusakan tuba falopii pasca infeksi berperan dalam kasus kemandulan
perempuan (30%-40%).2 Perempuan dengan PRP kemungkinan 6-10 kali
mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak menderita PRP,
dan 40%-50% kehamilan ektopik disebabkan oleh PRP yang diderita sebelumnya.
Pencegahan infeksi HPV akan menurunkan angka kematian perempuan akibat
kanker serviks, yang merupakan kanker terbanyak pada perempuan.3

2.2.4. Mencegah efek kehamilan yang buruk


Infeksi menular seksual yang tidak diobati, seringkali dihubungkan dengan infeksi
kongenital atau perinatal pada neonatus, terutama di daerah dengan angka
prevalensi IMS yang tinggi. Wanita hamil dengan sifilis dini yang tidak diobati,
sebanyak 25% akan mengakibatkan janin lahir mati dan 14% kematian neonatus,
dan menyebabkan kematian perinatal sebesar 40%. Kehamilan pada perempuan
dengan infeksi gonokokus yang tidak diobati, sebesar 35% akan menimbulkan
abortus spontan dan kelahiran prematur, dan sampai 10% akan menyebabkan
kematian perinatal. Apabila tidak ada upaya pencegahan, 30% bayi yang lahir dari
ibu dengan klamidiosis tanpa diobati, akan mengalami oftalmia neonatorum yang
dapat mengakibatkan kebutaan.1,2

2.3. Program Pencegahan


2.3.1. Kegiatan promosi kesehatan
Strategi pemberdayaan dan promosi dalam upaya pengendalian IMS, HIV dan
AIDS didasari atas 3 (tiga) strategi dasar promosi kesehatan, yaitu Gerakan
Pemberdayaan sebagai ujung tombak, yang didukung oleh Bina Suasana dan
Advokasi. Strategi tersebut harus dikombinasikan dengan semangat dan dukungan
dari pasangan. Seluruh strategi tersebut diarahkan agar masyarakat mampu
mempraktekkan perilaku mencegah dan mengatasi masalah kesehatannya.4,13

8
2.3.1.1. Pemberdayaan masyarakat
Merupakan proses pemberian informasi secara terus-menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu
sasaran, agar sasaran memiliki pengetahuan, sikap, dan mempraktekan perilaku
yang diharapkan. Sasaran dari pemberdayaan dalam konteks penanggulangan HIV
dan AIDS adalah masyarakat umum, khususnya individu kelompok usia15-24
tahun agar tidak tertular IMS dan HIV-AIDS, serta mencegah kelompok sasaran
yang berperilaku risiko tinggi agar tidak terkena HIV-AIDS.14

2.3.1.2. Bina suasana


Merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong masyarakat umum, populasi berperilaku risiko tinggi, petugas
kesehatan agar bersedia menanggulangi penyebaran HIV dan AIDS secara
bersama. Lingkungan sosial yang mendukung dapat diartikan sebagai13:
a. Hilangnya sikap menstigma dan mendiskriminasi masyarakat maupun petugas
kesehatan terhadap populasi berperilaku risiko tinggi pada umumnya (Wanita
pekerja seks komersial, waria, LSL, pelanggan penjaja seks dan pengguna
narkoba) dan orang dengan HIV positif pada khususnya.
b. Adanya dukungan positif dari masyarakat umum terhadap praktek pencegahan
penularan IMS dan HIV dengan perilaku seks aman dan persepsi positif
terhadap kondom sebagai alat pencegahan dalam bidang kesehatan.
c. Adanya dukungan positif dari masyarakat umum terhadap praktek pencegahan
penularan HIV dengan perilaku penggunaan jarum suntik steril.

2.3.1.3. Advokasi
Merupakan upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari seluruh masyarakat. Advokasi diarahkan untuk
menghasilkan kebijakan yang mendukung pada upaya penanggulangan HIV dan
AIDS, terutama pada upaya penurunan IMS dan HIV melalui praktek perilaku
seks aman maupun praktek penggunaan jarum suntik steril. Strategi untuk

9
menghasilkan kebijakan yang mendukung pada upaya penanggulangan HIV dan
AIDS adalah sebagai berikut5,13:
a. Mendapatkan komitmen dan dukungan gubernur dan bupati/walikota.
b. Mendapatkan komitmen dan dukungan dari departemen teknis terkait pada
wilayah prioritas.
c. Mendapatkan komitmen dan dukungan dari populasi kelompok umur 15 tahun
ke atas, dengan prioritas 15-24 tahun.

2.3.1.4. Kemitraan
Kemitraan adalah upaya menjalin kerja sama denganberbagai pihak untuk
menjalankan program yang terintegrasi dan koordinatif dalam setiap komponen
program yang ditentukan.
Adapun strategi dalam kemitraan yakni13:
a. Kerjasama dengan gubernur, walikota/bupati pada wilayah prioritas.
b. Kerjasama dengan departemen teknis terkait pada wilayah prioritas.
c. Kerjasama dengan stakeholder pada wilayah prioritas.
d. Kerjasama dengan lembaga mitra strategis (Lembaga Swadaya Masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, dunia usaha, lembaga donor).
e. Kerjasama dengan media massa nasional hingga lokal berdasarkanprioritas
dan kebutuhan.

2.3.2. Program intervensi perubahan perilaku


Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, secara umum intervensi dapat
dikategorikan menjadi 2 kelompok besar yakni: 1) Intervensi Perilaku dan 2)
Intervensi Biomedis. Intervensi, memiliki makna memasukkan sesuatu di antara
satu hal dengan hal lain. Misalnya, menengahi antara layanan kesehatan dengan
pasien.15Asumsi utama dari sebagian besar intervensi adalah untuk mengurangi
atau menekan biaya ekonomi dan sosial yang ditanggung jika intervensi tidak
dilakukan atau dibiarkan begitu saja. Intervensi, khususnya perubahan perilaku
dibutuhkan agar setiap orang, terlebih populasi berperilaku risiko tinggi dapat
terhindar dari IMS/HIV. Intervensi agar orang yang berperilaku risiko tinggi

1
memahami cara-cara melindungi diri, sehingga terhindar dari penularan. Dalam
hal ini pencegahan atas risiko yang lebih buruk lebih diutamakan, mengingat
beberapa pertimbangan sebagai berikut13:
a. HIV belum dapat disembuhkan, sehingga mencegah agar tidak menjadi HIV
positif sangatlah menguntungkan dibanding mengatasi masalah yang muncul
menjadi positif.
b. Jika telah positif HIV, untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik, maka
pada tingkat tertentu harus mengkonsumsi ARV. ARV adalah obat yang harus
diminum seumur hidup. Dengan demikian biaya ekonomi yang harus
ditanggung untu menyediakan obat agar dapat diminum secara teratur harus
ditanggung seumur hidup pula.
c. Stigma masih melekat kuat pada orang-orang yang telah terinfeksi HIV,
sehingga biaya psikososial yang harus ditanggung pun sangat besar. Intervensi
Perubahan Perilaku adalah kombinasi berbagai kegiatan yang terencana
secara strategis berkaitan dengan kebutuhan kelompok tertentu dan
dikembangkan dengan kelompok itu untuk membantu mengurangi perilaku
berisiko dan rentan pada penularan IMS dan HIV denga menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk perubahan individu dan kolektif.
Tujuan intervensi perubahan perilaku adalah mengurangi perilaku berisiko
serta mempertahankanperilaku aman dengan menciptakan lingkungan yang
mendukung perubahan perilaku individu dan kolektif. Sementara itu tujuan
khusus intervensi perubahan perilaku, terutama untuk populasi yang dianggap
paling berisiko (Most at Risk Population/MARP) terhadap penularan HIV, adalah
mendorong perubahan perilaku yang bermakna terutama dalam hal perubahan
perilaku untuk melakukan hubungan seks aman (penggunaan kondom) dan
perubahan perilaku untuk mengakses pelayanan kesehatan yang tepat.13,14
Sasaran primer program ini adalah kelompok populasi berperilaku risiko
tinggiterhadappenularan HIV. Kelompok populasi yang dimaksud terdiri dari
pekerja seks komersial (perempuan dan laki-laki), Waria, Lelaki berhubungan
Seks dengan Lelaki (LSL) dan pelanggan/pasangan dari 3 kelompok di

1
atasSasaran sekunder adalah semua orang yang dianggap mempunyai pengaruh
secara langsung pada sasaran primer.15

2.3.3. Membentuk klinik infeksi menular seksual


Infeksi menular seksual dapat meningkatkan penularan HIV, disamping itu juga
dapat menjadi penyebab infertilitas, kehamilan ektopik, infeksi kongenital. Kasus
IMS yang tidak diobati akan menambah beban tingginya morbiditas dan
mortalitas pada perempuan, laki-laki, dan anak-anak. Pencegahan dan
pengendalian IMS merupakanbagian integral dalam upaya pelayanan kesehatan.
Penularan IMS dapat dikendalikan dengan intervensi pada pekerja seks komersial
dan pelanggannya serta kelompok risiko tinggi lainnya dengan cara yang efektif. 16
Intervensi pada penjaja dan pelanggan seks memberikan dampak yang besar
dalam menurunkan prevalensi IMS. Meskipun demikian intervensi juga perlu
dilakukan pada populasi risiko rendah (remaja, anak, WUS, bumil), termasuk
eliminasi sifilis kongenital. Pelaksanaan program harus dilakukan secara integrasi
dan komprehensif dengan program dan layanan yang telah ada.13
Tujuan umum dari program ini adalah menurunnya angka kesakitan dan
angka kematian akibat IMS/HIV. Tujuan Khusus aadalah menegah penularan
untuk menurunkan insiden IMS dan meningkatkan penatalaksanaan kasus IMS
untuk menurnkan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kinerja
manajemen program.Sasaran dari kelompok berperilaku risiko tinggi dan
masyarakat umum/ kelompok yang dianggap berisiko rendah (ibu hamil,
remaja,anak-anak).15
Strategi yang dilakukan mengacu kepada 4 pilar pengendalian IMS, yaitu
perubahan perilaku berisiko menjadi tidak berisiko, promosi penggunaan kondom
secara terus menerus, keterlibatan sektor terkait untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif, layanan IMS (dan HIV-AIDS) yang memadai baik untuk
kelompokberperilaku risiko tinggi maupun non risiko tinggi.13

1
2.3.4. Pengurangan dampak buruk napza
Pengurangan dampak buruk Napza mulai menjadi perhatian di Indonesia
padatahun 1999. Pada saat itu data epidemi HIV/AIDS bergeser dari penularan
melalui hubungan seksual ke penularan melalui penggunaan jarum suntik yang
tidak steril secara bergantian/bersama. Jarum suntik dan peralatan yang berkaitan
dengan penyuntikan yang digunakan tidak sekali pakai dan atau digunakan secara
bergantian, serta perilaku penyuntikan Napza telah terbukti sebagai jalan yang
sangat efektif dalam penularan HIV. Di dunia pada saat ini, dihitung secara
kumulatif, diperkirakan terdapat sekitar 2-3 juta pengguna napza yang terinfeksi
HIV. Lebih dari 110 negara telah melaporkan adanya epidemi HIV yang berkaitan
dengan pengunaan Napza dengan cara suntik. Sampai saat ini bukti ilmiah
menunjukkan bahwa pengurangan dampak buruk napza masih dianggap sebagai
salah satu pendekatan yang efektif dan berhasil untuk menangani masalah
penyalahgunaan napza dan HIV.16
Istilah pengurangan dampak buruk berasal dari terjemahan Harm
Reductionyang berarti pengurangan/penurunan kerugian/kerusakan. Pengurangan
dampak Buruk Napza merupakan bentuk konsep program yang digunakanuntuk
mencegah atau mengurangi konsekuensi negatif yang berkaitan denganperilaku
penggunaan Napza, khususnya dengan cara suntik (penasun = penggunanapza
suntik). Upaya pencegahan infeksi HIV harus dilaksanakan secepat mungkin agar
tujuan jangka panjang berupa penghentian penggunaan napzatidak sia-sia.13,15
Program ini bertujuan mencegah penularan HIV pada kelompok penasun
dan pasangannya. Tujuan ini lebih bersifat jangka pendek dan pragmatis dari pada
tujuan jangka panjang berupa penghentian penggunaan napza.13,16
Pengguna narkotika jarum suntik menjadi sasaran utama, sedangkan
pengguna Napza yang laindan pasangan seks penasun serta keluarga penasun
menjadi sasaran sekunder. Sedangkan masyarakat luas menjadi sasaran tersier.13

2.3.5. Pembentukan klinik Prevention of Mother to Child Transmission


Human Immunodeficiency Virus bisa ditularkan melalui berbagai cara, salah
satunya adalah melalui jalur penularan melalui penularan dari ibu HIV positif

1
kepada bayi yang dikandungnya. Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV,
ditularkan melalui proses dari ibu ke bayi. Di negara maju, risiko seorang bayi
tertular HIV dari ibunya sekitar 1- 2% karena tersedia layanan optimal
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang atau
negara miskin, tanpa adanya akses intervensi, risikonya antara 25%–45%.17
Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak adalah upaya yang ditujukan
untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak yang dilakukan secara
terintegrasi dan komprehensif dengan program-program lainnya yang berkaitan
dengan pengendalian HIV-AIDS melalui strategi 4 prong (strategi). Tujuan dari
program ini adalah menurunkan penularan HIV dari ibu kepada bayinya.13
Sasaran dari program ini antara lain ibu hamil, bayi yang dilahirkan,
perempuan usia reproduktif, remaja dan anak muda. Strategi program terdiri dari 4
: 1) mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif, 2)
mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif, 3) mencegah
terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif beserta bayi dan keluarganya,
4) memberi dukungan psikologis dan sosial; dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya. Kegiatan 1 dan 2 dapat dilaksanakan di
seluruh jenjang dan Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) sedangkan kegiatan 3 dan 4
dilaksanakan pada UPK dengan fasilitas lebih tinggi, yang pada umumnya dapat
diperoleh di Rumah Sakit.13,17

2.4. Metode Pencegahan


2.4.1 Menunda atau mengurangi jumlah pasangan seksual
Cara yang palingdipercayauntuk menghindaripenularanIMSadalahmenjauhkan
diri dari hubungan seksual baik melalui oral,vagina, dananal dalamjangka waktu
lama, serta setiadengan pasanganyang diketahuitelah terinfeksi. Untuk orangyang
sedang dirawatdengan IMSdan HIV(atau pasangan yangsedang menjalani
pengobatan), penting untuk melakukan konselingyang mendorongpantang
berhubungan seksualsampaipengobatan telah selesai.2,18

1
2.4.2. Vaksinasi
Vaksinasi adalah salah satu metode yang paling efektif untuk mencegah penularan
human papillomavirus (HPV), virus Hepatitis A dan Hepatitis B. Terdapat dua
vaksin HPV yang tersedia, yaitu vaksin HPV bivalen dan quadrivalen. Vaksinasi
HPV dianjurkan secara rutin untuk anak laki-laki dan perempuan berusia 11-12
tahun. Vaksin HPV bivalen dan quadrivalen dianjurkan untuk wanita, vaksin
quadrivalent dianjurkan untuk laki-laki. Vaksinasi ini dianjurkan untuk wanita
hingga usia 26 tahun dan laki-laki hingga usia 21 tahun yang belum menerima
vaksin sebelumnya. Untuk orang yang terinfeksi HIV dan bagi laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, vaksinasi dianjurkan hingga usia 26 tahun.19,20
Vaksinasi hepatitis B dianjurkan untuk semua orang yang belum
terinfeksi, termasuk yang sedang dievaluasi atau dirawat dengan Infeksi Menular
Seksual. Selain itu, vaksin hepatitis A dan B disarankan untuk pria yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), pengguna suntikan dan obat-obatan
terlarang, atau orang dengan penyakit hati kronis dan orang dengan infeksi HIV
yang belum terinfeksi dari salah satu virus hepatitis.2,20

2.4.3. Penggunaan kondom


Kondom laki-laki yang terbuat dari lateks merupakan salah satu metode mencegah
penularan IMS/HIV yang paling efektif. Kondom wanita juga merupakan metode
yang aman dan efektif, tetapi masih belum disetujui sebagai program nasional
karena biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Kondom laki-laki dan perempuan
merupakan komponen kunci komprehensif dalam mencegah penularan, dimana
kondom selalu tersedia dan mudah didapatkan.21,22
Beberapa penelitian menunjukkan, penggunaan kondom dapat
menurunkan risiko terjadinya IMS diantaranya klamidiasis, gonore dan
trikomoniasis. Kondom juga dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit radang
panggul pada wanita. Penggunaan kondom yang baik dan benar dapat
menurunkan risiko infeksi HPV, penyakit yang berhubungan dengan HPV, herpes
genital, sifilis, dan chancroid dimana daerah yang terinfeksi atau daerah yang
berpotensi terpapar penyakit dapat ditutupi oleh kondom.23,24

1
Pasien sebaiknya dianjurkan untuk menggunakan kondom secara
konsisten dan benar, sehingga dapat efektif dalam mencegah infeksi IMS/HIV.
Konsultasi mengenai anjuran berikut dapat membantu memastikan bahwa pasien
menggunakan kondom laki-laki dengan benar:2,3
1. Menggunakan kondom baru pada setiap tindakan seksual (seperti oral, vaginal
dan anal).
2. Hati-hati dalam menggunakan kondom untuk mencegah kerusakan dari kuku,
gigi atau benda tajam lainnya.
3. Pasang kondom segera setelah penis ereksi dan sebelum genital, oral dan anal
kontak dengan pasangan.
4. Menggunakan pelumas yang berbahan dasar air (seperti jeli K-Y, Astroglide,
AquaLube, dan gliserin) aman untuk kondom berbahan lateks. Pelumas
berbahan dasar minyak (seperti jeli petrolatum, minyak mineral, minyak pijat,
losion badan dan minyak untuk memasak) dapat melunakkan bahan lateks
sehingga tidak dapat digunakan; tetapi lubrikan berbasis minyak dapat
digunakan dengan kondom sintetis.
5. Untuk mencegah kondom tergelincir, harus memegang kondom dengan kuat
pada pangkal penis selama penarikan dan menariknya selama penis masih
ereksi.

2.4.4. Sirkumsisi pada laki-laki


World Health Organization (WHO) dan Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) menganjurkan sirkumsisi pada laki-laki, dan dapat
digunakan sebagai intervensi serta pencegahan yang efektif terhadap infeksi HIV.
Organisasi ini menganjurkan sirkumsisi pada laki-laki di daerah dengan tingkat
prevalensi IMS/HIV yang tinggi. American Academy of Pediatrics(AAP)
menganjurkan melakukan sirkumsisi pada bayi baru lahir yang bertujuan untuk
mencegah kanker penis, infeksi saluran kencing, ulkus genital dan HIV. Tetapi
tidak terdapat data yang yang pasti mengenai sirkumsisi terhadap penurunan
terjadinya HIV terhadap laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL). 3,25

1
2.5. Populasi Khusus
2.5.1. Wanita hamil
Penularan IMS dapat melalui intrauterin dan perinatal, sehingga menyebabkan
kelemahan pada janin. Semua wanita hamil dan pasangannya harus di anamnesis
mengenai IMS, konseling mengenai kemungkinan infeksi perinatal dan mengobati
penyakit apabila terbukti adanya IMS.17Pemeriksaan IMS yang dianjurkan untuk
wanita hamil, antara lain infeksi HIV, tes serologi sifilis, hepatitis B, Chlamydia
trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan antibodi hepatitis B. Semua pemeriksaan
tersebut dilakukan pada awal kehamilan, apabila hasil negatif dapat dilakukan
pemeriksaan ulang trimester ketiga pada wanita dengan perilaku berisiko tinggi,
seperti menggunakan obat-obatan terlarang, menderita IMS selama hamil,
multipartner seksual, tinggal di wilayah dengan prevalensi IMS/HIV yang tinggi,
dan memiliki pasangan yang menderita IMS/HIV. Pemeriksaan yang tidak rutin
dilakukan antara lain, bakterial vaginosis, trikomoniasis, dan HSV-2. Wanita yang
menunjukkan gejala IMS harus dievaluasi dan diobati sesuai indikasi.2,17

2.5.2. Remaja
Prevalensi IMS di Amerika Serikat paling tinggi di kalangan remaja. Sebagian
besar remaja, 70% remaja laki-laki dan 65% remaja perempuasn telah melakukan
hubungan seksual saat umur 19 tahun. Hubungan seksual pada remaja
berhubungan dengan faktor risiko terjadinya IMS dan kehamilan. Dokter harus
menanyakan mengenai perilaku seksual, dan bagaimana cara mereka
mengantisipasi IMS/HIV.18
Pemeriksaan IMS yang dianjurkan untuk remaja yang aktif berhubungan
seksual antara lain, Chlamydia trachomatis untuk perempuan berusia < 25 tahun
yang aktif berhubungan seksual,sedangkan untuk pemeriksaan HIV harus
didiskusikan terlebih dahulu. Pemeriksaan rutin pada remaja dengan IMS
asimtomatik seperti sifilis, trikomoniasis, bakterial vaginosis, HSV, HPV, HAV
dan HBV tidak dianjurkan.2
Dianjurkan untuk melakukan pencegahan primer pada remaja, seperti
vaksinasi dan konseling. Vaksinasi pada remaja yang dianjurkan adalah vaksin

1
HPV, baik bivalen dan quadrivalen yang rutin diberikan pada perempuan berusia
11-12 tahun. Vaksin ini juga dianjurkan untuk perempuan 13-26 tahun yang
belum pernah mendapat vaksin atau belum mendapat vaksin lengkap. Pada pasien
dengan HIV positif pada LSL, vaksin ini dianjurkan sampai usia 26 tahun. Vaksin
HAV dan HBV dianjurkan untuk seluruh remaja. Remaja yang aktif berhubungan
seksual juga harus diberikan konseling mengenai infeksi HIV, tes HIV, penularan
dan gejala klinis IMS/HIV.2,18

2.5.3. Anak-anak
Penatalaksanaan anak-anak dengan IMS membutuhkan kerjasama antara klinisi,
petugas laboratorium dan organisasi perlindungan anak. Infeksi menular seksual
seperti gonore, sifilis dan klamidia, apabila terjadi setelah periode neonatal, 100%
diindikasikan oleh adanya kontak seksual. Penyakit lain, seperti infeksi HPV dan
vaginitis masih belum tentu oleh karena kontak seksual.2

2.5.4. Orang-orang di lembaga masyarakat


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang berada di lembaga
masyarakat/penjara memilliki prevalensi tinggi terjadinya IMS/HIV dan virus
hepatitis, terutama pada usia < 35 tahun. Orang yang dipenjara rata-rata memiliki
status sosial ekonomi rendah, seperti tinggal di wilayah urbanisasi dengan etnik
dan ras minoritas. Mereka sering terlibat dalam perilaku seksual berisiko seperti
melakukan hubungan seksual tanpa pengaman, multipartner seksual,
menggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang, seks komersial dan
pemerkosaan. Laki-laki dan perempuan berusia < 35 tahun di lembaga
masyarakat/penjara dilaporkan memilki prevalensi tinggi terkena klamidiasis dan
gonore, sehingga perempuan berusia < 35 tahun dan laki-laki berusia <30 tahun di
lembaga masyarakat/penjara harus dilakukan pemeriksaan chlamydia dan gonore
secara rutin.2,18

1
2.5.5. Laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki
Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) memiliki risiko tinggi
terjadinya HIV, bakteri dan virus IMS lainnya, karena mukosa rectum rentan
terhadap patogen IMS. Frekuensi terjadinya hubungan seksual yang tidak aman
dan laporan mengenai insiden IMS/HIV pada LSL meningkat dari tahun 1980-an
sampai pertengahan 1990-an. Terjadi peningkatan kejadian sifilis, gonore dan
infeksi klamidia di Amerika Serikat dan Negara-negara berkembang lainnya.19
Dokter harus menanyakan tentang aktifitas seksual LSL, gejala klinis yang
berhubungan dengan LSL, termasuk duh tubuh uretra, dysuria, ulkus genital dan
perianal. Limfadenopati regional, kulit kemerahan dan gejala anorektal seperti
proktitis, seperti duh tubuh dan nyeri saat buang air besar atau selama
berhubungan seksual. Infeksi sering asimtomatik, sehingga dokter harus
melakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pada LSL yang aktif
berhubungan seksual.21,22
Pemeriksaan yang dianjurkan untuk LSL yang aktif berhubungan seksual
antara lain, serologi HIV, serologi sifilis, infeksi uretra seperti N.gonorrhoeae dan
C.trachomatis, infeksi rektum, dan infeksi faring. Pemeriksaan IMS harus sering
dilakukan dengan interval waktu 3-6 bulan untuk LSL yang multipartner seksual.2
Pemeriksaan sitologi anal rutin dilakukan untuk LSL baik dengan infeksi
HIV positif, maupun negatif. Seluruh LSL harus diperiksa HBsAg untuk
mendeteksi adanya infeksi HBV. Vaksinasi hepatitis A dan B dianjurkan untuk
seluruh LSL yang sebelumnya menderita infeksi tersebut atau telah mendapat
vaksin tapi lupa mencatatnya. Penularan hepatitis C dapat terjadi, terutama pada
LSL dengan infeksi HIV, pemeriksaan HCV dapat dianjurkan pada LSL dengan
infeksi HIV.2,27

2.5.6. Perempuan berhubungan seksual dengan perempuan


Hanya terdapat sedikit data mengenai risiko IMS pada perempuan berhubungan
seksual dengan perempuan atau yang disebut lesbian. Penularan dapat terjadi
melalui seks oral-genital, vaginal, atau seks anal melalui jari tangan atau alat
penetrasi, dan seks oral-anal. Bakterial vaginosis memiliki prevalensi tinggi pada

1
lesbian, walaupun bakterial vaginosis sering terjadi pada perempuan pada
umumnya, baik muda maupun dewasa.2,3Perilaku seksual pada lesbian melibatkan
pertukaran cairan vaginaantar pasangan berperan penting pada patogenesis
bakterial vaginosis lesbian. Pemeriksaan rutin untuk bakterial vaginosis tidak
dianjurkan, walaupun penyakit ini sering terjadi pada lesbian. Intervensi untuk
menurunkan prevalensi bakterial vaginosis persisten di kalangan lesbian, dengan
cara mengurangi frekuensi saling bertukar cairan vagina dari tangan atau mainan
seks yang telah beredar di pasaran. Penularan HPV dapat terjadi melalui kulit ke
kulit atau kulit ke mukosa yang sering terjadi pada lesbian.3,28
Menggunakan barier perlindungan seperti menggunakan sarung tangan
selama melakukan hubungan seksual melalui jari-genital, kondom saat
menggunakan mainan seks, barier pelindung gigi berbahan lateks atau plastik saat
melakukan hubungan seks oral-genital dapat mengurangi risiko terjadinya
IMS/HIV di kalangan lesbian.22

2.6. Konseling untuk Mencegah Infeksi Menular Seksual


Tujuan konseling adalah untuk membantu pasien mengatasi masalah yang
dihadapi pasien sehubungan dengan IMS yang dideritanya, sedangkan
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) bertujuan agar pasien mau mengubah
perilaku seksual berisiko menjadi perilaku seksual aman.1
Konseling bagi pasien IMS merupakan hal penting yang sekaligus dapat
memberikan KIE mengenai pencegahan infeksi HIV pada seorang yang berisiko
terhadap penyakit yang dideritanya. Kelompok remaja merupakan kelompok
sasaran khusus yang penting dalam upaya pencegahan primer, sebab kehidupan
seksual mereka berisiko.1,29
Konseling pencegahan terhadap IMS/HIV harus diberikan untuk remaja
dan dewasa yang aktif berhubungan seksual yang didiagnosis IMS, riwayat
menderita IMS beberapa tahun lalu, atau multipartner seksual. Hal-hal yang perlu
ditanyakan pada saat konseling terdiri dari 4P1R, yaitu Pasangan, Pencegahan dari
kehamilan, Perlindungan dari IMS, Praktek, dan Riwayat IMS.2,30

2
Tabel 2. Pertanyaan yang diajukan dalam konseling pencegahan penularan
IMS/HIV.2

No. Pertanyaan
1. Pasangan “Memiliki pasangan seksual dengan laki-laki,
perempuan, atau keduanya?”
“Berapa jumlah pasangan seksual dalam 2 bulan
terakhir?”
“Berapa jumlah pasangan seksual dalam 12 bulan
terakhir?”

2. Praktek seksual “Untuk mengetahui faktor risiko IMS, saya harus


mengetahui bagaimana tindakan seksual yang anda
dilakukan terakhir?”
“Apabila berhubungan seksual, artinya ‘penis
dimasukkan dalam vagina’?”
Apabila jawaban iya :
“apakah menggunakan kondom : tidak pernah, kadang-
kadang atau selalu”
“apabila berhubungan melalui seks anal, artinya ‘penis
dimasukkan dalam rectum/anus?”
apabila jawaban iya “apakah menggunakan kondom :
tidak pernah, kadang-kadang atau selalu”
“Apakah berhubungan oral seks, artinya ‘mulut pada
penis/vagina’?”

3. Pencegahan “Apa yang dilakukan untuk mencegah kehamilan?”


Kehamilan

4. Perlindungan dari “Apa yang dilakukan untuk melindungi diri dari


IMS IMS/HIV?”
Untuk kondom:
Apabila “tidak pernah”:“mengapa tidak menggunakan
kondom?”
Apabila “kadang-kadang” : “pada kondisi (atau dengan
siapa) menggunakan kondom?”

5. Riwayat IMS “apakah pernah menderita IMS sebelumnya?”


“apakah pasanganmu menderita IMS?”

2
2.6. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring mencakup pencatatan jangka pendek secara rutin, seperti hasil dari
program, orang yang menggunakan layanan tersebut, serta dampak jangka
panjang seperti kejadian baru IMS/HIV. Monitoring merupakan komponen dasar
untk menilai apakah sumber daya yang dihabiskan sesuai rencana dan apakah
program dapat menghasilkan output yang diharapkan.1,31
Evaluasi adalah penilaian secara terus menerus dari hasil perubahan yang
terkait dengan program yang dilaksanakan. Evaluasi dapat juga didefinisikan
sebagai pengumpulan data mengenai kegiatan program, krakteristik dan hasil,
sehingga dapat menentukan kelayakan atau menilai program tertentu..2,32
Pada umumnya kerangka monitoring dan evaluasi digunakan sebagai
penyusunan data yang dibutuhkan untuk implementasi program dan menunjukkan
jenjang yang dimulai dari mengumpulkan data, kemudian menganalisa hasil,
dapat dilihat pada gambar 1. Agar program ini mencapai tujuan, harus
memasukkan elemen seperti dana, waktu dan staf yang mendukung untuk dapat
mengimplementasikan serangkaian proses seperti pelatihan dan distribusi obat-
obatan, sehingga dapat menghasilkan program yang telah direncanakan seperti
konseling dan tes HIV, distribusi kondom, dan pengobatan. Program dapat
memiliki efek langsung, berupa perubahan perilaku berisiko kemudian
menyebabkan efek jangka panjang yaitu penurunan penularan IMS/HIV. Sisi kiri
dari input-output kerangka berisi unsur-unsur program, sisi kanan bergerak ke
masalah kesehatan di populasi.33

2
Input  Proses  Output  Hasil  Dampak

Ora PelatihanLayanan
ng logistik, pengetahu Penurun
Ua Manajem an
ng en dll penular
Cakup
Ala an
an
IMS/HI
Program berdasar dataPopulasi berdasar
layana data
V

Gambar 1. Kerangka monitoring dan evaluasi3

2
BAB III
RINGKASAN

Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial
dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV.
Keberadaan IMS telah menimbulkan pengaruh besar dalam pengendalian
HIVAIDS.Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan seksual
dengan manifestasi klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan umur. Meskipun
IMS terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun penularan dapat juga
terjadi dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk
darah atau transfer jaringan yang telah terinfeksi, kadang kadang dapat ditularkan
melalui alat kesehatan yang tidak steril.
Saat ini negara berkembang memiliki program untuk mencegah terjadinya
peningkatan prevalensi IMS termasuk HIV/AIDS. Program promosi kesehatan,
intervensi perubahan perilaku, pembentukan klinik IMS, pengurangan dampak
buruk napza, pembentukan klinik PMTCT. Tujuan dari program pencegahan ini
adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait IMS, mencegah IMS,
mencegah komplikasi serius pada perempuan dan mencegah efek kehamilan yang
buruk. SElain program dari pemerintah, terdapat cara-cara pencegahan penularan
lain, seperti menunda atau mengurangi jumlah pasangan seksual, vaksinasi,
penggunaan kondom, dan sirkumsisi pada laki-laki. Program dan cara-cara
pencegahan tersebut harus ditunjang dengan konseling perubahan perilaku
berisiko serta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program-program
tersebut.

2
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan


Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2011.p. 1-10.
2. Centres for Disease Control and Prevention (CDC). Incidence, Prevalence,
and Cost of Sexually Transmitted Infections in the United States. CDC
Fact Sheet. 2013: 1-4.
3. World Health Organization. Global Strategy for The prevention and
Control of Sexually Transmitted Infection: 2006-2015. 2007. p. 1-13
4. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Global
Report. UNAIDS Report on the Global AIDS Epidemic. 2013. 2013: 1-11.
5. Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan. Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia
tahun 2013. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2013. p.1-20.
6. Morris M., Goodreau S., Moody J. Sexual Networks, Concurrency, and
STD/HIV. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stam W.E., Piot P.,Wasserheit
J.N., Corey L., Cohen M.S., Watts D.H., editors. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: MacGraw-Hill; 2008. p.109-25.
7. Aral S.O., Manhart L.E. Multilevel Approaches to STD Epidemiology and
Prevention. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stam W.E., Piot P.,Wasserheit
J.N., Corey L., Cohen M.S., Watts D.H., editors. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: MacGraw-Hill; 2008. p.1753-1767.
8. Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2010-
2016. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2013. p.1-55.
9. Anonim. Register pasien poli kulit dan kelamin subdivisi infeksi menular
seksual Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 2014. Tidak
dipublikasikan.
10. Diaguez A.C., Ventuneac A., Bauermeister J., Dowsett G.W., Dolezal C.
Is Bareback a Useful Construct in Primary HIV Prevention? Definitions,
Identity and Research. Cult Health Sex. 2009; 11(1): 51-65.
11. World Health Organization. Training modules for the syndromic
management sexually transmitted infection. Second ed. 2007. p. 1-46.
12. World Health Organization. HIV/AIDS in the South-East Asia Region
progress report 2010. P.16-22.
13. Kementerian Kesehatan RI Ditjen Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan. Pedoman Pencegahan Penularan HIV-AIDS dan IMS Bagi
Kabupaten/Kota. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2010. p. 1-56.
14. Douglas J.M., Fenton K.A. STD/HIV Prevention Programs in Developed
Countries. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stam W.E., Piot P.,Wasserheit
J.N., Corey L., Cohen M.S., Watts D.H., editors. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: MacGraw-Hill; 2008.p. 1767-1786.
15. Mayer K.H., Skeer M., Mimiaga M.J. Biomedical Approaches to HIV
prevention. Journal Research & Health. Vol 33, No 3. 2010. p. 195-202.

2
16. European Centre for Disease Prevention and Control (ECD). Effectiveness
of behavioural and psychosocial HIV/STI prevention interventions for
MSM in Europe. European Centre for Disease Prevention and Control.
2009. p. 12-16.
17. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak. Kemenkes RI. 2012. p. 1-64.
18. Sales J.M., Diclemente R.J. Adolescent STI/HIV prevention programs :
what work for teens?. Research facts and finding. 2010. p. 1-7.
19. Finlayson T.J., Le B., Smith A., Bowles K., Cribbin M, Miles I. HIV risk
prevention and testing behaviors among men who have sex with men.
Division of HIV/AIDS prevention national HIV behavioral surveillance
system, United states. 2011. p. 1-18.
20. Lumintang H. Pencegahan infeksi human papilloma virus dengan
vaksinasi. Departemen/SMF ilmu kesehatan kulit dan kelamin FK
Unair/RSUP Dr.Soetomo Surabaya. 2010. p. 1-19.
21. Sullivan P.S., Grey J.A., Rosser B.R. Emerging technologies for HIV
prevention for MSM: what we’ve learned and ways forward. J Acquir
Immune Defic Syndr. 2013. 63 (01):p. 102-107.
22. Beigi R.H. Sexually Transmitted disease. In : Arici A., Gynecology in
practice. Willey Blackwell, New york. 2012. p. 64-78.
23. Steiner M.J., Warner L., Stone K.M., Cates W. Condom and Other Barrier
Methods for Prevention of STD/HIV Infection and Pregnancy. In: Holmes
K.K., Sparling P.F., Stam W.E., Piot P.,Wasserheit J.N., Corey L., Cohen
M.S., Watts D.H., editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New
York: MacGraw-Hill; 2008.p. 1821-1830.
24. Adimora A.A., Ramires C., Aurbach S.R., Aral S.O., Hodder S, Wirgood
G. Preventing HIV infection in women. J Acquir Immune Defic Syndr.
2013; 63(02): p. 168-173.
25. Marrazzo J.M., Cates W. Intervention to prevent sexually transmitted
infection including HIV infection. J Clinical Infection Disease. 2011:
53(S3): p. 64-78.
26. McDaid L., Hart G.J. Serosorting and Strategic Positioning Employed by
Gay and Bisexual Men During Unprotected Anal Intercourse in Scotland.
J Sex Transm Dis. 2012; 39 (9): 735-38.
27. Kennedy C.E., Bernard L.J., Muessig K.E., Konda K.A., Akl E.A.
Serosorting and HIV/STI Infection among HIV Negative MSM and
Transgender People: A Systematic Review and Meta Analysis to Inform
WHO Guidelines. J Sex Transm Dis. 2013: 1-8.
28. Diaguez A.C., Ventuneac A., Dowsett G.W., Bauermeister J., Balan I.
Sexual Pleasure and Intimacy among Men Who Engage in Bareback Sex.
AIDS Behav. 2011; 15(1): s57-65.
29. Finlayson T.J., Le B., Smith A., Bowles K., Cribbin M., Miles I. HIV
Risk, Prevention, and Testing Behaviors among Men Who Have Sex With
Men: National HIV Behavioral Surveillance System, 21 US Cities 2008.
MMWR. 2011; 60(14): 1-34.

2
30. Hess K.L., Gorbach P.M., Manhart L.E., Stoner B.P., Martin D.H.,
Holmes K.K. Risk Behaviours by Type of Concurrency among Young
People in three STI Clinics in the United States. Sex Health. 2012: 1-8.
31. Adimora A.A., Schoenbach V.J. Social Determinants of Sexual Networks,
Partnership Formation, and Sexually Transmitted Infections. In:Aral S.O.,
Fenton K.A., Lipshutz J.A., editors.The New Public Health and STD/HIV
Prevention: Personal, Public and Health Systems Approach. New
York:Springer; 2013. p.13-20.
32. Rosenberg E.S., Sullivan P.S., DiNenno E.A., Salazar L.F., Sanchez T.H.
Number of Casual Male Sexual Partners and Associated Factors among
MSM: Results from the National HIV Behavioral Surveillance System.
BMC Pub Health. 2011; 11(189): 2-9.
33. Boerma J.T., Carael M., Schwartlander B. Monitoring and Evaluation of
Prevention and Control Programs for HIV/AIDS and Other STD. In:
Holmes K.K., Sparling P.F., Stam W.E., Piot P.,Wasserheit J.N., Corey L.,
Cohen M.S., Watts D.H., editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed.
New York: MacGraw-Hill; 2008.p. 1895-1912.

Anda mungkin juga menyukai