OLEH :
KISA APRIANI
Mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Seksual/HIV merupakan mata kuliah di semester 7
pada tahun pertama dari kurikulum mata kuliah program studi Kesehatan Masyarakat STIKES
Tri Mandiri Sakti Bengkulu. Mata Kuliah ini membahas tentang:Penyakit Menular Seksual
(PMS) adalah penyakit dapat menular melalui hubungan seksual dengan seseorang yang
terinfeksi. Dapat ditularkan oleh pasangan Anda lewat aktivitas seksual yang melibatkan
vagina, penis, anus, atau mulut. Mengacu pada penyakit yang beragam, dengan gejala -gejala
yang berbeda tiap penyakit, dan beberapa lebih serius daripada penyakit yang lain. Namun,
semuanya membutuhkan pengobatan untuk mencegah komplikasi dan membahayakan hidup
pasien . Mata kuliah ini menggunakan competency based learning serta metode interaktif yang
membentuk mahasiswa terlibat aktif. Tujuan pembelajaran dapat dicapai melalui peran aktif
mahasiswa selama proses pembelajaran
Tim penyusun
Visi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Menjadi Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia dibidang Kesehatan Masyarakat yang
Profesional, Unggul dalam Siaga Bencana tahun 2022.
Misi Program Studi Kesehatan Masyarakat
a. Melaksanakan pendidikan yang profesional di bidang ilmu kesehatan masyarakat dan siaga
bencana.
b. Mengembangkan penelitian yang berorientasi kepada pemecahan masalah kesehatan sesuai
dengan kebutuhan daerah yang rawan bencana.
c. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat sebagai upaya penerapan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan masyarakat dan siaga bencana.
d. Mempublikasikan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat baik di tingkat
nasional maupun internasional
e. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan tri
dharma perguruan tinggi
A. PENDAHULUAN
Di dalam pembahasan pendahuluan materi kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Seksual/HIV,
kami akan menguraikan terlebih dahulu beberapa hal, sebelum memasuki panduan garis besar
mata ajaran. Hal tersebut adalah : penyakit-penyakit infeksi saluran reproduksi dan penyakit
menular seksual, konsep-konsep penyakit-penyakit infeksi saluran reproduksi dan penyakit
menular seksual diunit pelayanan kesehatan khususnya dalam lingkup kesehatan masyarakat,
hubungan antara HIV dengan mobilitas fakta dasar, mobilitas menganalisis dampak HIV yang
terjadi didalam individu, keluarga dan lingkungan serta dampak perkembangan ;ingkungan
terhadap terhadap epidemic HIV, menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh dalam perubahan
perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS, menjelaskan tentang rapid assessment intervensi dalam
penanggulangan epidemic HIV, menjelaskan dilema dalam pemberian ASI pada ibu dengan HIV
positif.
1. Penyakit-penyakit Infeksi Saluran Reproduksi dan Penyakit Menular Seksual
Sesuai namanya, infeksi saluran reproduksi merupakan suatu infeksi yang
menyerang organ genital seseorang dan dapat dialami pria maupun wanita. Terdapat tiga
jenis infeksi saluran reproduksi, yaitu:
Infeksi menular seksual, seperti chlamydia, gonore, dan HIV.
Infeksi endogenus, yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari organisme yang
dalam kondisi normal terdapat di saluran reproduksi. Contoh dari kondisi ini adalah
vaginosis bakteri dan kandidiasis vulvovaginal.
Infeksi iatrogenik, yang disebabkan oleh kesalahan pada prosedur medis, seperti
aborsi yang tidak sesuai atau proses melahirkan yang tidak dilakukan dengan tepat.
Infeksi saluran reproduksi merupakan kondisi yang dapat dicegah. Selain itu, dengan
diagnosis yang tepat, kondisi ini juga dapat diatasi dengan baik.
Gejala
Gejala yang muncul dapat berbeda, tergantung dari jenis infeksi yang dialami. Beberapa
jenis penyakit di bawah ini adalah bagian dari infeksi saluran reproduksi yang umum
dialami:
1. Sipilis
Kondisi ini ditandai dengan munculnya ulkus atau luka yang terlihat seperti sariawan
di alat kelamin, anus, maupun rongga mulut. Namun luka tersebut tidak terasa nyeri.
Gejala ini akan muncul pada 10 hingga 90 hari setelah terjadinya infeksi.
2. Chancroid
Kondisi ini kerap tidak menimbulkan gejala. Namun saat muncul, gejala umumnya
baru timbul pada 3-10 hari setelah terjadinya infeksi. Kondisi ini dapat ditandai
dengan munculnya luka seperti sariawan berwarna keabuan yang lembek di alat
kelamin.
3. Herpes genital
Gejala yang dapat timbul pada herpes genital di antaranya adalah muncul benjolan-
benjolan kecil pada alat kelamin. Benjolan tersebut dapat pecah dan menyebabkan
terbentuknya luka, seperti cekungan, yang terasa nyeri. Munculnya tanda ini juga
dapat disertai oleh demam dan nyeri saat buang air kecil.
4. Gonore
Gejala gonore akan muncul pada 1-14 hari setelah infeksi. Gejala gonore pada pria di
antaranya nyeri saat buang air kecil, menjadi sering buang air kecil yang disertai
keluarnya cairan berwarna putih atau kuning (nanah) bersamaan dengan keluarnya
urine.
Sedangkan gejala gonore pada wanita bisa berupa keputihan yang tidak normal, nyeri
saat buang air kecil, dan munculnya bercak darah setelah melakukan hubungan
seksual. Selain itu, nyeri pada perut bawah dan nyeri saat menstruasi juga bisa jadi
merupakan gejala gonore pada wanita.
5. Chlamidya
Pada chlamidya, gejala baru akan muncul pada 7 hingga 21 hari setelah infeksi.
Kondisi ini dapat ditandai dengan timbulnya cairan seperti keputihan yang lebih
encer, timbul bercak-bercak darah setelah berhubungan seksual, serta nyeri saat buang
air kecil.
6. Trichomoniasis
Gejala khas dari trikomoniasis ini adalah munculnya keputihan berwarna hijau atau
kuning dengan bau yang tidak sedap. Kondisi tersebut juga dapat disertai dengan rasa
gatal, kemerahan, lebam, dan nyeri saat buang air kecil.
7. HPV
Infeksi HPV dapat terlihat seperti ruam-ruam yang berbeda warna dari warna kulit,
dengan konsistensi yang kering dan tidak terasa nyeri. Tanda tersebut dapat muncul di
penis, anus, area vulvovaginal, saluran kemih, hingga uretra.
8. Candidiasis
Pada beberapa orang, kondisi ini tidak menimbulkan gejala tertentu. Namun saat
gejala muncul, penderitanya dapat merasakan gatal, iritasi, dan nyeri pada bagian luar
alat kelamin.
9. Vaginosis Bakteri
Gejala paling khas dari kondisi ini adalah keluarnya cairan serupa keputihan dari
vagina yang berbau sangat menyengat. Selain itu, muncul juga kemerahan serta rasa
gatal pada vagina.
Penyebab
Penyebab infeksi saluran reproduksi dapat berbeda, tergantung dari jenis infeksi yang
dialami. Berikut penyebab infeksi saluran reproduksi berdasarkan jenis penyakitnya:
Sipilis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri triponema pallidum.
Chancroid. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Haemophilus ducreyi.
Herpes genital. Penyakit ini disebabkan oleh virus herpes simplex tipe 2.
Gonore. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Neisseria
gonorrhoeae.Chlamidya. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Chlamidya trachomatis.
Trichomoniasis. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa Trichomonas
vaginalis.HPV. Disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus dan menjadi sebab
paling umum dari timbulnya kutil kelamin.
Candidiasis. Kondisi ini disebabkan oleh infeksi jamur candida albicans.
Vaginosis bakteri. Disebabkan karena terjadinya gangguan pada bakteri yang memang
terdapat pada vagina pada keadaan normal. Kondisi ini dapat ditandai dengan jumlah
bakteri lactobacilli yang berkurang drastis.
Diagnosis
Untuk mendiagnosis kondisi ini, beberapa langkah perlu dilakukan. Pada awal
pemeriksaan, dokter akan menanyakan mengenai gejala infeksi yang Anda rasakan.
Karena beberapa gejala kondisi ini bisa tidak dirasakan oleh penderitanya, dokter
mungkin akan melakukan pemeriksaan menggunakan alat tertentu.
Dokter juga mungkin akan menyarankan Anda untuk melakukan pemeriksaan di
laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dapat berbeda
tergantung dari jenis infeksi yang mungkin dialami. Contoh pemeriksaan yang
mungkin dianjurkan meliputi:
Pemeriksaan serologis untuk mendeteksi sipilis
Pap smear untuk mendeteksi kanker serviks
Pemeriksaan dan konseling untuk mendeteksi HIV
Pengobatan
Pengobatan untuk infeksi saluran reproduksi akan disesuaikan dengan gejala yang
muncul. Untuk mendapatkan perawatan yang tepat dan efektif sesuai kondisi, Anda
perlu mengonsultasikannya dengan dokter. Untuk mengatasi keputihan yang muncul
akibat infeksi ini, dokter dapat memberikan obat metronidazole untuk kondisi yang
disebabkan oleh bakteri dan miconazole bagi yang disebabkan oleh jamur. Sedangkan
untuk infeksi yang terjadi sekitar area rahim, seperti gonore dan chlamydia, dokter
mungkin akan meresepkan obat antibiotik seperti cefixime dan azithromycin.
Salah satu gejala yang kerap muncul pada penderita infeksi saluran reproduksi adalah
munculnya ulkus. Untuk membantu mengatasinya, Anda dapat melakukan langkah -
langkah di bawah ini:
Pengobatan penyakit yang mendasari munculnya ulkus.
Jaga kebersihan ulkus dan pastikan ulkus tetap kering.
Konsumsi obat yang diresepkan oleh dokter. Dokter mungkin akan membe rikan obat-
obatan, seperti penisilin, ciproflaxin, maupun acyclovir, bergantung dari kondisi yang
Anda alami.
Infeksi saluran reproduksi merupakan gabungan dari berbagai penyakit dan
jangkauannya sangatlah luas. Karena itu, Anda perlu memeriksakan diri ke dokter
guna mengetahui pengobatan yang tepat dan sesuai untuk kondisi Anda.
Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah infeksi saluran reproduksi adalah dengan tidak
melakukan hubungan seksual sama sekali. Namun apabila Anda termasuk orang yang
aktif secara seksual, beberapa cara di bawah ini bisa Anda lakukan guna mengurangi
risiko penularannya:
Tanyakan kepada pasangan Anda apakah dia memiliki riwayat pernah menderita atau
sedang menderita infeksi saluran reproduksi. Tanyakan juga apakah pasangan Anda
akhir-akhir ini merasakan gejala tertentu yang tidak jelas penyebabnya.
Jangan berhubungan seks apabila pasangan Anda mengalami tanda dan gejala, seperti
ruam, luka, atau munculnya nanah pada area genital.
Pada kebanyakan kasus, kondisi ini bisa tidak menimbulkan gejala, namun tetap
menular. Karena itu, Anda disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual
dengan pasangan Anda apabila Anda mencurigainya menderita infeksi ini, meski tidak
muncul tanda dan gejala tertentu.
Gunakan kondom dengan benar saat melakukan hubungan seksual secara anal, oral,
maupun vaginal.
Lakukan pemeriksaan berkala untuk melihat apakah Anda maupun pasangan terinfeksi
kondisi ini.
Infeksi menular seksual atau penyakit menular seksual adalah infeksi yang menular melalui hubungan
intim. Penyakit ini dapat ditandai dengan ruam atau lepuhan dan rasa nyeri di area kelamin. Ada
banyak jenis penyakit menular seksual, di antaranya chlamydia, gonore, sifilis, trikomoniasis, dan
HIV.
Sesuai namanya, penyakit menular seksual menyebar melalui hubungan intim, baik secara
vaginal, anal, maupun oral. Tidak hanya hubungan intim, penularan juga dapat terjadi melalui
transfusi darah dan berbagi jarum suntik dengan penderita. Infeksi juga dapat ditularkan dari ibu
hamil ke janin, baik selama kehamilan atau saat persalinan.
4. Menganalisa dampak HIV yang terjadi didalam individu, keluarga dan lingkungan
serta dampak perkembangan lingkungan terhadap epidemic HIV
Tujuan pembelajaran ini adalah
menjelaskan hubungan antara HIV dan mobilitas
menjelaskan dampak infeksi HIV dalam konteks individu
menjelaskan dampak HIV dalam konteks keluarga
menjelaskan dampak HIV dalam konteks komunitas
menjelaskan dampak HIV pada skala nasional
menjelaskan dampak perkembangan social, budaya, dan perilaku terhadap epidemic HIV
Dampak pada keluarga
Keluarga dapat hancur atau bersatu bersama untuk menghadapi HIV dan AIDS. Anak-
anak penderita HIV dan AIDS secara emosional menjadi tertekan ketika menyaksikan
penderitaan orang tuanya atau mengalami kematian orang tuanya. Mereka kehilangan
sumber kasih sayang, perlindungan dan rasa kepedulian yang paling berharga. Anak-
anak ini kemudian akan diasuh oleh keluarganya (seperti kakek neneknya) atau
dimasukkan ke dalam panti asuhan milik negara, ke pondok pesantren atau berada di
jalanan. Tidak ada yang di butuhkan oleh anak-anak itu selain perhatian saat mereka
tumbuh dan berkembang. Kakek dan nenek atau kerabat lainnya harus bertanggung
jawab sepenuhnya biaya anakanak penderita HIV dan AIDS yang telah yatim piatu
tersebut, sehingga kemungkinan akan menyebabkan jatuh dalam kemiskinan. Mereka
juga
harus berhadapan dengan masalah psiko-sosial anak-anak tersebut akibat kehilangan
orang tua mereka. Bagaimanapun juga, anak-anak hampir selalu lebih memilih untuk
tinggal bersama keluarga dekatnya dan kerabatnya. Memasukkan mereka ke panti
asuhan merupakan pilihan akhir dalam upaya perlindungan mereka.
Anak-anak pengidap HIV sangat menderita dalam banyak hal. Tanpa akses ke
pengobatan, perkembangan HIV pada anak-anak lebih cepat dibandingkan pada orang
dewasa.13 Di samping rasa sakit yang timbul pada fisik dengan munculnya gejala AIDS,
anak-anak dengan HIV sering menjadi sasaran stigma dan diskriminasi. Jika kepedulian,
pengobatan dan dukungan tidak tersedia bagi mereka, maka perasaan ditolak ditambah
dengan rasa sakit pada fisik akan menimbulkan depresi dan problem perilaku lainnya.
HIV dan AIDS seringkali juga sangat mempengaruhi penghasilan keluarga. Orang tua
dengan HIV dan AIDS akan merasa sakit sekali untuk bekerja, tambahan lagi sisa uang
belanja seluruhnya digunakan untuk pengobatan dan biaya-biaya lainnya yang terkait,
misalnya persiapan untuk pemakaman. Sebagai akibatnya, anak-anak terutama anak
perempuan dalam keluarga penderita HIV dan AIDS acapkali dipaksa untuk
meninggalkan sekolah agar dapat membantu pekerjaaan rumah tangga atau mencari
tambahan keuangan keluarga. Studi di Kamboja menunjukkan bahwa sebanyak 2 hingga
5 anak penderita HIV dan AIDS harus keluar dari sekolah untuk mulai bekerja mencari
nafkah.14 Banyak anak juga harus mengakhiri sekolahnya tanpa kebutuhan dasar yang
cukup, seperti kecukupan akan makanan, sehingga mereka mulai kekurangan gizi. Anak-
anak yang kekurangan gizi umumnya memiliki masalah kesehatan, dan mereka yang
kondisi fisiknya lemah akan mengalami kesulitan belajar.
Tragisnya lagi banyak keluarga bahkan menolak anggota keluarganya yang terinfeksi
HIV. Di sebuah kuil Budha di Lopburi, Thailand, terdapat sebuah ruangan yang berisi
ribuan abu jenazah dari orang yang meninggal karena AIDS. Guci kecil yang berisi abu
dan tulang tetap teronggok di sana tanpa pernah dibawa pulang oleh sanak saudara
mereka untuk dimiliki, dikuburkan atau abunya ditebarkan dengan upacara keagamaan
atau kepercayaan tertentu. Stigma terhadap AIDS sangat kuat, hingga dalam kematian
pun, korban virus HIV tetap ditolak.
Dampak pada masyarakat
HIV dan AIDS dapat memisahkan atau menyatukan masyarakat. Reaksi umum terhadap
HIV dan AIDS adalah diskriminasi terhadap penderita HIV dan stigmatisasi yang terjadi
pada mereka. Upaya â€mengeluarkan†mereka yang terinfeksi – dari desa, rumah
sakit, sekolah dan rumah ibadah – praktis telah terjadi di seluruh bagian dunia
termasuk di antara kelompok etnis tertentu dalam semua jenjang kelas masyarakat dan
ekonomi. Sayangnya, masih banyak tokoh agama tetap menolak kepedulian dan
melakukan upacara keagamaan tertentu bagi pengidap HIV yang meninggal dunia.
Di banyak kelompok masyarakat yang berada di wilayah Afrika Sub- Sahara penyakit
AIDS telah merenggut kehidupan begitu banyak anak muda dan orang dewasa muda
sehingga seluruh struktur masyarakat kelompok ini terkena dampaknya. Akibat semakin
kurangnya anak muda dan orang dewasa yang produktif beban semakin berat harus
ditanggung oleh orang yang lebih tua dan anak-anak. Anak-anak terutama terpaksa harus
putus sekolah untuk mulai bekerja untuk membantu pembiayaan keluarga, sementara
orang yang lebih tua juga terpaksa harus cari pekerjaan lagi untuk mengurangi beban
keluarganya. Beban keluarga dalam kelompok masyarakat tersebut semakin berat tatkala
beban tersebut memicu stres secara emosional karena keuangan keluarga terancam.
Situasi semacam itu ternyata tidak terjadi di benua Asia saat ini, namun hal ini dapat
terjadi jika respon terhadap penyebaran HIV tidak ditingkatkan. Namun beberapa
kelompok masyarakat di negara-negara kepulauan Pasifik sangat rawan dengan skenario
di atas karena populasi mereka yang kecil, sehingga adanya orang dewasa yang akan
meninggal karena HIV akan memberi dampak yang besar.
Kelompok masyarakat kecil umumnya tergantung pada pertanian dan usaha kecil. Ketika
petani atau karyawan meninggal karena AIDS, perusahaan akan kehilangan karyawan
berkualitas yang memiliki keterampilan khusus. Bahkan ada perusahaan yang langsung
tutup akibat kematian karyawan karena AIDS. Hal inilah yang menyebabkan HIV dan
AIDS disebut masalah yang berkembang. Di wilayah Afrika seperti Sub- Sahara
angkatan kerja semakin berkurang karena banyak orang yang terkena infeksi HIV.
Kurangnya angkatan kerja tentunya akan berdampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian. HIV dan AIDS mampu menjatuhkan pembangunan
nasional dan meruntuhkan hasil-hasil pembangunan dan ekonomi yang selama ini
dikembangkan dengan susah payah. Walaupun wilayah Asia Pasifik belum mengalami
penyebaran virus yang mematikan sendi-sendi kehidupan seperti di atas, namun dapat
terjadi kondisi tersebut, kecuali jika program pencegahan dilaksanakan dengan lebih
efektif.
Dampak HIV Pada Skala Nasional
Meskipun telah banyak dilaksanakan kegiatan penanggulangan HIV. AIDS oleh sektor –
sektor terkait namun di Indonesia belum berhasil menghambat laju penularan HIV/
AIDS, banyak Faktor yang mempercepat epidemi HIV/ AIDS di Indonesia seperti
meningkatnya perilaku berisiko tinggi, meningkatnya industri yang berkaitan dengan
seks; mobilitas penduduk yang tinggi, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran,
prevalensi IMS yang tinggi pada kelompok risti, meningkatnya pengguna NAPZA
suntik, penggunaan kondom yang rendah serta dampak pengungsian. Tingginya penyakit
kelamin atau IMS dikalangan berperilaku risiko tinggi antara lain disebabkan oleh
karena telah terabaikannya upaya pencegahan dan penanggulangan IMS (Infeksi
Menular Seksual) sejak pertengahan dasawarsa 1980-an disebabkan dana
penanggulangan yang tidak memadai, dipihak lain penderita IMS sebagian besar adalah
masyarakat miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli obat IMS,
bahkan untuk membeli kondom.
5. Perilaku berisiko HIV/AIDS
Penggunaan Narkoba Suntik
Penggunaan narkoba suntikan dan alkohol adalah faktor terbesar dalam penyebaran infeksi HIV.
Menurut penelitian Ghasemzadeh (2014). Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa salah
satu faktor risiko yang paling penting di antara tahanan untuk infeksi HIV dan penyakit menular
lainnya adalah penyalahgunaan obat intravena. Berdasarkan hasil tabulasi silang penelitian
Dirjen Pemasyarakatan (2010) terdapat hubungan yang signifikan antara pernah menyuntikan
Napza dan merasa berisiko tertular pada responden laki- laki dengan P
Menurut penelitian Ika Kumalasari (2013) dengan studi kualitatif meneliti tentang perilaku
berisiko yang menyebabkan HIV positif di Rumah Damai, ditemukan bahwa orang yang
ditemukan dengan HIV positif karena kebiasaan 20 menggunakan jarum suntik secara bergantian
dengan temannya dimana narasumber menggunakan sebelum dan sesudah digunakan temannya.
Penggunaan Tato
Salah satu penyebab paling umum dari penularan HIV di antara tahanan yang menato. Praktik ini
hanya mungkin berlangsung jika ada tukang rajah tubuh yang menghuni lapas/rutan. Oleh karena
itu praktek rajah tubuh akan berkurang atau terhenti dengan sendirinya ketika tukang rajah tubuh
meninggalkan lapas/rutan karena masa hukumannya habis atau dipindahkan ke tempat lain
(Ghasemzadeh,et al, 2011). Hasil penelitian Pourahmad, dkk (2007) menunjukkan bahwa
prosedur tato merupakan faktor risiko yang kuat untuk penularan HIV terutama di kalangan
narapidana. Faktor risiko utama penularan HIV di antara tahanan selain berbagi jarum suntik
adalah prosedur tato. Navadeh, et al menunjukkan diantara 2041 narapidana dengan riwayat tato
65 (3,3%) yang positif terinfeksi HIV. Sementara, di antara 2.492 tahanan tanpa sejarah tato 23
(1%) yang positif terinfeksi HIV. Menurut penelitian Dirjen Pemasyarakatan (2010) menemukan
bahwa 42% narapidana laki-laki pernah membuat tato dan hampir separuhnya (19%) pernah
membuat tato di dalam lapas/rutan. Pembuatan tato melibatkan perlukaan kulit bahkan bisa
menyebabkan keluarnya darah, sehingga sangat berpotensi menyebabkan penularan HIV jika
peralatan yang digunakan untuk mentato dipakai berulang kembali terhadap narapidana dan
tahanan yang berbeda dan tidak disterilkan.
Perilaku Seksual Beresiko
Di setiap wilayah di dunia, prevalensi HIV 5% atau lebih terjadi pada lakilaki yang berhubungan
seks dengan laki-laki, pekerja seks dan orang-orang transgender, kasus ini tidak hanya di negara
yang dikenal memiliki epidemi terkonsentrasi tetapi juga di negara-negara sebagian besar di
timur dan selatan Afrika (UNAIDS, 2011). Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah
hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (49,5%), penggunaan jarum suntik tidak steril
pada Pengguna Narkotika suntik (Penasun) (13,2%) dan pada Lelaki seks Lelaki (LSL) (5,7%).
Jumlah kasus baru AIDS sebanyak 2.357 kasus, Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 2 : 1, persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak
aman pada heteroseksual (65,0%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (25,9%),
pada LSL (4,8%) dan dari Ibu (positif HIV) ke anak (2,2%) (Dirjen Pemasyarakatan, 2010). Di
penjara yang hanya dihuni oleh narapidana pria, tahanan pria dan penjaga lapas pria, memiliki
kemungkinan lebih besar adanya hubungan seks sesama jenis baik antara narapidana dan tahanan
dengan narapidana atau tahanan lainnya, ataupun antara narapidana dan tahanan dengan penjaga
lapas. Hubungan seks tersebut bisa dilandasi suka sama suka ataupun kekerasan seksual hingga
perkosaan dan ini dianggap bukan suatu kejahatan yang serius di dalam penjara, padahal menurut
data UNAIDS di USA perkosaan di penjara 8─10 kali lipat lebih banyak dari pada populasi
umum (UNAIDS, 2009).
Berbagi Pisau Cukur
Berbagi pisau cukur juga dilaporkan sebagai perilaku berisiko tinggi penularan HIV, mungkin di
antara banyak tahanan yang menggunakan di dalam penjara untuk mencukur (Pourahmad,
Javady et al. 2007). Ditemukan bahwa berbagi pisau cukur secara signifikan lebih banyak
ditemukan pada pasien HIV positif dibandingkan HIV negatif. Mereka juga menyimpulkan
bahwa berbagi pisau cukur merupakan jalur penting penularan HIV di dipenjara (Rahbar,
Rooholamini et al, 2004). Perilaku berbagi alat cukur masih merupakan masalah yang paling
tinggi di Lapas Maumerre yaitu sebesar 74,5% (Daniel Prasetyo, 2013).
Penggunaan Tindik dan Aksesoris Kelamin
1. Penggunaan tindik banyak dilakukan di dalam maupun di luar lapas. Tindik biasanya
dipasang di bagian lidah, hidung maupun alat kelamin. HIV bisa ditularkan melalui alat
tindik yang tidak steril (Dirjen P2PL RI, 2012). Perilaku berisiko pembuatan tindik dan
aksesori pada kelamin sebesar 16% responden lakilaki (140 orang). Tindik tubuh
merupakan hiasan tubuh berupa penyematan benda (terutama dari logam, dapat pula
tulang, gigi atau tanduk) berbentuk tertentu secara semipermanen atau permanen dengan
cara ditembuskan pada kulit. Semi permanen atau permanen dengan cara ditembuskan
pada kulit (Dirjen Pemasyarakatan, 2010). Menurut Daniel Prasetyo (2013) perilaku
berisiko berupa pemasangan aksesoris/ tindik sebesar 12,2%.
6. Menjelaskan Tentang Rapid Assessment Intervensi Dalam Penanggulangan Epidemic
HIV
Beberapa survei yang dilakukan di sektor konstruksi secara jelas menunjukkan risiko penularan
HIV dan perlunya penanganan AIDS pada proyek-proyek konstruksi. Survei tersebut meliputi:
1. Survei yang dilakukan oleh Badan Pembinaan (BP) Konstruksi tentang potensi masalah HIV
dan AIDS di sektor konstruksi pada 5 (lima) proyek yang pernah di survei tahun 2009 yaitu high
building, dam, bidge, housing, road, dan water supplg. Beberapa point dari hasil survei yaitu
sebagai berikut:
a. Membeli seks merupakan hal biasa terjadi saat melakukan , pekerjaan konstruksi.
b. 18% responden menyatakan pernah membeli seks.
c. 3% responden menyatakan membayar untuk hubungan seks (di proyek tersebut)
d.7% responden menyatakan pernah berhubungan seks saat dalam pengaruh alkohol.
2. Rapid Assessment tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli
AIDS terhadap staf dan pekerja proyek di 7 (tquh) lokasi (4 Provinsi diantaranya Bali, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan) dengan sumber dana pinjaman luar
negeri pada Proyek Eastern Indonesia National Road Improuement Project (EINRIP).
Secara umum pemahaman tentang Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS masih rendah
terutama pada kalangan pekerja, ditunjukkan dengan beberapa point hasil survei sebagai berikut:
a. 71,40 I00% staf dan 39,1 86,20/0 pekerja, menyatakan sudah pernah mendengar HiV & AIDS.
b. 30,4 63% staf dan 41,7 63,5a/o pekerja, berpendapat antibiotik dapat mencegah penularan
HIV (suatu pemahaman yang salah).
c. l0,7 25,9% staf dan 12,5 18,5% pekerja, menyatakan berhubungan seks bukan dengan istri.
d. 33,3 looo/o staf dan 35 82,4oh pekerja, menyatakan berhubungan seks tanpa menggunakan
kondom.
e. 0 - 7\,1o/o staf dan O - 7,4o/o pekerja, menyatakan pernah mengkonsumsi narkoba suntik.
3. Assessment yang dilakukan tahun 2OIl oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli AIDS pada
Proyek Waduk dan Normalisasi Sungai di Provinsi Jawa Tengah dengan sumber dana dari Japan
International Cooperation Agencg (JICA).
a. 4o-42o/o responden adalah pekerja migran (berpindah meninggalkan keluarga).
b. i 1 - 25o/o responden menyatakan berhubungan seks dengan , Pekerja Seks.
c. 5 - 23o/o responden yang berhubungan seks dengan Pekerja Seks, tidak menggunakan
kondom.
d. 1 3o/o responden paham tentang HIV dan AIDS (sebelum adanya program intervensi).
e. 4 7oh pernah terinfeksi IMS (sebelum adanya program intervensi). Beberapa data di atas
merupakan situasi epidemi yang memerlukan suatu respon yang struktural di sektor konstruksi.
Hal ini dimulai dengan adanya payung hukum sebagai kerangka formal dari intervensi struktural
untuk penanggulangan HIV dan AIDS pada sektor konstruksi di lingkungan Kementerian
Pekerjaan Umum.
7. Menjelaskan dilema dalam pemberian ASI pada ibu dengan HIV Positif
ANAK dari ibu dengan HIV positif punya risiko besar terinfeksi HIV dari sang ibu. Besaran
risiko tertular mencapai 45 persen, mulai dari tahap kehamilan, persalinan, dan menyusui. Bagi
ibu dengan HIV yang telah sampai pada tahap menyusui, pemberian air susu ibu (ASI) kepada
bayi menjadi dilema tersendiri. Perasaan was-was muncul di mana asupan makanan penuh gizi
dari tubuh sang ibu justru menjadi media masuknya virus HIV. Anggota World Health
Organization (WHO) sekaligus konsultan ahli program Prevention Mother To Child
Transmission (PMTCT), Bagus Rahman Prabowo menerangkan, ASI dari ibu HIV positif
mengandung pula HIV. Kendati demikian, dia menegaskan bahwa HIV dalam ASI tidak
otomatis menginfeksi bayi yang mengonsumsinya. Air susu ibu tetap bermanfaat bagi bayi. Ibu
dengan HIV tetap punya peluang memberikan ASI eksklusif selama enam bulan kepada bayinya.
Tentu dengan catatan khusus. Saat memberikan ASI kepada bayi, sang ibu harus memastikan
tidak ada kondisi peradangan pada tubuh bayi, utamanya pada organ-organ pencernaan bayi yang
dilewati ASI, seperti mulut, tenggorokan, usus, dan lain-lain. "Sebisa mungkin memang ASI
eksklusif enam bulan tetap diberikan," katanya pada diskusi media “Perluasan Dukungan Bagi
Anak Terinfeksi dan Terdampak HIV/AIDS” di RS Hasan Sadikin, Bandung, Rabu
(30/11/2011). Untuk memastikan tidak ada organ pencernaan dalam bayi yang mengalami
peradangan, terang Bagus, bayi yang diberi ASI oleh ibu dengan HIV positif tidak boleh diberi
makanan pendamping ASI apapun selama enam bulan. Setelah pemberian ASI dihentikan
sepenuhnya, barulah bayi bisa diberi susu formula. "Tidak boleh diberi makanan tambahan
apapun, tidak boleh di-mix dengan makanan luar karena bisa meningkatkan peluang terinfeksi
HIV karena inflamasi sebesar 40 persen," tegasnya. Sementara, Manager dan Konselor Klinik
Teratai RS Hasan Sadikin Bandung Nirmala Kesumah mengatakan, bayi dari ibu dengan HIV
positif lebih bagus mencari ibu ASI, artinya mencari wanita lain yang bisa menyusui si bayi.
"Tapi harus dipastikan bahwa perempuan itu tidak HIV positif juga," tutupnya.
Pengalaman partisipan sebelumnya mendapati anak berstatus HIV positif, membuat ibu
sangat selektif memilih tindakan-tindakan khususnya tindakan yang berisiko. Lima dari
tujuh partisipan secara otonomi memilih persalinan sesar, walaupun kondisi ibu
memungkinkan untuk menjalani persalinan normal. Tema kedua ini dibentuk oleh tiga
kategori yaitu:
(1) mengalami trauma
pengalaman anak sebelumnya berstatus HIV positif;
(2) menyadari bahwa resiko penularan virus melalui persalinan sesar lebih rendah;
(3) ditawarkan persalinan normal kepada ibu dikarenakan kondisi ibu baik.
DAFTAR PUSTAKA
SUDRAJAT, AJAT, SPd.I. 2012. Mobilitas Menganalisis Dampak HIV yang Terjadi di dalam
Individu, Keluarga, dan Lingkungan serta Dampak Perkembangan Lingkungan Terhadap
Epidemic HIV.
ARIFATUN, NUZZILLAH, NUR. 2005. Menganalisa Faktor-Faktor yang Berpengaruh Dalam
Perubahan Prilaku Beresiko Terhadap HIV/AIDS. Semarang :
HUGO, GRAIME. 2001. Hubungan Antara HIV dan Mobilitas Fakta Dasar. Australia: Adelaide
University.
APRILIANTI, DWI. 2011. Menjelaskan Dilema Dalam Pemberian ASI Pada Ibu dengan HIV
Positif.