Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

MANAJEMEN BENCANA
PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN KETIKA BENCANA

Disusun Oleh :
SHERIN SARA SHASTI 1826020010
AYU ROSMAWATI 1826020009

Dosen Pengampu: Nurul Khairani, MKM

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kepada allah SWT. Yang telah melimpahkan


rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Manajemen Bencana. Harapan
kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah
isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, Januari 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ............................................................................................. i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Perumahan dan Pemukiman Ketika Bencana ..............................................3
B. Kualitas Permukiman dan Kesehatan...........................................................4
C. Tempat Bernaung Jangka Pendek ................................................................6
D. Beberapa Faktor Risiko Kesehatan Tempat Bernaung ................................7
E. Kualitas Udara dalam Bangunan ..................................................................9
F. Kondisi Fisik Tempat Bernaung ..................................................................9
G. Kegiatan Rumah Tangga ............................................................................10
H. Kepadatan Hunian dan Faktor Fisiologi ....................................................10
I. Kualitas Permukiman dan Kesehatan........................................................ 12
J. Tempat Bernaung Jangka Pendek ..............................................................14
K. Beberapa Faktor Risiko Kesehatan Tempat Bernaung ..............................15
L. Kualitas Udara dalam Bangunan ................................................................16
M. Kondisi Fisik Tempat Bernaung ................................................................18
N. Kegiatan Rumah-tangga .............................................................................19
O. Kepadatan Hunian dan Faktor Psikologis ..................................................21
P. PM1 sebagai Indikator Pencemaran Udara di dalam Ruangan ..................21
Q. Penerangan .................................................................................................23
R. Pemilihan dan Pengaturan Tempat Bernaung Darurat ...............................29
S. Permukiman Pengungsian Jangka Panjang ................................................34

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan mendasar manusia
untuk melakukan aktivitas sehari-hari demi kelangsungan hidup manusia.
Perumahan dan permukiman mempunyai fungsi dan peranan yang penting
dalam kehidupan manusia, perumahan merupakan pencerminan dari jati diri
pribadi manusia. Menurut Yudhohusodo (1991:6) perumahan merupakan
kebutuhan dasar yang bersifat struktural, merupakan bagian dari peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Kamus Penataan Ruang (1997), kawasan permukiman
merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung di kawasan
perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal hunian
sekaligus tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan
masyarakat. Permukiman harus sesuai dengan daya dukung lahan setempat
dan harus dapat menyediakan lingkungan hidup yang sehat, aman dari
bencana alam serta memberikan lingkungan hidup yang tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan. Permukiman harus memperhatikan
ketersediaan sarana prasarana jalan dan transportasi umum.
Permukiman merupakan tempat hidup manusia dan melakukan berbagai
macam aktivitas yang di dalamnya tersedia sarana dan prasarana penunjang
dan lapangan pekerjaan untuk kegiatan sehari-hari masyaraakt yang tinggal di
kawasan permukiman tersebut hal tersebut dapat mempengaruhi masyarakat
dalam membentuk kawasan permukiman dengan bentuk yang berbeda-beda.
Pola permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat atau suatu daerah
tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan lingkungan
setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan
hidupnya ( Finch 1980 dan Wayang dalam Pramulya 2009 ). Pola permukiman
memiliki variasi pola dari yang sangat jarang hingga sangat padat,
mengelompok, teratur dan tidak teratur. Kawasan permukiman akan banyak

1
terdapat pada kawasan yang memiliki tingkat penunjang hidup yang tinggi,
misalnya pada kawasan yang subur untuk menguntungkan pertanian. Menurut
Dwi Ari dan Antariksa (2005:79) pola permukiman membicarakan sifat
persebaran permukiman dengan kata lain pola permukiman secara umum
merupakan susunan sifat berbeda dari hubungan factor-faktor yang
menentukan persebaran permukiman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perumahan dan pemukiman ketika bencana?
2. Bagaimana kualitas permukiman dan kesehatan?
3. Bagaimana tempat bernaung jangka pendek?
4. Apasaja faktor risiko kesehatan tempat bernaung?
5. Bagaimana kualitas udara dalam bangunan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perumahan dan pemukiman ketika bencana.
2. Untuk mengetahui kualitas permukiman dan kesehatan.
3. Untuk mengetahui tempat bernaung jangka pendek.
4. Untuk mengetahui faktor risiko kesehatan tempat bernaung.
5. Untuk mengetahui kualitas udara dalam bangunan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perumahan dan Pemukiman Ketika Bencana


Tempat menetap atau pemukiman merupakan kondisi fisik lingkungan
yang di hadapi oleh para korban bencana setelah selamat dari bencana. Di
tempat inilah kondisi kesehatn lingkungan akan berperan nyata menentukan
deraja kesehatan meraka. Pemilihan lokasi bagi para pengungsi ini sangat
menentukan karena mungkin mereka harus menetap berhari-hari sampai
tahunan.
Keamanan, yaitu bebas dari dampak bencana harus di lengkapi dengan
kebutuhan dasar hidup yang saniter. Tersedianya air bersih merupakan faktor
utama lain yang perlu di dahulukan baru kemudian kebutuhan fisiologis lain,
seperti pangan dan pembuangan ekskreta yang harus tersedia juga di lokasi
itu. Semua itu menjadi kelengkapan bagi tempat bernaung atau permukiman
para pengungsi korban bencana. Di sinilah peran ahli kesehatan lingkungan
menunjukkan kemampuannya.
Seorang ahli kesehaan lingkungan harus dapat bekerja sama dengan
ahli-ahli teknik seperti ahli penyediaan air, pembangunan rumah, pengelolaan
air kotor, dan lain-lain. Mereka harus berkoordinasi memilih, memperbaiki,
dan menentukan putusan tentang tempat permukiman yang saniter bagi para
pengungsi. Keputusan harus di buat dengan ceermat dan mempertimbangkan
segala aspek, karena akan menentukan nasib para pengungsi selanjutnya.
Dalam merencanakan dan melokasikan para pengungsi di sebuah tempat
beberapa pertimbangan harus dipikirkan masak-masak di antaranya adalah
dampak kesehatan lingkunga yang akan mereka terima dari lingkungan yang
baru dan yang akan mereka timbulkan di lingkungan baru itu. Faktor
kelanjutan ekonomi dan kehidupan sosial juga perlu menjadi bahan
pertimbangan karena kedua aspek itu berkaitan juga dengan kesehatan dan
kesejahteraan.

3
Di samping itu, penentuan lokasi bagi para pengungsi perlu
mempertimbangkan adanya jaminan bahwa standar kehidupan para pengungsi
tidak jauh berbada dengan penduduk setempat. Pada tempat-tempat
pengungsian sementara sering kali fasilitas yang diberikan melampaui
kebutuhan yang biasa para pengungsi kenal sebelum terjadi gempa.
Pelayanan, makanan, dan permukiman yang mereka peroleh jauh lebih
tinggi standarnya dari pada yang mereka punyai dan sering m elampaui
standar populasi di sekitar tempat pengungsian. Hal ini dapat menimbulkan
friksi dan kecemburuan sosial antar populasi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masalah pendanaan. Setelah
menginvestasikan sejumlah dana sebagai modal awal pembangunan sarana
lingkungan dan laian-lain di tempat pengungsian, hendaknya diperhitungkan
pula biaya yang harus terus dikeluarkan selama tempat pengungsian masih di
pakai. Kelalaian memperhitungkan pendanaan ini akan menimbulkan masalah
baru dalam penanggulangan bencana.
Dengan mempertimbangkan semua faktor di atas, tak kurang
pentingnya adalah mempertimbangkan kelayakan huni tempat pemukiman di
pengungsian. Kelayakan huni tempat permukiman di pengaruhi besarnya
dampak bencana bersama kedaruratan yang di timbulkan. Tempat
permukiman dapat di rencanakan untuk tempat tinggal sementara selama
pengungsian, tempat tinggal semula jika masih dapat di huni, di bangunan
tempat-tempat umum, di kantor, tempat ibadah, dan lain-lain.

B. Kualitas Permukiman dan Kesehatan


Kualitas permukiman bagi para pengungsi memberikan dampak
kesehatan yang besar pada kesehatan dan kesejahteraan. Sebuah tempat
bernaung bagi para pengungsi hendaknya memenuhi persyaratan:
1. Faali: istirahat, kebebasan pribadi (privacy)
2. Psikologi: membina hubungan antar penghuni
3. Kesehatan: tidak menjadi tempat menimbulkan penyakit
4. Tidak menimbulkan kecelakaan

4
Setelah bencana mereda, sejumlah orang akan mencari sendiri tempat
permukimannya. Mereka mencari akomodasi di rumah keluarga, tetangga atau
tempat bernaung di tengah-tengah sisa perumahan mereka. Sering kali, ketika
bantuan datang, korban bencana sudah mempunyai tempat-tempat berteduh.
Biasanya mereka segan untuk beralih tempat ke tenda-tenda yang disediakan
oleh tim bantuan bencana.
Kadang-kadang situasi boleh dibiarkan begitu saja, tetapi perlu juga
diperhatikan apakah tempat bernaung pilihan mereka aman bagi kesehatan.
Bangunan-bangunan yang menjadi pilihan mereka mungkin adalah bangunan
yang setangah rusak. Sehabis episode gempa bangunan seperti ini sewaktu-
waktu dapat roboh dan menimpa mereka.
Kemungkinan lain adalah jika mereka berada di tempa yang cuacanya
ekstrem (terlalu panas, terlalu dingin) tempat yang mereka pilih belum tentu
layak memenuhi syarat kesehatan. Banyak contoh lain misalnya ancaman
ledakan atau keracunan karena gas bocor, kemungkinan banjir susulan atau
adanya terjangan maeri-materi bawaan banjir.
Rumah bekas dilanda banjir, walaupun air sudah surut masih
mempunyai potensi mengganggu kesehatan penghuninya. Rumah yang
lembab bekas kebanjiran akan memberi peluang berkembangnya aneka ragam
jamur kapang di antaranya Stachybotrys atra (nama laian: S. Chartarum, S.
Alternans) yang merupakan risiko kesehatan.
Pada dasarnya, para pengungsi yang ingin mencari tempat bernaung
sendiri harus disokong dengan (WHO, 2002)
1. Nasihat agar memakai rumah sendiri atau bagian rumah asal yang masih
utuh dan aman.
2. Mencegah agar jangan tinggal di dalam rumah yang tidak aman (misalnya,
ada tanda-tanda akan roboh bekas gempa bumi), menjelaskan bahayanya
dan pindah ke tempat yang lebih aman.
3. Membantu sedapat mungkin jika bangunan masih dapat di perkuat dengan
perbaikan-perbaikan ringan (berikan bahan-bahan bangunan sementara).

5
4. Memberikan informasi kepada masyarakat yang tidak mau mengungsi dari
tempat bencana tentang sumber air bersih terdekat dan aman atau langkah-
langkah yang dapat di ambil untuk mengolah air (menyaring,
mendidihkan, desinfeksi, menyimpan dalam wadah tertutup rapat, dan
lain-lain). Kepada mereka disampaikan juga pembuangan air limbah
secara saniter, tempat yang benar untuk defekasi, pentingnya terapi oralit
untuk anak diare walaupun air agak terkontaminasi.
5. Memberikan informasi kemungkinan pencemaran sumber air. Air
permukaan berpotensi terkontaminasi air limbah dan sisa-sisa banjir. Air
dari atap berpotensi terkontaminasi abu dan debu yang dapat disaring
(berikan pengetahuan sederhana tingkat rumah-rumah tentang metode
filtrasi, sedimentasi, penyimpanan, dan desinfeksi air.
6. Distribusikan larutan pemutih atau table klor (natrium hipoklorit) di
tempat pembagian pada tiap kelompok rumah untuk desinfeksi air di
rumah. Instruksi pemakaian klor (larutan dan tablet) harus dijelaskan
sebaik-baiknya melalui pengorganisasian masyarakat yang telah
mempunyai hubungan baik dengan petugas kesehatan. Tablet pemurni
mahal.
7. Sediakan ember untuk mengambil air dari sumber dan wadah berpenutup
untuk menyimpan air. Berikan pula selimut dan lampu minyak tanah.
8. Berikan petunjuk kepada masyarakat tentang status sistem sanitasi dan
memberikan fasilitas sementara sanitasi jika fasilitas yang ada tidak dapat
dipakai.

C. Tempat Bernaung Jangka Pendek


Untuk jangka pendek, bangunan-bangunan yang masih berdiri dan
aman seperti sekolah, bangunan umum, kantor , ruang olahraga, tempat
ibadah, dan tempat-tempat umum lain dapat dijadikan tempat bernaung tempat
evakuasi ini harus sedekat-dekatnya dengan komunitas yang terkena bencana,
tetapi cukup jauh dari tempat bencana. Hal ini perlu diperhatikan karena di
khawatirkan akan terjadi marabahaya ulangan seperti pada banjir dan gempa

6
susulan. Di samping itu, perjalanan jauh dari tempat asal merupakan stres
tersendiri bagi para pengungsi. Untuk kepuasan psikologis, mereka pun ingin
agar tetap dapat menghubungi tempat asal mereka.
Gedung-gedung yang akan dipakai sebagai tempat bernaung sementara
ini harus diperiksa oleh petugas yang berwenang untuk melihat ada tidaknya
kerusakan struktur atau berada di dekat tempat yang potensial terkena
marabahaya susulan. Gedung tempat bernaung juga diharapkan mempunyai
sumber air bersih, jamban, dan dapur. Jika jumlah korban pengungsi besar,
fasilitas-fasilitas yang ada mungkin tidak mencukupi sehingga harus dibantu
dari luar.
Tempa bernaung di barak militer biasanya dapat menampung banyak,
tetapi sering terlalu jauh dari tempat asal bencana. Kebersihan dan
pemeliharaan bangunan-bangunan tempat bernaung sementara ini hendaknya
dirawat dan dijaga agar jangan cepat menurun kondisi lingkungannya.

D. Beberapa Faktor Risiko Kesehatan Tempat Bernaung


Seperti halnya dengan rumah, bangunan tempat bernaung adalah
lingkungan berskala mikro (micro-scale environment) yang berpotensi
memengaruhi kesehatan para penghuni. Kondisi-kondisi dalam rumah atau
tempat bernaung sebagai faktor-faktor lingkungan lebih menentukan
terjadinya keseluruhan pemajanan langsung (overall human exposures)
kepada pengungsi daripada kondisi di udara terbuka. Hal ini terjadi terutama
karena dalam sehari, waktu yang dilalui penghuni di dalam bangunan lebih
lama dari pada di luar bangunan.
Terkait dengan ini beberapa karakteristik tempa bernaung yaitu
kontruksi, bahan bangunan, dan kegiatan rumah tangga baik dalam bangunan
kecil maupun dalam bangunan besar berkontribusi terhadap tingkat kesehatan
penghuninya. Faktor kondisi fisik tempat bernaung bersama kepadatan hunian
dan kegiatan sehari-hari rumah tangga merupakan tiga faktor yang sering
dikaitkan dengan dampak kesehatan. Ketiga faktor ini tidak berfluktuasi
secara berarti dalam rentang waktu yang singkat.

7
Sering di jumpai adanya beberapa orang daalm suatu bangunan
memberikan keluhan akut yang sama misalnya iritasi mata, hidung,
kerongkongan, batuk, mual, kuranf berkonsetrasi, nyeri kepala dan berbagai
keluhan subjektif lain. Semua itu merupakan petanda bahwa mereka
menunjukkan sekumpulan gejala (syndrome) tidak spesifik yang terkait
dengan ‘bangunan sakit’ (sick-building) atau menunjukkan sick-bulding
syndrome (SBS)
Gejala-gejala itu akan hilang sendiri jika mereka keluar dari bangunan
itu, sehingga orang yang sehat bersama-sama akan bereaksi menunjukkan
gejala gangguan. Jika ada orang yang tidak menunjukkan gejala/reaksi apa-
apa di dalam ‘bangunan sakit’ itu, kemungkinannya adalah orang itu tidak
atau kurang memiliki mekanisme fisiologis untuk menanggapi adanya
ancaman kesehatan bagi dirinya dengan segala konsekuensinya (pada orang
yang sedang lemah sekali, kelainan endokrin, di bawah pengaruh obat-
obatan).
Di samping itu, ada pula bangunan yang menimbulkan penyakit bagi
penghuninya. Ini terjadi pada beberapa orang yang peka terhadap kontaminan
penyebab penyakit yang berasal dari bangunan itu (building related illnesses,
BRI). Gejala-gejala yang ditunjukkan spesifik untuk penyakit tertentu dan
gejala itu tidak serta-merta menghilang walaupum kemudian dia keluar dari
bangunan itu.
Letupan penyakit yang terjadi dapat ditelusuri menuju penyakit tertentu
misalnya legionella disease (legionellosis). Penyakit legionellesis disebabkan
oleh infeksi bakteri gram negatif legionella pheumophila. Bakteri ini dapat
berkembang biak di menara-menara pendingin, AC, sistem air panas gedung,
dan kran air.
Karena itu, penting sekali memahami karakteristik tempat bernaung
yang terkait dengan ketiga faktor tersebut (kontruksi, bahan bangunan, dan
kegiatan rumah tangga). Dalam kaitan dengan kesehatan penghuni,
karakteristik terpenting kondisi bangunan yang berkaitan erat dengan ketiga
faktor itu adalah kualitas udara di dalam bangunan (indoor-air quality).

8
E. Kualitas Udara dalam Bangunan
Udara dalam bangunan tempat bernaung merupakan faktor utama yang
menentukan aman tidaknya suatu bangunan bagi kesehatan penghuninya.
Udara di dalam rumah berpotensi dicemari oleh zat-zat pencemar yang berasal
dari berbagai sumber. Sumbernya bisa berasal dari alam (biogebic dan
chemicals) atau hasil kegiatan manusia (anthropogenic). Zat pencemar udara
dalam bangunan, perobatan, debu, dan kontaminan lain.
Bentuk fisik pencemar udara adalah gas dan partikulat. Partikulat
merupakan aerosol yang terdiri dari partikel-partikel kecil zat cair atau zat
padat yang melayang-layang di udara. Bentuk gas dan partikulat ini sering
bercampur baur di udara, di antaranya adalah NO2, SO2, CO, formaldehida,
polyaromatic hydrocarbons (PHA), merkuri, debu timah hitam (berasal dari
cat ber-Pb), benzene, asbestos, mycotoxins, phtalates, dan polybrominated
diphenylether fire retardants (PBDEs).
Bentuk fisik dan komposisi kimia pencemar udara menentukan potensi
penetrasi ke dalam sistem pencemaran. Demikian pula, konsentrasi zat
pencemar di udara dan laju ventilasi paru-paru perseorangan turut menetukan
penetrasi itu. Zat pencemar gas yang mudah larut dalam air (misalnya, SO2)
sebagaian besar terhambat di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan yang
sukar larut dalam air (misalnya O3) dan partikulat akan masuk jauh ke dalam
paru-paru.
Pada beberapa tempat terdapat resiko masuknya gas radon dari
daalmtanah ke dalam bangunan. Radon adalah gas alam radioaktif yang tidak
berwarna dan tidak berbau. Gas radon terdapat di tanah dan di batu karang.
Jika dasar bangunan bergeser (horizontal atau vertikal), jika sumbernya ada,
dari tanah dapat terlepas gas radon dan menyusup masuk ke daalm bangunan.
Radon berpotensi menjadi faktor risiko kanker paru-paru dan kanker lain.

F. Kondisi Fisik Tempat Bernaung


Memberikan gambaran keadaan fisik bangunan tempat bernaung,
variabel-variabel kontruksi rumah dan ventilasi sudah dapat memberikan

9
karakteristik fisik sebuah bangunan tempat bernaung. Keadaan fisik bangunan
menentukan pola sirkulasi dan pertukaran udara di dalam bangunan atau
ventilasi rumah di atur dengan adanya jendela dan lubang angin yang dapat
memlihara pertukaran efektif udara.

G. Kegiatan Rumah Tangga


Yang di maksud dengan kegiatan rumah tangga adalah kegiatan sehari-
hari anggota rumah tangga di rumah. Kegiatan itu berpotesi menimbulkan
pencemeran udara di dalam bangunan tempat bernaung. Kegiatan yang di
maksud adalah seperti memasak, merokok, memakai obat nyamuk asap, atau
aerosol (obat nyamuk semprot).

H. Kepadatan Hunian dan Faktor Fisiologi


Secara objektif kepadatan hunian di ukur menurut jumlah orang dalam
satu unit area atau ruangan. Berapa jumlah orangnya untuk di nyatakan
sebagai ruang atau area yang padat sulit di tentukan secara akurat. Akan tetapi,
secara subjektif dapat di nyatakan bahwa kepadaatan hunian ditandai oleh
perasaan ketidak mampuan mengtur interaksi dengan orang lain atau
terganggunya kegiatan-kegiatan berinteraksi antar anggota keluarga.
Beberapa aspek yang berperan menentukan fungsi fisiologis tempat
tinggal adalah:
1. Kebersihan dan kerapian
2. Kebebasaan pribadi (privasi)
3. Ada tidaknya berbahaya
4. Kualitas struktur bangunan tempat-tempat untuk anak bermain ini sangat
menentukan karena mungkin mereka harus menetap berhari-hari sampai
tahunan.
Keamanan, yaitu bebas dari dampak bencana harus dilengkapi dengan
kebutuhan dasar hidup yang saniter. Tersedianya air bersih merupakan fuktor
utama lain yang perlu didahulukan baru kemudian kebutuhan fisiologis lain,
seperti pangan dan pembuangan ekskreta yang harus tersedia juga di lokasi

10
itu. Semua itu menjadi kelengkapan bagi tempat bernaung atau permukiman
para pengungsi korban bencana. Di sinilah peran ahli kesehatan lingkungan
menunjukkan kemampuannya.
Seorang ahli kesehatan lingkungan harus dapat bekerja sama dengan
ahli-ahli teknik seperti ahli penyediaan air, pembangunan rumah, pengelolaan
air kotor, dan lain-lain. Mereka harus berkoordinasi memilih, memperbaiki,
dan menentukan putusan tentang tempat permukiman yang saniter bagi para
pengungsi. Keputusan harus dibuat dengan cermat dan mempertimbangkan
segala aspek, karena akan menentukan nasib para pengungsi selanjutnya.
Dalam merencanakan dan melokasikan para pengungsi di sebuah tempat
beberapa pertimbangan harus dipikirkan masak-masak di antaranya adalah
dampak kesehatan lingkungan yang akan mereka terima dari lingkungan yang
baru dan yang akan mereka timbulkar. di lingkungan baru itu. Faktor
kelanjutan ekonomi dan kehidupan sosial juga perlu menjadi bahan
pertimbangan karena kedua aspek itu berkaitan juga dengan kesehatan dan
kesejahteraan.
Di samping itu, penentuan lokasi bagi para pengungsi perlu
mempertimbangkan adanya jaminan bahwa standar kehidupan para pengungsi
tidak jauh berbeda dengan penduduk setempat. Pada tempat-tempat
pengungsian sementara sering kali fasilitas yang diberikan melampaui
kebutuhan yang biasa para pengungsi kenal sebelum terjadi gempa.
Pelayanan, makanan, dan permukiman yang mereka peroleh jauh lebih
tinggi standarnya daripada yang mereka punyai dan sering melampaui standar
populasi di sekitar tempat pengungsian. Hal ini dapat menimbulkan friksi dan
kecemburuan sosial antar-populasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
masalah pendanaan. Seteiah menginvestasikan sejumlah dana sebagai modal
awal pembangunan sarana lingkungan dan lain-lain di tempat pengungsian,
hendaknya diperhitungkan pula biaya yang harus terus dikeluarkan selama
tempat pengungsian masih dipakai. Kelalaian memperhitungkan pendanaan ini
akan menimbulkan masalah baru dalam penanggulangan bencana.

11
Dengan mempertimbangkan semua faktor di atas, tak kurang
pentingnya adalah mempertimbangkan kelayakan huni tempat permukiman di
pengungsian. Kelayakan huni tempat permukiman dipengaruhi besarnya
dampak bencana bersama kedaruratan yang ditimbulkan. Tempat permukiman
dapat direncanakan untuk tempat tinggal sementara selama pengungsian,
tempat tinggal semula jika masih dapat dihuni, di banganan tempat-tempat
umum, di kantor, tempat ibadah, dan lain-lain.

I. Kualitas Permukiman dan Kesehatan


Kualitas permukiman bagi para pengungsi memberikan dampak
kesehatan yang besar pada kesehatan dan kesejahteraan. Sebuah tempat
bernaung bagi para pengungsi hendaknya memenuhi persyaratan:
1. Faali. istirahat, kebebasan pribadi (privacy)
2. Psikclogi: membina hubungan antar penghuni
3. Kesehatan: tidak menjadi tempat menimbulkan penyakit
4. Tidak menimbulkan kecelakaan
Setelah bencana mereda, sejumlah orang akan mencari sendiri tempat
permukimannya. Mereka mencari akomodasi di rumah keluarga, tetangga atau
membuat tempat bernaung di tengah-tengah sisa perumahan mereks Sering
kali, ketika bantuan datang, korban bencana sudah menmpunyai tempat-
tempat berteduh Biasanya mereka segan untuk beralih tempat ke tenda-tenda
yang disediakan oleh tim bantuan bencana
Kadang-kadang situasi boleh dibiarkan begitu saja, tetapi perlu juga
diperhatikan apakah tempat bernaung pilihan mereka aman bagi kesehatan.
Bangunan-bangunan yang menjadi pilihan mereka mungkin adalah bạngunan
setengah rusak. Sehabis episode gempa bangunan seperti ini sewaktu-waktu
dapat roboh dan menimpa mereka.
Kemungkinan lain adalah jika mereka berada di tempat yang cuacanya
ekstrem (terlalu panas, terlalu dingin) tempat yang mereka pilih belum tentu
layak memenuhi syarat kesehatan. Banyak contoh lain misalnya ancaman

12
ledakan atan keracunan karena gas bocor, kemungkinan banjir sasulan atau
adanya terjangan materi-materi bawaan banjir.
Rumah bekas dilanda banjir, walaupun air sudah surut masih
mempunyai potensi mengganggu kesehatan penghuninya. Rumah yang
lembab bekas kebanjiran akan memberi peluang berkembangnya aneka ragam
jamur kapang di antaranya Stachybotrys atra (nama lain: S. chartarum, S.
alternans) yang merupakan risiko kesehatan.

Pada dasarnya, para pengungsi yang ingin mencari tempat bernaung


sendiri harus disokong dengan (WHO, 2002):
1. Nasihat agar memakai rumah sendiri atau bagian rumah-asal yang masih
utuh dan aman.
2. Mencegah agar jangan tinggal di dalam rumah yang tidak aman (misalnya,
ada tanda-tanda akan roboh bekas gempa bumi), men- jelaskan bahayanya
dan pindah ke tempat yang lebih aman.
3. Membantu sedapat mungkin jika bangunan masih dapat diperkuat dengan
perbaikan-perbaikan ringan (berikan bahan-bahan bangunan sementara).
4. Memberikan informasi kepada masyarakat yang tidak mau mengungsi dari
tempat bencana tentang sumber air bersih terdekat dan aman atan langkah-
langkah yang dapat diambil untuk mengolab air (menyaringR.
mendidihkan, desinfeksi, menyimpan dalam wadah tertutup rapat, dan
lain-lain). Kepada mereka disampaikan juga pembuangan air limbah

13
secara saniter, tempat yang benar untuk defekasi, pentingnya terani oralit
untuk anak diare walaupun air agak terkontaminasi.
5. Memberikan informasi kemungkinan pencemaran sumber air. Air
permukaan Eerpotensi terkontaminasi air limbah dan sisa-sisa banijr. Air
dari atap berpotensi terkontaminasi abu dan debu yang dapat disaring
(berikan pengetahuan sederhana tingkat rumalh-tangga tentang metode
filtrasi, sedimentasi, penyimpanan, dan desinleksi air.
6. Distribusikan larutan pemutih atau tablet klor (natrium hipoklorit) di
tempat pembagian pada tiap kelompok rumah untuk desinfeksi air di
rumah. Instruksi pemakaian klor (larutan dan tablet) harus dijelaskan
sebaik-baiknya melalui pengorganisasian masyarakat yang telah
mempunyai hubungan baik dengan petugas kesehatan. Tablet pemurni air
mahal.
7. Sediakan ember untuk mengambil air dari sumber dan wadah ber- penutup
untuk menyimpan air. Berikan pula selimut dan lampu minyak tanah.
8. Berikan petunjuk kepada masyarakat tentang status sistem sanitasi dan
memberikan fasilitas sementara sanitasi jika fasilitas yang ada tidak dapat
dipakai.

J. Tempat Bernaung Jangka Pendek


Untuk jangka pendek, bangunan-bangunan yang masih berdiri dan
aman seperti sekolah, bangunan umum, kantor, ruang olahraga, tempat ibadah,
dan tempat-tempat umum lain dapat dijadikan tempat bernaung Tempat
evakuasi ini harus sedekat-dekatnya dengan komunitas yang terkena bencana,
tetapi cukup jauh dari tempat bencana. Hal ini perlu diperhatikan karena
dikhawatirkan akan terjadi marabahaya ulangan seperti pada baniir dan gempa
susulan. Di samping itu, perjalanan jauh dari tempat asal merupakan stres
tersendir bagi para pengungsi. Untuk kepuasan psikologis, mereka pun ingin
agar tetap dapat menghubungi tempat asal mereka.
Gedung-gedung yang akan dipakai sebagai tempat bernaung sementara
ini harus diperiksa oleh petugas yang berwenang untuk melihat ada tidaknya

14
kerusakan struktur atau berada di dekat tempat yang potensial terkena
marabahaya susulan. Gedung tempat bernaung juga diharapkan mempunyai
sumber air bersih, jamban, dan dapur. Jika jumlah korban pengungsi besar.
fasilitas-fasilitas yang ada mungkin tidak mencukupi sehingga harus dibantu
dari luar.
Tempat bernaung di barak militer biasanya dapat menampung banyak,
tetapi sering terlalu jauh dari tempat asal bencana Kebersihan dan
pemeliharaan bangunan-bangunan tempat bernaung sementara inl hendaknya
dirawat dan dijaga agar jangan cepat menurun kondisi lingkungannya.

K. Beberapa Faktor Risiko Kesehatan Tempat Bernaung


Seperti halnya dengan rumah, bangunan temput bernaung adalah
lingkungan berskala mikro (micro-scale environment) yang berpotensi
memengaruhi kesehatan para penghuni. Kondisi-kondisi dalam rumah atau
tempat bernaung sebagai faktor-faktor lingkungan lebih menentukan
terjadinya keseluruhan pemajanan langsung (overall human exposure:) kepada
pengungsi daripada kondisi di udara terbuka. Hal ini terjadi terutama karena
dalam schari, waktu yang dilalui penghuni di dalam bangunan lebih lama
daripada di luar bangunan.
Terkait dengan ini beberapa karakteristik tempat bernaung yaitu
konstruksi, bahan bangunan, dan kegiatan rumah-tangga baik dalam bangunan
kecil maupun dalam bangunan besar berkontribusi terhadap tingkat kesehatan
penghuninya. Faktor kondisi fisik tempat bernaung ber- sama kepadatan
hunian dan kegiatan sehari-hari rumah-tangga merupakan tiga faktor yang
sering dikaitkan dengan dampak keschatan. Ketiga faktor ini tidak berfluktuasi
secara berarti dalam rentang waktu yang singkat.
Sering dijumpai adanya beberapa orang dalam suatu bangunan mem-
berikan keluhan akut yang sama misalnya iritasi mata, hidung. kerong-
kongan, batuk, mual, kurang berkonsentrasi, nyeri kepala, dan berbagai
keluhan subjektif lain. Semua itu merupakan petanda bahwa mereka
menunjukkan sekumpulan gejala (syndrome) tidak spesifik yang terkait

15
dengan 'bangunan sakit' (sick-building) atau menunjukkan sick-building
syndrome (SBS).
Gejala-gejala itu akan hilang sendiri jika mereka keluar dari bangunan
itu. Berarti ada kesalahan di dalam bangunan itu, schingga orang yang sehat
bersama-sama akan bereaksi menunjukkan gejala gangguan. Jika ada orang
yang tidak menunjukkan gejala/reaksi apa-apa di dalam 'banguinan sakit' itu,
kemungkinannya adalah orang itu tidak atau kurang memiliki mekanisme
fisiologis untuk menanggapi adanya ancaman kesehatan bagi dirinya dengan
segala konsekuensinya (pada orang yang sedang lemah sekali, kelainan
endokrin, di bawah pengaruh obat-obatan).
Di samping itu, ada pula bangunan yang menimbulkan penyakit bagi
penghuninya. Ini terjadi pada beberapa orang yang peka terhadap kontaminan
penyebab penyakit yang berasal dari bangunan itu (building relared illnesses,
BRI). Gejala-gejala yang ditunjukkan spesifik untuk penyskit tertentu dan
gejala itu tidak serta-nerta menghilang walaupun kemudian dia keluar dari
bangunan itu.
Letupan penyakit yang terjadi dapat d.elusuri menuju penyakit tertentu
misalnya Legionella disease (legionellosis). Penyakit legionellosis disebabkan
oleh infeksi bakteri gram negatif Legionella pneumophila. Bakteri ini dapat
berkembang-biak di menara-menara pendingin, AC, sistem air panas gedung,
dan kran air.
Karena itu, penting sekali memahami karakteristik tempat bernaung
yang terkait dengan ketiga faktor tersebut (konstruksi, bahan bangunan, dan
kegiatan rumah-tangga). Dalam kaitan dengan kesehatan penghuni,
karakteristik terpenting kondisi bangunan yang berkaitan erat dengan ketiga
faktor itu adalah kualitas udara di dalam bangunan (indoor-air quality).

L. Kualitas Udara dalam Bangunan


Udara dalam bangunan tempat bernaung merupakan faktor utama yang
menentukan aman tidaknya suats banguna. bagi kesehatan penghuninya.
Udara di dalam rumah berpotensi dicemari oleh zat-zat pencemar yang berasal

16
dari berbegai sumber. Sumbernya bisa berasal dari alam (biogenic dan
chemicals) atau hasil kegiatan manusia (anthropogenic). Zat pencemar udara
dalam bangunan dapat berasal dari bahan bakar padat, asap rokok, material
bahan bangunan, perabotan, debu, dan kontaminan lain.
Bentuk fisik pencemar udara adalah gas dan partikulat. Partikulat
merupzkan aerosol yang terdiri dari partikel-partikel kecil zat cair atau zat
padat yang melayang-layang di udara. Bentuk gas dan partikula. ini sering
bercampur baur di udara, di antaranya adalah NO2, SO2, CO, formaldehida,
polyaromatic hydrocarbons (PAH), merkuri, debu timah hitam (berasal dari
cat ber-Pb), benzene, asbestos, mycotoxins, phtalates, dan polybraminated
dipheny/ ether fire retaridants (PBDES).
Bentuk fisik dan komposisi kimia pencemar udara menentukan potensi
penetrasi ke dalam sistem pernapasan. Demikian pula, konsentrasi zat
pencemar di udara dan laju ventilasi paru-paru perseorangan turut menentukan
penetrasi itu. Zat pencemar gas yang mudah larut dalam air (misalnya, SO2)
sebagian besar terhambat di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan yang
sukar larut dalam air (misalnya O) dan partikulat akan masuk jauh ke dalam
paru-paru.
Gas CO2, CO, volatile organic compounds (VOC, a.l. 4-phenyl
cyclohexene, toluene, dan styrene) dapat juga memenuhi ruangan tertutup dan
bersama bioaerosols (bakteri, tungau debu, dan alergen dari kecoa) mencemari
udara dalam ruangan sehingga menimbulkan ancaman jangka pendek dan
jangka panjang bagi penghuni, dan dapat diterjemahkan sebagai peningkatan
biaya kesehatan yang seharusnya dapat dihindarkan. Seperti diketahui karpet
berpotensi melepaskan VOC yang dapat mengiritasi mata dan saluran
pernapasan, sakit kepala, dan pusing. Ditengarai zat-zat kimia ini merupakan
karsinogen.
Pada beberapa tempat terdapat risiko masuknya gas radon dari dalam
tanah ke dalam bangunan. Radon adalah gas alam radioaktif yang tidal:
berwarna dan tidak berbau. Gas radon terdapat di tanah dan di batu karang.
Jika dasar bangunan bergeser (horizontal atau vertikal), jika sumbernya ada,

17
dari tanah dapat terlepas gas radon dan menyusup masuk ke datam bangunan.
Radon berpotensi menjadi faktor risiko kanker paru-paru dan kanker lain.
Untuk menghilangkannya dapat diaplikasikan ventilasi sampai gas radon tidak
bermakna konsentrasinya.

M. Kondisi Fisik Tempat Bernaung


Untuk memberikan gambaran keadaan fisik bangunan tempat bernaung,
variabel-variabel konstruksi rumah, jumlah kamar, dan ventilasi sudah dapat
memberikan karakteristik fisik sebuah bangunan tempat bernaung. Jika
dijabarkan lebih lanjut, karakteristik itu dapat diuraikan menurut variabel-
variabel kelembaban, luas rumah, jenis lantai, jumlah lantai, luas jendela, luas
kamar tidur, jenis dinding, dan jenis tempat tidur.
Pada tahap awal bencana, penentuan variabel-variabel ini tidak
semuanya relevan, karena bangunan tempat bernaung pada fase awal itu
biasanya berupa bangunan sederhana. Akan tetapi, jika akan dibuatkan
bangunan tempat bernaung yang hendak dipakai lama, beberapa variabel
tersebut akan amat menentukan derajat kesehatan para penghuni bangunan.
Keadaan fisik rumah anat berpengaruh terhadap kualitas udara dalam
bangunan. Keadaan fisik bangunan menentukan pola sirkulasi dan pertukaran
udara di dalam bangunan atau ventilasi. Ventilasi rumah diatur dengan adanya
jendela dan lubang angin yang dapat memelihara pertukaran efektif udara.
Pertukaran efektif udara dimungkinkan oleh jendela atau lubang angin
jika memenuhi beberapa syarat, misalnya antara lain terbentuknya 'efek
cerobong' (stack effect) atau pergerakan udara karena perbedaan suhu.
Namun, mekanisme stack effect untuk pertukaran efektif udara akan
terganggu oleh adanya bangunan di hadapan jendela yang menghambat aliran
bebas udara (misalnya permukiman yang padat dengan bangunan). Faktor lain
yang menentukan juga adalah perbandingan antara luas jendela dengan
volume ruang. Di samping bentuk fisik bangunan tempat bernaung. udara
dalam bangunan juga dapat dicemari olh gas-gas yang dilepas oleh perabot
rumah-tangga.

18
N. Kegiatan Rumah-tangga
Yang dimaksud dengan kegiatan rumah-tangga adalah kegiatan sehari-
hari anggota rumah-tangga di rumah. Kegiatan-kegiatan itu berpoten.i
menimbulkan pencemaran udara di dalam bangunan tempat bernaung.
Kegiatan dimaksud adalah memasak, merokok, memakai obat nyamuk asap,
atau aerosol (obat nyamuk semprot). Kecuali aerosol, kegiatan-kegiatan itu
menimbulkan asap yang merupakan pencemar udara hasil pembakaran.
Asap adalah sistem koloid partikulat padat atau cair berukuran antara
0,01 mikron (µ) sampai 1 mikron di dalam medium udara (gas). Asap
terbentuk dari pembakaran tidak sempurna bahan-bahan yang mengandung
karbon misalnya batubara, minyak, tembakau, atau kayu. Dari hasil
pembakaran itu bahan organik yarig terkandung di dalam bahan bakar akan
melepaskan 3 macam zat pencemar yaitu beberapa jenis gas, zat hasil proses
pirolisis, dan partikulat. Kandungan partikulat di dalam bangunan dapat
dipakai menjadi parameter tingkat pencemaran udara di dalam bangunan
(Purwana, 1999).
Karena proses kimia yang predominan dalam pembak.ran adalah proses
oksidasi, jenis gas apa yang dihasilkan oleh proses oksidasi itu ditentukan oleh
derajat pemasokan oksigen. Pembakaran yang dilakukan sehari-har dalam
kegiatan rumah tangga pada umumnya tidak mengalami okridasi yang lengkap
karena jumlah oksigen tidak optimal. Inilah sebabnya mengapa gas hasil
bakaran itu berisi oksida karbon, oksida nitrogen, dan oksida sulfr dalam
bentuk hasil oksidasi tak lengkap.
Proses pembakaran pirolisis (pembakaran tanpa oksigen) juga turut
serta dalam proses oksidasi yang tidak lengkap itu. Proses ini mengakibatkan
susunan molekul zat organik dalam bahan bakar akan berubah dan membentuk
senyawa yang berbeda dari asalnya. Senyawa baru ini akan melayang di udara
sebagai partikulat kecil zat organik bersama asap. Partikulat-partikulat yang
dihasilkan ini bervariasi ukurannya, Di udara partikulat-partikulat ini akan
mendingin lalu mengalami perubahan bentuk dan luas permukaan.

19
1. Merokok
Asap rokok merupakan masalah besar kesehatan yang terkait
dengan kandungan zat kimia dalam rokok. Asap rokok mengandung
partikulat cair dengan komponen-komponen uap dan gas di dalamnya serta
terdiri dari kira-kira 4000 jenis senyawa kimia yang dapat mencapai
alveoli paru- paru. Beberapa senyawa itu berpotensi sebagai iritan,
asfiksian kimiawi, pelumpuh silia (cilliostatic), karsinogen, ko-karsinogen,
dan senyawa yang aktif secara farmakologik. Pada penelitian-penelitian,
penyakit pernapasan pada anak dan tingginya kadar partikulat dalam
ruangan terkait dengan kebiasaan orang tua merokok Rokok juga
menambah beratnya gejala eksaserbasi asma dan penyakit-penyakit
saluran pernapasan lain.
2. Bahan Bakar untuk Memasak
Memasak juga merupakan sumber penting meningkatnya kadar
partikulat di dalam ruangan. Beberapa penelitian membuktikan keterkaitan
antara penyakit saluran pernapasan dengan pemakaian kayu bakar, bahan
bakar biomasa lain (misalnya, sabut kelapa, kotoran hewan), dan beberapa
jenis batu bara di dalam ruangan. Dari kompor minyak tanah dalam sekali
memasak dihasilkan sebanyak 4,2 mg respirable suspended particulate,
sedangkan pemakaian dapur gas di dalam ruangan berkaitan dengan
penurunan fungsi paru pada anak berumur antara 6 tahun sampai 10 tahun
antara lain karena dapur gas menghasilkan gas nitrogendioksida.
3. Obat Nyamuk
Pemakaian obat nyamuk baik obat nyamuk semprot maupun obat
nyamuk asap di dalam ruang berpotensi menimbulkan gangguan
pernapasan, obat nyamuk asap cukup populer di Asia Tenggara. Sebunh
pengkajian epidemiologi menunjukkan bahwa obat nyamuk asap terbukti
menimbulkan gangguan saluran pernapasan dan asap obat nyamuk
merupakan salah satu sumber partikulat. Kandungan asap obat nyamuk
mengandung bahan karsinogenik benz(a)anthracene yang berada dalam

20
partikulat seperti hasil bakaran dupa yang bahan dasarnya sama dengan
obat nyamuk.

O. Kepadatan Hunian dan Faktor Psikologis


Secara objektif, kepadatan hunian diukur menurut jumlalh orang dalam
satu unit area atau ruangan. Berapa jumlah orarignya untuk dinyatakan
sebagai ruangan atau area yang padat sulit ditentukan secara akurat. Akan
tetapi, secara subjektif dapat dinyatakan bahwa kepadatan hunian ditandai
oleh perasaan ketidakmampuan mengatur interaksi dengan orang lain atau
terganggunya kegiatan-kegiatan berinteraksi antar-anggota kehuarga seperti
bercakap-cakap, bercengkerama, atau kegiatan pribadi seperti menbaca,
belajar, dan lain-lain. Yang mendasari ketidakmampuan itu pada dasarnya
adalah kehilangan kebebasan pribadi (privacy) dan stimulasi berlebilh dari
lingkungan.
Dari sudut kesehatan, kepadatan hunian dapat menjadi faktor risiko
terjadinya infeksi akut saluran pernapasan jika terdapat anggota keluarga yang
menderita penyakit itu. Kepadatan hunian memfasilitasikan keefektifan
penularan droplet infection akibat dekatnya penghuni yang satu dari yang lain.
Tidak hanya infeksi akut pernapasan, dengan kondisi yang padat ini, potensi
rumah sebagai tempat penularan penyakit menjadi tinggi sekali misalnya
penyakit kulit dan penyakit-penyakit parasit.
Jadi bangunan tempat bernaung berpengaruh pada kesehatan psikologis.
Bangunan seharusnya menjadi tempat dan pusat hubungan antar anggota
keluarga. Bangunan tempat bernaung bukan hanya sekadar sosok benda mati
'rumah" (house) melainkan merpakan 'tempat tinggal' (home) yang
memfasilitasikan kelanjutan dan keseharian hidup rumah-tangga bagi anggota
keluarga. Dalam tenipat tinggal, kegiatan hari-hari sudah dapat diantisipasi
oleh semua anggota keluarga dan memberikan kesenangan, tempat untuk
membantu dan mendukung antar-generasi, tempat untuk merasakan kendali
diri, dan mewujudkan identitas pribadi.

21
Rumah tangga yang padat penghuni menimbulkan tekanan dan
disfungsi psikologis bagi anggota keluarga yang menghuni. Hubungan orang
tua dan anak dapat terganggu. Orang tua kurang responsif terhadap masalah-
masalah anak sehingga menimbulkan tekanan batin bigi anak serta
kemunduran pengembangan kepribadiannya.
Beberapa aspek yang berperan menentukan fungsi psikologis tempat
tinggal adalalı:
1. Kebersihan dan kerapian;
2. Kebebasan pribadi (privacy);
3. Ada tidaknya bahaya;
4. Kualitas struktur bangunan;
5. Tempat-tempar untuk anak bermain.

P. PM₁ sebagai Indikator Pencemaran Udara di dalam Ruangan


Ruang tertutup berpotensi meningkatkan kadar partikulat terutama jika
di dalam ruang terdapat sumber-sumber pembakaran seperti merokok,
memasak, dan obat nyamuk. Udara yang terkurung dalam ruang (indoor air)
berpotensi mengumpulkan partikulat sampai lebih besar dari kadar di udara
luar jika pertukaran udara kurang efektif menyingkirkan partikulat dari dalam.
Partikulat di ruangan itu terdiri dari partikulat yang masuk dari luar dan
partikulat yang dihasilkan oleh sumber-sumber potensial dalam ruangan.
Untuk kepentingan pengadaan tempat bernaung ketika bencana, hal-hal ini
perlu diperhatikan.
Beberapa pedoman mengenai bangunan yang akan dipakai sebagai
tempat bernaung sementara adalah (Assar, 1971; United Nations High
Commissioner for Refugees, 1999; Sphere Project, 2000; diadaptasikan dari
WHO, 2003):
1. Tempat tidur di atas ranjang atau tikar minimum terletak di lantai seluas
3,5 m' atau ruang 10 m'. Jika atap cukup tinggi dapat dipakai ranjang
susun. Jarak antar ranjang atau tikar minimum 0,75 m.

22
2. Ventilasi cukup. Udara yang dibutuhkan kira-kira 20- 30 m' untuk setiap
orang, dapat dengan bantuan ventilasi buatan.
3. Memasak dengan dapur berasap dan merokok dilarang.
4. Suhu ruangan dijaga agar tetap nyaman (untuk Indonesia: 25-26°C)
5. Bangunan harus dilengkapi dengan pintu darurat
6. Penerangan sedapatnya dengan cahaya alam atau lampu listrik, jika
memakai lampu pelita sebaiknya ditaruh tergantung agar tidak
membahayakan, bahan bakar cair harus disimpan di luar bangunan.
Petunjuk jelas mengenai bahaya kebakaran dan keselamatan dipasang di
tempat-tempat yang mudah terlihat; alat pemadam api dan cara
pemakaiannya tersedia (ada sekelompok orang dari para korban bencana
yang sudah dilatih menangani pemadaman kebakaran)
7. Cukup akses ke air minum, air untuk memasak, dan higiene perseorangan
dan domestik.
8. Setiap 10 orang mendapat sebuah bak untuk mencuci, atau bak besar
sepanjang 4-5 meter untuk tiap 100 orang, Bak untuk laki-laki terpisah
dari bak untuk perempuan, pada setiap bak ada tempat membuang air
limbah. Sebuah pancuran air (shower) untuk setiap 30 orang (di daerah
panas) atau 50 orang (di daerah sejuk). Lantai didesinfeksi tiap hari.
9. Dibuat pengaturan untuk pembuangan ekskreta manusia. Toilet siram
mungkin sudah od df bangunan yang dipakai asal saja airnya tersedia atau
tetap mengalir. Persedia jamban di luar bangunan dalam jarak 50 meter
dari bangunan, paling sedikit 20 meter dari dapur, ruang makan, dan
sumber air bersih.
10. Tersedia fong sampah sebesar 50 - 100 liter untuk tiap 12 - 15 orang. Tong
sampah s mempunyai pernutup yang rapat. Dibuatkan jadwal pembuangan
sampah yang ditangani para pengungsi (jika sistem biasa tidak berjalan).

Q. Penerangan
Di tempat permukiman untuk para korban bencana harus tersedia alat
penerangan. Penerangan yang baik merupakan bagian penting bagi keschatan

23
penghuni. Penerangan yang optimai akan memberikan dukungan. bagi
kesehatan, kesejahteraan, dan kinerja penghuni. Optimal berartn tidak berlebih
dan tidak kekurangan cahaya. Jika pecrangan menyilaukan mata, dapat
menimbulkan nyeri kepala dan mata, sedangkan cahaya yang suram
melelahkan mata dan cahaya berkedap-kedip akan terasa tidak nyaman dan
menimbulkan nyeri kepala. Cahaya yang cukup dimaksudkan agar tempat atau
ruangan itu aman, mudah melihat arah jalan, dan tahu arah untuk menyingkir
jika terjadi kedaruratan.
Sumber penerangan berasal dari sumber alami dan sumber buatan.
Sumber alami berasal dari matahari. Cahaya matahari (sun-light) merupakan
sinar langsung amat terang dan menimbulkan bayangan tegas. Cahaya
matahari langcung ini mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan
bakteri. Cahaya matahari dapat dirfedupkan dengan pohon-pohon peneduh.
Cahaya alam kedua cahaya siang (day-light) berasal dari pantulan yang
dipendarkan oleh awan, atmosfer, pantulan permukaan (misalnya permukaan
tanah. dinding, danau, sungai, dan lain-lain) atau cahaya matahari yang
menembus benda-benda bening. Cahaya alam ini dapat diperoleh dengan
membuat bangunan berjendela.
Sumber cahaya buatan dapat diperoleh dari lampu pijar, fluoresén, bola
lampu high-intensity discharge, dan light-emitting diodes (LEDS). Demi
pencegahan keracunan merkuri, bola lampu yang mengandung merkuri dan
sudah tidak terpakai hendaknya tidak dipecahkan, karena ap merkuri dari bola
lampu itu akan berpotensi mengontaminasikan manusia.
1. Kontaminan Biologi dalam Bangunan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu hidup bersama
makhluk biologi lain misalnya, insekta (kecoa, lalat, pinjal, kutu, rayap,
tungau debu rumah), tikus, dan jamur. Semua mereka berpotensi
menimbulkan gangguan kesehatan. Kecoa sering melepas bagian-bagian
tubuhnya ketika dalam fase perkembangan dan merupakan sumber alergi
dan asma dalam bangunan bagi orang-orang yang sensitif. Lalat
menyebarkan penyakit melalui makanan (misalnya salmonellosis). Tikus

24
menyebarkan penyakit secara langsung (rat-bite fever, leptospirosis,
hantavirus) dan tak langsung (pes, memperberat alergi).

Di samping itu, jamur dan kapang juga merupakan sumber potensial


kontaminan biologi di dalam bangunan. Kapang tumbuh dalam bentuk
filamen-filamen multiseluler yang dinamakan hifa (hyphae). Dari
bermacam jenis kapang beberapa species banyak ditemukan di dalam
bangunan, antara lain, Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, Fusarium,
Penicillium, Rhizopus, Stachybotrys, and Trichoderma. Kapang
berkembang dengan pertolongan spora yang sering kali tahan hidup lama.
Agar dapat hidup dan berkembang-biak kapang harus berada di tempat
yang lembab serta memerlukan energi dari zat-zat organik (misalnya zat
pati/ amylum/ tepung-tepungan, dan selulosa) tanpa memeriukan proses
fotosintesis (hidup di tempat teduh, tanpa sinar matahari). Seperti yang
pernah diutarakan di atas, rumah yang lembab bekas kebanjiran memacu
pertumbuhan kapang yang berbahaya bagi kesehatan penghuni.
Spora kapang berada di mana-mana juga di dalam bangunan.
Umumnya spora ini tidak menimbulkan masalah kesehatan secara
langsung. Dalam bangunan, penunjang untuk berkembang-biaknya kapang
tersedia yaitu, kelembaban, suhu yang optimal (tidak terlalu terik), dan
sumber energi. Sumber energi diperoleh dari dinding, karpet, dan
material-material lain sehingga dengan kelembaban serta suhu yang
optimal kapang akan tumbuh subur (misalnya, di kamar mandi, perkakas
air conditioning/AC, atau ruang- ruang yang tidak terkena sinar matahari).

25
Bagian-bagian bangunan yang lembab (misalnya atap bocor, karpet
yang basah, setelah lanjir surut) menjadi tempat yang baik untuk beraneka
jenis kapang berkembang-biak dan menimbulkan masalah keschatan.
Jamur kapang berpotensi menghasilkan zat kimia vang
membahayakan kesehatan di antaranya VOC (volatıle organic compounds)
misalnya bermacam jenis alkohol, keton, dan ester. Senyawa-senyawa
VOC ini menimbulkan bau lapuk (musty odor), menimbulkan iritasi
membrana mukosa, dan nyeri kepala. Di samping itu, jamur kapang juga
menghasilkan mikotoksin (mycoioxin) yang beracun bagi manusia.
Mikotoksin tidak mudah menguap tetapi melekat pada spora, fragmen-
fragment hifa, dan debu schingga mudah terbawa terbang dan terhirup
melalui pernapasan.
Terindikasikan berbagai jenis kapang ini, di antaranya Stachbotrys
atra (nama lain: S. chartarum, S. alternans) menjadi penyebab penyakit
idiopathir pulmonary hemorrhage (pernah dilaporkan menyerang bayi dan
anak-anak, namun belum ada kepastian ilmiah yang jelas) oleh
mikotoksinnya. Di samping itu, Stachbotrys atra diduga juga memicu
timbulnya syndrome, intensifikasi serangan asma, efek toxic
inflammatory, dan extreme chronic fatigue syndrome pada para pegawai
rumah sakit. Juga, pernah dilaporkan langit-langit rumah yang bocor
menyebabkan rumah dipenuhi Stachbotrys dan Penicillium.
Jamur kapang juga mampu mencetuskan respons imun. Yang biasa
dan sudah dikenal adalah alergi dengan gejala bersin, batuk, hidung
meleleh, mata merah, atau ruam pada kulit. Demikian juga asma yang
menunjukkan komponen imun. Ada pula beberapa jenis respons imun
yang jarang muncul di antaranya adalah hypersensitivity pneumonitis.
Pada orang-orang yang sedang turun imunitasnya, dapat terjadi infeksi
jamur kapang, misalnya pasien transplantasi, pasien kemoterapi, penderita
HIV. Orang-orang ini mudah terserang infeksi jamur (candidiasis,
aspergillosis).

26
Rumah yang terserang pertumbuhan jamur kapang mudah dikenal.
Mula-mula akan terlihat bercak perubahan warna pada dinding atau
permukaan lain pada bangunan misalnya pada dinding. Kadang-kadang
terlihat samar-samar seperti bercak dengan bulu-bulu halus atau hanya bau
lapuk saja.
Untuk menghilangkan jamur kapang dari dalam bangunan dapat
dilakukan pembersihan dan perbaikan kelembaban. Kalau tanda-tanda
bercak jamur pada dinding tidak besar, dapat dibersihkan dengan deterjen
atau cairan pemutih, kalau infiltrasinya sudah meluas (sesudah banjir
misalnya) seluruh bagian dinding itu harus dibongkar dan diganti baru.
Langkah yang lebih penting adalah mencegah terbentuknya jamur kapang
di dalam bangunan dengan jalan:
a. Menjaga kelembaban antara 40 - 60 persen;
b. Segera memperbaiki sumber-sumber kelembaban (jendela, pipa, atau
atap bocor);
c. Segera membersihkan bangunan setelah kebanjiran dan memberikan
ventilasi optimal;
d. Memberikan ventilasi optimal untuk kamar mandi, tempat mencuci,
dan tempat masak.
Di tempat yang lembab dalam rumah, bakteri dengan endetoksinnya
juga tumbuh subur misalnya Legionella. Endotoksin adalah komponen
lipopolisakharida dari membrane luar bakteri gram-negatif. Meningkatnya
bakteri gram-negatif dan endotoksin terkait dengan kontaminasi alat
pelembab udara (humidifier), laju ventilasi yang rendalh, adanya kucing
atau anjing di dalam rumah, penyimpanan sisa-sisa makanar, dan
bertambakya pengendapan debu.
2. Timah Hitam (Pb)
Di dalam bangunan yang menjadi masalah adalah pemakaian cat
yang mengandung Pb. Pada rumah yang sudah lama, cat sering
mengelupas. Cat yang mengelupas berubah menjadi debu cat, sebagian
jatuh ke tanah. Pada umumnya cat kayu dan cat tembok mengandung Pb.

27
Renovasi runah lama akan melepas debu Pb ke mana-mana.Timah hitam
yang tertelan menimbulkan keracunan pada sistem gastrointestinal, ginjal,
dan syaraf. Biasanya yang banyak terkena keracunan Pb dengan cara ini
adalah anak- anak. Efek yang ditimbulkan pada anak-anak adalah
gangguan perilaku dan kognitif.
3. Keperluan Rumah-tangga (Consumer Products)
Untuk kegiatan domestik sehari-hari banyak dipakai alat dan bahan
keperluan rumah-tangga. Beberapa bahan keperluan rumah-tangga ini
berpotensi menimbulkan risiko kesehatan. Di antara risiko keschatan yang
mungkin ditimbulkan adalah:
a. Wajan tak melekat (teflon): adalah wajan yang mencegalh melekatnya
makanan pada wajan ketika dimasak karena wajan dilapisi Teflon
(polytetrafluoroethylene, PTFE). Oleh pemanasan tinggi, PTHE
melepaskan gas-gas tcksik yang terkait dengan kanker, kegagalan
organ, kerusakan reproduktif, dan lain-lain.
b. Bahan-bahan pembersih: Beberapa bahan pembersih mengandung
bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan. Di antaranya
adalah yang mengandung amoniak (berpotensi merusak ginjal), klor
(iritan), pembersih oven (gangguan saluran pernapasan), dan lain-lain.
c. Pengharum ruangan: biasanya mengandur: phthalate yang berpotensi
menimbulkan kelainan hormonal, gangguan reproduksi, dan cacat
lahir.
d. Pembungkus (wrapper, terbuat dari plastik) makanan: pembungkus
makanan yang terbuat dari plastik banyak yang mengandung
polyfluoralkylphosphoric acid diesters (diPAPs) yaitu bahan kimia
karsinogen. Bahan diPAPs cepat terurai menjadi Perfluorooctanoic
acia (PFOAS, atau C8, atau bahan yang dipakai pada Teflon) yang
terkait dengan kanker pankreas, testis, dan hati, serta kematian
neonatal, rusaknya hormon, infertil, dan mutasi genetik.
e. Perabot rumah tangga: perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu
lapis (plywood) atau papan press (hardboard) secara perlahan melepas

28
gas aldehyde (termasuk kelompok VOC) yang berpotensi
memberatkan penderita asma, sinusitis, dan penyakit saluran
pernapasan bagian atas lainnya dengan kemurgkinan kanker.
f. Kamper (moth-ball): kamper untuk mencegah pakaian dimakan
ngengat mengandung naphthalene dan paradichlorobenzene (PDCB).
Walaupun kurang beracun dibandingkan dengan naphthalene, PDCB
tetap berpotensi meracuni manusia dengan tanda-tanda nyeri abdomen,
stimulasi susunan syaraf pusat, dan kejang-kejang. Dalam pembuluh
darah, zat-zat ini menyebabkan hemolisis (anemia hem olitik) terutama
pada mereka yang menderita defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD).
g. Styrofoam: dipakai untuk wadah makanan dan minuman. S yrofoam
melepas zat-zat berbahaya Benzene dan Styrene ke udara dan makanan
minuman (terutama jika panas) yang kontak dengan styrofoam.
Pemajanan jangka panjang (365 hari atau lebih) kepada benzene
berefek pada darah dan merupakan karsinogen. Styrene berpotensi
karsinogen.juga bila tertelan, pada percobaan binatang styrene
menimbulkan kerusakan hati, ginjal, otak, dan paru-paru.
h. Wadah Plastik: wadah plastik (botol, tempat makanan, kantong plastik)
yang beredar di pasar terbuat dari polycarbonate (PC) dan
mengandung Bisphenol-A (BPA). Karakteristik BPA adalah seperti
estrogen dan masuk ke dalam makanan dan minuman sehingga
berpotenisi mengontaminasi manusia. Pembuangan kantong plastik
sudah menjadi masalah karena plastik itu tidak dapat didegradasikan
secara biologis. Beberapa kota besar di negara maju sudah membatasi
atau melarang pemakaian kantong plastik karena menimbulkan
masalah sampah plastik.

R. Pemilihan dan Pengaturan Tempat Bernaung Darurat


Jika bangunan kosong tidak ada, salah satu pilihan lain adalah
membuat tenda atau tempat bernaung sementara terbuat daripada lembar

29
plastik, terpal, atau bahan lokal misalnya atap rumbia. Di tempat ini juga harus
tersedia air bersih, makanan, dan fasilitas sanitasi. Tempat permukiman dan
bangunan tempat bernaung untuk para korban bencana harus segera didirikan.
Berapa lama tempat ini akan dipakai tidak diketahui, mungkin bulanan
mungkin pula tahunan. Baik untuk jangka pendek maupun jangl. panjang,
tempat permukiman darurat harus menyediakan lingkungan untuk menjamin
berjalannya hidup sehat seperti berikut (Assar, 1971; United Nations High
Commissioner for Refugees, 1999; Sphere Project, 2000, diadaptasi dari
WHO, 2002):
1. Tempat yang dipilih harus bebas dari bahaya penularan penyakit yang
terkait dengan air misalnya malaria, demam berdarah dengue,
onchocerciasis (river-blindness), schistosomiasis (bilharzia) dan
trypanosomiasis (penyakit tidur). Jika penyakit-penyakıt ini endemik,
harus dilakukan tìndakan-tindakan menghindari atau mengendalikan
habitat vektor dan memberikan perlindungan perseorangan terhadap
nyamuk, blackflies, lalat tsetse, dan lain-lain.
2. Topografi lahan harus memungkinkan penyaluran air limbah yang mudah
dan terletak lebih tinggi dari permukaan banjir. Lahan berbatu dan tidak
tembus air harus dihindarkan. Lahan berumput akan mengurangi debu,
tetapi semak-semak dan belukar dapat menjadi tempat bersarang serangga,
hewan pengerat, reptil, dan lain- lain sehingga harus dihindarkan dan
dibersihkan dulu sebelum dipakai. Jika mungkin, lereng curam, lembah
sempit, dan lembah curam dihindarkan. Sebaiknya dipilih tempat dengan
kemiringan lereng 2 persen sampai dengan 4 persen agar dapat
menyalurkan air yang efektif, dan tidak lebih dari 10 persen untuk
menghindarkan erosi dan longsor serta biaya tinggi pemindahan tanah
ketika membuat jalan dan bangunan.
3. Jika ada, tempat itu terlindungi secara alami dari kondisi-kondisi cuaca
vaop tidak bersahabat.
4. Hindarkan tempat-tempat yang berdekatan dengan zona industri atau
perdagangan, bising, bau, pencemaran udara, dan gangguan lain.

30
5. Terdapat lahan untuk manajemen sanitas dan sampah yang cukup dekat
dengan tempat permukiman. Area permukiman harus menghadap
berlawanan dengan arah angin agar terhindar dari bau yang berasal dari
jamban.
6. Tersedia cukup ruang untuk jumlah korban bencana agar dapat bernaung
dan semua keperluan fasilitas publik seperti jalan, area penangkal
kebakaran (area tanpa bangunan dan sedikit atau tanpa tanaman yang
mudah terbakar) dan area pelayanan (30 m' untuk setiap orang, atau 45 m
untuk setiap orang termasuk untuk taman yang kecil bukan untuk usaha
pertanian penuh). Area untuk ruang umum, pasar, dan lain-lain harus
ditentukan dulu sejak semula.
7. Tempat distribusi makanan harus diatur agar mencip. an kondisi aman
untuk orang- orang yang mengambil dan membagikan makanan.
8. Agar dapat memfasilitasikan manajemen dan pengendalian penyakit
menular, kamp pengungsian jangan menampung lebih dari 10.000 orang
sampai dengan 12.000 orang, atau dipecah menjadi unit-unit independen
yang menampung orang tidak lebih dari 1000 orang tiap unit. Saluran-
saluran air limbah digali sekeliling tenda atau tempat bernaung lain dan
Sepanjang tepi jalan terutama jika diantisipasikan adanya banir. Perhatikan
untuk mengalirkan air limbah menjauh dari tempat bernaung, jamban,
pusat kesehatan, dan gudang. Area yang menggenangkan air dan sukar
dikeringkan harus diuruk atau ditutupi dengan bola-bola polystyrene atau
lapisan tipis oli untuk mengendalikan perindukan insekta. Tempat-tempat
pengambilan air harus niempunyai saluran pembuang air limbah untuk
mencegah terbentuknya endapan lumpur.
9. Tempat itu paling sedikit harus dilengkapi dengan dua jalan akses demi
keamanan dan mengurangi kemungkinan terputusnya jalan karena panjir
atau kesulitan lain.
10. Permukaan jalan boleh diperciki air untuk mengurangi debu. Air limbah
sekali-sekali boleh dipakai untuk membasahi jalan berkerikil, Membatasi

31
kepadatan lalu-lintas dan mengurangi kecepatan kendaraan dapat
mengurangi debu.
11. Tempat bernaung diatur berbaris atau berkelompok sepanyak 10 unit - 12
unit di kedua tepi jalan (yang lebarnya minimal 10 meter supaya ialu-lintas
lar.car dan dapat dilalui mobil ambulans dan pemadam kebakaran). Untuk
permukiman dengan tenda, jarak pelatok tenda ke jalan minimal 2 meter.
12. Area tempat bernaung harus dikelompokkan dan terpisah oleh ruang
penangkal kebakaran selebar 30 meter pada tiap jarak 300 meter, Ruang
penangkal kebakaran itu dapat dipakai sebagai jalan tempat lalu-lintas atau
tempat rekreasi.
13. Tiap tempat bernaung terpisah satu dengan lainnya pada jarak 8 meter
sehingga dapat dilalui orang dengan bebas tanpa tersandung pelatok dan
tali tenda. Jeda jarak ini juga berfungsi sebagai penghadarg merembetnya
kebakaran. Jika ruang tidak cunup, dapat diatur agar jarak itu dibuat
selebar tinggi tempat bernaung dan tidak kurang daripada 2 nieter. Jarak
lebih dari 8 meter hendaknya dihindarkan karena mendorong defekasi di
tempat terbuka.
14. Di dalam tempat bernaung tersedia ruang seluas minimum 3,5 m' untuk
setiap orang (untuk iklim panas dan memasak di luar tempat bernaung)
atau 4,5-5,5 m untuk setiap orang (untuk iklim dingin dan memasak di
dalam tempat bernaung).
15. Tempat bernaung boleh terbuat dari tenda atau unit berteduh yang sudah
jadi, boleh terbuat dari plastik, kayu, batu, atau ranting-ranting. Untuk
pemakaian lembar plastik biasanya luas selembar adalah 4 meter X 6-7
meter untuk tiap rumah-tangga Tempat bernaung yang kecil dan dihuni
oleh jumlah sedikit penghuni lebih baik daripada yang besar dan dihuni
banyak orang.
16. Pada daerah cuaca dingin, sediakan kompor penghangat (minyak tanah
atau yang lain), ajarkan para pemakai untuk mencegah kebakaran,
pencemaran udara dalan. ruangan, dan meledak.

32
17. Jika tidak ada tenaga listrik sediakan lampu angin (minyak tanah), atau
lampu penerangan baterai untuk menerangi tempat bernaung, jamban, dan
jalan.
18. Sediakan ventilasi alami untuk tempat bernaung sementara (misalnya:
tenda) Tempat terletak tidak jauh dari sumber air bersih, sebaiknya berada
di tempat di mana air bersih dapat dialirkan dengan gravitasi. Secara
bertahap sumber air harus diperbaiki dan dilindungi setelah kebutuhan-
kebutuhan dasar terpenuhi. Jaraknya tidak labih dari 500 meter dari tempat
bernaung, tiap tempat pengambilan air maksimal melayani tidak lebih dari
250 orang .
19. Jika tidak ada ledeng, harus dipasang tangki-tangki air di kedua tepi jalan.
20. Sediakan tong sampah.
21. Sediakan jamban atau sarana pembuangan ekskreta lain (minimal 1
jamban untuk tiap 20 orang) dan secara bertahap ditingkatkan setelah
waktu dan dana memungkinkan. Bahaya berdefekasi sembarangan,
pemeliharaan jamban harus ditekankan dalam pendidikan kesehatan dan
pengorganisasian permukiman.
22. Tempat pengungsian harus dibersihkan secara reguler sesuai dengan
jadwal. Anjurkan partisipasi penghuni tempat pengungsian. Para pemuda
sebaiknya dianjurkan Im.embentuk tim yang bertugas membersihkan dan
melaporkan masalah-masalah kesehatan dan lingkungan.
23. Sediakan tempat terpisah dan minimal seorang pengasuh (suka-rela atau
dari bantuan kemanusiaan) untuk tiap kamar/ruang bagi anak-anak
terlantar. Mungkin anak-anak dalam keadaan kebingungan, takut, atau
memerlukan makanan bergizi khusus. Tempat untuk anak-anak ini harus
berdekatan dengan pusat perbaikan gizi dan rumah sakit. Sedapat mungkin
mereka berada jauh dari tempat-tempat bahaya sekunder, bising, dan
kontaminasi.
24. Dalam bencana kelaparan dan perang, banyak orang yang baru datang
dengan menderita kurang gizi dan lemah, Untuk mereka diperlukan

33
pelayanan khusus misalnya pemberian makan intensif atau sebagai terapi
oleh unit rehabilitasi gizi .
25. Unit-unit rehabilitasi gizi dan pemberian makan vang intensif harus
dilengkapl dengan air minum sebanyak 15 liter sampai 30 liter air minum
setiap hari untuk setiap tempat tidur.
26. Secara khusus harus disediakan jamban dan fasilitas pembuangan sampan
lam umtuk para orang-tua anak-anak dan staf. Penting juga tersedia sarana
pencuci tangan untuk staf dan orang tua yang memberikan makan kepada
anak.

S. Permukiman Pengungsian Jangka Panjang


Jika pemukiman akan ditempati lebih dari beberapa minggu, beberapa
pergeseran masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan harus diantisipasikan
agar kesehatan dan kesejahteraan para pengungsi terjamin dan liaya jangka
panjang untuk pelayanan dan perawatan infrastruktur tetap terkendali. Tak
kalah pentingnya adalah dampak sosial kepada penduduk setempat dan
kemungkinan gesekan-gesekan sosial yang terjadi antara masyarakat
pendatang dan masyarakat setempat.
Selama fase darurat masalah-masalah risiko kesehatan mungkin sudah
teratasi, tetapi jika sampai para pengungsi harus menetap lama di tempat
pengungsian, sejumlah masalah psikososial dan masalah keschatan lain yang
berhubung dengan pengucilan, kesesakan penghuni, dan ketidaktentuan masa
depan memerlukan penanganan yang bijaksana. Permukiman jangka panjang
memerlukan sarana penyediaan air berh, sistem pembuangan air limbah,
sarana mencuci, sarana pembuangan sampah yang lebih mantap daripada
permukiman sementara.
Melalui koordinasi dengan masyarakat dan pejabat setempat, sarana-
sarana itu harus dirancang dan dibangun sedemikian sehingga para pejabat dan
masyarakat setempat dapat merawatnya dengan dana yang minimal. Harus
pula disusun jadwal pengelolaan, pemantauan, dan perbaikan reguler.

34
Tempat-tempat menyimpan bahan-bahan berbahaya (pestisida, bahan
bakar) harus diberi berpagar (atau metode pengamanan lain), terutama jangan
sampai terjangkau oleh yang tidak berwenang (anak-anak dan lain-lain).
Tempat-tempat beribadah, sekolah, bengkel, tempat membuat makanan jadi,
dan lain-lain harus dirancang dan dibangun dengan benar. Jika ada inisiatif
para pengungsi untuk membangun tempat mereka, hendaknya diawasi pula
agar tidak ada ancaman kesehatan bagi mereka misalnya asap dan api dari
tungku pembakaran, buangan cair, atau lalat dari tempat pemotongan hewan.
Tempat pengungsian sebaiknya dipilah-pilah ke dalam zona pemukiman dan
zona-zona kegiatan lain.

35
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perumahan dan Pemukiman Ketika Bencana adalah tempat menetap
atau pemukiman merupakan kondisi fisik lingkungan yang di hadapi oleh para
korban bencana setelah selamat dari bencana. Di tempat inilah kondisi
kesehatn lingkungan akan berperan nyata menentukan deraja kesehatan
meraka. Pemilihan lokasi bagi para pengungsi ini sangat menentukan karena
mungkin mereka harus menetap berhari-hari sampai tahunan.
Kualitas permukiman bagi para pengungsi memberikan dampak
kesehatan yang besar pada kesehatan dan kesejahteraan. Sebuah tempat
bernaung bagi para pengungsi hendaknya memenuhi persyaratan:
1. Faali: istirahat, kebebasan pribadi (privacy)
2. Psikologi: membina hubungan antar penghuni
3. Kesehatan: tidak menjadi tempat menimbulkan penyakit
4. Tidak menimbulkan kecelakaan

Jika pemukiman akan ditempati lebih dari beberapa minggu, beberapa


pergeseran masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan harus diantisipasikan
agar kesehatan dan kesejahteraan para pengungsi terjamin dan liaya jangka
panjang untuk pelayanan dan perawatan infrastruktur tetap terkendali. Tak
kalah pentingnya adalah dampak sosial kepada penduduk setempat dan
kemungkinan gesekan-gesekan sosial yang terjadi antara masyarakat
pendatang dan masyarakat setempat.

36
DAFTAR PUSTAKA

Purwana Rachmadhi. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan


Dalam Kejadian Bencana. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

37

Anda mungkin juga menyukai