PERNYATAAN:
1). Tugas ini adalah pekerjaan saya sendiri, kecuali kutipan-kutipan yang
telah disebutkan sumbernya dengan benar.
3).Kalau terbukti tugas ini copy paste dari orang lain atau internet, saya
bersedia menerima sanksi academik sesuai aturan pelanggaran tentang
plagiarism.
Malang, 11/01/2023
Yang Menyatakan,
( Rahardiva Aurellia )
Konflik Mei 1998
Konflik yang terjadi pada bulan Mei 1998 ini menjadi sejarah yang kelam
untuk bangsa Indonesia. Konflik ini terjadi tidak terlepas dari era orde baru yang saat
itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Konflik yang terjadi diantaranya
Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti. Kemudian sehari setelah kejadian itu, pada tanggal 13 Mei
hingga 15 Mei 1998 terjadi peristiwa – peristiwa pelanggaran hak asasi manusia,
hingga dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan tersebut berupa kerusuhan
rasial terhadap etnis Tionghoa yang ada di Indonesia khususnya di DKI Jakarta,
Medan, Palembang, Solo, Surabaya. Penyebab kerusuhan ini awalnya dipicu karena
adanya keruntuhan ekonomi akibat krisis finansial Asia pada tahun 1997.
Krisis finansial Asia yang melanda seluruh negara di bagian Asia turut
menyumbangkan kekacauan dalam sektor ekonomi. Nilai tukar rupiah menjadi
merosot dengan cepat dan tajam dari rata rata Rp. 2.450 per dollar AS Juni 1997
menjadi Rp. 13.513 akhir Januari 1998. Kenaikan kurs Dollar sepanjang tahun 1997
hingga 1998 berdampak langsung kepada penurunan devisa secara drastis. Melihat
situasi ekonomi yang semakin tidak terkendali hingga pemerintah Indonesia mencoba
untuk meminta bantuan IMF memulihkan kepercayaan pasar dan menstabilkan rupiah.
Etnis Tionghoa memang dikenal etos kerjanya yang cenderung ulet dan pekerja
keras hingga kehidupannya lebih mapan ketimbang orang orang sekitarnya, sehingga
hal tersebut menjadi ladang bagi beberapa oknum menanamkan sebuah rasa atau
doktrin kebencian dalam meraih kepentingan di banyak bidang seperti ekonomi,
politik, maupun sosial. Konflik Mei 1998 yang terjadi ini, para pribumi menganggap
etnis Tionghoa terlalu mendominasi dalam menguasai sumber – sumber ekonomi dan
diposisikan sebagai tokoh atau biang utama yang menyebabkan kekacauan
pemerintahan saat itu, terutama kebijakan ekonomi seperti inflasi dan krisis moneter.
Namun, berbagai bentuk konflik yang terjadi antara kedua etnis tersebut, pada
dasarnya bukan merupakan bentuk konflik murni yang berbasis kepada etnisitas atau
dengan menguatnya sentimen antar kelompok dengan mengusung label etnis Tionghoa
atau pribumi, melainkan lebih ke adanya suatu kepentingan pihak luar yang memang
sengaja untuk memecah belah masyarakat. Apabila ditelusuri lebih dalam, maka
pemicu konflik ini bukan berasal dari adanya sentimen antara etnis Tionghoa dengan
pribumi, tetapi lebih tepatnya karena adanya berbagai bentuk kepentingan politik.
Banyak propaganda dan doktrin yang berkembang di masyarakat yang memang
sengaja disebarkan oknum dan secara terang – terangan mengkambinghitamkan etnis
Tionghoa sebagai penyebab efek berbagai kebijakan pemerintah pada masa itu.
Konflik yang terjadi pada bulan Mei 1998, mengakibatkan banyak kerugian
yang tidak bisa dihitung baik secara materiil maupun non materiil. Penjarahan,
kebakaran, pengrusakkan, pelemparan bom oleh massa dengan membabi buta,
termasuk bangunan bangunan yang dianggap berbau Tionghoa dirusak, dibakar, dan
dijarah. Seperti supermarket, plaza, gedung bioskop, hotel juga hancur dan mematikan
perekonomian masyarakat. Kerugian finansial yang dihasilkan diperkirakan bisa
mencapai sekitar empat setengah miliar lebih (Rp. 4.575.349.450). Dan memakan
korban sebanyak 31 orang meninggal dunia, dan 16.000 orang kehilangan pekerjaan
(Mulyadi dan Sudarmono, 1999) hingga menyisakan bayang – bayang ketakutan dan
trauma bagi masyarakat.
Jika ditelaah secara teliti, konflik yang terjadi pada tahun 1998 ini memiliki
kategori atau sifat konflik yang terbuka. Maksud dari terbuka adalah situasi ketika
konflik sosial ini telah banyak diketahui oleh masyarakat dan berakar dalam dan
sangat nyata, serta perlunya berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan
efeknya dari konflik tersebut. Dan mengapa dikatakan berkategori konflik terbuka?
Karena konflik yang terjadi pada bulan Mei 1998 ini tidak hanya diketahui oleh
seluruh masyarakat Indonesia dan menjadi sejarah kelam, namun juga konflik ini
berakar sangat dalam dan belum adanya tindakan yang terlaksanakan untuk
memecahkan konflik atau kasus ini.
Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat juga mengaku penyelesaian kasus ini
melalui jalur yudisial yang membutuhkan dukungan politik dari pemerintah dan DPR
untuk membentuk Peradilan Ad Hoc. Dan harus ada komitmen dari DPD serta partai
politik. Menyadari peliknya prosedur formal yang dilalui, pembantu Presiden Joko
Widodo pernah melontarkan wacana agar penyelesaian kasus ini dilakukan melalui
jalur nonyudisial dan rekonsiliasi dengan berencana membentuk Dewan Kerukunan
Nasional sebagai pengganti peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, yang
sudah ditolak pembentukkannya oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, rencana ini tidak
ada respons dari pihak pihak terkait. Dan pada akhirnya, tidak ada titik terang atau
temu antara semua pihak, dan tidak ada penyelesaian pada kasus Konflik Mei 1998
ini.
Referensi
- https://news.detik.com/berita/d-3499891/penyelesaian-tragedi-mei-1998-
harapan-tak-bertepi. Diakses pada 13 Januari 2023
- https://nasional.kompas.com/read/2009/05/13/12573395/~Nasional. Diakses
pada 13 Januari 2023
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160520162656-23-132280/
meneliti-kembali-rekomendasi-penyelesaian-tragedi-mei-1998. Diakses pada
13 Januari 2023
- https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-
pelanggaran-ham-di-indonesia. Diakses pada 11 Januari 2023
- Santoso, Azi. Ratnasari, Sri Dwi. Iriyanti, Sri. “Dampak Kerusuhan Mei 1998
Terhadap Perekonomian Masyarakat Etnis Tionghoa Di Surakarta”. STKIP
PGRI Pacitan.