Anda di halaman 1dari 1

Dalam hidup ini, berbahayalah bila kita membiarkan rasa cemburu dan iri menjadi “raja atau

ratu” di hati kita. Jika kita biarkan, maka akan melahirkan rantai kejahatan lainnya. Sebagaimana
kisah Yusuf dalam Kitab Kejadian hari ini. Disulut api cemburu dan iri hati, saudara-saudara
Yusuf menjual Yusuf kepada orang asing lalu mereka berbohong terhadap ayah mereka bahwa
Yusuf dimangsa binatang buas.
Dalam Injil hari ini, Yesus juga menegaskan bahaya bila kita dikuasai api cemburu, iri, dan
dengki. Kita menjadi tidak mengenali lagi siapa sesama kita. Bahkan, sering kali kita menjadi
lupa akan status kita di hadapan Sang Pemilik kehidupan. Mari kita membuang jauh api
cemburu, iri, dan dengki dalam hati kita dengan setia merenungkan Firman Tuhan dan
membiarkan Tuhan merajai hati dan budi kita.
Seorang pemilik kebun anggur mengirimkan sejumlah hambanya untuk mengumpulkan hasil
kebun anggur yang menjadi haknya. Namun, hamba-hamba itu dipukul dan beberapa diantaranya
bahkan dibunuh oleh para penggarap kebun anggur ja hat, yang ingin mendapatkan seluruh
hasilnya. Dari perspektif sosio-kultural, perumpamaan ini mengungkapkan adanya permusuhan
yang sering terjadi antara petani penyewa dan tuan tanah di palestina abad pertama. Namun,
penginjil menampikannya bukan untuk menampilkan perspektif sosio-kultural, melainkan
perspektif teologis. Penginjil ingin menggambarkan Yesus sebagai Anak Allah yang diutus
kepada umat perjanjian, tetapi mereka di tolak dengan keras oleh mereka.
Pemilik kebun anggur lalu mengirim anaknya yang terkasih sebagai upaya yang terakhir untuk
mendapatkan apa yang menjadi haknya. Anak pemilik kebun anggur tentu memiliki hak dan
wewenang yang lebih besar jika dibandingkan dengan para penggarap. Dia dapat pula dipandang
sebagai ahli waris, sehingga seharusnya dihormati. Namun, para penggarap tetap saja menolak
memberikan bagian yang menjadi hak pemilik kebun anggur. Mereka bahkan membunuh
anaknya. Itulah sebabnya, pemilik kebun anggur menghukum mereka dan memerayakan kebun
anggurnya kepada orang-orang lain, yang mengacu kepada murid-murid Yesus.
Imam-imam kepala dan orang Farisi memahami bahwa perumpamaan itu ditujukan kepada
mereka, mereka tahu bahwa Yesus melukiskan diri mereka sebagai penggarap kebun anggur
yang kejam dan pembunuh yang tidak memberikan hak Allah. Mereka mungkin menyadari
bahwa Yesus mengidentifikasi diri-Nya sebagai anak yang terkasih dalam perumpamaan
tersebut. Dengan kata lain, mereka merasa bahwa Yesus melukiskan diri mereka seperti para
petani penggarap kebun anggur yang menganiaya utusan Allah (yakni para Nabi) dan seperti
tukang-tukang bangunanyang membuang batu yang berperan penting bagi bangunan baru, baik
sebagai fondasi maupun penjuru (yakni Yesus sendiri).
Seperti mereka kita juga diidentifikasi sebagai para penggarap kebun anggur yang dibicarakan
Yesus. Kita sejajar dengan para penggarap kebun anggur yang jahat kalau kita ingin menguasai
dan merusak alam semesta, sehingga terjadilah krisis lingkungan hidup. Paus Fransiskus dalam
ensiklik Laudato Si’ menekankan bahwa dunia ini bukan milik kita, melainkan milik Tuhan yang
dengan murah hati mempercayakan-Nya kepada kita. Namun, sebagai penggarap, kita sering kali
menguasainya dengan berfokus pada keuntungan bagi kita sendiri tanpa berupaya
melestarikannya bagi generasi mendatang. Hal ini membuat Tuhan berduka, sehingga mengutus
Yesus untuk menunjukkan kepada kita berhubungan dengan alam, dan berbagai apa yang kita
miliki dengan yang membutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai