Anda di halaman 1dari 114

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MAIN

HAKIM SENDIRI DIWILAYAH HUKUM

POLSEK SIAK HULU

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H) Pada Fakultas Hukum Universitas Islam

Riau

OLEH
M RISKI NST
171010177

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2021
ABSTRAK
Pelaku main hakim sendiri memiliki alasan tersendiri untuk
membenarkan alasan-alasan perbuatan seperti agar pencuri/maling tidak
dapat melarikan diri, agar memberikan efek jera yang dapat membuat
pelaku kejahatan tidak akan melakukan kejahatan lagi, alasan lain karena
tindak kejahatan tersebut berulang kali dilakukan oleh si pelaku kejahatan
akan tetapi pelaku kejahatan belum tertangkap oleh polisi sehingga
meresahkan masyarakat dan maka dari itulah timbul rasa emosional yang
tinggi pada masyarakat sehingga tidak dapat di tahan dan masyarakat
melakukan tindakan main hakim sendiri tanpa melaporkan kepada pihak
yang berwajib. Padahal tindakan main hakim sendiri sudah terdapat di
dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Masalah yang penulis kaji dalam penelitian ini yaitu mengenai
penegakan hukum terhadap tindak pidana main hakim sendiri di Wilayah
Hukum Polsek Siak Hulu dan hambatan apa saja yang di hadapi dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana main hakim sendiri di Wilayah
Hukum Polsek Siak Hulu.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
penelitian hukum observasi (non-doctrinal). Penelitian ini dilakukan di
Polsek Siak Hulu. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara..
Populasi dan sampel merupakan pihak-pihak yang terkait dengan
keseluruhan masalah penelitian ini. Analisis data yang digunakan adalah
teknik kualitatif dengan cara inferensi deduktif.
Dari hasil penelitian bahwa penegakan hukum terhadap tindak
pidana main hakim sendiri di Wilayah Hukum Polsek Siak Hulu oleh
Polsek Siak Hulu terkhusus Reserse Kriminal Polsek Siak Hulu telah
dilakukan meskipun hasilnya belum maksimal. Hambatan penegakan
hukum terhadap tindak pidana main hakim sendiri di Wilayah Hukum
Polsek Siak Hulu oleh Polsek Siak Hulu yaitu berupa hambatan penegakan
hukum dan hambatan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum
masyarakat.

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Main Hakim Sendiri


ABSTRACT
The vigilante has his own reasons to justify the reasons for his actions
such as so that the thief/thief cannot escape, in order to provide a deterrent effect
that can prevent the perpetrator from committing another crime, another reason
is because the crime is repeatedly committed by the perpetrator. crime but the
perpetrators of the crime have not been caught by the police so that it is troubling
the community and therefore a high emotional feeling arises in the community so
that it cannot be arrested and the community takes vigilante action without
reporting to the authorities. Even though the act of vigilantism is already
contained in Article 170 of the Criminal Code.

The problem that the author examines in this study is regarding law
enforcement against vigilante crimes in the Siak Hulu Police Sector Law Area and
what obstacles are faced in law enforcement against vigilante crimes in the Siak
Hulu Police Sector Law Area.

The type of research used in this study includes observational (non-


doctrinal) legal research. This research was conducted at the Siak Hulu Sector
Police. Data collection techniques using interviews. Population and sample are
the parties related to the overall problem of this research. The data analysis used
is a qualitative technique by means of deductive inference.

From the results of the study that law enforcement against vigilante crimes
in the Legal Territory of the Siak Hulu Police by the Siak Hulu Police, especially
the Criminal Investigation of the Siak Hulu Police, has been carried out even
though the results have not been maximized. Obstacles to law enforcement against
vigilante crimes in the Siak Hulu Police Sector Law Area by the Siak Hulu Police
are in the form of law enforcement barriers and barriers to awareness and
compliance with community law.

Keywords: Law Enforcement, Vigilante Crime

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan

kemapuan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Penggunaan Lampu Rotator Bagi

Kendaraan Pribadi Di Kota Pekanbaru” sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan studi program S1 pada Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Islam Riau. Dan penulis mengucapkan Terima Kasih yang tak

terhingga kepada Orang tua penulis yaitu Bapak Hadian Akbar Nasution dan Ibu

Habibah yang telah memberikan penulis semangat dan doa restu selama penulis

menjalankan perkuliahan sampai menyelesaikan penulisan skripsi ibi.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Syafrinaldi, S.H., M.CL selaku Rektor Universitas Islam

Riau.

2. Bapak Dr. Admiral, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Islam Riau.

3. Bapak Dr. Zulkarnain S, S.H.,M.H., selaku Kepala Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.

4. Dr.Yudi krismen S.H.,M.H., selaku Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu untuk mengoreksi, memberi arahan serta membimbing

penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau yang telah

banyak memberikan Pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada penulis.

iii
6. Bapak dan ibu karyawan/I Fakultas Hukum Universitas Islam Riau yang telah

memberikan pelayanan kepada penulis

7. Kepada Bapak Kapolsek Siak Huku dan jajarannya yang telah memberi izin

kepada penulis untuk melakukan penelitian di Satlantas Polresta Pekanbaru.

8. Kepada Bapak IPTU Novris H. Simanjuntak., S.H., M.H selaku Panit Reserse

Polsek Siak Hulu yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk

memberikan keterangan dan data yang penulis butuhkan untuk penelitian.

9. Kepada kakak abang kandung penulis, Mauliah, M Fadli, Wardah, Nurgaya

Hasbi S.E., Jumiyah S.sos. yang telah memberikan dukungan dan semangat

kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian.

10. Kepada orang spesial penulis, (alm) Bapak Abraham Hrp, Ibu Martinis,

Delima Xena Hrp, S.H., Nanda Husayni yang selalu memberi

semangat,motivasi dan dukungan, selalu mendengar curhatan tentang skripsi,

yang selalu ada disaat susah dan senang dan mendoakan yang terbaiIk untuk

penulis.

11. Kepada seluruh teman-teman penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu

yang selalu memberi semangat,motivasi dan dukungan.

Pekanbaru, 23 Juli 2021

Penulis

M RISKI NST

iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 8
E. Konsep Operasional .................................................................................... 30
F. Metode Penelitian ....................................................................................... 31
BAB II .................................................................................................................. 35
TINJAUAN UMUM ............................................................................................ 35
A. Tianjaun Umum Tentang Penegakan Hukum ............................................ 35
B. Tinjauan Umum Tentang Teori Main Hakim Sendiri ................................ 56
C. Tinjauan Umum Tentang Polisi Sektor Siak Hulu ..................................... 70
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 78
A. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Main Hakim Sendiri di
Wilayah Hukum Polsek Siak Hulu ....................................................................... 78
B. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Main Hakim
Sendriri di Wilayah Hukum Polsek Siak Hulu ..................................................... 88
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 91
A. Kesimpulan ................................................................................................. 91
B. Saran ........................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 93
A. Buku Buku ....................................................................................................... 93
C. Peraturan Perundang-undangan ...................................................................... 100
D. Internet ........................................................................................................... 100

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang di atur oleh Hukum, seluruh

wilayah Indonesia diatur dan ditata oleh hukum yang dibuat oleh

pemerintah sebagai penjamin keamanan masyarakatnya melalui instansi

dan lembaga-lembaga yang bekerja sama dengan pemerintah. Hukum

sebagai alat kontrol masyarakat mengenai apa yang seharusnya dilakukan

dalam mencapai keadilan dan merupakan aturan perilaku yang ditujukan

untuk menciptakan ketertiban masyarakat. (Asikin, 2015, hal. 12)

Menurut R. Soeroso SH Hukum adalah himpunan peraturan yang

dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan

bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta

mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi

yang melanggar. (Asikin, 2015, hal. 14) Hukum juga mengatur tentang

norma-norma yang harus ditaati di dalam kehidupan bermasyarakat

apabila suatu norma itu di langgar maka akan ada terjadinya

penyimpangan hukum dan mengakibatkan hukum tersebut tidak berfungsi

dengan baik di dalam masyarakat. Dengan meningkatnya kejahatan maka

setiap masyarakat yang merasa dirugikan karena kejahatan-kejahatan

tersebut akan memperjuangkan haknya masing-masing.

(Nurcahayaningsih, 2015, hal. 1) Fenomena yang marak akhir-akhir ini

adalah pelaku tindak pidana dihakimi massa tanpa melalui proses

1
peradilan pidana. (Wartiningsih, Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigen

Richting) dalam Pencurian sapi, Vol. 12, No. 2, Desember 2017, hal. 168)

Main hakim sendiri merupakan tindakan yang dilakukan oleh

masyarakat kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak

kejahataan. Main hakim sendiri yang dilakukan secara massal oleh

masyarakat dalam mengreaksi dan mengapresiasi tindak kejahatan orang

atau kelompok lainnya atau penguasa. (Suryano, 2004, hal. 16)

Keberanian Masyarakat untuk melakukan atau mengambil proses

pengadilan sosial dalam bentuk main hakim sendiri, mau tidak mau dapat

dinyatakan sebagai buah dari gerak reformasi. Gerakan reformasi telah

mengajarkan kepada masyarakat untuk dapat melakukan gerakan baik dari

posisi positif ataupun negatife, di antaranya kekerasan, keberanian yang

serta mengakibatkan muncul rasa kekuasaan dalam masyarakat, rasa

memiliki sifat kekuasaan ini mulai munculnya kegiatan main hakim

sendiri. (Fitriati, 2012, hal. 161)

Di beberapa daerah pelaku main hakim sendiri memiliki alasan

tersendiri untuk membenarkan alasan-alasan perbuatan seperti agar

pencuri/maling tidak dapat melarikan diri, agar memberikan efek jera yang

dapat membuat pelaku kejahatan tidak akan melakukan kejahatan lagi,

alasan lain karena tindak kejahatan tersebut berulang kali dilakukan oleh si

pelaku kejahatan akan tetapi pelaku kejahatan belum tertangkap oleh polisi

sehingga meresahkan masyarakat dan maka dari itulah timbul rasa

emosional yang tinggi pada masyarakat sehingga tidak dapat di tahan dan

2
masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri tanpa melaporkan

kepada pihak yang berwajib. Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Pasal 170 tertulis jelas “(1) Barang siapa terang-terangan

dan dengan tenaga bersama menggunkan kekerasan terhadap orang atau

barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6

(enam) bulan.” (Moeljatno, Kitab undang-undang hukum pidana, 1999,

hal. 147)

Antara korban dan pelaku main hakim sendiri, perlu disadari

bahwa kedua belah pihak merupakan korban dari kegagalan pelaksanaan

sistem penegakan hukum yang dianggap belum dapat merepresentasikan

rasa keadilan di tengah masyarakat, sehingga dengan turunnya

kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum, itu menjadikan

sebuah alasan kemudian masyarakat menjalankan keadilannya sendiri

dengan mengadili terduga pelaku saat tertangkap tangan melakukan tindak

pidana. (Suastini, 2019, hal. 3) Apabila direnungkan, perbuatan main

hakim sendiri merupakan perwujudan ketidakpercayaan dan kekecewaan

pelaku terhadap penyelesaian yang diberikan oleh pengadilan atas suatu

kasus tertentu. (Wartiningsih, Tindakan Main Hakim Sendiri, 2017, hal.

171)

Banyaknya alasan-alasan yang dikemukakan oleh para Pelaku main

hakim sendiri tidak menjadikan perbuatan ini dibenarkan oleh hukum akan

tetapi sebaliknya, Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting

untuk menjatuhi sanksi pidana pada seseorang. (Efendi, Vol. 5 Edisi 1

3
2020) Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada

sehingga dari perbuatan pidana yang telah terjadi sebaliknya akan

menimbulkan perbuatan pidana baru yang disebut main hakim sendiri.

Padahal semua rangkaian penangkapan dan proses penjatuhan sanksi

tindakan kejahatan telah diatur di oleh hukum. Karena hukum adalah

sebagai sarana keadilan bagi siapapun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian, menyatakan bahwa fungsi Kepolisian adalah menjalankan

salah satu fungsi pemerintah Negara dalam tugas penegakan hukum, selain

perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum polisi

wajib memahami beberapa asas-asas hukum salah satunya yaitu Asas

Preventif karena mereka harus sangat dekat dengan masyarakat. Oleh

karenanya harus mampu dan memahami perkembangan yang terjadi dalam

masyarakat, serta kebutuhan mereka, dalam melakukan perlindungan dan

keamanan. (Shilvirichiyanti, 2018, hal. 247)

a. Menurut Penelitian terdahulu, oleh penulis Rudy Fadhila

Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,

dengan Judul Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Main

Hakim Sendiri di Wilayah Polres Bantul, Dalam penulisan

Skripsi ini Penulis tersebut mencari tau bagaimanakah

Kebijakan Polres Bantul dalam melaksanakan Penegakan

Hukum terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri dan Meneliti

4
apakah kebijakan tersebut sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. (Fadilah,

2019)

b. Menurut Penelitian terdahulu, oleh Penulis Putu Bagus Darma

Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dalam penelitian

ini penulis meneliti tentang Faktor apa yang mempengaruhi

adanya suatu Tindakan Main Hakim Sendiri berdasarkan

Faktor Penal dan Non Penal (Putra, 2018)

Dari dua penelitian diatas, penelitian yang penulis gunakan saat ini

berbeda dengan kedua penelitian tersebut dikarenakan penulis ingin

meneliti bagaimana penegakan hukum main hakim sendiri serta meneliti

hambatan penegekan hukum terhadap main hakim sendiri, maka dari itu

penelitian yang penulis lakukan saat ini berbeda dengan kedua penelitian

diatas.

Selain itu, dalam hal ini Penulis menemukan kasus Tindakan Main

hakim sendiri dan Tindak Pidana Main Hakim sendiri ini dapat terjadi

dimana saja termasuk di Provinsi Riau tepatnya di Kabupaten Kampar

Kecamatan Siak Hulu.

5
Data Main Hakim Sendiri

Di Wilayah Hukum Polsek Siak Hulu

No Laporan Perkara Pelapor Korban Tersangka Rekomendasi

Polisi

RABU, 20

NOVEMBER

2019 sekira

pukul 16.30

WIB telah

terjadi

pencurian

sepeda motor,

namun aksi
LP/176/X JUNIA JUNIA
1 Curanmor FITRIANI FITRIANI SYAHRIL TSK diketahui
I/2019
oleh warga yg

berada di TKP

tersebut dan

TSK meninggal

dunia

dikarenakan

dihakimi oleh

warga yg

berada di TKP.

(Sumber data: Polsek Siak Hulu, Kampar)

6
Dari tahun 2019 hingga saat ini pelaku tindak pidana main hakim

sendiri sering terjadi dan semakin sering dilakukannya penindakan oleh

pihak kepolisian maka dari itu penulis ingin meneliti bagaimanakah

“PENEGAKAN HUKUM TERHADAP MAIN HAKIM SENDIRI DI

WILAYAH POLSEK SIAK HULU”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukankan di atas,

maka peneliti memiliki rumusan masalah antara lain:

1. Bagaimana penegakan hukum terhadap main hakim sendiri di

wilayah hukum polsek siak hulu?

2. Apa saja Hambatan penegakan hukum terhadap main hakim

sendiri di wilayah hukum polsek siak hulu?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dirumuskan, maka

penelitian ini memiliki tujuan, antara lain:

1. Untuk mengetahui penegakan hukum main hakim sendiri di

Wilayah Polsek Siak Hulu.

2. Untuk mengetahui hambatan penegakan hukum terhadap

main hakim sendiri di Wilayah Polsek Siak Hulu

7
Sedangkan manfaat dari penelitian yang penulis harapkan, atara

lain:

1. Secara teoritis Diharapkan hasil penelitian ini nantiknya dapat

berguna sebagai landasan penelitian selanjutnya dan dapat

digunakan sebagai pengetahuan berharga bagi penulis untuk

mengetahui proses penyelidikan/penyidikan terhadap

penegakan hukum main hakim sendiri di Wilayah Polsek Siak

Hulu.

2. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat

memberikan sumbangan bagi Polsek Siak Hulumdalam

Melakukan proses penyelidikan/penyidikan terhadap

penegakan hukum main hakim sendiri di Wilayah Polsek Siak

Hulu.

D. Tinjauan Pustaka

1. Teori Negara Hukum

Negara hukum berasal dari istilah “rechtsstaat” (M.Hadjon, 1987,

hal. 30). Istilah lain dalam bahasa hukum Indonesia adalah the rule of law,

yang juga digunakan untuk maksud “Negara Hukum” Sementara itu,

Muhammad Yamin menggunakan kata negara hukum sama dengan

rechtsstaat atau government of law, sebagaimana kutipan pendapat berikut

ini:

“Polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang


pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara Republik Indonesia ialah
negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang

8
tertulis berlaku, bukanlah negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga
senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.” (Yamin, 1982,
hal. 72)

Republik Indonesia memiliki pilihan konsep negara hukum yang

dicitakan adalah negara hukum demokratis yang secara aktif bertujuan

untuk mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta memelihara ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial. (Ridlwan, 2011, hal. 56)

Berdasarkan penjelaskaan di atas, dalam literature hukum

Indonesia, selain istilah rechtstaat untuk menunjukan makna Negara

hukum, juga dikenal istilah the rule of law yang paling banyak digunakan

hingga saat ini. Tujuan negara hukum adalah, bahwa negara menjadikan

hukum sebagai yang tertinggi setiap penyelenggaran negara atau

pemerintahan wajib tunduk pada hukum (subject to the law). (Anshar,

2019, hal. 236)

Menurut teori Negara hukum, Hukum dengan Undang-undang

sehingga ada „kepastian hukum‟. Bagi konsep Negara hukum the rule of

law, penegakan hukum bukan penegakan hukum tertulis, tetapi yang

terpenting adalah penegakan keadilan hukum, sehingga penegakan hukum

tidak penegakan hukum tidak penegakan hukum yang ditulis dalam

undang-undang semata.

9
Negara Hukum di Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan

dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.

Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara

hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan

ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide rechtsstaat bukan machtsstaat.

Guna menjamin tertib hukum, penegakan hukum, dan tujuan

hukum, fungsi kekuasaan kehakiman atau lembaga peradilan berperan

penting, terutama fungsi penegakan hukum dan fungsi pengawasan. Dalam

penegakan hukum atau pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan

hukum atau pembentukan hukum, dan Negara Hukum sebenarnya

menitikberatkan pada sistem hukum yang ada pada suatu Negara.

(Alexander, 2015, hal. 79)

2. Teori Penegakan Hukum

Salah satu upaya agar hukum dapat efektif berlaku di masyarakat

adalah dengan adanya penegakan hukum. (Syahputra, 2015, hal. 5)

Penegakan hukum yaitu, upaya untuk dilakukannya proses penegakan atau

fungsi dari norma-norma hukum secara nyata untuk panduan perilaku di

dalam hubungan-hubungan hukum atau lalu lintas dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum yaitu, suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial

menjadi kenyataan.

Satjipto Raharjo berpendapat bahwa penegakan hukum itu bukan

merupakan suatu tindakan yang pasti, yaitu menerapkan suatu tindakan

10
yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat di

ibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. (Raharjo, 2002, hal. 190)

Soekanto juga pernah berpendapat bahwa penegakan hukum ialah

kegiatan menyamakan hubungan nilai-nilai yang berada didalam kaidah-

kaidah ataupun pandangan nilai yang mantap dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara

dan memepertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum itu

terdapat dua perbedaan yaitu Penegakan hukum ditinjau dari subjeknya

dan objeknya.

Penegakan Hukum ditinjau dari Subjeknya adalah Penegakan

hukum dalam arti luas yang dapat melibatkan semua subjek-subjek hukum

pada setiap hubungan hukum. Sedangkan Penegakan Hukum ditinjau dari

Objeknya adalah Penegakan hukum dalam arti luas merajut pada nilai-nilai

keadilan yang berisi bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang

ada pada masyarakat.

Penegakan hukum hakikatnya merupakan upaya menyelaraskan

nilai-nilai hukum dengan merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di

dalam pergaulan demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan dengan menerapkan sanksi-sanksi.

Dalam Penegakan hukum ini, ada 3 hal yang dapat diperhatikan

yaitu :

a. Kepastian hukum, Hukum harus dilaksanakan dan

ditegakkan, setiap orang menginginkan dapat ditegakkan

11
hukum terhadap peristiwa konkret yang terjadi, bagaimana

hukumnya, itulah yang harus diberlakukan pada setiap

peristiwa yang terjadi. Jadi pada dasarnya tidak ada

penyimpangan. Bagaimana pun juga hukum harus

ditegakkan, sampai-sampai timbul perumpaan “meskipun

besok hari kiamat, hukum harus tetap ditegakkan”. Inilah

yang diinginkan kepastian hukum. Dengan adanya

kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakat tercapai.

b. Kemanfaatan Pelaksanaan penegakan hukum juga harus

memperhatikan kemanfaatannya dan kegunaannya bagi

masyarakat. Sebab hukum justru dibuat untuk kepentingan

masyarakat (manusia). Karenanya pelaksanaan dan

penegakan hukum harus memberi manfaat dalam

masyarakat. Jangan sampai terjadi pelaksanaan dan

penegakan hukum yang merugikan masyarakat, yang pada

akhirnya menimbulkan keresahan.

c. Keadilan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa keadilan

pada hakikatnya didasarkan pada 2 hal : pertama asas

kesamarataan, dimana setiap orang mendapat bagian yang

sama. Kedua, didasarkan pada kebutuhan. Sehingga

menghasilkan kesebandingan yang biasanya diterapkan di

bidang hukum. Pelaksanaan dan penegakan hukum juga

harus mencapai keadilan.

12
Peraturan hukum tidak identik dengan keadilan. Selain itu juga ada

penegakan hukum melalui aliran Sosiologis dari Roscoe Pound yang

memandang hukum sebagai kenyataan sosial, hukum sebagai alat

pengendali sosial. Inti dari penegakan hukum itu terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan dari nilai yang menjabarkan di dalam kaedah-

kaedah untuk menciptakan, memelihara dan memeperhatikan kedamainan

dalam pergaulan hidup.

Agar hukum dapat ditegakan diperlukan alat negara yang diserahi

tugas tanggung jawab untuk menegakan hukum, dengan kewenangan

tertentu, memaksakan agar ketentuan hukum ditaati. Hal ini menurut

Mochtar Kusuma Atmaja dikatakan : “ Hukum tanpa kekuasaan adalah

angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman ”.

sehingga untuk tegaknya hukum perlu kekuasaan yang mendukung, juga

sebaliknya kekuasaan harus dibatasi kewenangannya oleh aturan-aturan

hukum.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide

dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Adapun Teori-Teori Dalam Penegakan Hukum:

1. Teori Kesadaran Hukum

Tentang hukum Emmanuel Khan berpendapat bahwa

keseluruhan persyaratan yang dengan ini keinginan bebas

seseorang bisa menyesuaikan dengan keinginan bebas dari

13
orang-orang lainnya itu merupakan hukum (Mudzakir Iskandar

Syah, 2018, p. 3). Hukum adalah hasil ciptaan manusia dalam

bentuk normatif yang memuat kode etik atau pedoman tingkah

laku. Hukum ini mencerminkan keinginan manusia, yaitu

bagaimana seharusnya membina dan diarahkan kemana

masyarakat itu. Karena itu, hukum berisi pemikiran dan ide-ide

yang ditentukan oleh masyarakat tempat terciptanya hukum itu.

Pemiikiran itu adalah tentang nilai keadilan. (Satjipto Rahardjo,

2002, p. 18)

Pada penegakan hukum, ini bukanlah sebatas perilaku dari

aparat atau pejabat penegak hukum. Jika hukum diterapkan dan

dilaksanakan oleh masyarakat maka hukum tersebut dapat

dikatakan tegak, artinya masyarakat itu sendiri membutuhkan

kesadaran hukum.

2. Teori Kewenangan
Dalam tatanan negara modern, tugas penegakan hukum

dilaksanakan oleh eksekutif melalui birokrasinya, oleh karena

itu biasa disebut birokrasi penegakan hukum. Seiring negara

berpartisipasi dalam banyak bidang kegiatan dan layanan

masyarakat, intervensi hukum juga diperkuat (Satjipto

Rahardjo, 2006)

Akibatnya, dalam penegakan hukum dibutuhkan

kewenangan oleh birokrasi dari eksekutif. Karena jikalau tidak

ada kewenangan, maka tindakan aparat atau pejabat itu ilegal.

14
Karenanya, kekuasaan yang diberikan oleh hukum tidak akan

ada maka di butuhkanlah kewenangan.

Istilah kewenangan ini bersumber oleh terjemahan dari

bahasa Ingris, yakni authority of theory, istilah ini juga dikenal

pada bahasa Belanda, yakni theorie van het gezag, dan juga

terdapat pada bahasa Jerman, yakni theorie der autoritat. Teori

kewenangan ini bersumber oleh dua suku kata, yakni teori serta

kewenangan.

Berikut pengertian tentang kewenangan yang dipaparkan


dalam konsep H.D. Stoud yakni, kewenangan ialah
“keseluruhan aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
publik di dalam hubungan hukum publik”.
Terdapat dua dasar yang tertuang pada pengertian konsep
kewenangan yang dipaparkan oleh H.D. Stoud, yaitu adanya
sifat hubungan hukum dan aturan-aturan hukum,sebelum
kewenangan diserahkan kepada lembaga pelaksana, haruslah
kewenangan tersebut ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan seperti dalam undang-undang, peraturan pemerintah
atau peraturan di tingkat yang lebih rendah. Sifat hubungan
hukum adalah sifat yang terkait dan bersangkut paut atau
memiliki ikatanatau pertalian atau berhubungan dengan hukum

Didalam kewenangan terdapat wewenang. Wewenang

adalah ruang lingkup perbuatan hukum publik dan lingkup

wewenang pemerintah bukan sekedar hanya digunakan untuk

mengambil keputusan, namun juga termasuk wewenang saat

melaksanakan tugas, dan memberikan wewenang dan

kewenangan tugas yang biasanya diatur dalam peraturan

perundang-undangan. (Salim & Nurbani, 2013, p. 183)

3. Teori Efektifitas Hukum

15
Ketika suatu hukum dibuat dan harus dilaksanakan dalam

kehidupan bermasyarakat, perlulah diketahui terlebih dahulu

tentang validasi dan efektifitas hukum itu pada masyarakat.

Hukum yang bisa diterapkan dan diterima pada masyarakat

barulah dapat dikatakan hukum tersebut valid. Begitu pula

sebaliknya, agar dapat ditegakkan dalam masyarakat suatu

kaidah hukum tentu haruslah berupa hukum yang valid. Dari

prinsip-prinsip hukum yang valid ini dapatlah timbul konsep

tentang larangan, perintah, kekuasaan, kewajiban, hak dan

paksaan.

Namun perlu diketahui suatu kaidah hukum yang valid

belum tentu kaidah hukum tersebut merupakan kaidah hukum

yang efektif. pada hal ini,validitas pada suatu norma ialah hal

yang tergolong pada “yang seharusnya” (dass sollen),

sedangkan “efektivitas” suatu norma dapat terlihat pada suatu

kenyataannya (das sein).

Hans kelsen mempersyaratkan perlu adanya suatu

keterkaitan hubungan antara validitas dan keefektifan pada

suatu kaidah hukum. Ia berpendapat bawha sebelum

berlakunya hukum secara efektif, norma hukum perlulah norma

hukum tersebut valid terlebih dahulu, di karenakan jika kaidah

hukum tidak valid, maka hukum tersebut tidak akan diterapkan

16
dan kaidah hukum itu tidak akan pernah berlaku efektif.

(Fuady, Teori-Teori Besar dalam Hukum, 2014, p. 116)

Teori efektivitas hukum bersumber dari terjemahan bahasa

Inggris, yakni effectiveness of legal theory, lalu dalam bahasa

Belanda teori efektivitas dikenal dengan sebutan effectiviteit

van de jurisdische theory, dan pada bahasa Jermannya, dikenal

dengan sebutan wirksamkeit der rechtlichen theorie.

Dapat dikatakan bahwa teori efektivitas ini merupakan

bentuk keberhasilan dari suatu tujuan dan target yang sudah

ditetapkan. Ada beragam jenis bentuk efektivitas ini seperti

sebuah aturan yang efektif. (Hans Kelsen, 2013, p. 54)

Menurut Hans Kelsen efektivitas hukum memiliki definisi

“Apakah orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut

suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancamkan oleh

norma hukum atau suatu cara untuk menghindari sanksi yang

di ancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi

tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau

tidak terpenuhi”.

Definisi Hans Kelsen berfokus ke sanksi dan subjek pada


konsep efektifitas.subjek yang menjalankannya ialah subjek
hukum yaitu badan hukum dan orang. Subjek itu perlu
menjalankan hukum selaras dengan norma hukum. Siapapun
yang diberi sanksi hukum maka sanksi tersebut apakah
dilaksanakan atau tidak. (Salim & Nurbani, 2013, p. 302)

Maka dapat kita simpulkan bahwa teori efektivitas adalah

teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan,

17
kegagalan dan faktor-faktor yang memengaruhi dalam

pelaksanaan dan penerapan hukum.

Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum, yang

meliputi:

1) keberhasilan pada penerapan hukum

2) kegagalan pada penerapan hukum

3) faktor-faktor yang berpengaruh dalam penerapan

hukum

Hukum yang diciptakan jika telah terwujud tujuannya maka

dapat dikatakan penerapan hukum tersebut berhasil. Dasar pada

suatu norma hukum ialah mengarahkan dan mengontrol

kepentingan manusia. jika norma hukum itu dijalankan dan

dipatuhi dalam penegakan hukum dan masyarakat maka

penerapan hukum itu berhasil dan evektif pada

implementasinya.

Kegagalan pada penerapan hukum mengacu pada

kegagalan untuk mencapai tujuan atau tidak dapat menegakkan

kondisi hukum yang telah ditentukan sebelumnya.

Faktor yang mempengaruhi ialah hal-hal yang membantu

atau mempengaruhi implementasi dalam penerapan hukum itu.

Faktor yang mempengaruhi dapat dilihat dari faktor-faktor

berikut:

18
1. Aspek Keberhasilannya

Faktor-faktor yang membawa kesuksesan antara

lain substansi hukum, fasilitas, struktur, dan budaya.

Jika masyarakat dan aparat penegak hukum patuh dan

menegakkan norma hukumnya sendiri, maka norma

hukum barulah bisa dikatakan berhasil atau efektif.

2. Aspek Kegagalannya

Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pada

penerapan hukum ialah dikarenakan norma hukum yang

tidak jelas atau kabur, orang yang tidak paham hukum

atau tidak patuh pada hukum, aparat hukum yang korup

dan fasilitas pendukung yang dapat digunakan untuk

mendukung penerapan hukum tersebut. (Salim &

Nurbani, 2013, p. 304)

Adapun lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu:

a. Lembaga Kepolisian

Lembaga kepolisian merupakan lembaga yang secara langsung

berhadapan dengan tindak pidana yang terjadi didalam masyarakat.

Terkait dengan tahapan tugas kepolisian, dimanapun kita akan

mengenal kepolisian sebagai instansi yang bertugas melakukan law

enforcement (penegakan hukum), juga dalam rangka maintaining

order (memelihara ketertiban) dan memberikan jasa publik (Publik

service provider). (Maxtry Parante, 2016, p. 8)

19
Fungsi kepolisian sebagai aparat yang bertanggung jawab

dalam penegakan hukum telah dijelaskan pada pasal 2 undang-

undang nomor 2 tahun 2002 “Fungsi kepolisian adalah salah satu

fungsi pemerintahan dibidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Juga didalam

pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan

hukum”. Selanjutnya dalam peradilan pidana, kepolisian

mempunyai kewenangan khusus sebagai penyidik yang secara

umum di atur dalam Pasal 15 dan pasal 16 Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 dan dalam KUHAP di atur dalam Pasal 5 sampai pasal

7 KUHAP.

b. Lembaga Kejaksaan

Kejaksaan merupakan instansi pemerintahan dan memiliki

kekuasaan pada negara terutama pada bidang penuntutan dalam

penegakan hukum dan keadilan. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa

Agung yang langsung bertanggung jawab terhadap Presiden.

Kejaksaan memiliki tugas di bidang penuntutan juga termasuk

tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP, dimana kejaksaan

barulah dapat melakukan pekerjaanya sesudah adanya pelimpahan

20
perkara dari lembaga kepolisian hal ini bedasarkan system

peradilan pidana.

Kejaksaan merupakan Lembaga yang mengendalikan perkara

(Dominus Litis) memiliki posisi terdepan dalam hal penegakan

hukum, satu-satunya lembaga yang dapat menentukan apakah

suatu perkara dapat dibawa ke pengadilan atau tidak berdasarkan

bukti yang mengikat secara hukum ialah Lembaga kejaksaan.

(Marwan Effendi, 2005, p. 188)

Kejaksaan mendapatkan kewenangan untuk menjalankan

kekuasaan negara pada bidang penuntutan serta kewenangan

lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Kejaksaan berfungsi sebagai poros dan bertindak sebagai

penyaring antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan selama

persidangan serta juga sebagai pelaksanaan putusan dan penetapan

dari pengadilan. Tugas jaksa dibunyikan dalam pasal 10 hingga 13

UU No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok

Kejaksaan RI yang telah diubah melewati UU No. 16 Tahun 2004.

c. Lembaga Kehakiman

Kekuasaan kehakiman berada ditangan pejabat negara yakni

hakim. Kekuasaan kehakiman ialah suatu elemen dari rumusan

negara berlandaskan peraturan dan hukum. (Hoesein, Zainal Arifin,

2013, p. 52)

21
Kekuasaan kehakiman terdapat dan tertuang pada Pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang No. 48 Tahun tentang Kekuasaan Kehakiman

yang berbunyi “kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia”. Pengertian kekuasaan negara yang

merdeka diartikan bahwasanya kekuasaan kehakiman berada di

samping kekuasaan yang bebas.

Proses peradilan berlangsung dan bertempat di pengadilan,

sedangkan untuk mengadakan peradilan itu sendiri merupakan

kewenangan dari lembaga kehakiman. Hal ini termuat pada

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban

dan perlindungan hukum pada era moderenisasi dan globalisasi saat ini

dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu

menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil

yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang sangat penting

dalam rangka menciptakan tata tertib, ketentraman, dan keamanan dalam

kehidupan suatu masyarakat. hukum pada dasarnya berfungsi untuk

memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia, sehingga hukum

22
harus dijunjung tinggi dalam rangka menciptakan tatanan masyarakat yang

tertib dan damai. Demikian halnya bagi penyalahgunaan narkotika, hukum

juga wajib untuk diberikan dan ditegakan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Indonesia sehingga dapat menegakan keadilan bagi tegaknya

supremasi hukum.

Sejalan dengan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dengan demikian pembangunan

nasional dibidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh

kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran

dan keadilan serta memberikan rasa aman dan tentram.

Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia, “tata perbuatan”

mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan yang

dipahami dalam suatu kesatuan yang sistematik. Tidak mungkin untuk

memahami hakikat hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan

saja. Hubungan yang mempersatukan berbagai peraturan khusus dari suatu

tata hukum perlu dimaknai agar hakikat dapat dipahami. Hanya atas dasar

pemahaman yang jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk tata

hukum tersebut bahwa hakikat hukum dapat dipahami dengan sempurna.

Indonesia Negara yang berlandaskan pada hukum atau disebut

Negara Hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia 1945, maka segala sesuatu yang

berhubungan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan harus

23
berlandaskan dan berdasarkan atas hukum, sebagai barometer untuk

mengukur suatu perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan

ketentuan yang telah disepakati. Negara hukum adalah suatu Negara yang

di dalam wilayahnya terdapat alat-alat perlengkapan Negara, khususnya

alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan tindakanya

terhadap para warga Negara dan dalam hubungannya tidak boleh

sewenang-wenang, melaikan harus memperhatikan peraturan-peraturan

hukum yang berlaku, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan

harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Menurur Didi Nazmi, bahwa “Negara hukum adalah Negara

berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah

segala kewenangan dan tindakan alat-alat pelengkapan Negara atau

penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur

oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi

pergaulan hidup warganya” (Nawi, 2016, p. 15). Menurut A.V. Dicey,

Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok, yaitu:

1. Supremacy Of Law (Supremasi Aturan-Aturan Hukum)

Supremasi aturan-aturan hukum merupakan tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power)

dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau

melanggar hukum. Dalam suatu Negara hukum, maka

kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus

tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada

24
kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka

kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum

dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus

menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat (Nawi,

2016, p. 56)

Supremasi hukum di Inggris merupakan hal yang tidak bisa

ditawar-tawar lagi, dan merupakan unsur yang diperjuangkan

lebih awal oleh rakyat Inggris jika dibandingkan dengan rakyat

negara barat lainnya. Negara Inggris yang diatur oleh hukum

dan seseorang hanya mungkin dihukum karena melanggar

hukum, tidak karena hal-hal lain. hak kebebasan seorang warga

benar-benar terjamin oleh hukum, artinya tidak seorangpun

boleh dipenjarakan atau ditahan tanpa adanya dasar hukum atau

hukum yang dilanggarnya (Nawi, 2016, p. 59)

2. Equality Before The Law (Kedudukan yang sama dihadapan

hukum)

Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat

dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan

hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan

rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur

pedomannya satu, yaitu Undang-Undang. Bila tidak ada

persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan

akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before

25
The Law adalah tidak ada tempat bagi backine yang salah,

melainkan Undang-Undang merupakan backine terhadap yang

benar.

Prinsip tersebut menghendaki adanya kedudukan yang

setara sesame manusia, tidak ada umat manusia yang lebih

mulia dari umat lain, atau dengan kata lain prinsip persamaan

tersebut dapat dimaknai bahwa manusia adalah sama, dan harus

diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan, tidak

boleh ada kelompok yang memiliki hak-hak istimewa, semua

mempunyai kesempatan sama satu dengan yang lainnya.

Semua warga Negara baik selaku pribadi maupun dalam

kualifikasinya sebagai pejabat Negara tunduk pada hukum yang

sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap

warga Negara sama kedudukannya diadapan hukum, dan

apabila ia melanggar hukum baik selaku pribadi maupun selaku

pejabat Negara, akan diadili dengan hukum yang sama dan oleh

pengadilan yang sama.

3. Human Rights

Human rights, meliputi 3 hal pokok, yaitu:

a. The rights to personal freedom (Kemerdekaan pribadi),

yaitu hak untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik

bagi dirinya, tanpa merugikan orang lain.

26
b. The rights to freedom of discussion (Kemerdekaan

berdiskusi), yaitu hak untuk mengemukankan pendapat

dan megkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan

juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan

bersedia menerima kritikan orang lain.

c. The rights to public meeting (Kemerdekaan

mengadakan rapat) lebebasan ini harus dibatasi jangan

sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi

(Nurhidayati, 2013)

3. Teori Korban (Viktimologi)

Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban

dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu

studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbulnya korban dan

akibatakibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia

sebagai suatu kenyataan sosial. (Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum

Terhadap Korban Kejahatan, 2010, hal. 43)

Berbicara tentang korban berarti kita berbicara tentang viktimologi.

Kata Victimologi berasal dari bahasa lain “Logos” yang berarti ilmu

Secara terminologi Victimologi berarti suatu studi yang mempelajari

tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan

korban yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan sosil, korban

dalam lingkup Victimologi mempunyai arti yang luas Menurut Kamus

Chrime Dictonary bahwa victim adalah “orang yang telah mendapat

27
penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau

mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan

dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Dalam kamus ilmu

pengetahuan sosial disebutkan bahwa Victimologi adalah studi tentang

tingkah laku victim sebagai salah satu penentu terjadinya kejahatan. (Yudi

Krismen, 2016, hal. 44)

Pengertian viktimologi mengalami tiga fase perkembangan. Pada

awalnya, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. Pada fase

ini dikatakan sebagai penal or special victimology. Pada fase kedua,

viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja tetapi

meliputi korban kecelakaan.

Pada fase ini desebut sebagai general victimology. Fase ketiga,

viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji

permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi

manusia, pada fase ini dikatakan sebagai new victimology (Yulia, hal. 44-

45)

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan

korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan

korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem

peradilan pidana. (Waluyo, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap

Korban Kejahatan, 2011, hal. 45)

Menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi

bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu

28
victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan,

termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban

kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (Waluyo, Viktimologi

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, 2011, hal. 45)

Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita,

adalah sebagai berikut :

a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik.

b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.

c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu

viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban,

pelaku, pengamat, pembuat Undang-Undang, polisi, jaksa,

hakim, pengacara dan sebagainya.

d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.

e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi

kegiatankegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau

viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti

kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.

f. Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.

Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu berkaitan dan

haruslah diperhatikan, karena satu sama lainnya harus berimbang, yaitu

keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Menurut Radbruch “hukum

sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada

cita-cita hukum yaitu keadilan, untuk mengisi cita keadilan itu, harus

29
menoleh kepada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.

Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukan pada

konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang Negara dan hukum. Untuk

melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan, keamanan

dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan menuntut

kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan

kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di

luar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Tetapi tidak hanya

kegunaan sendiri yang relatif, hubungan anara ketiga unsur dari cita

hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan

atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang

harus diputuskan oleh sistem politik.

E. Konsep Operasional

Beberapa konsep operasional perlu dipertimbangkan. Konsep

operasional yang dikembangkan telah tertanam dalam beberapa indikator,

yang dapat dilihat pada:

1. Penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

2. Penyidikan adalah Serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk

30
mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

3. Penegakkan Hukum adalah Penegakan hukum adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-

norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

4. Main Hakim Sendiri adalah istilah bagi tindakan untuk

menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang

sesuai hukum

5. Polsek adalah struktur komando Kepolisian Republik

Indonesia di tingkat Kecamatan

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis dari penelitian ini ialah penelitian hukum observasi (non-

doctrinal), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri dan

menganalisis secara langsung atau survei langsung ke lokasinya

(observastional research), maksudnya penelitian ini dilaksanakan secara

langsung terjun kelapangan untuk memperoleh informasi dan data

memalui responden di lapanagn dengan kusioner dan wawancara

(Singarimbun, 1989, p. 4)

2. Sifat Penelitian

31
Dilihat penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian

yang bertujuan untuk yaitu untuk memberikan gambaran terhadap objek

yang diteliti yaitu gambaran mengenai Penegakan Hukum Terhadap

Lokasi Penelitian Tindak Pidana Main Hakim Sendiri Diwilayah Hukum

Polsek Siak Hulu.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakakukan di lokasi yang dipilih oleh peneliti yaitu

bertempat di Wilayah hukum Polisi Sektor Siak Hulu Jalan. Pangkalan

Baru, Kec. Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau 28285. Lokasi ini dipilih

oleh peneliti karena menimbang cukup banyak terjadinya Tindak Pidana

Main Hakim Sendiri Diwilayah Hukum Polsek Siak Hulu.

4. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan

karakteristik yang sama. Suatu populasi dapat berupa sekelompok

orang atau benda (hidup atau mati), peristiwa, keadaan, waktu, atau

lokasi, dengan karakteristik yang sama (Semedi, 2013, hal. 118)

Untuk mempermudah penelitian yang dilakukan penulis,

penulis memilih sampel. Sampel adalah bagian dari populasi yang

mewakili populasi. (Burhan, 2012, hal. 79) Metode yang

digunakan penulis adalah sensus Metode sensus adalah suatu

metode yang mana semua populasi dapat dijadikan responde detail

32
lebih lanjut tentang populasi dan sampel dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 1.2

Responden Penelitian

No Kriteria Populasi Sampel Keterangan

1 Kepala Unit Reskrim Polsek 1 Sensus

Siak Hulu

2 Penyidik Pembantu Kriminal 1 Sensus

Umum Polsek Siak Hulu

Jumlah 2 Sensus

Sumber : data olahan tahun 2021

5. Data dan Sumber Data

Dalam penyusunan penelitian ini jenis data yang digunakan penulis

adalah:

a) Data Primer

Adapun yang menjadi sumber data primer pada penelitian ini

diperoleh langsung dari pihak-pihak terkait yang tentunya

berkaitan dengan penelitian ini berdasarkan wawancara, dan

kuesioner atau observasi secara langsung. Penulis melakukan

wawancara dengan Kepala Unit Reskrim Polsek Siak Hulu,

Penyidik Pembantu Kriminal Umum Polsek Siak Hulu.

b) Data Sekunder

33
Data ini adalah data penelitian yang peneliti peroleh dari

literatur atau bahan dokumen resmi, laporan, peraturan

perundang-undangan, buku-buku kepustakaan, dan lain

sebagainya untuk dijadikan data pendukung tentang teori-teori

hukum yang berhubungan dengan penelitian ini.

6. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpul data yang peneliti gunakan adalah wawancara,

yaitu cara yang digunakan untuk mendapatkan keterangan secara lisan

guna mencapai tujuan tertentu (Ashoma, 2013, p. 95) dan kajian

kepustakaan yang penulis gunakan dalam penelitian ini dimulai dari

mengambil, mempelajari, menganalisis dari berbagai kutipan terkait

dengan masalah yang akan diteliti.

7. Analisis Data

Penulis mengunakan metode analisis data kualitatif yakni suatu tata

cara penelitian yang menghasilakan diskriptif analisis, yaitu apa yang

dinyatakan responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang

nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

8. Metode Penarikan Kesimpulan

Metode penarikan kesimpulan ini dilakukan secara deduktif, yaitu

setiap data yang di peroleh dari teori-teori, peraturan perundang-undangan,

dan pendapat para ahli yang relevan sebagai hal yang umum dikaitkan

dengan data yang diperoleh dilapangan sebagai ketentuan khusus. Atau

penarikan kesimpulan dari hal umum ke khusus.

34
BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Tianjaun Umum Tentang Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah

enforcement Menurut Black lawa dictionary diartikan the act of putting

something such as a law into effect, the execution of a law. Sedangkan

penegak hukum (law enforcement officer). Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia penegak adalah yang mendirikan, menegakkan. (Kebudayaan,

1998, p. 912) Penegak hukum adalah yang menegakan hukum, dalam arti

sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang kemudian diperluas sehingga

mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga pemasyarakatan.

Sedangkan Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan

penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang

sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan

hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-

ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.

Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk

35
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat

menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang

melibatkan banyak hal. (Dellyana , 1988, p. 32)

Penegakan hukum menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H


juga adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Kata lain dari penegakan hukum adalah fungsionalisasi
hukum pidana yang dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk
menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional
untuk memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Menegakkan hukum pidana
harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang
merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk
bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Menurut penulis, Penegakan hukum merupakan suatu sistem yang

menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah-kaidah serta perilaku

nyata masyarakat. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman

atau patokan bagi prilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau

seharusnya. Perilaku atau sikap itu bertujuan untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian.

Penegakan hukum (law enforcement) berperan penting dan sangat

dibutuhkan di dalam masyarakat, dimana peran dan fungsi penegakan

hukum adalah upaya untuk menciptakan keadilan, dan bagaimana hukum

itu diterapkan sebagaimana mestinya. Penegakan hukum (law

enforcement) adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku

dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara (Kusumah, 2001, p. 13)

Sehubung dengan hal itu bahwa penegakan hukum merupakan proses

36
keterkaitan antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola perilaku nyata

dengan ketentuan aturan hukum yang telah ada, yang bertujuan untuk

mencapai kedamaian dan keadilan dengan tugas utama penegakan hukum,

adalah untuk mewujudkan keadilan dan bagaimana hukum itu diterapkan

dengan sebaik baiknya.

Penegakan hukum (law enforcement) tentu akan berlandaskan pada

acuan sistem hukum. Dalam hal ini penegakan hukum sebagai komponen

struktur yang mewujudkan tatanan sistem hukum. Tidak akan bisa

diterapkan penegakan hukum tersebut jika hanya Peraturan Perundang-

Undangan tanpa didukung oleh aparatur hukum yang bersih yang

berintegritas tinggi dan profesional, maka dengan itu penegakan hukum

akan berfungsi dan diterapkan sebagaimana mestinya dengan baik jika

aturan Perundang-Undangan yang ada diimbangi oleh aparatur penegak

hukum yang profesional yang berlandaskan pada kode etik dan

integritasnya (Kusumah, 2001, p. 84)

4. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum


Penegakkan hukum di Indonesia memiliki faktor guna menunjang

berjalannya tujuan dari penegakan hukum tersebut. Beberapa faktor yang

mempengaruhi suatu penekan hukum menurut Soerjono Soekanto yaitu

(Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 2004,

p. 42) :

1. Faktor Perundang-Undangan (Substansi hukum)

Dalam pelaksanaanya pengaturan suatu hukum pasti ada

masanya terdapat perbedaan atau pertentangan antara keadilan

37
dan kepastian hukum. Hal ini dikarenakan kepastian hukum

adalah suatu metode yang sudah ditentukan secara normatif,

sedangkan dari pemahaman keadilan adalah suatu rumusan

yang memiliki sifat samar. Oleh sebab itu, suatu tindakan atau

kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum

merupakan suatu yang dapat dibetulkan sepanjang tindakan dan

kebijakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada

dasarnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup

penegakan huku (Law Enforcement) tetapi juga pemeliharaan

perdamaian (peace Maintanace), sebab sesungguhnya

penyelenggaraan hukum merupakan suatu proses

penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses

penyelarasan anatara pola perilaku nyata dan kaedah nilai,

dimana bertujuan untuk memperoleh kedamain.

2. Faktor penegak hukum

Dalam fungsi hukum, karakter atau kepribadian seorang

penegak hukum haruslah memainkan peranan yang penting.

Jika suatu peraturan itu baik, tetapi kualitas penegak hukumnya

kurang baik artinya pasti ada suatu masalah. Oleh sebab itu

salah satu kunci kesuksesan dalam penegakan hukum itu adalah

karakter dan kepribadian seorang penegak hukum.

3. Faktor Sarana dan Prasarana

38
Dalam hal ini sarana dan prasarana atau fasilitas pendukung

yang termasuk perangkat keras dan perangkat lunak contohnya

seperti perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang

didapat oleh penegak hukum, hal ini mengarah pada sesuatu

yang efektif sederhana, hingga di dalam banyak kejadian

mengalami hambatan didalam tujuannya.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh

faktor kemasyarakatannya, yaitu mengenai persoalan taraf

kepatuhan hukum masing-masing anggota masyarakat.

5. Faktor Kebudayaan

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “kebudayaan

mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan

masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti

bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan

sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain artinya

kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan

yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus

dilakukan, dan apa yang dilarang”.

3. Teori-Teori Dalam Penegakan Hukum

1. Teori Kesadaran Hukum

Tentang hukum Emmanuel Khan berpendapat bahwa

keseluruhan persyaratan yang dengan ini keinginan bebas

39
seseorang bisa menyesuaikan dengan keinginan bebas dari

orang-orang lainnya itu merupakan hukum (Mudzakir Iskandar

Syah, 2018, p. 3). Hukum adalah hasil ciptaan manusia dalam

bentuk normatif yang memuat kode etik atau pedoman tingkah

laku. Hukum ini mencerminkan keinginan manusia, yaitu

bagaimana seharusnya membina dan diarahkan kemana

masyarakat itu. Karena itu, hukum berisi pemikiran dan ide-ide

yang ditentukan oleh masyarakat tempat terciptanya hukum itu.

Pemiikiran itu adalah tentang nilai keadilan. (Satjipto Rahardjo,

2002, p. 18)

Pada penegakan hukum, ini bukanlah sebatas perilaku dari

aparat atau pejabat penegak hukum. Jika hukum diterapkan dan

dilaksanakan oleh masyarakat maka hukum tersebut dapat

dikatakan tegak, artinya masyarakat itu sendiri membutuhkan

kesadaran hukum.

Ada empat faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum,

yaitu:

1. Pengetahuan mengenai hukum

Pengetahuan hukum adalah pemahaman masyarakat

tentang perilaku tertentu yang ditentukan oleh hukum.

Tentu saja, yang dimaksud di sini termasuk undang-

undang dan peraturan tidak tertulis. Pengetahuan

tentang undang-undang ini sangat erat kaitannya

40
dengan asumsi bahwa begitu suatu regulasi

dirumuskan, masyarakat dianggap telah mengetahui isi

regulasi tersebut.

2. Pemahaman terhadap hukum

Pemahaman hukum adalah beberapa informasi

tentang isi dari peraturan pada hukum tertentu yang

diperoleh seseorang. Seseorang tidak harus terlebih

dahulu mengetahui bahwa ada aturan tertulis untuk

mengatur sesuatu. Namun yang kita lihat disini adalah

bagaimana pandangan mereka menghadapi berbagai

hal terkait dengan norma masyarakat yang ada.

Persepsi ini biasanya tercermin dari sikap mereka

terhadap perilaku sehari-hari.

3. Sikap terhadap hukum

Sikap terhadap hukum adalah kecenderungan

menerima hukum, karena menghormati hukum adalah

hal yang baik, atau menguntungkan kalau menaati

hukum.

4. Perilaku hukum

Perilaku hukum merupakan isi utama dari

kesadaran hukum, dikarenakan pada hal ini bisa

melihat apakah suatu peraturan berlaku bagi

41
masyarakat ataukah tidak. (Soerjono Soekanto, 1990, p.

34)

2. Teori Kewenangan
Dalam tatanan negara modern, tugas penegakan hukum

dilaksanakan oleh eksekutif melalui birokrasinya, oleh karena

itu biasa disebut birokrasi penegakan hukum. Seiring negara

berpartisipasi dalam banyak bidang kegiatan dan layanan

masyarakat, intervensi hukum juga diperkuat (Satjipto

Rahardjo, 2006)

Akibatnya, dalam penegakan hukum dibutuhkan

kewenangan oleh birokrasi dari eksekutif. Karena jikalau tidak

ada kewenangan, maka tindakan aparat atau pejabat itu ilegal.

Karenanya, kekuasaan yang diberikan oleh hukum tidak akan

ada maka di butuhkanlah kewenangan.

Istilah kewenangan ini bersumber oleh terjemahan dari

bahasa Ingris, yakni authority of theory, istilah ini juga dikenal

pada bahasa Belanda, yakni theorie van het gezag, dan juga

terdapat pada bahasa Jerman, yakni theorie der autoritat. Teori

kewenangan ini bersumber oleh dua suku kata, yakni teori serta

kewenangan.

Berikut pengertian tentang kewenangan yang dipaparkan


dalam konsep H.D. Stoud yakni, kewenangan ialah
“keseluruhan aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
publik di dalam hubungan hukum publik”.

42
Terdapat dua dasar yang tertuang pada pengertian konsep
kewenangan yang dipaparkan oleh H.D. Stoud, yaitu adanya
sifat hubungan hukum dan aturan-aturan hukum,sebelum
kewenangan diserahkan kepada lembaga pelaksana, haruslah
kewenangan tersebut ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan seperti dalam undang-undang, peraturan pemerintah
atau peraturan di tingkat yang lebih rendah. Sifat hubungan
hukum adalah sifat yang terkait dan bersangkut paut atau
memiliki ikatanatau pertalian atau berhubungan dengan hukum

Didalam kewenangan terdapat wewenang. Wewenang

adalah ruang lingkup perbuatan hukum publik dan lingkup

wewenang pemerintah bukan sekedar hanya digunakan untuk

mengambil keputusan, namun juga termasuk wewenang saat

melaksanakan tugas, dan memberikan wewenang dan

kewenangan tugas yang biasanya diatur dalam peraturan

perundang-undangan. (Salim & Nurbani, 2013, p. 183)

3.Teori Efektifitas Hukum

Ketika suatu hukum dibuat dan harus dilaksanakan dalam

kehidupan bermasyarakat, perlulah diketahui terlebih dahulu

tentang validasi dan efektifitas hukum itu pada masyarakat.

Hukum yang bisa diterapkan dan diterima pada masyarakat

barulah dapat dikatakan hukum tersebut valid. Begitu pula

sebaliknya, agar dapat ditegakkan dalam masyarakat suatu

kaidah hukum tentu haruslah berupa hukum yang valid. Dari

prinsip-prinsip hukum yang valid ini dapatlah timbul konsep

tentang larangan, perintah, kekuasaan, kewajiban, hak dan

paksaan.

43
Namun perlu diketahui suatu kaidah hukum yang valid

belum tentu kaidah hukum tersebut merupakan kaidah hukum

yang efektif. pada hal ini,validitas pada suatu norma ialah hal

yang tergolong pada “yang seharusnya” (dass sollen),

sedangkan “efektivitas” suatu norma dapat terlihat pada suatu

kenyataannya (das sein).

Hans kelsen mempersyaratkan perlu adanya suatu

keterkaitan hubungan antara validitas dan keefektifan pada

suatu kaidah hukum. Ia berpendapat bawha sebelum

berlakunya hukum secara efektif, norma hukum perlulah norma

hukum tersebut valid terlebih dahulu, di karenakan jika kaidah

hukum tidak valid, maka hukum tersebut tidak akan diterapkan

dan kaidah hukum itu tidak akan pernah berlaku efektif.

(Fuady, Teori-Teori Besar dalam Hukum, 2014, p. 116)

Teori efektivitas hukum bersumber dari terjemahan bahasa

Inggris, yakni effectiveness of legal theory, lalu dalam bahasa

Belanda teori efektivitas dikenal dengan sebutan effectiviteit

van de jurisdische theory, dan pada bahasa Jermannya, dikenal

dengan sebutan wirksamkeit der rechtlichen theorie.

Dapat dikatakan bahwa teori efektivitas ini merupakan

bentuk keberhasilan dari suatu tujuan dan target yang sudah

ditetapkan. Ada beragam jenis bentuk efektivitas ini seperti

sebuah aturan yang efektif. (Hans Kelsen, 2013, p. 54)

44
Menurut Hans Kelsen efektivitas hukum memiliki definisi

“Apakah orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut

suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancamkan oleh

norma hukum atau suatu cara untuk menghindari sanksi yang

di ancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi

tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau

tidak terpenuhi”.

Definisi Hans Kelsen berfokus ke sanksi dan subjek pada


konsep efektifitas.subjek yang menjalankannya ialah subjek
hukum yaitu badan hukum dan orang. Subjek itu perlu
menjalankan hukum selaras dengan norma hukum. Siapapun
yang diberi sanksi hukum maka sanksi tersebut apakah
dilaksanakan atau tidak. (Salim & Nurbani, 2013, p. 302)

Maka dapat kita simpulkan bahwa teori efektivitas adalah

teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan,

kegagalan dan faktor-faktor yang memengaruhi dalam

pelaksanaan dan penerapan hukum.

Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum, yang

meliputi:

4) keberhasilan pada penerapan hukum

5) kegagalan pada penerapan hukum

6) faktor-faktor yang berpengaruh dalam penerapan

hukum

Hukum yang diciptakan jika telah terwujud tujuannya maka

dapat dikatakan penerapan hukum tersebut berhasil. Dasar pada

suatu norma hukum ialah mengarahkan dan mengontrol

45
kepentingan manusia. jika norma hukum itu dijalankan dan

dipatuhi dalam penegakan hukum dan masyarakat maka

penerapan hukum itu berhasil dan evektif pada

implementasinya.

Kegagalan pada penerapan hukum mengacu pada

kegagalan untuk mencapai tujuan atau tidak dapat menegakkan

kondisi hukum yang telah ditentukan sebelumnya.

Faktor yang mempengaruhi ialah hal-hal yang membantu

atau mempengaruhi implementasi dalam penerapan hukum itu.

Faktor yang mempengaruhi dapat dilihat dari faktor-faktor

berikut:

3. Aspek Keberhasilannya

Faktor-faktor yang membawa kesuksesan antara

lain substansi hukum, fasilitas, struktur, dan budaya.

Jika masyarakat dan aparat penegak hukum patuh dan

menegakkan norma hukumnya sendiri, maka norma

hukum barulah bisa dikatakan berhasil atau efektif.

4. Aspek Kegagalannya

Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pada

penerapan hukum ialah dikarenakan norma hukum yang

tidak jelas atau kabur, orang yang tidak paham hukum

atau tidak patuh pada hukum, aparat hukum yang korup

dan fasilitas pendukung yang dapat digunakan untuk

46
mendukung penerapan hukum tersebut. (Salim &

Nurbani, 2013, p. 304)

5. Lembaga Penegak Hukum

Agar penegakan hukum bisa terlaksana, diperlukan komponen

birokrasi dari aparatur negara yang melakukan penegakan hukum,

sehingga peraturan atau hukum yang sudah dibuat atau dibentuk bisa

diterapkan dan dijalankan dengan baik, dan diperlukan birokrasi dari

negara yaitu aparat penegak hukum. Ada beberapa aparatur penegak

hukum yang berada di bawah pengawasan regulasi, yaitu kehakiman,

kejaksaan dan kepolisian.

d. Lembaga Kepolisian

Lembaga kepolisian merupakan lembaga yang secara langsung

berhadapan dengan tindak pidana yang terjadi didalam masyarakat.

Terkait dengan tahapan tugas kepolisian, dimanapun kita akan

mengenal kepolisian sebagai instansi yang bertugas melakukan law

enforcement (penegakan hukum), juga dalam rangka maintaining

order (memelihara ketertiban) dan memberikan jasa publik (Publik

service provider). (Maxtry Parante, 2016, p. 8)

Fungsi kepolisian sebagai aparat yang bertanggung jawab

dalam penegakan hukum telah dijelaskan pada pasal 2 undang-

undang nomor 2 tahun 2002 “Fungsi kepolisian adalah salah satu

fungsi pemerintahan dibidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

47
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Juga didalam

pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan

hukum”. Selanjutnya dalam peradilan pidana, kepolisian

mempunyai kewenangan khusus sebagai penyidik yang secara

umum di atur dalam Pasal 15 dan pasal 16 Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 dan dalam KUHAP di atur dalam Pasal 5 sampai pasal

7 KUHAP.

e. Lembaga Kejaksaan

Kejaksaan merupakan instansi pemerintahan dan memiliki

kekuasaan pada negara terutama pada bidang penuntutan dalam

penegakan hukum dan keadilan. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa

Agung yang langsung bertanggung jawab terhadap Presiden.

Kejaksaan memiliki tugas di bidang penuntutan juga termasuk

tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP, dimana kejaksaan

barulah dapat melakukan pekerjaanya sesudah adanya pelimpahan

perkara dari lembaga kepolisian hal ini bedasarkan system

peradilan pidana.

Kejaksaan merupakan Lembaga yang mengendalikan perkara

(Dominus Litis) memiliki posisi terdepan dalam hal penegakan

hukum, satu-satunya lembaga yang dapat menentukan apakah

48
suatu perkara dapat dibawa ke pengadilan atau tidak berdasarkan

bukti yang mengikat secara hukum ialah Lembaga kejaksaan.

(Marwan Effendi, 2005, p. 188)

Kejaksaan mendapatkan kewenangan untuk menjalankan

kekuasaan negara pada bidang penuntutan serta kewenangan

lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Kejaksaan berfungsi sebagai poros dan bertindak sebagai

penyaring antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan selama

persidangan serta juga sebagai pelaksanaan putusan dan penetapan

dari pengadilan. Tugas jaksa dibunyikan dalam pasal 10 hingga 13

UU No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok

Kejaksaan RI yang telah diubah melewati UU No. 16 Tahun 2004.

f. Lembaga Kehakiman

Kekuasaan kehakiman berada ditangan pejabat negara yakni

hakim. Kekuasaan kehakiman ialah suatu elemen dari rumusan

negara berlandaskan peraturan dan hukum. (Hoesein, Zainal Arifin,

2013, p. 52)

Kekuasaan kehakiman terdapat dan tertuang pada Pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang No. 48 Tahun tentang Kekuasaan Kehakiman

yang berbunyi “kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara

49
Hukum Republik Indonesia”. Pengertian kekuasaan negara yang

merdeka diartikan bahwasanya kekuasaan kehakiman berada di

samping kekuasaan yang bebas.

Proses peradilan berlangsung dan bertempat di pengadilan,

sedangkan untuk mengadakan peradilan itu sendiri merupakan

kewenangan dari lembaga kehakiman. Hal ini termuat pada

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban

dan perlindungan hukum pada era moderenisasi dan globalisasi saat ini

dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu

menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil

yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang sangat penting

dalam rangka menciptakan tata tertib, ketentraman, dan keamanan dalam

kehidupan suatu masyarakat. hukum pada dasarnya berfungsi untuk

memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia, sehingga hukum

harus dijunjung tinggi dalam rangka menciptakan tatanan masyarakat yang

tertib dan damai. Demikian halnya bagi penyalahgunaan narkotika, hukum

juga wajib untuk diberikan dan ditegakan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Indonesia sehingga dapat menegakan keadilan bagi tegaknya

supremasi hukum.

50
Sejalan dengan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dengan demikian pembangunan

nasional dibidang hukum ditujukan agar masyarakat memperoleh

kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran

dan keadilan serta memberikan rasa aman dan tentram.

Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia, “tata perbuatan”

mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan yang

dipahami dalam suatu kesatuan yang sistematik. Tidak mungkin untuk

memahami hakikat hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan

saja. Hubungan yang mempersatukan berbagai peraturan khusus dari suatu

tata hukum perlu dimaknai agar hakikat dapat dipahami. Hanya atas dasar

pemahaman yang jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk tata

hukum tersebut bahwa hakikat hukum dapat dipahami dengan sempurna.

Indonesia Negara yang berlandaskan pada hukum atau disebut

Negara Hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia 1945, maka segala sesuatu yang

berhubungan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan harus

berlandaskan dan berdasarkan atas hukum, sebagai barometer untuk

mengukur suatu perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan

ketentuan yang telah disepakati. Negara hukum adalah suatu Negara yang

di dalam wilayahnya terdapat alat-alat perlengkapan Negara, khususnya

alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan tindakanya

51
terhadap para warga Negara dan dalam hubungannya tidak boleh

sewenang-wenang, melaikan harus memperhatikan peraturan-peraturan

hukum yang berlaku, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan

harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Menurur Didi Nazmi, bahwa “Negara hukum adalah Negara

berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah

segala kewenangan dan tindakan alat-alat pelengkapan Negara atau

penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur

oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi

pergaulan hidup warganya” (Nawi, 2016, p. 15). Menurut A.V. Dicey,

Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok, yaitu:

4. Supremacy Of Law (Supremasi Aturan-Aturan Hukum)

Supremasi aturan-aturan hukum merupakan tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power)

dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau

melanggar hukum. Dalam suatu Negara hukum, maka

kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus

tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada

kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka

kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum

dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus

menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat (Nawi,

2016, p. 56)

52
Supremasi hukum di Inggris merupakan hal yang tidak bisa

ditawar-tawar lagi, dan merupakan unsur yang diperjuangkan

lebih awal oleh rakyat Inggris jika dibandingkan dengan rakyat

negara barat lainnya. Negara Inggris yang diatur oleh hukum

dan seseorang hanya mungkin dihukum karena melanggar

hukum, tidak karena hal-hal lain. hak kebebasan seorang warga

benar-benar terjamin oleh hukum, artinya tidak seorangpun

boleh dipenjarakan atau ditahan tanpa adanya dasar hukum atau

hukum yang dilanggarnya (Nawi, 2016, p. 59)

5. Equality Before The Law (Kedudukan yang sama dihadapan

hukum)

Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat

dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan

hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan

rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur

pedomannya satu, yaitu Undang-Undang. Bila tidak ada

persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan

akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before

The Law adalah tidak ada tempat bagi backine yang salah,

melainkan Undang-Undang merupakan backine terhadap yang

benar.

Prinsip tersebut menghendaki adanya kedudukan yang

setara sesame manusia, tidak ada umat manusia yang lebih

53
mulia dari umat lain, atau dengan kata lain prinsip persamaan

tersebut dapat dimaknai bahwa manusia adalah sama, dan harus

diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan, tidak

boleh ada kelompok yang memiliki hak-hak istimewa, semua

mempunyai kesempatan sama satu dengan yang lainnya.

Semua warga Negara baik selaku pribadi maupun dalam

kualifikasinya sebagai pejabat Negara tunduk pada hukum yang

sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap

warga Negara sama kedudukannya diadapan hukum, dan

apabila ia melanggar hukum baik selaku pribadi maupun selaku

pejabat Negara, akan diadili dengan hukum yang sama dan oleh

pengadilan yang sama.

6. Human Rights

Human rights, meliputi 3 hal pokok, yaitu:

d. The rights to personal freedom (Kemerdekaan pribadi),

yaitu hak untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik

bagi dirinya, tanpa merugikan orang lain.

e. The rights to freedom of discussion (Kemerdekaan

berdiskusi), yaitu hak untuk mengemukankan pendapat

dan megkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan

juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan

bersedia menerima kritikan orang lain.

54
f. The rights to public meeting (Kemerdekaan

mengadakan rapat) lebebasan ini harus dibatasi jangan

sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi

(Nurhidayati, 2013)

Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu berkaitan dan

haruslah diperhatikan, karena satu sama lainnya harus berimbang, yaitu

keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Menurut Radbruch “hukum

sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada

cita-cita hukum yaitu keadilan, untuk mengisi cita keadilan itu, harus

menoleh kepada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.

Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukan pada

konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang Negara dan hukum. Untuk

melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan, keamanan

dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan menuntut

kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan

kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di

luar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Tetapi tidak hanya

kegunaan sendiri yang relatif, hubungan anara ketiga unsur dari cita

hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan

atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang

harus diputuskan oleh sistem politik.

55
B. Tinjauan Umum Tentang Teori Main Hakim Sendiri

1. Aspek Hukum Tindakan Main Hakim sendiri menurut kitab undang-

undang hukum Pidana

Penggunaan istilah pengadilan jalanan sangat identik dengan istilah

tindakan main hakim sendiri, yang artinya tindakan menghakimi

sendiri, melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat

sewenang- sewenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang

berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian atau berbuat

sewenang-sewenang terhadap orang yang dianggap bersalah. Tindakan

main hakim sendiri bisa dilakukan oleh orang perorangan atau oleh

beberapa orang atau sekelompok orang (massa), jadi yang dimaksud

dengan pengadilan jalanan adalah tindakan main hakim sendiri, yaitu

tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh beberapa orang atau

sekelompok orang (massa) terhadap orang yang diduga sebagai pelaku

tindak pidana.

Tindakan main hakim sendiri, pada dasarnya merupakan

pembalasan yang berawal dari konsep peradilan personal yang

memandang kejahatan sebagai persoalan pribadi atau keluarga tanpa

ada campur tangan penguasa. Individu yang merasa dirinya menjadi

korban perbuatan orng lain, akan mencari balas terhadap pelaku tindak

56
pidana atau keluarga pelaku tindak pidana. (Fathul Achmadi Abby,

2016)

Maraknya kejahatan dengan kekerasan di dalam masyarakat seperti

tindakan main hakim sendiri yang mengakibatkan kerusakan harta benda

maupun jiwa perlu mendaptkan perhatian yang khusus oleh pemerintah

khususnya aparat penegak hukum, kejahatan dengan kekerasan oleh

Sanford H. Kadish, didefinisikan sebagai. (Sanford H Kadish dalam

Nyoman serikat Putra Jaya, 2000)

“all types of illegal behavior, either threatcned or actual that result

in the demage or destruction of property or in the injury or death of an

individual”.

Definisi diatas menjabarkan bahwa kejahatan kekerasan merupakan

tindakan yang melawan hukum, yang dapat berupa ancaman ataupun

merupakan tindakan konkrit, yang berakibat kerugian atau kerusakan harta

benda atau fisik atau mengakibatkan kematian seseorang, sedangkan

menurut Roeslan Saleh, mengemukakan bahwa pada hakikatnya ada dua

proses yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu :

1. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum

sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian

hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

2. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus

merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan

reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.

57
Pidana adalah suatu perlindungan bagi masyarakat dan

pembalasan atas perbuatan hukum, di samping itu Roeslan Saleh juga

mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain yaitu bahwa

pidana diharapkan sebagai suatu proses pendidikan untuk menjadikan

orang dapat diterima dalam masyarakat. (Roeslan Saleh, 2016, p. 5)

Hukum pidana menilai fungsi-fungsi tertentu, antara lain:

a) Untuk melindungi kepentingan umum baik kepunyaan individu

maupun kepunyaan publik/kolektif.

b) Untuk melindungi masyarakat dari kejahatan atau perbuatan melawan

hukum yang berupa tindak pidana.

c) Mencegah orang mengulangi tindak pidana.

d) Mencegah orang pada umumnya untuk melakukan tindak pidana

e) Merupakan saluran untuk balas dendam, sehingga terhindar balas

dendamn secara perseorangan maupun kelompok.

f) Menciptakan perdamaian di dalam masyarakat.

g) Mendidik masayarakat supaya taat pada hukum.

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari hukum,

kebutuhan terhadap ketertiban ini menjadi syarat pokok (fundamental)

bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Tujuan lain dari

hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,

menurut masyarakat pada zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam

masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar

manusia dalam masyarakat. (mochtar Kusuma atmadja, 2002, pp. 3-4)

58
Hukum pidana diharapkan dapat berperan dalam menanggulangi

tindakan main hakim sendiri, hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa

hukum pidana yang terwujud dalam peraturan perundang-undangan

pidana berfungsi untuk melindungi kepentingan hukum atau benda

hukum baik milik individu maupun milik kolektif. Hukum pidana pada

dasarnya terdiri dari tiga komponen dasar yaitu perbuatan yang dilarang,

orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan pidana (Sanford H

Kadish dalam Nyoman serikat Putra Jaya, 2000, p. 9)

Konteks tindakan main hakim sendiri dalam hukum pidana

sebagaimana yang diformulasikan dalam KUHP pada dasarnya tidak

memuat ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai tindakan main

hakim sendiri, karena bentuk perbuatan yang dilarang atau diharuskan

disertai dengan ancaman pidananya dalam KUHP tersebut hanya berisi

rumusan- rumusan secara garis besarnya saja. Berdasarkan prinsip

legalitas (principle of legality), pada hakikatnya hukum pidana

menghendaki agar setiap perbuatan yang dilarang atau diharuskan itu

terlebih dahulu harus dinyatakan secara tegas dalam suatu peraturan

perundang-undangan (nullum delictum nulla poena sine previa lege

peonali). Namun demikian, apabila disimak dari rumusan pasal-pasal

yang terdapat dalam KUHP, pada dasarnya terdapat beberapa ketentuan

yang walaupun secara tidak langsung mengatur mengenai tindakan main

hakim sendiri sebagai perbuatan yang dilarang, tetapi secara kasuistis

beberapa ketentuan dapat digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai

59
dasar acuan untuk melakukan proses hukum terhadap pihak yang terlibat

dalam melakukan tindakan main hakim sendiri. ( Abby Fathul Achmadi,

2016, p. 97)

Berdasarkan perbuatan (formil) dan akibat perbuatan (materiil)

yang timbul dari tindakan main hakim sendiri terhadap orang yang

diduga sebagai pelaku tindak pidana yang kemudian menjadi korban,

maka terdapat ketentuan dalam KUHP yang dapat dikenakan terhadap

para pelaku tindakan main hakim sendiri, antara lain sebagai berikut. (

Abby Fathul Achmadi, 2016, p. 98)

1. Melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

a. Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga

bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau

barang, diancam dengan pidana penjara paling lama

lima tahun enam bulan.

b. Yang bersalah dinacam:

1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,

jika dengan sengaja menghancurkan barang atau

jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan

luka-luka.

2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan

tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.

3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas

60
tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

c. Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini.

2. Melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, yang

menyebutkan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana

penjara paling lama limabelas tahun”.

3. Melakukan pelanggaran hukum pidana sebagaimana

dimaksud Pasal 351 KUHP, yang menyebutkan :

a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling

lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang

bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama

lima tahun.

c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun;

d. Dengan penganiayaan disamakan dengan sengaja

merusak kesehatan;

e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak

dipidana.

4. Melakukan pelanggaran hukum pidana sebagaimana

61
dimaksud Pasal 352 KUHP yang menyebutkan bahwa :

(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356,

maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan

atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan

diancam denga diancam dengaan pidana penjara paling

lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat

ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga

bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap

orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya;

(2) Percobaan untuk melakukan tindakan ini tidak di

pidana

5. Melakukan pelanggaran hukum pidana sebagaimana

dimaksud Pasal 354 KUHP yang menyebutkan bahwa :

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam

karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana

penjara paling lama delapan tahun;

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang

bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama

sepuluh tahun

6. Melakukan pelanggaran hukum pidana sebagaimana

dimaksd Pasal 406 KUHP yang menyebutkan bahwa :

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum

62
menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat

dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam

dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah.

(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang

dengan sengaja dan melawan hukum membunuh,

merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau

menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian

milik orang lain.

Semua ketentuan sebagaimana tersebut di atas menunjuk kepada

perbuatan atau akibat perbuatan yang dilarang sebagai suatu kejahatan,

artinya pengadilan jalanan berupa tindakan main hakim sendiri yang

dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pelaku tindak pidana

dikategorikan sebagai kejahatan. Namun demikian, tidak semua

ketentuan yang telah tersedia tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa

tindakan main hakim sendiri, sehingga untuk menentukan mengenai

ketentuan mana dari semua ketentuan yang ada tersebut dalam konteks

tindakan main hakim sendiri ini harus dilihat secara kasuistis.

Kemajuan pembangunan yang dicapai oleh masyarakat indonesia

saat ini secara umum dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk

solidaritas organik, dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang

63
dianut lebih bersifa restritutif. Namun melihat perilaku tindakan main

hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat

dikategorikan sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat

yang memiliki karakterisitik solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara

kemajuan zaman dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya

dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. (Fathul Achmadi Abby,

2016, p. 13)

pengadilan jalanan berupa tindakan main hakim sendiri yang

dilakukan oleh sekolompok orang terhadap pelaku kejahatan dapat

dikategorikan sebagai anomie, dimana dalam kasus main hakim sendiri

yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi

hukum dengan tujuan hukum yang diinginkan oleh masyarakat.

Pelaksanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipandang oleh

masyarakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga

masyarakat menjalankan hukumannya sendiri. ( Abby Fathul Achmadi,

2016, p. 14)

Donald Black dalam The Behaviour merumuskan bahwa ketika

pengendalian sosial melalui upaya hukum tidak jalan, maka bentuk lain

dari pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Tindakan yang

dilakukan oleh individu maupun kelompok yang dari prespektif hukum

dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri, pada hakikatnya

merupakan wujud dari pengendalian sosial yang dilakukan masyarakat.

(Ali Z. , 2008, p. 24)

64
Tindakan main hakim sendiri merupakan perwujudan dari apa

yang diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst atau a hostile

frustration. Tingkat kepercayaan masyarakat pada pranata formal

termasuk terhadap law enforcement sudah teramat buruk. Sudah menjadi

adagium : ketika tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan

hukum memburuk, maka tingkat tindakan main hakim sendiri akan

meningkat. Oleh karena itu, harus ada strategi raksasa dalam upaya

penanggulangan tindakan tersebut, dalam hal ini strategi raksasa adalah

pengembalian kepercayaan pemerintah dan penegakan hukum. (Ali Z. ,

2017, hal. 26)

Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum, menjaga

hak- hak manusia, mewujudkan keadilan dan menciptakan ketertiban.

Mengkaji apa yang menjadi fungsi hukum tersebut maka ketika negara

melalui aparat penegak hukumnya tidak dapat memenuhi dan melindungi

hak-hak setiap warga negara atas kehormatan, kemerdekaan jiwa, dan

harta benda, serta tidak dapat memberikan rasa aman maka akan

menimbulkan tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri

juga dapat terjadi karena penegakan hukum yang tidak memberikan efek

jera bagi pelaku dan tidak menimbulkan rasa takut bagi yang lain.

(Widayati, 2015, p. 2)

Menurut Iswanto tindakan main hakim sendiri terjadi karena

keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang yang tidak segera

diselesaikan atau diselesaikan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi

65
korban. Korban merasa kepentingan dan hak-haknya diinjak-injak

bahkan dihancurkan oleh penjahat maka korban berkewajiban untuk

mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap penjahat

secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih keras dan

lebFaktor-faktor psikologis sosial yang dialami oleh para pelaku tindakan

main hakim sendiri dapat di jelaskan sesuai framework tindakan main

hakim sendiri yaitu sebagai berikut: (Zainal Abidin, 2005, p. 189)

a. Perceived Norm Violation (Presepsi Pelaku Penghakiman Massa

Terhadap Pelanggaran Norma/Hukum Yang Dilakukan Oleh Pelaku

Kejahatan) Para pelaku pada umumnya memiliki persepsi yang sangat

negatif terhadap penjahat dan kejahatan, yang membuat para pelaku

merasa marah, jengkel, kesal, dendam, kalap dan gemas. Penjahat

adalah virus jahat, yang setiap saat dapat merampas harta benda dan

jiwa, tetapi juga dapat merendahkan kehormatan dan kebanggaan diri

para pelaku. Perasaan tersebut menyebabkan mereka memiliki niat

untuk ”menghakimi” para penjahat.

b. Perceived Law Enforcementi (Presepsi Penghakiman Massa Terhadap

Penegakn Hukum) Para pelaku memiliki persepsi yang sangat negatif

terhadap penegakan hukum. Hukum dinilai berjalan sangat buruk,

tidak efektif, tidak efisien, dan tidak adil. Meningkatnya kualitas dan

kuantitas kejahatan menjadi bukti dari penegakan hukum yang buruk.

Dalam konteks ini, polisi dipersepsi sebagai aparat yang tidak serius

dalam menangani kejahatan dan juga menangani kasus-kasus

66
penghakiman massa.

c. Relative Deprivation (Perasaan Tidak Puas Pelaku Penghakiman

Massa Akibat Adanya Kesenjangan Antara Harapan Akan

Terciptanya Rasa Aman) Adanya deprivasi relatif yang dialami para

pelaku penghakiman massa terutama tampak dari perasaan kecewa

dan tidak puas yang disertai oleh emosi marah yang mereka alami

akibat adanya kesenjangan antara harapan untuk dapat hidup secara

aman. Tetapi pada kenyataannya kualitas serta kuantitas kejahatan

pada masa reformasi semakin meningkat.

d. Perceived Social Support (Presepsi Pelaku Bahwa Aksi-Aksi

Kekerasan Dalam Penghakiman Massa Didukung Atau Dibenarkan

Oleh Warga Setempat) Para pelaku pada umumnya memiliki persepsi

bahwa para penonton dan masyarakat setempat memberi dukungan

terhadap kasus-kasus penghakiman massa.

e. Sosial learning, Selain itu, para pelaku belajar dari kasus-kasus lain

mengenai bentuk-bentuk atau jenis-jenis kekerasan. Mereka juga

belajar (terutama melalui pengamatan langsung dan informasi yang di

dengar/dibaca), bahwa penghakiman massa yang menyebabkan

kerugian hingga kematian, tidak mendapatkan hukuman dari aparat

keamanan bahkan mendapat dukungan sosial dari masyarakat

setempat.

f. Mob identification (Gambaran yang Dimiliki oleh Pelaku Tentang

Identitas Dirinya Sebagai Komponen Massa) Faktor-faktor yang telah

67
disebut di atas sebetulnya baru merupakan faktor-faktor yang

mendahului (antecedent factors) terjadinya kasus-kasus penghakiman

massa. Faktor-faktor tersebut tidak akan mungkin terwujud dalam

bentuk penghakiman massa, jika para pelakunya tidak berada dalam

massa dan mengidentifikasikan diri dalam masa (mob identification).

Identifikasi diri dalam massa memungkinkan mereka untuk

mengalihkan identitas diri mereka sebagai ”aku” (personal identity)

menjadi identitas massa (mob identity). Akibatnya, terjadilah proses

depersonalisasi, meningkatnya kebencian dan perasaan dendam,

ketundukan pada norma masa, desentisisasi, dan dehumanisasi,

sehingga mereka mampu melakukan aksi-aksi yang sangat brutal

bahkan mematikan. Mob Identification sangat berperan dalam

memunculkan kekerasan pada saat terjadinya penghakiman massa,

tampak dari pengakuan para pelakunya tentang pengalaman mereka

pada saat berada di dalam massa. Menurut pengakuan mereka, tidak

ada batas atau jarak psikologis antara diri mereka dengan massa.

g. Triggering (Pemicu) Pemicu merupakan faktor yang sangat penting

dalam memperantai antecedent factors dengan faktor mob

identification. Ia ibarat pemantik yang siap membakar emosi negatif

orang – orang yang secara potensial sudah sangat marah dan memiliki

niat untuk ”menghakimi”.

h. Perceived Social Role (Presepsi Diri Pelaku Terhadap Peran

Sosialnya dalam Masyarakat), Perceived Social Role sangat berperan

68
pada saat berlangsungnya penghakiman massa. Keterlibatan atau

identifikasi seorang individu ke dalam massa dan menjadi salah

seorang pelaku dalam penghakiman massa, ditentukan oleh

bagaimana persepsi orang itu terhadap peran sosialnya dalam

masyarakat. Jika ia mempersepsi dirinya memiliki peran yang baik

(positif), dan beranggapan bahwa warga atau masyarakat menuntut

dirinya untuk berbuat baik atau menjadi teladan, maka ia merasa tidak

pantas, malu atau ‟tidak enak‟ untuk terlibat dalam kasus itu.

Sebaliknya, jika persepsi terhadap peran sosialnya menuntut untuk

menunjukkan perannya sebagai ‟orang keras‟ atau jagoan, dan ia pun

menduga bahwa orang lain menuntutnya untuk bertindak demikian,

maka kemungkinan besar ia akan terlibat dalam kasus itu dan menjadi

pelaku. Begitu pula halnya dengan orang-orang yang merasa tidak

memiliki beban sosial (misalnya, orang-orang yang tidak memiliki

aktivitas atau pekerjaan), karena mereka merasa peran sosialnya tidak

begitu bermakna.

Faktor penyebab terjadinya tindakan main hakim sendiri jika

ditinjau dalam prespektif kriminologi melihat penyebab terjadinya

pengadilan jalanan berupa tindakan main hakim sendiri sekelompok

orang terhadap pelaku tindak pidana, Kriminologi pada dasarnya adalah

suatu ilmu yang berusaha mencari dan mengungkapkan kejelasan

mengenai kejahatan. Menurut Ian Taylor dan kawan-kawan, pendekatan

baru dalam usaha penelitian dan pemahaman ilmiah terhadap kejahatan

69
memerlukan pengungkapan hal-hal sebagai berikut: (Mulyana W.

Kusumah, 1982, pp. 26-27)

a. Akar yang lebih luas dari kejahatan. Kejahatan dijelaskan dengan

melihat kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan

menempatkannya dalam konteks ketidakmerataan dan ketidakadilan

serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik

dalam masyarakat.

b. Faktor-faktor pencetus langsung dari kejahatan, sebagai akibat

tanggapan, reaksi dan perwujudan tuntutan-tuntutan struktural dan

secara sadar kejahatan dipilih sebagai cara pemecahan masalah-

masalah eksistensi dalam masyarakat yang penuh kontradiksi-

kontradiksi.

c. Dinamika sosial yang melatarbelakangi tindakan-tindakan yakni

hubungan antara keyakinan dengan tindakan.

d. Reaksi sosial yang dilakukan oleh orang-orang lain, kelompok-

kelompok atau alat-alat pengendalian sosial terhadap kejahatan

dengan melihat bentuk, sifat dan luasnya reaksi sosial.

e. Akar yang lebih luas daripada reaksi sosial, oleh karena pada

dasarnya reaksi sosial bersumber pada prakarsa-prakarsa politis yang

terikat pada struktur ekonomi dan politik.

C. Tinjauan Umum Tentang Polisi Sektor Siak Hulu

Kepolisian Sektor (disingkat Polsek) adalah struktur komando

Kepolisian Republik Indonesia di tingkat kecamatan. Kepolisian sektor di

70
perkotaan biasanya disebut sebagai "Kepolisian Sektor Kota" (Polsekta).

Kepolisian Sektor dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian Sektor

(Kapolsek) dan Kepolisian Sektor Kota dikepalai oleh seorang Kepala

Kepolisian Sektor Kota (Kapolsekta).

Polsek siak hulu adalah kepolisian sector bagian dari polres

kabupaten Kampar yang terletak di jalan pangkalan baru, kulim, Kampar,

Riau, kode pos 28452, polsek siak hulu merupakan polsek yang bertipe

Urban, jika dilihat dari pengertiannya, menurut S. Wojowasito dan W.J.S

Poerwodarminto (1972) diartikan seperti desa atau seperti di desa” dan

perkotaan (urban) diartikan “seperti kota atau seperti di kota”.Kepolisian

sektor tipe Urban biasanya disebut polsekta Kepolisian sektor di

perkotaan biasanya disebut sebagai "Kepolisian Sektor Kota" (Polsekta).

Kepolisian Sektor dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian Sektor

(Kapolsek) dan Kepolisian Sektor Kota dikepalai oleh seorang Kepala

Kepolisian Sektor Kota (Kapolsekta) Polres Kampar adalah markas

Kepolisian Resort di Kabupaten Kampar yang berdiri pada tahun 1970.

Markas kepolisian ini terletak di jalan Prof. Mohd. Yamin S.H nomor

455 Kecamatan Bangkinang. Sebelumnya Polres Kampar tergabung

dengan wilayah hukum Rokan Hulu dan Pelalawan. Seiring

perkembangan zaman, perkembangan penduduk dan wilayah, polres

Kampar berdiri sendiri sebagai lembaga resmi yang disahkan pemerintah.

Saat ini Polres Kampar menaungi 12 Kepolisian Sektor (Polsek) dalam

22 Kecamatan terdiri dari Polsek Kampar, Polsek XIII Koto Kampar,

71
Polsek Siak Hulu, Polsek Kampar Kiri, Polsek Tapung, Polsek Tapung

Hilir, Polsek Tambang, Polsek Tapung Hulu, Polsek Kampar Kiri Hilir,

Polsek Bangkinang Kota, Polsek Bangkinang Barat dan Polsek

Perhentian Raja. Tugas pokok Polres adalah menyelenggarakan tugas

pokok paromoter kepolisian Republik Indonesia dalam memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta

memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat

dan melaksanakan tugas polri lainnya dalam daerah hukum polres sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Polres

menyelenggarakan fungsi pemberian penanganan laporan atau

pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengaman

kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, pelayanan surat

izin/keterangan serta pelayanan pengaduan atas tindakan.

1. Visi Polisi Sektor Siak Hulu

Adapun visi dari Polsek Siak Hulu yaitu berupa:

1. Polri yang mampu menjadi pelindung Pengayom dan Pelayan

Masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat.

2. Sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang

selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak asasi manusia

3. Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan

dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis

dan masyarakat yang sejahtera.

2. Misi Polisi Sektor Siak Hulu

72
Adapun misi dari Polsek Siak Hulu yaitu berupa:

1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace)

sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.

2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya

preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan

kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (Law abiding

Citizenship).

3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan

menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia

menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.

4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap

memperhatikan norma - norma dan nilai nilai yang berlaku dalam

bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

5. Mengelola sumber daya manusia Polri secara profesional dalam

mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri

sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna

mencapai kesejahteraan masyarakat.

6. Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam (internal Polri) sebagai

upaya menyamakan Visi dan Misi Polri kedepan.

7. Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh

external yang sangat merugikan organisasi.

73
8. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah

konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

9. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari

masyarakat yang berBhinneka Tunggal Ika.

3. Tugas dan Fungsi Polsek Siak Hulu

Polsek Siak Hulu adalah satuan organisasi Polri yang

berkedudukan di Kecamatan Siak Hulu dan bertanggung jawab

langsung dengan Polres Kampar. Tugas Polsek Siak Hulu adalah

menyelenggarakan atau melaksanakan tugas pokok promoter polri

dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Memberikan

pelayanan, perlindungan, dan mengayomi di wilayah hukum

kabupaten Kampar.

a) Adapun tugas-tugas Kapolsek yaitu:

1. Menetapkan rencana dan program kerja Polsek serta

mengawasi dan mengendalikan pelaksanannya.

2. Memberikan komandi atas tugas pokok Polsek.

3. Membina disiplin, tata tertib dan kesadaran hukum

lingkungan Polsek.

4. Menyelenggarakan pembinaan dan administrasi personil,

logistik dan anggaran dilingkungan Polsek, serta upaya

untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan

operasional organisasi.

74
5. Menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan

organisasi, badan, instansu didalam dan diluar Polri

wilayah Polsek dalam rangka menunjang pelaksanaan

tugas.

3) Wakapolsek dengan pembagian kerja sebagai berikut:

1. Mengendalikan pelaksanaan tugas staff seluruh satuan

organisasi dan melakukan tugas yang diperintahkan oleh

Kapolsek.

2. Mengajukan pertimbangan dan saran kepada Kapolsek

mengenai hal- hal yang berhubungan dengan bidang

tugasnya.

3. Merumuskan dan menyiapkan program kerja Polsek.

4. Mengawasi, mengkoordinasi dan mengendalikan

pelaksanaan tugas

Adapun yang menjadi pelaksana dan perencana operasi

kepolisian yaitu Bagian Operasi (Bagops) bertugas merencanakan dan

mengendalikan administrasi operasi kepolisian, pengamanan kegiatan

masyarakat dan/atau instansi pemerintah, menyajikan informasi dan

dokumentasi kegiatan Polsek serta mengendalikan pengamanan

markas.

4) Selanjutnya BagOps menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

1. Penyiapan administrasi dan pelaksanaan operasi

kepolisian.

75
2. Perencanaan pelaksanaan pelatihan praoperasi, termasuk

kerja sama dan pelatihan dalam rangka operasi

kepolisian.

3. Perencanaan dan pengendalian operasi kepolisian,

termasuk pengumpulan, pengolahan dan penyajian serta

pelaporan data operasi dan pengamanan kegiatan

masyarakat dan/atau instansi pemerintah.

4. Pembinaan manajemen operasional meliputi rencana

operasi, perin tah pelaksanaan operasi, pengendalian dan

administrasi operasi kepolisian serta tindakan

kontinjensi.

5. Pengkoordinasian dan pengendalian pelaksanaan

pengamanan markas di lingkungan Polsek, dan

6. Pengelolaan informasi dan dokumentasi kegiatan.

76
4. Struktur Organisasi Polsek Siak Hulu

STRUKTUR ORGANISASI POLSEK SIAK HULU


(URBAN)
5.
KAPOLSEK
AKP RUSYADI ZUHRI SIREGAR, S.Sos., M.H

WAKA POLSEK

UNIT
BRIPKA INDRA

SIE UMUM SIE HUKUM


AIPTU MUSMULIADI

UR RENMIN UR TAUD UR TAHTI


WIRDA AFRIYANTI

SPK IPTU UNIT INTEL UNIT UNIT LANTAS UNIT


TERPADU NOVRIS AIPDA BIMMAS AKP SABHARA
AIPDA SIMANJUNTAK SOPINGI SH AIPTU BOPI KHAIRUDIN IPDA
ZULFAINI. U BRIBKA MAIWANDI BRIPKA DEDY
AIPTU DEDI SETIAWAN HASRUL SUPRIANTO
K.LASYADID BRIPTU EFFENDI
AIPDA ARIF HIDAYAT BRIGADIR
DANIL ROZA IKRAH
PUTRIYANA DINATA
(PHL)

OPSNAL MIN RESKRIM RIKSA BHABINKAM TIBMAS


SABHARA
AIPDA BRIPTU AIPDA AIPTU IGK
BRIPKA
EDISON DIAN RAHAYU BUDI YUWONO WARDIKA AHMADI
BRIPKA YULIANI AIPDA AIPTU FIRDALMAN BRIPKA NINA
HERMANTINO HERI SAPUTRA AGUS SAPUTRA AIPTU DEKI RICCI
(PHL) BRIPKA
SAPUTRA BRIPKA RISMAN
AGUS TARUDDIN
BRIPKA YUSRIZAL
BRIPKA
HENDRA NURHASDIANTO
G.GULTOM BRIPKA AZANI
BRIPKA BRIPKA
RAFI MUSTIA ZULKARNAIN
PUTRA BRIPKA JON BADRI
BRIPKA BRIPKA FERO
RICKSON PURBA FERNANDO
BRIPKA BRIPKA M.RIDHO
BENNY PUTRA SH
BRIPKA
BRIPKA 77
DAVID GUSMANTO
PEGGY HERI
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Main Hakim Sendiri di

Wilayah Hukum Polsek Siak Hulu

Main Hakim sendiri merupakan permasalahan yang umum dan

sering terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia namun kurang

mendapat perhatian atau respect masyarakat terhadap orang yang menjadi

korban main hakim sendiri, dikarenakan masyarakat tidak menaruh

simpatik kepada korban main hakim sendiri yang mana biasnya korban

ini adalah pelaku yang tertangkap atas tindak pidana yang dilakukannya.

Main hakim sendiri memang tidak diatur secara khusus dalam

perundang undangan namun, terjadinya main hakim sendiri tentunya

dengan suatu tindakan yang termaksud kedalam tindak pidana seperti

pengeroyokan hingga dapat menyebabkan kematian secara formil,

sehingga dapat dikatakan tindak pidana pengeroyokan berat yang

mengakibatkan kematian, sehingga dalam hal terjadinya kasus main

hakim sendiri, korban atau pihak keluarga dapat melaporkan hal

tersebut kepada pihak yang berwenang atas dasar ketentuan ketentuan

yang terjadi kepada seperti pengeroyokan, tindak kekerasan dan

pembunuhan dan hal lain yang berkaitan.

Salah satu kasus tindakan main hakim sendiri ini terjadi di

wilayah hukum Polsek Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

terjadi pada 20 November 2019 dengan kronologis korban main hakim

78
sendiri adalah seorang pelaku pencurian sepeda motor yang sudah sangat

meresahkan masyarakat karena sering terjadi kehilangan sepeda motor,

pada saat itu pelaku sedang melancarkan aksi bersama temannya dan

tertangkap oleh warga yang sudah sejak lama mengintai pelaku

curanmor, sehingga salah satu dari pelaku tertangkap dan di hajar oleh

masa hingga sekarat, dan pada akhirnya meninggal dunia. Sehingga

pelaku main hakim sendiri dapat dijerat

“pasal 354 Kuhp (1) Barang siapa sengaja melukai berat orang

lain diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana

penjara paling lama delapan tahun (2) jika perbuatan itu mengakibatkan

kematian maka yang bersalah di ancam pidana penjara paling lama

sepuluh Tahun

Menurut pihak kepolisian sebenarnya kasus main hakim sendiri

sudah banyak terjadi, namun pihak kepolisian tidak memiliki data yang

membuktikan adanya khasus yang berlanjut karena tidak ada yang

melaporkan pelaku main hakim sendiri kepada kepolisian. Sehingga jadi

suatu alasan kurangnya penegakan hukum terhadap pelaku.

Dengan tidak adanya penghitungan data secara sistematik dan

statik menyulitkan penulis untuk melihat kondisi atau melihat

perhitungan secara berkala perbuatan main hakim sendiri tersebut,

sehingga penulis tidak dapat menemukan data atau tingkat tinggi

rendahnya kejadian main hakim sendiri dalam kurun waktu tahunan dan

tidak dapat melihat perkembangan kasus main hakim sendiri.

79
Pada kasus main hakim sendiri yang terjadi di wilayah hukum

polsek siak hulu, sangat sulit untuk menjadikan pelaku main hakim

sendiri untuk dijadikan sebagai tersangka, dikarenakan tidak ada orang

yang keberatan ataupun melaporkan orang yang melakukan main hakim

sendiri kepada kepolisian, malah sebaliknya masyarakat tidak

bersimpatik kepada korban yang mana adalah pelaku dari tindakan yang

ia lakukan sehingga berimbas menjadi korban main hakim sendiri.

Untuk memastikan data penelitian penulis melakukan wawancara

kepada kepala unit Reskrim yaitu Iptu Novris H simanjuntak S.H.,M.H.

Dalam wawancara tersebut beliau menegaskan bahwa:

“Sejauh ini setiap peristiwa main hakim sendiri selalu dilakukan

penyelidikan terhadap korban maupun pelaku”

Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Iptu Novris H

Simanjuntak S.H.,M.H perbuatan main hakim sendiri di Wilayah Polsek

Siak Hulu cukup sering terjadi, perbuatan ini merupakan perbuatan

tindak pidana yang dilakukan oleh orang - orang atau sekelompok masa

yang melakukan penangkapan terhadap pelaku yang diduga melakukan

kejahatan seperti pencurian, Sejauh ini perbuatan tersebut tetap di tangani

oleh kepolisian, tetap dilakukan procedural sesuai SOP yang ada untuk

menindak lanjuti perbuatan tersebut, apabila korban terjadi luka-luka

akibat dari perbuatan main hakim sendiri maka kepolisian memiliki

kewajiban untuk mengamankan korban terlebih dahulu, membawa

korban ke Rumah sakit terdekat untuk di evakuasi atau memberikan obat

80
yang perlu dan sangat dibutuhkan oleh korban. (Simanjuntak, 2021)

Dalam wawancara tersebut Iptu Novris menjabarkan beberapa

kasus yang pernah terjadi di Wilayah Polsek siak hulu beberapa kasus

dijelaskan pada dalam tulisan ini yaitu yang terjadi di Kecamatan Siak

Hulu kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh Polsek Siak Hulu

dalam menangani permasalahan main hakim sendiri dibagi menjadi dua

hal yaitu kebijakan atau tindakan pada korban main hakim sendiri dan

kebijakan atau tindakan pada pelaku main hakim sendiri, namun yang

terealisasikan biasanya terbatas sampai kepada korban saja.

(Simanjuntak, 2021)

1. Kebijakan Terhadap Korban

Kebijakan ini dilakukan terhadap korban main hakim sendiri yang

dilakukan oleh polsek Siak Hulu, beberapa tindakan yang dilakukan

polsek siak hulu adalah Pengamanan, menangani korban dan

melakukan upaya agar lingkungan tempat kejadian perkara tindakan

main hakim sendiri menjadi kondusif.

a. Pengamanan

Dalam tahapan ini pihak Polsek langsung datang ke

tempat kejadian perkara (TKP) untuk melihat langsung peristiwa

tersebut dan melakukan pengamanan kepada korban yang terluka

apabila ada yang mengalami luka, selain itu Polisi sebagai

pengayom masyarakat memiliki tugas untuk memberikan rasa

aman bagi masyarakat yang berada di tempat tersebut.

81
b. Menagangani Korban

Dalam tahapan ini kebijakan Polsek memfokuskan pada

korban main hakim sendiri, awalnya korban diamankan dengan

cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang seperti

memisahkan antara pelaku main hakim sendiri dengan korban

main hakim sendiri, kemudian korban biasanya mengalami luka

yang cukup parah disebabkan oleh pengeroyokan.

Kemudian korban dibawa ke Rumah Sakit di dekat tempat

kejadian perkara untuk diperiksa, korban tetap dibersamai oleh

pihak Polsek dalam menjalani perawatan setelah korban sudah

sedikit sembuh maka korban main hakim sendiri dibawa dan

ditangani oleh Polsek untuk diminta keterangan terkait

perbuatannya sebagai terduga tindak pidana dan juga sebagai

korban.

c. Kondusifkan Wilayah

Dalam tahapan ini kebijakan Polsek tidak pada korban

akan tetapi kebijakan tersebut juga memberikan dampak positif

bagi korban agar tidak terjadi korban-korban lain dari perbuatan

main hakim sendiri. Polsek melakukan berbagai cara agar wilayah

yang digunakan sebagai tempat perbuatan main hakim sendiri

kembali aman dan kondusif. Salah satu cara yang digunakan ialah

meminta orang-orang yang tidak memiliki kepentingan untuk

pergi dari tempat kejadian perkara, kemudian meminta keterangan

82
saksi dan melakukan patroli di daerah tempat kejadian perkara.

(Simanjuntak, 2021)

2. Kebijakan terhadap pelaku

Adapun kebijakan atau tindakan yang seharusnya dilakukan oleh

Pihak kepolisian bagi para pelaku tindakan main hakim sendiri adalah

penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku main hakim sendiri.

a. Melakukan Penyelidikan

Dalam tindakan ini perbuatan Polsek masih tergolong

umum akan tetapi dari penyelidikan maka akan memunculkan

hal-hal yang membuat terang dari peristiwa pidana berupa main

hakim sendiri. Polsek melakukan pencatatan bagi saksi-saksi yang

berada di tempat kejadian perkara, dan mencatat orang-orang

yang ikut andil dalam melakukan perbutan main hakim sendiri.

Dalam proses penyelidikan pihak Polsek tidak melakukan

penahanan akan tetapi hanya meminta keterangan-keterangan dari

pelaku maupun saksi.

b. Melakukan Penyidikan

Apabila telah terang dan jelas dalam proses penyelidikan

untuk perbuatan main hakim sendiri maka pihak kepolisian

dengan mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana melakukan

Penyidikan atau melanjutkan Proses Penyelidikan, dalam tahapan

ini pelaku yang awalnya hanya diminta keterangan kemudian

apabila dirasa penting bagi pihak kepolisian untuk dilakukan

83
penahanan maka akan dilakukan penahanan. Dalam proses

penyidikan akan diketahui bahwa perbuatan dari pelaku tindakan

main hakim sendiri dapat dilanjutkan untuk proses perlengakapan

berkas untuk Jaksa atau tidak.

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan

dengan pihak kepolisian bahwa kebijakan terhadap pelaku

tindakan main hakim sendiri seringkali mendapat hambatan

dikarenakan, pihak kepolisian datang setelah masa membubarkan

diri, tidak adanya barang bukti yang menunjukan siapa yang

malakukan tindakan main hakim sendiri, dan masyarakat berpihak

kepada pelaku main hakim sendiri. (Simanjuntak, 2021)

Kemudian lebih lanjut Iptu Novris menjelaskan bahwa:

“Dalam perkara main hakim sendiri Polisi tidak

membeda-bedakan penindakan terhadap pelaku main

hakim sendiri, segala bentuk perbuatan yang apabila

membutuhkan pengusutan maka akan dilakukan

pengusutan. Dan kepolisian tidak membedakan

penindakan pada korban, apakah korban terluka parah

atau korban luka ringan. Polisi tetap melakukan

pengusutan yang membedakan nya adalah saat diakhir

apakah dihentikan pengusutan tersebut untuk kepentingan

orang banyak atau kemaslahatan umum atau dilanjutkan

untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat

84
agar tidak mengulangi perbuatan main hakim sendiri

tersebut”. (Simanjuntak, 2021)

Dalam hal tidak pidana main hakim sendiri Kepelosian Republik

Indonesia terkusus Reskrim Polsek Siak Hulu memiliki daya dan upaya

untuk menegakkan hukum. Adapun upaya tersebut terbagi menjadi tiga

usur yaitu:

1. Upaya Pre-Emtif

Upaya Pre-emtif ini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan

oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Usaha-usaha yang dilakukan dalam tindak pidana secara Pre-emtif

adalah dengan cara menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang

baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri

seseorang.

Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau

kejahatan tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut,

maka tidak akan terjadi tindak pidana. Jadi dalam upaya ini faktor

niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

Adapun bentuk tindakan Pre-Emtif yang dilakukan Aparat

Kepolisian Polsek Siak Hulu terhadap tindak pidana main hakim

sendiri, sebagai berikut:

a. Memberikan edukasi kepada masyarakat

Mengedukasi masyarakat terkait pengetahuan

hukum mengenai tidak pidna main hakim sendiri yang

85
merupakan tugas dari kepolisian yang sesuai dengan

kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Edukasi

yakni memberitahukan kepada masyarakat tentang aturan-

aturan tindak pidana main hakim sendiri yang berlaku dan

agar aturan tersebut dapat dipahami dan ditaati oleh

masyarakat. Edukasi ini diberikan kepada seluruh

masyarakat.

b. Mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat

Penyuluhan hukum dilaksanakan oleh aparat

kepolisian Polsek Siak Hulu Pekanbaru hingga ketingkat

RT dibeberapa desa di Kecamatan Siak Hulu yang

bertujuan memberitahukan tentang peraturan mengenai

tindak pidana main hakim sendiri.

2. Upaya Preventif (Pencegahan)

Upaya preventif merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif

yang masih ada tataran pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana.

Dalam upaya ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan

untuk melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, upaya preventif

(pencegahan) dimaksudkan sebagai usaha untuk mengadakan

perubahan-perubahan yang bersifat positif terhadap kemungkinan

terjadinya gangguan-gangguan didalam masyarakat, sehingga tercipta

stabilitas hukum.Tindakan ini merupakan upaya yang lebih baik dari

upaya setelah terjadinya suatu tindak pidana.

86
Adapun bentuk tindakan Preventif yang dilakukan Aparat

Kepolisian Polsek Siak Hulu terhadap adanya tindak pidana main

hakim sendiri yaitu, Mencegah agar tidak terjadi tindak pidana

kekerasan main hakim sendiri. Pencegahan ini dilakukan dengan cara

memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat memiliki

keasadaran dan memamhami bagaimana langkah yang harus dilakukan

jika terjadi suatu permasalahan agar tidak berujung pada tindakan

main hakim sendir

3. Upaya represif

Upaya represif dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana

yang tindakannya berupa penegakan hukum dengan menjatuhkan suatu

hukuman. Adapun tindakan represif yang dilakukan oleh Aparat

Kepolisian Polsek Siak Hulu, yaitu:

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Unit Reskrim

bapak Iptu Novris H simanjuntak S.H.,M.H.

“Bahwa sudah ada beberapa langkah represif yang sudah

dialakukan Aparat kepolisian Polsek Siak Hulu antara lain

seperti: Aparat Kepolisian Polres Siak Hulu melakukan

penyelesain dengan cara kekeluargaan jika itu dimungkinkan,

selain itu juga bisa dilakukan ke tahap selanjutnya seperti dari

proses penyelidikan hingga sampai ke kejaksaan”

(Simanjuntak, 2021)

87
B. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Main

Hakim Sendriri di Wilayah Hukum Polsek Siak Hulu

Sesungguhnya dengan dibuatnya Undang-Undang diharapakan

mampu menciptakan tatanan masyarakat yang aman, tertib, damai, dan

berbudaya bangsa. Namun kenyataannya peraturan yang dibuat seringkali

tidak diindahkan oleh masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri

sehingga tujuan semula dan pembuatan peraturan ataupun undang-

undang seringkali tidak terealisasikan. Namun hal tersebut tidak sesuai

dengan kondisi yang ada sehinga menimbulkan hambatan dalam

penegakan hukum.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana main hakim sendiri di

wilayah hukum polsek siak hulu walaupun sedikit kasus tindak pidana

main hakim sendiri yang ditangani namun pada dasarnya jumlah tindak

pidana main hakim sendiri masih banyak terjadi di tengah masyarakat

Kecamatan Siak Hulu. Besar kecilnya angka tindak pidana main hakim

sendiri di wilayah hukum polsek siak hulu tidak terlepas dari faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum itu. Soerjono Soekanto

mengemukakan, penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

seperti faktor hukum itu sendiri, penegakan hukum, sarana dan prasarana,

budaya masyarakat.

88
1. Hambatan Penegak Hukum

Penegak hukum benar benar menempati kedudukan yang

penting dan menentukan, karena perundang-undangan disusun oleh

penegak hukum dan pelaksaannya juga dilakukan oleh penegak

hukum.

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan

bapak Iptu Novris H simanjuntak S.H.,M.H. bahwa dalam

menangani setiap tindakan main hakim sendiri yang dilakukan

masyarakat, pihak Kepolisian mengalami hambatan yaitu berupa

terbatasnya jumlah personel kepolisian yang ada dilapangan

sehingga menyulitkan pihak kepolisian untuk lebih tanggap dan

cepat menertibkan masyarakat ataupun pelaku main hakim sendiri,

sehingga tidak ada bukti yang memperlihatkan siapa – siapa saja

yang turut serta melakukan tindakan main hakim sendiri, Ini

terbukti karena penegakan hukum terhadap tindak pidana main

hakim sendiri di wilayah hukum Polsek Siak Hulu masih sangat

lemah karena masih belum terlaksana dengan optimal.

2. Hambatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap

hukum

Berkenaan dengan hambatan ini terkait dari sifat

spontanitas atau dadakan dari setiap aksi main hakim sendiri yang

dilakukan oleh masyarakat, hal ini juga dikarenakan rasa geram

masyarakat sudah sangat tinggi terhadap pelaku pelaku pencurian

89
sepeda motor, jambret dan lain lain yang kerapkali terjadi di

wilayah tersebut, membuat masyarakat melampiaskan rasa

marahnya kepada korban.

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada aparat

penegak hukum yang terkait yaitu Reskrim Polsek Siak Hulu

dilihat bahwa mereka sudah melakukan upaya penegakan hukum

terhadap tindakan main hakim sendiri sesuai dengan prosedur

namun, sampai saat ini belum ada kasus tindakan main hakim

sendiri yang berlanjut sampai pada kejaksaan dikarenakan,

beberapa hal seperti tidak adanaya dukungan dari masyarakat,

tidak ada barang bukti yang mendukung untuk menentukan siapa

siapa saja yang menjadi tersangka, tuntutan masyarakat untuk

menjadikan korban sebagai tersangka dikarenakan tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh korban sehingga membuat kasus

kasus ini berhenti sampai di titik ini, bahkan korban penganiayan

main hakim sendirilah yang naik kasus nya sebagai pelaku tindak

pidana pencurian. (Simanjuntak, 2021)

90
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penegakan hukum terhadap terhadap tindak pidana main hakim sendiri

di wilayah hukum Polsek Siak Hulu yang sudah dilakukan pihak

Kepolisian Sektor Siak Hulu belum berjalan maksimal sesuai yang

diharapkan terhadap para pelaku tindak pidana pengeroyokan

sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 170 KUHP, tidak

dinaiikan ke proses penyelidikan.

2. Hambatan yang dialami oleh Polisi Sektor Siak Hulu terkhusus

anggota Reskrim Polsek Siak Hulu dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana main hakim sendiri di wilayah hukum Polsek Siak Hulu

diantaranya adalah hambatan dari penegak hukum dan hambatan

kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hokum, kurangnya

personil dari polsek siak hulu dan lambatnya personil polsek siak hulu

ke TKP.

B. Saran

1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum terutama terkait dalam

penegakan hukum terhadap tindak pidana main hakim sendiri di

Wilayah hukum Polsek Siak Hulu, yaitu Reskrim Polsek Siak Hulu

seharusnya bisa lebih di tingkatkan lagi, dan jika adanya keterbatasan

jumlah personel kepolisian yang ada dilapangan yang tidak sebanding

91
dengan massa yang ada dilapangan, maka seharusnya jumlahnya lebih

di tingkatkan, agar tujuan dari penegakan hukum tersebut tercapai.

2. Terhadap hambatan yang dialami oleh Kepolisian Sektor Siak Hulu

menyikapi hal tersebut perlu adanya evaluasi dari pihak kepolisian dan

sosialisasi kepada masyarakat yang bertujuan agar masyarakat tahu

peraturan-peraturan mengenai tindak pidana main hakim sendiri dan

pentingnya mematuhi sebuah aturan

92
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Buku

Abby Fathul Achmadi. (2016). Pengadilan Jalanan Dalam dimensi kebijakan


kriminal . jakarta: Jala permata aksara.

Alexander, J. (2015). Memaknai Hukum Negara dalam Bingkai Negara Hukum.


Hassanudin Law Review Vol. 1 No. 1, April, 79.

Ali, . (2002). Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

−−−−.,(2015).Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana.

Ali, Z. (2008). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

−−−−.,(2017). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Andriansyah. (2015). Manajemen transportasi Dalam Kajian dan Teori. Jakarta:


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo
Beragama.

Anshar, S. (2019). Konsep Negara Hukum dalam Perspektif Hukum Islam.


SOUMATERA LAW REVIEW Volume 2, Nomor 2, 236.

Ardi Wildan. (2015). Penegakan hukum terhadap penggunaan sirine dan lampu
isyarat pada mobil pribadi. jurnal hukum Unesa, 02(01), 7.

Asep Ridwanul Hakim. (2019, februari). penegakan hukum terhadap pelanggaran


lalu lintas oleh kendaraan modifikasi (studi di kabupaten sleman).
Universitas Islam Indonesia, 03(05).

Ashoma, B. (2013). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Asikin, Z. (2015). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Burhan, B. (2012). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press.

Dellyana , S. (1988). Konsep Penegakan Hukum . Jakarta: Liberty.

Dima Kevin Hizkia. (2018). Penyalahgunaan penggunaan lampu rotator di


kendaraan umum menurut peraturan undang-undang nomor 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Lex Et Societatis, 06(02).

93
Efendi, S. (Vol. 5 Edisi 1 2020). Kejahatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting)
Menurut Hukum . Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam
, 53-71.

Fadilah, R. (2019). Penegakan Hukum terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri


(Eigenrechting) di Wilayah Polres Bantu. Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga.

Fathul Achmadi Abby. (2016). pengadilan jalanan dalam dimensi kebijakan


kriminal. jakarta: Jala permata aksara.

Fitriati. (2012). Perbuatan main hakim sendiri dalam kajian kriminologis dan
sosiologis. Fakultas Hukum universitas tamansiswa, 161.

Fuady, M. (2003). Filsafat dan Teori Hukum Pusat Modern. Jakarta: Kencana.

−−−−−−−., (2014). Teori-Teori Besar dalam Hukum. Jakarta: Fajar Interpratama


Mandiri.

Hans Kelsen. (2013). Teori Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusa Media.

Hoesein, Zainal Arifin. (2013). Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta:


Imperium.

Jamri Tumpak Hamonangan S. (2016). Penegakan hukum terhadap pelanggaran


penggunaan sirine dan lampu rotator oleh polisi lalu lintas resor kota
pekanbaru. JOM Fakultas Hukum, 03(01), 5.

Kebudayaan, D. P. (1998). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Kusumah, M. (2001). Tegaknya Supremasi Hukum. Bandung: PT Rosdakarya.

Lamintang, P. (1994). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar


Baru.

−−−−−−−−−., (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti.

M.Hadjon, P. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang


Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi Negara . Surabaya: Bina Ilmu .

94
Marwan Effendi. (2005). Kejaksaan Publik (Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif
Hukum). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mas, M. (2015). Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Maxtry Parante. (2016). Peranan Kepolisian Lalu Lintas Dalam Penegakan


Hukum Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Yang Dilakukan Pengendara
Sepeda Motor Di Wilayah Hukum Sektor Tampan. JOM Fakultas Hukum,
03(01).

Mertokusumo, S. (2005). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:


Liberty Yogyakarta.

mochtar Kusuma atmadja. (2002). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Moeljatno. (1999). Kitab undang-undang hukum pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

−−−−−−−.,(2015). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Mudzakir Iskandar Syah. (2018). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

Mulyana W. Kusumah. (1982). Analisa Kriminologi tentang Kejahatan Kejahatan


Kekerasan. jakarta: Ghalia Indonesia.

Nawi, S. (2016). Negara Hukum, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Thafa Media.

Nurcahayaningsih. (2015). TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP


PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI. Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion Edisi 2, Volume 3, Tahun 2015, 1.

Nurhidayati, M. (2013, Juni Sabtu). Negara Hukum (Konsep dasar dan


Implementasinya di Indonesia). Retrieved Januari Senin, 2021, from
meilabalwell.wordpress.com: https://meilabalwell.wordpress.com/negara-
hukum-konsep-dasar-dan-implementasinya-di-indonesia/

Poernomo, B. (2002). Dalam Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Poerwardamita, W. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai


Pustaka.

Prodjodikoro, W. (2003). Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung: Refika Aditama.

Purnomo, B. (1994). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

95
Putra, P. B. (2018). Penegakan Hukum terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri (
EIGENRECHTING ). Bali: Universitas Udayana.

Raharjo, S. (2002). Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan


Masalah. Yogyakarta: Sinar Grafika.

Ridlwan, Z. (2011). NEGARA HUKUM INDONESIA KEBALIKAN


NACHTWACHTERSTAAT. Fiat Justisia Vol. 5 No. 2, 56.

Roeslan Saleh. (2016). Perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana.


jakarta: bina aksara.

Salim, & Nurbani, E. S. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Sanford H Kadish dalam Nyoman serikat Putra Jaya. (2000). Apek Hukum Pidana
terhadap tindakan anarkis dan main hakim sendiri dalam masyarkat. jurnal
hukum, 3.

Satjipto Rahardjo. (2002). Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan


Masalah. Yogyakarta: Press.

−−−−−−−−−−−.,(2006). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Semedi, B. (2013). Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai, Badan Pendidikan


dan Pelatihan Keuangan. Jakarta: Gahlia Indonesia.

Shilvirichiyanti, A. A. (2018). Peranan Penyidik dalam Penanganan


Penyalahgunaan Narkoba di Wilayah Hukum Polisi Resort Kuantan
Singingi. Uir Law Review Vol.02 No.01, 223-350.

Singarimbun. (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, S. (1982). Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali


Press.

−−−−−−−−.,(2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

−−−−−−−− .,(2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

−−−−−−−−.,(2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

−−−−−−−−.,(2006). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

96
−−−−−−−−.,(1990). Polisi dan Lalu Lintas. Bandung: Mandar Maju.

Suastini, N. P. (2019). PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU MAIN HAKIM


SENDIRI (EIGENRICHTING) DALAM KAITANNYA DENGAN
KONTROL SOSIAL (SOCIAL CONTROLLING). Fakultas Hukum
Universitas, 3.

Suryano, S. (2004). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM


Press.

Susanti, H. (2018). Latar belakang Penjatuhan sanksi pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana narkotika didalam UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Uir Law Riview, 268.

Syahputra, R. (2015). Penegakan Hukum terhadap Kasus Perbuatan Main Hakim


sendiri. JOM Fakultas Hukum Volume 1 Nomor 1 Februari 2015 , 2.

Waluyo, B. (2002). Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.

−−−−−−−−.,(2011). Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban


Kejahatan. Sinar Grafika.

Warpani, S. P. (2002). Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bandung:


ITB.

Wartiningsih. (2017). Tindakan Main Hakim Sendiri. Fakultas Hukum


Universitas Trunojoyo Madura Rechtidee, Vol. 12, No. 2, Desember 2017,
171.

−−−−−−−−.,(Vol. 12, No. 2, Desember 2017). Tindakan Main Hakim Sendiri


(Eigen Richting) dalam Pencurian sapi. Fakultas Hukum Universitas
Trunojoyo Madura, 168.

Widayati, L. S. (2015). Tindakan Main Hakim Sendiri dalam Info Singkat Hukum
(Kajian singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis). info singkat hukum, 7,
2.

Yamin, M. (1982). Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonseia. Jakarta.

Yudi Krismen. (2016). Perlindungan saksi dan korban dalam proses penegakan
hukum pidana. journal.uir.ac.id, 44.

Yulia, R. (2010). Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

97
Zainal Abidin. (2005). Penghakiman masa kajian atas kasus dan pelaku. jakarta:
Accompaly publishing.

B. Jurnal Hukum

Amir, A. N. (2020). Tinjauan Kriminologi Tindakan Main Hakim Sendiri.

Muhammadiyah Malang.

Anshar, S. (2019). Konsep Negara Hukum dalam Perspektif Hukum Islam.

SOUMATERA LAW REVIEW Volume 2, Nomor 2

Alexander, J. (2015). Memaknai Hukum Negara dalam Bingkai Negara Hukum.

Hassanudin Law Review Vol. 1 No. 1, April 2015

Efendi, S. (Vol. 5 Edisi 1 2020). Kejahatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting)

Menurut Hukum . Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam

Fadilah, R. (2019). Penegakan Hukum terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri

(Eigenrechting) di Wilayah Polres Bantu. Yogyakarta: Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga.

Fitriati. (2012). Perbuatan main hakim sendiri dalam kajian kriminologis dan

sosiologis. Fakultas Hukum universitas tamansiswa

Putra, P. B. (2018). Penegakan Hukum terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri (

EIGENRECHTING ). Bali: Universitas Udayana.

Ridlwan, Z. (2011). NEGARA HUKUM INDONESIA KEBALIKAN

NACHTWACHTERSTAAT. Fiat Justisia Vol. 5 No. 2, 56.

98
Nurcahayaningsih. (2015). TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP

PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI. Jurnal Ilmu Hukum Legal

Opinion Edisi 2, Volume 3, Tahun 2015, 1.

Shilvirichiyanti, A. A. (2018). Peranan Penyidik dalam Penanganan

Penyalahgunaan Narkoba di Wilayah Hukum Polisi Resort Kuantan

Singingi. Uir Law Review Vol.02 No.01, 223-350.

Syahputra, R. (2015). Penegakan Hukum terhadap Kasus Perbuatan Main Hakim

sendiri. JOM Fakultas Hukum Volume 1 Nomor 1 Februari 2015

Suastini, N. P. (2019). Pemidanaan Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri

(EIGENRICHTING) Dalam kaitannya dengan Kontrol Sosial (SOCIAL

CONTROLLING). Fakultas Hukum Universitas

Susilowati, C. M. (2016). Pancasila Sebagai Sumber Segaka Sumber Hukum Dan

Kekerasan Atas Nama Agama Di Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah

Hukum

Wartiningsih. (2017). Tindakan Main Hakim Sendiri. Fakultas Hukum

Universitas Trunojoyo Madura Rechtidee, Vol. 12, No. 2, Desember 2017,

171.

Wartiningsih. (Vol. 12, No. 2, Desember 2018). Tindakan Main Hakim Sendiri

(Eigen Richting) dalam Pencurian sapi. Fakultas Hukum Universitas

Trunojoyo Madura

99
Yudi Krismen. (2016). Perlindungan saksi dan korban dalam proses penegakan

hukum pidana. journal.uir.ac.id

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentng Hak Asasi

Manusia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

D. Internet

(n.d).https://media.neliti.com/media/publivations/34294-ID-penegakan-hukum-

terhadap-kasus-perbuatan-main-hakim-sendiri-eigenrichting-di-wol.pdf.

https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:tQ6icVHIYJ:https://ojs.

unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/24819/16068-

&cd=2&h1=id&ct=clnk&gl=id. (n.d).

100

Anda mungkin juga menyukai