Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS SOSIAL PENDIDIKAN PADA

MASA KHALIFAH

A. Pendahuluan

Khalifah atau al-Khulafau al-Rasyidun yakni Abu Bakar As –shiddiq,

Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah shahabat-

shahabat Rasulullah saw. yang tidak diragukan lagi tentang keteguhan dalam

ketauhidan dan keislaman, masing-masing memiliki watak dan karakter yang

menonjol pada satu sisi. Misalnya Abu Bakar yang terkenal dengan sifat bijak

dan saleh, Umar yang berani dan adil, Utsman yang lemah lembut dan religius

dan Ali yang berani dan terpelajar. 1 Hal ini memberi warna tersendiri dalam

menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan keagamaan terutama dalam

melahirkan kebijakan termasuk dalam bidang pendidikan.

Para khalifah ini yang melanjutkan tugas-tugas Rasulullah saw. Yang

telah berhasil meletakkan dasar-dasar tatanan sosial kemasyarakatan yang

beradab dan berdemokratis dalam waktu yang relatif singkat kurang dari

seperempat abad, seperti pembangunan mesjid sebagai pusat pertemuan kaum

muslimin, ikatan persaudaran antar orang Islam (mu`akhah), perjanjian damai

dengan umat non islam, peletakan dasar-dasar sistem pemerintahan, sistem

ekonomi, keteladanan dan pemantapan ruh Islam. 2 Mekkah dan Madinah

menjelma menjadi kota dan atau negeri yang mempunyai posisi yang baik dan

1
Akbar S. Ahmad, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Sosciety,
terj. Zulfahmi Andri, (New Delhi: Vistaar Publication, 1990), h. 57
2
Ahmad Syalaby, Mausu`ah al-Nazhm wal Hadharah al-Islamiyah Tarikh al-Manahij al-
Islamiyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1986), JIlid VI, h. 56

1
2

segera menjadi suatu komunitas umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. 3 Hal

itu menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad tidak hanya dipandang sebagai

rasulullah akan tetapi juga sebagai kepala pemerintahan.

Setelah Nabi wafat pada tahun 11 Hijrah, maka tugas-tugas agama dan

pemerintahan diteruskan oleh para penggantinya (khulafa), tercatat dalam

sejarah ada empat shahabat Rasul dan disebut dengan khulafa al-rasyidun yang

berarti khalifah-khalifah yang terpercaya atau yang mendapat petunjuk, yang

bertugas dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala agama untuk

mempertahankan kemurnian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan

sebagaimana yang dilakukan Rasul saw.

Kegiatan pendidikan telah berlangsung pada zaman Rasulullah dan itu

terus berlanjut dan dipelihara sampai pada masa Khalifah, seperti penggunaan

masjid sebagai tempat pendidikan, suffah (emperan masjid) dan juga Kuttab

yang merupakan lembaga pendidikan dasar untuk anak-anak dalam hal

membaca dan menulis. Khalifah mengirim guru-guru membaca al-Qur`an ke

berbagai wilayah yang dikuasai Islam, mereka menyampaikan ceramah tentang

ajaran keagamaan dan mengajarkan al-Qur`an. Dengan demikian sistem

pendidikan yang diterapkan pada masa itu dikenal dengan sistem pengajaran

al-Qur`an sebagai inti pengajaran.4

Pengembangan-pengembangan yang dilakukan pada masa Khulafaur

Rasyidun dalam bidang pendidikan tidak sama antara satu dengan yang

3
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), h. 92
4
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Zaman Klasik dan Pertengahan,
(Bandung: Angkasa, 2003), h. 3
3

lainnya, karena dipengaruhi oleh situasi politik yang terjadi pada masa itu dan

karakteristik pemegang kekhalifahan.

Dalam makalah berikut ini akan dipaparkan tentang kondisi sosial

pendidikan pada masa masing-masing Khalifah yang empat tersebut.

B. Analisis Sosial Pendidikan pada Masa Khalifah

1. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq

Abu Bakar ash-Shiddiq adalah salah seorang shahabat Rasulullah saw.

yang mempunyai nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada

zaman pra Islam ia bernama Abu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi

SAW. menjadi Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573 M, dan wafat pada

tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan Agustus 634

M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi saw. 3 tahun.

Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk

orang laki-laki yang masuk Islam pertama kali. Sedangkan gelar As-Shidiq

diperoleh karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa

Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.5

Diakui oleh seluruh sejarawan bahwa Rasulullah yang wafat tahun 11

H, tidak meninggalkan wasiat tentang orang yang akan penggantikannya.

Oleh karena itu, setelah rasulullah SAW wafat para sahabat segera

berkumpul untuk bermusyawarah di suatu tempat yaitu Tsaqifah Bani

Sa’idah guna memilih pengganti Rasulullah (Khalifah) memimpin ummat

5
Hasan Ibrahim Hasan, terj. Djahdan Humam, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), h. 32
4

Islam. Musyawarah itu secara spontanitas diprakarsai oleh kaum Anshor.

Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka lebih memiliki kesadaran

politik dari pada yang lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah

dalam memimpin umat Islam.

Musyawarah berlangsung alot, namun setelah mereka mendengarkan

gagasan Umar, sekelompok demi sekelompok maju kedepan dan bersama-

sama membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah. Baiat tersebut dinamakan

baiat tsaqifah karena bertempat di balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan

politik itu berlagsung hangat, terbuka dan demokratis.6

Pertemuan politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi

umat Islam. Sesuatu yang mengikat mereka tetap dalam satu kepemimpinan

pemerintahan. Dan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah pertama,

menjadi dasar terbentuknya sistem pemerintahan Khalifah dalam Islam.7

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar mengalami gangguan stabilitas

pemerintahan yang di goncang dengan munculnya Nabi palsu dan orang-

orang yang membangkang tidak mau membayar zakat. Maka Khalifah Abu

Bakar menumpas para pemberontak itu dan juga mengirim pasukan untuk

ekspansi ke Syiria dan berhasil. Dengan demikian para sahabat sudah mulai

tersebar keberbagai daerah taklukkan, namun belum begitu memperhatikan

pendidikan.

Kedekatan sejarah antara Abu Bakar dengan Nabi sangat dekat,

sehingga peristiwa dan kejadian pada masa Nabi masih terasa dan masih

6
Ibid., h. 34
7
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 117
5

kuat mempengaruhi ingatan disamping beliau menjabat khalifah hanya

selama dua tahun. Mata pelajaran yang diberikan tidak begitu berbeda

dengan pada zaman Nabi, kecuali kegiatan pengajaran hadits lebih

meningkat yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan dasar penafsiran al-

Qur`an dan usaha perluasan dan pengembangan ilmu sudah mulai nampak.

Tempat mengajar masih diutamakan di masjid, duduk berhalaqah. Guru-

gurunya terdiri dari shahabat Rasul yang terdekat dari merekalah umat

menimba ilmu dan agama. Selain itu pengajaran baca tulis masih

berlangsung dan pengajaran bahasa asing pun mulai dirintis untuk

kepentingan komunikasi dengan penduduk yang tidak berbahasa Arab

sebagai akibat dari perluasan wilayah.8

Kedekatan zaman dengan Rasulullah saw. dan masa kekhalifahan

yang tidak terlalu lama sangat berpengaruh kepada corak pendidikan yang

berlangsung. Pola-pola pembelajaran zaman Rasulullah masih berlangsung.

sementara dasar-dasar atau pondasi pengembangan sudah mulai dirintis,

meskipun tidak terlalu kelihatan, karena situasi social kemasyarakatan saat

itu mengalami chaos disebabkan muncul para pembelot setelah wafat

Rasulullah saw.

Dari segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan Tauhid,

keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan dan lain sebagainya.

a. Pendidikan keimanan, yaitu menanamkan bahwa satu-satunya yang wajib

disembah adalah Allah.

8
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
Angkasa, 1983), h. 49
6

b. Pendidikan akhlak, seperti adab masuk rumah orang, sopan santun

bertetangga, bergaul dalam masyarakat, dan lain sebagainya.

c. Pendidikan ibadah, seperti pelaksanaan Shalat, puasa, dan Haji.

d. Pendidikan kesehatan, seperti tentang kebersihan, gerak-gerik dalam

Shalat merupakan didikan untuk memperkuat jasmani dan rohani.9

2. Masa Khalifah Umar ibn Khattab

Umar bernama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza

bin Ribaah bin Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya

adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin

Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang

terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Dia dilahirkan 14 tahun

sesudah kelahiran Nabi, tapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan

4 tahun sebelum perang Pijar.10

Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat

tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik

dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai orang yang sangat

pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan keras,

tidak mengenal bingung dan ragu.11

Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca

oleh adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak

membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar

9
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), Cet.
Ke-6, h. 18
10
Ibid., h. 174
11
A. Syalaby, op. cit. h. 58
7

kedalam Islam, maka terjawablah doa Nabi yang meminta agar Islam

dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar (Umar bin Khattab atau Amr bin

Hisyam) dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.

Pada masa Khalifah Umar bin Khathab, situasi politik sudah begitu

stabil. Maka Khalifah mempertahankan daerah-daerah hasil taklukkan

sebelumnya dan memerintahkan setiap daerah untuk mendirikan masjid

sebagai tempat ibadah dan pendidikan serta menunjuk guru untuk

mengajarkan Al-Qur an dan ajaran islam kepada orang yang baru masuk

Islam. Dan pada daerah yang bukan arab harus di ajarkan bahasa arab.

Pada masa ini para sahabat sudah banyak menyebar ke berbagai

daerah daerah taklukkan sampai keluar jazirah arab, namun para sahabat

besar yang dekat Rasulullah tidak diperkenankan meningalkan Madinah

kecuali atas izin Khalifah, itupun dalam waktu yang terbatas. Dengan

demikian penyebaran ilmu Sahabat besar terpusatkan di Madinah, sehingga

kota itu menjadi pusat keilmuan islam. Orang yang ingin belajar islam

kepada Sahabat besar dari berbagai daerah harus pergi ke Madinah. Jadi

harus melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan untuk menuntut ilmu

ke-islaman langsung kepada Sahabat besar.

Pada dasarnya lembaga pendidikan pada masa Khalifah, tumbuh dan

berkembang dari individu-individu atau kelopok masyarakat, dengan

demikian lembaga pendidikan pada masa ini diluar pengaruh penguasa,

sehingga opersionalnya lebih mandiri, tanpa pesan-pesan politik kenegaraan

yang bisa menghambat dinamika ilmiah.Meskipun dalam elit politik islam


8

mengalami pasang surut, namun perkembangan dan pertumbuhan lembaga

pendidikan semakin berkembang. Terlebih lagi setelah islam mulai

menyebar keberbagai daerah diluar jazirah arab.

Adapaun materi untuk pendidikan dasar ada perkembangkan sedikit,

apabila sebelum masa Khalifah Umar Bin Khattab materinya adalah: a.

membaca dan menulis b. membaca dan menulis Al-Qur an, c. pokok-pokok

ajaran islam, seperti cara wudlu, sholat, shaum. Ketika Umar bin Khathab

menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-

anak mereka diajari: a. berenang, b. mengendarai unta, c. memanah, d.

membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan pribahasa. Sedangkan

untuk pendidikan menengah dan tinggi terdiri dari: a. Al-Qur an dan

Tafsirnya, b. Hadits dan pengumpulannya, c. Fiqh ( tasyri`).

3. Masa Khalifah Utsman ibn Affan

Di kalangan bangsa Arab, Itsman ibn Affan tergolong konglomerat,

tetapi perilakunya sederhana. Selama tinggal di Madinah, ia

memperlihatkan komitmen sosialnya yang tinggi pada Islam. Seluruh

hidupnya diabdikan untuk syiar agama Islam dan seluruh kekayaannya

didermakan untuk kepentingan umat Islam. Ia menyumbangkan 950 ekor

unta dan 50 ekor kuda serta 1000 dirham dalam perang Tabuk, Juga

membeli mata air dari orang Romawi dengan harga 20.000 dirham guna

diwakafkan bagi kepentingan umat Islam.

Rasulullah saw. sangat mengaguminya karena ia adalah orang yang

sederhana shaleh dan dermawan. Ia dikenal dengan sebutan Abu Abdullah.


9

Ia dilahirkan pada tahun 573 M di Makkah dari pasangan suami isteri Affan

dan Arwa. Beliau merupakan salah satu keturunan dari keluarga besar Bani

Umayyah suku Quraisyi. Sejak kecil, ia dikenal dengan kecerdasan,

kejujuran dan keshalehannya sehingga Rasulullah SAW sangat

mengaguminya. Oleh karena itu, ia memberikan kesempatan untuk

menikahi dua putri Nabi secara berurutan, yaitu setelah putri Nabi yang satu

meninggal Dunia.12

Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Ustman

menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang

selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya

masalah pengangkatan Umar sebagai pengganti Abu Bakar.

Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan Islam

tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya

melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan

yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat

dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di

masa khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di daerah-daerah

yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi

pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.

Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih

ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin

menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih

12
A. Hasjmy, op. cit. h. 216
10

banyak, sebab pada masa ini para sahabat memilih tempat yang mereka

inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.13

Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa ini diserahkan pada

umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru-guru, dengan

demikian para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya dengan

mengharapkan keridhaan Allah.

4. Masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali

masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak

kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya

meninggal di asuh oleh pamannya Abu Thalib. Karena hasrat hendak

menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka Ali di asuh Nabi

SAW dan di didik. Pengetahuannya dalam agama Islam amat luas. Karena

dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak

meriwayatkan Hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir di

seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di

barisan muka.

Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali

untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin

Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa

musyawarah dengan Ali. Utsman pun pada masa permulaan jabatannya

dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan.

13
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h 49
11

Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan

pemberontak.

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib kebijaksanaan pendidikan

tidak banyak berubah karena stabilitas pemerintahan banyak goncangan

seperti perang shiffin dan perang jamal, dan memunculkan beberapa

kelompok yang berselisih, kelompok Syiah, khawarij, kelompok Muawiyah

dan pada akhirnya Khalifah Ali bin Abi Thalib meninggal terbunuh.

Pada masa Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga

di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik

pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan

gangguan. Pada saat itu ali tidak sempat lagi memikirkan masalah

pendidikan sebab keseluruhan perhatiannya itu ditumpahkan pada masalah

keamanan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat Islam.14

Namun demikian seperti di paparkan diatas bahwa pendidikan dasar/

kuttab ini pada masa empat Khalifah muncul dari arus bawah atau

masyarakat, hal ini bukan berarti khalifah tidak memperhatikan terhadap

perkembangan dan pertumbuhan lembaga pendidikan dasar. Akan tetapi

karena lebih menitik beratkan kepada proses penyebaran agama dan

perluasan daerah sebagai rangkaian dakwah Islam. Karena dengan

tersebarnya Islam dan luasnya daerah Islam, maka semakin leluasa juga

pendidikan Islam bergerak maju melalui asimlasi dan persentuhan budaya

Islam dengan budaya daerah ekspansi.

14
Ibid., h. 50
12

C. Lembaga-Lembaga Pendidikan pada Masa Khalifah

Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam yang dibarengi dengan

usaha penyampaian ajaran Islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik

yang ikut sebagai anggota pasukan maupun yang kemudian dikirim oleh

khalifah dengan tugas khusus mengajar dan mendidik, maka di luar Madinah,

dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai, berdirilah pusat pendidikan dibawah

pengurusan para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para tabi’in.

Mahmud Yunus mengemukakan beberapa lembaga atau pusat

pendidikan Islam pada masa Khalifah15 sebagai berikut:

1. Madrasah Makkah

Guru pertama yang mengajar di Makkah adalah Mu’ad bin Jabal, pada masa

khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H). Abdullah bin Abbas pergi ke

Makkah, lalu dia mengajar tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Abdullah bin

Abbas adalah pembangun madrasah Makkah. Di antara murid Ibn Abbas

yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Mekkah adalah Mujahid

bin Jabar (seorang ahli tafsir al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn

Abbas), Atak bin Abu Rabah (ahli dalam fiqh), dan Tawus bin Kaisan

(seorang fuqaha) dan mufti di Makkah, dan seterusnya diwariskan kepada

muridnya juga.

2. Madrasah Madinah

Di sinilah madrasah termasyhur, karena khalifah Abu Bakar, Umar dan

Usman serta banyak pula sahabat Nabi yang mengajar. Seperti Umar bin

15
Mahmud Yunus, op. cit., h. 20
13

Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid

bin Sabit adalah seorang ahli qiraat dan fiqih, beliau mendapat tugas

memimpin penulisan kembali al-Qur’an, baik di zaman Abu Bakar ataupun

Usman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah ahli hadits, beliau

juga sebagai pelopor madzhab Ahl al-Hadits yang berkembang.

3. Madrasah Bashrah

Ulama sahabat yang terkenal di Bashrah adalah Abu Musa al-Asy’ari

(sebagai ahli fiqih, hadits dan ilmu al-Qur’an). Sedangkan Anas bin Malik

(terkenal dalam ilmu Hadits), guru yang terkenal adalah Hasan al-Basari dan

Ibn Sirin. Hasan al-Basri disamping seorang ahli fiqh, ahli pidato dan kisah,

juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap

sebagai perintis mazhab ahl as-sunnah dalam lapangan ilmu kalam.

Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang ahli hadits dan fiqh yang belajar

langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas bin Malik.

4. Madrasah Kufah

Di Kufah ada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi

Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, sedangkan

Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama. Ibn Mas’ud adalah utusan resmi

khalifah Umar untuk menjadi guru agama di Kufah. Beliau adalah seorang

ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadits Nabi saw, di antara

murid Ibn Mas’ud yang terkenal adalah Alqamah, al-Aswad, Masruq, al-

Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian
14

melahirkan Abu Hanifah salah imam mazhab yang terkenal dengan

penggunaan ra’yu dalam berijtihad.

5. Madrasah Fistat (Mesir)

Tokohnya Abdullah bin Amr bin al-As. Ia adalah seorang ahli hadits, ia

tidak hanya menghafal hadits yang didengarnya dari Nabi Muhammad saw

saja, melainkan juga menuliskannya dalam bentuk catatan, sehingga ia tidak

lupa dalam meriwayatkan hadits kepada para muridnya. Guru termasyhur

setelahnya adalah Yazid bin Abu Habib al-Huby dan Abdullah bin Abu

Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah

bin Lahi’ah dan al-Lais bin Sa’id.

D. Kesimpulan

Pendidikan Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sama dengan pola

yang diterapkan pada masa Rasulullah baik dari segi materi (keimanan, akhlak,

dan kesehatan) maupun dari segi lembaganya (kuttab), sedangkan pada masa

khalifah Umar bin Khattab pendidikan Islam sudah lebih meningkat. khalifah

Umar sudah mengangkat guru-guru dan digaji untuk mengajar ke daerah-

daerah yang baru ditaklukkan. Pada masa khalifah Usman bin Affan

diserahkan sepenuhnya pada rakyat dan sahabat tidak hanya terfokus di

Madinah saja, tetapi sudah boleh mengajar ke daerah- daerah lain, sementara

pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib, pendidikan kurang diperhatikan, hal ini

dikarenakan pemerintahan Ali yang selalu dilanda konflik yang berujung pada

kekacauan.
15

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan sejarah pendidikan

Islam pada masa khalifah merupakan gerak lanjut dari proses pendidikan yang

telah diletakan oleh Rasulullah saw., dimana pengembangan-pengembangan

yang terjadi dipengaruhi oleh situasi politik dan perluasan wilayah kekuasaan

Islam. Secara eksplisit penyelenggaraan pendidikan pada masa Khulafaur

Rasyidun diserahkan kepada umat, namun hal ini bukan berarti bahwa khalifah

tidak memperhatikan masalah pendidikan, akan tetapi khalifah lebih

menitikberatkan pada perluasan wilayah untuk kepentingan penyebaran agama

Islam dalam rangkaina dakwah yang secara langsung terintegrasi di dalamnya

kegiatan pendidikan.
16

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Akbar S., Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and
Sosciety, terj. Zulfahmi Andri, New Delhi: Vistaar Publication, 1990

Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam pada Zaman Klasik dan


Pertengahan, Bandung: Angkasa, 2003

Hasan, Ibrahim Hasan, terj. Djahdan Humam, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989

A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Angkasa, 1983

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,


Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam periode Klasik dan Pertengahan,


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Cet.ke-1

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008

Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Dzikra, 1997,


Jilid III,

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990,


Cet. Ke-6

Anda mungkin juga menyukai