Anda di halaman 1dari 3

Psikoedukasi dapat didefinisikan sebagai proses mengajarkan klien dengan gangguan jiwa

dan keluarganya mengenai gangguan jiwa itu sendiri, termasuk etiologi, perkembangan, dampak,
prognosis, perawatan, dan alternatif perawatan lainnya (Srivastava & Panday, 2016). Tujuan dari
psikoterapi adalah untuk menawarkan edukasi dan strategi terapeutik untuk meningkatkan
kualitas hidup keluarga pasien dan mengurangi kemungkinan kambuhnya pasien. Model
psikoedukasi dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan tujuannya, yaitu model informasi, model
pelatihan keterampilan, dan model suportif (Srivastava & Panday, 2016). Psikoedukasi yang
diterapkan dalam penelitian ini termasuk ke dalam model informasi, yang menekankan
bagaimana psikoedukasi dapat menyediakan pengetahuan mengenai gangguan jiwa tertentu dan
bagaimana cara menanganinya bagi keluarga yang anggotanya mengalami gangguan jiwa.
Psikoedukasi dalam penelitian ini menyediakan informasi mengenai depresi, termasuk definisi,
etiologi, gejala, intervensi, dan penanganan pertama kesehatan jiwa khusus remaja. Pendekatan
ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran keluarga atau orang terdekat mengenai gangguan
jiwa yang dialami pasien dan kontribusi mereka dalam perawatannya. Model psikoedukasi juga
dapat dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yaitu psikoedukasi pasif dan psikoedukasi aktif
(Srivastava & Panday, 2016). Psikoedukasi yang diterapkan dalam penelitian ini termasuk ke
dalam model psikoedukasi pasif, dimana dalam pelaksanaannya tidak memerlukan partisipasi
penerima informasi secara langsung, melainkan informasi dapat disampaikan melalui bantuan
audio-visual, brosur, pamflet, poster, dan media komunikasi satu arah lainnya. Dalam penelitian
ini, psikoedukasi disajikan dalam bentuk video yang diunggah ke media sosial untuk
menjangkau lebih banyak penerima informasi, khususnya remaja, yang menjadi target
psikoedukasi peneliti.
Psikoedukasi ditemukan efektif dalam menangani banyak masalah kesehatan jiwa pada
remaja, termasuk pikiran dan perilaku obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, kecemasan
dan kekhawatiran berlebih, masalah agresi dan perilaku, pikiran bunuh diri, serta pikiran dan
perilaku psikosis secara umum lainnya, termasuk pikiran dan perilaku depresi (McBride, 2012).
Depresi sangatlah umum terjadi pada remaja, yang dapat menimbulkan tekanan bagi mereka dan
keluarga (Jones, dkk., 2017). Oleh karena itu, perawatan dini dan pencegahan depresi pada
remaja menjadi topik kesehatan masyarakat yang serius. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Gaynor dan Lawrence (2002) mengungkapkan efektivitas dampak dari menggabungkan
psikoedukasi kognitif-behavioral dengan terapi yang berfokus pada interaksi interpersonal untuk
menangani remaja yang memiliki kognisi depresif. Psikoedukasi dapat mereduksi gejala depresi
pada remaja dengan cara meningkatkan pengetahuan mereka mengenai gejala dan dampak
potensial, sehingga dapat membantu remaja untuk mengatasi kognisi depresif (McBride, 2012).
Lingkungan terapeutik yang mendukung perlu dipertimbangkan sebagai salah satu kunci
untuk dapat memelihara perubahan positif di dalam masyarakat (McBride, 2012). Penyediaan
informasi dan peningkatan kesadaran mengenai gangguan jiwa juga perlu diimbangi dengan
psikoedukasi secara sosial. Psikoedukasi secara sosial didasarkan pada prinsip-prinsip psikologi
sosial dan menggunakan teman sebaya sebagai agen perubahan utama dalam memodifikasi
pikiran, perilaku, serta performa sosial yang bermasalah. Tanpa adanya pengetahuan, sikap, dan
perilaku yang memadai mengenai gangguan jiwa, maka akan muncul stigma terhadap individu
dengan gangguan jiwa, termasuk remaja yang mengalami depresi.
Stigma dapat didefinisikan sebagai stereotip dan persepsi negatif yang disertai dengan
prasangka dan perilaku diskriminasi (Taghva, dkk., 2017). Stigma tidak hanya berkaitan dengan
individu-individu yang memiliki gangguan jiwa parah, melainkan juga mereka yang memiliki
gangguan jiwa ringan. Sikap stigmatisasi terhadap individu dengan gangguan jiwa dapat berasal
dari beragam komunitas dan kelompok, termasuk keluarga, rekan kerja, para ahli kesehatan jiwa,
dan sesama pelajar. Stigma dapat meningkatkan tekanan akibat gangguan jiwa yang dialami
seseorang dan dapat mengarah pada komplikasi lebih lanjut dalam proses pemulihan, termasuk
di antaranya mengarah pada stigmatisasi terhadap diri sendiri (Taghva, dkk., 2017). Oleh karena
itu, diperlukan psikoedukasi secara sosial atau sosialisasi yang mampu meningkatkan kesadaran
mengenai depresi dengan cara mengurangi stigma di masyarakat. Edukasi perlu diberikan untuk
mengubah stereotip di antara komunitas, terapis, pembuat kebijakan, ahli media, pasien, dan
keluarga yang didasarkan atas penelitian, serta diadopsi ke dalam budaya (Taghva, dkk., 2017).
Psikoedukasi dan sosialisasi yang dilakukan dalam penelitian ini mencantumkan prevalensi
depresi pada remaja dan bagaimana cara meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai individu
yang mengalami depresi itu sendiri.
Keberhasilan psikoedukasi juga berkaitan dengan cara penyampaian isinya. Sarana
komunikasi, seperti penggunaan multimedia, dapat mengakomodasi gaya belajar personal dan
preferensi, sehingga psikoedukasi lebih mudah diakses dan melibatkan partisipasi aktif penerima
informasi (Jones, dkk., 2017). Media juga memainkan peran penting dalam mengurangi atau
memperluas penyebaran stigma. Oleh karena itu, kapasitas media dapat diamnfaatkan untuk
memperbaiki keyakinan yang salah di masyaraat dan menyediakan pelatihan yang memadai di
bawah pengawasan para ahli. -> ini biar dari akua ja gapapa? Yg pake awalan dari gdoc ku?
nah mari kita berdiskusi sia wkakwk

Anda mungkin juga menyukai