Anda di halaman 1dari 61

PENGARUH BEBAN PAJAK, TUNNELING INTENCIVE, DAN MEKANISME

BONUS TERHADAP TRANSFER PRICING (Studi Empiris Pada Perusahaan

Consumer Goods Industry yang terdaftar di BEI tahun 2015-2019)

Dibuat Oleh :

GILANG GINANJAR

NIM. 201011200237

PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

2023

1
Contents
BAB II..........................................................................................................12
2.2 Kajian Variabel Penelitian............................................................23
2.2.1 Transfer Pricing..................................................................23
2.2.2 Beban Pajak..................................................................................25
2.2.3 Tunneling Incentive............................................................28
2.2.4 Mekanisme Bonus........................................................................31
2.3 Penelitian Terdahulu.....................................................................32
Tabel 2.3.......................................................................................................35
2.4 Kerangka Berpikir........................................................................38
Gambar 2.4.4 Kerangka Berpikir.................................................................47
2.4.5Hipotesis Penelitian..............................................................................38
3.1. Strategi Penelitian.........................................................................39
3.2. Populasi dan Sampel.....................................................................39
Tabel 3.1 Prosedur Pemilihan Sampel.........................................................41
Tabel 3.2.......................................................................................................41
3.2. Data dan Metode Pengumpulan Data...........................................42
3.3. Operasionalisasi Variabel.............................................................43
3.3.1. Variabel Dependen atau Variabel Terikat (Y)..............................43
3.3.2. Variabel Independen atau Variabel Bebas (X).............................43
3.3.3. Daftar Tabel Indikator..................................................................45
3.4. Metode Analisis Data...................................................................45
3.4.1. Uji Statistik Deskriptif..................................................................46
3.5.2 Uji Asumsi Klasik...............................................................................46
3.5.3. Analisis Regresi Data Panel..........................................................49
3.5.4. Pemilihan Model Regresi Data Panel...........................................49
3.5.5 Metode Estimasi Regresi Data Panel..........................................51
3.5.6. Uji Regresi Data Panel..................................................................53
3.5.7. Uji Hipotesis.................................................................................53

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan Transfer Pricing tidak lepas dari globalisasi. Globalisasi berperan

mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan antarnegara dalam rangka memundahkan

arus barang, jasa, modal, dan sumber daya manusia antarnegara. Seiring dengan

berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional memberikan dampak signifikan

terhadap kemajuan ekonomi suatu Negara maupun ekonomi dunia. Globalisasi ekonomi yang

diikuti dengan internasionalisasi investasi, bisnis, perdagangan, dan aktivitas lainnya, telah

mengorbitkan Perusahaan Multinasional (MNC). Perusahaan Multinasional sebagai pelaku

perdagangan internasional memanfaatkan perkembangan teknologi, transportasi, dan

komunikasi untuk menjalankan usaha di beberapa negara. Perusahaan Multinasional banyak

melakukan operasi di beberapa negara yang memiliki tarif pajak yang berbeda (Pohan

(2018:175)).

Perbedaan tarif ini membuat perusahaan Multinasional mengambil keputusan untuk

melakukan Transfer Pricing. Perbedaan tarif pajak merupakan permasalahan yang sering

terjadi dalam perusahaan multinasional. Perbedaan tarif pajak antarnegara menimbulkan

pilihan negara tujuan pemajakan. Dari sisi tujuan untuk melakukan penghematan pajak,

perusahaan multinasional cenderung menggeser penghasilan dari negara yang memiliki tarif

pajaknya tinggi ke negara yang memiliki tarif pajaknya lebih rendah, sebaliknya

memindahkan biaya dari negara yang tarif pajaknya rendah ke negara yang tarif pajaknya

lebih tinggi (Kurniawan (2015:4)).

Seiring berkembangnya perusahaan multinasional, Transfer Pricing menjadi

3
bermasalah karena sering disalahgunakan untuk menghindari pajak atau menggunakan

strategi untuk mengurangi beban pajak seperti mentransfer keuntungan yang diperoleh

kepada perusahaan yang berkedudukan di negara dengan pajak rendah, karena biasanya

perusahaan akan mencari cara untuk meningkatkan laba atau paling tidak meningkatkan

efisiensi pengeluaran. Banyak perusahaan sering menggunakan Transfer Pricing sebagai alat

untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar, karena bagi pelaku usaha pajak masih

dipandang sebagai beban untuk mengurangi keutungan karena semakin tinggi tarif pajak

suatu negara maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan melakukan Transfer

Pricing. Selain memilik sifat memaksa, pajak memang merupakan hal yang harus dihindari

oleh banyak perusahaan (Mangoting, 2004).

Pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah dan dapat digunakan untuk mendanai

pengeluaran negara (fungsi anggaran) dan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur

pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang social dan ekonomi (fungsi regulasi).

Perusahaan adalah salah satu yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Tetapi karena

perusahaan selalu menganggap pajak sebagai beban perusahaan maka banyak perusahaan

yang masih menerapkan Transfer Pricing.

Transfer Pricing adalah isu sensitive di dunia bisnis dan ekonomi global, terutama

dalam hal perpajakan. Kegiatan Transfer Pricing perusahaan multinasional secara langsung

maupun tidak langsung akan mempengaruhi tingkat perpajakan nasional dalam hal

perpajakan. Transfer Pricing dilakukan untuk menentukan jumlah pendapatan yang diperoleh

setiap perusahaan yang terlibat dan pendapatan pajak penghasilan suatu negara. Karena

penerapan Transfer Pricing yang salah digunakan oleh perusahaan maka tujuan awal

Transfer Pricing menjadi hilang. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Transfer Pricing

menjadi salah satu penyebab kerugian negara karena nilai pajak yang dibayarkan kecil.

Para ahli mengakui bahwa penetapan Transfer Pricing mungkin bisa menjadi masalah

4
bagi perusahaan, tetapi juga bisa menjadi pencari peluang untuk perusahaan yang mengejar

keuntungan yang tinggi. Bagi perusahaan yang memiliki anak perusahaan di negara yang tarif

pajaknya tinggi maka akan menjadi suatu masalah karena akan membayar pajak lebih

banyak, sehingga mengurangi keuntungan. Banyak perusahaan juga melihatnya sebagai

peluang dan membuat strategi untuk mendapatkan keuntungan lebih dari penjualan dan

penghindaran pajak. Salah satu caranya adalah dengan membuat anak perusahaan di negara

yang memberikan tarif pajak rendah (Pramana, 2014).

Dari sudut pandang Direktorat jendral Pajak dalam Pramana (2014), tidak diragukan

lagi bahwa Transfer Pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak Negara.

Berdasarkan perhitungan Dirjen Pajak dinyatakan bahwa Negara berpotensi telah kehilangan

1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik Transfer Pricing. Negara berkembang, seperti

Indonesia menyadari bahwa korporasi multinasional dengan berbagai cara mempergunakan

rekayasa Transfer Pricing untuk mengalihkan potensi pajak Indonesia ke Negara lain dan

cenderung menggeser kewajiban pajak nya dari Negara yang memiliki tarif pajak tinggi (high

tax countries) ke Negara yang mempunyai tarif pajak rendah (low tax countries).

Kasus Transfer Pricing terjadi pada PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) diduga

melakukan penggelembungan yang nilainya mencapai Rp. 4 triliun. Manajemen lama juga

diduga mengalirkan dana ke pihak terafiliasi senilai Rp. 1,78 triliun. Selain itu, ada juga

temuan dugaan penggelembungan pendapatan senilai Rp. 662 miliar dan penggelembungan

lain sebesar Rp. 329 miliar pada bisnis makanan tersebut. Dalam laporan hasil investigasi

berbasis fakta PT. Ernst & Young Indonesia (EY) kepada manajemen baru di AISA

tertanggal 12 Maret 2019 yang dikutip dari CNBC Indonesia, dugaan penggelembungan

terjadi pada akun piutang usaha, persediaan dan asset tetap grup AISA. Bentuk aliran dana

sebesar Rp. 1,78 triliun dengan berbagai skema dari grup TPS Food kepada pihakpihak yang

diduga terafiliasi dengan pihak manajemen lama terbentuknya antara lain dengan

5
menggunakan pencairan pinjaman grup TPS Food dari beberapa bank, pencairan deposito

berjangka, transfer dana di rekening bank, dan pembiayaan beban pihak terafiliasi oleh TP

Food.

Menurut EY, hal ini berpotensi melanggar keputusan ketua badan pengawas pasar

modal dan lembaga keuangan (sekarang menjadi aturan Otoritas Jasa Keuangan/OJK) No.

KEP-421/BL/2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu

(detik.com).

Kasus Transfer Pricing di Indonesia juga terjadi pada perusahaan sector

Makanan dan Minuman yang melibatkan salah satu perusahaan untuk menghindari

pajak yang besar dengan cara mengecilkan pajaknya yang dimana membuat Negara

mengalami kerugian atas penerimaan pajak. Contoh dari praktek transfer pricing

salah satunya adalah PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMII) yang

memiliki kejanggalan pada saat pemeriksaan pajak dari laporan keuangan

perusahaan. Direktorat Jenderal Pajak sudah lama mencurigai Toyota Motor

Manufacturing memanfaatkan transaksi antar-perusahaan terafiliasi di dalam dan luar

negeri untuk menghindari pembayaran pajak. Istilah bekennya transfer pricing.

Berkembang sebagai bagian dari perencanaan pajak korporasi, transfer pricing kini

menjadi momok otoritas pajak sedunia. Modusnya sederhana: memindahkan beban

keuntungan berlebih dari satu negara ke negara lain yang menerapkan tarif pajak

lebih murah (tax haven). Pemindahan beban dilakukan dengan memanipulasi harga

secara tidak wajar. Ada indikasi banyak perusahaan multinasional memilih

mengalihkan keuntungannya ke Singapura, karena pajak di Singapura memang lebih

rendah ketimbang Indonesia. Indonesia menerapkan pajak 25 persen, sementara di

sana hanya 17 persen. Karena itulah, sejumlah industri di sini punya kantor pusat di

Singapura –termasuk Toyota. Sehingga seolah-olah wajar jika perhitungan pajaknya

6
juga di sana. Kesulitan terbesar Direktorat Jenderal Pajak adalah dalam mencari

pembanding untuk menentukan wajar tidaknya nilai suatu transaksi.Di India dan

Thailand, data perusahaan lokal bisa dibuka oleh otoritas pajak. Di Indonesia,

Direktorat Jenderal Pajak terbentur aturan kerahasiaan perusahaan (Kompasiana,

2017).

Praktik transfer pricing juga pernah dilakukan dibeberapa perusahaan

multinasional di Inggris, contohnya Starbuck pada tahun 2011 tidak membayar pajak

sama sekali dan mengaku rugi sejak tahun 2008, padahal telah berhasil mencetak

penjualan sebesar £112 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun. Selama beroperasi di Inggris,

Starbucks hanya menyetorkan pajak sebesar £6 juta. Sebagian besar keuntungan

Starbuck telah dialihkan dari Inggris ke perusahaan cabang di Belanda dalam bentuk

royalty. Starbucks mengaku mengalami peunurunan pendapatan dengan pihak

Belanda. Tetapi pihak Uni Eropa justru menilai adanya transfer pricing, dimana

perhitungan pajak perusahaan multinasional memasukkan biaya-biaya dari anak

perusahaan sehingga dapat mengurangi beban pajak perusahaan. Perhitungan pajak

Starbucks ini melanggar aturan dengan membesarkan biaya perusahaan untuk

mengurangi beban pajak dengan pemberian insentif secara illegal (Saifudin & Putri,

2018:3, dalam Eris, 2020).

Keputusan Perusahaan untuk melakukan Transfer Pricing dimotivasi untuk

meningkatkan keuntungan perusahaan melalui pengecilan beban pajak, mekanisme

bonus bagi manajer dan meningkatkan keuntungan pemegang saham pengendali

melalui Tunneling Incentive. Faktor yang mempengaruhi Perusahaan mengambil

keputusan Transfer Pricing yaitu beban pajak, tunneling incentive dan mekanisme

bonus.

Beban Pajak merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atau

7
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Beban pajak

merupakan faktor yang membuat perusahaan untuk mengambil keputusan Transfer

Pricing dikarenakan Pajak penghasilan merupakan kewajiban perusahaan untuk

menyetorkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan diharuskan membayar

pajak berdasarkan pendapatan perusahaan, sehingga menjadi beban bagi perusahaan

dan perusahaan berusaha untuk menghindari adanya pembayaran pajak yang tinggi

dengan melakukan Transfer Pricing. Secara umum, keputusan untuk menerapkan

praktik Transfer Pricing akan mengakibatkan pembayaran pajak menjadi lebih

rendah di seluruh dunia.

Selain beban pajak, keputusan perusahaan untuk melakukan Transfer Pricing

dipengaruhi oleh Tunneling Incentive (kepemilikan saham). Tunneling Incentive

dilakukan oleh pemegang saham pengendali untuk kepentingan pemegang saham

pengendali. Tunneling Incentive meningkatkan keuntungan dengan mentransfer

keuntungan atau asset kepada afiliasi pemegang saham pengendali. Hal ini dilakukan

dimana biayanya juga ditanggung oleh pemegang saham non pengendali dan dapat

merugikan pemegang saham non pengendali. Transaksi Transfer Pricing sangat

menguntungkan bagi pemegang saham pengendali karena laba perusahaan tidak

perlu dibagi dengan pemegang saham non pengendali.

Keputusan perusahaan untuk melakukan Transfer Pricing juga dipengaruhi

oleh mekanisme bonus. Mekanisme Bonus timbul karena adanya Keinginan manajer

perusahaan untuk mendapatkan bonus menjadi salah satu faktor pendorong dalam

melakukan transfer pricing. Purwanti, (2010) bonus adalah apresiasi yang diberikan

oleh pemilik perusahaan kepada manajer apabila target laba perusahaan terpenuhi.

Mekanisme pemberian bonus ini akan berdampak kepada manajemen dalam

8
merekayasa laba. Untuk memaksimalkan bonus, manajer cenderung memaksimalkan

laba bersih, untuk memaksimalkan laba bersih tersebut menjadikan manajer

cenderung akan menggunakan prosedur akuntansi yang menaikkan laba dengan

praktek transfer pricing.

Hasil penelitian dari Lo et al., (2010) dimana bonus berpengaruh positif

terhadap peningkatan pendapatan perusahaan yang dilaporkan dengan meningkatkan

laba periode sekarang salah satunya dengan praktik transfer pricing. Hartati, (2014)

menyatakan bahwa ketika pemberian bonus didasarkan pada besarnya laba, maka

logis jika direksi berusaha melakukan tindakan mengatur dan memanipulasi laba

demi memaksimalkan bonus dan remunerasi yang mereka terima.

Beberapa Penelitian mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi

perusahaan melakukan Transfer Pricing sudah dilakukan. Penelitian mengenai pajak

terhadap Transfer Pricing, menurut Hartati, dkk (2015) mengatakan bahwa beban

pajak saling berhubungan dengan Transfer Pricing, Mispiyanti (2015)

mengemukakan bahwa pajak tidak berpengaruh terhadap Transfer Pricing.

Penelitian mengenai Tunneling Incentive terhadap keputusan Transfer Pricing,

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuniasih et al (2012) menyatakan bahwa

adanya pengaruh positif Tunneling Incentive terhadap keputusan Perusahaan dalam

melakukan Transfer Pricing, Mispiyanti (2015) mengemukakan bahwa Tunneling

Incentive berpengaruh signifikan terhadap keputusan Perusahaan dalam melakukan

Transfer Pricing.

Menurut penelitian yang dilakukan Hartati, et al (2015), Alimuddin, et al

(2016) menunjukkan bahwa ”mekanisme bonus mempengaruhi keputusan perusahaan

untuk melakukan praktik transfer pricing”. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh

penelitian Thesa Refgia,et al (2017) dan “Mispiyanti (2012) bahwa mekanisme bonus

9
tidak berpengaruh Terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing.

Berdasarkan latar belakang yang uraian di atas, maka penulis ingin menguji

kembali faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan Transfer

Pricing. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mengambil penelitian yang berjudul

“Pengaruh Beban Pajak, Tunneling Incentive, dan Mekanisme Bonus terhadap

Transfer Pricing”

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian mengenai factor – factor apa saja

yang mempengaruhi keputusan perusahaan melakukan transfer pricing, dengan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah beban pajak berpengaruh transfer pricing?

2. Apakah tunneling incentive berpengaruh pada transfer pricing?

3. Apakah Mekanisme Bonus berpengaruh pada transfer pricing?

4. Apakah beban pajak, tunnelling incentive, dan Mekanisme Bonus berpengaruh

terhadap transfer pricing?

1.2 Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis sampaikan dalam penulisan Skripsi ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaruh beban pajak terhadap transfer pricing.

2. Untuk mengetahui pengaruh tunnelling incentive terhadap transfer pricing.

3. Untuk mengetahui pengaruh mekanisme bonus terhadap transfer pricing.

4. Untuk mengetahui pengaruh beban pajak, tunnelling incentive, dan mekanisme

bonus terhadap transfer pricing.

10
1.3 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan setelah penelitian ini berlangsung adalah:

a. Bagi Penulis

Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk menambah wawasan, pengetahuan dan

mendapatkan pengalaman secara sistematis dan analistis dalam menerapkan ilmu

pengetahuan yang diperoleh di Perguruan Tinggi. Dapat memberikan bukti empirik

mengenai Pengaruh Beban Pajak, Tunneling Incentive, mekanisme bonus Terhadap

Transfer Pricing.

b. Bagi Perusahaan

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan praktik

Transfer Princing dengan tujuan untuk menghindari pajak agar hal tersebut tidak

dilakukan.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penulisan ini dapat dipakai sebagai dasar untuk mengadakanpenelitian yang lebih

mendalam terhadap ruang lingkup yang sama atau yang diperluas. Dengan demikian,

maka kegunaan penelitian ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan adalah

digunakannya hasil – hasil penelitian sebagai bahan pertimbangan.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulis membuat sistematika penulisan proposal sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang penelitian,

perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

11
sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisikan landasan teori yang menjelaskan secara singkat

mengenai tinjauan umum perpajakan, hasil penelitian terdahulu, kerangka

konseptual, dan pengembangan hipotesis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini merupakan uraian tentang metode penentuan sampel, metode

pengumpulan data, model penelitian, operasional variabel penelitian dan

metode analisis.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Agency Theory

Jensen & Meckling, (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan

sebagai kontrak di mana satu atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain

(agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan

pendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Hal

tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan kontrak antara manajemen yang

dapat disebut sebagai agent dan pemilik perusahaan atau yang disebut sebagai

principal. Hubungan kontraktual tersebut berupa pendelegasian pekerjaan dan

wewenang pengambilan keputusan oleh pemilik kepada manajemen untuk

mengelola perusahaan dengan sebaik–baiknya. Menurut Apriliyana &

Kiswanto, (2016) pemisahan pengelolaan dan kepemilikan terhadap suatu

perusahaan akan mengakibatkan masalah keagenan (agency problem).

Manajemen yang merupakan agent dari principal memiliki pengetahuan yang

lebih mendalam tentang informasi perusahaan karena intensitas interaksi secara

langsung yang tinggi antara manajemen dengan perusahaan dibandingkan

dengan pemilik perusahaan maupun pemegang saham yang tidak memiliki

interaksi secara langsung dengan perusahaan karena telah mendelegasikan

pekerjaannya

13
Principal sangat mementingkan kinerja dan hasil pengambilan

keputusan yang nantinya akan berdampak pada peningkatan nilai investasi

principal dan pendapatan laba perusahaan, sedangkan dari sisi manajemen

yang dalam hal ini berperan sebagai agent lebih mementingkan sesuatu yang

akan berdampak pada kesejahteraan dirinya, misalnya dengan kenaikan jumlah

kompensasi kinerja atau bonus yang nantinya akan diterima sebagai

penghargaan atas kinerjanya. Namun, dalam praktiknya agent sebagai

pengelola perusahaan memiliki akses informasi yang lebih mudah serta lebih

luas dan detail mengenai kondisi perusahaan

Agency Theory pada umumnya didasarkan pada asumsi bahwa ada

konflik pemilik-manajer yang terutama timbul dari karena mengejar

keuntungan pribadi Jensen & Meckling, (1976). Konflik yang terjadi antara

pemilik dan manajemen tersebut akan menimbulkan biaya agensi. Jensen &

Meckling, (1976) mendefinisikan biaya agensi sebagai jumlah dari :

1. Pengeluaran monitoring oleh principal

2. Pengeluaran ikatan oleh agen

3. Kerugian residual

Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis

selama ini. Penyerahan kewenangan dari prinsipal kepada agen menimbulkan

masalah informasi asimetris antara prinsipal sebagai pemegang saham dan agen

sebagai pengelola perusahaan. Sifat struktur kepemilikan dari suatu perusahaan

dapat mempengaruhi jenis masalah keagenan yang besar kemungkinannya adalah

konflik antara pemegang saham dan manager (Jensen & Meckling, 1976). Konflik

14
yang timbul karena adanya ketidak sesuaian informasi, menyebabkan manajer

memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pemegang saham, sementara

ketika struktur kepemilikan suatu perusahaan terkosentrasi, dalam artian satu

pihak memiliki pengendalian atas perusahaan tersebut maka masalah keagenan

yang muncul akan berbeda, yaitu dimana masalah manager dengan pemegang

saham berubah menjadi pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham

minoritas (Claessens et al., 2000).

Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya masalah keagenan

(Mccolgan, 2001), yaitu:

1) Moral Hazard

Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang

tinggi), dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya

diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat

melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar

kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

2) Penahanan Laba (Earnings Retention)

Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang

berlebihan oleh pihak manajemen (agent) melalui peningkatan dan pertumbuhan

dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau penghargaan bagi

dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang saham.

3) Horison Waktu

Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dengan mana

prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya

15
belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang

berkaitan dengan pekerjaan mereka.

4) Penghindaran Risiko Manajerial

Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang

berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,

sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari

keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih

senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman utang,

karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan.

Disimpulkan bahwa timbulnya masalah-masalah keagenan terjadi karena

terdapat pihak-pihak yang memiliki perbedaan kepentingan namun saling bekerja

sama dalam pembagian tugas yang berbeda. Konflik keagenan dapat merugikan

pihak prinsipal (pemilik) karena pemilik tidak terlibat langsung dalam

pengelolaan perusahaan sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan

informasi yang memadai. Selain itu, manajemen selaku agen diberikan wewenang

untuk mengelola aktiva perusahaan sehingga mempunyai insentif melakukan

transfer pricing dengan tujuan untuk menurunkan pajak yang harus dibayar

(Yuniasih et al., 2012).

2.1.2 Teori Akuntansi Positif

Watts & Zimmerman, (1990) menyebutkan teori akuntansi positif dapat

menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi

perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan, dan

untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan

16
dalam kondisi tertentu. Teori akuntansi positif mengusulkan tiga hipotesis

manajemen laba, yaitu: hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis),

hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), hipotesis biaya politik

(the political cost hypotesis). Hipotesis tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Hipotesis Rencana Bonus (the bonus plan hypotesis)

Hipotesis ini menjelaskan bahwa para manajer perusahaan dengan rencana

bonus cenderung untuk memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang

dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Para manajer

menginginkan imbalan yang tinggi dalam setiap periode. Jika imbalan mereka

bergantung pada bonus yang dilaporkan pada pendapatan bersih, maka

kemungkinan mereka bisa meningkatkan bonus mereka pada periode tersebut

dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi mungkin. Salah satu cara untuk

melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan

laba yang dilaporkan pada periode tersebut. Tentu saja, sesuai dengan karakter

dari proses akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan penurunan pada laba dan

bonus-bonus yang dilaporkan pada masa yang akan datang, dengan faktor-faktor

lain tetap sama. Namun nilai masa kini (present value) dari kegunaan manajer dari

lini bonus masa depan yang dimilikinya akan meningkat dengan memberikan

perubahan menuju masa kini.

Diambil kesimpulkan bahwa manajer perusahaan dengan bonus tertentu

cenderung lebih menyukai metode yang meningkatkan laba periode berjalan.

Pilihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai sekarang bonus yang akan

17
diterima seandainya komite kompensasi dari dewan direktur tidak menyesuaikan

dengan metode yang dipilih.

2. Hipotesis Kontrak Hutang (the debt covenant hypotesis)

Hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat suatu

perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada

kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan

manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang

dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini. Alasannya adalah laba

yang dilaporkan yang makin meningkat akan menurunkan kelalaian teknis.

Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi kesepakatan bahwa pemberi pinjaman

harus bertemu selama masa perjanjian. Perusahaan yang mendapat pinjaman

boleh sepakat memelihara level tertentu dari hutang terhadap harta, laporan

bunga, modal kerja, dan harta pemilik saham. Jika kesepakatan semacam itu

dikhianati, perjanjian hutang tersebut bisa memberikan penalti seperti pembatasan

dividen atau tambahan pinjaman.

Prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi kegiatan perusahaan

dalam operasional perusahaan itu sendiri, sehingga untuk mencegah atau paling

tidak menunda pelanggaran semacam itu perusahaan bisa memilih kebijakan

akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa kini. Berdasarkan hipotesis

kesepakatan hutang ketika perusahaan mendekati kelalaian atau memang sudah

berada dalam lalai/cacat lebih cenderung untuk melakukan hal ini.

18
3. Hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis)

Hipotesis biaya politik menyatakan bahwa jika semua hal lain dalam

keadaan tetap dan semakin besarnya biaya politik yang mesti ditanggung oleh

perusahaan maka manajer cenderung lebih memilih prosedur akuntansi yang

menyerah pada laba yang dilaporkan dari masa sekarang menuju masa depan.

Hipotesis biaya politik memperkenalkan suatu dimensi politik pada pemilihan

kebijakan akuntansi. Perusahaan-perusahaan yang ukurannya sangat besar

mungkin dikenakan standar kinerja yang lebih tinggi, dengan penghargaan

terhadap tanggung jawab lingkungan, hanya karena mereka merasa bahwa mereka

besar dan berkuasa. Jika perusahaan besar juga memiliki kemampuan meraih

profit yang tinggi, maka biaya politik bisa diperbesar. Perusahaan-perusahaan

juga mungkin akan menghadapi biaya politik pada poin-poin waktu tertentu.

Persaingan luar negeri mungkin mengarah pada menurunnya profitabilitas kecuali

perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa mempengaruhi proses politik untuk

bisa melindungi impor secara keseluruhan. Salah satu cara untuk melakukan ini

adalah dengan mengadopsi kebijakan akuntansi income-decreasing (pendapatan

menurun) dalam rangka meyakinkan pemerintah bahwa profit sedang turun.

2.2 Kajian Variabel Penelitian

2.2.1 Transfer Pricing

Definisi transfer pricing menurut para ahli :

 Horngren & Charles T (2008) menyatakan transfer pricing adalah

penetapan harga dari satu subunit (departemen atau divisi) untuk biaya

19
produk atau layanan yang dipasok ke sub unit lain dari organisasi yang

sama.

 Gunadi menyatakan transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan

sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi

antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa

manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba

artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau

bea di suatu negara.

 Dirjen Pajak menyatakan transfer pricing adalah penetapan harga

transaksi penyerahan barang berwujud, barang tidak berwujud, atau

penyediaan jasa antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi

afiliasi).

Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 Tahun

2010, pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah bila satu pihak

mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain, atau mempunyai

pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan. Transaksi antara

pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah suatu pengalihan sumber

daya, atau kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,

tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan.

Terdapat beberapa metode dalam transfer pricing yaitu :

a. Segi ekonomi

Cox, Howe, & Boyd, (1997) menyatakan harga transfer harus menjadi

biaya marjinal divisi penjualan untuk memaksimalkan keseluruhan profit. Prinsip

20
dasar dari transfer pricing adalah memaksimalkan laba perusahaan, perusahaan

harus secara berkala menjual produk sampai dengan titik dimana tambahan biaya

karena adanya tambahan unit yang diproduksi dan dijual (marginal cost) lebih

rendah dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit

tersebut (marginal revenue), dalam hal penentuan harga untuk perusahaan yang

terintegrasi harga harus ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.

b. Segi manajemen

Robert dan Govindarajan mendefinisikan bahwa istilah transfer pricing

adalah nilai yang ditempatkan pada transfer barang dan jasa antara transaksi

dimana setidaknya satu dari dua pihak dapat menyelesaikan permasalahan laba.

Transfer pricing lebih ditujukan untuk mengukur kinerja divisi, laba perusahaan

secara keseluruhan, dan otonomi divisi menilai motivasi dan performa setiap

divisi/unit bersangkutan dalam hal mencapai tujuan usaha.

2.2.2 Beban Pajak

Definisi beban pajak menurut para ahli :

 UU Perpajakan (UU No. 36 Tahun 2008) menyatakan beban pajak adalah

Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang –undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat.

 Judisseno & Rimsky, (2005) mendefinisikan beban pajak sebagai suatu

kewajiban kenegaraan dan pengabdian serta peran aktif warga negara dan

anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara

21
berupa pembangunan nasional yang pelaksanaanya di atur dalam Undang

–Undang dan peraturan–peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan

negara.

 Rochmat Soemitro berpendapat bahwa pajak adalah iuran kepada kas

negara berdasarkan undang –undang (yang dipaksakan) dengan tidak

mendapat jasa timbal, yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan

untuk membayar pengeluaran umum (Agoes, Sukrisno, & Trisnawati,

2013).

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya

produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,

khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber

pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran

pembangunan. Menurut Nursheha & Trisni, (2014) pajak merupakan komponen

utama penerimaan negara, oleh karena itu pajak harus ditingkatkan sehingga

pembangunan nasional dapat terlaksana.

Pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1. Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara, menjalankan tugas-tugas rutin negara,

melaksanakan pembangunan. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak,

22
dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,

belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Sebagai pembiayaan

pembangunan uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni penerimaan

dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke

tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang

semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

2. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan

pajak. Pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan, contohnya dalam

rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri

diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak, dalam rangka melindungi

produksi dalam negeri pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk

produk luar negeri.

3. Fungsi stabilitas

Pajak dapat digunakan pemerintah untuk menjalankan kebijakan yang

berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini

bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,

pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

4. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai

semua kepentingan umum termasuk juga untuk membiayai pembangunan

sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat.

23
Pajak mempunyai kecenderungan dan karakteristik hubungan yang searah,

dimana ada satu pihak yang mempunyai kewajiban untuk membayar, namun

pihak yang satunya lagi (pemerintah) tidak mempunyai kewajiban apapun untuk

memberikan jasa timbal balik apapun kepada pembayar. Hal ini akan

menyebabkan kecenderungan para pembayar pajak (wajib pajak) untuk mencari

cara supaya dapat mengurangi beban pajak terutang yang akan dibayarkannya

kepada negara. Fenomena ini terjadi disebabkan karena sudut pandang pembayar

pajak merasa membayar pajak dapat mengurangi laba dan kenikmatan yang

diperolehnya dari hasil kerja kerasnya, sehingga dengan adaya hal ini

memunculkan ide untuk merencakanan pengurangan beban pajak yang harus

dibayarkan (Ardyaksa & Kiswanto, 2014). Oleh karena hal tersebut maka

pemerintah memerlukan suatu tindakan untuk mengantisipasinya mengingat

begitu pentingnya peranan pajak bagi negara.

Begitu banyaknya manfaat dari fungsi pajak untuk pembangunan negara,

maka jika terdapat kecurangan dalam pembayaran pajak yang dapat merugikan

negara secara otomatis akan mengurangi pendapatan negara pada sektor pajak.

Hal tersebut dapat berdampak pula terhadap pembangunan maupun kesejahteraan

negara.

2.2.3 Tunneling Incentive

Istilah "tunneling" pada awalnya digunakan untuk menggambarkan

"pengambilalihan pemegang saham minoritas di Republik Ceko seperti

pemindahan aset melalui sebuah terowongan bawah tanah (tunnel). Struktur

Kepemilikan mencerminkan jenis konflik keagenan yang terjadi. Ada 2 macam

24
struktur kepemilikan, yaitu struktur kemilikan tersebar dan struktur kepemilikan

terkonsentrasi (Mutamimah, 2008). Struktur kepemilikan tersebar mempunyai ciri

bahwa manajemen perusahaan dikontrol oleh manajer (Porta, Lopez-de-Silanes,

Shleifer, & Vishny, 2000). Manajer lebih mengutamakan kepentingannya

dibanding kepentingan pemegang saham.

Struktur kepemilikan ini, pemegang saham secara umum tidak bersedia

melakukan monitoring, karena mereka harus menanggung seluruh biaya

monitoring dan hanya menikmati keuntungan sesuai dengan proporsi kepemilikan

saham mereka. Jika semua pemegang saham berperilaku sama, maka tidak akan

terjadi pengawasan terhadap manajemen (Zhuang, Edwards, & Capulong, 2000).

Oleh karena itu konflik keagenan yang terjadi pada struktur kepemilikan tersebar

adalah konflik keagenan antara manajer dengan pemegang saham (Jensen &

Meckling, 1976).

Pemegang saham mayoritas pada struktur kepemilikan terkonsentrasi,

seperti Jepang, Eropa, dan sebagainya, dapat melakukan monitoring dan kontrol

terhadap manajemen perusahaan, sehingga berpengaruh positif pada kinerja

perusahaan. Namun, di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara

Asia lainnya, struktur kepemilikan terkonsentrasi yang secara umum didominasi

oleh keluarga pendiri, serta lemahnya perlindungan terhadap pemegang saham

minoritas menimbulkan konflik keagenan antara pemegang saham mayoritas

dengan pemegang saham minoritas (Liu & Lu, 2007). Konflik keagenan yang

utama di Indonesia adalah konflik keagenen antara pemegang saham mayoritas

dengan pemegang saham minoritas (Prowsen, 1998).

25
Munculnya masalah keagenan antara pemegang saham mayoritas dengan

pemegang saham minoritas ini disebabkan oleh beberapa hal berikut. Pertama,

pemegang saham mayoritas terlibat dalam manajemen sebagai direksi atau

komisaris yang kemungkinan besar melakukan ekspropriasi terhadap pemegang

saham minoritas (Mitton, 2002). Kedua, hak suara yang dimiliki pemegang saham

mayoritas melebihi hak atas aliran kasnya, karena adanya kepemilikan saham

dalam bentuk bersilang, piramida dan berkelas (Claessens et al., 2000). Bentuk

kepemilikan seperti ini akan mendorong pemegang saham mayoritas untuk

mengutamakan kepentingan mereka sendiri yang sangat berbeda dengan

kepentingan investor dan stakeholder lain. Ketiga, pemegang saham mayoritas

mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi manajemen dalam membuat

keputusan-keputusan yang hanya memaksimumkan kepentingannya dan

merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Keempat, lemahnya

perlindungan hak-hak pemegang saham minoritas, mendorong pemegang saham

mayoritas untuk melakukan tunneling yang merugikan pemegang saham minoritas

(Claessens et al., 2000). Contoh tunneling adalah tidak membagikan dividen,

menjual aset atau sekuritas dari perusahaan yang mereka kontrol ke perusahaan

lain yang mereka miliki dengan harga di bawah harga pasar, dan memilih anggota

keluarganya yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki posisi penting di

perusahaan (Porta et al., 2000).

Tunneling incentive muncul dalam dua bentuk, yaitu: yang pertama,

pemegang saham pengendali dapat memindahkan sumber daya dari perusahaan ke

dirinya sendiri melalui transaksi antara perusahaan dengan pemilik. Transaksi

26
tersebut dapat dilakukan dengan penjualan aset, kontrak harga transfer

kompensasi eksekutif yang berlebihan, pemberian pinjaman, dan lainnya. Bentuk

kedua adalah pemegang saham pengendali dapat meningkatkan bagiannya atas

perusahaan tanpa memindahkan aset melalui penerbitan saham dilutif atau

transaksi keuangan lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi pemegang saham

non-pengendali (Johnson, Porta, Lopez-De-Silanes, & Shleifer, 2000).

2.2.4 Mekanisme Bonus

Menurut Suryatiningsih, Neneng, & Siregar, (2009) skema bonus direksi

adalah komponen penghitungan besarnya jumlah bonus yang diberikan oleh

pemilik perusahaan atau para pemegang saham melalui RUPS kepada anggota

direksi yang dianggap mempunyai kinerja baik setipa tahun serta apabila

perusahaan memperoleh laba. Irpan, (2011) juga menyatakan bahwa skema bonus

direksi dapat diartikan sebagai pemberian imbalan diluar gaji kepada direksi

perusahaan atas hasil kerja yang dilakukan dengan melihat prestasi kerja direksi

itu sendiri. Prestasi kerja yang dilakukan dapat dinilai dan diukur berdasarkan

suatu penilaian yang telah ditentukan perusahaan secara objektif.

Mengingat bahwa mekanisme bonus berdasarkan pada besarnya laba yang

merupakan cara paling populer dalam memberikan penghargaan kepada

direksi/manajer, maka adalah logis bila direksi yang remunerasinya didasarkan

pada tingkat laba akan memanipulasi laba tersebut untuk memaksimalkan

peneriman bonus dan remunerasinya, jadi dapat disimpulkan bahwa mekanisme

bonus merupakan salah satu strategi atau motif perhitungan dalam akuntansi yang

tujuannya adalah untuk memberikan penghargaan kepada direksi atau manajemen

27
dengan melihat laba perusahaan secara keseluruhan. Sebagai akibat dari adanya

praktik transfer pricing maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kerugian

pada salah satu divisi atau subunit. Merujuk kepada pendapat Horngren & Charles

T, (2000), yang menyebutkan bahwa kompensasi bonus dilihat berdasarkan tim

bervariasi di berbagai divisi dalam satu organisasi. Sebagai tim perusahaan maka

harus bersedia untuk saling membantu, sehingga bonus direksi tidak didasarkan

pada laba subunit namun berdasarkan pada kebaikan dan laba perusahaan secara

keseluruhan.

Sistem pemberian kompensasi bonus, memberikan pengaruh terhadap

kinerja manajemen. Kane, et al. (2005) menggunakan mekanisme bonus dalam

teori keagenan, menjelaskan bahwa kepemilikan manajemen di bawah 5%

terdapat keinginan dari manajer untuk melakukan manajemen laba agar

mendapatkan bonus yang besar. Kepemilikan manajemen 25%, karena

manajemen mempunyai kepemilikan yang cukup besar dengan hak pengendalian

perusahaan, maka asimetris informasi menjadi berkurang. Jika manajemen

melakukan pengelolaan laba secara oportunis, maka informasi laba tersebut dapat

menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang salah bagi investor.

Sehingga perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi

pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan (Pujianingsih, 2011).

2.3 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menguji pengaruh

pajak, tunneling incentive, Mekanisme bonus, dan profitabilitas terhadap transfer

pricing dengan hasil yang berbeda-beda. Diantaranya ada penelitian Yuniasih et

al., (2012) yang menguji pengaruh pajak dan tunneling incentive terhadap transfer

pricing dengan sempel penelitian perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2008-2010. Analisis regresi digunakan untuk menguji

29
pengaruh pajak dan tunneling incentive terhadap transfer pricing. Hasil dari

penelitian tersebut membuktikan bahwa pajak dan tunneling incentive

berpengaruh positif terhadap transfer pricing.

Selanjutnya ada penelitian Aviandika, (2014) yang bertujuan untuk

menguji variabel pajak, bonus plan, tunneling incemtive, dan debt covenant

terhadap transfer pricing. Menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2013 dengan analisis regresi

logistik. Penelitian tersebut menyatakan bahwa variabel pajak, tunneling

incentive, dan debt covenant berpengaruh signifikan positif terhadap transfer

29
pricing, sedangkan variabel bonus plan tidak berpengaruh signifikan terhadap

transfer pricing.

Penelitian Zeliria, (2015) yang meneliti tentang pengaruh variabel

profitabilitas, leverage, multinasionality, dan tax heaven terhadap transfer pricing

pada seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2013

dengan analisis regresi logistik. Menampilkan hasil bahwa variabel independen

yaitu profitabilitas dan leverage berpengaruh terhadap transfer pricing dalam RPT

Pembelian dan RPT Penjualan, sedangkan untuk variabel multinationality

berpengaruh terhadap transfer pricing dalam RPT Pembelian dan multinationality

tidak berpengaruh terhadap transfer pricing dalam RPT Penjualan. Adapun

variabel tax haven tidak berpengaruh terhadap transfer pricing dalam RPT

Pembelian dan RPT Penjualan.

Selain itu ada penelitian Saraswati & Sujana, (2017) yang menguji

pengaruh pajak, tunneling incentive, dan mekanisme bonus terhadap transfer

pricing yang menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia tahun 2012-2015 sebagai sempel. Analisis regresi logistik digunakan di

penelitian tersebut yang memberi hasil bahwa variabel pajak dan tunneling

incentive berpengaruh positif terhadap indikasi melakukan transfer pricing

sedangkan mekanisme bonus tidak.

Mispiyanti, (2015) melakukan pengujian terhadap pengaruh pajak,

tunneling incentive, dan mekanisme bonus terhadap transfer pricing dengan

sempel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun

2010-2013. Dianalisis menggunakan analisis regresi logistik yang menunjukkan

30
hasil berbeda pada penelitian sebelumnya yaitu variabel pajak yang tidak

berpengaruh signifikan terhadap transfer pricing, sedangkan variabel tunneling

berpengaruh signifikan dan mekanisme bonus tidak berpengaruh signifikan

terhadap transfer pricing.

Dari berbagai uraian penelitian terdahulu diatas, dapat diringkas dalam

tabel penelitian terdahulu sebagai berikut:

Tabel 2.3
Kajian Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Variabel Metode Hasil


Analisis Penelitian
1 Yuniasih dkk Pengaruh X= Regresi pajak dan
(2012) Pajak dan 1. Pajak Logistik tunneling
Tunneling 2. Tunneling incentive
incentive Incentive berpengaruh
Terhadap Y=
positif terhadap
Keputusan 1.Transfer
Perusahaan Pricing
transfer pricing.
Untuk
Melakukan
Transfer
Pricing
(Perusahaan
manufaktur
yang terdaftar
di BEI 2008-
2010)

2 Aviandika Pengeruh X= Regresi pajak, tunneling


(2014) Pajak, Bonus 1. Pajak Logistik incentive, dan
Plan, 2. Bonus Plan debt covenant
Tunneling 3. Tunneling berpengaruh
Incentive, Debt Incentive signifikan positif
Covenant 4. Debt Covenant terhadap transfer
Terhadap Y= pricing,
Keputusan 1. Transfer sedangkan
Perusahaan Pricing variabel bonus
Untuk plan tidak
Melakukan berpengaruh
Transfer signifikan

31
Pricing terhadap transfer
(Perusahaan pricing.
Manufaktur
yang terdaftar
di BEI Tahun
2011-2013)
3 Zeliria Pengaruh X= Regresi variabel
(2015) Karakteristik 1. Profitabilitas Logistik independen yaitu
Keuangan dan 2. Leverage profitabilitas dan
Non Keuangan 3. leverage
Terhadap Multinasionality berpengaruh
Transfer 4. Tax Heaven terhadap transfer
Pricing di Y= pricing dalam
Indonesia 1. Transfer RPT Pembelian
Pricing dan RPT
Penjualan,
sedangkan untuk
variabel
multinationality
berpengaruh
terhadap transfer
pricing dalam
RPT Pembelian
dan
multinationality
tidak
berpengaruh
terhadap transfer
pricing dalam
RPT Penjualan.
Adapun variabel
tax haven tidak
berpengaruh
terhadap transfer
pricing dalam
RPT Pembelian
dan RPT
Penjualan.
4 Gusti dan Pengaruh X= Regresi pajak dan
Ketut (2017) Pajak, 1. Pajak Logistik tunneling
Mekanisme 2. Tunneling incentive
Bonus, dan Incentive berpengaruh
Tunneling 3. Mekanisme positif terhadap
Incentive Pada Bonus indikasi
Indikasi Y= melakukan
Melakukan 1.Transfer transfer pricing
Transfer Pricing sedangkan
Pricing mekanisme
bonus tidak.

32
5 Mispiyanti Pengaruh X= Regresi pajak yang tidak
(2015) Pajak, 1. Pajak Logistik berpengaruh
Tunneling 2. Tunneling signifikan
Incentive, dan Incentive terhadap transfer
Mekanisme 3. Mekanisme pricing,
Bonus Bonus sedangkan
Terhadap Y= variabel
Keputusan 1.Transfer tunneling
Transfer Pricing berpengaruh
Pricing signifikan dan
mekanisme
bonus tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap transfer
pricing.

6 Laksmita Pengaruh X= Regresi Beban pajak


Rachmah Pajak, 1. Beban Pajak Logistik berpengaruh
Deanti Intangible 2. Intangible positif,
(2017) Assets, asset leverage dan
Leverage, 3. Leverage profitabilitas
Profitabilitas,
4.Profitabilitas berpengaruh
dan Tunelling
Incentive 5. Tunneling negatif,
Terhadap Incentive sedangkan
Keputusan Y= intangible asset
Transfer 1. Transfer dan tunneling
Pricing Pricing incentive tidak
Perusahaan. berpengaruh.
7 Novi Pengaruh X= Regresi Beban pajak
Lailiyul Beban pajak, 1. Beban Pajak Logistik dan tunneling
Wafiroh, Tunneling 2. Tunneling incentive
Niken Incentive, dan Incentive berpengaruh
Mekanisme 3. Mekanisme
Nindya positif terhadap
Bonus
Hapsari Bonus transfer pricing,
Terhadap
(2015) Transfer Y= sedangkan
Pricing 1. Transfer mekanisme
Pricing bonus tidak
berpengaruh.
8 Grant Determinants X= Regresi profitabilitas,
Richardson, of 1. Profitabilitas Logistik leverage,aset
Grantley transfer pricing 2. Leverage tidak berwujud,
Taylor, dan aggressiveness: 3. Asset Tidak dan
Empirical Berwujud
Roman Lanis multinationality
evidence
(2013) 4. berhubungan
from
Australian Multinationality positif terhadap
firms. Y= agresivitas

33
1. Transfer transfer pricing.
Pricing
9 Kenneth Transfer X= Regresi Beban pajak
Klassen,Petro Pricing: 1. Beban Pajak Logistik berpengaruh
Lisowsky, Strategies, Y= positif
dan Devan Practices, and 1. Transfer signifikan
Tax Pricing
Mescall terhadap
Minimization.
(2013) transfer pricing.

10 Karina Maria Corporate X= Regresi Beban pajak


Kasztelnik Transfer 1. Beban Pajak Logistik berpengaruh
(2012) Pricing in Y= positif
Selected 1. Transfer signifikan
Multinational Pricing terhadap
Companies
Headquartered
transfer pricing.
in
the United
Stated

2.4 Kerangka Berpikir

2.4.1 Pengaruh Beban Pajak Terhadap Transfer Pricing

Suatu perusahaan tentunya wajar jika menginginkan laba yang tinggi. Hal

tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah penekanan

beban-beban perusahaan. Pajak merupakan salah satu beban perusahaan yang

berdampak pada pengurangan laba perusahaan oleh sebab itu maka perusahaan

berusaha sebisa mungkin meminimalkan beban pajak tersebut untuk mendapatkan

laba yang optimal. Beban pajak perusahaan yang tinggi akan mendorong

perusahaan untuk mengefisiensi pembayaran pajaknya (Zatun & Kiswanto, 2015).

Pengefisiensian pembayaran pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik

legal maupun ilegal. Menurut Lestari & Kusmuriyanto, (2015) perlawanan pajak

dibedakan menjadi perlawanan pasif dan aktif, perlawanan pajak aktif dibedakan

menjadi tax avoidance dan tax evasion.

34
Perusahaan multinasional melakukan perencanaan pajak untuk menekan

beban pajak juga dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perencanaan pajak yang

sering digunakan oleh perusahaan multinasional diantaranya, transfer pricing, thin

capitalization, capital repatritaion, foriegn exchange control, international

double taxation and foreign tax credit, tax treaty protection/facilities,

establishment of representative, branch or subsidiary (Santoso dalam Karisma,

2014:42).

Suatu perusahaan yang melakukan bisnis multinasional, dalam hal ini

ekspor dan impor akan menghadapi berbagai jenis pajak. Perbedaan beban pajak

dalam bisnis multinasional sudah biasa terjadi, sehingga negara-negara dengan

perusahaannya yang kurang maju sering mengenakan tarif pajak yang lebih

rendah, sedangkan negara-negara dengan perusahaannya yang maju justru

mengenakan tarif pajak yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan-perusahaan maju akan berpikir

bagaimana caranya untuk menekan pajak mereka karena pajak merupakan

pengurang laba. Apabila pajak dapat ditekan, maka dapat mengurangi cost

perusahaan. Salah satu cara yang digunakan untuk menekan pajak adalah transfer

pricing. Melalui transfer pricing ini perusahaan multinasional yang bersangkutan

dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota atau anak perusahaannya

di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country)

ke anggota atau anak perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif

pajak yang lebih rendah (low tax country). Apabila dalam suatu perusahaan

terdapat pajak yang tinggi, maka tingkat kegiatan transfer pricing perusahaan

35
tersebut ke anggota atau anak perusahaannya yang menerapkan tarif pajak lebih

rendah akan meningkat dan sebaliknya.

Perusahaan seharusnya mengunakan prinsip harga wajar untuk

mengurangi kewajiban pajak, tetapi perusahaan lebih banyak menggunakan

transfer pricing. Klassen, Lang, & Wolfson, (1993) menemukan bahwa terjadi

pergeseran pendapatan oleh perusahaan multinasional sebagai respon terhadap

tingkat perubahan pajak di Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat. Perusahaan

multinasional menggeser pendapatan dari Kanada ke AS, sedangkan penurunan

tarif pajak di Eropa menggeser pendapatan dari AS ke Eropa. Jacob, (1996)

menemukan bahwa transfer antar perusahaan besar dapat mengakibatkan

pembayaran pajak lebih rendah secara global pada umumnya. Penelitian tersebut

menemukan bahwa perusahaan multinasional memperoleh keuntungan karena

pergeseran pendapatan dari negara-negara dengan pajak tinggi ke negara dengan

pajak rendah. Namun, mitigasi pajak juga ada peluang untuk penjualan domestik

antara perusahaan terkait karena perbedaan tingkat pajak. Swenson, (2001)

menemukan bahwa tarif dan pajak berpengaruh pada insentif untuk melakukan

transaksi transfer pricing. Bernard, Jensen, & Schott, (2006) menemukan bahwa

harga transaksi pihak terkait dan arm’s-length berhubungan dengan tingkat pajak

dan tarif impor negara tujuan.

Gusnardi, (2009), menyebutkan bahwa perusahaan multinasional

melakukan transfer pricing adalah untuk meminimalkan kewajiban pajak gobal

perusahaan mereka. Kemudian menurut (Hartati & Desmiyawati, 2014) motivasi

pajak dalam transfer pricing pada perusahaan multinasional tersebut dilaksanakan

36
dengan cara sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban

pajak rendah atau minimal dimana di negara tersebut perusahaan memiliki grup

perusahaan atau divisi perusahaan yang beroperasi. Yuniasih et al., (2012)

mengungkapkan bahwa pajak berpengaruh positif pada keputusan perusahaan

untuk melakukan transfer pricing. Beban pajak yang semakin besar memicu

perusahaan untuk melakukan transfer pricing dengan harapan dapat menekan

beban tersebut. Karena dalam praktik bisnis, umumnya pengusaha

mengidentikkan pembayaran pajak sebagai beban sehingga akan senantiasa

berusaha untuk meminimalkan beban tersebut guna mengoptimalkan laba.

Berdasarkan rumusan di atas maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1: Beban pajak berpengaruh positif terhadap transfer pricing.

2.4.2 Pengaruh Tunneling Incentive Terhadap Transfer Pricing

Struktur Kepemilikan mencerminkan jenis konflik keagenan yang terjadi.

Ada 2 macam struktur kepemilikan, yaitu struktur kemilikan tersebar dan struktur

kepemilikan terkonsentrasi (Mutamimah, 2008). Struktur kepemilikan tersebar

mempunyai ciri bahwa manajemen perusahaan dikontrol oleh manajer (Porta et

al., 2000). Manajer lebih mengutamakan kepentingannya dibanding kepentingan

pemegang saham oleh karena itu tidak semua perusahaan membagikan deviden

secara konsisten atau bahkan ada yang tidak membagikan deviden tunai (Candra

& Fachrurrozie, 2016). Struktur kepemilikan ini, pemegang saham secara umum

tidak bersedia melakukan monitoring, karena mereka harus menanggung seluruh

biaya monitoring dan hanya menikmati keuntungan sesuai dengan proporsi

kepemilikan saham mereka. Jika semua pemegang saham berperilaku sama, maka

37
tidak akan terjadi pengawasan terhadap manajemen (Zhuang et al., 2000). Konflik

keagenan yang terjadi pada struktur kepemilikan tersebar adalah konflik keagenan

antara manajer dengan pemegang saham (Jensen & Meckling, 1976).

Pemegang saham mayoritas pada struktur kepemilikan terkonsentrasi,

seperti Jepang, Eropa, dan sebagainya, dapat melakukan monitoring dan kontrol

terhadap manajemen perusahaan, sehingga berpengaruh positif pada kinerja

perusahaan (Zhuang et al., 2000). Namun, di negara-negara berkembang seperti

Indonesia dan negara Asia lainnya, struktur kepemilikan terkonsentrasi yang

secara umum didominasi oleh keluarga pendiri, serta lemahnya perlindungan

terhadap pemegang saham minoritas menimbulkan konflik keagenan antara

pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas (Liu & Lu, 2007).

Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Prowsen, (1998) bahwa konflik keagenan

yang utama di Indonesia adalah konflik keagenen antara pemegang saham

mayoritas dengan pemegang saham minoritas.

Tunneling merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham

mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka

sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Zhang,

2004 dalam Mutamimah, 2008). Contoh tunneling incentive adalah tidak

membagikan deviden, menjual aset atau sekuritas dari perusahaan yang mereka

kontrol ke perusahaan lain yang mereka miliki dengan harga di bawah harga

pasar, dan memilih anggota keluarganya yang tidak memenuhi kualifikasi untuk

menduduki posisi penting di perusahaan (Porta et al., 2000). Sansing, (1999)

menunjukkan bahwa pemegang saham mayoritas dapat mentransfer kekayaan

38
untuk dirinya sendiri dengan mengorbankan hak para pemilik minoritas, dan

terjadi penurunan pengalihan kekayaan ketika persentase kepemilikan pemegang

saham mayoritas menurun. Mutamimah, (2008) menemukan bahwa terjadi

tunneling oleh pemilik mayoritas terhadap pemilik minoritas melalui strategi

merger dan akuisisi. Lo et al., (2010) menemukan bahwa konsentrasi kepemilikan

oleh pemerintah berpengaruh pada keputusan transfer pricing. Aharony et al.,

(2010) menemukan bahwa tunneling incentive setelah initial public offering (IPO)

berhubungan dengan penjualan hubungan istimewa sebelum IPO.

Berdasarkan rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk

mendapatkan laba yang tinggi pemilik saham mayoritas akan melakukan berbagai

cara. Salah satunya adalah dengan mengalihkan asetnya sementara ke anggota

atau anak perusahaan dengan transfer pricing agar dapat menekan beban-beban

yang nantinya dapat mengurangi laba perusahaan. Apabila kegiatan tunneling

semakin banyak dilakukan, maka kegiatan pengalihan dengan transfer pricing

juga akan meningkat dan sebaliknya. Berdasarkan rumusan di atas maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H2: Tunneling incentive berpengaruh positif terhadap transfer pricing.

2.4.3 Pengaruh Mekanisme bonus Terhadap Transfer Pricing

Memberikan motivasi untuk manajemen dalam menjalankan kegiatan

operasional perusahaan, pemilik perusahaan biasanya memberikan janji sebuah

bonus jika manajemen dapat menjalankan perusahaan dengan baik. Tolak ukur

manajemen dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan dengan baik bisa

didasarkan pada berbagai hal, salah satunya adalah laba perusahaan. Jadi

39
menejemen dikatakan berhasil dalam menjalankan usahanya dengan baik jika laba

perusahaan tinggi.

Mengingat bahwa mekanisme bonus berdasarkan pada besarnya laba

merupakan cara paling populer dalam memberikan penghargaan kepada direksi

atau manajer, maka adalah logis bila direksi yang remunerasinya didasarkan pada

tingkat laba akan memanipulasi laba tersebut untuk memaksimalkan peneriman

bonus dan remunerasinya. Sebagaimana pendapat Scott, (2006), motivasi bonus

dapat mendorong manajer untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat

menggeser laba dari periode yang akan datang ke periode saat ini. Hal ini

didukung oleh Winda Hartati & Desmiyawati, (2014) mekanisme bonus

merupakan salah satu strategi atau motif perhitungan dalam akuntansi yang

tujuannya adalah untuk memaksimalkan penerimaan kompensasi oleh direksi atau

manajemen dengan cara meningkatkan laba perusahaan secara keseluruhan.

Namun, sebagai akibat dari adanya praktik transfer pricing, maka tidak menutup

kemungkinan akan terjaadi kerugian pada salah satu divisi atau subunit. Oleh

karena itu, manajemen dapat memanfaatkan transfer pricing sebagai mekanisme

pengalihan keuntungan antar perusahaan guna meningkatkan bonus manajemen

(Chan & Lo, 2005). Jadi,dapat disimpulkan bahwa mekanisme bonus merupakan

salah satu strategi atau motif perhitungan dalam akuntansi yang tujuannya adalah

untuk memberikan penghargaan kepada direksi atau manajemen dengan melihat

laba perusahaan secara keseluruhan.

Direksi dalam menjalankan tugasnya cenderung ingin menunjukkan

kinerja yang baik kepada pemilik perusahaan guna memperoleh penghargaan.

40
Penghargaan itu dapat berupa bonus yang diberikan berdasarkan kinerja para

direksi dalam mengelola perusahaan. Jadi pemilik tidakhanya memberikan bonus

kepada direksi yang berhasil menghasilkan laba untuk divisi atau subunitnya,

namun juga kepada direksi yang bersedia bekerjasama demi kebaikan dan

keuntungan perusahaan secara keseluruhan. Hal ini didukung oleh pendapat

Horngren, Srikant, & Foster, (2008) yang menyatakan bahwa bonus direksi dilihat

dari kinerja berbagai divisi atau tim dalam satu organisasi. Semakin besar laba

perusahaan secara keseluruhan yang dihasilkan, maka semakin baik citra para

direksi dimata pemilik perusahaan.

Selanjutnya, praktik akuntansi yang berlangsung akan berfokus pada

angka-angka akuntansi yang akan diciptakan supaya kinerjanya baik, sehingga

akuntabilitas dari angka akuntansi yang dibentuk dikesampingkan, maka praktik

transfer pricing yang ilegal dalam akuntansi menjadi hal yang wajar. Bonus yang

ada dalam suatu perusahaan akan menciptakan insentif bagi manajemen untuk

meningkatkan present value dari penerimaan bonus mereka (Watts &

Zimmerman, 1990). Hal ini mengakibatkan manajer akan lebih menyukai metode

akuntansi yang meningkatkan laba periode berjalan. Sejalan dengan itu, Scott

(2006) menyatakan bahwa motivasi bonus dapat mendorong manajer untuk

memilih prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode yang akan

datang ke periode saat ini. Hal ini juga didukung oleh Healy, (1985) yang

menemukan bahwa manajer perusahaan dengan mekanisme bonus berbasis laba

bersih secara sistematis mengadopsi kebijakan akrual untuk memaksimalkan

ekpektasi mereka.

41
Lo et al., (2010), yang menemukan bahwa terdapat kecenderungan

manajemen memanfaatkan transaksi transfer pricing untuk memaksimalkan

bonus yang mereka terima jika bonus tersebut didasarkan pada laba. Chan &

Chow (1997) dan Chan & Lo (2005) juga menyatakan bahwa manajemen dapat

memanfaatkan transfer pricing sebagai mekanisme pengalihan keuntungan antar

perusahaan guna meningkatkan bonus manajemen dari satu perusahaan ke

perusahaan lainnya yang masih satu kepemilikan.

Selain itu, Hartati et al. (2014) dalam penelitiannya juga menyatakan

bahwa pemilik perusahaan akan melihat laba perusahaan yang dihasilkan secara

keseluruhan sebagai penilaian untuk kinerja para direksinya sehingga para

direksiakan berusaha semaksimal mungkin agar laba perusahaan secara

keseluruhan mengalami peningkatan termasuk dengan cara melakukan praktik

transfer pricing. Berdasarkan rumusan di atas maka hipotesis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

H3: Mekanisme Bonus berpengaruh positif terhadap transfer pricing.

43
Dari analisis penelitian-penelitian tersebut maka dapan disusun hipotesis

sebagai berikut :

H4: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap trasfer pricing.

Variabel Independen Variabel Dependen

Beban Pajak (X1)


H1

H2
Tunneling Intencive (X2) Transfer Pricing (Y)

Mekanisme Bonus (X3) H3

H4

Gambar 2.4.4
Kerangka Berpikir

43
2.4.5Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang

telah dibahas di atas maka dapat disimpulkan hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1 : Beban Pajak berpengaruh positif terhadap keputusan transfer pricing

perusahaan.

H2 : Tunneling incentive berpengaruh positif terhadap

keputusan transfer pricing perusahaan.

H3 : Mekanisme bonus berpengaruh positif terhadap

keputusan transfer pricing perusahaan.

H4 : Beban Pajak, Tunneling Intencive, dan Mekanisme Bonus

berpengaruh positif

terhadap keputusan transfer pricing perusahaan.

43
BAB III METODE
PENELITIAN

3.1. Strategi Penelitian

Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


uji hipotesis kausalitas. Penelitian kausal adalah penelitian yang dilakukan untuk
menentukan hubungan sebab akibat (Sugiyono, 2017). Penelitian ini yang
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh hubungan antara variabel
independen terhadap variabel dependen baik secara individu (parsial). Dalam
penelitian ini akan dikaji hubungan antara variabel independent yaitu pajak,
tunneling incentive, mekanisme bonus dan ukuran perusahaan dengan variabel
dependen yaitu transfer pricing.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif, yaitu metode penelitian yang menekankan pada pengujian
teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka-angka
dan melakukan analisa data dengan prosedur statistic. Karena penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dimana data yang digunakan merupakan data
sekunder. Data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak langsung
melainkan didapatkan melalui media perantara yang dipublikasikan. Data
sekunder pada penelitian ini berasal dari laporan keuangan tahunan pada
perusahaan Consumer Goods Industry yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia
(BEI) periode tahun 2015-2019.

3.2. Populasi dan Sampel


3.2.1. Populasi Penelitian
1. Menurut Sugiyono (2017) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan Consumer
Goods Industry yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia tahun 2015-2019.
1. Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan tahunan
secara konsisten mulai tahun 2015-2019.
2. Perusahaan yang dikendalikan oleh perusahaan asing dengan persentase
kepemilikian 20% atau lebih. Hal ini sesuai dengan PSAK No. 15 yang

43
menyatakan bahwa pemegang saham pengendali adalah pemegang saham
yang bersifat ekuitas sebesar 20% atau lebih.
3. Perusahaan yang tidak mengalami kerugian selama periode pengamatan
tahun 2015-2019. Hal ini dikarenakan perusahaan yang mengalami
kerugian tidak memiliki kewajiban perpajakan di tingkat perusahaan
sehingga motivasi pajak tidak relevan.

43
Tabel 3.1

Prosedur Pemilihan

Sampel

No Kriteria Jumlah

1 Perusahaan consumer goods industry yang terdaftar di BEI 52


tahun 2015-2019

2 (-) Perusahaan yang tidak mempublikasikan laporan (13)


keuangan tahunan secara konsisten mulai tahun 2015-2019

3 (-) Perusahaan yang tidak memiliki persentase kepemilikan (14)


asing minimal 20%

4 (-) Perusahaan yang mengalami kerugian selama (12)


periode pengamatan tahun 2015-2019

Jumlah sampel (13 perusahaan selama 5 tahun) 65

Berdasarkan kriteria penentuan sampel, dari populasi sebanyak 52


perusahaan terdapat 13 perusahaan consumer goods industry yang memenuhi
kriteria sampel. Berikut daftar perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian
ini :

Tabel 3.2

Daftar Sampel Penelitian

No Nama Perusahaan Kode

1 Akasha Wira International Tbk ADES

2 Wilmar Cahaya Indonesia Tbk CEKA

3 Delta Djakarta Tbk DLTA

4 Indofood CBP Sukses Makmur Tbk ICBP

43
5 Indofood Sukses Makmur Tbk INDF

6 Multi Bintang Indonesia Tbk MLBI

7 Nippon Indosari Corpindo Tbk ROTI

8 Sekar Laut Tbk SKLT

9 Wismilak Inti Makmur Tbk WIIM

10 Darya-Varia Laboratoria Tbk DVLA

11 Merck Tbk MERK

12 Mandom Indonesia Tbk TCID

13 Unilever Indonesia Tbk UNVR

Data diolah: 2021

3.2. Data dan Metode Pengumpulan Data


Sesuai dengan jenis data yang diperlukan yaitu data sekunder, berikut
dijelaskan mengenai teknik pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini:
1. Studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan cara mengambil data dan
sumber informasi dari bacaan yang berupa literatur, buku dan jurnal yang
sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Setiap penelitian memerlukan
bahan yang bersumber dari perpustakaan, bahan ini meliputi buku-buku,
majalah-majalah, pamflet. Tujuan dalam metode ini adalah untuk
memperoleh kajian pustaka yang akan mendukung dalam penyusunan
penelitian ini.
2. Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data-data sekunder yang berasal
dari sumber yang sudah ada, yaitu mengumpulkan data dengan cara
mencatat dokumen yang berhubungan dengan penelitian. dalam penelitian
ini data atau informasi diperoleh dari website IDX dan website resmi
masing-masing perusahaan berupa laporan keuangan tahunan perusahaan

43
tahun 2015-2019. Tujuan dari metode ini adalah untuk memperoleh data-
data yang lebih tepat yang nantinya akan digunakan dalam penelitian.

3.3. Operasionalisasi Variabel


Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yang terdiri dari variabel
independen dan variabel dependen, yang meliputi :

3.3.1. Variabel Dependen atau Variabel Terikat (Y)


Variabel dependen transfer pricing merupakan suatu kebijakan
perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi baik itu barang,
jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi financial yang dilakukan oleh
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau biasa disebut dengan
perusahaan afiliasi.

3.3.2. Variabel Independen atau Variabel Bebas (X)


Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pajak (X1)
Pajak adalah pemberian wajib kepada negara oleh individu atau badan
yang bersifat mengikat berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mengharapkan balasan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi kemakmuran rakyat.

2. Tunneling Incentive (X2)


Tunneling incentive merupakan tindakan memindahkan harta atau aset
dan keuntungan perusahaan oleh manajemen atau pemegang saham mayoritas
dan membebankan biaya kepada pemegang saham minoritas. Variabel
tunneling incentive pada penelitian ini didasarkan pada besarnya kepemilikan
saham asing sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih. Entitas dianggap
berpengaruh signifikan baik secara langsung ataupun tak langsung terhadap
entitas lainnya apabila menyertakan modal 20% atau lebih berdasarkan

43
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 15 (Saraswati & Sujana,
2017).

3. Mekanisme Bonus (X3)


Mekanisme bonus merupakan komponen penghitungan besarnya
jumlah bonus yang diberikan oleh pemilik perusahaan atau para pemegang
saham melalui RUPS kepada anggota direksi setiap tahun apabila
memperoleh laba (Purwanto & Tumewu, 2018).

4. Ukuran Perusahaan (X4)


Ukuran suatu perusahaan dapat diketahui dari total aset perusahaan.
Semakin besar jumlah aset perusahaan maka semakin besar pula ukuran
perusahaan tersebut. Ukuran perusahaan akan sangat penting bagi investor
karena akan berhubungan dengan investasi yang dilakukan. Perusahaan yang
memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah
mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan
sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu
yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif
lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan
dengan total aset yang kecil.

43
3.3.3. Daftar Tabel Indikator

Tabel 3.4
Tabel Indikator
No. Variabel Indikator Rumus Skala
1 = adanya transaksi penjualan
dengan pihak yang mempunyai
Dependen: hubungan istimewa;
1 TP Nominal
Transfer Pricing 0 = tidak adanya transaksi
penjualan dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa

Independen: Beban Pajak Penghasilan


2 ETR Rasio
Pajak Laba Sebelum Pajak

Independen:
Jumlah kepemilikan saham terbesar
3 Tunneling TNC Rasio
Jumlah saham yang beredar
Incentive
Independen:
Laba bersih tahun t
4 Mekanisme ITRENDLB Rasio
Laba bersih tahun t − 1
Bonus
Independen:
5 Ukuran SIZE Log (Total Aset) Rasio
Perusahaan

3.4. Metode Analisis Data


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif maka metode yang
digunakan dalam menganalisis data adalah metode statistik. Alat analisis statistik
deskriptif yang digunakan adalah nilai rata – rata (mean), maksimal (maximum),
minimal (minimum), dan standar deviasi (standard deviation) untuk mengetahui
distribusi data yang menjadi sampel penelitian yang telah dikumpulkan, sehingga
dapat menjawab dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan, dalam hal untuk
menganalisis pengujian hipotesisnya menggunakan model analisis regresi linier

43
data panel berganda atau lebih umum disebut dengan analisis regresi data panel.
Menurut Ghozali (2018), regresi data panel merupakan teknik regresi yang
menggabungkan data runtun waktu (time series) dengan data silang (cross
section), oleh karena itu, data panel memiliki gabungan karakteristik yaitu data
yang terdiri atas beberapa obyek dan meliputi beberapa waktu. Dengan
menggabungkan data time series dan cross section maka dapat memberikan data
yang lebih informatif, lebih bervariasi, tingkat kolinearitas antar variabel yang
rendah, lebih besar degree of freedom dan lebih efisien. Analisis dilakukan
dengan mengelola data menggunakan software Econometric Views (EViews) versi
10.0. Dalam analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua
variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen (Ghozali, 2018). Analisis regresi data panel dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh pajak, tunneling incentive,
mekanisme bonus dan ukuran perusahaan terhadap keputusan transfer pricing
pada perusahaan consumer goods industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
tahun 2015-2019.

3.4.1. Uji Statistik Deskriptif


Statistik deskriptif menggunakan metode numerik dan grafis untuk
mengenali pola sejumlah data, merangkum informasi yang terdapat dalam
data tersebut, dan menyajikan informasi tersebut dalam bentuk yang
diinginkan. Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu
data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum,
minimum. Artinya apakah suatu variabel independen bukan merupakan
penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatifnya
(HA) parameter suatu variabel tidak sama dengan nol, atau: (Ghozali, 2018).
HA : bi ≠ 0

3.5.2 Uji Asumsi Klasik


Sedangkan uji yang kedua ialah alat analisis uji kualitas data
dengan menggunakan uji asumsi klasik, karena data dalam pengujian ini
adalah jenis data sekunder. Alat analisis uji kualitas data dengan
menggunakan uji asumsi

43
klasik alat analisis uji kualitas data dengan menggunakan uji asumsi klasik.
Dalam menguji hipotesis menggunakan model analisis regresi linear data
panel berganda atau biasa disebut dengan analisis regresi data panel. Hasil
dari regresi berganda akan dapat digunakan sebagai alat prediksi yang lebih
baik dan tidak bias bila memenuhi beberapa asumsi yang disebut sebagai
asumsi klasik. Agar mendapatkan regresi yang baik harus memenuhi asumsi-
asumsi yang diisyaratkan untuk memenuhi asumsi normalitas dan bebas dari
multikolinearitas, heterokedastisitas serta autokolerasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel independen dan bebas semuanya memiliki distribusi normal atau
tidak (Ghozali, 2018). Salah satu cara untuk melihat normalitas residual
adalah dengan menggunakan metode jarque-bera (JB). Jarque-bera merupaka
uji statistik untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal. Untuk
mengambil keputusan data berdistribusi normal atau tidak dapat digunakan
cara sebagai berikut:
a. Jika nilai Jarque-bera (J-B) ≤ X2 tabel dan probability ≥ 0,05
(lebih besar dari 5%), maka dapat dikatakan bahwa data
terdistribusi normal.
b. Jika nilai Jarque-bera (J-B) ≥ X2 tabel dan probability ≤ 0,05
(lebih kecil dari 5%) maka dapat dikatakan bahwa data tidak
terdistribusi normal.

2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk apakah model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik
adalah model regresi yang variabel-variabel bebasnya tidak memliki korelasi
antara variabel independen atau bebas dari multikolinearitas. Dasar
pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
a. Jika nilai korelasi > 0,80 maka H0 ditolak, sehingga ada masalah
multikolinieritas.

43
b. Jika nilai korelasi < 0,80 maka H 0 diterima, sehingga ada tidak ada
masalah multikolieritas.

3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam regresi
terjadi ketidaksamaan varian nilai residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain (Ghozali, 2018). Dalam penelitian ini, untuk mengetahui ada atau
tidaknya heterokedastisitas digunakan uji Glejser, yang syaratnya apabila
probabilitas signifikansi di atas 5% atau 0,05 maka tidak terjadi
heterokedastisitas (Ghozali, 2018). Sehingga dasar pengambilan
keputusannya adalah sebagai berikut:
a. Jika nilai dari p-value ≥ 0,05 maka H0 diterima, yang artinya tidak
terdapat masalah heterokedastisitas.
b. Jika nilai p-value ≤ 0,05 maka H0 ditolak, yang artinya terdapat
masalah heterokedastisitas.

4. Uji Autokolerasi
Uji autokolerasi merupakan kolerasi yang terjadi antara residual pada
satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Autokorelasi
dapat diketahui melalui Uji Breunch-Godfrey adalah pengujian yang
digunakan untuk menguji ada atau tidak adanya korelasi serial dalam model
regresi atau untuk mengetahui apakah di dalam model yang digunakan
terdapat autokorelasi diantara variabel-variabel yang diamati. Jika nilai prob <
0,05 maka terjadi gejala autokorelasi sedangkan jika nilai prob > 0,05 maka
tidak terjadi gejala autokorelasi adalah pengujian yang digunakan untuk
menguji ada atau tidak adanya korelasi serial dalam model regresi atau untuk
mengetahui apakah di dalam model yang digunakan terdapat autokorelasi
diantara variabel- variabel yang diamati.

43
3.5.3. Analisis Regresi Data Panel
Menurut Sholfyta dan Filianti (2018) metode regresi data panel
digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan dari
variabel independen yang jumlahnya lebih dari satu terhadap variabel
dependen dan merupakan teknik regresi yang menggabungkan data runtut
waktu (time series) dan data silang (cross section). Keunggulan regresi data
panel antara lain (Ajija, 2011):

1. Panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara


eksplisit dengan mengizinkan variabel spesifik individu.
2. Kemampuan mengontrol heterogenitas ini selanjutnya menjadikan data
panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku
lebih kompleks.
3. Data panel mendasarkan diri pada observasi cross section yang berulang
– ulang (time series), sehingga model data panel cocok digunakan
sebagai study of dynamic adjustment.
4. Tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih
informatif, variatif, dan kolinearitas (multiko) antara data semakin
berkurang, dan derajat kebebasan (degree of freedom / df) lebih tinggi
sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien.
5. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari model – model perilaku
yang kompleks.
6. Data panel dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang mungkin
ditimbulkan oleh agregasi data individu.

3.5.4. Pemilihan Model Regresi Data Panel


Winarno (2017) pemilihan model (teknik estimasi) untuk menguji
persamaan regresi yang akan diestimasi dapat digunakan tiga penguji yaitu uji
chow, uji hausman dan uji lagrange multiplier sebagai berikut:

1. Uji Lagrange Multiplier


Uji lagrange multiplier adalah pengujian yang digunakan untuk
memilih pendekatan terbaik antara model pendekatan Common Effect
Model (CEM)

43
dengan Random Effect Model (REM) dalam mengestimasi data panel.
Random Effect Model dikembangkan oleh Breusch-pangan yang digunakan
untuk menguji signifikansi yang didasarkan pada nilai residual dari metode
OLS. Dalam pengujiannya dengan menggunakan EViews, maka hasilnya
dapat dilihat pada nilai dalam kolom Cross–Section Breusch Pagan baris
yang kedua (bawah). Dasar kriteria sebagai berikut:

a. Jika nilai cross section Breusch-pangan> 0,05 (nilai signifikan)


maka H0 diterima, sehingga model yang paling tepat digunakan
adalah Common EffectModel (CEM).
b. Jika nilai cross section Breusch-pangan< 0,05 (nilai signifikan)
maka H0 ditolak, sehingga model yang tepat digunakan adalah
Random EffectModel (REM).

Hipotesis yang digunakan adalah:


H0 : Common Effect Random (CEM)
H1 : Random Effect Model (REM)

2. Uji Chow/Likelihood Ratio


Uji Chow adalah pengujian yang digunakan untuk memilih pendekatan
terbaik antara model pendekatan Common Effect Modal (CEM) dengan
FixedEffect Model (FEM) dalam mengestimasi data panel. Dalam
pengujiannya dengan menggunakan EViews, maka hasilnya dapat dilihat pada
nilai dalam kolom Prob. Cross– Section Chi– Square. Dasar kriteria penguji
sebagai berikut:

a. Jika nilai probabilitas (P-value) untuk cross section F>0,05 (nilai


signifikan) maka H0 diterima, sehingga model yang paling tepat
digunakan adalah CommonEffect Model (CEM).
b. Jika nilai probabilitas (P-value) untuk cross section F < 0,05 (nilai
signifikan) maka H0 ditolak, sehingga model yang paling tepat
digunakan adalah Fixed EffectModel (FEM).

43
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : Common Effect Model (CEM)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)

3. Uji Hausman
Uji Hausman adalah pengujian yang digunakan untuk memilih
pendekatan terbaik antar model pendekatan Random Effect Model (REM)
dengan Fixed Effect Model (FEM) dalam mengestimasi data panel. Dalam
pengujiannya dengan menggunakan EViews, maka hasilnya dapat dilihat pada
nilai dalam kolomProb. Cross–Section Random. Dasar kriteria penguji
sebagai berikut:

a. Jika nilai probabilitas (P-value) untuk cross section random > 0,05
(nilai signifikan) maka H0 diterima, sehingga model yang paling
tepat digunakan adalah Random EffectModel (REM).
b. Jika nilai probabilitas (P-value) untuk cross section random < 0,05
(nilai signifikan) maka H0 ditolak, sehingga model yang tepat
digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM).

Hipotesis yang digunakan adalah:


H0 : Random Effect Model (REM)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)

3.5.5 Metode Estimasi Regresi Data Panel


Winarno (2017) metode estimasi menggunakan teknik regresi data
panel dapat dilakukan dengan tiga pendekatan alternatif metode
pengolahannya, yaitu metode Common EffectModel atau Pool Least Square
(CEM), metode Fixed Effect Model (FEM), dan metode Randon Effect Model
(REM) sebagai berikut:

1. Common Effect Model (CEM)


Common Effect Model adalah model yang paling sederhana untuk
parameter model data panel, yaitu dengan mengkombinasikan data time series

43
dan cross section sebagai satu kesatuan tanpa melihat adanya perbedaan
waktu dan individu (entitas). Common Effect Model mengabaikan adanya
perbedaan dimensi individu maupun waktu atau dengan kata lain perilaku
data antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Kelemahan dari model
ini adalah ketidaksesuaian antara model dengan keadaan sebenarnya, dimana
kondisi tiap objek dapat berbeda dan kondisi suatu objek dari satu waktu ke
waktu yang lain dapat berbeda pula.

2. Fixed Effect Model


Fixed Effect Model merupakan metode yang digunakan untuk
mengestimasi data panel, dimana variabel gangguan mungkin saling
berhubungan antar waktu dan antar individu. Untuk mengestimasi data panel
model Fixed Effect menggunakan teknik variable dummy untuk menangkap
perbedaan intersep antar perusahaan sehingga model estimasi ini sering
disebut juga dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Fixed
Effect adalah satu objek yang memiliki konstanta yang tetap besarnya untuk
berbagai periode waktu. Metode ini mengasumsikan bahwa terdapat
perbedaan antar individu variabel (cross-section) dan perbedaan tersebut
dilihat dari intercept- nya. Keunggulan yang dimiliki metode ini adalah dapat
membedakan efek individu dan efek waktu serta metode ini tidak perlu
menggunakan asumsi bahwa komponen error tidak berkorelasi dengan
variabel bebas.

3. Random Effect Model (REM)


Pada model Fixed Effect adanya penambahan variabel dummy agar
dapat mewakili ketidaktahuan tentang model yang sebenarnya ternyata juga
masih memiliki kelemahan yaitu berkurangnya derajat kebebasan (degree of
freedom) yang dapat mengurangi efisiensi pada parameter. Oleh karena itu,
hal ini mendorong adanya model Random Effect. Dimana pada model ini
menggunakan variabel gangguan (error term). Model ini mengestimasi data
panel dimana variabel gangguan mungkin saling berhubungan antar waktu
dan antar individu. Metode ini menggunakan pendekatan Generalized Least
Square (GLS). Keuntungan menggunakan model ini adalah menghilangkan
heteroskedastisitas.

43
3.5.6. Uji Regresi Data Panel
Untuk menguji hipotesis yang sebelumnya telah penulis buat, maka
penulis menggunakan teknik analisis regresi data panel. Tujuannya untuk
menjawab permasalahan penelitian hubungan antara dua variabel independen
atau lebih dengan variabel dependen. Dalam penelitian ini, variabel dependen
yang digunakan adalah transfer pricing, sedangkan variabel independennya
adalah pajak, tunneling incentive, mekanisme bonus dan ukuran perusahaan.
Perumusan model persamaan analisis regresi data panel secara sistematis
adalah sebagai berikut :

Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4X4 + €

Keterangan :
Y = Transfer pricing
α = Koefisien konstanta
β1 = Koefisien regresi pajak
X1 = Pajak
β2 = Koefisien regresi tunneling incentive
X2 = Tunneling incentive
β3 = Koefisien regresi mekanisme bonus
X3 = Mekanisme bonus
Β4 = Koefisien ukuran perusahaan
X4 = ukuran perusahaan
€ = Tingkat Kesalahan (error)

3.5.7. Uji Hipotesis


Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat
diukur dengan menguji kelayakan modelnya. Uji hipotesis dalam penelitian
ini ada tiga tahap yaitu, uji parsial (uji-t),uji simultan (uji-F) dan uji
determinasi (R2) sebagai berikut:

43
1. Uji Parsial (Uji t)
Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen secara individual (parsial). Uji signifikansi
koefisien regresi (Uji t) dilakukan untuk menguji apakah suatu variabel
independen secara parsial berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel
dependen dan juga untuk menguji signifikansi konstanta dari setiap variabel
untuk pengambilan keputusan dalam menerima atau menolak hipotesis
penelitian yang sebelumnya telah penulis buat (Ghozali, 2018).
Uji statistik t ini menunjukkan seberapa jauh pengaruh masing-masing
variabel independen secara individu dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Uji t dapat dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t table

(Ghozali, 2018). Pada tingkat signifikan 5% dengan kriteria penguji yang


digunakan sebagai berikut:
a. Jika thitung < ttabel dan p-value> 0.05 maka H0 diterima dan H1 ditolak
yang artinya salah satu variabel bebas (independen) tidak
mempengaruhi variabel terikat (dependen) secara signifikan.
b. Jika thitung > ttabel dan p-value< 0.05 maka H1 diterima dan H0 ditolak
yang artinya salah satu variabel bebas mempengaruhi variabel terikat
(dependen) secara signifikan.

2. Uji Simultan (Uji f)


Uji F digunakan untuk menguji kemampuan seluruh variabel
independen secara bersama-sama dalam menjelaskan variabel dependen. Uji
F dilakukan untuk menguji apakah semua variabel independen yang diamati
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Menurut Ghozali (2018)
pengujian dapat dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel
pada tingkat signifikan sebesar < 0,05 dengan kriteria penguji sebagai berikut:
a. Apabila Fhitung > Ftabel dan nilai p-value F-statistik < 0.05 maka H0
ditolak dan H1 diterima yang artinya variabel independen secara
bersama-sama mempengaruhi variabel-variabel dependen.
b. Apabila Fhitung < Ftabel dan nilai p-value F-statistik > 0.05 maka H1
ditolak dan H0 diterima yang artinya variabel independen secara

43
55

bersama-sama tidak mempengaruhi variabel-variabel dependen.

3. Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R Square)


Uji koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan
model dalam menerangkan variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah
antara nol dan satu (0 < R2 < 1). Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variabel dependen. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel
independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas karena R2
memiliki kelemahan, yaitu terdapat bias terhadap jumlah variabel independen yang
dimasukkan kedalam model. Setiap tambah satu variabel maka R 2 akan meningkat
tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
dependen, maka dalam penelitian ini menggunakan adjusted R2 . Jika nilai adjusted R2
semakin mendekati satu
(1) maka semakin baik kemampuan model tersebut dalam menjelaskan variabel
dependen (Ghozali, 2018).

Anda mungkin juga menyukai