Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

AKUNTANSI PERPAJAKAN
“Kasus Perpajakan Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia”
Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah
Akuntansi Perpajakan
Dosen Pengampu: Lilis Lasmini, S.E.,M.Ak

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Deila Septriani 17416262201160


Devia Ade Yanti 17416262201195
Fersa Audia Pratiwi 17416262201147
Nia Juniati 17416262201180
Warsipah Rahayu 17416262201144

UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
AKUNTANSI 17A
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur terhadap kehadirat Allah SWT karena atas kekuasaan-
Nya Kami diberi nikmat sehat dan nikmat akal. Sholawat serta salam juga
tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman. Amin.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah


membantu baik secara materil maupun secara non materil. Makalah ini berjudul
“Kasus Perpajakan Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturig Indonesia”,
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Perpajakan.

Semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai
referensi dalam belajar para mahasiswa ataupun para pembaca. Penyusun juga
meminta maaf apabila ada kekurangan ataupun kesalahan dalam penulisan dan
pembahasan materi yang tidak lengkap ataupun kurang penjelasan.

Karawang, 11 November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3

1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 3

BAB II................................................................................................................................. 4

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 4

2.1 Transfer Pricing ........................................................................................................ 4

2.2 Tujuan Transfer Pricing ............................................................................................ 6

2.3 Metode Transfer pricing ........................................................................................... 7

2.4 Praktik Transfer Pricing Perusahaan Multinasional .................................................. 8

2.5 Hubungan Istimewa dan Kekurangwajaran dalam Transfer Pricing ...................... 12

2.6 Analisis Kasus Pada PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia ......................... 16

2.7 Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia .............................................................................................. 20

2.8 Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP) .... 21

BAB III ............................................................................................................................. 24

PENUTUP ........................................................................................................................ 24

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 24

3.2 Saran ....................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 26

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Transfer pricing awalnya dikenal dalam bidang akuntansi manajemen
sebagai kebijakan harga yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar
departemen dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi atau
departemen tersebut (Nurhayati, 2013). Menurut Tiwa et al. (2017), kebijakan
tersebut dilakukan untuk menyesuaikan harga internal untuk barang, jasa, dan
harta tak berwujud yang diperjualbelikan agar tidak tercipta harga yang terlalu
rendah atau terlalu tinggi. Namun pada praktiknya, transfer pricing menjadi salah
satu upaya perencanaan pajak perusahaan dengan tujuan untuk meminimalkan
beban pajak yang harus dibayar dengan merekayasa harga transfer antar
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.

Secara konsep transfer pricing dapat diaplikasikan untuk tiga tujuan yang
berbeda. Pertama, dari sisi hukum perseroan, transfer pricing dapat digunakan
sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan sinergi antara perusahaan dengan
pemegang sahamnya (Wolfgang Schon, 2014). Kedua, dari sisi akuntansi
manajerial, transfer pricing dapat digunakan untuk memaksimumkan laba suatu
perusahaan melalui penentuan harga barang atau jasa oleh suatu unit organisasi
dari suatu perusahaan kepada unit organisasi lainnya dalam perusahaan yang
sama. Ketiga, yaitu dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu
kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa.

(Arnold dan McIntyre) menjelaskan harga transfer adalah harga yang


ditetapkan oleh wajib pajak pada saat menjual, membeli, atau membagi sumber
daya dengan afiliasinya. Transfer pricing yang dilakukan perusahaan
multinasional didorong oleh alasan pajak maupun bukan pajak. Seiring dengan
perkembangan zaman, praktik transfer pricing sering kali dilakukan untuk

1
meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar (Mangoting, 2000: 80). Beban
pajak yang semakin besar memicu perusahaan untuk melakukan transfer pricing
dengan harapan dapat menekan beban tersebut.

Transfer pricing dalam transaksi penjualan barang atau jasa dilakukan


dengan cara memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan
mentransfer laba yang diperoleh kepada perusahaan yang berkedudukan di negara
yang menerapkan tarif pajak yang rendah. Namun karena belum tersedianya alat,
tenaga ahli, dan peraturan yang baku maka pemeriksaan transfer pricing sering
kali dimenangkan oleh wajib pajak dalam pengadilan pajak sehingga perusahaan
multinasional semakin termotivasi untuk melakukan transfer pricing (Julaikah,
2014). Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan sebanyak
2.000 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia tidak membayar
Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pasal 25 dan Pasal 29 karena alasan merugi.
Perusahaan asing tersebut menggunakan tiga modus utama supaya bisa mangkir
dari kewajiban menyetor pajak di Indonesia, salah satunya dengan modus transfer
pricing atau mengalihkan keuntungan atau laba kena pajak dari Indonesia ke
negara lain (Ariyanti, 2016).

Contoh kasus transfer pricing di Indonesia yang paling menyita perhatian


adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dengan mengekspor produk
kepada unit bisnisnya Toyota Motor Asia Pacific Pte.,Ltd yang bermarkas di
Singapura dengan harga yang tidak lazim (dibawah harga pasar). Singapura
dipilih menjadi negara tujuan ekspor karena memiliki tarif PPh Badan paling
rendah di Asia Tenggara yakni 15 persen sampai dengan 17 persen. Penjualan
ekspor ini menyebabkan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menanggung
kerugian dan secara otomatis membuat beban pajak penghasilan yang dibayarkan
kepada negara menjadi berkurang. Berdasarkan perhitungan Direktorat Jendral
Pajak (DJP), kerugian negara yang timbul akibat transfer pricing yang dilakukan
oleh PT Toyota Manufacturing Indonesia sebesar Rp1,22 triliun atas penghasilan
kena pajak tahun 2007 dan 2008 masingmasing sebesar Rp975 miliar (2007) dan
Rp2,45 triliun (2008).

2
Perusahaan yang memiliki tingkat laba (profitabilitas) yang tinggi akan
mendapat perhatian luas dari kalangan masyarakat dan pemerintah sebagai
regulator sehingga muncul biaya politis, salah satunya dalam bentuk pengenaan
pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan dengan tingkat laba yang
kecil. Hal ini yang menyebabkan perusahaan memiliki kecenderungan yang kuat
untuk melakukan manajemen pajak seperti transfer pricing dengan
meminimumkan laba sehingga pajak semakin rendah (Nursari et al., 2017).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia?

2. Bagaimanakah alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi


kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana kasus pajak terkait transfer pricing yang


terjadi pada PT Toyota Manufacturing Indonesia

2. Memberikan alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk mengadapi


kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Transfer Pricing


Transaksi transfer pricing memiliki 2 dimensi pengertian, yaitu :

1. Dimensi netral

Dalam dimensi ini, pengertian transaksi transfer pricing adalah strategi,


taktik, dan motif pengurangan beban pajak. Menurut Gunadi “Transfer
Pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan
penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa.” Sedangkan menurut Sopar
Lumbantoruan “Transfer Pricing adalah penentuan harga balas jasa suatu
transaksi antar divisi dalam suatu perusahaan dalam satu grup.”

2. Dimensi pejoratif

Dalam dimensi ini, pengertian transaksi transfer pricing adalah suatu


upaya untuk menghemat beban pajak dengan cara menggeser laba ke
perusahaan yang memiliki jumlah laba lebih kecil sehingga jumlah pajak
yang dikenakan lebih kecil atau ke negara yang tarif pajaknya lebih
rendah. Menurut Gunadi “Transfer Pricing adalah suatu rekayasa
manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba secara
artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi sehingga perusahaan dapat
menghindari pajak.

Adapun pengertian transfer pricing menurut para ahli secara umum yaitu :

• Transfer pricing Organization for Economic Co-operation and


Development (OECD) mendefinisikan transfer pricing sebagai
harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota grup dalam
sebuah perusahaan multinasional dimana harga transfer yang

4
ditentutkan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar
sepanjang cocok bagi grupnya. Mereka dapat menyimpang dari
harga pasar wajar karena posisi mereka yang berada dalam keadaan
bebas untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi
korporasinya.

• Menurut Simamora dalam Mangoting (2000:70), transfer pricing


didefinisikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai
dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi
penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying
division).

• Menurut Yeni Mangonting, Aspek Perpajakan Dalam Praktik


Transfer pricing . Transfer pricing juga disebut dengan
intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau
internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkanuntuk
keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa
antar anggota. Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-
produk intermediet yang merupakan barang-barang dan jasa yang
dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli.

• Gunadi, dalam Santoso (2004:127), mengatakan bahwa dalam arti


yang lebih luas, transfer pricing termasuk penentuan harga antara
beberapa entitas yang secara hukum pemiliknya bisa sama ataupun
berbeda.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa


transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan
harga transfer suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud,
atau pun transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan. Bila
dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara
signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga
sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang

5
ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah
pajak atau bea dari suatu negara.

2.2 Tujuan Transfer Pricing


Tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data
keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan
pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain
(Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing
terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi
manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan
yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer
pricing system should satisfy three objectives: acurate performance
evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy
(Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101) Sedangkan dalam
lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk,
meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia.
Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is
particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen,
1996:496)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan penetapan transfer pricing ialah :

1. Memaksimalkan penghasilan global setelah dikurangi pajak.

2. Mengamankan posisi kompetitif.

3. Evaluasi kinerja anak/cabang perusahaan mancanegara.

4. Mengurangi risiko moneter.

5. Mengatur cash flow anak/cabang perusahaan yang memadai.

6. Mengurangi beban pengenaan pajak, dan bea masuk.

7. Mengurangi risiko pengambilalihan pemerintah.

6
2.3 Metode Transfer pricing
Prinsip dasar dalam penetapan harga transfer adalah bahwa harga
transfer sebaiknya serupa dengan harga yang akan dikenakan seandainya
produk tersebut dijual ke konsumen luar atau dibeli dari pemasok luar.
Jika ditinjau dari segi ekonomi dan manajemen, konsep dasar harga
transfer meliputi :

1. Dari segi ekonomi Hirshleifer dalam Cox, Howe, dan Boyd, transfer
price should be themarginal cost of the selling division in order to
maximaze the firm’s profit as a whole (Cox et al. 1997:20-29). Jadi
prinsip dasar dari transfer harga adalah memaksimalkan laba perusahaan.
James Cox, F. Howe, dan Lynn H Boyd, Transfer pricing Effects on
Locally Measured Organizations (Industrial Management,1997), hal. 20-
29. Sehingga, perusahaan harus secraa berkala menjual produk sampai
dengan titik dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang
diproduksi dan dijual disebutmarginal cost lebih lebih rendah
dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit
tersebut (marginal revenue). Dalam hal penentuan hara untuk perusahaan
yang terintegrasi, harga harus ditentukan berdasarkan marginal cost
produsen.

2. Dari segi manajemen Robert dan Govindarajan, dalam Santoso


(2004:129), mendefinisikan bahwa the term of transfer pricing is a value
placed on a transfer of goods and services between in transaction in
which at least one of the two partiesinvolved is a profit center (Robert and
Govindarajan, 1998). Sehingga, transfer pricing lebih ditujukan untuk
mengukur kinerja divisi, laba perusahaan secraa keseluruhan, dan otonomi
divisi dan menilai motivasi dan performance setiap divisi/unit
bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Dalam
penentuan tersebut, perusahaan-perusahaan divisionalisasi/ departementasi
menggunakan beberapa metode, diantaranya :

7
a) Harga Transfer atas Dasar Biaya (Cost-Based Transfer pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya
menetapkan harga transfer atas dasar biaya variable dan tetap yang
bisa dalam 3 pemeliharaan bentuk, yaitu biaya penuh (full cost),
biaya penuh ditambahkan mark-up (full cost plus mark-up), dan
gabungan antara biaya variable dan tetap (variable cost plus fixed
fee). Imam Santoso,op. cit.,hal.129

b) Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer


pricing)

Apabila ada suatu pasar sempurna, metode transfer pricing atas


dasar harga pasar inilah yang merupakan ukuran paling memadai
karena sifatnya yang independen. Namun, keterbatasan informasi
pasar terkadang menjadi kendala dalam menggunakan transfer
pricing yang berdasarkanharga pasar.

c) Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer pricing)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenan kan


divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan
transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang
diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif
kontrolabilitas yang intern dalam pusat-pusat pertanggungjawaban
karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya
yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang
dinegosiasikan.

2.4 Praktik Transfer Pricing Perusahaan Multinasional


Keputusan bisnis sebuah perusahaan sebagian besar juga dipengaruhi oleh
pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya meminimalisasi beban
pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dariyang masih berada dalam
bingkai peraturan perpajakn sampai dengan yangmelanggar peraturan perpajakan.

8
Meminimalisasi pajak secara baik yang berarti tidak melanggar peraturan
perpajakan sering disebut dengan perencanaan pajak atau tax planning atau tax
sheltering.

Perencanaan pajak merujuk pada suatu proses rekayasa usaha dan transaksi
wajib pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih
dalam bingkai peraturan perpajakan. Perencanaan pajak seperti ini masuk dalam
kategori tax avoidance.

Natawisastra (2006:5) dalam tesisnya menuliskan bahwa transfer pricing


merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan.
Namun, disisi lain praktik transfer pricing dikategorikan sebagai tindak pidana
perpajakan, sebagaimana diatur dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana. Hal
ini mempertegas bahwa praktik transfer pricing dapat dikategorikan sebagai
penghindaran pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan dalam rangka
perencanaan pajak yang baik dan juga merupakan praktik illegal yang semata-
mata menghindari pajak untuk merugikan negara. Semuanya tergantung dari hasil
pemeriksaan lapangan.

Praktik transfer pricing sebenarnya telah terjadi di banyak perusahaan, baik


perusahaan domestic maupun multinasional asalkan perusahaan tersebut
melakuakn produksi atau kegiatannya dalam departemen-departemen atau divisi-
divisi. Hanya saja, efek terhadap pajak dalam hal ini tidak sama. Perusahaan yang
hanya beroperasi di satu negara saja tidak akan memeberikan efek ke pajak yang
sangat signifikan dalam rangka transfer pricing.

Hal ini karena tarif pajak yang digunakan adalah sama. Lain halnya jika
dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan beberapa cabang di berbagai
negara. Transfer pricing ini akan sangat signifikan pengaruhnya dalam
penerimaan pajak. Hal ini karena perbedaan tariff pajak yang ada di berbagai
negara. Suatu transfer pricing dapat terjadi karena suatu hubungan istimewaatau
afiliasi antara anggota dalam suatu grup perusahaan multinasional. Suatu transfer
pricing sedikitnya melibatkan dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak

9
yang melakukan transfer atau transfer dan pihak yang menerima transfer atau
transferee.

Dengan adanya hubungan istimewa ini, perusahaan multinasional


sebagaimana metode yang digunakan dalam penentuan harga yakni metode
negosiasi dapat melakuakn negosiasi dalam penentuan harga transaksinya.

Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional
yaitu :

1. Performance Evaluation.

Salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai
kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau Return On
Investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya
dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya
divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan
meningkatkan income, yang secara otomatis akan meningkatkan ROI-nya,
tetapi di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang
nantinya akan berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga
peningkatan dalam ROI. Hal semacam inilah yang terkadang membuat
transfer pricing itu berada di posisi yang terjepit. Oleh karena itu untuk
mengatasi permasalahan seperti ini, induk perusahaan akan sangat
berkepentingan dalam penentuan harga transfer.

2. Optimal Determination of Taxes

Tarif pajak antar satu negara dengan negara yang lain berbeda. Perbedaan
ini disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang
berlaku dalam negara tersebut. Afrika misalnya, karena tingkat investasi
rendah, tarif pajak yang berlaku di negara tersebut juga rendah. Tetapi apabila
kita berbicara tentang Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang berlaku di
negara tersebut sama dengan di negara Afrika. Hal ini jelas, karena di negara
maju seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi, yang dibuktikan dengan

10
tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah
tarif pajak yang ditetapkan di negara yang bersangkutan tinggi.

Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek


transfer pricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia
memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang
berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak
dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk
tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang
sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas
transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga
pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan
dikenakan pajak.

Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif
yang tinggi yang berlaku di Negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian
barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak
perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak
yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini
menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang
pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak
yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang
yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke
perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama,
dengan harga jual Rp 200.

Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari


pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi
tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung
bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0. Hal ini

11
disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok
pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0.

2.5 Hubungan Istimewa dan Kekurangwajaran dalam Transfer Pricing


Sebenarnya praktek transfer pricing ini sudah banyak dilakukan oleh
banyak perusahaan. Hanya saja, tidak terlalu terasa efek pengurangan pajaknya
apabila dilakukan antar divisi dalam satu perusahaan yang sama. Lain halnya
apabila transfer pricing itu digunakan untuk menilai kinerja divisi. Pertanyaan
yang timbul adalah mengapa transfer pricing tidak terlalu berarti dari sisi pajak
apabila dipraktekkan pada divisi yang sama dalam satu perusahaan. Jawabannya,
adalah hal ini disebabkan karena praktek transfer pricing akan memberikan hasil
maksimal dalam hal ini meminimalkan jumlah pajak yang terutang, apabila timbul
pengenaan tarif yang berbeda. Oleh karena itu apabila praktek tersebut dilakukan
antar divisi tidak memberikan hasil yang maksimal, karena tarif pajak yang
berlaku sama.
Adanya hubungan istimewa merupakan faktor penyebab utama timbulnya
praktek transfer pricing. Hubungan istimewa adalah hubungan kepemilikan antara
satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya
keterkaitan, pertalian atau ketergantungan satu pihak dengan pihak yang lain yang
tidak terdapat pada hubungan biasa, faktor kepemilikan atau penyertaan, adanya
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, adanya hubungan
darah atau karena perkawinan merupakan faktor penyebab utama timbulnya
hubungan istimewa. Oleh karena itu faktor hubungan istimewa akan menjadi
penting dalam menentukan besarnya penghasilan dan/atau biaya yang akan
dibebankan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 menyebutkan
bahwa hubungan istimewa ada apabila :
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar
25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada wajib pajak lain, atau hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
pada dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau

12
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat. (Didapatkan dari Tax Center
Universitas Pembangunan Jaya)

Praktik transfer pricing ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan


penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu Wajib Pajak ke
Wajib Pajak yang lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan
jumlah pajak terutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut. Sebenarnya kekurang-wajaran yang bisa timbul karena adanya
praktek transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak dalam negeri atau antara
Wajib Pajak dalam Negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan
di Tax Haven Countries (negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih
rendah dari Indonesia).
Direktorat Jenderal Pajak, melalui Surat Edaran Dirjen Pajak N0.
SE04/PJ.7/1993 Tanggal 3 Maret 1993 menyebutkan bahwa kekurang-wajaran
dari adanya praktek transfer pricing dapat terjadi atas :
1. Harga penjualan
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder
loan)
5. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau
reinvoicing center). (Didapatkan dari Tax Center Universitas Pembangunan Jaya)

13
Berikut ini akan diberikan beberapa contoh dari kasus yang menyebabkan
timbulnya kekurangwajaran yang timbul dari praktek transfer pricing.
1. Kekurang-wajaran Harga Penjualan
PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A
membebankan harga jual Rp 160 per unit, berbeda dengan harga yang
diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X (tidak ada
hubungan istimewa) yaitu Rp 200 per unit. Dalam contoh di atas, harga pasar
sebanding (comparable uncontrlled price) atas barang yang sama adalah yang
dijual kepada PT X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga
yang wajar (arm's length price) adalah Rp 200 per unit. Harga inilah yang dipakai
sebagai dasar penghitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak.
2. Kekurang-wajaran Harga Pembelian
H Ltd Hongkong memiliki 25% saham PT B. PT B mengimpor barang produksi H
Ltd dengan harga Rp 3.000 per unit . Produk tersebut dijual kembali kepada PT Y
(tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp 3.500 per unit. Pada contoh
tersebut di atas, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang
sama, sejenis atau serupa atas pembelian/impor dari pihak yang ada hubungan
istimewa atau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila
ditemui kesulitan, maka pendekatan harga jual minus dapat diterapkan, yaitu
dengan mengurangkan laba kotor (mark up) yang wajar ditambah biaya lainnya
yang dikeluarkan Wajib Pajak dari harga jual barang kepada pihak yang tidak
punya hubungan istimewa. Apabila laba wajar yang diperoleh adalah Rp 750
maka, harga wajar secara fiskal atas pembelian barang dari H Ltd Hongkong
adalah Rp 2.750 (Rp 3.500 - Rp 750). Harga ini merupakan dasar perhitungan
harga pokok PT B dan selisih Rp 250 antara pembayaran utang ke H Ltd
Hongkong dengan harga pokok seharusnya diperhitungkan sebagai pembayaran
deviden terselubung.
3. Kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
Kantor pusat perusahaan (head office) di luar negeri dari BUT di Indonesia sering
mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT
tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara lain : a. Biaya training karyawan

14
BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri; b. Biaya
perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut ke masing-masing BUT; c. Biaya
administrasi/manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan biaya
penyelenggaraan perusahaan; d. Biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan
kantor pusat Alokasi biaya-biaya tersebut di atas diperbolehkan sepanjang
sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan bukan
merupakan duplikasi biaya.
4. Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh
pemegang saham.
H Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT C dengan modal yang belum disetor
sebesar Rp 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar Rp 500 juta
dengan bunga 25% atau Rp 125 juta setahun. Tingkat bunga yang berlaku adalah
20%. Sehubungan dengan transaksi di atas, diharuskan untuk menentukan
kembali jumlah utang PT C. Pinjaman sebesar Rp 200 juta dianggap sebagai
penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT C yang dapat diakui
adalah sebesar Rp 300 juta (Rp 500 juta - Rp 200 juta). Biaya bunga yang boleh
dibebankan atas transaksi pinjam-meminjam di atas adalah sebesar Rp 60 juta
(20% x Rp 300 juta) yang berarti timbul koreksi positif.
5. Kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti,
imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa
lainnya.
PT A perusahaan komputer, memberikan lisensi kepada PT X (tidak ada
hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk memasarkan
program komputernya dengan membayar royalti 20% dari penjualan bersih.
Selain itu PT B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal
dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih. Atas transaksi di atas maka
royalti PT B juga harus 20%. Hal ini disebabkan karena program komputer yang
dipasarkan PT B sama dengan yang dipasarkan PT X.
6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau oleh pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan harga yang lebih rendah dari harga
pasar.

15
A adalah pemegang 50% saham PT B. Harta perusahaan PT B berupa kendaraan
dibeli A dengan harga Rp 10 juta. Nilai buku kendaraan tersebut adalah Rp 10
juta. Harga pasaran kendaraan sejenis dalam keadaan yang sama Rp 30 juta. Dari
transaksi di atas dapat dilihat bahwa harga pasar sebanding untuk kendaraan
tersebut adalah Rp 30 juta, maka penghasilan kena pajak PT B dikoreksi positif
Rp 20 juta (Rp 30 juta - Rp 10 juta). Sedangkan bagi A selisih harga Rp 20 juta
merupakan penghasilan berupa deviden yang oleh PT B harus dipotong PPh pasal
23.
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang tidak
mempunyai substansi usaha (letter box company).
PT I di Indonesia yang mempunyai hubungan istimewa dengan H Ltd di
Hongkong, dua-duanya adalah anak perusahaan K di Korea. Dalam usahanya PT I
mengekspor barang yang langsung dikirim ke X di Amerika Serikat atas
permintaan H Ltd di Hongkong. Harga pokok barang tersebut adalah Rp 100 dan
PT I di Indonesia selalu menagih dengan harga Rp 110. Sedang H Ltd Hongkong
menagih X di Amerika Serikat. Informasi yang diperoleh dari Amerika Serikat
menunjukkan bahwa X membeli barang dengan harga Rp 175. Keterangan lebih
lanjut menunjukkan bahwa H Ltd Hongkong hanya berupa Letter Box Company
(reinvoicing centre) tanpa substansi bisnis. Oleh karena tarif pajak di Hongkong
lebih rendah dari di Indonesia, maka terdapat petunjuk adanya usaha Wajib Pajak
untuk mengalihkan laba kena pajak dari Indonesia ke Hongkong agar diperoleh
penghematan pajak. Dengan memperhatikan fungsi (substansi bisnis) dari H Ltd
Hongkong, maka perantara transaksi demikian (untuk penghitungan pajak)
dianggap tidak ada, sehingga harga jual PT I di Indonesia dikoreksi sebesar Rp 65
(Rp 175 - Rp 110)

2.6 Analisis Kasus Pada PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia


Direktorat Jenderal Pajak mencurigai adanya praktik transfer pricing yang
dilakukan oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) setelah
secara simultan melakukan pemeriksaan terhadap surat pemberitahuan pajak
tahunan (SPT) PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2005.

16
Selain itu, perhitungan dan penyampaian pajak pada tahun 2007 dan 2008 juga
tidak luput dari pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Permeriksaan ini
dilakukan karena Toyota merasa bahwa pada tahun tersebut mereka kelebihan
dalam membayar pajak, sehingga meminta negara untuk mengembalikan
kelebihan pembayaran pajaknya tersebut (restitusi). Berdasarkan pemeriksaan
pada SPT tahun 2005, ditemukan sejumlah kejanggalan, yakni turunnya laba bruto
lebih dari 30 persen, dari sebelumnya Rp.1,5 triliun pada tahun 2003 menjadi
Rp.950 miliar pada tahun 2004. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan
antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menurun dari 14,59 persen pada
tahun 2003 menjadi hanya 6,58 persen di tahun 2004.
Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di
Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasan penjualan
saham tersebut adalah, Astra mempunyai utang jatuh tempo yang tidak bisa
ditangguhkan lagi. Sehingga saat ini, Toyota Motor Corporation Jepang
menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah
menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk menjalankan
fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang
kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM) dengan
nama lama,Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi
pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik
Toyota Motor Corporation Jepang.
Setelah restrukturisasi pada tahun 2003 itulah, laba gabungan kedua
perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran
pajaknya pada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa
membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada 2004, pasca-restrukturisasi,
dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168
miliar. Anehnya meski laba turun, omzet produksi dan penjualan singapura.
Adapun rincian beberapa penjualan kepada PT. Toyota Asia Pasific yang
berlokasi di singapura adalah sebagai berikut:

17
▪ Penjualan mobil fortuner dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
dengan harga penjualan 3,49 persen dibawah COGS.
▪ Penjualan mobil inova diesel dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 1,73 persen dibawah COGS.
▪ Penjualan mobil inova bensin dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 5,14 persen dibawah COGS.
▪ Penjualan mobil rush dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
denganharga penjualan 1,15 persen diatas COGS.
▪ Penjualan mobil terios dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
dengan harga penjualan 2,69 persen diatas COGS.
Sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti
Toyota, bahwa praktik transfer pricing digunakan untuk meminimalkan
pembayaran pajak mereka. Dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang
ada, yakni dengan cara memindahkan keuntungan ke perusahaan terafiliasi yang
berada di luar negeri, tentunya dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Skema penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) ke luar
negeri adalah sebagai berikut

18
Penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada
PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan harga di bawah
COGS adalah sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pengenaan
tarif pajak yang tinggi di Indonesia, yakni sebesar 25 persen dan mengalihkan laba
tersebut kepada perusahaan terafiliasi di negara lain, yakni PT. Toyota Asia
Pasific yang berlokasi di Singapura, karena sebagaimana kita ketahui bahwa tarif
pajak penghasilan di Singapura merupakan yang terendah di ASEAN yakni
sebesar 17 persen. Sedangkan untuk penjualan di dalam negeri, yakni dari PT.
Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Astra
Motor (TAM) untuk tipe mobil yang persis dijual dengan nilai keuntungan bruto
sebesar 3,43 –7,67 persen.

Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki peraturan tentang transfer


pricing,yang secara umum diatur dalam pasal18 UU Nomor 36 Tahun2008
tentang Pajak Penghasilan, yang menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan
kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.

Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika

(i) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung
paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain;

(ii) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau

(iii) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

19
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat
dalamPeraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan
pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan
oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang
wajar dalam hal ini otoritas pajak berhak menentukan kewajaran harga penjualan
suatu perusahaan dengan cara membandingkan harga tersebut dengan transaksi
perusahaan sejenis di luar negeri. Peraturan ini merujuk pada Transfer Pricing
Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan
otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk
Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor
(Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao
(Cina).

Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa


menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar (arm’s
length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22 -
13,58 persen. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, pemeriksa pajak
mengkoreksi harga pada transaksi PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada Toyota Motor Asia Pacific di Singapura, yang menyebabkan
omzet penjualan mereka pada tahun 2007 meningkat sekitar Rp 500 miliar
menjadi Rp.27,5 triliun.

2.7 Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer fricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode
Perbandingan Hargaantara pihak yang tidak mempunyai Hubugan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan
metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. Berdasarkan hasil
wawancara penulis dengan petugas pajak lainnya, ketersediaan data pembanding
ini adalah persoalan utama dalam kasus transfer pricing yang dihadapi oleh DJP.

20
Dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, petugas
pajak menggunakan Hindustan motors (India). Yulon Motor (Taiwan), Force
Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). DJP
menganggap bahwa kelima perusahaan tersebut memiliki karakteristik serupa
dengan Toyota sehingga layak dijadikan pembanding.

Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing


Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindar pajak dibantah oleh pihak
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dalam siding di pengadilan Pajak,
pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapar bahwa perusahaan-
perusahaan yang digunakan sebagai perbandingan oleh petugas pajak, yaitu
Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited
(India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan demikian, pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan
trsebut tidak layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus tersebut.

Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan
data pembanding utuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap
beberapa komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memng
lebih mudah menentukan besrarnya transfer price yang wajar karena datanya
tersedia dan mudah diakses. Namun, sebagian besar produk peruahaan-perusahaan
multinasional susah dicari pembandingnya karena setiap produk mempunyai
spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda. Permasalahan penentuan besarnya
transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP, tetapi juga oleh otoritas-
otoritas pajak Negara lainnya di dunia.

Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang


wajar, otoritas pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang
menggunakan Advance Pricing Agreement (APA) dan mutual Agreement
Procedure (MAP). Advance Pricing Agreement dan mutual agreement procedure
terbukti cukup sukses untuk menangani kasus transfer pricing. Oleh karena itu,
terbitnya Peraturan mentri keuangan nomor 7/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement) patut diapresiasi.

2.8 Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure


(MAP)
Menurut OECD, APA adalah “an administrative approach that attempts
to prevent transfer pricing disputes from arising by determining criteria for

21
applying the arm’s length principle to transactions in advance of those
transactions taking place”. APA menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
7/PMK.03/2015 adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jendral Pajak dan Wajib
Pajak. Atau Direktur Jendral Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk menyepakati kriteria-
kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. Sementara itu,
MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan APA
dilakukan melalui MAP dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B.

APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Daftar Negara
yang telah menggunakan APA sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada
gambar 5 diatas. Secara formal, Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010,
dengan diterbitkannya peratuaran Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010.
Akan tetapi, Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum
mengatur secara jelas prosedur pembentukan dan pelaksanaan APA. Tata cara
pembentukan dan pelaksanaan APA baru diatur dalam Peraturan Mentri
Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015/

APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak
maupun DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer
(APA) dengan otoritas pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan
utama, yaitu kepastian dalam transfer pricing dan penghematan biaya dan waktu.
APA akan membuat Wajib Pajak lebih nyaman dalam menjalankan kegiatan
usahanya karena sudah ada batasan yang telah disepakati dengan otoritas pajak
mengenai besarnya transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan mengurangi
potensi terjadinya sengketa pajak terkait transfer pricing seringkali memakan
biaya yang besar dan waktu yang lama. Karena potensi terjadinya sengketa pajak
dapat dikurangi dengan adanya APA, maka Wajib Pajak dapat menghemat biaya
dan waktu.

Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak
melakukan transfer pricing dengan harga dibawah APA, maka DJP sudah dapat
menyimpulkan bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk
penghindaran pajak. Di sisi lain, APA juga dapat meningkatkan basis data
perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat tentang para pihak yang
memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA,
metode transfer pricing, pembanding (comparables). Jangka waktu berlakunya
APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing

22
(transfer pricing adjustment). Sementara itu, dengan melakukan APA yang
melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat
menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak.

Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam


membuat APA. Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak
berpotensi menurunkan penerimaan negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat
dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan
Wajib Pajak. Analisis yang mendalam dan hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum
menandatangani APA dengan Wajib Pajak, terutama terkait transaksi yang
termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding
(comparables), jangka waktu berlakunya APA asumsi kritikal (critical
assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan


barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu
kelompok perusahaan.
2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan
penentuan beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer
pricing lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak dari pada
untuk pengukuran kinerja divisi.
3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna menghindari pajak. Adapun modus yang
dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah
melakukan penjualan dengan transfer pricing diluar prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha kepada perusahaan afiliansinya yang berada di Singapura.
4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna menghindari pajak, DJP menggunakan
metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (comporable Uncontrolled price/CUP). Adapun
kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding
yang sesuai.
5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar
disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena
perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan
Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India),
berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia pada tahun 2008 masih untung sehingga tidak bisa dbandingkan
dengan perusahaan-perusahaan tersebut.

24
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang
Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
(Advance Pricing Agremeent/APA) patut diapresiasi.
7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu,
APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.

3.2 Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan
terkait kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia antara lain :

1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk


melaksanakan program APA
2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum
menandatangani PA dengan Wajib Pajak
3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak
terjadi perbedan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.

25
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/30216203/ANALISIS_KASUS_TRANSFER_PRICIN

G_PT_TOYOTA_MOTOR_MANUFACTURING_INDONESIA
(Diakses pada tanggal 10 November 2020)

http://duniapengetahuan94.blogspot.com/2018/05/makalah-perpajakan-aspek-

perpajakan.html (Diakses pada tanggal 10 November 2020)

http://eprints.ums.ac.id/81631/1/BAB%20I.pdf (Diakses pada tanggal 10

November 2020)

26

Anda mungkin juga menyukai