Anda di halaman 1dari 23

Dosen Pengampu :1.Sondang Aida Silalahi, M.

Si
2. Haryani Pratiwi Sitompul, M.Si

PROJECT
REKONSILIASI FISKAL

Mata Kuliah : Manajemen Perpajakan

Disusun Oleh :

Chandra Martian Simanjuntak (7162142008)

Chairil Hamzah (7163142007)

Bayu Rahmat (7161142006)

Fadli Akbar (7163142014)

Kelas : A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2018
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan dalam bentuk
tugas “Project” dengan tepat waktu.

Dalam penyelesaian tugas Project ini, kami banyak mendapatkan


bimbingan dari berbagai pihak, kami juga menyadari bahwa kelancaran
penyusunan tugas Project ini tidak lain berkat dukungan semua teman-teman
sehingga kendala dan hambatan dapat kami hadapi.

Oleh karena itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :

1. Ibu Sondang Aida Silalahi, M.Si dan ibu Haryani Pratiwi Sitompul,
M.Si selaku dosen pengampu

2. Teman-teman serta Mahasiswa-Mahasiswi FE UNIMED

Kami menyadari bahwa tugas Project ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karenanya penulis memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun
guna perbaikan pembuatan tugas Project selanjutnya. Kami juga berharap semoga
tugas Makalah ini dapat diterima oleh Ibu dosen dan teman-teman semua.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan
mampu menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan , 20 April 2018

TimPenulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii


PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
2.1.REKONSILIASI FISKAL ........................................................................................ 3
2.1.1.Pengertian Rekonsiliasi Fiskal ........................................................................... 3
2.1.2.Laporan Keuangan Fiskal .................................................................................. 3
2.1.3.Kebijakan Fiskal ................................................................................................ 4
2.1.4.Jenis-Jenis Koreksi Fiskal .................................................................................. 4
2.1.5.Teknik Rekonsiliasi Fiskal ................................................................................. 7
2.2.KREDIT PAJAK ...................................................................................................... 7
2.2.1.Pengertian Kredit Pajak ..................................................................................... 7
2.2.2. Dasar Hukum .................................................................................................... 8
2.2.3. Perlakuan Dalam Praktek .................................................................................. 8
2.2.4. Penggabungan Penghasilan ............................................................................... 9
2.2.5. Jenis-Jenis Kredit Pajak .................................................................................... 9
2.3.PAJAK AKHIR TAHUN ....................................................................................... 13
2.4.CONTOH KASUS .................................................................................................. 15
BAB III ............................................................................................................................. 19
PENUTUP ........................................................................................................................ 19
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 19
3.2 Saran ...................................................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang memegang peranan
penting karena merupakan komponen yang terbesar dan sumber dana dalam
negeri untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan nasional. Menurut Dr.
N. J Feldmann, definisi pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
atau terutang pada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara
umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum (Siti Resmi, 2014).
Trade off adalah situasi dimana seseorang harus membuat keputusan
terhadap dua hal atau lebih, mengorbankan/kehilangan suatu aspek dengan alasan
tertentu untuk memperoleh aspek lain dengan kualitas yang berbeda sebagai
pilihan yang diambil. Ketika laba perusahaan tinggi maka di sisi akuntansi bersifat
menguntungkan, sebab akan menarik minat pemegang saham potensial.
Perusahaan terbuka akan memprioritaskan kepentingan ini. Namun dari sisi
perpajakan bersifat tidak menguntungkan, sebab meningkatkan beban pajak yang
harus dibayar. Trade off ini akan semakin kecil untuk perusahaan terbuka, karena
kepentingan pemegang saham menginginkan laba yang tinggi sehingga pajak
tidak dapat dikecilkan. Wajib Pajak dengan pemerintah memiliki kepentingan
yang berbeda dalam hal pembayaran pajak. Wajib Pajak berusaha membayar
pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti mengurangi
kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Di lain pihak, pemerintah memerlukan dana
sebanyak-banyaknya dari penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
Karena adanya perbedaan kepentingan, maka dengan self assesment
system Wajib Pajak cenderung berusaha meminimalisasi jumlah pembayaran
pajak. Upaya untuk meminimalisasi pembayaran pajak ini disebut dengan
perencanaan pajak. Perencanaan pajak yang baik adalah perencanaan yang sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku.Untuk memenuhi kewajiban tersebut,
Wajib Pajak harus melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Perusahaan harus menyusun

1
laporan keuangan fiskal untuk kepentingan pembayaran pajak.Tujuan utama dari
laporan keuangan fiskal adalah untuk menghitung penghasilan kena pajak.Secara
umum terdapat beberapa perbedaan antara prinsip akuntansi komersial dengan
prinsip akuntansi pajak, terutama dalam hal pengakuan pendapatan dan beban.
Laporan keuangan komersial yang telah disusun oleh perusahaan dapat diubah
menjadi laporan keuangan fiskal dengan cara melakukan koreksi seperlunya atau
penyesuaian dengan peraturan perpajakan melalui proses rekonsiliasi fiskal
(Iswahyudi, 2005). Sesuai dengan self assessment system yang dianut oleh
Undang-undang Pajak Penghasilan, maka koreksi fiskal harus dilakukan sendiri
oleh Wajib Pajak. Untuk memperhitungkan besarnya jumlah pajak yang harus
disetor, perusahaan harus melakukan penyesuaian antara laba komersial (laba
berdasarkan perhitungan akuntansi) dengan laba fiskal (laba berdasarkan
peraturan perpajakan) dengan menambahkan atau mengurangkan, baik perbedaan
tetap maupun perbedaan waktu/temporer. Oleh karena itu, perusahaan harus
melakukan koreksi fiskal atas laporan laba rugi komersialmenurut Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) dengan laporan laba rugi menurut Undang-Undang
Perpajakan yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa
masalah, yaitu sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud Rekonsiliasi Fiskal?
2. Apa saja jenis-jenis koreksi fiskal?
3. Bagaimana teknik Rekonsiliasi Fiskal?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memberi penjelasan mengenai Rekonsiliasi Fiskal
2. Untuk menguraikan jenis-jenis koreksi fiskal
3. Untuk menjelaskan teknik Rekonsiliasi Fiskal

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.REKONSILIASI FISKAL

2.1.1.Pengertian Rekonsiliasi Fiskal


Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan
keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi
menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya
adalah merupakan proses untuk mendapatkan angka laba fiskal atau laba kena
pajak dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap laba komersial atau
laporan laba rugi. Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya dilakukan oleh Wajib
Pajak yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi yang dilakukan akan menghasilan
koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak
Penghasilan (PPh) terutang. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan
pos-pos penghasilan dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain :
1. Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh Final.
2. Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
3. Wajib Pajak mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh
menjadi pengurang penghasilan bruto
4. Wajib pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan
ketentuan pajak
5. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk
mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan
yang bukan Objek Pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh non Final
Rekonsiliasi fiskal memiliki tujuan utama yaitu untuk menyajikan informasi
sebagai bahan menghitung besarnya penghasilan kena pajak sesuai dengan self-
assessment. Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan
oleh adanya perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung
laba secara komersial atau dengan secara fiskal. Koreksi fiskal dilakukan karena
adanya perbedaan antara laba atau rugi menurut perhitungan akuntansi komersial
dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka sebelum menghitung Pajak
Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi komersial tersebut harus
dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000.

2.1.2.Laporan Keuangan Fiskal


Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai
peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan
penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba
menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan
Undang-undang dan Peraturan Perpajakan.

3
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan
akuntansi dan pajak yaitu :
1. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam
pendekatan ini laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar
perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan pembukuan perusahaan
menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut
praktek pembukuan.
2. Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan
standar indepensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan
bebas untuk menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan
metode akuntansi.
3. Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi,
pendekatan ini laporan keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi
preferensi di berikan kepada ketentuan pajak apabila tidak sesuai dan
sejalan dengan standar akuntansi.
Susunan laporan keuangan fiscal :
1. Input berupa dokumen dasar
2. Dicatat dalam buku harian jurnal
3. Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar
4. Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku
tambahan, seperti piutang, hutang dll
5. Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan
terhadap fakta pada akhir tahun dan catatan penutup.
6. Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial
7. Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam
ketentuan perpajakan
8. Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan
menghasilkan laporan keuangan fiscal.

2.1.3.Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiscal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa
pajak) pemerintah. Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan
maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian atau dengan perkataan lain,
dengan kebijakan fiskal pemerintah berusaha mengarahkan jalannya
perekonomian menuju keadaan yang diinginkannya. Dengan melalui kebijakan
fiskal, antara lain pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional,
dapat mempengaruhi kesempatan kerja, dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
investasi nasional, dan dapat mempengaruhi distribusi penghasilan nasional. Dua
unsur utama dari fiskal adalah perpajakan dan pengeluaran publik.

2.1.4.Jenis-Jenis Koreksi Fiskal


Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis – jenis perbedaan antara
akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 Tahun 1994 dan UU
Nomor 17 Tahun 2000). Perbedaan antara standar akuntansi (SAK) dengan
peraturan pajak (Fiskal) disebabkan oleh perbedaan yang sifatnya tetap dan
perbedaan yang sifatnya temporer. Untuk memahami penerapan PSAK 46 langkah
pertama adalah memahami kedua perbedaan tersebut di atas.

4
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan
terjadinya koreksi fiskal, yaitu:
1. Beda Tetap (Permanen)
Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya
permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan
laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan
koreksi karena beda tetap terjadi karena :
a. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU
PPh)
b. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
 Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
 Penghasilan berupa hadiah undian
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau
bangunan,
 Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
 Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
 dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena
menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-
undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto,
misalnya:
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
 yang bukan objek pajak
 yang pengenaan pajaknya bersifat final
 yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
c. Pajak Penghasilan
d. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

5
e. Biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat
dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)

Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif atau
koreksi positif. Koreksi negatif artinya penghasilan yang diakui oleh akuntansi
komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan
objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, menyebabkan laba kena
pajak berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang lebih kecil.
Sedangkan koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif
artinya biaya yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak bertambah yang akhirnya akan
menyebabkan PPh terutang menjadi lebih besar.
2. Beda Waktu (Temporer)
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang
sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan
dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan
penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena : Penerimaan penghasilan
cash basis untuk lebih dari satu tahun.Secara akuntansi komersial penghasilan
tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip
matching cost with revenue.Sedangkan menurut Undang-undang PPh,
penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada
saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-
tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan
bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan
laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat
menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang
digunakan.
1) Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya
pengurangan biaya yang telah diakuai dalam laporan laba rugi secara komersial
menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan
adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal positif diantaranya:
 Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham
 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
 Pengeluaran dalam bentuk natura
 Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham
 Sumbangan atau bantuan
2) Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya
penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial

6
sehingga semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan
mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal
negatif diantaranya:
 Penyusutan/amortisasi
 Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
Penyusutan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil
perhitungan apa lebih besar atau malah lebih kecil.Untuk lebih mendalami koreksi
fiskal kita dapat juga membaca laporan audit akuntan publik atas laporan
keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan mempunyai pos yang berbeda
atas koreksi fiskalnya.
2.1.5.Teknik Rekonsiliasi Fiskal
Penghasilan
Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan
tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba
menurut akuntansi. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi
diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah
penghasilan tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah
laba menurut akuntansi.
Beban (Biaya)
Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak
diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya
menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
Jika suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi
diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan menambahkan sejumlah biaya atau pengeluaran teersebut pada biaya
menurut akuntansi yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

2.2.KREDIT PAJAK

2.2.1.Pengertian Kredit Pajak


Pengertian kredit pajak adalah memperhitungkan pajak penghasilan yang
telah dibayar atau dipungut di muka dengan jumlah pajak yang terutang pada
akhir tahun pajak. Sebagaimana telah diketahui, bahwa wajib pajak dalam negeri
dikenakan pajak pada saat penghasilan diperoleh atau diterima dan bersifat tidak
final (dapat sebagai kredit pajak), terkait dengan PPh pasal 21, PPh pasal 22 dan
PPh pasal 23.
Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak yang
bersifat final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. Demikian pula untuk
pajak penghasilan yang dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak
dalam negeri. Pajak penghasilan yang telah dipungut di luar negeri dapat
dikurangkan dengan pajak penghasilan yang terhutang di Indonesia, bila telah ada
perjanjian kerjasama timbal balik (tax treaty) di bidang perpajakan antara

7
Indonesia dengan Negara lain. Bila belum ada perjanjian pajak, maka wajib pajak
tidak dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan besarnya pajak yang dapat
dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan yang telah dipungut
di luar negeri diatur dalam pasal 24. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang
terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau
dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.

2.2.2. Dasar Hukum


 UU No. 6/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18/2009 (UU
KUP).
 UU No. 7/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 36/2008 (UU
PPh).
 Keputusan Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2002 tentang Kredit
Pajak Luar Negeri

2.2.3. Perlakuan Dalam Praktek


Berdasarkan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UU PPh dinyatakan bahwa:
 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini
dalam tahun pajak yang sama.
 Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebesar
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang ini.
Agar dapat melakukan kredit pajak dengan baik, ada baiknya kita perlu
memperhatikan dasar pengakuan penghasilan. Dari dua ayat tadi kita dapat
peroleh pengertian bahwa:
a. Penghasilan yang “diterima” mengindikasikan bahwa penghasilan diakui
pada saat dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan “diperoleh”
menunjukkan penghasilan diakui pada saat terjadinya walaupun uang
belum diterima (accrual basis). Pajak penghasilan di luar negeri ini bisa
jadi telah dibayar (cash basis) atau belum dibayar atau terutang (accrual
basis)oleh wajib pajak
b. Pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan
sebagai pengurang (kredit pajak) pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan pada tahun pajak yang sama
c. Batas kredit ditentukan menurut undang-undang
d. Besarnya kredit pajak tidak boleh melebihi jumlah batas kredit pajak

8
2.2.4. Penggabungan Penghasilan
Wajib pajak menggabungkan (menjumlahkan) penghasilan yang diterima
atau diperoleh di luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh
didalam negeri, guna menentukan jumlah pajak penghasilan yang terutang pada
tahun pajak berdasarkan tarif normal (pasal 17). Penggabungan penghasilan yang
berasal dari luar negeri dilakukan dengan ketentuan berikut :
 Untuk penghasilan dari usaha dilakukan penggabungan dengan
penghasilan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
 Untuk penghasilan lainnya dilakukan penggabungan dengan penghasilan
dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
 Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan penggabungan dengan
penghasilan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut
ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Indonesia menganut kredit pajak dengan metode ordinary credit.Kredit
pajak luar negeri lebih lanjut diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
No. 164/KMK.03/2002. Pajak penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan
hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh oleh wajib pajak. Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang
terutang menurut UU ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa Negara, maka
pengitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara. Kredit
pajak dihitung dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap
Penghasilan kena pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan
kena pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena
pajak dalam hal Penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

2.2.5. Jenis-Jenis Kredit Pajak


Kredit Pajak Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT
 Pasal 22 : Pemungutan PPh dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain.
 Pasal 23 : Pemotongan PPh dari dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah
dan penghargaan, dan imbalan lain.
 Pasal 24 : Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar
negeri yang boleh dikreditkan.
 Pasal 25 : Pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri

9
a. Kredit Pajak PPh Pasal 22.

Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat


maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga-lembaga Negara lainnya. Pajak
ini berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barangdan badan-badan
tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Tarif Pajak
 Atas Impor:
 Ada API (Angka Pengenal Impor)à 2.5% x nilai impor (CIF + BM)
 Tdk ada API à 7.5% x nilai impor
 Lelang à 7.5% x harga jual lelang

 Atas pembelian barang yang dipungut oleh Pemungut Pajak:


 1.5% x harga pembelian
 Yang wajib dipungut oleh industri dan eksportir yang bergerak di sektor
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-
bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang
pengumpul:
 0.5% x harga pembelian (tdk termasuk PPN)
 Atas penjualan hasil produksi atau pembelian yang dilakukan oleh badan
usaha yang bergerak di bidang tertentu:
 Di bidang industri semen: 0.25% x DPP PPN
 Di bidang industri baja: 0.3% x DPP PPN
 Di bidang industri kertas: 0.1% x DPP PPN
 Atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor: 0.45% x DPP PPN
 Tarif PPh Pasal 22 yang ditetapkan untuk Pertamina dan Badan Usaha
lainnya yang bergerak di bidang bahan bakar minyak:
SPBU Swasta SPBU Pertamina
Premix 0.3% x penjualan 0.25% x penjualan
Solar 0.3% x penjualan 0.25% x penjualan
Premix/ 0.3% x penjualan 0.25% x penjualan
Super TT
Minyak tanah 0.3% x penjualan
Gas LPG 0.3% x penjualan
Pelumas 0.3% x penjualan

b. Kredit Pajak PPh Pasal 23.


Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari:
modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Ps. 21 yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah atau Subjek
Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, BUT.
Saat terutangnya pajak
Terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan bersangkutan, mana yang terjadi terlebih dulu.
Pemotong Pajak
 Badan Pemerintah

10
 Subjek Pajak badan dalam negeri
 Penyelenggara kegiatan
 BUT
 Orang pribadi sebagai WP dalam negeri tertentu (akuntan, arsitek, dokter,
notaris, orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan atas pembayaran berupa sewa).
Tarif Pajak
 15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, hadiah dan
penghargaan selain yang telah dipotong PPh ps. 21 (yang diperoleh oleh
WP badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang
diselenggarakan)
 15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan
bangunanà final tax)
 imbalan sehubungan dengan jasa lain, misal jasa manajemen, jasa
kesehatan, dll. sebesar 2%

c. Kredit Pajak PPh Pasal 24.


PPh pasal 24 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri
Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya
penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Indonesia
menganut Tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per country
limitation
Penggabungan Penghasila yang berasal dari LN dilakukan sbb:
 Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak
diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis)
 Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak
diterimanya penghasilan tersebut (cash basis)
 Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh)
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut di
tetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan .
Batas Maksimum Kredit Pajak diambil yang terendah dari 3
unsur/perhitungan berikut:
 Jumlah Pajak yang terutang atau dibayar di Luar Negeri
 ( Penghasilan Luar Negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak ) x PPh atas
seluruh yang dikenakan tarif pasal 17
 Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam
hal penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar
negeri).
Batas Maksimum Kredit Pajak untuk setiap Negara (per Country Limitation):
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka perhitungan
batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara.
Rugi Usaha di Luar Negeri
Dalam menghitung penghasilan kena pajak, kerugian yang diderita oleh
Wajib Pajak di luar Negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang
diterima di dalam negeri (Indonesia).

11
d. Kredit Pajak PPh Pasal 25.
Dalam sistem perpajakan Indonesia dikenal istilah cicilan bulan Pajak
Penghasilan yang merupakan pembayaran pendahuluan atas PPh yang akan
terutang di akhir tahun berdasarkan SPT Tahunan PPh, yang dikenal dengan
Angsuran PPh Pasal 25.
Perhitungan Kredit Pajak
1. PPh Dipotong/Dipungut pihak lain
a) Kredit Pajak Dalam Negeri
• PPh Pasal 21 xxx
• PPh Pasal 22 xxx
• PPh Pasal 23 xxx xxx
b) Kredit Pajak Luar Negeri
• PPh Pasal 24 xxx

2. PPh Yang dibayar sendiri


• PPh Pasal 25 xxx
Jumlah Kredit Pajak xxx

Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini
mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Contoh :
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X.
Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$
100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak
Dividen adalah 38%.

Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:


Keuntungan Z Inc US$
100,000.00
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc.: (48%) US$
48,000.00 (-)
US$
52,000.00
Pajak atas dividen (38%) US$
19,760.00 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$
32,240.00

12
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu
jumlah sebesar US$ 19,760.00. Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z
Inc. sebesar US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar
negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.

2.3.PAJAK AKHIR TAHUN


Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 28
ayat 1 disebutkan bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak
yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan
berupa :
 pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
 pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
 pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti sewa,
hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23;
 pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
 pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25;
 pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (5).

Pasal tersebut memiliki penjelasan bahwa pajak yang telah dilunasi dalam
tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong
serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
pada akhir tahun pajak yang bersangkutan

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00
Kredit pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00
Dibayar sendiri oleh wajib pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00

Dalam pasal 28 ayat 2 disebutkan bahwa sanksi administrasi berupa


bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana

13
dimaksud pada ayat (1). Pasal 28A disebutkan bahwa apabila pajak yang terutang
untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang
pajak berikut sanksi-sanksinya. Pasal ini memiliki penelasan bahwa sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk
berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau
perhitungan kelebihan pajak. Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum
dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah:
 kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang;
 keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak
yang bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak
atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan
atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain
yang berkaitan dengan penentuan besarnya pajak penghasilan yang terutang,
kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk
menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.
Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar
kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak
Wajib Pajak.
Dalam Pasal 29 disebutkan apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun
pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Yang
memiliki penjelasan bahwa pasal 29 mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi
kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang
ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan
paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib
dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30
April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila
tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli
sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30
September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak
badan.

14
2.4.CONTOH KASUS

URAIAN KOMERSIAL
Peredaran Usaha
Penjualan 40.500.000.000
Harga Pokok Penjualan
Pembelian 35.000.000.000
Persediaan Awal 6.000.000.000
Persediaan Akhir 4.000.000.000
Harga Pokok Penjualan 37.000.000.000
Laba Bruto 3.500.000.000

Biaya Operasi dan Umum:


1 Gaji 1.200.000.000
2 Sewa 250.000.000
3 Biaya Perjalanan 191.000.000
4 Perbaikan & Pemeliharaan+B34 135.000.000
5 Promosi 220.000.000
6 Penelitian dan Pengembangan 300.000.000
7 Penghapusan Piutang Tidak Tertagih 125.000.000
8 Bongkar Muat 35.000.000
9 PKB, PBB, Bea Meterai 20.000.000
10 Telp / Fax 50.000.000
11 Listrik / Air 45.000.000
12 Pajak & Perijinan 30.000.000
13 Profesional Fee 17.500.000
14 Asuransi Kerugian & Kebakaran 15.000.000
15 Penyusutan 200.000.000
16 Training Ke Luar Negeri -Manager 150.000.000
17 Sumbangan & Bantuan 122.000.000
18 Natura 150.000.000

15
19 Lain-lain 82.000.000
Total Biaya 3.337.500.000
Laba Usaha 162.500.000
Pendapatan & Beban Lain-lain:
1 Dividen dari PT. AGAR (saham 20%) 50.000.000
2 Dividen dari PT. KITA (saham 26%) 30.000.000
3 Pendapatan Sewa Mobil 40.000.000
4 Keuntungan Penj. Tanah 25.000.000
5 Bantuan Dari PT. SEGALANYA 10.000.000
6 Jasa Giro di Bank BCA 1.500.000
7 Keuntungan Selisih Kurs 5.000.000
Total Pendapatan & Beban Lain-lain 161.500.000
Laba Tahun Berjalan Sebelum PPh 324.000.000

Keterangan Data
Keuangan :
Dalam pembelian terdapat pembelian, ada biaya yang tidak dapat
1 dibuktikan (tidak ada daftar nominatif) sebesar Rp 5.000.000.
Dalam biaya gaji & tunjangan, dapat
2 dirinci sbb:
Gaji, bonus,
- THR 1.050.000.000
Premi JKK, JKM, JPK Ke
- Jamsostek 30.000.000
Iuran Pensiun Karyawan Dibayar
- Perush. 20.000.000

- PPh 21 ( Ditanggung Perusahaan) 30.000.000


Tunjangan Kesehatan &
- Tunjangan Transportasi 70.000.000

1.200.000.000
4 Dalam biaya sewa, dapat dirinci sbb:
Sewa Gedung
- Kantor 200.000.000
Sewa
- Kendaraan 50.000.000

250.000.000

16
Dalam biaya perjalanan dinas, dapat
5 dirinci sbb:

- Perjalanan Dinas Dalam Negeri 30.000.000


Perjalanan Dinas Dalam Rangka
- Litbang Luar Negeri 145.000.000
Uang Saku Untuk Perjalanan
- Dinas 15.000.000

- Airport Tax 1.000.000

191.000.000
Dalam Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan, dapat
6 dirinci sbb:
Bangunan
- Kantor 110.000.000
Mobil Yang
- Disewakan 25.000.000

135.000.000
Dalam biaya promosi, dapat dirinci
7 sbb:
Pameran Produk
- Baru 130.000.000
Presentasi (Tidak dapat
- dibuktikan) 50.000.000
Iklan Surat
- Kabar 40.000.000

220.000.000
Dalam biaya Litbang, dapat dirinci
8 sbb:
Survei di
- Vietnam 250.000.000
Survei di Irian
- Jaya 50.000.000

300.000.000
Biaya tersebut merupakan penghapusan kepada 1 rekanan, sudah dijurnal,
9 dibuatkan daftar nominatif, tapi tidak diiklankan di media.
Dalam biaya PKB, PBB, Bea Meterai terdapat pembayaran untuk Mess
10 karyawan Rp 3.000.000.
Beban Pajak & Perijinan adalah pembayaran kepada Notaris karena
11 pengurusan surat-surat perusahaan
Atas jasa pembuatan DSIGN LOGO, perusahaan mengeluarkan beban fee
12 sebesar Rp 17.500.000 kepada Tuan SAPTO yang
tercatat sbg komisaris PT. TERSENYUMLAH. Jasa Design sejenis bila
diselesaikan pihak lain, hanya memerlukan biaya Rp 15.000.000

17
13 Penyusutan Fiskal Rp 110.000.000
Dalam biaya sumbangan, bantuan, zakat dapat dirinci
14 sbb:
Sumbangan HUT
- RI 5.000.000
- CSR:
1. Dalam bentuk
uang 25.000.000

2. Dalam bentuk sarana/barang 15.000.000

- Hibah ke Yayasan Panti Asuhan 50.000.000

- Sumbangan olah raga ke PBSI 20.000.000


Zakat langsung diberikan ke
- Saudara karyawan Perush. 7.000.000

122.000.000
Dalam biaya natura & kenikmatan,
15 dapat dirinci sbb:
Beras, Kecap, Gula (jika dinilai
- harga pasar) 25.000.000

- Pulsa HP untuk Manager 10.000.000

- Rumah (Mess) Untuk Karyawan 5.000.000

- Biaya Makan Minum Karyawan 100.000.000


Biaya Operasional Sedan Direksi
- Dibawa Pulang 10.000.000

150.000.000
Dalam biaya lain-lain, dapat dirinci
16 sbb:
Biaya Jamuan Makan Relasi /
- Entertainment 50.000.000
Biaya rekreasi karyawan
- (Outbond) 25.000.000
Biaya Ikut Seminar Pajak SPT
- Tahunan 2.000.000
Biaya Keperluan Dapur Kantor
- (Ada Bukti) 5.000.000

82.000.000
Harga Beli Rp 600.000.000,- Dijual
17 Rp 625.000.000,-
Tidak ada hubungan apapun antara PT. TERSENYUMLAH dengan PT.
18 SEGALANYA

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Rekonsiliasi Fiskal, yaitu suatu mekanisme untuk menyesuaikan laporan


keuangan komersial perusahaan menjadi sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.
2. Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang
menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu beda tetap (permanen) dan
beda waktu (sementara). Beda waktu dibedakan menjadi koreksi positif
dan negatif.
3. Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara; Jika suatu penghasilan
diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, maka
kurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut
akuntansi, begitupun sebaliknya, dan Jika suatu biaya atau pengeluaran
diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto menurut fiskal rekonsiliasi dilakukan dengan
mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya
menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi,
begitupun sebaliknya.
4. Formulir SPT Tahunan PPh Badan ada dua jenis; yaitu SPT dengan kode
1771 dan SPT berkode 1771/$. SPT 1771 diperuntukkan untuk WP Badan
pada umumnya yang meliputi WP Badan yang berbentuk hukum : PT, CV,
perseroan lainnya, BUMN/D, koperasi, yayasan dan lain-lain.

3.2 Saran

Dengan adanya Rekonsiliasi Fiskal diharapkan para Wajib Pajak dapat


memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.Sedangkan bagi pemerintah diharapakan dapat meningkatkan
pengawasan dalam penyelenggaraan pembayaran pajak.

19
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mardiasmo, M. A. (2011). Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta:


ANDI Yogyakarta.

Resmi, Siti. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat

Waluyo. 2011. “Perpajakan Indonesia”. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

20

Anda mungkin juga menyukai