Anda di halaman 1dari 23

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TANGERANG SELATAN

PAPER
ANALISIS KASUS TRANSFER PICING
PADA TOYOTA MOTOR

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4


Angun Febrianti (6)
Dewa Gede Agung Trimartana Krisna Wibawa (13)
Julaika Putri Rokhayatim (20)
M. Sahib Saesar Anugrah (21)
Muhammad Noor (23)
Reaca Raksa Teruni (30)
Samtri Dortua Gultom (34)
Tommy Avif Setiawan (37)

MATA KULIAH PAJAK KONTEMPORER


PROGRAM DIPLOMA IV AKUNTANSI – ALIH PROGRAM
TAHUN 2019/2020

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 3
1. Definisi Transfer Pricing ................................................................................................. 3
2. Metode Transfer Pricing ................................................................................................. 4
3. Dasar Hukum Perpajakan ................................................................................................ 5
4. Arm’s Length Principle ................................................................................................... 6
B. Rumusan Masalah............................................................................................................ 7
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................................... 7
D. Pembatasan Masalah........................................................................................................ 8
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................................................... 9
BAB III PEMBAHASAN ...........................................................................................................13
A. Kronologis Kasus ............................................................................................................13
B. Analisis Perpajakan ........................................................................................................14
C. Kendala yang Dihadapi Direktorat Jenderal Pajak...........................................................17
BAB IV PENUTUP ....................................................................................................................20
A. Kesimpulan.....................................................................................................................20
B. Saran ..............................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................22

2
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Definisi Transfer Pricing
Transfer Pricing Menurut Simamora dalam Mangoting (2000:70) didefinisikan
sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk
mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying
division). Transfer pricing juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate
pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan
untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar
anggota grup dalam sebuah perusahaan multinasional dimana harga transfer yang
ditentukan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi
grupnya. Mereka dapat menyimpang dari harga pasar wajar karena posisi mereka yang
berada dalam keadaan bebas untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi
korporasinya (OECD,1979).
Jerry M. Rosenburg dalam Santoso (2004:126) mengungkapkan bahwa “transfer
pricing is the price charged by one segment of an organization for a product or service it
supplies to another part of the same firm” atau harga transfer adalah harga yang
ditentukan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang
dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama. Sedangkan Garrison, Noreen
and Brewer (2007:278) mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang dibebankan
jika satu segmen perusahaan menyediakan barang atau jasa kepada segmen lain dari
perusahaan yang sama.
Ditinjau dari aspek perpajakan, Susan M. Lyons mendefinisikan transfer pricing
sebagai harga yang dibebankan oleh suatu perusahaan atas barang, jasa, harta tak
berwujud kepada perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (International Tax
Glossary, Amsterdam, 1996:312). Pengertian lain dari transfer pricing menurut Suryana
(2012) adalah transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok

3
usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau
menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global
(multinational enterprise). Yang dimaksud dengan perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara di bawah pengendalian satu pihak
tertentu.
2. Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan
konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi yaitu :
a. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga
transfer atas biaya variabel dan tetap dalam 3 bentuk yaitu : biaya penuh (full cost),
biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan gabungan antara biaya
variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
b. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga
pasar merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen.
Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam
mengunakan transfer pricing berdasarkan harga pasar.
c. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam
perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga
transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif
kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap
divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas
harga transfer yang dinegosiasikan.
Dalam praktik di lapangan, perusahaan melakukan penyalahgunaan transfer
pricing untuk memusatkan laba di negara tarif rendah. Tujuannya adalah agar laba
perusahaan kelompok menjadi lebih tinggi. Menurut Kurniawan (2015:130), skema
penghindaran pajak dengan praktik transfer pricing adalah dengan memperkecil
penjualan, memperbesar pembelian, memperbesar pembelian dan memperkecil
penjualan, alokasi biaya administrasi dan umum, thin capitalization, pembayaran royalti,

4
pembayaran jasa Intra-Group, jasa produksi/maklon, mendirikan perusahaan boneka
(dummy company), reinvoicing, dan penjualan atau pembelian saham.
3. Dasar Hukum Perpajakan
Pemerintah melalui Menteri Keuangan RI mengatur mengenai ketentuan Transfer
Pricing dalam hal aspek perpajakan secara rinci pada Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau
Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan Oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi
dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya.
PMK ini mencakup peraturan mengenai dokumen penentuan Harga Transfer serta
peraturan mengenai pihak-pihak yang diwajibkan menyelenggarakan Transfer Pricing
Documentation (TP Doc/ TP Documentation), dan tentu saja aturan mengenai keberatan
maupun pemeriksaan terkait Transfer Pricing juga disebutkan maupun disebutkan untuk
diatur lebih lanjut dalam PMK ini.
Namun sebelumnya Direktorat Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan peraturan
yang berkaitan dengan Transfer Pricing, yakni Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan PER-43/PJ/2010 tentang Pedoman Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Namun pada PMK-213 tentunya mencakup lebih
banyak pihak threshold mengenai siapa saja yang wajib menyelenggarakan TP
Documentation, dimana pada PER-32 terdapat beberapa batasan dan pengecualian
mengenai pihak yang wajib membuat TP Documentation, yakni pengecualian untuk
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa namun nilai seluruh transaksinya untuk
satu tahun pajak pada setiap lawan transaksi tidak melebihi sepuluh milyar rupiah.
Sedangkan pada PMK-213, pengertian pihak yang wajib menyelenggarakan TP
Documentation mencakup lebih banyak pihak. Wajib Pajak yang melakukan transaksi
afiliasi dan memenuhi salah satu kriteria di bawah ini diwajibkan menyelenggarakan TP
Documentation. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
a. Total peredaran bruto tahun sebelum lebih dari 50 milyar rupiah
b. Transaksi afiliasi barang berwujud tahun sebelumnya lebih dari 20 milyar rupiah
c. Transaksi afiliasi selain barang berwujud tahun sebelumnya lebih dari 5 milyar rupiah

5
d. Melakukan transaksi afiliasi dengan pihak afiliasi di negara atau yurisdiksi dengan
tarif PPh lebih rendah dari pada tarif PPh yang seharusnya, yakni yang dimaksud
pada Pasal 17 UU PPh
e. Merupakan entitas induk dari suatu grup usaha yang memiliki peredaran bruto
konsolidasi pada tahun pajak bersangkutan paling sedikit 11 triliun rupiah
f. Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai anggota Grup Usaha dan entitas
induk dari Grup Usaha yang merupakan SPLN.
Selain kedua peraturan di atas, dalam rangka mengatur dan memberikan kepastian
pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 terutama dalam hal
mengatur tentang kesepatakan harga transfer, maka kemudian Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan sebuah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 pada
tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement). Peraturan mengenai kesepakatan harga transfer ini ditujukan untuk
memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer
pricing.
4. Arm’s Length Principle
Menurut peraturan yang telah disebutkan sebelumnya yakni PMK-
213/PMK.03/2016, yang dimaksud Arm’s Length Principle (ALP) atau Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha merupakan prinsip yang mengatur bahwa dalam hal
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
para pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang dijadikan sebagai
pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dimaksud harus sama dengan atau berada dalam rentang
harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.
Penerapan ALP pada DJP diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2011 tentang perubahan PER-43/PJ/2010 tentang Pedoman Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Meskipun Arm’s length principle (ALP) menjadi
dasar/standar internasional dalam menentukan harga transfer untuk tujuan pajak, namun

6
penerapan ALP dapat bervariasi pada setiap negara, padahal acuan untuk ALP di hampir
semua negara merujuk pada OECD Transfer Pricing Guidelines.
Karena penerapan ALP pada hampir tiap negara terdapat perbedaan, DJP juga
dapat memiliki penafsiran tertentu atas ALP yang mungkin saja berbeda dengan
penerapan ALP di negara lain, baik dalam hal PPN maupun PPh. Hal ini didasarkan pada
Pasal 18 ayat (3) UU PPh dan Pasal 2 UU PPN. Penerapan ALP oleh DJP dapat berupa
penghasilan wajar, biaya yang wajar, maupun penentuan utang sebagai modal. Penerapan
ALP untuk penghasilan yang wajar dapat berupa ketentuan mengenai berapa jumlah
untung atau rugi yang wajar dari transaksi hubungan istimewa.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
a. Apakah yang dimaksud dengan Transfer Pricing dan bagaimana Direktorat Jenderal
Pajak mengatur aspek perpajakan terkait praktik transfer pricing di Indonesia?
b. Bagaimanakah kronologi kasus transfer pricing yang terjadi pada PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia di tahun pajak 2005?
c. Apa saja langkah-langkah yang diambil Direktorat Jenderal Pajak dalam menangani
kasus transfer pricing yang terjadi pada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia?
d. Apa saja kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menangani
kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia?
e. Apa saja solusi yang direkomendasikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sehubungan
aspek perpajakan terkait praktik transfer pricing di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
a. Memberikan pemahaman terhadap konsep transfer pricing dan aspek perpajakan
yang berhubungan dengan transfer pricing.
b. Mengetahui kronologi kasus transfer pricing yang dilakukan oleh PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia di tahun pajak 2005 dan langkah apa saja yang diambil oleh
Direktorat Jenderal Pajak untuk menangani kasus tersebut.

7
c. Mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak
dalam menangani kasus transfer pricing di PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia.
d. Memberikan rekomendasi solusi bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menangani
kasus-kasus transfer pricing di waktu yang akan datang.

D. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya pengembangan yang dapat dilakukan pada topik
transfer pricing, maka perlu disusun batasan-batasan yang jelas mengenai apa yang
dibahas dan dituliskan pada makalah ini. Ruang lingkup yang dibahas pada makalah ini
mencakup pembahasan kasus transfer pricing yang dilakukan oleh PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia di tahun pajak 2005 sampai dengan tahun pajak 2008.

8
BAB II LANDASAN TEORI

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan


organisasi kerjasama ekonomi negara-negara maju yang dibentuk tahun 1961. Tujuan
didirikannya OECD adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan standar hidup yang berkelanjutan, perluasan ekonomi
yang sehat, dan kontribusi perluasan perdagangan dunia secara multilateral berdasarkan
nondiskriminasi dari semua anggota.
Bidang yang menangani perpajakan dalam OECD dilakukan oleh Committee on Fiscal
Affairs (CFA). Terkait dengan transfer pricing CFA melalui sub groupnya yaitu working party
No. 6 menerbitkan OECD transfer pricing guidelines (Darussalam, 2008). OECD Transfer
Pricing Guidelines berguna sebagai panduan bagi perusahaan multinasional dan otoritas pajak
dalam masalah transfer pricing. Guidelines ini dibuat untuk membantu otoritas pajak maupun
perusahaan multinasional dalam memberikan panduan tentang cara penyelesaian perselisihan
transfer pricing yang saling menguntungkan antara masing-masing otoritas pajak, dan antara
otoritas pajak dengan perusahaan multinasional.
Beberapa ketentuan umum dalam pedoman (OECD, 1997) antara lain yaitu menerapkan
arms-length principle dengan preferensi pada metode transaksi tradisional (traditional
transaction-based method), menerapkan tingkat komparabilitas yang menekankan fungsi, risiko
yang disandang dan asset yang dimanfaatkan, mengenalkan metode laba (profit based method)
yang disebut transactional net margin method (TNMM), dan memahami pentingnya
dokumentasi atas transfer pricing dan peranan pinalti dalam meningkatkan kepatuhan.
Metode dalam penentuan transfer pricing antara lain:
A. Metode Tradisional
1. Comparable Uncontrolled Price Method (CUPM)
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled
price) atau disingkat CUPM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan
dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang
sebanding. Kondisi yang tepat untuk menggunakan CUPM ini adalah :

9
d. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam
kondisi yang sebanding; atau
e. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang
akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
Apabila tidak ada kondisi di atas yang sesuai, maka CUPM tidak dapat digunakan dan
Wajib Pajak harus menggunakan metode lain yang sesuai.
2. Cost-Plus Method (CPM)
Harga pasar wajar ditentukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok
penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Kondisi yang
tepat untuk menggunakan CPM adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility
agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
Apabila tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka metode CPM tidak dapat digunakan
dan Wajib Pajak harus menggunakan metode lain yang sesuai.
3. Resale Price Method (RPM)
Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat RPM adalah
metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar,
yang mencerminkan fungsi, aset, dan risiko atas penjualan kembali produk tersebut
kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali

10
produk yang dilakukan dalam kondisi wajar. Kondisi yang tepat untuk menggunakan
metode ini adalah :
a. tingkat kesebandingan yang tinggi pada transaksi antara Wajib Pajak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil
analisis fungsi, meskipun barang/jasa yang diperjualbelikan berbeda, dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan
atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.

B. Metode Transactional Profit


1. Profit Split
Metode ini digunakan apabila data pembanding tidak cukup lengkap. Laba dari transaksi
antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dapat diketahui dengan cara
melakukan analisis fungsi atas kegiatan usaha yang dilakukannya.
2. Transactional Net Margin Method (TNMM)
Metode ini juga digunakan apabila data pembanding tidak cukup lengkap.
Membandingkan laba bersih dengan Harga Pokok Penjualan (HPP), penjualan atau
aktiva yang dipergunakan untuk menghasilkan laba bersih tersebut, setelah itu laba bersih
atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

C. Metode Lainnya
OECD Guidelines tidak memperkenankan metode lainnya untuk menentukan harga
pasar wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang sesungguhnya.
Metode ini terdiri dari global split method dan juga formulary apportionment method. Dalam
Pasal 18 ayat (3) UU PPh, dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan
metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali,
metode biaya-plus atau metode lainnya.

11
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak yang dapat muncul karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun
pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib
Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah
penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen (Comparable Uncontrolled Price Method), metode harga penjualan kembali
(Resale Price Method), metode biaya-plus (Cost-Plus Method) atau metode lainnya seperti
metode pembagian laba (Profit Split Method) dan metode laba bersih transaksional
(Transactional Net Margin Method).

12
BAB III PEMBAHASAN

A. Kronologis Kasus

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun


2003. Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada
bisnisnya. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di
bawah satu bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra
Motor terdiri atas dua pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota
Motor Corporation Jepang (sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra
International, Tbk menjual sebagian besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada
Toyota Motor Corporation Jepang. PT Astra International, Tbk menjual sahamnya di PT
Toyota Astra Motor karena mereka mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa
ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang
menjadi pemegang saham mayoritas PT Toyota Astra Motor dengan kepemilikan saham
sebesar 95%. Akibat dari perubahan kepemilikan tersebut, nama perusahaan berubah dari
PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjalankan fungsi produksi Toyota
Indonesia.

Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan
Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal
pemegang merek (ATPM). Perusahaan agen tunggal pemegang merek ini menggunakan
nama lama, yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi
pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham, sementara sisanya sebesar
46% menjadi milik Toyota Motor Corporation Jepang.

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib


Pajak melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005,
2007, dan 2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak
terhadap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap
SPT Tahunan Toyota pada Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah

13
kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5
triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara
laba kotor dengan tingkat penjualan) juga mengalami penurunan, dari sebelumnya
14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.

Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami


peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross
margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per
tahun. Sementara di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek
yang didirikan setelah restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika
gross margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia, persentasenya masih sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak
setelah restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum
restrukturisasi yang mencapai 14%.

Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor


Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific
Pte., Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific
Pte., Ltd inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke negara-negara lainnya seperti Filipina dan Thailand. Skema
jual-beli melalui negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan
internasional, apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan
multinasional yang sama. Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang
perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan penghindaran pajak.

B. Analisis Perpajakan
Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh
menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan
kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha

14
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga
penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Hubungan istimewa
dikatakan terjadi jika Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak
lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik
langsung maupun tidak langsung, atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor
32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu
harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar. Dalam Peraturan Dirjen Pajak ini juga diatur
bahwa arm’s length principle dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah
melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding, menentukan metode
penentuan harga transfer yang tepat, menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, dan mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga
Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.

Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan


ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif
Pajak Penghasilan korporasi paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai
dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah
Indonesia, di mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer
pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya
memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk

15
memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban
pajaknya secara keseluruhan.

Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan
untuk mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan
pajak SPT Tahunan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007
menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan
keuangan Toyota, petugas pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of
goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal
Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan
nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan
mobil-mobil itu ke Singapura.

Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan
mobil Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjual Innova diesel dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
masing-masing dengan harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per
unit. Sementara itu, pada ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari
biaya produksinya per unit.

Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing


Indonesia menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan
domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di
Indonesia dengan harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil
tersebut dijual dengan gross margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.

Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk


menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
penghindaran pajak melalui transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara
penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang wajar apabila penentuan harganya

16
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja proses
produksi yang dilakukan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia atas produk-produk
yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak efisien sehingga PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan penjualan ekspor dengan harga jual di
bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan terjadinya penghindaran pajak melalui
transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi dari
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di
Singapura.
Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price
dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific
Pte., Ltd di Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi
perusahaan sejenis di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga
antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP). Cara ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Petugas pajak
kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik
serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan
Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei,
dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan
tersebut, pemeriksa pajak menetapkan bahwa kisaran gross margin yang dapat dinilai
wajar (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah
3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura
berada di bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.

C. Kendala yang Dihadapi Direktorat Jenderal Pajak


Kendala yang dihadapi DJP dalam menangani kasus dugaan Transfer Pricing
Toyota adalah sebagai berikut:
1. Petugas pemeriksa pajak kesulitan untuk mendapatkan data langsung yang akurat dan
kredibel dari Wajib Pajak, Toyota, sehingga DJP harus menggunakan data

17
pembanding. Akan tetapi, DJP juga mengakui adanya kesulitan dalam pencarian data
pembanding untuk menetukan kewajaran transaksi. Meskipun DJP menggunakan
data pembanding dari lima perusahaan sejenis yaitu Hindustan Motor (India), Yulon
Motors ( Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan
Heibao (Cina) namun akan menghasilkan akurasi yang berbeda jika dibandingkan
dengan data aktual dari Toyota tanpa harus melakukan perbandingan.
2. Belum terbitnya peraturan resmi dari DJP terkait batas waktu pembacaan putusan
menyebabkan proses yang berlarut-larut (kasus berlangsung sejak tahun 2007 sampai
dengan tahun 2014 dengan putusan yang belum ditetapkan). Padahal umumnya
persidangan sengketa pajak hanya butuh waktu 1,5 tahun. Kasus Toyota ini terkatung
begitu lama. Sayangnya Direktur Jenderal Pajak tidak mempunyai otoritas dan
wewenang untuk mencampuri kasus di Pengadilan Pajak sehingga Direktur Jenderal
Pajak selaku pimpinan tertinggi DJP tidak bisa berbuat banyak selain memperkuat
bukti-bukti yang bisa dibawa ke pengadilan.
3. Kompetensi hakim Pengadilan Pajak yang diragukan apakah bisa menangani kasus
ini dengan maksimal. Terdapat dugaan bahwa hakim pengadilan pajak tidak begitu
memahami anatomi kasus transfer pricing sehingga terkesan terlalu berhati-hati.
Secara tersirat, ini diakui Dirjen Pajak Fuad Rahmany. "Saya enggak ngerti
bagaimana tingkat kemampuan hakim di Pengadilan Pajak," tuturnya ketika
diwawancarai Tempo, Februari (Tahun 2014) lalu. Namun dugaan ini terbantahkan
karena beberapa kasus transfer pricing lain di pengadilan pajak sudah selesai
diputus.
4. Masih tingginya tarif pajak di Indonesia yaitu sebesar 25%, yang jika dibandingkan
dengan tarif pajak negara tetangga Singapura sebesar 17%, maka Singapura dapat
dianggap sebagai Tax Heaven Country. Oleh karena itu, sejumlah industri di
Indonesia umumnya memiliki kantor pusat di Singapura, termasuk Toyota. Sehingga
seolah wajar jika perhitungan pajaknya juga dilakukan di sana.
5. Gedung Pengadilan Pajak masih berada di bawah naungan Kementerian Keuangan
bukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan gaji hakim Pengadilan Pajak masih dari
Kementerian Keuangan bukan dari Mahkamah Agung. Hal ini memberi kesan seolah
Pengadilan Pajak tidak independen. Pengetahuan publik tentang Pengadilan Pajak

18
pun masih sangat minim sehingga tidak pernah ada yang melakukan Judicial Review
untuk mempertanyakan undang- undang yang mengatur Pengadilan Pajak.

19
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
1. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer
price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya
yang berada di Singapura.
2. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan
Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable
Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah
mencari data pembanding yang sesuai.
3. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah
oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang
menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor
(Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
4. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah sulitnya ketersediaan data
pembanding untuk menentukan karena setiap produk mempunyai spesifikasi, fungsi,
dan brand yang berbeda.
5. Permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh
DJP, tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.

B. Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah terkait
kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia antara lain:

20
1. DJP dapat melakukan usaha yang sama dengan otoritas pajak di dunia, terutama
negara anggota OECD, banyak yang menggunakan Advance Pricing Agreement
(APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP) dengan untuk mengatasi
permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar.
2. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA) dengan otoritas pajak, Wajib Pajak
akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu kepastian dalam transfer pricing dan
penghematan biaya dan waktu.
3. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum menandatangani
APA dengan Wajib Pajak.
4. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak

21
DAFTAR PUSTAKA

Darussalam dan Danny Septriadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Cross-Border Transfer Pricing
Untuk Tujuan Perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 202. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata
Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement). Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib
Disimpan Oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya. Berita Negara RI
tahun 2016 nomor 2120. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. 2010. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 tentang
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement). Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. 2011. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011
tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 43/PJ/2010
Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara
Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Hallgren, Pen dan Helena Wictorsson. 2004. Transfer Pricing Documentation: Putting a
Framework to the Test. Lund University Libraries. Diambil dari https://
lup.lub.lu.se/student-papers/search/publication/1341456 (akses 11 Januari 2020)
Holtzman, Yair dan Paul Nagel. 2014. An Introduction to Transfer Pricing. Journal of
Management Development, 39(1), pp. 55-67. Diambil dari https://www.emerald.com/
insight/content/doi/10.1108/JMD-11-2013-0139/full/html (akses 11 Januari 2020)
Lingga, Ita Salsalina. 2012. Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan Problematika Praktik
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). Jurnal Zenit: Vol. 1 No. 3 Desember 2012, Hal.

22
210-221. Diambil dari https://repository.maranatha.edu/3941/1/Aspek%20Perpajakan%
20dalam%20Transfer%20Pricing.pdf (akses 12 Januari 2020)
Mangoting, Yenni. 2000. Aspek Perpajakan dalam Praktek Transfer Pricing. Jurnal Akuntansi &
Keuangan Vol.2 , No. 1, Mei 2000. Diambil dari http://ced.petra.ac.id/index.php/aku/
article/view/15668 (akses 12 Januari 2020)
Pahlevi, Kevin Adiyasa dkk. 2019. Pemanfaatan Transfer Pricing Documentation pada
Pemeriksaan Transfer Pricing untuk Menilai Kewajaran dan Kelaziman Transaksi
Afiliasi. Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), Vol. 73 No. 1 Agustus 2019. Diambil dari
http://administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jab/article/view/2904 (akses
12 Januari 2020)
Adoe, Andreas. 2016. Penerapan Arm’s Length Principle di Indonesia dan Laporan BEPS –
Bagian 1. Diambil dari https://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=74&
list=&q=&hlm=3 (akses 12 Januari 2020)
Forum Pajak Indonesia. 2017. Aturan TP Documentation : Perbedaan PMK-213 dengan PER-32.
Diambil dari https://forumpajak.org/aturan-tp-documentation-perbedaan-pmk-213-
dengan-per-32/ (akses 12 Januari 2020)

23

Anda mungkin juga menyukai