Anda di halaman 1dari 13

TUGAS AKUNTANSI MANAJEMEN

(5 Study Kasus Praktikum mengenai "Transfer Pricing")

NAMA MAHASISWA :
Lydia Syafira
1962401040
D3 Akuntansi
Semester IV Pagi

DOSEN PENGAMPU:
Mega Kusuma SAP MA

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI TUAH NEGERI DUMAI


TP. 2020/2021

STUDI KASUS PT. ABADI JAYA MAKMUR

PT Abadi Jaya Esa yang berkedudukan di negara Malaysia memiliki


anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT Abadi Jaya Makmur. Untuk
memproduksi mainan yang dijual di Indonesia, PT Abadi jaya Makmur
mengimpor bahan baku dari Abadi Jaya Esa.
PT Abadi Jaya Esa yang berkedudukan di negara Malaysia memiliki
anak perusahaan di Indonesia yaitu PT Abadi Jaya Makmur. Untuk
memproduksi mainan yang dijual di Indonesia, PT Abadi jaya Makmur
mengimpor bahan baku dari Abadi Jaya Esa. Jika harga wajar bahan baku
tersebut misalnya US$10/buah, dalam transaksi antara PT Abadi Jaya Esa dan
PT Abadi Jaya Makmur harga bahan baku yang sama dijual dengan harga
US$30/buah.
Maka, harga yang di-markup terjadi karena prinsip harga pasar wajar
(Arm’s Length Price Principle). Mengapa perusahaan menerapkan prinsip ini?
 Untuk menghindari pemungutan pajak di Indonesia dari keuntungan yang
didapat oleh PT Abadi Jaya Makmur, maka dikenakan harga bahan baku
setinggi-tingginya sehingga revenue yang tercatat kecil. Tidak jarang
perusahaan juga tercatat rugi untuk menghindari pengenaan pajak.
 Perusahaan lebih memilih keuntungan dialirkan ke anak perusahaan lainnya
dibanding harus dipotong untuk membayar pajak.


STUDI KASUS PT. ASTRA HONDA MOTOR YANG MELAKUKAN
IMPOR KENDARAAN TOYOTA DARI JEPANG

Ada empat sektor industri di Indonesia yang ditengarai rawan


melakukan penghindaran pajak lewat transfer pricing. Keempat sektor itu
adalah pertambangan, perkebunan, elektronik dan otomotif. Kasus Toyota
hanya salah satu dari sekian kasus yang ditangani. Toyota pada tahun 2005 itu,
petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada tahun 2004 misalnya,
laba bruto Toyota menurun lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun (2003)
menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan antara
laba kotor dengan tingkat penjualan juga menurun. Dari sebelumnya 14,59
persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian. Ternyata yang
memicu penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini adalah pada tahun
itu, Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini bisnis
produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera PT Toyota
Astra Motor. Pemilik sahamnya ada dua, yaitu PT Astra International Tbk (51
persen) dan Toyota Motor Corporation Jepang (49 persen).
Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya
dari Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya,
Astra punya utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Alhasil, Toyota
Jepang kini menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan
berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk
menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor
Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang
merek dengan nama lama, yaitu Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan
ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen
saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation Jepang. Setelah restrukturisasi
itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota menurun. Menurunnya
keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga
berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah
triliun rupiah. Pada tahun 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota
(TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168 miliar. Yang janggal,
meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada tahun itu justru
naik 40 persen.
Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika memeriksa struktur
harga penjualan dan biaya Toyota dengan lebih seksama. Di sinilah jejak
transfer pricingperseroan ini mulai tercium. Toyota diduga ‘memainkan’ harga
transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat
pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor
Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dari pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta Utara yang tidak banyak diketahui orang, nilai ekspor itu di bawah
biaya penjualan. Modus ini diduga merupakan strategi transfer pricing. Di
sinilah masalahnya. Merujuk pada dokumen persidangan sengketa pajak ini,
ada sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Toyota Indonesia menjual
mobil-mobil produksi mereka ke Singapura dengan harga tidak wajar.
Misalnya, pada dokumen laporan pajak Toyota pada tahun 2007.
Sepanjang tahun itu, Toyota Motor Manufacturing di Indonesia tercatat
mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan
keuangan Toyota sendiri, petugas pajak menemukan bahwa harga pokok
penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per
unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner
itu dijual 3,49 persen lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Artinya, Toyota
Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura.
Temuan yang sama juga terlacak pada penjualan mobil Innova diesel
dan Innova bensin, yang masing-masing dijual lebih murah 1,73 persen dan
5,14 persen dari ongkos produksinya per unit. Pada ekspor Rush dan Terios,
Toyota Motor Manufacturing memang meraup untung, tapi tipis sekali yakni
hanya 1,15 persen dan 2,69 persen dari ongkos produksi per unit.Temuan ini
jadi menyolok karena Toyota Manufacturing menjual produk-produk serupa
kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga berbeda. Ketika dijual di
dalam negeri, mobil yang persis sama dilepas ke pasar dengan nilai keuntungan
bruto sebesar 3,43 - 7,67 persen. Tapi temuan itu saja belum cukup untuk
menyimpulkan Toyota melakukan penghindaran pajak. Untuk itu, petugas
pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi Toyota
Manufacturing ke Singapura. Caranya adalah Sesuai aturan penanganan
transaksi hubungan istimewa yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak,
otoritas pajak berhak menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan
dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di
luar negeri. Aturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Dokumen pemeriksaan di pengadilan pajak yang diperoleh,
menunjukkan bahwa petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan
otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding
untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan
Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu,
pemeriksa menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai
wajar untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22 - 13,58
persen. Berdasarkan hal tersebut, pemeriksa pajak lalu mengkoreksi harga pada
transaksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia kepada Toyota Motor Asia
Pacific di Singapura. Hasilnya fantastis, yaitu omzet penjualan Toyota Motor
Manufacturing pada tahun 2007 jadi melonjak hampir setengah triliun dari
laporan awal perusahaan itu. Nilainya sekarang menjadi Rp 27,5 triliun.
Petugas pajak kemudian memeriksa laporan keuangan Toyota Manufacturing
pada tahun 2008. Modus ekspor dengan nilai tidak wajar juga berulang pada
tahun itu. Koreksi serupa dilakukan dan nilai omzet Toyota tahun itu melonjak
1,7 triliun menjadi Rp 34,5 triliun.
Dengan kombinasi ‘permainan’ harga dalam transaksi terafiliasi dan
pembayaran royalti yang dinilai tidak wajar, Toyota Motor Manufacturing
Indonesia melaporkan penghasilan kena pajak sebesar Rp 426,9 miliar (tahun
2007) dan Rp 60,6 miliar (tahun 2008). Karena merasa sudah membayar lebih
dari nilai itu, lima tahun lalu Toyota menuntut negara mengembalikan
kelebihan pajak sebesar Rp 412 miliar. Direktorat Jenderal Pajak tidak terima.
Mereka bersikukuh kalau penghasilan Toyota yang harus dikenai pajak adalah
Rp 975 miliar (tahun 2007) dan Rp 2,45 triliun (tahun 2008). Oleh karena itu,
pemerintah meminta Toyota membayar kekurangan pajaknya senilai Rp 1,22
triliun. Perbedaan penghitungan inilah yang kemudian menjadi sengketa di
pengadilan pajak. Yang mencurigakan, sejak diadili pada tahun 2007 sampai
sekarang, kasus ini tak kunjung diputus (Anonim, 2016).


STUDI KASUS PT. ADARO INDONESIA

PT ADARO INDONESIA (PT Adaro Energy Tbk) adalah perusahaan


batubara kedua terbesar di Tanah Air yang memiliki produk andalan Enviro
Coal, batubara berkalori rendah dan ramah lingkungan. Perusahaan yang punya
cadangan batubara mencapai 928 juta ton dengan luas  pertambangan 34.940
hektare ini sebelumnya dimiliki konglomerat Sukanto Tanoto. Tapi, akibat
dijaminkan ke Deutcshe Bank, perusahaan itu belakangan dibeli konsorsium
pengusaha Indonesia dengan harga murah. Konsorsium itu, di antaranya Edwin
Soryadjaya, Sandiaga S Uno, Teddy Rachmat, dan Boy Garibaldi Thohir yang
kini jadi Dirut PT Adaro Indonesia.
PT Adaro Indonesia diduga telah melakukan penggelapan pajak dengan
cara transfer pricing. Sebab, Adaro telah melakukan manipulasi penggelapan
pajak dengan transaksi jual beli batubara secara tidak wajar (tidak sesuai
dengan harga batubara pasaran Internasional) kepada  perusahaanya Coaltrade
Services International Pte. Ltd asal Singapura.
Tujuh tahun silam, Adaro melakukan perjanjian dengan Coaltrade
Services International Pte Ltd, sebuah perusahaan kertas (paper company) di
Singapura. Perjanjian itu menyatakan bahwa Adaro menjual batubara per tahun
dengan harga tertentu, di bawah harga yang berlaku di pasar. Coaltrade lalu
menjualnya dengan harga internasional. Yang dijual bukan sembarang batubara,
melainkan batubara bermutu tinggi.
Pada tahun 2005, Adaro menjual batubara ke perusahaan Coaltrade dari
Singapura sebesar US$26 per ton, sementara harga pasar US$48 per ton.
Sedangkan pada 2006, Adaro menjual  batubara ke Coaltrade US$29 per ton,
sementara harga internasional mencapai US$40 per ton. Dengan volume
penjualan 2005 mencapai 26 juta ton lebih dan 2006 mencapai 34 juta ton,
terdapat selisih antara harga jual ke Coaltrade dan harga jual internasional
masing-masing US$589,9 juta (Rp5,8 triliun dengan kurs rata-rata 2005 sebesar
Rp9.800/US$) tahun 2005 dan US$363,1 juta (Rp3,3 triliun dengan kurs rata-
rata 2006 Rp9.096/US$) tahun 2006.
Jika dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005
mestinya berjumlah US$ 1,287 miliar dan 2006 US$ 1,371 miliar. Berarti, ada
selisih penjualan Adaro dengan penjualan  berdasarkan harga pasar. Jika
dirupiahkan mencapai Rp 9,121 triliun. Belum lagi kerugian negara dari potensi
royalti 13,5% yang nilai berkisar Rp 1,231 triliun.
Akibat transfer pricing yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu
diperkirakan ada Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang disembunyikan.
Sehingga kerugian negara terkait pajak dan royalti diperkirakan mencapai Rp 4-
5 triliun. Royalti adalah nilai yang harus dibayar sesuai harga jual. Adanya
dugaan transfer pricing yang memperkecil nilai jual mengakibatkan royalti
yang harus dibayarkan otomatis juga turun.


STUDI KASUS TRANSFER PRICING COCA COLA

Perseteruan antara perusahaan minuman bersoda the Coca-Cola Co.


dengan otoritas pajak Amerika Serikat (AS) Internal Revenue Service (IRS)
belum menemui titik temu hingga saat ini. Sudah hampir setahun berlalu sejak
dilakukan sidang pengadilan oleh Pengadilan Pajak AS di Washington D.C
sepanjang Maret hingga Mei 2018, validitas metode kesebandingan laba untuk
menguji kewajaran harga yang digunakan oleh IRS masih terus menjadi
perdebatan. Kasus ini bermula dari adanya surat pemberitahuan kurang bayar
pada September 2015 sebesar US$3,3 miliar untuk periode 2007 hingga 2009,
sebelum akhirnya berujung ke Pengadilan Pajak AS.
Dalam sidang terakhir kasus bernomor Coca-Cola Co. v.
Commissioner, T.C., No. 31183-15, IRS berpendapat pajak terutang Coca Cola
seharusnya senilai US$9,4 miliar dalam kurun waktu tiga tahun tersebut. Pada
10 April 2019 lalu, IRS akhirnya menyampaikan balasan singkat berupa
ikhtisar kepada Pengadilan Pajak. Berdasarkan dokumen tersebut, anak
perusahaan yang berlokasi di luar negeri dan mendapatkan lisensi merek
dagang, formula, dan barang tak berwujud lainnya dari perusahaan induk - yang
kemudian disebut sebagai supply point - dinilai hanya berhak mendapatkan
tingkat laba senilai aktivitas bisnis yang bersifat rutin. Analisis IRS didasarkan
pada penggunaan metode Critical Path Method (CPM) berdasarkan ketentuan
yang tertera di Section 482 (T.D. 8552) dalam US Code. Balasan tersebut
merupakan jawaban atas ikhtisar yang dikirimkan perusahaan per 15 Maret
2019.
Menurut Coca-Cola, metode tersebut tidak secara tepat mengalokasikan
semua tingkat pengembalian dari aset tidak berwujud supply point tersebut ke
perusahaan induk yang merupakan Wajib Pajak AS. Sebaliknya, IRS menolak
interpretasi Coca Cola dan menyatakan bahwa CPM memberikan tingkat
pengembalian yang konsisten dengan fungsi, aset, dan risiko untuk supply point
yang hanya menjalankan aktivitas bisnis rutin perusahaan. “Argumen Coca-
Cola bertumpu pada premis yang salah. Hal ini disebabkan oleh atribusi Coca-
Cola Co. sebagai pemilik sah dari sebagian besar merek dagang yang lisensinya
digunakan oleh supply point yang menganggap bahwa pengalokasian laba
dilakukan dasarkan tingkat pengembalian aset tidak berwujud yang
dilisensikan,” demikian informasi yang dikutip dari laporan IRS tersebut.
Dengan demikian, IRS menganggap supply point tersebut hanya menjalankan
aktivitas pembotolan dan bukan pemilik aset tak berwujud. Dengan demikian,
mereka tidak berhak untuk memperoleh keuntungan signifikan dari aset
tersebut.
IRS pun menyalahkan metode yang digunakan oleh saksi ahli Coca-
Cola yang tidak mampu menjelaskan nilai produk perusahaan tersebut
berdasarkan aspek pemasaran perusahaan, terutama menyangkut peran
perusahaan dalam melakukan kampanye dan aktivitas sponsor secara global dan
formula bisnis lainnya. Di sisi lain, ada satu dugaan kekurangan dalam analisis
IRS yang menggunakan pendekatan tingkat harga kewajaran atas laba dari
perusahaan pembotolan independen lainnya. Hal ini dikarenakan rasio yang
terlalu tinggi dan tidak wajar antara aset tidak berwujud dengan aset
operasional berwujud dari supply point Coca-Cola tersebut dibandingkan
pembanding independennya. “Padahal, berdasarkan ketentuan yang diacu oleh
IRS, yakni Section 482, tingkat pengembalian atas modal sebagai indikator
tingkat laba wajar antara perusahaan yang diuji dengan pihak independen
seharusnya nilainya hampir sama,” demikian informasi yang dilansir Tax Notes
International Vol. 94 No. 4. (kaw)


STUDI KASUS PADA PT. TOYOTA

Direktorat Jenderal Pajak mencurigai adanya praktik transfer pricing


yang dilakukan oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
setelah secara simultan melakukan pemeriksaan terhadapsurat pemberitahuan
pajak tahunan (SPT) PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun
2005. Selain itu, perhitungan dan penyampaian pajak pada tahun 2007 dan 2008
juga tidak luput dari pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Permeriksaan
ini dilakukan karena Toyota merasa bahwa pada tahun tersebut mereka
kelebihan dalam membayar pajak, sehingga meminta negara untuk
mengembalikan kelebihan pembayaran pajaknya tersebut (restitusi).
Berdasarkan pemeriksaan pada SPT tahun 2005, ditemukan sejumlah
kejanggalan, yakni turunnya laba bruto lebih dari 30 persen, dari sebelumnya
Rp 1,5 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 950 miliar pada tahun 2004. Selain
itu, rasio gross margin atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat
penjualan juga menurun dari 14,59 persen pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58
persen di tahun 2004.
Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya
di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasan
penjualan saham tersebut adalah, Astra mempunyai utang jatuh tempo yang
tidak bisa ditangguhkan lagi. Sehingga saat ini, Toyota Motor Corporation
Jepang menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan
berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk
menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor
Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang
merek (ATPM) dengan nama lama,Toyota Astra Motor (TAM). Pada
perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai
51 persen saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation Jepang. Setelah
restrukturisasi pada tahun 2003 itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota
anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada
pemerintah  juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak
sampai setengah triliun rupiah. Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua
perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168
miliar.Anehnya meski laba turun, omzet produksi dan penjualan singapura.
Adapun rincian beberapa penjualan kepada PT. Toyota Asia Pasific
yang berlokasi di singapura adalah sebagai berikut:
 Penjualan mobil fortuner dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
dengan harga penjualan 3,49 persen dibawah COGS.
 Penjualan mobil inova diesel dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 1,73 persen dibawah COGS.
 Penjualan mobil inova bensin dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura dengan harga penjualan 5,14 persen dibawah COGS.
 Penjualan mobil rush dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
denganharga penjualan 1,15 persen diatas COGS.
 Penjualan mobil terios dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura
dengan harga penjualan 2,69 persen diatas COGS.

Sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan


multinasional seperti Toyota, bahwa praktik transfer pricing digunakan untuk
meminimalkan pembayaran pajak mereka. Dengan memanfaatkan celah-celah
peraturan yang ada, yakni dengan cara memindahkan keuntungan ke
perusahaan terafiliasi yang berada di luar negeri, tentunya dengan tarif pajak
yang lebih rendah.
Penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan harga di
bawah COGS adalah sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pengenaan tarif pajak yang tinggi di Indonesia, yakni sebesar 25 persen dan
mengalihkan laba tersebut kepada perusahaan terafiliasi di negara lain, yakni
PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura, karena sebagaimana kita
ketahui bahwa tarif pajak penghasilan di Singapura merupakan yang terendah di
ASEAN yakni sebesar 17 persen. Sedangkan untuk penjualan di dalam negeri,
yakni dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada PT.
Toyota Astra Motor (TAM) untuk tipe mobil yang persis dijual dengan nilai
keuntungan bruto sebesar 3,43 –7,67 persen. Direktorat Jenderal Pajak telah
memiliki peraturan tentang tranfer pricing,yang secara umum diatur dalam
pasal18 UU Nomor 36 Tahun2008 tentang Pajak Penghasilan, yang
menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length
principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya. 
Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika
i. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain;
ii. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
iii. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat


dalamPeraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini
disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar dalam hal ini otoritas pajak berhak
menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan cara
membandingkan harga tersebut dengan transaksi perusahaan sejenis di luar
negeri. Peraturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang
dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota.
Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor
(Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan
Heibao (Cina).
Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa
menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar
(arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor
adalah 3,22 -13,58 persen. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut,
pemeriksa pajak mengkoreksi harga pada transaksi PT. Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada Toyota Motor Asia Pacific di
Singapura, yang menyebabkan omzet penjualan mereka pada tahun 2007
meningkat sekitar Rp 500 miliar menjadi Rp.27,5 triliun. 

Anda mungkin juga menyukai