Anda di halaman 1dari 9

PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/

IMPOR BARANG KENA PAJAK


Studi Kasus Ekspor Impor Asia Timur Negara Jepang pada PT
Astra Honda Motor yang Melakukan Impor Kendaraan Toyota

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Ekspor Impor
Dosen Pengampu : Sylvia Kartika Dhamayanti

OLEH :
Meiliani Kurnia wahyu (04202040003)
Muhammad Rezha Agustian (04202040004)
Alika Eka Rizkyah (04202040011)

KELAS REGULER 3 / A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA KOSGORO 1957
2023
LATAR BELAKANG KASUS
Ada empat sektor industri di Indonesia yang ditengarai rawan melakukan penghindaran
pajak lewat transfer pricing. Keempat sektor itu adalah pertambangan, perkebunan, elektronik
dan otomotif. Kasus Toyota hanya salah satu dari sekian kasus yang ditangani. Toyota pada
tahun 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada tahun 2004 misalnya,
laba bruto Toyota menurun lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950
miliar. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat
penjualan juga menurun. Dari sebelumnya 14,59 persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen
setahun kemudian. Ternyata yang memicu penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini
adalah pada tahun itu, Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini
bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera PT Toyota Astra Motor.
Pemilik sahamnya ada dua, yaitu PT Astra International Tbk (51 persen) dan Toyota Motor
Corporation Jepang (49 persen).

Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya dari Toyota Astra
Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo
yang tak bisa ditangguhkan lagi. Alhasil, Toyota Jepang kini menguasai 95 persen saham Toyota
Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN). Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor
Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek dengan
nama lama, yaitu Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang
saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation
Jepang. Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota menurun.
Menurunnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang.
Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada tahun
2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak
Rp 168 miliar. Yang janggal, meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada tahun
itu justru naik 40 persen.

Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika memeriksa struktur harga penjualan dan
biaya Toyota dengan lebih seksama. Di sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai tercium.
Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya
lewat pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor
Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara
yang tidak banyak diketahui orang, nilai ekspor itu di bawah biaya penjualan. Modus ini diduga
merupakan strategi transfer pricing. Di sinilah masalahnya. Merujuk pada dokumen persidangan
sengketa pajak ini, ada sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Toyota Indonesia menjual
mobil-mobil produksi mereka ke Singapura dengan harga tidak wajar.

Misalnya, pada dokumen laporan pajak Toyota pada tahun 2007. Sepanjang tahun itu,
Toyota Motor Manufacturing di Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke
Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota sendiri, petugas pajak menemukan
bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta
per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49
persen lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Artinya, Toyota Indonesia menanggung kerugian
dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura. Temuan yang sama juga terlacak pada penjualan
mobil Innova diesel dan Innova bensin, yang masing-masing dijual lebih murah 1,73 persen dan
5,14 persen dari ongkos produksinya per unit. Pada ekspor Rush dan Terios, Toyota Motor
Manufacturing memang meraup untung, tapi tipis sekali yakni hanya 1,15 persen dan 2,69 persen
dari ongkos produksi per unit.

Temuan ini jadi menyolok karena Toyota Manufacturing menjual produk-produk serupa
kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil
yang persis sama dilepas ke pasar dengan nilai keuntungan bruto sebesar 3,43 - 7,67 persen. Tapi
temuan itu saja belum cukup untuk menyimpulkan Toyota melakukan penghindaran pajak.
Untuk itu, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi Toyota
Manufacturing ke Singapura. Caranya adalah Sesuai aturan penanganan transaksi hubungan
istimewa yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak, otoritas pajak berhak menentukan
kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan cara membandingkan harga itu dengan
traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Aturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline
yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Dokumen pemeriksaan di pengadilan pajak yang diperoleh, menunjukkan bahwa petugas


pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik
serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors
(India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan
Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa
menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar untuk perusahaan otomotif
yang melakukan ekspor adalah 3,22 - 13,58 persen. Berdasarkan hal tersebut, pemeriksa pajak
lalu mengkoreksi harga pada transaksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia kepada Toyota
Motor Asia Pacific di Singapura. Hasilnya fantastis, yaitu omzet penjualan Toyota Motor
Manufacturing pada tahun 2007 jadi melonjak hampir setengah triliun dari laporan awal
perusahaan itu. Nilainya sekarang menjadi Rp 27,5 triliun. Petugas pajak kemudian memeriksa
laporan keuangan Toyota Manufacturing pada tahun 2008. Modus ekspor dengan nilai tidak
wajar juga berulang pada tahun itu. Koreksi serupa dilakukan dan nilai omzet Toyota tahun itu
melonjak 1,7 triliun menjadi Rp 34,5 triliun.

Dengan kombinasi ‘permainan’ harga dalam transaksi terafiliasi dan pembayaran royalti
yang dinilai tidak wajar, Toyota Motor Manufacturing Indonesia melaporkan penghasilan kena
pajak sebesar Rp 426,9 miliar (tahun 2007) dan Rp 60,6 miliar (tahun 2008). Karena merasa
sudah membayar lebih dari nilai itu, lima tahun lalu Toyota menuntut negara mengembalikan
kelebihan pajak sebesar Rp 412 miliar. Direktorat Jenderal Pajak tidak terima. Mereka
bersikukuh kalau penghasilan Toyota yang harus dikenai pajak adalah Rp 975 miliar (tahun
2007) dan Rp 2,45 triliun (tahun 2008). Oleh karena itu, pemerintah meminta Toyota membayar
kekurangan pajaknya senilai Rp 1,22 triliun. Perbedaan penghitungan inilah yang kemudian
menjadi sengketa di pengadilan pajak. Yang mencurigakan, sejak diadili pada tahun 2007 sampai
sekarang, kasus ini tak kunjung diputus (Anonim, 2016).
PIHAK YANG TERLIBAT

Dalam PER-32/PJ/2011 Wajib Pajak diharuskan untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam
bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties). Penentuan
harga transaksi wajar (arm’s length price) bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa, resale price dan metode lainnya. Syarat utama
analisis ini adalah ketersediaan data pembanding eksternal dan internal. Apabila Wajib Pajak
tidak bisa menunjukkan bukti pendukung kewajaran harga transaksi, maka Ditjen Pajak akan
menetapkan harga transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang terafiliasi.
Maka dari itu, Fasilitas Perpajakan yang Diberikan kepada Importir untuk Meningkatkan
Penerimaan PPN Impor Barang Kena Pajak, antara lain:
1. Pajak terutang yang tidak dipungut
2. Dibebaskan dari pengenaan PPN
Fasilitas tersebut diberikan kepada pengusaha yang berkenaan antara lain dengan maksud untuk
mendorong pertumbuhan bidang usaha yang bersangkutan, untuk membantu likuiditas
perusahaan atau untuk menunjang program pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Perlakuan atas pajak masukan yang berkaitan dengan kedua fasilitas tersebut adalah :
1. Pajak masukan atas perolehan BKP / JKP untuk menghasilkan penyerahan yang
mendapat fasilitas PPN yang terutang tidak dipungut yang dapat dikreditkan.
2. Pajak masukan atas perolehan BKP / JKP untuk menghasilkan penyerahan yang
mendapat fasilitas dibebaskan dari PPN yang tidak dapat dikreditkan.
TEORI YANG DIGUNAKAN

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Adrian Sutedi, 2013: 5). Dari definisi tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pajak
adalah iuran wajib rakyar kepada negara yang bertujuan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara dalam rangka meningkatan pembangunan. Jadi kemajuan negara dapat
dilihat dari penerimaan sector pajaknya. Saat ini, pajak semakin tidak dapat dipisahkan dari
manusia. Dimana gerak langkah manusia pasti berkaitan dengan pajak. Hal ini dapat dikatakan
demikian, karena setiap orang selalu bersinggungan dengan hal-hal yang baik secara langsung
berhubungan dengan pajak. Misalnya seseorang yang membeli suatu barang maka orang tersebut
harus membayar pajak (PPN).

Pajak Pertambahan Nilai (atau yang disebut dengan PPN) sebagai penyumbang penerimaan
pajak terbesar dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali
pada berbagai mata rantai jalur perusahaan. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena
digunakan factor-faktor produsi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilan,
menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para
konsumen. Semua biaya untuk mendapatan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal,
sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi
dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Mulyo Agung, 2009: 12).

PPnBM tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa adanya PPN dan dipungut satu kali pada
sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu barang impor (yuniarwati, 2000: 20).
Pengenaan PPN dilaksanaan berdasarkan sistem faktur sehingga atas penayerahan barang
dan/atau penyerahan jasa wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang
dan/atau penyerahan jasa yang terutang pajak.

Melalui praktik transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara
mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari
suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda. Masalah
pengalokasian penghasilan dan biaya perusahaan multinasional ini harus diatur dengan baik dan
jelas oleh masingmasing negara yang terlibat dalam transaksi internasional. Pengaturan yang
baik dan jelas diharapkan dapat mencegah dan mendeteksi tindakantindakan manipulasi pajak
melalui transfer pricing yang sering dilakukan perusahaan multinasional untuk melakukan
penghindaran/penggelapan pajak. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan-
kebijakan/peraturan-peraturan perpajakan mengenai pencegahan dan penanggulangan praktek
transfer pricing yang menyebabkan penghindaran/ penggelapan pajak di Indonesia (Indah Dewi
Nurhayati, 2013: 32)

Untuk mengatur dan memberikan kepastian dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat
(3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 terutama dalam hal mengatur tentang kesepakatan transfer
pricing, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Transfers Pricing (Advance
Pricing Agreement/ APA). Walaupun penerapan APA memberikan manfaat yang banyak, Wajib
Pajak dan Ditjen Pajak juga perlu mempertimbangkan potensi kerugian yang mungkin saja
timbul dalam pelaksanaannya. Potensi kerugian tersebut diantaranya (Indah Dewi Nurhayati,
2013: 36) :

1. Pengorbanan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan APA. Program APA
tidak dapat diterapkan kepada semua Wajib Pajak multinasional karena proses negosiasi
yang cukup menyita waktu dan biaya.
2. Wajib Pajak harus mengungkapkan informasi yang mungkin merupakan rahasia perusahaan
kepada otoritas pajak.
3. Pada tahap pengajuan APA, Ditjen Pajak membutuhkan berbagai informasi yang
berhubungan dengan transaksi yang akan dilakukan. Informasi tersebut umumnya bersifat
rahasia bagi perusahaan, yang cenderung ditutup-tutupi oleh Wajib Pajak, karena
dikhawatirkan data tersebut dapat digunakan oleh Ditjen Pajak dalam rangka pemeriksaan.

Agar APA dapat berjalan sebagaimana mestinya maka dalam pelaksanaannya masing-masing
pihak yaitu Wajib Pajak dan Ditjen Pajak harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
Adapun tanggung jawab Wajib Pajak dalam pelaksanaan APA adalah konsisten dengan tujuan
awal diselenggarakannya APA, memberikan bukti-bukti dan informasi yang dapat dipercaya, dan
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian APA.
KESIMPULAN SARAN

Praktik transfer pricing sering digunakan oleh banyak perusahaan sebagai alat untuk
menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus
dibayar oleh perusahaan. Dalam kasus tersebut diatas, Toyota Manufacturing diduga
‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat
pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing
Indonesia diekspor ke luar negeri dengan nilai ekspor dibawah biaya penjualan. Modus ini
diduga merupakan strategi transfer pricing. Transaksi yang terjadi antar perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa biasanya sering memakai harga yang tidak wajar, yang tidak
sama dengan harga yang terjadi dalam transaksi antar pihak yang independen. Tujuan
diadakannya Advance Pricing Agreement (APA) adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. PER-32/PJ/2011 tidak
membedakan transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, baik Cross Border
Transfer Pricing atau Transfer Pricing di dalam negeri. Sifat dari perubahan yang dilakukan
PER-32/PJ/2011 adalah mempersempit ruang lingkup kondisi yang harus tunduk pada pedoman
transfer pricing.

Fasilitas yang kemungkinan dapat dinikmati oleh pengusaha kena pajak yang mengimpor Barang
Kena Pajak adalah pajak terutang yang tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan PPN.
Fasilitas tersebut diberikan kepada pengusaha yang berkenaan antara lain dengan maksud untuk
mendorong pertumbuhan bidang usaha yang bersangkutan, untuk membantu likuiditas
perusahaan atau untuk menunjang program pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Pemberian fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari pengeluaran PPN yang
diutamakan untuk impor dan atau penyerahan BKP serta penyerahan JKP adalah untuk
mendukung pertahanan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan
bangsa, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan mempertahankan pembangunan nasional.
Sedangkan fasilitas tidak dikenakan PPN adalah untuk mendorong ekspor, meningkatkan daya
saing barang di pasar internasional, mengembangkan wilayah/daerah tertentu agar dapat menjadi
sentra- sentra kegiatan ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kerja
sama dengan negara-negara lain.
DAFTAR PUSTAKASA

Adrian Sutedi. (2013). Hukum Pajak. Jakarta: Sinar Grafika.

Mulyo Agung. (2009). Perpajakan Indonesia SEri PPN,PPnBM, dan PPh Badan, Teori dan
Aplikasi, . In E. Kedua. Bogor: Mitra Wacana Media.

Diyah Ika Sari. (2010). Evaluasi Penerimaan Negara Dari Pemungutan Ppn Atas Impor Barang
Kena Pajak Di Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai Tipe Madya Pabean
Surakarta”. Tugas Akhir, Program Studi Diploma III Perpajakan. Surakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret

mailto:https://r.search.yahoo.com/
_ylt=Awrg1XB72CRkqEsP60pXNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG9zAzEEdnRpZAMyNTQzNFNUX
zEEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1680165116/RO=10/RU=https%3a%2f%2fcore.ac.uk%2fdownload
%2fpdf%2f12349171.pdf/RK=2/RS=BaHW6swEZ_bGiZ.vQ6Q9zJJHtk4-.

Indah Dewi Nurhavati. (April 2013). Evaluasi Atas Perlakuan Perpajakan Terhadap Transaksi
Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional Di Indonesia. Jurnal Manajemen dan
Akuntansi., edisi N0 1. Vol 1.

Yuniarwati. (2000). Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Tarumanegara. Jurnal Perpajakan.

Anonim. (24 Juli 2016,10.00). Prahara Pajak Raja Otomotif. https://investigasi.tempo.co/toyota/

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (24 Juli 2016, 11.00).


http://www.pajak.go.id/content/seri-ppn-dan-ppnbm-cara-menghitung-ppn-dan-ppnbm.

Anda mungkin juga menyukai