Anda di halaman 1dari 13

KASUS PAJAK

PT TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA

LATAR BELAKANG

PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah salah satu perusahaan otomotif terbesar di
Indonesia. Perusahaan yang sering disebut sebagai “raja otomotif” ini merupakan bagian dari
perusahaan besar asal Jepang yaitu Toyota Motor Corporation (TMC). Langkah TMC di
Indonesia dimulai dengan pendirian perusahaan yang bergerak di bidang industri otomotif, yaitu
PT Toyota Astra Motor (PT. TAM). Perusahaan ini diresmikan pada 12 April 1971 dan
beroperasi pada 1 Januari 1972.

Toyota Astra Motor yang semula menjadi importir, beralih fungsi menjadi distributor. Dan
kemudian melakukan penggabungan bersama tiga perusahaan, dengan tujuan untuk membangun
kerjasama dalam menghadapi tuntutan kualitas dan ketatnya persaingan di dunia otomotif.
Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Multi Astra (pabrik perakitan), PT Toyota Mobilindo
(pabrik komponen bodi), dan PT Toyota Engine Indonesia (pabrik mesin). Gabungan ketiga
perusahaan tersebut diberi nama PT Toyota Astra Motor.

Pada pertengahan tahun 2003, Toyota Astra Motor (TAM) melakukan restrukturisasi menjadi
dua perusahaan, yaitu :

1. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), merupakan perakit kendaraan


Toyota dan eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Dengan komposisi kepemilikan
saham di perusahaan adalah 5% (Astra Internasional) dan 95% (Toyota Motor
Corporation).
2. PT Toyota Astra Motor sebagai agen penjualan, importir dan distributor produk Toyota
di Indonesia. Dengan persentase kepemilikan saham di perusahaan adalah 51% (Astra
Internasional) dan 49% (Toyota Motor Corporation).

1
Setelah adanya restrukturisasi, skala produksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) sangatlah masif. Hal itu dapat diketahui dari padatnya aktivitas ekspor impor yang
dilakukan “raja otomotif ini”.

Tetapi dibalik besarnya perusahaan ini, otoritas pajak Indonesia (Direktorat Jenderal Pajak)
menduga bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia memanfaatkan transaksi antar -
perusahaan terafiliasi untuk menghindari pembayaran pajak.

Bagaimana hal ini terjadi? Dan, bagaimana analisis mengenai kasus ini?

PEMBAHASAN

a. Kronologi Kasus

Dugaan Direktorat Jenderal Pajak mengenai TMMIN yang memanfaatkan transaksi antar –
perusahaan untuk penghindaran pajak bermula dari pemeriksaan SPT (surat pemberitahuan pajak
tahunan) pada tahun 2005. Selain itu, pemeriksaan pajak juga dilakukan atas dasar permintaan
restitusi kelebihan pajak yang telah dibayar tahun 2007 dan 2008.

Dari pemeriksaan SPT TMMIN tahun 2005 tersebut, DJP menemukan beberapa hal yang ganjil.
Antara lain, adanya penurunan laba bruto sebesar 30%, dari Rp 1,5 T (2003) menjadi Rp 950 M
(2004). Dan penurunan pada gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat
penjualan), semula 14,59% (2003) menjadi 6,58% (2004).

Berdasar investigasi yang dilakukan, adanya penurunan pada laba kotor dan gross margin karena
pada pertengahan 2003, terjadi restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, seluruh lini bisnis
produksi dan distribusi dilakukan oleh satu pelaku bisnis, yaitu PT Toyota Astra Motor.
Komposisi kepemilihan saham TAM adalah 51% Astra Internasional Tbk dan 49% Toyota
Motor Corporation Jepang.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua hasil restrukturisasi. Pertama adalah
berdirinya PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) selaku perakit kendaraan serta
eksportir kendaraan dan suku cadang. Dengan persentase kepemilihan saham 5% Astra
Internasional dan 95% Toyota Astra Corporation.

2
Kedua, PT Toyota Astra Motor selaku agen penjualan (ATPM), importir dan distributor produk
Toyota di Indonesia. Dengan komposisi kepemilikan saham adalah 51% Astra Internasional dan
49% Toyota Motor Corporation.

Setelah adanya restrukturisasi tersebut, laba gabungan kedua perusahaan mengalami penurunan.
Menurunnya laba yang didapat berdampak pada setoran pajak yang berkurang. Sebagai
perbandingan, perusahaan ini mampu membayar hampir setengah triliun sebelum adanya
restrukturisasi. Setelah restrukturisasi, baik TMMIN maupun TAM hanya membayar pajak Rp
168 M pada tahun 2004.

Jika dilihat sekilas, hal itu wajar. Awalnya bisnis dilakukan dua perusahaan pada payung yang
sama sehingga menghasilkan laba yang besar. Dan terjadi restrukturisasi, laba terlihat kecil
karena diperoleh oleh satu perusahaan.

Hal ganjil terjadi ketika peredaran bruto (omzet) produksi dan penjualan meningkat 40% saat
laba yang diperoleh perusahaan mengalami penurunan. Lalu, kemanakah keuntungan TMMIN
yang lain?

Berdasarkan hasil pemeriksaan struktur harga penjualan dan biaya secara cermat, DJP
menyimpulkan bahwa terdasar skandal transfer pricing. TMMIN diduga bertransaksi dengan
harga yang tidak wajar kepada perusahaan afiliasi dan menambah beban biaya melalui
pembayaran royalti diluar kewajaran.

Lanjut skandal transfer pricing, sebuah dokumen manifes kapal yang digunakan untuk aktivitas
ekspor impor mengungkap salah satu indikasi ‘permainan’ transaksi TMMIN. Yaitu, adanya
kebijakan ekspor. TMMIN harus melakukan penjualan ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
(unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura). Dan kemudian Toyota Motor Asia Pacific
yang akan menyalurkan penjualan TMMIN ke negara tujuan ekspor.

Sebenarnya, proses bisnis penjualan melalui negara perantara bukanlah masalah dalam
perdagangan internasional, ditambah penjual dan pembeli merupakan bagian dari kelompok
perusahaan multinasional, dengan syarat harga transaksi antar perusahaan afiliasi dalam batas
kewajaran dan tidak untuk penghindaran pajak.

3
Kebijakan ekspor TMMIN terhadap penjualan produknya yang memilih Singapura menjadi
negara ‘singgah’ atau perantara, adalah suatu perhatian besar. Mengapa harus Singapura?
Apakah terdapat suatu alasan?

Singapura merupakan negara yang memiliki tarif pajak penghasilan korporasi paling rendah di
Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai 17%. Tarif tersebut jauh dibawah tarif pajak badan di
Indonesia, yaitu progresif sebesar 10%, 15%, dan 30% (tahun pajak sebelum 2009). Hal tersebut
tentunya menjadi suatu insentif bagi perusahaan – perusahaan multinasional seperti TMMIN,
untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban
pajaknya secara keseluruhan.

Dan ternyata, sejumlah temuan mengindikasikan TMMIN menjual produk ke Singapura dengan
harga transaksi diluar kewajaran. Temuan tersebut diperoleh dari pemeriksaan SPT PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) tahun pajak 2007 misalnya, yang menunjukkan
bahwa sepanjang 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengekspor
17.181 unit mobil dengan merek fortuner ke Singapura. DJP juga menemukan harga pokok
penjualan (HPP / COGS) mobil tersebut sebesar Rp 161 juta per unit. Dan di dalam dokumen
internal perusahaan, mobil merek fortuner yang diekspor tersebut dijual lebih murah 3,49%
disbanding nilai HPP. Dapat disimpulkan bahwa perusahaan TMMIN menanggung kerugian dari
penjualan mobil – mobil ke Singapura.

Temuan yang serupa terdapat pula pada penjualan mobil merek innova diesel dan innova bensin
yang dijual lebih murah masing – masing 1,73% dan 5,14% dari harga pokok penjualan per
unitnya. Lalu, pada ekspor mobil merek terios dan rush, perusahaan TMMIN mendapat untung,
tetapi hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksi per unit.

Temuan tersebut semakin menguatkan dugaan karena PT Toyota Motor Manufacturing


Indonesia (TMMIN) melakukan penjualan produknya ke pembeli lokal di Indonesia dengan
harga yang berbeda. Pada penjualan dalam negeri, perusahaan memperoleh keuntungan bruto
sebesar 3,43% sampai 7,67% untuk mobil dengan merek yang sama seperti di atas.

Tetapi, data tersebut tidak cukup untuk cepat menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) melakukan praktik transfer pricing untuk tujuan
penghindaran pajak. Maka dari itu, DJP harus melakukan pemeriksaan terhadap nilai kewajaran

4
dari keseluruhan transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) ke Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.

Kebijakan transaksi dengan harga yang berbeda antara ekspor dengan penjualan dala m negeri
merupakan hal yang wajar jika penentuan harga transaksi berdasar pada prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha. Selain itu, mungkin proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor
Manufacturing Indpnesia atas produk – produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut
tidak efisien, sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan ekspor
dengan harga di bawah ongkos produksi.

Sebagai pembuktian adanya transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP harus melakukan
pemeriksaan nilai kewajaran semua transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.

Metode yang digunakan DJP untuk melakukan penilaian kewajaran transfer pricing transaksi PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia dengan Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura
adalah Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price / CUP). Yaitu dengan membandingkan harga transaksi tersebut
dengan transaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Cara ini merujuk pada Transfer Pricing
Guideline yang disusun oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development).

Kemudian, DJP menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik
serupa sebagai pembanding untu PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Perusahaan tersebut adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor
Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (China). Berdasarkan penelaahan
transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, DJP menetapkan bahwa kisaran gross margin yang
berada dalam batas kewajaran (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang
mengekspor produknya adalah 3,22% sampai 13,58%. Dan kisaran gross margin transaksi PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd berada di bawah
kisaran gross margin yang dinilai wajar.

Sehingga, DJP melakukan koreksi fiskal terhadap harga transaksi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd Singapura.

5
Hasil koreksi adalah peredaran bruto penjualan TMMIN tahun 2007 meningkat drastis menjadi
Rp 27,5 T.

Koreksi juga dilakukan untuk tahun 2008, karena terjadi ekspor dengan harga transaksi diluar
kewajaran. Hasil koreksi menunjukkan bahwa nilai omzet TMMIN meningkat Rp 1,7 T menjadi
Rp 34,5 T.

Pada tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melaporkan penghasilan kena
pajak sebesar Rp 426,9 M dan Rp 60,6 M tahun 2008. Karena merasa sudah membayar lebih dari
nilai tersebut, Toyota meminta restitusi atas kelebihan pajak sebesar Rp 412 M.

Di sisi lain, DJP tetap berdasar pada hasil temuannya, penghasilan Toyota (TMMIN) yang harus
dikenakan pajak adalah sebesar Rp 975 M untuk tahun 2007 dan Rp 2,45 T untuk tahun 2008.
Terdapat kekurangan pajak yang masih harus dibayar TMMIN adalah sebesar Rp 1,22 T.

Atas dasar hal tersebut, DJP menyimpulkan bahwa terjadi transaksi antar perusahaan afiliasi
dengan harga transaksi yang tidak wajar atau disebut dengan transfer pricing dengan tujuan
penghindaran pajak.

b. Analisis

Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak telah mengatur mengenai transfer
pricing yang secara umum terdapat dalam pasal 18 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, yang berbunyi :

“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan


dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa”

Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang disebut dengan arm’s length principle merupakan
prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding,

6
maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak – pihak yang mempunyai
hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi
pembanding.

Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 32/PJ/2011 tentang Perubahan
atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa.

Dalam arm’s length principle, harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak – pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi
tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.

Hal serupa juga dijelaskan dalam Introduction 1.2 Chapter I (OECD Transfer Pricing Guidelines
for Multinational Entterprises and Tax Administrations).

“When independent enterprises transact with each other, the conditions of their
commercial and financial relations (e.g. the price of goods transferred or services
provided and the conditions of the transfer or provision) ordinarily are determined by
market forces.”

Berdasar Perdirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s
length principle) dilakukan dengan langkah – langkah, sebagai berikut :

a. Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding,


b. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat,
c. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis
kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang
dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan
d. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau laba wajar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – udangan yang berlaku.

7
Serupa dengan hal tersebut, terdapat beberapa pedoman untuk menerapkan arm’s length
principle menurut OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administration, antara lain :

a. Identifying the commercial or financial relations


Analisis kesebandingan (comparability analysis) merupakan bagian penting dalam
penerapan arm’s length principle.
Aplikasi arm’s length principle berdasarkan pada perbandingan kondisi suatu transaksi
yang dikendalikan dengan kondisi yang seharusnya dibuat seandainya para pihak menjadi
independen dan melakukan transaksi yang sebanding dalam keadaan yang sebanding.
Terdapat dua aspek analisis, pertama yaitu mengidentifikasi hubungan komersial atau
keuangan antara perusahaan yang terakit dan kondisi dan keadaan yang relevan secara
ekonomi yang melekat pada hubungan tersebut agar transaksi yang dikendalikan
digambarkan secara akurat.
Yang kedua adalah membandingkan kondisi dan keadaan yang relevan secara ekonomi
dari transaksi yang dikendalikan sebagaimana dijelaskan secara akurat dengan kondisi
dan keadaan yang relevan secara ekonomi dari transaksi perbandingan antara perusahaan
independen.
b. Recognition of the accurately delineated transaction
Analisis harga transfer akan mengidentifikasi substansi hubungan komersial atau
keuangan antara para pihak, dan akan secara akurat menggambarkan transaksi actual
dengan menganalisis karakteristik ekonomi yang relevan.
Bagian ini menguraikan keadaan dimana transaksi antara para pihak yang digambarkan
secara akurat dapat diabaikan untuk tujuan penentuan harga transfer. Karena tidak ada
pengakuan terhadap transaksi dapat menjadi perdebatan dan sumber pajak berganda,
setiap upaya harus dilakukan untuk menentukan transaksi yang sebenarnya terjadi dan
menerapkan penetapan harga wajar untuk transaksi yang digambarkan secara akurat, dan
untuk memastikan bahwa tidak ada transaksi yang tidak diakui hanya karena menentukan
arm’s length price adalah suatu hal yang sulit.
c. Losses

8
Ketika sebuah perusahaan asosiasi (perusahaan afiliasi) menyadari kerugian secara
konsisten, sedangkan multinasional enterprises group secara keseluruhan mengalami
keuntungan, fakta tersebut dapat memicu adanya isu transfer pricing.
Selain itu, dugaan adanya transfer pricing menguat ketika perusahaan yang rugi tersebut
secara konsisten melakukan bisnis dengan perusahaan yang untung dalam multinational
enterprises group.
d. Use of custom valuations
Ketika arm’s length principle diterapkan, secara umum, oleh banyak administrasi pabean
sebagai prinsip perbandingan antara nilai yang dikaitkan dengan barang yang diimpor
oleh perusahaan terkait, yang mungkin dipengaruhi oleh hubungan khusus antara mereka,
dan nilai untuk barang serupa yang diimpor oleh pihak perusahaan yang independen.
e. Location savings and other local market features
Pasa geografis dimana operasi bisnis terjadi dapat mempengaruhi komparatif dan harga
wajar. Masalah sulit dapat muncul dalam mengevaluasi perbedaan antara pasar geografis
dan dalam menentukan penyesuaian komparabilitas yang sesuai.

Selanjutnya, mengenai metode penentuan harga transfer yang tepat, Perdirjen Pajak Nomor 32
Tahun 2011 menyebutkan terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan. Yaitu :

a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price / CUP).
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resake Price Method / RPM).
c. Metode Biaya – Plus (Cost Plus Method).
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method / PSM), atau
e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method / TNMM).

Dalam upaya penyelesaian kasus transfer pricing, DJP berhak menentukan harga penjualan yang
wajar dengan membandingkan harga tersebut dengan transaksi perusahaan sejenis di luar negeri.
Peraturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun oleh Organization for
Economic Cooperation dan Development (OECD).

Dalam kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), DJP menggunakan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Pihak

9
pembanding tersebut adalah lima perusahaan otomotif, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (China).
Tentunya kelima perusahaan ini memiliki karakteristik yang sama dengan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia sesuai dengan analisis kesebandingan yang dilakukan oleh DJP.

Berdasarkan metode tersebut, DJP menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dinilai
wajar (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22%
sampai 13,58%. Atas hasil tersebut, DJP melakukan koreksi fiskal atas omzet penjualan tahun
2007 dan 2008. Dan menyimpulkan bahwa telah terjadi transaksi antar perusahaan afiliasi
dengan harga transaksi yang tidak wajar (transfer pricing) guna penghindaran pajak.

Menurut kami, apa yang dilakukan DJP adalah hal yang benar. Melakukan koreksi setelah
diketahui terjadi transaksi antar perusahaan afiliasi dengan harga yang tidak wajar. Hal tersebut
sesuai dengan paragraf 1 OECD Commentary article 9 (taxation of associated enterprises),
sebagai berikut :

“This paragraph provides that the taxation authorities of a Contracting State may, for
the purpose of calculating tax liabilities of associated enterprises, re-write the accounts
of the enterprises if, as a result of the special relations between the enterprises, the
accpunts do not show the true taxable profits arising in that State. It is evidently
appropriate that adjustment should be sanctioned in such circumstances. The provisions
of this paragraph apply only if special conditions have been made or imposed between
the two enterprises. No re-writing of the accounts of associated enterprises is authorized
if the transactions between such enterprises have taken place on normal open market
commercial terms (on an arm’s length basis).”

Tetapi, kesimpulan DJP mengenai praktik transfer pricing tersebut dibantah oleh pihak Toyota
(TMMIN). Dengan alasan perusahaan pembanding yang digunakan oleh DJP dalam menerapkan
arm’s length principle tidak layak menjadi pembanding dengan PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia. Kelima perusahaan pembanding tersebut berstatus merugi, sedangkan pada tahun
2008 PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia masih untung.

10
Dalam kasus ini, penentuan besarnya harga transaksi yang wajar memang sulit untuk ditentukan.
Permasalahan yang dihadapi DJP adalah ketersediaan data pembanding untuk menentukan harga
transaksi yang wajar dan sesuai dengan kelaziman usaha.

Untuk beberapa komoditas, seperti crude palm oil (CPO), memang lebih mudah menentukan
harga transaksi wajar karena tersedia data dan dapat diakses. Tetapi sulit dilakukan untuk produk
– produk perusahaan multinasional, karena terdapat spesifikasi yang berbeda untuk setiap produk
yang dihasilkan.

Maka dari itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan peraturan tentang tata
cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer atau yang disebut dengan
Advance Pricing Agreement), yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.

Definisi APA (Advance Pricing Agreement) menurut OECD :

“an administrative approach that attempts to prevent transfer pricing disputes from
arising by determining criteria for applying the arm’s length principle to transactions in
advance of those transactions taking place.”

Definisi APA (Advance Pricing Agreement) menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
7/PMK.03/2015 :

“perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Direktur Jenderal
Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan
Wajiib Pajak untuk menyepakati kriteria – kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau
laba wajar dimuka.”

Sedangkan MAP (Mutual Agreement Procedure) adalah prosedur administratif yang diatur
dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.

Sehingga, pembentukan APA dilakukan melalui MAP dalam hal APA atau perjanjian tertulis
tersebut melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.

Dengan adanya APA, maka DJP akan mempunyai dasar yang kuat dalam menentukan harga
transaksi yang wajar. Jika wajib pajak yang bersangkutan melakukan transfer pricing dengan

11
harga transaksi dibawah harga yang telah diperjanjikan dalam APA, maka DJP sudah dapat
menyimpulkan bahwa terjadi praktik transfer pricing guna penghindaran pajak.

Advance Pricing Agreement (APA) juga dapat meningkatkan basis pajak karena dalam APA
memuat sedikitnya informasi mengenai pihak – pihak yang melakukan hubungan istimewa,
transaksi yang dilakukan, metode transfer pricing, pembanding, jangka waktu berlakunya APA,
asumsi kritikal, dan penyesuaian transfer pricing. Dan, dengan APA yang melibatkan otoritas
pajak negara mitra P3B, DJP dapat menghindari adanya pajak berganda.

PENUTUP

Transaksi antar perusahan afiliasi lazim dilakukan banyak perusahaan. Hal itu menjadi suatu
yang tidak menyimpang ketika transaksi dilakukan dengan harga yang wajar. Sebaliknya,
transaksi antar perusahaan afiliasi menjadi suatu skandal ketika transaksi tersebut dilakukan
dengan harga transaksi diluar kewajaran. Hal itu biasa disebut dengan skandal transfer pricing
guna penghindaran pajak.

Mengenai hal itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia diduga melakukan praktik transfer
pricing guna penghindaran pajak. Hal itu diketahui ketika kebijakan ekspor PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura dibawah harga
pokok penjualan.

Sebagai pembuktian, DJP melakukan pemeriksaan untuk menentukan harga transaksi yang wajar
(arm’s length principle) menggunakan metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price / CUP). Yang menjadi
pembanding adalah lima perusahaan otomotif asal luar negeri yang memiliki karakteristik
serupa. Namun, DJP mendapati kendala dalam menggunakan metode ini, sulitnya mendapatkan
data pembanding yang sesuai.

Tetapi, kesimpulan DJP atas kasus transfer pricing menggunakan metode tersebut disanggah
oleh pihak Toyota dengan alasan lima perusahaan pembanding yang digunakan tidak layak,
karena pada tahun tersebut status lima perusahaan itu merugi, sedangkan Toyota masih untung.

12
Hal itu merupakan hambatan bagi DJP untuk mengambil atau mempertahankan kesimpulan.
Sehingga, pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan peraturan tentang pembentukan
dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement / APA). Dengan
adanya APA, DJP akan mempunyai dasar yang kuat dalam penentuan harga transfer yang wajar.

REFERENSI

1. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 43 Tahun 2010 Penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7 Tahun 2015.
5. __. 2017. OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administrations. Paris.
6. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60431/2/BAB%20II%20Profil%20
Perusahaan.pdf. Diakses pada Selasa, 23 April 2019.
7. https://investigasi.tempo.co/toyota/. Diakses pada Selasa, 23 April 2019.
8. https://dokumen.tips/documents/luqman-maulana-arfaanalisis-kasus-transfer-pricing-pt-
toyota-motor-manufacturing.html. Diakses pada Selasa, 23 April 2019.
9. https://www.academia.edu/30216203/ANALISIS_KASUS_TRANSFER_PRICING_PT_
TOYOTA_MOTOR_MANUFACTURING_INDONESIA. Diakses pada Selasa, 23 April
2019.
10. https://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14386. Diakses pada Selasa, 23
April 2019
11. http://ketentuan.pajak.go.id/index.php?r=aturan/rinci&idcrypt=oJilnp8%3D. Diakses
pada Selasa, 23 April 2019.

13

Anda mungkin juga menyukai