Akuntansi Manajemen
Disusun oleh :
1. Whiliz aziz panji pamungkas
2. Rida Indriyani
3. Sergius F bon
Magister Akuntansi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Sebelas Maret Surakarta
2019
Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun 2003. Pada
tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada bisnisnya.
Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu
bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra Motor terdiri atas
dua pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota Motor Corporation
Jepang (sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual sebagian
besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. PT
Astra International, Tbk menjual sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena mereka
mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham
tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang menjadi pemegang saham mayoritas PT Toyota
Astra Motor dengan kepemilikan saham sebesar 95%. Akibat dari perubahan kepemilikan
tersebut, nama perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjalankan fungsi produksi Toyota Indonesia.
Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota
Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek
(ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini menggunakan nama lama, yaitu
PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham
mayoritas dengan menguasai 51% saham, sementara sisanya sebesar 46% menjadi milik
Toyota Motor Corporation Jepang.
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib Pajak
melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005, 2007, dan
2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada
Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya,
laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar.
Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan) juga
mengalami penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada
tahun 2004.
Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan 11%
hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross margin PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sementara di PT
Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang didirikan setelah
restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra
Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih
sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7%
dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan penyebab
turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar. Pada pembahasan kali
ini penulis hanya akan membahas mengenai transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia.
Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte.,
Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
ke negara-negara lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara
perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi
penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama.
Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang
digunakan tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan
untuk melakukan penghindaran pajak.
Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan ekspornya
menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak
Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai
dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah Indonesia, di
mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia
adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada
perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya
dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan.
Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer
pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk mengecilkan
pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun
2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner
ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak menemukan
bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161
juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu
dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia
menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura.
Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil
Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova
diesel dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan
harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu, pada
ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya memperoleh
keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya per unit.
Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan domestiknya. Toyota
Indonesia menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga
yang berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross margin
sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.
Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk menyimpulkan bahwa
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan penghindaran pajak melalui transfer
pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang
wajar apabila penentuan harganya berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Selain itu, mungkin saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor.
Manufacturing Indonesia atas produk-produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut
tidak efisien sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan
penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan
terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai
kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.
Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price dari transaksi
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di
Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis
di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini
merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima
perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk
Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan),
Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan
atas transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa pajak menetapkan bahwa kisaran
gross margin yang dapat dinilai wajar (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang
melakukan ekspor adalah 3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari
transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
di Singapura berada di bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.