Anda di halaman 1dari 3

KOOISTRA AUTOGROEP

Kooistra Autogroep adalah mobil perusahaan ritel milik keluarga yang didirikan pada
tahun 1953. Selama bertahun-tahun, Kooistra tumbuh dari sebuah perusahaan kecil yang
dijual dan dilayani mobil hanya satu atau dua merek dari satu lokasi ke top-20 pemain di
dealer mobil Belanda pasar. Pada awal 2007, dimiliki dan dioperasikan 13 lokasi dealer
menjual 10 merek mobil dan mempekerjakan sekitar 325 orang.

The Kooistra dealer yang terletak di kota Tilburg dan di kota-kota sekitarnya yang
lebih kecil di bagian selatan Belanda. Kooistra dimiliki lima Opel dealer, tiga dealer Toyota,
salah satu Citroën. dealer, satu Suzuki dealer, satu Saab dealer, satu Alfa Romeo dealer, dan
satu gabungan Chevrolet, Cadillac, Corvette, dan Hummer dealer. Opel (merek General
Motors) telah menjadi pemimpin pasar di Belanda sejak tahun 1970-an, dengan pangsa pasar
hampir 10% pada tahun 2006. Toyota adalah merek terbesar keenam, dengan pangsa pasar
7%. Citroën memiliki pangsa pasar 4%, dan Suzuki dan Chevrolet memiliki pangsa pasar
sekitar 2-3%. Merek lain yang dijual oleh Kooistra - Saab, Alfa Romeo, Cadillac, Corvette,
dan Hummer - semua memiliki pangsa pasar kurang dari 1%. Untuk merek-merek yang lebih
kecil, dealer bersaing terdekat yang biasanya terletak jauh. Selain dealer mobil, yang Kooistra
Autogroep juga memiliki sebuah bengkel tubuh dan perusahaan sewa mobil.

Pada awal 2000-an, sebagai konsekuensi dari kondisi ekonomi yang lemah dan
meningkatnya persaingan, kinerja keuangan yang paling dealer mobil Belanda memburuk.
penurunan kinerja ini menimbulkan banyak perubahan dalam industri. Salah satu perubahan
penting adalah konsolidasi industri. Banyak dealer mobil yang lebih besar diperluas melalui
memperoleh beberapa dealer yang sebelumnya milik keluarga. Kooistra Autogroep berada di
antara yang pertama untuk memperluas jumlah merek yang dijual, standarisasi prosedur
operasi, dan mengeksploitasi skala ekonomi.

Ketika Tom Kooistra menggantikan posisi ayahnya menjadi seorang CEO dari
perusahaan keluarga. Dia ingin membuat perubahan pada sistem pengendalian manajemen
yang sudah ditetapkan sebelumnya untuk lebih meningkatkan keefisiensi tercapainya tujuan
dari perusahaan tersebut. Di sini secara signifika Tom Kooistra dalam pengambilan
keputusan secara otoritas desentralisasi, mengembangkan system pelaporan kinerja yang
mencakup baik informasi keuangan dan informasi nokeuangan dan memperkenalkan pay-for-
performance untuk dealer dan departemen manajer perusahaan.

Dulunya ayah dari Tom kooistra menjalankan perusahaan masih berkaitan erat dengan
hubungan kekeluargaan. Tetapi setelah tom kooistra menjabat sebagai CEO ketetapan dan
peraturan yang berlaku diperusahaan tersebut telah berubah karena tom kooistra berfikir kita
tidak bisa mengoperasikan perusahaan seperti itu lagi dikarenakan perusahaan perlu lebih
berkompetitif untuk bertahan hidup. Itu lah mengapa tom kooistra tertarik menerapkan pay-
for-performance.

Tom berpikir bahwa manajer dealer harus memiliki wewenang yang cukup besar
untuk keputusan penting dalam bisnis mereka, termasuk perekrutan, menembak, dan
mengawasi personil dealer mereka; investasi iklan; penjualan promosi di pasar lokal mereka;
dan penurunan harga yang mungkin dibutuhkan untuk memindahkan kelebihan persediaan
atau untuk memenuhi kompetisi.
Sistem baru itu harus dilaksanakan oleh tahun fiskal 2003. Antara lain:

1. Kinerja

System pelaporan kinerja baru termasuk baik informasi keuangan dan non
keuangan.digunakan sebagai alat komunikasi atas informasi yang dihasilakan untuk mencapai
tujuan yang paling penting perusahaan untuk dealer dan departemen manajer sesuai strategi
yang sudah ditetapkan sebelumnya dan untuk memberikan umpan balik kepada manajemen
puncak sehingga mereka bisa memantau kinerja manajer tingkat rendah agar berjalan sesuai
yang direncanakan.
Jenis laporan kinerja:
a. Balanced Scorecard
b. Menetapkan laporan kinerja yang lebih rinci

2. Penganggaran

Tom mengenalkan proses penganggaran tahunan formal yaitu yang berfokus pada
penetuan target laba bersih untuk tahun yang akan datang. Tom merasa bahwa desentralisasi
lanjutan akhirnya akan memimpin perusahaan untuk meningkatkan metode-metode
mengalokasikan biaya jasa bersama untuk memperoleh nomor laba bersih yang lebih inklusif
dan, dengan demikian, untuk memungkinkan akuntabilitas yang lebih baik pada tingkat
organisasi yang lebih rendah.
Tetapi dalam penerapan mereka mengalami kesulitan atau kegagalan dalam mencapai
anggaran yang telah ditetapkan karena kenaikansumber daya bahan bakar mengalami
kenaikan sehingga menyebabkan krisis ekonomi. Hal tersebut merupan faktor eksternal yang
sulit sekali untuk dihindari.
Sehingga tom membantu para manajer dalam menyelesaikan masalahnya dengan bekerja
sama pada perusahaan mobil rental.

3. pay-for-performance

perusahaan dalam mengapresia karyawan atas usaha dan kinerja yang dilakukan terdapat
2 yaitu financial dan non financial sebagai motifasi karayawan untuk miningkatkan
pekerjaannya. perusahaan ini menerapkan bonus atas kinerja karyawannya yang telah
mencapai hasil sesuai anggaran yang telah ditetapkan. Tetapi tidak hanya bunus yang
diberikan melaikan promosi atas tempat pekerjaan yang lebih baik juga diberikan pada
karyawan yang telah memenuhi standar mendapatkan apresiasi.
Tetapi perusahaan tidak lengah atas pemberian hukuman atau sansi atas karyawan yang
tidak dapat mencapai target yang telah ditentukan atau yang tidak adapat menjalankan
tugasnya sesuai aturan yang berlaku atau menyimpang dari tujuan.
Contoh:
a. Prosedur administrasi tidak dikuti
b. Peringkat kepuasan pelanggan sangat rendah

Tapi pengurangan bonus akan menjadi keputusan yang sangat subjektif. Kita perlu
mengartikulasikan kriteria untuk keputusan tersebut lebih jelas. Ini merupakan prioritas untuk
tahun mendatang. Untuk menghindari kesalapahaman antara karyawan dan manajemen. Agar
tujuan dapat tercapai atas kerjasama yang baik antara manajer dan karyawannya.
Masalah

pay-for-performance adalah fenomena yang relatif tidak dikenal di perusahaan-


perusahaan Belanda. Sebagai contoh, satu studi menunjukkan bahwa pada tahun 2001, hanya
10% dari manajer departemen di dealer mobil Belanda menerima formula bonus, dan hanya
7% menerima “diskresi” (subyektif ditugaskan) bonus (lihat Exhibit 3). Untuk manajer
penjualan, persentase ini agak lebih tinggi: 20% dan 7% masing-masing (tidak ditabulasikan
dalam Exhibit 3).

Tetapi diperusahaan besar dibelanda sedikit yang menerapkan system pengendalian pay-for-
performance, sehingga Kooistra Autogroep menghadapi skeptisisme besar dari karyawan
ketika pertama kali diperkenalkan system tersebut.
Sebuah survei yang dilakukan oleh konsultan menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan
Kooistra disukai kenaikan gaji lebih bonus, bahkan jika kenaikan gaji secara signifikan lebih
rendah dari bonus yang diharapkan.

Menurut kami pengendalian pay-for-performance yang diterapkan pada Kooistra


Autogroep karena hal tersebut sebagai motifasi terbesar untuk karyawan dalam meningkatkan
kualitas atas kinerjanya dalam mencapai anggaran yang telah ditetapkan dan dapat berjalan
dengan lancar dalam mencapai tujuan.
Karena jika perusahaan tidak menerapkan system tersebut membuat karyawan tidak
bersamangat lebih dalam bekerja karena ia berfikir dia bekerja keras atau tidak hal tersebut
tidak akan berpengaruh pada pendapatan atau gaji mereka.

Hal ini dapat meningkatkan rasa pesaingan antara karyawan satu sama lain dalam mencapai
tujuan perusahaan. Tetapi dari pemberian bonus atau promosi tempat kerja yang lebih baik
dapat meningkatkan rasa percaya diri pada seseorang dan mereka mampu menyalurkan
keahlihan dan kemampuan yang mereka miliki secara optimal dalam mencapai tujuan
perusahaan. Hal tersebut bukan hanya berdampak positif bagi karyawan tapi sangat
memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam meningkatkan perusahaannya tersebut. Agar
dalam menjalankan atau beroperasi dimasa- masa tersulit yang dihadapi oleh perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai