Anda di halaman 1dari 10

TRANSFER PRICING

PT TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA

PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah salah satu perusahaan otomotif terbesar di
Indonesia. Perusahaan yang sering disebut sebagai “raja otomotif” ini merupakan bagian dari
perusahaan besar asal Jepang yaitu Toyota Motor Corporation (TMC). Langkah TMC di Indonesia
dimulai dengan pendirian perusahaan yang bergerak di bidang industri otomotif, yaitu PT Toyota
Astra Motor (PT. TAM). Perusahaan ini diresmikan pada 12 April 1971 dan beroperasi pada 1
Januari 1972.

Pada pertengahan tahun 2003, Toyota Astra Motor (TAM) melakukan restrukturisasi menjadi dua
perusahaan, yaitu :

1. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), merupakan perakit kendaraan


Toyota dan eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Dengan komposisi kepemilikan
saham di perusahaan adalah 5% (Astra Internasional) dan 95% (Toyota Motor
Corporation).
2. PT Toyota Astra Motor sebagai agen penjualan, importir dan distributor produk Toyota di
Indonesia. Dengan persentase kepemilikan saham di perusahaan adalah 51% (Astra
Internasional) dan 49% (Toyota Motor Corporation).

1
Setelah adanya restrukturisasi, skala produksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) sangatlah masif. Hal itu dapat diketahui dari padatnya aktivitas ekspor impor yang
dilakukan “raja otomotif ini”.

a. Kronologi Kasus

Dampak setelah restrukturisasi (tahun 2004) , adanya penurunan laba bruto sebesar 30%, dari
Rp 1,5 T (2003) menjadi Rp 950 M (2004). Dan penurunan pada gross margin (perbandingan
antara laba kotor dengan tingkat penjualan), semula 14,59% (2003) menjadi 6,58% (2004).

2
Setelah adanya restrukturisasi tersebut, laba gabungan kedua perusahaan mengalami penurunan.
Menurunnya laba yang didapat berdampak pada setoran pajak yang berkurang. Sebagai
perbandingan, perusahaan ini mampu membayar hampir setengah triliun sebelum adanya
restrukturisasi. Setelah restrukturisasi, baik TMMIN maupun TAM hanya membayar pajak Rp
168 M pada tahun 2004.

Jika dilihat sekilas, hal itu wajar. Awalnya bisnis dilakukan dua perusahaan pada payung yang
sama sehingga menghasilkan laba yang besar. Dan terjadi restrukturisasi, laba terlihat kecil karena
diperoleh oleh satu perusahaan.

Hal ganjil terjadi ketika peredaran bruto (omzet) produksi dan penjualan meni ngkat 40% saat
laba yang diperoleh perusahaan mengalami penurunan. Lalu, kemanakah keuntungan TMMIN
yang lain?

Berdasarkan hasil pemeriksaan struktur harga penjualan dan biaya secara cermat, DJP
menyimpulkan bahwa terdasar skandal transfer pricing. TMMIN diduga bertransaksi dengan
harga yang tidak wajar kepada perusahaan afiliasi dan menambah beban biaya melalui
pembayaran royalti diluar kewajaran.

Lanjut skandal transfer pricing, sebuah dokumen manifes kapal yang digunakan untuk aktivitas
ekspor impor mengungkap salah satu indikasi ‘permainan’ transaksi TMMIN. Yaitu, adanya
kebijakan ekspor. TMMIN harus melakukan penjualan ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
(unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura). Dan kemudian Toyota Motor Asia Pacific
yang akan menyalurkan penjualan TMMIN ke negara tujuan ekspor.

Sebenarnya, proses bisnis penjualan melalui negara perantara bukanlah masalah dalam
perdagangan internasional, ditambah penjual dan pembeli merupakan bagian dari kelompok
perusahaan multinasional, dengan syarat harga transaksi antar perusahaan afiliasi dalam batas
kewajaran dan tidak untuk penghindaran pajak.

3
Kebijakan ekspor TMMIN terhadap penjualan produknya yang memilih Singapura menjadi
negara ‘singgah’ atau perantara, adalah suatu perhatian besar. Mengapa harus Singapura? Apakah
terdapat suatu alasan?

Singapura merupakan negara yang memiliki tarif pajak penghasilan korporasi paling rendah di
Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai 17%. Tarif tersebut jauh dibawah tarif pajak badan di
Indonesia, yaitu progresif sebesar 10%, 15%, dan 30% (tahun pajak sebelum 2009). Hal tersebut
tentunya menjadi suatu insentif bagi perusahaan – perusahaan multinasional seperti TMMIN,
untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban
pajaknya secara keseluruhan.

Dan ternyata, sejumlah temuan mengindikasikan TMMIN menjual produk ke Singapura dengan
harga transaksi diluar kewajaran. Temuan tersebut diperoleh dari pemeriksaan SPT PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) tahun pajak 2007 misalnya, yang menunjukkan bahwa
sepanjang 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengekspor
17.181 unit mobil dengan merek fortuner ke Singapura. DJP juga menemukan harga pokok
penjualan (HPP / COGS) mobil tersebut sebesar Rp 161 juta per unit. Dan di dalam dokumen
internal perusahaan, mobil merek fortuner yang diekspor tersebut dijual lebih murah 3,49%
dibanding nilai HPP. Dapat disimpulkan bahwa perusahaan TMMIN menanggung kerugian dari
penjualan mobil – mobil ke Singapura.

Temuan yang serupa terdapat pula pada penjualan mobil merek innova diesel dan innova bensin
yang dijual lebih murah masing – masing 1,73% dan 5,14% dari harga pokok penjualan per
unitnya. Lalu, pada ekspor mobil merek terios dan rush, perusahaan TMMIN mendapat untung,
tetapi hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksi per unit.

Temuan tersebut semakin menguatkan dugaan karena PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) melakukan penjualan produknya ke pembeli lokal di Indonesia dengan harga yang
berbeda. Pada penjualan dalam negeri, perusahaan memperoleh keuntungan bruto sebesar 3,43%
sampai 7,67% untuk mobil dengan merek yang sama seperti di atas.

Tetapi, data tersebut tidak cukup untuk cepat menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) melakukan praktik transfer pricing untuk tujuan
penghindaran pajak. Maka dari itu, DJP harus melakukan pemeriksaan terhadap nilai kewajaran

4
dari keseluruhan transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) ke Toyota Motor
Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.

Kebijakan transaksi dengan harga yang berbeda antara ekspor dengan penjualan dalam negeri
merupakan hal yang wajar jika penentuan harga transaksi berdasar pada prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha. Selain itu, mungkin proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia atas produk – produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak
efisien, sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan ekspor dengan
harga di bawah ongkos produksi.

Sebagai pembuktian adanya transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP harus melakukan
pemeriksaan nilai kewajaran semua transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.

Metode yang digunakan DJP untuk melakukan penilaian kewajaran transfer pricing transaksi PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia dengan Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura
adalah Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price / CUP). Yaitu dengan membandingkan harga transaksi tersebut
dengan transaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Cara ini merujuk pada Transfer Pricing
Guideline yang disusun oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).

Kemudian, DJP menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik
serupa sebagai pembanding untu PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Perusahaan tersebut adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor
Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (China). Berdasarkan penelaahan transaksi
afiliasi kelima perusahaan tersebut, DJP menetapkan bahwa kisaran gross margin yang berada
dalam batas kewajaran (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang mengekspor
produknya adalah 3,22% sampai 13,58%. Dan kisaran gross margin transaksi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd berada di bawah kisaran gross
margin yang dinilai wajar.

Sehingga, DJP melakukan koreksi fiskal terhadap harga transaksi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd Singapura.

5
Hasil koreksi adalah peredaran bruto penjualan TMMIN tahun 2007 meningkat drastis menjadi
Rp 27,5 T.

Koreksi juga dilakukan untuk tahun 2008, karena terjadi ekspor dengan harga transaksi diluar
kewajaran. Hasil koreksi menunjukkan bahwa nilai omzet TMMIN meningkat Rp 1,7 T menjadi
Rp 34,5 T.

Pada tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melaporkan penghasilan kena pajak
sebesar Rp 426,9 M dan Rp 60,6 M tahun 2008. Karena merasa sudah membayar lebih dari nilai
tersebut, Toyota meminta restitusi atas kelebihan pajak sebesar Rp 412 M.

Di sisi lain, DJP tetap berdasar pada hasil temuannya, penghasilan Toyota (TMMIN) yang harus
dikenakan pajak adalah sebesar Rp 975 M untuk tahun 2007 dan Rp 2,45 T untuk tahun 2008.
Terdapat kekurangan pajak yang masih harus dibayar TMMIN adalah sebesar Rp 1,22 T.

Atas dasar hal tersebut, DJP menyimpulkan bahwa terjadi transaksi antar perusahaan afiliasi
dengan harga transaksi yang tidak wajar atau disebut dengan transfer pricing dengan tujuan
penghindaran pajak.

b. Analisis

Dalam kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), DJP menggunakan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Pihak

6
pembanding tersebut adalah lima perusahaan otomotif, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (China).
Tentunya kelima perusahaan ini memiliki karakteristik yang sama dengan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia sesuai dengan analisis kesebandingan yang dilakukan oleh DJP.

PENUTUP

Transaksi antar perusahan afiliasi lazim dilakukan banyak perusahaan. Hal itu menjadi suatu yang
tidak menyimpang ketika transaksi dilakukan dengan harga yang wajar. Sebaliknya, transaksi
antar perusahaan afiliasi menjadi suatu skandal ketika transaksi tersebut dilakukan dengan harga
transaksi diluar kewajaran. Hal itu biasa disebut dengan skandal transfer pricing guna
penghindaran pajak.

Mengenai hal itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia diduga melakukan praktik transfer
pricing guna penghindaran pajak. Hal itu diketahui ketika kebijakan ekspor PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura dibawah harga
pokok penjualan.

7
BAB IV
PEMBAHASAN

1.1. Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun 2003. Pada
tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada bisnisnya. Sebelumnya,
semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera, yaitu PT Toyota
Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra Motor terdiri atas dua pihak, yaitu PT Astra
International, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota Motor Corporation Jepang (sebesar 49%). Pada
pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual sebagian besar sahamnya di PT Toyota
Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. PT Astra International, Tbk menjual
sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena mereka mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa
ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang menjadi
pemegang saham mayoritas PT Toyota Astra Motor dengan kepemilikan saham sebesar 95%.
Akibat dari perubahan kepemilikan tersebut, nama perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor
menjadi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia menjalankan fungsi produksi Toyota Indonesia.
Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota
Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek
(ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini menggunakan nama lama, yaitu PT
Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas
dengan menguasai 51% saham, sementara sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor
Corporation Jepang.
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib Pajak
melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005, 2007, dan 2008.
Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada Tahun Pajak 2005,
petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota turun
lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin
(perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan) juga mengalami penurunan, dari
sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.
Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan 11%
hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross margin PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sementara di PT Toyota Astra
Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang didirikan setelah restrukturisasi), gross
margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih sebesar 7%. Hal ini berarti margin
laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan dengan margin laba kotor
sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan penyebab
turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar. Pada pembahasan kali ini penulis
hanya akan membahas mengenai transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd,
unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd inilah yang
nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke negara-negara
lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara perantara semacam itu
sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi penjual dan pembelinya adalah
bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama. Namun, hal ini akan menjadi
permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak berdasarkan pada
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan penghindaran pajak.
8
PT Toyota Toyota Motor
Motor Asia Pacific negara tujuan
Manufacturing Pte., Ltd ekspor
Indonesia (Singapura)

Gambar 4
Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan
ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak
Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai dengan
17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah Indonesia, di mana untuk
tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%,
15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan
multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura
guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan.
Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer
pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk mengecilkan
pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007, PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari
pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak menemukan bahwa harga pokok
penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya,
dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah
dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari
penjualan mobil-mobil itu ke Singapura.
Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil
Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova diesel
dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan harga 1,73%
dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu, pada ekspor Rush dan
Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu
hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya per unit.
Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan domestiknya. Toyota Indonesia
menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga yang berbeda.
Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross margin sebesar 3,43%
sampai dengan 7,67%.
Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk menyimpulkan bahwa
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing.
Kebijakan diskriminasi harga antara penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang wajar apabila
penentuan harganya berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin
saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia atas produk-produk
yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak efisien sehingga PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia terpaksa melakukan penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya.
Untuk membuktikan terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus
memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.
Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price dari transaksi
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura
adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri.
9
Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk pada Transfer Pricing
Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki
karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan
Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan
Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa pajak
menetapkan bahwa kisaran gross margin yang dapat dinilai wajar (arm’s length range) untuk
perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22% sampai dengan 13,58%. Karena
kisaran gross margin dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia
Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.

10

Anda mungkin juga menyukai