Anda di halaman 1dari 8

“PERPAJAKAN INTERNASIONAL”

Analisis Studi Kasus BUT atau Transfer Pricing


Transfer Pricing Pada PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia

Dosen Pengampu : Siti Maryama SE, MM

TUGAS INDIVIDU
PERTEMUAN 15

Nama : Ziani Rian Dhini


NIM : 2017112350018
KASUS PAJAK PT. TOYOTA MOTOR MANUFACTURING
INDONESIA

A. Latar Belakang
PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah salah satu perusahaan
otomotif terbesar di Indonesia. Perusahaan yang sering disebut sebagai “raja
otomotif” ini merupakan bagian dari perusahaan besar asal Jepang yaitu Toyota
Motor Corporation (TMC). Langkah TMC diIndonesia dimulai dengan pendirian
perusahaan yang bergerak di bidang industri otomotif, yaituPT Toyota Astra Motor
(PT. TAM). Perusahaan ini diresmikan pada 12 April 1971 danberoperasi pada 1
Januari 1972.Toyota Astra Motor yang semula menjadi importir, beralih fungsi
menjadi distributor. Dankemudian melakukan penggabungan bersama tiga
perusahaan, dengan tujuan untuk membangunkerjasama dalam menghadapi tuntutan
kualitas dan ketatnya persaingan di dunia otomotif.Ketiga perusahaan tersebut adalah
PT Multi Astra (pabrik perakitan), PT Toyota Mobilindo(pabrik komponen bodi), dan
PT Toyota Engine Indonesia (pabrik mesin). Gabungan ketiga perusahaan tersebut
diberi nama PT Toyota Astra Motor.
Pada pertengahan tahun 2003, Toyota Astra Motor (TAM) melakukan
restrukturisasi menjadidua perusahaan, yaitu :
1. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), merupakan perakit
kendaraanToyota dan eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Dengan
komposisi kepemilikansaham di perusahaan adalah 5% (Astra Internasional) dan
95% (Toyota MotorCorporation).
2. PT Toyota Astra Motor sebagai agen penjualan, importir dan distributor produk
Toyotadi Indonesia. Dengan persentase kepemilikan saham di perusahaan adalah
51% (AstraInternasional) dan 49% (Toyota Motor Corporation).
Setelah adanya restrukturisasi, skala produksi PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia(TMMIN) sangatlah masif. Hal itu dapat diketahui dari padatnya aktivitas
ekspor impor yang dilakukan “raja otomotif ini”.
Tetapi dibalik besarnya perusahaan ini, otoritas pajak Indonesia (Direktorat
Jenderal Pajak)menduga bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
memanfaatkan transaksi antar-perusahaan terafiliasi untuk menghindari pembayaran
pajak.
B. Kasus Pada PT. Motor Manufacturing Indonesia
Direktorat Jenderal Pajak mencurigai adanya praktik transfer pricing yang
dilakukan oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) setelah secara
simultan melakukan pemeriksaan terhadap surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT)
PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2005. Selain itu, perhitungan
dan penyampaian pajak pada tahun 2007 dan 2008 juga tidak luput dari pemeriksaan
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Permeriksaan ini dilakukan karena Toyota merasa
bahwa pada tahun tersebut mereka kelebihan dalam membayar pajak, sehingga
meminta negara untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajaknya tersebut
(restitusi).
Berdasarkan pemeriksaan pada SPT tahun 2005, ditemukan sejumlah
kejanggalan, yakni turunnya laba bruto lebih dari 30 %, dari sebelumnya Rp.1,5
triliun pada tahun 2003 menjadi Rp.950 miliar pada tahun 2004. Selain itu, rasio gross
margin atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menurun
dari 14,59 %pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58 % di tahun 2004.
Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di
Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasan penjualan
saham tersebut adalah, Astra mempunyai utang jatuh tempo yang tidak bisa
ditangguhkan lagi. Sehingga saat ini, Toyota Motor Corporation Jepang menguasai 95
% saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar
domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan
perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM) dengan nama lama, Toyota Astra
Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas
dengan menguasai 51 % saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation Jepang.
Setelah restrukturisasi pada tahun 2003 itulah, laba gabungan kedua perusahaan
Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada
pemerintah  juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai
setengah triliun rupiah. Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota
(TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168 miliar.Anehnya meski laba
turun, omzet produksi dan penjualan singapura.
Adapun rincian beberapa penjualan kepada PT. Toyota Asia Pasific yang
berlokasi di singapura adalah sebagai berikut :
1. Penjualan mobil fortuner dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan
harga penjualan 3,49 % dibawah COGS.
2. Penjualan mobil inova diesel dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan
harga penjualan 1,73 % dibawah COGS.
3. Penjualan mobil inova bensin dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan
harga penjualan 5,14 % dibawah COGS.
4. Penjualan mobil rush dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan harga
penjualan 1,15 % diatas COGS.
5. Penjualan mobil terios dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
kepada PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan harga
penjualan 2,69 persen diatas COGS.
Sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti
Toyota, bahwa praktik transfer pricing digunakan untuk meminimalkan pembayaran
pajak mereka. Dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, yakni dengan
cara memindahkan keuntungan ke perusahaan terafiliasi yang berada di luar negeri,
tentunya dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Lanjut skandal transfer pricing, sebuah dokumen manifes kapal yang digunakan untuk
aktivitas ekspor impor mengungkap salah satu indikasi ‘permainan’ transaksi
TMMIN. Yaitu, adanya kebijakan ekspor. TMMIN harus melakukan penjualan ke
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd (unit bisnis Toyota yang berkedudukan di
Singapura). Dan kemudian Toyota Motor Asia Pacific yang akan menyalurkan
penjualan TMMIN ke negara tujuan ekspor.
Skema penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) ke luar
negeri adalah sebagai berikut :

Penjualan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada PT.


Toyota Asia Pasific yang berlokasi di Singapura dengan harga di bawah COGS
adalah sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pengenaan tarif pajak
yang tinggi di Indonesia, yakni sebesar 25 % dan mengalihkan laba tersebut kepada
perusahaan terafiliasi di negara lain, yakni PT. Toyota Asia Pasific yang berlokasi di
Singapura, karena sebagaimana kita ketahui bahwa tarif pajak penghasilan di
Singapura merupakan yang terendah di ASEAN yakni sebesar 17 %. Sedangkan
untuk penjualan di dalam negeri, yakni dari PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN) kepada PT. Toyota Astra Motor (TAM) untuk tipe mobil yang
persis dijual dengan nilai keuntungan bruto sebesar 3,43 –7,67 %.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak
Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length
principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar dalam hal ini otoritas pajak
berhak menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan cara
membandingkan harga tersebut dengan transaksi perusahaan sejenis di luar negeri.
Peraturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Petugas pajak
kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki
karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu
adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited
(India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina).
C. Analisis Pada PT. Motor Manufacturing Indonesia
Sebagai pembuktian adanya transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP harus
melakukanpemeriksaan nilai kewajaran semua transaksi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.
Metode yang digunakan DJP untuk melakukan penilaian kewajaran transfer pricing
transaksi PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia dengan Toyota Motor Asia
Pacific Pte., Ltd di Singapura adalah Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price / CUP). Yaitu
dengan membandingkan harga transaksi tersebutdengan transaksi perusahaan sejenis
di luar negeri. Cara ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun oleh
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).
Kemudian, DJP menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki
karakteristik serupa sebagai pembanding untu PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN). Perusahaan tersebut adalah Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force MotorLimited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao
(China). Berdasarkan penelaahan transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, DJP
menetapkan bahwa kisaran gross margin yang berada dalam batas kewajaran (arm’s
length range) untuk perusahaan otomotif yangmengekspor produknya adalah 3,22%
sampai 13,58%. Dan kisaran gross margin transaksi PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd berada di bawah kisaran gross
margin yang dinilai wajar.
Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak telah mengatur mengenai
transfer pricing yang secara umum terdapat dalam pasal 18 UU Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan, yang berbunyi : “Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilandan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnyaPenghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa denganWajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”.
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang disebut dengan arm’s length principle
merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yangmempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding
dengan kondisi dalam transaksi yangdilakukan antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak - pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama
dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding.
Dalam kasus ini, penentuan besarnya harga transaksi yang wajar memang sulit
untuk ditentukan.Permasalahan yang dihadapi DJP adalah ketersediaan data
pembanding untuk menentukan hargatransaksi yang wajar dan sesuai dengan
kelaziman usaha.Untuk beberapa komoditas, seperti crude palm oil (CPO), memang
lebih mudah menentukanharga transaksi wajar karena tersedia data dan dapat diakses.
Tetapi sulit dilakukan untuk produk - produk perusahaan multinasional, karena
terdapat spesifikasi yang berbeda untuk setiap produkyang dihasilkan.Maka dari itu,
pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan peraturan tentang tatacara
pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer atau yang disebut dengan
Advance Pricing Agreement), yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor
7/PMK.03/2015. “Perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak
atau Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra P3B yang melibatkanWajiib Pajak untuk menyepakati kriteria - kriteria
dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar dimuka”.
Dengan adanya APA, maka DJP akan mempunyai dasar yang kuat dalam
menentukan hargatransaksi yang wajar. Jika wajib pajak yang bersangkutan
melakukan transfer pricing dengan harga transaksi dibawah harga yang telah
diperjanjikan dalam APA, maka DJP sudah dapatmenyimpulkan bahwa terjadi praktik
transfer pricing guna penghindaran pajak.
Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa
menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar (arm’s length
range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22 -13,58 persen.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, pemeriksa pajak mengkoreksi harga pada
transaksi PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) kepada Toyota
Motor Asia Pacific di Singapura, yang menyebabkan omzet penjualan mereka pada
tahun 2007 meningkat sekitar Rp 500 miliar menjadi Rp.27,5 triliun. 
D. Kesimpulan
Transaksi antar perusahan afiliasi lazim dilakukan banyak perusahaan. Hal itu
menjadi suatuyang tidak menyimpang ketika transaksi dilakukan dengan harga yang
wajar. Sebaliknya,transaksi antar perusahaan afiliasi menjadi suatu skandal ketika
transaksi tersebut dilakukandengan harga transaksi diluar kewajaran. Hal itu biasa
disebut dengan skandal transfer pricing guna penghindaran pajak.Mengenai hal itu, PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia diduga melakukan praktik transfer pricing
guna penghindaran pajak. Hal itu diketahui ketika kebijakan ekspor PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura dibawah
hargapokok penjualan.
Sebagai pembuktian, DJP melakukan pemeriksaan untuk menentukan harga
transaksi yang wajar (arm’s length principle) menggunakan metode Perbandingan
Harga antara Pihak yang tidakmempunyai Hubungan Istimewa (Comparable
Uncontrolled Price / CUP). Yang menjadipembanding adalah lima perusahaan
otomotif asal luar negeri yang memiliki karakteristikserupa. Namun, DJP mendapati
kendala dalam menggunakan metode ini, sulitnya mendapatkandata pembanding yang
sesuai.
Tetapi, kesimpulan DJP atas kasus transfer pricing menggunakan metode tersebut
disanggah oleh pihak Toyota dengan alasan lima perusahaan pembanding yang
digunakan tidak layak,karena pada tahun tersebut status lima perusahaan itu merugi,
sedangkan Toyota masih untung.
Hal itu merupakan hambatan bagi DJP untuk mengambil atau mempertahankan
kesimpulan.Sehingga, pemerintah melalui Menteri Keuangan
menerbitkan peraturan tentang pembentukandan pelaksanaan kesepakatan harga
transfer (Advance Pricing Agreement / APA). Denganadanya APA, DJP akan
mempunyai dasar yang kuat dalam penentuan harga transfer yang wajar.

Anda mungkin juga menyukai