Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI

Kajian teori ini akan membahas beberapa bagian


sebagai berikut: a) Teori Belajar terkait Program Praktik
Kerja Lapangan (PKL), b) Program PKL, c) Evaluasi
Program, d) Model Evaluasi Stake Countenance, e) Hasil
Penelitian Relevan, f) Kerangka Berfikir.

2.1 Teori Belajar terkait Program PKL

Terdapat dua teori belajar di tempat kerja yang


pokok, terkait Program PKL, yaitu work-based learning
dan situated learning.

2.1.1 Work-Based Learning (Pembelajaran Berbasis


Kerja)

Work-Based Learning (WBL) atau Pembelajaran


Berbasis Kerja sebagai pendekatan pembelajaran
memainkan peran dalam meningkatkan pengembangan
program pendidikan di SMK. Belajar berbasis kerja
adalah suatu strategi pembelajaran yang
memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat
kerja untuk mempelajari materi pembelajaran berbasis
sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan
kembali di tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai

11
aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk
kepentingan siswa. (Depdiknas, 2003:11).

WBL menjadi tren dalam pendidikan SMK, karena


mempengaruhi kepuasan pembelajar dan
meningkatkan peran tutor dalam pembelajaran
(Woltering, Herrler, Spitzer, & Spreckelsen, 2009:1131).
“Credit for Work-based learning may begained in work
related context within a module or programme of study
offered or recognised by the university and its patners.”
(Birmingham University, 2008:2). Bern dan Erikson
(2001:8) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis
kerja terintegrasi dengan materi di kelas untuk
kepentingan para siswa dalam memahami dunia kerja.
Raelin (2008:2) menyatakan bahwa, WBL secara
ekspresif menggabungkan antara teori dengan praktik,
pengetahuan dengan keterampilan. WBL mengakui
bahwa tempat kerja menawarkan kesempatan yang
banyak untuk belajar seperti di ruang kelas. Sistem
magang/PKL merupakan salah satu bentuk WBL.
Dalam sistem ini siswa belajar dengan seorang ahli
atau maestro melalui pengamatan dan imitasi perilaku
dan cara kerjanya dengan intens sehingga bisa
mendapatkan pengalaman spesifik.

Dari beberapa pendapat di atas, Work-Based


Learning (WBL) atau Pembelajaran Berbasis Kerja

12
merupakan pendekatan pembelajaran yang
menggabungkan antara teori dengan praktik,
pengetahuan dengan dunia nyata, muncul karena
adanya tuntutan untuk mencapai mutu pendidikan
yang lebih tinggi, efisiensi dan keterkaitan pendidikan
dengan pekerjaan. Teori WBL juga diperlukan karena
menyediakan ketrampilan profesional untuk membantu
peserta didik membuat transisi dari sekolah ke bekerja,
dalam program pendidikan praktik yang dilaksanakan
di industri.

2.1.2 Situated Learning ( Pembelajaran Situasional)

Situated Learning adalah merupakan teori belajar


yang mempelajari gabungan pengetahuan dan
keterampilan yang digunakan di dunia kerja (Brown,
1998). Stein (1998:1) mengidentifikasi empat prinsip
terkait dengan situated learning, yaitu: (1) belajar
berakar pada kegiatan sehari-hari (everyday cognition),
(2) pengetahuan diperoleh secara situasional dan
transfer berlangsung hanya pada situasi serupa
(context), (3) di samping pengetahuan deklaratif dan
prosedural, belajar merupakan hasil dari proses sosial
yang mencakup cara-cara berpikir, memandang
sesuatu, pemecahan masalah, dan berinteraksi (4)
belajar merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
dunia tindakan tetapi eksis di dalam lingkungan sosial

13
yang sehat dan komplek, yang meningkatkan aktor,
aksi, dan situasi. Dari keempat prinsip ini, prinsip yang
kedua yaitu lingkungan yang serupa dengan dunia
kerja yang sebenarnya diperlukan oleh sekolah.
Lingkungan belajar yang memberikan pengalaman
siswa yang mendukung kerja di industri adalah
lingkungan industri sendiri.

2.2 Praktik Kerja Lapangan (PKL)


2.2.1 Pengertian Praktik Kerja Lapangan (PKL)

Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan syarat


mutlak penyelenggaraan pendidikan vokasi di SMK. Hal
inilah yang menjadi dasar utama bagi sebagian besar
SMK dalam melaksanakan PKL. Program PKL bagi
siswa SMK mulai dilaksanakan sejak dicanangkannya
kurikulum 1994 dengan konsep magang. Seiring
dengan beberapa kali pergantian kurikulum SMK maka
istilah untuk program praktik bagi siswa SMK ini pun
berubah-ubah disesuaikan dengan standar dari
kurikulum yang berlaku pada saat itu. Mulai dari
istilah Magang, PKL (Praktik Kerja Lapangan), Prakerin
(Praktik Kerja Industri), OJT (On the Job Training), PSG
(Pendidikan Sistem Ganda), dan saat ini istilah yang
dipakai kembali menjadi PKL (Praktik Kerja Lapangan)
sesuai dengan Pedoman Praktik Kerja Lapangan (PKL)

14
dari Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (Direktorat Pembinaan
SMK, 2017).
Praktik kerja lapangan yang merupakan bagian
dari kegiatan penerapan Program Pendidikan Sistem
Ganda (PSG) adalah program wajib yang harus
diselenggarakan oleh sekolah, khususnya SMK dan
pendidikan luar sekolah serta wajib diikuti oleh siswa/
warga belajar (Dikmenjur: 2008).
Dipandang dari sudut pandang pendidikan,
Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan salah satu
muatan (content) kurikulum suatu lembaga pendidikan
kejuruan. PKL tersebut dimaksudkan untuk
memberikan wawasan praktis berdasarkan teori-teori
yang dipelajari di SMK. (UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 36 ayat [3] huruf f jo
Pasal 37 ayat [1]).

Menurut Direktorat Pembinaan SMK,


pembelajaran di Dunia Usaha/ Dunia Industri (Institusi
Pasangan) adalah program PKL yaitu kegiatan
pembelajaran praktik untuk menerapkan,
memantapkan, dan meningkatkan kompetensi peserta
didik. (Kemdikbud, 2017:2).

15
Sedangkan dari sudut pandang ketenagakerjaan,
PKL adalah salah satu wujud pelatihan di tempat kerja
(on the job training) atau OJT karena PKL hanya
merupakan (salah satu) muatan kurikulum SMK maka
ketentuan mengenai hak-hak/kewajiban-kewajiban
siswa PKL dengan Institusi Pasangan (IP) diatur dan
disepakati diantara para pihak. (Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 13 ayat
[2]).
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
03/M-IND/PER/1/2017 tentang “Pedoman Pembinaan
dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan
Berbasis Kompetensi yang Link and match dengan
Industri” dijelaskan bahwa praktik kerja lapangan
adalah praktik kerja pada industri atau perusahaan
sebagai bagian kurikulum pendidikan kejuruan untuk
meningkatkan kompetensi.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan
penyelenggaraan praktek kerja di institusi kerja
pasangan (perusahaan; jasa, dagang, industri), secara
sinkron dan sistematis, bertujuan menghantarkan
peserta didik pada penguasaan kemampuan kerja
tertentu, sehingga menjadi lulusan yang
berkemampuan relevan seperti yang diharapkan.

16
2.2.2 Tujuan Program Praktik Kerja Lapangan

Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang diwujudkan


dalam bentuk kerja di suatu perusahaan, dimaksudkan
selain sebagai salah satu syarat tugas akhir bagi siswa
SMK kelas XI atau kelas XII, PKL juga sebagai kegiatan
siswa untuk mencari pengalaman kerja sebelum
memasuki dunia kerja yang sesungguhnya.
Pelaksanaan PKL juga dapat memberikan nilai
tambah bagi SMK, seperti pemenuhan persyaratan
akreditasi dan upaya pembangunan reputasi sekolah.
Adapun tujuan diadakan pelaksanaan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) antara lain :
1. Untuk memperkenalkan siswa pada dunia usaha
2. Menumbuhkan & meningkatkan sikap profesional yang
diperlukan siswa untuk memasuki dunia usaha
3. Meningkatkan daya kreasi dan produktifitas tehadap siswa
sebagai persiapan dalam menghadapi atau memasuki
dunia usaha yang sesungguhnya
4. Meluaskan wawasan dan pandangan siswa terhadap jenis-
jenis pekerjaan pada tempat kerja. (Depdiknas , 2003:
2-3)

Menurut Pedoman Penilaian Hasil Belajar pada


SMK penerapan kurikulum 2013 Edisi Revisi yang
berlaku secara nasional, memuat tujuan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) antara lain sebagai berikut :

1. Mengaktualisasikan model penyelenggaraan Pendidikan


Sistem Ganda (PSG) antara SMK dan Institusi Pasangan
(DU/DI) yang memadukan secara sistematis dan sistemik
program pendidikan di sekolah (SMK) dan program latihan
penguasaan keahlian di dunia kerja (DU/DI).

17
2. Membagi topik-topik pembelajaran dari Kompetensi Dasar
yang dapat dilaksanakan di sekolah (SMK) dan yang dapat
dilaksanakan di Institusi Pasangan (DU/DI) sesuai dengan
sumber daya yang tersedia di masing-masing pihak.
3. Memberikan pengalaman kerja langsung (real) kepada
peserta didik dalam rangka menanamkan (internalize) iklim
kerja positif yang berorientasi pada peduli mutu proses dan
hasil kerja.
4. Memberikan bekal etos kerja yang tinggi bagi peserta didik
untuk memasuki dunia kerja dalam menghadapi tuntutan
pasar kerja global. (Kemdikbud, 2015: 45).

Sementara berdasarkan Pedoman Praktik Kerja


Lapangan (PKL) tahun 2017 diuraikan tujuan PKL
adalah:

1. Memberikan pengalaman kerja langsung (real) kepada


peserta didik dalam rangka menanamkan (internalize)
iklim kerja positif yang berorientasi pada peduli mutu
proses dan hasil kerja.
2. Menanamkan etos kerja yang tinggi bagi peserta didik
untuk memasuki dunia kerja dalam menghadapi tuntutan
pasar kerja global.
3. Memenuhi hal-hal yang belum dipenuhi di sekolah agar
mencapai keutuhan standar kompetensi lulusan.
4. mengaktualisasikan salah satu bentuk aktivitas dalam
penyelenggaraan Model Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
antara SMK dan Institusi Pasangan Du/Di yang
memadukan secara sistematis dan sistemik.
(Direktorat Pembinaan SMK, 2017: 4).

Tujuan pembelajaran dengan Program PKL dalam


perkembangannya dipengaruhi dinamika kehidupan
masyarakat, dituntut untuk mampu mengantarkan
peserta didik menjadi lulusan SMK yang memiliki
pengetahuan, etos kerja, dan keterampilan yang
memadai sebagai bekal untuk bersaing memasuki
dunia kerja. (Surachim, 2016: 16).

18
Dari uraian di atas, diketahui bahwa tujuan dari
Program PKL adalah untuk memperkenalkan siswa
pada Dunia Usaha/ Dunia Industri (DUDI) dengan
praktik kerja langsung di perusahaan ataupun di suatu
instansi guna menumbuhkan dan meningkatkan sikap
profesional yang diperlukan siswa untuk memasuki
dunia kerja.

2.2.3 Komponen Praktik Kerja Lapangan

Menurut Surachim (2016: 57), Efektivitas PKL di


SMK berkaitan dengan interaksi antara komponen-
komponen yaitu; institusi pasangan, program
pendidikan dan pelatihan bersama, kelembagaan
kerjasama, nilai tambah dan jaminan keberlangsungan.
Kontribusi yang sinkron dan dinamis dari setiap
komponen pendukung diharapkan melahirkan
pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuan
pendidikan di SMK.

a. Institusi Pasangan (IP)

Institusi pasangan yaitu dunia usaha/ industri atau


lembaga lainnya yang menjadi mitra SMK dalam
Program PKL, yang terlibat langsung dalam
kerjasama pelaksanaan PKL, meliputi; personil
SDM, peralatan, bahan, waktu, penyusunan
program, dan pendanaan, yang bertujuan agar
peserta PKL dapat melaksanakan tugasnya sesuai
19
keahlian yang diminatinya, memperoleh pengalaman
kerja, serta menerapkan disiplin kerja sesuai dengan
kebutuhan pasar.( Surachim, 2016: 24).

b. Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama

PKL adalah program pendidikan dan pelatihan


bersama antara SMK dan IP-nya, disusun dan
disepakati bersama, dilaksanakan dan dievaluasi
bersama berdasarkan standar keahlian tamatan
(Standar Profesi), standar pendidikan dan pelatihan,
sistem penilaian dan sertifikasi. (Surachim, 2016:
61).

Program-program dalam kurikulum yang saat


ini berlaku dan dikembangkan, disusun dengan
mengacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
mengutamakan penyiapan tamatan agar dapat
memasuki lapangan kerja dan mengembangkan
sikap profesional. Program pendidikan yang harus
disepakati bersama tersebut paling tidak meliputi:

1) Standar profesi (standar kemampuan tamatan)

PKL sebagai bagian integral pengembangan


sumberdaya manusia bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik untuk dapat
bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan ini

20
mengandung arti bahwa tamatan pendidikan
sistem ganda harus memiliki kemampuan/
kompetensi yang dipersyaratkan oleh dunia
usaha/ industri, sehingga segala sesuatu yang
berhubungan dengan perencanaan,
penyelenggaraan dan penilaian pendidikan dan
pelatihan harus mengacu pada pencapaian
standar kemampuan profesional sesuai dengan
tuntutan profesi. Oleh karena itu standar profesi
harus memuat ukuran kemampuan dan
menggambarkan kewenangan pada kurikulum
masing-masing program studi.

2) Standar pendidikan dan pelatihan

Diperlukan suatu proses pendidikan dan


pelatihan yang terstandar dengan ukuran materi,
waktu dan metode pola pelaksanaan untuk
mencapai kewenangan dan penguasaan standar
kemampuan tamatan yang telah ditetapkan.
Komponen pendidikan dan pelatihan kejuruan
meliputi; teori kejuruan, praktik dasar kejuruan,
dan praktik keahlian kejuruan. Standar
pendidikan dan pelatihan diperlukan mengingat
keberhasilan pembelajaran dalam dinamikanya
harus selaras dengan kebutuhan sektor-sektor

21
pembangunan dan dunia kerja yang terus
berkembang.

3) Standar penilaian dan sertifikasi

Pengujian terhadap siswa diperlukan untuk


mengetahui keberhasilan dalam mencapai
kemampuan sesuai dengan profesi yang telah
ditetapkan. Bagi siswa yang telah menguasai
kemampuan yang dipersyaratkan dinyatakan
lulus dan dibekali dengan sertifikat dari tim
penguji yang berasal dari pihak SMK, dunia
usaha/industri, asosiasi profesi, dimana terdapat
dua jenis penilaian yaitu penilaian hasil belajar
dan penilaian penguasaan keahlian.(Surachim,
2016: 61-65).

2.2.4 Pedoman Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan

Program PKL dalam kurikulum 2013 Edisi Revisi


yang berlaku secara nasional, yang saat ini berlaku
disusun dengan mengacu pada Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
mengutamakan penyiapan tamatan agar dapat
memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap
profesional. Program PKL dalam penerapannya minimal
menggunakan 4 standar dari 8 standar dalam Standar
Nasional Pendidikan (SNP) sesuai Peraturan Pemerintah
No. 13 Tahun 2015 yaitu; a) Standar kompetensi
22
Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan, b) Standar Isi
Pendidikan Menengah Kejuruan, c) Standar Proses
Pendidikan Menengah Kejuruan, d) Standar Penilaian
Pendidikan Menengah Kejuruan. (Direktorat Pembinaan
SMK, 2017:3).

Pedoman PKL disusun dan dikembangkan untuk


mendukung pola pengelolaan PKL yang akan atau
sedang dijalankan agar lebih efektif. Pedoman berikut
instrument didalamnya dapat digunakan sebagai SOP
(Standar Operasional Prosedur) dalam penyelenggaraan
Program PKL. Program PKL di SMK dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya
Industri.
5. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);
6. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam Rangka
23
Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya
Manusia Indonesia.
7. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03/M-
IND/PER/1/2017 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis
Kompetensi yang Link and Match dengan Industri.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 36 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Pemangangan di Dalam Negeri.
9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
.... Tahun 2017 tentang Standar Komptensi Lulusan
Pendidikan Menengah Kejuruan.
10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
.... Tahun 2017 tentang Standar Isi Pendidikan
Menengah Kejuruan.
11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
.... Tahun 2017 tentang Standar Proses Pendidikan
Menengah Kejuruan.
12. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
.... Tahun 2017 tentang Standar Penilaian Pendidikan
Menengah Kejuruan
13. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
60 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah
Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan.
14. Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemendikbud No. 4678/D/KEP/MK/2016 tentang
Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan.
15. Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemendikbud No. 130/D/KEP/KR/2017 tentang
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan.
(Direktorat Pembinaan SMK, 2017: 2-4).

Sesuai dengan perkembangan jaman, aturan


penyelenggaraan PKL diperbarui dengan penerapan
Kurikulum 2013 Edisi Revisi yang berlaku secara
nasional dengan penetapan pedoman penilaian PKL
yang memuat aturan lebih teknis penyelenggaraan PKL
yang meliputi; a) pencarian DUDI (Benchmark), b)
perencanaan, c) seleksi, d) manajemen PKL, e)

24
monitoring dan evaluasi, dan f) penilaian, laporan dan
penutupan program. (Kemdikbud, 2016: 18-22).

Penyempurnaan aturan PKL oleh pemerintah terus


dilakukan dengan diterbitkannya aturan terbaru yaitu
Pedoman Praktik Kerja Lapangan (PKL) tahun 2017
yang meliputi; a) pendahuluan, b) konsep dan pola
praktik kerja lapangan, c) deskripsi program PKL yang
memuat antara lain; (1) alur pelaksanaan PKL, (2)
perencanaan program PKL, (3) pelaksanaan program
PKL, (4) penilaian PKL. (Direktorat Pembinaan SMK,
2017). Pedoman PKL sebagai Juknis PKL disusun
dengan tujuan antara lain untuk; a) menyediakan
rujukan yang jelas dan sederhana tentang Program PKL
yang dapat digunakan untuk jangka panjang, b) sarana
untuk untuk menyamakan pemahaman,
mengakomodasi harapan dan kepentingan semua pihak
yang terkait Program PKL, c) sarana untuk dapat
melakukan monitoring, evaluasi dan perbaikan
program, d) menyajikan instrumen-instrumen untuk
penyelenggaraan PKL, e) bahan pembelajaran dan
model untuk direplikasi (Good Practice Sharing).
(Kemdikbud, 2016: 8).

Pedoman PKL 2017 tersebut mengacu pada


aturan kurikulum 2013 Edisi Revisi yang berlaku

25
secara nasional yang tertuang dalam Panduan
Penilaian Hasil Belajar pada SMK yang berbunyi:
“Memperhatikan Permendikbud Nomor 60 Tahun 2014,
waktu pelaksanaan pembelajaran di Institusi
Pasangan/Industri dapat dilakukan pada kelas XI atau kelas
XII. Untuk menjamin keterlaksanaan program PKL maka
dapat dilakukan alternatif pengaturan sebagai berikut:
1) Jika program PKL akan dilaksanakan pada semester 4
kelas XI, sekolah harus menata ulang topik-topik
pembelajaran pada semester 4 dan semester 5, agar
pelaksanaan PKL tidak mengurangi waktu untuk
pembelajaran materi pada semester 4 sehingga sebagian
materi pada semester 4 tersebut dapat ditarik ke semester 5.
2) Demikian juga sebagaimana pada butir 1) di atas, jika
program PKL akan dilaksanakan pada semester 5 kelas XII,
sekolah harus melakukan pengaturan yang sama untuk
materi pembelajaran pada kedua semester tersebut.
3) Mengingat kebijakan UN yang tidak lagi menjadi salah
satu faktor penentu kelulusan, maka program PKL dapat
dilaksanakan sebelum UN pada semester 7 secara blok
penuh selama 3 bulan (12 minggu) bagi SMK Program 4
Tahun.” (Direktorat Pembinaan SMK, 2015: 46).

Dalam pelaksanaan Program PKL mencakup


serangkaian fase yang membantu mengartikulasikan
peran guru pengajar, guru pembimbing, peserta didik,
dan pembimbing industri. Fase pembelajaran dalam
Program PKL tersebut dilaksanakan dalam ruang
lingkup PKL yang meliputi:
1. Tahap I: Pengamatan. Peserta didik mengamati
kinerja dari suatu kegiatan di tempat PKL
kemudian merencanakan mengartikulasikannya
dalam suatu kegiatan nyata/riil.
2. Tahap II: Meniru tindakan (approximating). Peserta
didik meniru tindakan yang dilakukan oleh staf
Du/Di/ pembimbing industri. Peserta didik
mencoba melakukan kegiatan seperti yang
dilakukan oleh ahli dan membandingkannya

26
3. Tahap III: Kerja dalam bantuan dan pengawasan.
Peserta didik mulai bekerja secara lebih rinci
dibawah pengawasan dan bantuan pembimbing
industri. Mereka bekerja sesuai dengan standar
tempat kerja. Kemampuan peserta didik
meningkat melalui bantuan ahli atau pembimbing
industri.
4. Tahap IV: Bekerja Mandiri (Self-directed Learning).
Peserta didik hanya minta bantuan jika
diperlukan. Peserta didik mencoba tindakan nyata
di dunia kerja Du/Di, namun tetap membatasi
dirinya untuk lingkup tindakan di lapangan yang
dipahami. Peserta didik melakukan tugas yang
sebenarnya dan hanya mencari bantuan bila
diperlukan dari ahli.
5. Tahap V: Aktualisasi dan eksplorasi. Peserta didik
melakukan aktualisasi dan eksplorasi dalam
penerapan pengetahuan dan keterampilan yang
sudah dimiliki. Dalam tahap ini peserta didik
memberikan tanggapan terhadap pengembangan
metode kerja, prosedur kerja, formula dan hal lain
yang digunakan di Du/Di. (Hansman, 2001: 47)
Guna merealisasikan pembelajaran dalam Program
PKL yang efektif dan efisien, setiap sekolah melakukan
penyusunan program pembelajaran yang dilakukan di
sekolah dan di Institusi Pasangan/ DUDI. Sekolah
menyusun program PKL yang memuat sejumlah
Kompetensi Dasar yang akan dipelajari peserta didik di
dunia kerja. KD yang tidak dapat dilakukan
pembelajarannya di industri wajib dilaksanakan di
sekolah. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017:20).

Penyusunan Program PKL melibatkan praktisi ahli


yang berpengalaman di bidangnya untuk memperkuat
pembelajaran dengan cara pembimbingan. PKL disusun
bersama antara sekolah dan industri yang menjadi
27
Institusi Pasangan dalam rangka memenuhi kebutuhan
peserta didik, sekaligus merupakan wahana bagi DUDI
untuk berkontribusi dalam upaya pengembangan
sumber daya manusia. Rancangan Program PKL
sebagai bagian integral dari program pembelajaran
perlu memperhatikan kesiapan Institusi Pasangan. Hal
ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan, penempatan
peserta didik tepat sasaran.

2.3 Evaluasi Program

2.3.1 Pengertian Evaluasi Program

Menurut Arikunto dan Jabar (2014:7), evaluasi


program merupakan penelitian evaluatif yang
dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari sebuah
program kebijakan, yaitu mengetahui hasil akhir dari
adanya kebijakan dalam rangka menentukan
rekomendasi kebijakan atas kebijakan yang lalu dengan
tujuan untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
Evaluasi program adalah metode sistematik untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi
untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program.
Semua program perlu dievaluasi untuk menentukan
apakah layanan atau intervensinya telah mencapai
tujuan yang ditetapkan. (Wirawan, 2011: 17).

28
Menurut Gall, Gall and Borg (2007:559)
“educational evaluation is the process of making
judgments about the merit, value, or worth of educational
programs”. Dapat diartikan bahwa evaluasi pendidikan
adalah proses membuat penilaian tentang prestasi,
nilai, atau nilai program pendidikan

Lebih lanjut Stufflebeam, Madaus dan Kellaghan


(2002:280) menerangkan bahwa evaluasi program
merupakan:

“...the process ofdelineating, obtaining, reporting, and


applying descriptive and judgmental information about some
object’s meritand worth in order to guide decision making,
support accountability, disseminate effective practices, and
increase understanding of the involved phenomena”.
Proses menggambarkan, pelaporan dan menerapkan
informasi deskriptif dan mempertimbangkan beberapa
obyek prestasi dan layak untuk dasar pengambilan
keputusan, mendukung akuntabilitas, menyebarkan
praktek-praktek yang efektif, dan meningkatkan
pemahaman fenomena program.

Dari beberapa pengertian evaluasi program di atas


dapat dipahami bahwa evaluasi program adalah
rangkaian kegiatan pengumpulan informasi tentang
keterlaksanaan suatu program sehingga diperoleh fakta
pelaksanaan, sehingga dapat digunakan sebagai
masukan dalam menentukan pilihan dalam
pengambilan sebuah keputusan.

29
2.3.2 Tujuan Evaluasi Program

Secara umum kita kenal ada dua macam tujuan


evaluasi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum diarahkan pada program secara
keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan
pada masing-masing komponen. Menurut Arikunto dan
Jafar (2010:19) tujuan evaluasi program adalah untuk
mengetahui seberapa efektif program yang sudah
dilaksanakan, sedang tujuan kususnya adalah
mengetahui seberapa tinggi kinerja masing-masing
komponen sebagai faktor penting yang mendukung
kelancaran proses dan pencapaian tujuan.
Tujuan diadakannya evaluasi program adalah
untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan
langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program,
karena evaluator program ingin mengetahui bagaimana
pelaksanaan komponen dan subkomponen program,
dan apa sebabnya jika belum terlaksana. (Arikunto dan
Jabar, 2014:18).
Kirkpatrick (2006:17) menambahkan ada tiga
alasan mengapa diperlukan evaluasi program, yaitu; a)
untuk menunjukan eksistensi dan dana yang
dikeluarkan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran
program yang dilakukan, b) untuk memutuskan
apakah kegiatan yang dilakukan akan diteruskan atau

30
dihentikan, c) untuk mengumpulkan informasi
bagaimana cara untuk mengembangkan program di
masa mendatang.
Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat
dilakukan berdasarkan hasil evaluasi sebuah program,
yaitu; a) menghentikan program, karena dipandang
bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan, b)
merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan
tetapi hanya sedikit, c) melanjutkan program, karena
pelaksanaan program sudah berjalan sesuai dengan
harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat, d)
menyebarluaskan program, karena program berhasil
dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di
tempat dan waktu yang lain. (Arikunto dan Jabar,
2014:22).

Dalam merancang dan mendesain evaluasi,


evaluator harus menentukan model evaluasi apa yang
akan dipergunakan. Menurut Wirawan (2011: 80-124)
terdapat berbagai model evaluasi program yaitu: a)
model evaluasi berbasis tujuan, b) model evaluasi bebas
tujuan, c) model evaluasi formatif, d) model evaluasi
sumatif, e) model evaluasi CIPP, f) model evaluasi
adversari, g) model evaluasi stake countenance, h)

31
model evaluasi ketimpangan, i) model evaluasi sistem
analisis, j) model evaluasi bangku ukur, k) model
evaluasi kotak hitam, l) model evaluasi konosursip dan
kritikisme, m) model evaluasi terfokus utilisasi, n)
akreditasi, o) theory-driven evaluation model, dan p)
model evaluasi semu.
Selanjutnya, dalam penelitian ini lebih fokus pada
salah satu dari model-model evaluasi di atas, yaitu
model evaluasi stake countenance (Countenance
Evaluation Model).

2.4 Model Evaluasi Program Stake Countenance


(Countenance Evaluation Model)

2.4.1 Pengertian Evaluasi Model Stake Countenance

Menurut Arikunto dan Jabar (2014:43), evaluasi


stake countenance merupakan jenis evaluasi program
yang dianggap cukup memadai dalam menilai program
secara kompleks. Model ini dikembangkan oleh Robert
Stake. Kata Countenance berasal dari kata bahasa
Inggris yang berarti menyetujui atau persetujuan.
Sedangkan secara istilah evaluasi countenance berarti
evaluasi yang menekankan pelaksanaan deskripsi dan
penilaian. Kaitan arti dengan asal kata tersebut adalah
pada pertimbangan yang diperoleh dari evaluator

32
sehingga menimbulkan keputusan atau persetujuan
tentang suatu hal.

Perhatian utama Stake (2004:376) adalah


orientasi sekitar program pendidikan bukan pada
produk pendidikan karena nilai produk tergantung
pada penggunaan program. Stake memperkenalkan
konsep evaluasi yang berorientasi pada sifat dinamis
dan kompleks pendidikan, yang efektif untuk tujuan
beragam dan penilaian dari praktisi.

Model Countenance adalah model pertama


evaluasi kurilulum. Tujuan dari model Stake
Countenance adalah melengkapi kerangka untuk
pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal,
suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada
pemakaian “checklist, structured visitation by peers,
controlled comparisons, and standardized testing of
students” (Hasan, 2008:207). Dalam hal checklist
disebutkan bahwa terdapat lima ketegori yaitu; a)
obyektivitas atau tujuan evaluasi, b) spesifikasi
program meliputi filsafat pendidikan yang dianut pada
mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dan lain
sebagainya, c) outcome program, seperti pengalaman
belajar, pencapaian hasil siswa, d) hubungan dan
indikator mencakup kongruensi kenyataan dan

33
harapan, kontingensi meliputi sebab akibat, e)
judgment nilai. Oleh karena itu model stake
countenance bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap
sebagai suatu yang mutlak. (Hasan, 2008:201)

Menurut Arikunto dan Jabar, 2014:43, evaluasi


model stake countenance terdiri dari tiga tahapan yaitu;
masukan (antecedents), proses (transactions), dan
dampak/hasil (outputs/outcomes). Penekanan model
ini adalah bahwa suatu evaluasi menekankan
adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu
melakukan penggambaran (description) dan
pertimbangan (judgement) mengenai sesuatu yang
dievaluasi. Anteseden merujuk pada kondisi yang ada
(persyaratan awal) sebelum implementasi program dan
yang terkait dengan outcome. Transaksi adalah
pergantian aktivitas yang membentuk proses (dengan
kata lain, proses pembelajaran atau aspek pendidikan
pada program). Outcome, merujuk pada hasil belajar
siswa. Outcome mencakup hasil-hasil langsung, jangka
panjang, di bidang kognitif maupun afektif, baik yang
bersifat individual maupun sosial.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa model
evaluasi Stake Countenance adalah model penelitian
yang menekankan tiga komponen utama yaitu;
masukan (antecedens), proses (transaction) dan dampak

34
(outcomes) dengan memperhatikan kesesuaian dan
ketergantungan antar komponen, dengan cara
melakukan langkah pekerjaan evaluasi yaitu deskripsi,
kemudian berdasarkan hasil deskripsi evaluator
melakukan pertimbangan, membandingkannya dengan
kondisi yang diharapkan. (Arikunto dan Jabar,
2014:54).
Berikut ilustrasi model evaluasi Stake Countenance

MAKSUD PENG- STAN- PENI-


AMAT- DAR LAI-
AN AN
ANTESEDEN

TRANSAKSI
RASIONAL
DAMPAK

MATRIK MATRIK
DESKRIPSI PERTIMBANG-
AN

Gambar 1 Representasi grafis model Stake Countenance


(Sumber: Arikunto & Jabar, 2014: 43).

2.4.2 Manfaat Evaluasi Model Stake Countenance

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh


dari pelaksanaan evaluasi model countenance adalah;
a) memberikan gambaran yang menyeluruh tentang
suatu program, mulai dari konteks awal hingga hasil
yang dicapai, b) lebih komprehensif, lebih lengkap
dalam menyaring informasi, c) adanya pertimbangan
terhadap standar, evaluasi tidak hanya mengukur
35
keterlaksanaan program sesuai rencana, akan tetapi
juga dapat mengetahui ketercapaian standar yang
telah ditentukan, d) adanya pertimbangan dari
sekelompok orang yang berkualifikasi di bidangnya,
evaluator dapat mengetahui hambatan atau faktor-
faktor yang mempengaruhi ketercapaian program
(Hasan, 2008: 208).

Model Stake Countenance dimaksudkan guna


memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan,
diolah untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan
oleh stakeholder sehingga penilai harus mengumpulkan
data deskriptif yang lengkap, antara lain tentang hasil
belajar siswa dan data pelaksanaan PKL, dan
hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu
penilai harus mengumpulkan data pertimbangan-
pertimbangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam
Program PKL sehingga diketahui hambatan-hambatan
Program PKL yang sudah berjalan dan alternatif
pemecahannya.

2.4.3 Langkah-langkah Evaluasi Model Stake


Countenance

Menurut Stake, evaluator harus melakukan dua


perbandingan, yaitu; a) membandingkan kondisi hasil
evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di
program lain, dengan objek sasaran yang sama, b)
36
membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program
dengan standar yang diperuntukkan bagi program yang
bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang akan
dicapai. (Arikunto dan Jabar, 2014:44).

Langkah-langkah evaluasi Stake Countenance


dilakukan dengan acuan matriks Countenance Stake
Model, yang terdiri atas dua matriks. Matriks pertama
dinamakan Matriks Deskripsi dan yang kedua
dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks
Pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator
setelah Matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks
Deskripsi terdiri atas kategori maksud (intent) dan
observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori
standard dan penilaian. Matrik deskripsi
diklasifikasikan menjadi intent (maksud) dan observasi
(pengamatan). Maksud (intent) mencakup tujuan
program – tidak hanya outcome yang diinginkan terjadi
pada siswa, namun juga outcome yang direncanakan
untuk kondisi lingkungan. Ada dua cara utama untuk
memproses data evaluasi deskriptif yaitu a) dengan
berusaha menemukan kontingensi/ ketergantungan di
antara anteseden, transaksi, dan outcome; dan b)
berusaha menemukan kongruensi/ kesesuaian antara
maksud dan observasi. Data tentang program dianggap
sesuai jika apa yang diinginkan benar-benar terjadi,

37
meskipun Stake mengakui bahwa tidak mungkin
semua antesenden, transaksi, dan outcome yang
diinginkan akan terjadi seperti yang diinginkan.
Dengan merujuk pada data transaksi, Stake
menegaskan bahwa evaluator harus mengamati dan
mencatat dengan cermat data yang berasal dari proses
transaksi dan interaksi. Hubungan diantara variabel
memiliki signifikansi khusus pada evaluator. Matrik
pertimbangan mencakup standar yang digunakan
untuk membuat penilaian maupun penilaian aktual itu
sendiri. Perlu dicatat bahwa kotak terpisah yang berada
di sebelah kiri disebut rationale (alasan). Menurut
Stake, evaluasi tidak lengkap tanpa pernyataan tentang
alasan program. Pernyataan ini menunjukkan latar
belakang filosofis dan tujuan dasar program dan
memberi dasar untuk mengevaluasi maksud dari
program itu sendiri. Penilaian dan proses mendapatkan
manfaat suatu program karena merupakan bagian
integral dari model tersebut. Ada dua standar untuk
menilai karakteristik program pada Countenance Model
yaitu; (a) mengevaluasi program berdasarkan standar
absolut yaitu standar yang mencerminkan pendapat
pribadi yang terkait dengan rencana program atau (b)
standar relatif yaitu standar yang mencerminkan
program serupa lainnya. (Hasan, 2008: 208-212)

38
Evaluator harus memberikan pertimbangan
mengenai kongruen (kesesuaian) yang terjadi antara
rencana dengan kenyataan di lapangan. Evaluator juga
harus memperhatikan kontingensi/ ketergantungan
yang terdiri atas kontingensi logis dan kontingensi
empirik. Kontingensi logis adalah hasil pertimbangan
evaluator terhadap keterkaitan atau keselarasan logis
antara kotak anteseden dengan transaksi dan hasil. Ini
adalah pertimbangan pertama yang harus dilakukan
evaluator. Sedangkan kontingensi empirik adalah hasil
pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan atau
keselarasan empirik antara kotak anteseden dengan
transaksi dan hasil berdasarkan data lapangan.
(Hasan, 2008: 208-212)

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh


dalam melaksanakan evaluasi countenance tercakup
dalam empat langkah pasti berdasarkan matriks yang
ada, yaitu; (a) sehubungan dengan kategori maksud,
evaluator dapat melakukan studi dokumen atau
wawancara kepada pengembang program, baik
berhubungan dengan anteseden (persyaratan awal),
transaksi (proses) serta hasil (dampak). Pada langkah
ini evaluasi dalam hal pembelajaran dapat dilakukan
dengan mempersiapkan rencana yang dituangkan
dalam silabus dan RPP, (b) sehubungan dengan

39
kategori pengamatan, evaluator harus mengadakan
analisis kongruen (perbedaan), yaitu menganalisa
implementasi dari rencana pada intent (maksud),
apakah sesuai atau terjadi penyimpangan. Jika terjadi
penyimpangan faktor-faktor apa yang
menyebabkannya, (c) tugas evaluator berikutnya adalah
memberikan pertimbangan mengenai program yang
sedang dikaji, oleh karenanya perlu standar yang dapat
diperoleh dari sekolah, (d) dan yang terakhir adalah
memberi pertimbangan terhadap hasil dari analisis
ketiga kategori sebelumnya. (Hasan, 2008: 208-212)

2.4.3 Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model


Stake Countenance

Menurut Hamid Hasan, (2008:212) kelebihan dari


evaluasi model countenance antara lain; a) memiliki
pendekatan yang holistic yang bertujuan memberikan
gambaran yang sangat detail atau luas terhadap
suatu proyek, mulai dari konteknya hingga saat proses
penerapannya b) upaya untuk mendeskripsikan
kompleksitas program sebagai realita yang mungkin
terjadi, lebih komprehensif atau lebih lengkap
menyaring informasi, c) mampu memberikan dasar
yang baik dalam mengambil keputusan dan kebijakan
maupun penyusunan program selanjutnya, d) dengan
adanya pertimbangan evaluasi dapat mengetahui

40
ketercapaian standar yang telah ditentukan serta dapat
mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
ataupun mendukung keberhasilan program. Sedangkan
menurut Robinson (2006) kelebihan model stake
countenance yaitu bahwa model tersebut memiliki
kehati-hatian dalam memberikan judgment mengenai
nilai aspek yang bervariasi. Model ini juga dapat
memfasilitasi sebuah pemahaman yang mendalam
mengenai semua aspek program pembelajaran, yang
tidak hanya memungkinkan evaluator untuk
menentukan out come pembelajaran, tetapi juga
menunjukkan alasan dan konsekuensi dampaknya.
Model ini memberikan dasar yang kuat untuk
memberikan rekomendasi dan judgment yang menarik
atas nilai sebuah pembelajaran

Sedangkan beberapa kelemahan dari evaluasi


model countenance adalah; a) terlalu mementingkan
proses seharusnya daripada kenyataan di lapangan, b)
cenderung fokus pada rasional/ alasan manajemen
daripada mengakui kompleksitas realitas empiris, c)
penerapan dalam bidang pembelajaran di kelas
mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi.
(Hamid Hasan, 2008:212).

Berdasarkan kelebihan dan kelemahan dari model


evaluasi stake countenance tersebut, khususnya untuk

41
mengevaluasi program pendidikan sekolah di luar kelas
seperti Program PKL dianggap lebih tepat jika
menggunakan model stake countenance tersebut.

2.5 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai Program PKL dengan model


evaluasi Stake Countenance jarang dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Muliati A.M.
(2005/2007) dalam promosi doktornya di UNJ;
Basically Dual System of Education of Vocational High
School is educational training system for vocational
competence that is conducted in vocational schools and
business work to produce middle level workers with
special skills. Pada dasarnya Pendidikan Sistem Ganda
pada SMK adalah sistem pendidikan dan pelatihan
untuk memperoleh kemampuan tertentu, pembelajaran
di SMK dan bekerja di perusahaan untuk menghasilkan
tenaga kerja tingkat menengah yang mempunyai
keahlian tertentu.
Penelitian lain oleh Jumardin (2011: 14-15) yang
berjudul Evaluasi Program Praktik Kerja Lapangan
Siswa SMK Kesehatan Persada Wajo pada Institusi
Pasangan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan
Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) SMK Kesehatan
Persada Wajo, yang meliputi: 1) perencanaan, 2)
42
pelaksanaan, 3) hasil ujian teori kejuruan, dan 4) hasil
ujian praktik kejuruan siswa dengan standar objektif.
Penelitian tersebut menggunakan model Countenance
Stake yang menunjukkan hasil bahwa (1) Perencanaan
(anteseden) program berada pada kategori baik dan
sesuai dengan standar objektif, (2) Proses
( pelaksanaan) program berada pada kategori baik
dan sesuai dengan standar objektif, (3) Dampa k
( hasil) ujian teori kejuruan dan praktik kejuruan
berada pada kategori baik dan sesuai standar objektif.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh
Sundoyo & Sumaryanto (2012) dengan judul Evaluasi
Program Pendidikan Sistem Ganda Berdasarkan Stake
Countenance Model. Penelitian tersebut menyatakan
bahwa Program PKL dapat dilaksanakan khususnya
pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dengan
memperbaiki kekurangan yang telah teridentifikasi.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa perlunya
evaluasi untuk sebuah program untuk
menyempurnakan program yang akan datang.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Muliati


(2005/2007), Jumardin (2011) dan Sundoyo,H., &
Sumaryanto, T.(2012) dalam hal model evaluasi yang
digunakan yaitu model stake countenance.

43
Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian
tersebut adalah fokus penelitian yang mengevaluasi
secara menyeluruh dan lengkap terhadap Program PKL
di satu jurusan di SMK sehingga lebih memberikan
gambaran dan pertimbangan yang tepat karena dikaji
lebih mendalam hingga dampak penyelenggaraan
program bersumber laporan akhir hasil prestasi belajar
siswa.

Penelitian lain dari Kurniawan, Djasmi & Jaya


(2015) yang berjudul Evaluasi Pelaksanaan Praktek
Kerja Industri Jurusan Akuntansi memiliki kesamaan
dalam hal obyek penelitian, yaitu Program PKL di
jurusan akuntansi SMK sehingga dalam lingkup
penelitian yang lebih sempit pada jurusan akuntansi,
akan nampak ketercapaian program PKL terutama
terhadap pencapaian hasil kegiatan PKL. Ini
dimaksudkan untuk mengetahui dampak yang
dihasilkan dari kegiatan PKL. Perbedaan dengan
penelitian ini adalah metode evaluasi yang digunakan
yaitu model evaluasi CIPP yang meliputi evaluasi
terhadap Context (C), Input (I), Process (P), dan Product
(P).

Dibandingkan penelitian-penelitian terdahulu,


penelitian ini menggunakan model evaluasi Stake
Countenance yang lebih menyeluruh (holistic),

44
komprehensif (lengkap) dan detail (mendalam) yang
berpusat pada klien yaitu manajemen PKL SMK Negeri
1 Salatiga dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
harapan stakeholder dan keterkaitannya dengan hasil
belajar siswa peserta PKL khususnya jurusan
akuntansi hingga laporan akhir pendidikannya.

2.6 Kerangka Berpikir

Evaluasi terhadap penyelenggaraan Program


Praktik Kerja Lapangan (PKL) di jurusan akuntansi
SMK Negeri 1 Salatiga bertujuan untuk mengukur
sejauh mana efektivitas program tersebut. Model
evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model evaluasi stake countenance.

Berdasarkan tujuan penelitian ini, kegiatan


evaluasi program PKL ini berupaya untuk menganalisis
program PKL melalui tiga komponen; 1) masukan
(anteseden), 2) proses (transaksi), 3) hasil (dampak)
dengan memberikan deskripsi tiap-tiap komponen
berdasar data yang direncanakan dibandingkan dengan
data yang teramati, kemudian memberikan
penilaian/pertimbangan dengan melihat kesesuaian
(kongruen) antara kondisi nyata penyelenggaraan
Program PKL dengan standar-absolut PKL dan standar-
relatif PKL.
45
Hasil dari analisis tersebut akan menghasilkan
sebuah kesimpulan berupa rekomendasi terhadap
Program PKL apakah akan dilanjutkan, dilanjutkan
dengan perbaikan ataukah dihentikan/ usulan
peninjauan kembali terhadap program PKL khususnya
di jurusan akuntansi SMK Negeri 1 Salatiga.

EVALUASI PROGRAM PKL Tahapan Deskripsi Standart


JURUSAN AKUNTANSI SMK
NEGERI 1 SALATIGA
FENOMENA:
• Kesiapan pihak-pihak
yang terlibat dalam
Program PKL Absolut dan
Masukan Rekaman Keputusan
• Pengelolaan Program Relatif
Objektif Kongruensi
PKL
• Dampak Program PKL
Kontingensi

HARAPAN:
Rekaman Absolut dan
• Pihak-pihak yang Proses Objektif Relatif
terlibat dalam Keputusan
Program PKL Kongruensi
disiapkan sesuai
Kontingensi
Juknis Program PKL
• Pengelolaan Program
PKL dalam sistem Hasil Rekaman Absolut dan
manajemen yang baik Objektif Relatif
• Dampak positif Kongruensi Keputusan
Program PKL
KESENJANGAN:
• Kekurangsiapan
pihak-pihak yang
terlibat dalam
Program PKL Rekomendasi
• Pengelolaan Program
PKL nampak belum
sistematis
• Belum nampak
dampak Program PKL Gambar 2.3 Kerangka Berpikir

46

Anda mungkin juga menyukai