BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian
landasan-landasan pendidikan dapat diperoleh di dalam diri sendiri.
Arti pendidikan secara mendasar adalah mengembangkan/meningkatkan
kualitas manusia (daya pikir, daya kalbu, dan daya pisik) dengan tujuan agar yang
bersangkutan dapat memiliki pilihan hidup yang lebih baik/lebih banyak setelah
kelak menjadi sumberdaya manusia (Slamet, 2008a). Dalam arti luas, pendidikan
dituntut untuk memenuhi sejumlah kepentingan berikut : (1) pengembangan
kualitas dasar (daya pisik, daya pikir, dan daya kalbu), kualitas instrumental, dan
jiwa kewirausahaan, (2) penguasaan disiplin ilmu, (3) pembelajaran yang
manusiawi, (4) pemenuhan standar nasional pendidikan, (5) pemenuhan standar
akreditasi sekolah, (6) pemenuhan legislasi dan kebijakan pendidikan nasional,
dan (6) pemenuhan standar regional dan internasional (Slamet, 2008b).
D-II, D-III dan D-IV) dan spesialis (Sp1 dan Sp2) (Hadiwaratama dalam Dedi
Supriadi, 2002).
d. Jalur pendidikan tinggi keahlian kejuruan/vokasi memberikan secara
seimbang keahlian/keterampilan manual dan intelektual (supervisory,
planning, detailed design) tetapi tidak memberikan dasar-dasar
kemampuan/keterampilan dalam R&D khususnya sampai jenjang D-IV
(Hadiwaratama dalam Dedi Supriadi, 2002).
e. Untuk pengembangan pendidikan diploma Akademi Komunitas dan
Politeknik, sejak 2012 telah dihasilkan pemikiran untuk melakukan hal-hal
sebagai berikut : (1) peran diploma Akademi Komunitas dan Politeknik untuk
mengatasi krisis ekonomi, (2) kemandirian Akademi Komunitas dan
politeknik, (3) menurunnya jumlah mahasiswa yang mendaftar karena
kesulitan ekonomi, (4) menurunnya kualitas proses pendidikan karena
kesulitan ekonomi, (5) pengembangan kemampuan dan pembinaan karier
dosen, dan (6) arah pendidikan diploma dan politeknik (Bambang Budiono,
2001 : 1).
Konsep Pendidikan Diploma Akademi Komunitas dan Politeknik
didasarkan atas kebutuhan tenaga kerja di dunia industri dimana perencanaan
ketenagakerjaan tidak dapat dipisahkan dari tingkat pendidikan, termasuk
pendidikan tinggi. Kebutuhan pasar kerja dan tingkat pendidikan harus dirancang
secara terintegrasi dengan memperhatikan tujuan dan sasaran industri. Perbedaan
tingkatan pendidikan harus mampu membedakan tingkat/jenis diskripsi tugas,
fungsi dan kompetensi yang dibutuhkan oleh struktur lapangan kerja yang
relevan. Tugas, fungsi dan kompetensi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja
dijabarkan dalam tingkat pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional
Nomor 20 tahun 2003 yang mengakomodasikan jalur akademik dan jalur
profesional untuk pendidikan tinggi.
Jalur akademik mempersiapkan tenaga kerja untuk menduduki posisi
pekerjaan yang membutuhkan inovasi dan kreativitas dalam bidang riset dan
pengembangan. Bidang pendidikan ini terdiri dari tiga level yaitu S1 (Sarjana), S2
(Magister) dan S3 (Doktor). Karakteristik dari pendidikan ini adalah berorientasi
16
pada sains dan teknologi dan bernuansa lebar (broad based), bukan spesialisasi
bidang. Pendidikan tinggi ini di bidang teknik menghasilkan "Engineer-Scientist"
atau "Scientist-Engineer" yang mempunyai fungsi mentrans-formasikan sains ke
dalam teknologi melalui riset dan pengembangan. Jalur pendidikan profesional di
tingkat pendidikan tinggi mengembangkan sistem dimana para alumni dapat
mengimplementasikan dan mentrans-formasikan sains dan teknologi kedalam
produk yang bernilai ekonomis, yang memenuhi persyaratan standar, baik
nasional maupun internasional. Jalur ini terdiri dari tingkat Diploma I sampai
dengan Diploma IV. Diploma IV dinilai setara dengan S1.
Baik jalur akademik maupun profesional bersama-sama mengembangkan
keterampilan intelektual (intellectual skills) dengan perbedaan penekanan. Pada
jalur profesional penekanan pada keseimbangan antara kemampuan bidang
implementasi teknologi, keterampilan "psychomotoric" dan "intellectual skills".
Dari dua jalur pendidikan tersebut diharapkan menghasilkan lulusan yang dapat
mengisi jenjang piramida ketenagakerjaan di industri. Untuk jenjang di ujung
piramida, lulusan S2 dan S3 diharapkan mengisi bidang inovasi sedangkan S1 dan
Diploma mengisi bidang pengembangan (development).
Industri berbasis IPTEK terdiri dari industri hulu (back-end) dan industri
hilir (front-end). Industri hulu berbasis pada riset dan pengembangan (R & D)
sedangkan industri hilir pada produksi/implementasi, dimana di dalamnya
termasuk operasional, perawatan dan perbaikan. Peralihan dari industri "back-
end" menuju "front-end" melalui proses perencanaan/perancangan (Planning &
Design). Pendidikan tinggi jalur akademis mempunyai peranan lebih pada back-
end, sedangkan jalur profesional pada front-end. Program Diploma Akademi
Komunitas dan Politeknik mempersiapkan alumni yang mempunyai kompetensi
untuk bekerja pada level detail (rinci) dari desain dan proses perencanaan sampai
dengan implementasi/produksi sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Sistem Pendidikan Diploma II Akadem Komunitas dan Politeknik
dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga semi profesional tingkat Diploma II,
dalam rangka pengisian kebutuhan industri. Kebutuhan industri yang
dimaksudkan adalah bidang-bidang teknik, agrobisnis, tata niaga, turisme dan
17
know; (2) learn to do; (3) learn to learn; (4) learn to behave; dan (5) learn to live
together. Studi yang diadakan di P5D mencakup paduan antara penguasaan
elemen profesi, unsur-unsur pendidikan kognitif, afektif dan psikomotorik serta
standar ABET memberikan luaran bahwa proses pembelajaran antara D II, D II
dan S1 secara umum amat berbeda (Bambang Budiono, 2001:4-6).
Konsep pendidikan akademi komunitas didasarkan atas kebutuhan tenaga
kerja di dunia industri dimana perencanaan ketenagakerjaan tidak dapat
dipisahkan dari tingkat pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Kebutuhan pasar
kerja dan tingkat pendidikan harus dirancang secara terintegrasi dengan
memperhatikan tujuan dan sasaran industri. Perbedaan tingkatan pendidikan harus
mampu membedakan tingkat/jenis deskripsi tugas, fungsi dan kompetensi yang
dibutuhkan oleh struktur lapangan kerja yang relevan. Jalur Pendidikan
Profesional di tingkat pendidikan tinggi mengembangkan sistem dimana para
alumni dapat mengimplementasikan dan menstransformasikan teknologi ke dalam
produk yang bernilai ekonomis, yang memenuhi persyaratan standar, baik
nasional maupun internasional. Jalur ini terdiri dari tingkat Diploma I sampai
dengan Diploma II.
Dari masyarakat peminat pendidikan (lulusan SLTA) mulai mengenali
kesesuaian program diploma sebagai jalur pendidikan yang mengantarkan mereka
pada lapangan pekerjaan secara lebih langsung. Peningkatan kebutuhan industri
pada lulusan pendidikan vokasi program Diploma II masuk akal, mengingat
industri menggunakan ukuran efesiensi proses dalam menghasilkan produk,
termasuk di dalamnya dalam perekrutan SDM. Industri akan lebih tertarik pada
SDM yang kompeten pada profesi yang siap terap pada pekerjaan. Dengan
demikian, proses pelatihan dan adaptasi menjadi lebih singkat dan efesien. SDM
dengan kualifikasi seperti disebut, hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan
vokasi yang mengutamakan penerapan keahlian sebagaimana yang dilaksanakan
dalam pendidikan program diploma. Maka dengan demikian, pendidikan program
diploma menjadi lebih dekat dengan kebutuhan nyata dunia industri sebagai
representasi masyarakat industri.
19
dengan program pendidikan jalur akademik. Kekhasan sifat yang telah dipilih
dalam pendidikan program diploma selanjutnya akan berimplikasi secara
menyeluruh pada proses kependidikan berikutnya. Kebijakan pemerintah yang
menyatakan program diploma merupakan jalur pendidikan profesional dengan
penekanan pada kemampuan penerapan keahlian tertentu, untuk membangun visi
pendidikan program diploma.
Sasaran dari misi program diploma akademi komunitas adalah
menghasilkan sumber daya manusia dengan kompetensi tertentu dan dalam
jumlah yang sesuai dengan tenaga kerja yang diperlukan. Sasaran dari misi
tersebut sangat gamblang mengarahkan pada model output dan sistem proses dari
pendidikan program diploma. Output yang dituju adalah menghasilkan SDM
yang: memiliki keterampilan tinggi dalam profesinya, berkeahlian sesuai dengan
kualifikasi bidang profesinya, serta memiliki kemampuan menerapkan
keterampilan dan keahliannya secara kompeten pada pekerjaan profesionalnya.
Dengan demikian, SDM hasil proses pendidikan program diploma semestinya
akan menjadi sumber daya yang potensial dan cocok dengan kebutuhan industri.
Jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dari SDM yang dihasilkan,
menggambarkan dan mengarahkan bahwa proses pendidikan program diploma
haruslah terencana dan diselengarakan secara presisi. Sifat ini menuntut sikap
profesional dari keseluruhan komponen penyelenggara pendidikan program
diploma. Ketepatan dalam jumlah lulusan mengharuskan adanya: (1) langkah
identifikasi pada kebutuhan riil dari masyarakat industri. Langkah identifikasi ini
mencakup : jumlah dari tenaga kerja yang diperlukan, bidang profesi yang di
butuhkan, tingkat kompetensi, jenis kualifikasi, sebaran geografis kebutuhan
SDM. Langkah identifikasi ini menjadi sangat penting untuk dikerjakan secara
presisi karena akan berimplikasi pada proses berikutnya; (2) berdasarkan pada
indentifikasi yang telah dilakukan, dibuat perencanaan program pendidikan yang
sesuai; (3) menyiapkan sumber daya, fasilitas, dan sarana prasarana yang
mendukung penyelenggaraan pendidikan; (4) monitoring (misal : menggunakan
tracer study) untuk mengetahui ketepatan dan penetrasi hasil lulusan pada
masvarakat; (5) membuat evaluasi pada proses pendidikan yang telah dilakukan
21
globalisasi. Jadi dapat dipahami apa itu dan bagaimana dapat menyusun kembali
praktik pendidikan dan kaitannya dengan program WBL. Dalam kenyataannya
mengikuti tuntutan globalisasi di era informasi secara langsung dan tidak
langsung memberikan sumbangan pada pelaksanaan pendidikan. Dengan adanya
era informasi harus dilihat kembali kebermaknaan pengetahuan teknologi
komunikasi informasi tersebut terhadap berbagai kemungkinan terjadinya
pembelajaran di luar lembaga.
Keterlibatan akademik dalam program WBL menghadapi tantangan
bukan hanya standar akademik yang dituntut oleh perguruan tinggi tetapi juga
bagaimana hasil belajar siswa dalam program WBL setara dengan standar.
Tantangan secara akademik dalam program WBL adalah menggabungkan
kegiatan bekerja dalam kerangka pendidikan dan pengakuan pengalaman belajar
pembelajar yang terjadi di luar perguruan tinggi. WBL dirancang untuk
mengakomodasi pem-belajaran dan dilegitimasinya pengetahuan melalui bekerja
kesetaraan standar akademik dan pengakuan pembelajaran di luar akademik
merupakan tantangan bagi program WBL.
Tantangan dalam pelaksanaan WBL sangat kompleks terkait perolehan
pengetahuan, ketika belajar melibatkan banyaknya kerjasama, ketika belajar
terjadi di luar kelas, ketika pengalaman belajar disusun atau terjadi sangat berbeda
konstruknya dengan akademik. Ada dua tantangan yang paling menonjol:
mengembangkan program untuk menghadapi praktek pendidikan baru dan
mendorong partisipasi akademik dalam program WBL.
Menempatkan kembali posisi perguruan tinggi secara umum, khususnya
memposisikan agar WBL tidak hanya melibatkan penajaman kembali kurikulum
dan struktur pengetahuan, tetapi yang penting adalah menempatkan kembali
bahwa akademik terkait dengan WBL walaupun memiliki posisi subyek yang
berbeda. Subjek disini merujuk apa yang terjadi dalam bekerja dan juga identitas
regulasi pokok di perguruan tinggi dan di tempat kerja. Secara konseptual posisi
subyek di akademik disusun dalam keahlian disiplin ilmu terstruktur sedangkan di
WBL tidak demikian. Di akademik penajaman keahlian dilakukan dengan magang
yang panjang, tetapi di WBL pemagangan tidak disiapkan demikian juga peran
28
pelatihan dan pengembangan. Dengan kata lain perusahaan berskala kecil lebih
cenderung terbuka dibandingkan dengan perusahaan besar. Perusahaan–
perusahaan yang fleksibel lebih memungkinkan dalam program WBL. Perusahaan
seharusnya memiliki komitmen untuk memiliki investasi untuk peningkatan
kemampuan karyawannya melalui kegiatan pembelajaran dan untuk memenuhi
tuntutan produktivitas. Dalam kenyataannya staf yang dilibatkan dalam kerjasama
WBL bukan hanya staf HRD saja namun para supervisor dan manager.
dalam suatu sistem, serta untuk menyediakan interpretasi kualitatif dan kuantitatif
yang lebih baik akan sistem tersebut.
Jenis-jenis model dapat dibagi dalam lima kelas yang berbeda (Forrester,
1973: 49) yaitu: l) Pembagian menurut fungsi model: (a) model deskriptif hanya
menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomen-dasi dan peramalan; (b)
model prediktif, model ini menunjukkan apa yang akan terjadi, bila sesuatu
terjadi; (c) model normatif, model yang menyediakan jawaban terbaik terhadap
satu persoalan, model ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu
diambil. 2) Pembagian menurut strukturnya terdiri dari: (a) model ikonik, adalah
model yang menirukan sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu,
contohnya model pesawat; (b) model analog, adalah suatu model yang menirukan
sistem aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan
menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog, contohnya
aliran lalu lintas di jalan dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa; (c)
model simbolis, adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang ditinjau
dengan simbol-simbol, biasanya dengan simbol-simbol matematik, dalam hal ini
sistem diwakili oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau. 3)
Pembagian menurut referensi waktu jenisnya: (a) statis artinya model statis tidak
memasukkan faktor waktu dalam perumusannya; (b) dinamis artinya model yang
mempunyai unsur waktu dalam perumusannya. 4) Pembagian menurut referensi
kepastian jenisnya ada: (a) deterministik, artinya dalam model ini pada setiap
kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik, yang merupakan solusi
dari model dalam keadaan pasti; (b) probabilistik, artinya model probabilistik
menyangkut distribusi pro-babilistik dari input atau proses dan menghasilkan
suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output yang disertai dengan
kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut; dan (c) game yaitu teori
permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam menghadapi
situasi yang tidak pasti. 5) Pembagian menurut tingkat generalitas, yaitu ada yang
umum dan ada yang khusus (http://www.damandiri.or.id/ detai1.php?id=323.12-
2007).
32
kualitas hasil belajar dapat dengan antara lain : penguasaan kompetensi, sikap
profesional, kesiapan mental kerja, kemandirian.
Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan vokasi Diploma II Otomotif
Akademi Komunitas dengan pendekatan work based learning, faktor-faktor lain
yang menentukan kualitas hasil belajar WBL selain kualitas pembelajaran adalah
faktor situasional yang meliputi variabel kinerja manajemen pengelola, budaya
organisasi mahasiswa, dan model penyelenggaraan work based learning. Kinerja
manajemen pengelola diduga mempengaruhi kualitas pembelajaran maupun
kualitas hasil belajar karena para pengelola terlibat langsung dalam penentuan
model, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan supervisi, dan evaluasi
penyelenggaraan work based learning. Kinerja manajemen pengelola ditunjukkan
dengan indikator komunikasi efektif, koordinasi yang baik, pemecahan konflik
yang tepat, penyelesaian masalah, penerapan keputusan efektif, dan kemampuan
pengelolaan program WBL. Sedang budaya organisasi yang dimiliki mahasiswa
berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar mahasiswa baik
langsung maupun tak langsung. Budaya organisasi dalam konteks ini meliputi
budaya sekolah (school culture) dan budaya perusahaan (corporate culture)
karena penyelenggaraan WBL mengakomodasi kedua budaya dalam satu kegiatan
belajar-bekerja di lokasi industri. Budaya sekolah atau school culture dari sisi
industri yang dikembangkan dalam proses penyelenggaraan work based learning
misalnya tentang komunikasi intensif, penghargaan terhadap keahlian,
pendelegasian wewenang, keterlibatan manajemen, gairah kerja komunitas,
inovatif dan fleksibel diduga berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran maupun
kualitas hasil belajar para mahasiswa yang mengikuti program work based
learning. Sedang model penyelenggaraan work based learning diduga
mempengaruhi kualitas hasil belajar mahasiswa, karena intensitas bimbingan
mentor, durasi penyelenggaraan, komitmen pengembangan pembelajaran dan
keterampilan yang akan dipelajari di tempat kerja sangat intensif diberikan.
Semua program direncanakan dan disampaikan pada para mahasiswa, sehingga
mahasiswa tahu dalam sebulan ke depan dalam satu lokasi apa yang akan
dilaksanakan. Mereka dilibatkan dalam semacam kontrak belajar.
41