Anda di halaman 1dari 45

STUDI LITERASI

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

Studi Literasi ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam SD
Dosen Pengampu : Idam Ragil Widianto A, S.Pd., M.Si

Disusun oleh:
1. Hanitia Putri Ramadhani NIM. K7115071
2. Hesti Khasyanah Putri NIM. K7115072
3. Lucky Dwi Fitriani NIM. K7115096
4. Mohamad Aziz Aridho NIM. K7115107
5. Nur Hanifah NIM. K7115121
6. Rani Aryawati NIM. K7115133
Kelas 5B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
LEARNING MODELS

A. Project Based Learning (Pembelajaran Berbasis Proyek)


1. Definisi Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem
pembelajaran. Model pembelajaran yang dapat membuat peserta didik
aktif atau sesuai dengan Pendekatan Saintifik seperti model Inquiry,
Project Based Learning (Model PjBL), Problem Based Learning (PBL),
dan Cooperative Learning.
Berdasarkan penelitian oleh Abidin (2014:167) project- based
learning adalah model pembelajaran yang secara langsung melibatkan
siswa dalam proses pembelajaran melalui kegiatan penelitian untuk
mengerjakan dan menyelesaikan suatu proyek pembelajaran tertentu.
Mahanal, (2009:6) menyebutkan bahwa model project-based
learning dapat mengembangkan kemampuan berpikir produktif, melalui
belajar kolaboratif siswa saling belajar yang nantinya akan meningkatkan
penguasaan konseptual maupun kecakapan teknikal, holistik dan
interdisipliner, realistik, berorientasi pada belajar aktif memecahkan
masalah riil, yang memberi kontribusi pada pengembangan kecakapan
pemecahan masalah dan memberikan reinforcement intrinsik (umpan balik
internal) yang dapat menajamkan kecakapan berpikir produktif.
Thomas (1999) dalam Wena (2009:114) mengemukakan bahwa
pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di
kelas dengan melibatkan kerja proyek.
Giilbahar & Tinmaz (2006) dalam Rais (2010: 247), menyatakan
bahwa project-based learning adalah suatu model yang dapat
mengorganisir proyek-proyek dalam pembelajaran.
Curriculum Development Council (2001: 87) dalam Lam, Cheng,
dan Choy (2010: 487) menyebutkan bahwa project-based learning is
described as a teaching strategy that would enable students to connect
knowledge, skills, values, and attitudes and to construct knowledge
through a variety of learning experiences. Pembelajaran Berbasis Proyek
digambarkan sebagai strategi pengajaran yang memungkinkan siswa
menghubungkan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap dan untuk
membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman belajar
Lam, Cheng, dan Choy (2010: 488) menyatakan Project-based
learning is part of the instructional approach originating from Dewey
(1938), who stressed the importance of practical experience in learning.
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan bagian dari pendekatan
instruksional yang berasal dari Dewey (1938), yang menekankan
pentingnya pengalaman praktis dalam belajar.
Menurut Harada, Kirio,& Yamamoto (2008) dalam Chu, Tse, dan
Chow (2011: 132), menyebutkan bahwa Project-based learning (PjBL)
involves an in-depth exploration of issues, themes, or problems without
predefined answers. Pembelajaran Berbasis Proyek melibatkan eksplorasi
mendalam tentang isu, tema, atau masalah tanpa jawaban yang telah
ditentukan sebelumnya
David (2008: 80) dalam Efstratia (2014:1257) menyatakan bahwa
The core idea of Project Based Learning is that real-world problems
capture students interest and provoke serious thinking as the students
acquire and apply new knowledge in a problem-solving context. The
teacher plays the role of facilitator, working with students to frame
worthwhile questions, structuring meaningful tasks, coaching both
knowledge development and social skills, and carefully assessing what
students have learned from the experience. Gagasan inti dari
Pembelajaran Berbasis Proyek adalah bahwa masalah dunia nyata menarik
minat siswa dan memprovokasi pemikiran serius siswa saat memperoleh
dan menerapkan pengetahuan baru dalam konteks pemecahan masalah.
Guru memainkan peran sebagai fasilitator, bekerja dengan siswa untuk
menyusun pertanyaan yang bermanfaat, menyusun tugas yang berarti,
melatih pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial, dan menilai
dengan cermat apa yang telah dipelajari siswa dari pengalaman
Moursund (2007) mendefinisikan PjBL as an individual or group
activity that goes on over a period of time, resulting in a product,
presentation or performance. Moursund (2007) further elaborates that
PjBL typically has a time line and milestones, and other aspects of
formative evaluation as the project proceeds. PjBL sebagai aktivitas
individu atau kelompok yang berlangsung selama periode waktu tertentu,
menghasilkan produk, presentasi atau kinerja. Moursund (2007) lebih jauh
menguraikan bahwa PjBL biasanya memiliki garis waktu dan tonggak
sejarah, dan aspek evaluasi formatif lainnya saat proyek berjalan.
Buck Institute of Education (2007) menyatakan bahwa PjBL as a
systematic teaching method that engages students in learning knowledge
and skills through an extended inquiry process structured around complex,
authentic questions and carefully designed products and tasks. PjBL
sebagai metode pengajaran sistematis yang melibatkan siswa dalam
mempelajari pengetahuan dan keterampilan melalui proses penyelidikan
yang diperluas yang terstruktur seputar pertanyaan otentik dan rumit dan
produk dan tugas yang dirancang dengan hati-hati.
Bell (2010) menyatakan bahwa that project based learning (PjBL)
promotes social learning as students practice and become proficient with
the 21st century skills of communication, negotiation, and collaboration.
Bell further elaborates that the uses of technology provide instruction to
the student by demonstrating innovative usage of various applications
through appropriate ways of using technology. Pembelajaran Berbasis
Proyek mempromosikan pembelajaran sosial sebagai praktik dan praktik
siswa mahir dengan kemampuan komunikasi, negosiasi, dan kolaborasi
abad 21. Bell lebih jauh menguraikannyapenggunaan teknologi
memberikan instruksi kepada siswa dengan menunjukkan penggunaan
berbagai aplikasi yang inovatif melalui cara yang tepat untuk
menggunakan teknologi.
Menurut LaFey et al. (1998), project-based learning is a
modification of what was initially conceived as contextual statement" a
methodology that emphasized knowledge construction and problem
solving by students in a given situation and that often happened during a
long period of time. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan
modifikasi dari apa yang awalnya dipahami sebagai pernyataan
kontekstual" metodologi yang menekankan konstruksi pengetahuan dan
pemecahan oleh siswa dalam situasi tertentu dan masalah yang sering
terjadi selama jangka waktu yang panjang.
Ngoh (2015) berpendapat bahwa Project based learning refers to
any programmatic or instructional approach that utilizes multifaceted
projects as a central organizing strategy for educating students.
Pembelajaran Berbasis Proyek mengacu pada pendekatan program atau
instruksional yang memanfaatkan proyek multifaset sebagai strategi
pengorganisasian pusat untuk mendidik siswa.
Thomas and MacGregor (2005) menganggap bahwa Consider that
collaborative development of projects in Higher Education presents an
ideal opportunity to provide problem-solving situations present in the real
world. Pengembangan kolaboratif proyek di Perguruan Tinggi
menyajikan kesempatan yang ideal untuk memberikan situasi pemecahan
masalah hadir di dunia nyata.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model pembelajaran yang
menekankan pada pentingnya pengalaman praktis dalam belajar, dimana
dalam kegiatan tersebut memungkinkan siswa untuk menghubungkan
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap untuk memecahkan suatu
permasalahan. Pembelajaran dengan model PjBL membuat siswa mencoba
menemukan sendiri konsep atau maksud dari materi yang diajarkan,
karena dalam pembelajaran guru tidak menyampaikan materi secara
langsung. Usaha siswa dalam menemukan pemahaman materi sendiri ini
membuat belajar menjadi lebih bermakna dan materi bisa disimpan lebih
lama.
2. Sintaks (Langkah-langkah) Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Rosen (1998) menyatakan bahwa In undergoing the process of
PjBL, learners are involved in preparing questions to collect relevant
information for their project. Rosen (1998) emphasizes that learners
develop questions as a group, divide the work among individuals or pairs
to find answers to selected questions using a variety of sources such as the
internet or guest speakers. Rosen (1998) also states that the criteria for
project work are, learners work in a group to select topics of interest and
decide the direction of their learning. They rely on insights from their
peers while providing feedback to others; they may use the teacher as a
resource, but by and large, they create their own knowledge. Dalam
menjalani proses PjBL, peserta didik dilibatkan dalam menyusun
pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang relevan untuk proyek
mereka Rosen (1998) menekankan bahwa peserta didik mengembangkan
pertanyaan sebagai sebuah kelompok, membagi pekerjaan di antara
mereka individu atau pasangan untuk mencari jawaban atas pertanyaan
yang dipilih menggunakan berbagai sumber seperti internet atau tamu
speaker. Rosen (1998) juga menyatakan bahwa kriteria untuk pekerjaan
proyek adalah, peserta didik bekerja dalam kelompok untuk memilih topic
minat dan tentukan arah pembelajaran mereka. Mereka mengandalkan
wawasan dari rekan-rekan mereka sambil memberikan umpan balik
lainnya; Mereka mungkin menggunakan guru sebagai sumber daya,
namun pada umumnya, mereka menciptakan pengetahuan mereka sendiri
Lam, Cheng, dan Choy (2010: 488) menyebutkan, In project-
based learning, students work in small groups on academic tasks. The task
can be in the form of investigation or research on a particular topic. The
topic being studied usually integrates concepts from a number of
disciplines or fields of study. Students in the same small group collaborate
with one another to reach a collective outcome over a period of time. They
pursue solutions to a problem by asking and refining questions, debating
ideas, making predictions, collecting and analyzing data, drawing
conclusions, and communicating their findings to others. Dalam
pembelajaran berbasis proyek, siswa bekerja dalam kelompok kecil dalam
tugas akademik. Tugasnya bisa dalam bentuk investigasi atau penelitian
pada topik tertentu. Topik yang diteliti biasanya mengintegrasikan konsep
dari sejumlah disiplin ilmu atau bidang studi. Siswa dalam kelompok kecil
yang sama berkolaborasi satu sama lain untuk mencapai hasil kolektif
selama periode waktu tertentu. Mereka mencari solusi untuk masalah
dengan bertanya dan memperbaiki pertanyaan, memperdebatkan gagasan,
membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik
kesimpulan, dan mengkomunikasikan temuan mereka kepada orang lain.
Saat diterapkan pembelajaran model PjBL dengan siswa
berkelompok, selama pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator dan
motivator siswa dalam membangkitkan siswa untuk lebih aktif. Langkah
model PjBL yang diterapkan dalam penelitian secara umum adalah sebagai
berikut.
1. Dimulai dengan pembentukan kelompok
2. Perencanaan aturan pekerjaan projek dalam bentuk kelompok
3. Diberikan suatu tugas berupa permasalahan
4. Mulai berdiskusi secara kelompok
5. Dapat mendiskripsikan hasil yang telah dikerjakan
Selain pendapat diatas, langkah-langkah yang digunakan dalam
melaksanakan Project Based Learning antara lain:
1. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil
2. Guru memberikan tugas dalam bentuk investigasi atau penelitian.
3. Peserta didik dilibatkan dalam menyusun pertanyaan untuk
mengumpulkan informasi yang relevan untuk proyek mereka.
4. Peseta didik mengembangkan pertanyaan sebagai sebuah kelompok
5. Peserta didik membagi pekerjaan diantara mereka secara individu atau
pasangan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang diplih
menggunakan berbagai sumber
6. Peserta didik mengumpulkan data dan menganalisis data
7. Peserta didik mengkomunikasikan hasil data mereka ke depan teman-
temannya.
Diketahui dari langkah-langkah pembelajaran model PjBL, siswa
lebih banyak berperan dibandingkan guru. Guru dalam hal ini berperan
sebagai fasilitator dan motivator siswa sehingga pembelajaran didominasi
oleh aktivitas siswa dalam membangun atau menemukan pengetahuan
melalui proses ilmiah seperti mengamati, menanya, menerapkan,
mengolah data, melakukan percobaan, melaporkan hasil, dan meru-
muskan kesimpulan dengan proses yang lebih menyenangkan.

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Proyek


Harada et al. (2008) dalam Chu, Tse, dan Chow (2011: 133)
claimed that PjBL involves in-depth exploration of issues, themes, or
problems without predefined answers. Mengklaim bahwa PjBL
melibatkan eksplorasi mendalam mengenai isu, tema, atau masalah tanpa
jawaban yang telah ditentukan sebelumnya. Hal itu diperkuat dengan
pernyataan Alloway et al.(1996) dalam Chu, Tse, dan Chow (2011: 133)
bahwa It facilitates the development of ownership by giving students the
chance to select topics that are personally relevant and by giving them a
sense of responsibility to take charge of their own learning. Hal tersebut
memfasilitasi pengembangan kepemilikan dengan memberi kesempatan
siswa untuk memilih topik yang relevan secara pribadi dan dengan
memberi mereka rasa tanggung jawab untuk bertanggung jawab atas
pembelajaran mereka sendiri.
Tretten et al. (1997) menyatakan bahwa in this productive work
(PjBL), students not only learn, but also strengthen their work related
skills, their critical thinking skills and their productivity. Dalam karya
produktif (PjBL ini), siswa tidak hanya belajar, tapi juga memperkuat
keterampilan kerja terkait, kemampuan berpikir kritis dan
produktivitasnya).
Blumenfeld et al., 1991 dan beberapa peneliti berpendapat bahwa
Several investigators propose that project based tasks encourage
significant learning and problem solving skills through self directed
student research. Tugas berbasis proyek mendorong belajar yang
signifikan dan kemampuan memecahkan masalah melalui penelitian
mahasiswa mandiri.
Sidman Taveau & Milner-Bolotin(2001) menyatakan bahwa
manfaat PJBL adalah Enable learners to transfer concepts taught in
settings that are similar to real-world contexts into future settings and
situations as learners think that language learning is related to their
everyday lives. Memungkinkan peserta didik untuk mentransfer konsep
yang diajarkan dalam setting yang serupa dengan konteks dunia nyata ke
dalam pengaturan dan situasi di masa depan karena peserta didik berpikir
bahwa pembelajaran bahasa terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Lawrence (1997) menyatakan bahwa manfaat PJBL adalah
Strengthen language learners diverse needs and skills in collaborative
nature of project work. Memperkuat kebutuhan dan keterampilan
beragam peserta didik dalam sifat kolaboratif pekerjaan proyek.
Stein (1995) menyatakan bahwa manfaat PJBL adalah Equip
learners with project-work related skills namely: to plan, organize,
negotiate, make consensus, to take responsibility, research and present
information. These skills are considered necessary by employers in
workplace. Melengkapi peserta didik dengan keterampilan kerja terkait
proyek yaitu: merencanakan, mengatur, bernegosiasi, membuat konsensus,
untuk bertanggung jawab, melakukan penelitian dan menyajikan
informasi. Keterampilan ini dianggap perlu oleh pengusaha di tempat
kerja.
Ellis (1994) menyatakan bahwa manfaat PJBL adalah Motivate
learners to learn language and to improve their language competence.
Enable learners to acquire meaningful input and expression from their
peers and materials that is beyond their existing linguistic competence,
that is, i+1. Memotivasi peserta didik untuk belajar bahasa dan
meningkatkan kemampuan bahasa mereka. Memungkinkan peserta didik
untuk mendapatkan masukan dan ekspresi yang berarti dari rekan dan
materi mereka yang berada di luar kompetensi linguistik mereka, yaitu i +
1.
Blumenfeld et al (1991) dalam Lam, Cheng, dan Choy (2010: 488)
menyatakan bahwa, This approach is widely believed to be a powerful
teaching strategy that would enhance student motivation and promote
selfdirected learning. Pendekatan ini diyakini secara luas sebagai strategi
pengajaran yang hebat yang dapat meningkatkan motivasi siswa dan
mempromosikan pembelajaran yang diarahkan sendiri.
In a comprehensive review of research on PjBL. Dalam tinjauan
komprehensif penelitian tentang PjBL, Thomas (2000) dalam Chu, Tse,
dan Chow (2011: 133) found support for the argument that this approach
is more effective in enhancing student learning when compared to
traditional instruction. He further claimed that it is effective for teaching
problem-solving and decision-making skills menemukan dukungan untuk
argumen bahwa pendekatan ini lebih efektif dalam meningkatkan
pembelajaran siswa bila dibandingkan dengan pengajaran tradisional.
Lebih jauh dia mengklaim bahwa ini efektif untuk mengajarkan
pemecahan masalah dan keterampilan membuat keputusan.
Katz (2000) dalam Efstratia (2014:1258) menyatakan bahwa
Project Based Learning is generally accepted as an effective method for
teaching processes. Besides, experts should help in developing characters
emotional, social elements apart from cognitive. Pembelajaran Berbasis
Proyek umumnya diterima sebagai metode pengajaran yang efektif. Selain
itu, para ahli harus membantu dalam mengembangkan karakter emosional,
unsur sosial selain kognitif. Pernyataan lain disebutkan oleh Boaler (2002)
dan Thomas (2000) dalam Efstratia (2014:1258) yang menyatakan bahwa
Other positive outcomes by using Project Based Learning are the
reduction of students anxiety and the enhancement of students learning
quality compared with conventional teaching methods. Hasil positif
lainnya dengan menggunakan Project Based Learning adalah pengurangan
kecemasan siswa dan peningkatan kualitas belajar siswa dibandingkan
dengan metode pengajaran konvensional.
Gardner (1993) menyebutkan Project-based learning has the
advantage of being able to adapt to different learning styles or "multiple
intelligences". Pembelajaran berbasis proyek memiliki keuntungan untuk
dapat beradaptasi dengan gaya belajar yang berbeda atau "multiple
intelligences".
Shepherd (1998) and Taradi, Taradi, Radi & Pokrajac, (2009)
mengemukakan bahwa Learning tasks based on problems resolution can
have very positive effects on student acquisition of critical thinking skills
and as well as on research situations, in relation to the theoretical study of
the content. Belajar tugas berdasarkan resolusi masalah dapat memiliki
efek yang sangat positif pada akuisisi siswa keterampilan berpikir kritis
serta pada situasi penelitian, dalam kaitannya dengan kajian teoritis dari
konten.
Pada model PjBL membuat projek-projek yang menghendaki
siswa untuk, (1) memecahkan masalah nyata dan isu-isu yang memiliki
kepentingan untuk orang lain; (2) secara aktif terlibat dalam pembelajaran
mereka dan memilih hal-hal penting selama projek; (3) menunjukkan
secara nyata bahwa mereka telah belajar konsep-konsep kunci dan
keterampilan.
Evans (1994), Arhontaki and Filip dalam Efstratia (2014:1258)
menyebutkan On the other hand, Project Based Learning is marginalized
by the educators themselves, since they lack both training and experience
in implementing this approach. Furthermore, deficient finance and
technology are challenges that teachers have to overcome, while
evaluation can be also ineffective when students use technology. Finally, it
is evident that venturing into an alternative method opposed to sterile
memorization discourages teachers, since they are supposed to manage
additional activities and demands, such as helping collaborative student
investigations. Di sisi lain, Pembelajaran Berbasis Proyek dipinggirkan
oleh pendidik sendiri, karena mereka tidak memiliki pelatihan dan
pengalaman dalam menerapkan pendekatan ini. Lebih jauh lagi,
kekurangan keuangan dan teknologi adalah tantangan yang harus diatasi
oleh guru, sementara evaluasi juga bisa tidak efektif saat siswa
menggunakan teknologi. Akhirnya, terbukti bahwa menjelajah metode
alternatif yang bertentangan dengan menghafal yang steril membuat para
guru enggan, karena mereka harus mengelola aktivitas dan tuntutan
tambahan, seperti membantu kolaborasi investigasi siswa.
Guru hendaknya dapat mempersiapkan materi ataupun media
dengan baik serta mempertimbangkan alokasi waktu yang dibutuhkan.
Diperlukan latihan untuk dapat mengembangkan dan mengasah
siswa yang dapat dijadikan sebagai tugas sehingga siswa memberikan
respon baik terhadap guru dalam menyajikan materi dan memperoleh
kualitas proses dan hasil secara maksimal.

Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa model


pembelajaran PjBL memiliki lebih banyak kelebihan daripada
kelemahannya, tetapi juga terdapat kelemahan pada setiap model
pembelajaran. Kelebihan yang sangat menonjol dari model pembelajaran
PjBL yaitu siswa mampu mengembangkan keaktifannya, siswa dapat
secara langsung ikut andil dalam kegiatan penelitian untuk mengerjakan
dan menyelesaikan suatu proyek pembelajaran tertentu. Sehingga secara
langsung siswa dapat memecahkan permasalahan yang ada disekitarnya
dengan baik. Sedangkan dengan menggunakan model pembelajaran PjBL
dibutuhkan waktu beradaptasi yang tidak sebentar, baik untuk guru
maupun siswanya. Guru hendaknya dapat mempersiapkan materi ataupun
media dengan baik serta mempertimbangkan alokasi waktu yang
dibutuhkan. Dan diperlukan latihan untuk dapat mengembangkan dan
mengasah siswa yang dapat dijadikan sebagai tugas sehingga siswa
memberikan respon baik terhadap guru dalam menyajikan materi dan
memperoleh kualitas proses dan hasil secara maksimal.

B. Inquiry Based Learning (Pembelajaran Berbasis Inkuiri)


1. Definisi Model Pembelajaran Berbasis Inkuiri
Menurut Sanjaya (2008: 196) model pembelajaran Inkuiri adalah
salah satu strategi pembelajaran yang berupa rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan
analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu
masalah yang dipertanyakan.
Gulo (2002) menyatakan strategi Inkuiri berarti suatu rangkaian
kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan
siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya
dengan percaya diri.
Secara lebih khusus lagi, Narni (2013) menyatakan bahwa model
pembelajaran inkuiri terbimbing lebih menekankan pada siswa untuk aktif
melatih keberanian, berkomunikasi dan berusaha mendapatkan
pengetahuannya sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Widyatmoko (2008) menyatakan Secara teoritik jika dilihat dari
filosofinya, model pembelajaran inkuiri terbimbing didasari oleh teori
belajar penemuan yang menyarankan agar siswa hendaknya belajar
melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip- prinsip
agar mereka memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-
eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan
prinsip itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan menemukan
sendiri akan berdampak baik pada diri siswa diantaranya pengetahuan itu
bertahan lama atau lama diingat, dengan menemukan sendiri akan
berdampak pada hasil belajar yang lebih baik, dan meningkatkan
penalaran siswa untuk berfikir secara bebas.
Lebih dari itu, The literature reveals that there are various
methods teachers can follow that cater for their learners; teaching models
such as cooperative learning (Johnson & Johnson, 1984), multiple
intelligence (Gardner, 1983), differentiated instruction (Tomlinson, 1999
& 2004) and problem-based learning (DeLisle, 1997). Literatur
mengungkapkan bahwa berbagai model yang digunakan guru dapat
mempengaruhi pemahamanan bagi peserta didik, model pembelajaran
yang dimaksud contohnya seperti pembelajaran kooperatif,
pengembangan kecerdasan ganda, pemberian instruksi atau tugas dan
pembelajaran berbasis masalah..
Margus et al., (2015) menyatakan bahwa Inquiry-based learning
is gaining popularity in science curricula, international research and
development projects as well as teaching. One of the underlying reasons
is that its success can be signicantly improved due to the recent
technical developments that allow the inquiry process to be supported by
electronic learning environments.Inquiry-based learning is often
organized into inquiry phases that together form an inquiry cycle.
Pembelajaran berbasis penyelidikan semakin populer di kurikulum sains,
penelitian dan pengembangan internasional serta pengajaran. Salah satu
alasannya adalah bahwa keberhasilannya dapat ditingkatkan secara
signifikan karena perkembangan teknis terkini yang memungkinkan
proses penyelidikan didukung oleh lingkungan belajar elektronik.
Pembelajaran berbasis pertanyaan sering disusun dalam fase penyelidikan
yang bersama-sama membentuk siklus penyelidikan.
Sedangkan menurut Keselman (2003) Inquiry-based learning is
an educational strategy in which students follow methods and practices
similar to those of professional scientists in order to construct knowledge.
Artinya, pembelajaran berbasis inkuiri adalah strategi pendidikan dimana
siswa mengikuti metode dan praktik yang serupa dengan ilmuwan
profesional untuk membangun pengetahuan. It can be defined as a
process of discovering new causal relations, with the learner formulating
hypotheses and testing them by conducting experiments and/or making
observations (Pedaste, Meots, Leijen, & Sarapuu, 2012). Hal ini dapat
didefinisikan sebagai proses untuk menemukan hubungan sebab-akibat
baru, dengan pelajar yang merumuskan hipotesis dan mengujinya dengan
melakukan eksperimen dan/atau melakukan pengamatan.
Often it is viewed as an approach to solving problems and involves
the application of several problem solving skills (Pedaste & Sarapuu,
2006). Seringkali dilihat sebagai pendekatan untuk memecahkan masalah
dan melibatkan penerapan beberapa keterampilan pemecahan masalah
(Pedaste & Sarapuu, 2006).
Menurut learner de Jong & van Joolingen (1998) Inquiry-based
learning emphasizes active participation and learners responsibility for
discovering knowledge that is new to the students. Pembelajaran berbasis
permintaan menekankan partisipasi aktif dan tanggung jawab peserta
didik untuk menemukan pengetahuan yang baru bagi pelajar.
In this process, students often carry out a self-directed, partly
inductive and partly deductive learning process by doing experiments to
investigate the relations for at least one set of dependent and independent
variables (Wilhelm & Beishuizen, 2003). Dalam proses ini, siswa sering
melakukan proses pembelajaran mandiri, sebagian induktif dan sebagian
deduktif dengan melakukan eksperimen untuk menyelidiki hubungan
setidaknya satu set variabel dependen dan independen.
Young students tend to be more curious and motivated to learn
(Spencer & Walker, 2011). Therefore the teachers effort to increase the
students interest in science education should begin at early ages. Siswa
sekolah dasar cenderung lebih penasaran dan termotivasi untuk belajar.
Oleh karena itu, upaya guru untuk meningkatkan minat siswa terhadap
pendidikan sains harus dimulai sejak usia dini.
Menurut (Spencer & Walker, 2011) (Bybee, et al., 2006), inquiry
is the basic building block for science education for elementary schools
and helps students evaluate their responses and allows them to clearly
communicate and support their answers with evidence. Penyelidikan
adalah landasan utama dalam mempelajari sains. Pendidikan untuk
sekolah dasar membantu siswa mengevaluasi tanggapan mereka dan
memungkinkan mereka untuk secara jelas berkomunikasi dan mendukung
jawaban mereka yang disertai dengan bukti.
Spencer & Walker (2011), Bybee, et al., (2006) menambahkan
Inquiry-based learning aspires to engage students in an authentic
scientific discovery process. From a pedagogical perspective, the complex
scientific process is divided into smaller, logically connected units that
guide students and draw attention to important features of scientific
thinking. These individual units are called inquiry phases, and their set of
connections forms an inquiry cycle. Artinya, pembelajaran berbasis
permintaan bercita-cita untuk melibatkan siswa dalam proses penemuan
ilmiah yang otentik. Dari perspektif pedagogis, Proses ilmiah yang rumit
terbagi menjadi unit-unit kecil yang terhubung secara logis yang
membimbing siswa dan menarik perhatian untuk fitur penting dari
pemikiran ilmiah. Unit individu ini disebut fase penyelidikan, dan
rangkaian koneksi mereka membentuk siklus penyelidikan.
Sedangakan menurut Lourdes (2016) Inquiry-Based Learning
(IBL) is an adequate methodology to foster the development of
competences linked to research and innovation in future Secondary
School counselors. Yaitu Inquiry-Based Learning (IBL) adalah
metodologi yang memadai untuk mendorong pengembangan kompetensi
yang terkait dengan penelitian dan inovasi di masa depan konselor
Sekolah Menengah.
Perry and Richardson (2001) mendefinisikan Inquiry based
learning is defined as the process of learners creating meaningful and
useful knowledge from knowledge at hand by asking questions, drilling,
and analyzing the knowledge. Pembelajaran berbasis inquiry didefinisikan
sebagai proses belajar menciptakan pengetahuan yang berarti dan
bermanfaat dari pengetahuan yang ada dengan mengajukan pertanyaan,
pengeboran, dan analisis pengetahuan.
In the learning environtments where inquiry based learning takes
place, students perform the experiments and the activities individually or
in groups, and thus it is made sure that knowledge becomes more
meaningful and more permanent. In this process, students try to respond
to the problems to be answered or solved with their research which they
construct through active participation (Tatar & Kuru, 2006). Di
lingkungan belajar dimana pembelajaran berbasis inquiry berlangsung,
siswa melakukan eksperimen dan aktivitas secara individu atau
kelompok, dan dengan demikian memastikan pengetahuan menjadi lebih
bermakna dan lebih permanen. Dalam proses ini, siswa mencoba
menanggapi permasalahan yang harus dijawab atau dipecahkan dengan
penelitian mereka yang mereka bangun melalui partisipasi aktif.
Inquiry based activities promote students motivation (Crawford,
2000; Holbrook and Kolodner, 2000; Mark et al., 2004; Tuan et al.,
2005; Madden, 2011). in a similar vein, Gibson and Chase (2002), and
Shimoda, White and Frederiksen (2002) also concluded that inquiry
based activities were influential in students having positive attitudes
towards science learning. Kegiatan berbasis penyelidikan mendorong
motivasi siswa (Crawford, 2000; Holbrook dan Kolodner, 2000; Mark et
al., 2004; Tuan et al., 2005; Madden, 2011). Dalam nada yang sama,
Gibson dan Chase (2002), dan Shimoda, White dan Frederiksen (2002)
juga menyimpulkan bahwa aktivitas berbasis penyelidikan berpengaruh
pada siswa yang memiliki sikap positif terhadap pembelajaran sains.
Menurut beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa model
pembelajaran berbasis inkuiri adalah pembelajaran yang menekankan
pada aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan materi pelajaran yang
tidak diberikan secara langsung oleh guru, melainkan menggali sendiri
informasi yang hendak dicari, sedangkan guru disini (dalam model
pembelajaran inkuiri) berperan sebagai fasilitator.

2. Sintaks (Langkah-langkah) Model Pembelajaran Berbasis Inkuiri


Dewey (1933) outlined several important aspects of inquiry-based
learning, such as defining a problem, formulating a hypothesis, and
conducting tests. Dewey (1933) membagi beberapa aspek penting dari
pembelajaran berbasis inquiry, seperti mendefinisikan suatu masalah,
merumuskan hipotesis, dan melakukan tes.
Berdasarkan penelitian dari Margus Pedaste, et al., (2015)
menyatakan bahwa Inquiry-based learning framework that includes five
general inquiry phases: Orientation, Conceptualization, Investigation,
Conclusion, and Discussion. Kerangka pembelajaran berbasis
penyelidikan mencakup lima fase penyelidikan umum, yaitu Orientasi,
Konseptualisasi, Investigasi, Kesimpulan, dan Pembahasan.
a. Orientation focuses on stimulating interest and curiosity in relation to
the problem at hand. During this phase the learning topic is
introduced by the environment or given by the teacher or defined by
the learner (Scanlon, Anastopoulou, Kerawalla, & Mulholland, 2011).
Orientasi berfokus pada merangsang minat dan rasa ingin tahu yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Selama tahap
pembelajaran ini
topik diperkenalkan oleh lingkungan atau diberikan oleh guru atau
ditentukan oleh peserta didik.
b. Conceptualization is a process of understanding a concept or
concepts belonging to the stated problem. It is divided into two sub-
phases, Questioning and Hypothesis Generation. Yang artinya bahwa
konseptualisasi merupakan proses memahami konsep atau konsep
yang termasuk dalam masalah yang dinyatakan. konseptualisasi
terbagi menjadi dua sub-tahap, yakni mempertanyakan dan
menghasilkan hipotesis.
c. Investigation is the phase where curiosity is turned into action in
order to respond to the stated research questions or hypotheses
(Scanlon et al., 2011). The sub-phases of Investigation are
Exploration, Experimentation, and Data Interpretation. Students
explore/observe, design different experiments by changing variable
values, make predictions, and interpret outcomes (de Jong, 2006a;
Lim, 2004; White & Frederiksen, 2005). Pada fase Investigasi,
keingintahuan berubah menjadi tindakan untuk menanggapi
pertanyaan penelitian yang diajukan atau hipotesis. Sub-tahap
Investigasi yakni meliputi Eksplorasi, Eksperimentasi, dan Interpretasi
Data. Siswa mengeksplorasi/mengamati, merancang eksperimen yang
berbeda dengan mengubah atau merumuskan berbagai variabel,
membuat prediksi, dan menafsirkan hasil.

d. Conclusion is the phase in which the basic conclusions of a study are


stated (de Jong, 2006a). In this phase learners address their original
research questions or hypotheses and consider whether these are
answered or supported by the results of the study (Scanlon et al.,
2011; White, Shimoda, & Frederiksen, 1999). It may lead to new
theoretical insights. The outcome of the Conclusion phase is a final
conclusion about the findings of inquiry-based learning, responding
to the research questions or hypotheses. Kesimpulan yang berarti fase
dimana kesimpulan dasar sebuah studi dinyatakan. Pada tahap ini
peserta didik membahas pertanyaan atau hipotesis dari penelitian awal
mereka dan mempertimbangkan apakah sudah dijawab atau didukung
oleh hasil penelitian. Hal ini dapat menghasilkan wawasan teoretis
baru. Hasilnya, tahap kesimpulan adalah kesimpulan akhir tentang
temuan pembelajaran berbasis inquiry, menanggapi pertanyaan
penelitian atau hipotesis.
e. Discussion contains the sub-phases of Communication and Reflection.
Communication can be seen as an external process where students
present and communicate their findings and conclusions to others,
and receive feedback and comments from others (see Scanlon et al.,
2011) and sometimes listen to others and articulate ones own
understandings (Bruce & Casey, 2012). Reflection is defined as the
process of reflecting on anything in the learners mind, e.g., on the
success of the inquiry process or cycle while proposing new problems
for a new inquiry cycle and suggesting how the inquiry-based
learning process could be improved (Lim, 2004; White &
Frederiksen, 1998). Tahap terakhir yakni fase diskusi yang berisi sub-
tahap Komunikasi dan Refleksi. Komunikasi dapat dilihat sebagai
proses eksternal dimana siswa hadir dan mengkomunikasikan temuan
dan kesimpulan mereka kepada orang lain, dan menerima umpan balik
dan komentar dari orang lain dan terkadang mendengarkan orang lain
dan mengartikulasikan pemahamannya sendiri. Refleksi didefinisikan
sebagai proses untuk merefleksikan sesuatu dalam pikiran peserta
didik, misalnya, atas keberhasilan penyelidikan proses atau siklus
sambil mengusulkan masalah baru untuk siklus penyelidikan baru dan
menyarankan bagaimana proses pembelajaran berbasis penyelidikan
dapat ditingkatkan.
Thus, reflection is often more focused on the inquiry-based
learning process and communication on domain-related outcomes of
this process. Both Discussion sub-phases can be seen as occurring at
two possible levels: (1) communicating or reflecting on the whole
process at the end of the inquiry-based learning or (2) in relation to a
single phase in the cycle. Dengan demikian, refleksi seringkali lebih
terfokus pada proses pembelajaran berbasis inquiry dan komunikasi
pada hasil terkait domain dari proses ini. Kedua sub-tahap Diskusi
dapat dilihat seperti terjadi pada dua tingkat kemungkinan: (1)
mengkomunikasikan atau merenungkan seluruh proses pada akhir
pembelajaran berbasis penyelidikan atau (2) dalam hubungan ke fase
tunggal dalam siklus.

Menurut Domin (1999), students recognize the problems related to


the experiment, identify the sub problems, collect the data necessary for
the solution of the sub problems, and reach scientific conclusions by
analyzing the data that they obtain so as to test their hypotheses in the
case of experiments to be done by means of inquiry. they play active roles
during such experiments since they determine their own problems and they
themselves develop the solutions to those problems (Hodson, 1990). Siswa
mengenali masalah yang berkaitan dengan percobaan, mengidentifikasi
sub masalah, mengumpulkan data yang diperlukan untuk pemecahan
masalah sub, dan mencapai kesimpulan ilmiah dengan menganalisis data
yang mereka dapatkan untuk menguji hipotesis mereka. dalam hal
percobaan dilakukan dengan cara inquiry. mereka memainkan peran aktif
selama eksperimen semacam itu karena mereka menentukan masalah
mereka sendiri dan mereka sendiri mengembangkan solusi untuk masalah
tersebut.
Prior to the experiment, groups of 3-4 students are formed, and the
in group roles are distributed. (Zeki Bayram et al., 2013)
a. Starting position: the experiment/obesrvation is done. The students are
asked to observe the phenomena occuring.
b. Students activate their prior knowledge and present their views.
c. Students formulate their thoughts and compare them with others view.
d. Hypothesizing.
e. Students have access to the sources of knowledge and reach the
knowledge to test theit hypotheses.
f. Testing the hypotheses.
g. The result are obtained, the are noted down for presentation.
h. Each hypotheses is tested for validity.
Jadi, menurut (Zeki Baryam et al., 2013) dalam melakukan
penelitian, siswa dibuat berkelompok dimana masing-masing kelompok
terdiri dari 3-4 siswa dan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Posisi awal: melakukan percobaan, dimana para siswa diminta untuk
mengamati fenomena yang terjadi.
b. Siswa mengingat pengetahuan sebelumnya dan mempresentasikan
pandangan mereka.
c. Siswa merumuskan pemikiran mereka dan membandingkannya dengan
pandangan orang lain.
d. Menghipotesiskan atau memberikan dugaan sementara.
e. Siswa menggali sumber pengetahuan dan memperoleh pengetahuan
yang sesuai untuk menguji hipotesis mereka.
f. Menguji hipotesis.
g. Hasilnya diperoleh, dicatat untuk presentasi.
h. Setiap hipotesis diuji untuk validitasnya.
In this framework, inquiry-based learning begins with Orientation
and flows through Conceptualization to Investigation, where several
cycles are possible. Inquiry-based learning usually ends with the
Conclusion phase. The Discussion phase (which includes Communication
and Reflection) is potentially present at every point during inquiry-based
learning and connects to all the other phases, because it can occur at any
time during (discussion in-action) or after inquiry-based learning when
looking back (discussion on-action). Dalam kerangka ini, pembelajaran
berbasis inquiry dimulai dengan Orientasi dan mengalir melalui
Konseptualisasi ke Investigasi, di mana beberapa siklus dimungkinkan.
Pembelajaran berbasis inquiry biasanya berakhir dengan fase Kesimpulan.
Tahap Diskusi (yang mencakup Komunikasi dan Refleksi) berpotensi
hadir di setiap titik selama pembelajaran berbasis inquiry dan terhubung
ke semua fase lainnya, karena dapat terjadi kapan saja selama (diskusi in-
action) atau setelah pembelajaran berbasis inquiry ketika melihat ke
belakang (diskusi on-action).
Sejalan dengan langkah-langkah model pembelajaran berbasis
inkuiri diatas, Narni (2013) mengemukakan mengenai sintaks atau
langkah-langkah pembelajaran didalam model pembelajaran berbasis
inkuiri, yaitu menyajikan pertanyaan atau masalah, membuat hipotesis,
merancang percobaan, melakukan percobaan untuk memperoleh
informasi, mengumpulkan dan menganalisis data, serta membuat
kesimpulan.

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Inkuiri


A review of national and international literature demonstrates that
inquiry based activities contribute to students understanding the nature of
science (Backus, 2005), to the development of their knowledge of the topic
(Lord and Orkwiszewski, 2006), their skills of scientific process
(Holfstein, Shore and Kipris, 2004; Deters, 2005; Aydogdu & Ergin,
2008), their attitudes towards science learning (Jones, Gott and Jaman,
2000; Gibson and chase, 2002; Lord and Orkwiszewski, 2006), their
motivation in science learning (Tuan, Chin, Tsai dan Cheng, 2005), and
their communication skills. in research conducted by Allison and David
(1972) and by Charen and George (1970), it was found that inquiry based
experiment activities made contributions to the development of students
critical thinking skills (as cited in Qing et al., 2010). Tinjauan literatur
nasional dan internasional menunjukkan bahwa aktivitas berbasis
penyelidikan memberi kontribusi pada siswa untuk memahami sifat sains
(Backus, 2005), untuk pengembangan pengetahuan mereka tentang topik
ini (Lord and Orkwiszewski, 2006), keterampilan mereka dalam proses
ilmiah (Holfstein Deter, 2005; Aydogdu & Ergin, 2008), sikap mereka
terhadap pembelajaran sains (Jones, Gott dan Jaman, 2000; Gibson dan
pengejaran, 2002; Lord and Orkwiszewski, 2006), motivasi mereka dalam
pembelajaran sains. (Tuan, Chin, Tsai dan Cheng, 2005), dan kemampuan
berkomunikasi mereka. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Allison dan
David (1972) dan oleh Charen dan George (1970), ditemukan bahwa
kegiatan percobaan berbasis penelitian memberikan kontribusi pada
pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa (seperti dikutip Qing et
al., 2010).
Inquiry based science education (IBSE) proved to be stimulating
for students motivation, pupils application of research skills,
construction of meaning and acquiring scientific knowledge (Alake-
Tuenter, et al., 2012) (Suduc, Bizoi, & Gorghiu, 2014). Inquiry-based
strategies incorporate questioning and active engagement for student
learning. Inquiry uses skills that are active, persistent, and based on a
persons knowledge. It involves exploration, questioning, making
discoveries, and testing discoveries to search for new understanding
(Lemlech, 2009). Penyelidikan berbasis ilmu pengetahuan terbukti
menstimulasi motivasi siswa, meningkatkan keterampilan penelitian
murid, mengonstruksi makna dan membantu memperoleh pengetahuan
ilmiah (Alake-Tuenter, et al., 2012) (Suduc, Bizoi, & Gorghiu, 2014).
Strategi berbasis penyelidikan menggabungkan pertanyaan dan
keterlibatan aktif bagi siswa belajar. Penyelidikan menggunakan
keterampilan yang aktif, gigih, dan berdasarkan pengetahuan seseorang.
Ini melibatkan eksplorasi, mempertanyakan, membuat penemuan, dan
menguji penemuan untuk mencari pemahaman baru (Lemlech, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ana Maria (2015) The
findings of this study show that for primary school level students it is
importan to participate to enjoyable Science lessons, to understand the
subject matter, to participate to Science lessons that are useful in their
everyday life, etc. Overall, the IBSE Science lessons proved to be more
enjoyable and relevant, from different aspects, for young students than
usual Science lessons. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa untuk
siswa tingkat sekolah dasar, penting untuk berpartisipasi dalam
meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran sains, untuk memahami
pokok bahasan, untuk berpartisipasi dalam pelajaran sains yang berguna
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara keseluruhan, pembelajaran
sains berbasis inkuiri terbukti lebih menyenangkan dan relevan, dari
aspek yang berbeda, untuk siswa sekolah dasar daripada mempelajarinya
dengan model yang biasa (membosankan).
Several researchers (Blumenfeld et al., 1991; Eilam, 2002; Lepper,
Woolverton, Mumme and Gurtner, 1993; Polman, 2000) stated that
inquiry based activites might raise students motivation due to the fact that
they give students freedom in making their choice, provide them with
opportunities to carry out self regulation and to take part in projects they
are interested in (as cited in Tuan et al., 2005). Beberapa peneliti
(Blumenfeld et al., 1991; Eilam, 2002; Lepper, Woolverton, Mumme dan
Gurtner, 1993; Polman, 2000) menyatakan bahwa kegiatan berbasis
penyelidikan dapat meningkatkan motivasi siswa karena mereka memberi
kebebasan kepada siswa dalam membuat pilihan mereka, memberi
mereka kesempatan untuk melakukan pengaturan diri dan untuk
mengambil bagian dalam proyek yang mereka minati (seperti yang
dikutip oleh Tuan et al., 2005).
Selanjutnya, Taylor & Bilbrey (2012) menyatakan However,
many teachers find it difficult to follow these methods in their classrooms,
particularly if they lack the training. Inquiry-based model can assist
teachers in preparing their lessons and catering for all their learners
diverse needs. Through this model, teachers can prepare their learners
for the lesson through prepared questions that will motivate the learners
to inquire and seek for the truth. Inquiry-based learning (IBL) has the
learners questions, ideas and reflections at the centre of the learners
learning experiences. It has the Confucian motto Tell me and I forget,
show me and I remember, involve me and I understand at the heart of its
procedure. Through inquiry, learners move away from accumulating data
and more toward acquiring useful applicable knowledge. Yang intinya
Model pembelajaran berbasis masalah dapat membantu guru dalam
mempersiapkan pelajaran untuk semua kebutuhan peserta didik mereka
beragam. Melalui model ini, guru dapat mempersiapkan peserta didik
mereka untuk pelajaran melalui pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan
yang akan memotivasi peserta didik untuk 'menanyakan' dan 'mencari
kebenaran'. Penyelidikan berbasis learning (IBL) memiliki peserta didik
pertanyaan, ide-ide dan refleksi di tengah peserta didik pengalaman
belajar. Ini memiliki motto Konfusius Katakan padaku dan aku lupa,
tunjukkan dan saya ingat, melibatkan saya dan saya mengerti di jantung
prosedurnya. Melalui penyelidikan, peserta didik berusaha
mengumpulkan data dan lebih ke arah memperoleh pengetahuan yang
bermanfaat.
(Alberta Education, 2010, p. 19) menyatakan bahwa Inquiry is
described as, a means to seek truth, information or knowledge by
questioning. This means that learners research a certain topic that is
created through a series of questions. Learners who actively participate
in inquiry, learn much better than if the teacher were lecturing to them.
Inquiry experiences can provide valuable opportunities for students to
improve their understanding of both language content and scientific
practices. Students would collaborate to create new knowledge while
learning simultaneously how to think critically and creatively through
inquiry, reflection, exploration, experimentation, and trier and error.
Model pembelajaran berbasis penyelidikan digambarkan sebagai sarana
untuk mencari kebenaran, informasi atau pengetahuan melalui pertanyaan.
Ini berarti bahwa peserta didik meneliti topik tertentu yang tercipta
melalui serangkaian pertanyaan. Peserta didik yang aktif berpartisipasi
dalam penyelidikan, belajar jauh lebih baik daripada jika guru memberi
ceramah kepada mereka. Pengalaman dalam melakukan pengamatan
maupun penelitian dapat memberi kesempatan berharga bagi siswa untuk
meningkatkan pemahaman mereka. Siswa akan berkolaborasi untuk
menciptakan pengetahuan baru sambil belajar secara bersamaan
bagaimana "berpikir kritis dan kreatif melalui penyelidikan, refleksi,
eksplorasi, eksperimen, dan percobaan."
Narni (2013) menyatakan mengenai kelebihan model inkuiri
terbimbing, diantaranya guru mampu membimbing siswa melakukan
kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu
diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan
dan tahap-tahap pemecahannya. Inkuiri terbimbing ini digunakan bagi
siswa yang kurang berpengalaman dalam pembelajaran inkuiri.
Suparno (2007:68) berpendapat dengan melalui pembelajaran
model inkuiri siswa belajar berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari
guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran, sehingga
dengan model tersebut siswa tidak mudah bingung dan tidak akan gagal
karena guru terlibat penuh.
Menurut Suci (2013), penggunaan model pembelajaran inkuiri bisa
meningkatkan komunikasi yang baik antara guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa, dengan adanya komunikasi yang terjalin membuat
suasana kelas menjadi hidup dan berdampak besar terhadap keberhasilan
kegiatan belajar mengajar dikelas. Dengan demikian penerapan model
pembelajaran inkuiri membiasakan siswa untuk terus aktif bila ingin
mendapatkan informasi yang lebih, dan keaktifan tersebut bisa melalui
keberanian siswa dalam berbicara untuk bertanya, menjawab, dan
menyampaikan pendapat di depan umum dengan penuh percaya diri.
Prez Juste (2000) menyatakan Regarding limitations, due
fundamentally to time limitations, the evaluation carried out by students
has not been complete, because it has only assessed the level of
satisfaction of those implicated and not the aspects and dimensions that
are required for the evaluation of a program in its three moments: the
program itself, development of the program and results. Mengenai
keterbatasan, pada dasarnya keterbatasan waktu, evaluasi yang dilakukan
oleh siswa belum lengkap, karena hanya menilai tingkat kepuasan orang-
orang yang terlibat dan bukan aspek dan dimensi yang dibutuhkan untuk
evaluasi suatu program dalam tiga momennya: program itu sendiri,
pembangunan dari program dan hasil.

B. Two Stay Two Stray Learning Model (TSTS)


1. Definisi Model Two Stay Two Stray
Berdasarkan penelitian oleh Hari Satrijono (2012) teknik
pembelajaran Dua Tinggal Dua Bertamu (Two Stay Two Stray) dapat
digunakan untuk semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat anak
didik. Teknik pembelajaran ini juga memberikan kebebasan kepada satu
kelompok untuk bekerjasama dengan kelompok lain. Kombinasi hasil
pemikiran dari kelompok lain akan membantu siswa menyelesaikan tugas
kelompok yang diberikan oleh guru. Teknik Dua Tinggal Dua Bertamu
sangat efektif digunakan dalam proses belajar karena interaksi belajar
antar siswa terus berlangsung selama tugas kelompok belum terselesaikan.
Sementara itu, Huda (2013: 207) mengatakan bahwa, The Two
Stay Two Stray model is a group learning system with the aim to make
students work together be responsible, help each other solve problems,
and encourage each other to get the learning betterment. Menurut
pernyataan tersebut, Model Two Stay Two Stray adalah sistem belajar
kelompok dengan tujuan untuk membuat siswa bekerja sama, menjadi
bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah, dan
mendukung satu sama lain untuk memperoleh kemajuan belajar.
Selain pendapat di atas, menurut penelitian yang dilakukan oleh
Fitra Alhaz Harahap (2012), The structure of TSTS gives a chance to the
group to share the result and information to other groups. It is done
because a lot of learning activities are individual oriented activities. The
students work by alone and are not allowed to look at other students
work. Though, in fact, in the real life out of the school life, the life and the
work of the people depend one to another. Artinya, model Two Stay Two
Stray (TSTS) memiliki struktur yang memberikan kesempatan kepada
setiap kelompok untuk berbagi hasil dan informasi dengan kelompok lain.
Hal ini dilakukan karena banyak dari kegiatan pembelajaran adalah
kegiatan yang berorientasi individu. Dengan kata lain, para siswa bekerja
sendiri dan tidak diizinkan untuk melihat pekerjaan siswa lainnya.
Walaupun, pada kenyataannya, dalam kehidupan nyata di luar sekolah,
kehidupan dan pekerjaan setiap orang bergantung satu sama lain.

2. Sintaks Model Two Stay Two Stray


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hari
Satrijono (2012), model TSTS dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap Pendahuluan:
1) Pertama, pengaturan posisi bangku sesuai jumlah kelompok yang
telah ditentukan. Pada proses pengelompokan dilakukan sebelum
pembelajaran dimulai agar dapat mengefisienkan waktu dan
anggota dalam setiap kelompok harus hiterogen dalam
kemampuan prestasi akademik.
2) Kedua, menjelaskan materi dan menyampaikan kompetensi dasar.
3) Ketiga, kegiatan pembangkitan skemata siswa. Pembangkitan
skemata digunakan sebagai upaya pelibatan mental atau fisik
siswa pada pengetahuan topik, yaitu sebagai awal
pemahamannya. Pembangkitan skemata dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan kepada siswa yang berkaitan dengan
materi pembelajaran.
b. Tahap Inti:
1) Pertama, menjelaskan tugas kelompok. Setiap siswa dalam
kelompok mempunyai tanggung jawab dalam keutuhan dan kerja
sama guna menyelesaikan tugas dari guru.
2) Kedua, membimbing siswa bekerja secara kooperatif.
3) Ketiga, membimbing siswa dalam melaksanakan teknik Dua
Tinggal Dua Bertamu. Teknik ini dimaksudkan untuk melatih
siswa berani berbagi pengalaman, pengetahuan yang diperoleh,
mengemukakan pendapat, bersedia mendengarkan pendapat
teman, dan mau menerima perbedaan pendapat.
c. Tahap Penutup:
Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan
kelas. Pada kegiatan presentasi dilakukan sharing antarkelompok yaitu
siswa bertanya jawab mengenai hasil pekerjaan kelompok presentasi
dan kelompok yang lain menanggapi jawaban kelompok presentasi.

Sedangkan, sintaks model TSTS berdasarkan Huda (2013), The


syntax of Two Stay Two Stray model can be seen from several stages as
follows: (1) the teacher divides the students into several groups with each
group consists of four students. The group formed is a heterogeneous
group; (2) the teacher distributes sub-topics to each group to be discussed
together with the members of each group; (3) students work together in
groups of four. It aims to provide opportunities for students to be actively
involved in the thinking process; (4) after completing this step, two people
from each group leave the group to visit another group; (5) two persons
living in groups are assigned to share their work and information with
guests from other groups; (6) guests excuse themselves and return to their
own groups to report their findings from other groups; (7) groups match
and discuss the results of their work; (8) each group presents their work.
Menurut pendapat tersebut, sintaks dari model Two Stay Two Stray
dapat dilihat dari beberapa tahap yaitu: (1) guru membagi siswa menjadi
beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari empat
siswa. Kelompok yang terbentuk adalah kelompok heterogen; (2) guru
mendistribusikan sub-topik kepada setiap kelompok untuk dibahas
bersama-sama dengan anggota masing-masing kelompok; (3) siswa
bekerja sama dalam kelompok empat orang. Hal ini bertujuan untuk
memberikan kesempatan bagi siswa terlibat secara aktif dalam proses
berpikir; (4) setelah menyelesaikan langkah ini, dua orang dari masing-
masing kelompok meninggalkan kelompok untuk mengunjungi kelompok
lain; (5) dua orang yang tersisa dalam kelompok ditugaskan untuk berbagi
pekerjaan dan informasi dengan tamu dari kelompok lain; (6) tamu dari
setiap kelompok kembali ke kelompok mereka sendiri untuk melaporkan
temuan yang mereka dapat dari kelompok lain; (7) setiap kelompok
menyesuaikan dan mendiskusikan hasil kerja mereka; (8) masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka.
Pendapat lain mengenai sintaks model TSTS mengatakan, The TSTS
consists of some steps (Lie, 2004: 60-61):
a. The students are set in group of four students.
b. Then two students of each group will leave the group, each of the two
students will stray to other groups.
c. The two staying students have task to share information and work result
to their guests.
d. The guests excuse themselves and back to their group and report their
findings from other groups.
e. The group matches and discusses the information.
Dari pernyataan di atas, model TSTS terdiri dari beberapa langkah
antara lain:
a. Para siswa diatur dalam kelompok empat orang.
b. Kemudian dua siswa dari masing-masing kelompok akan meninggalkan
kelompok, masing-masing dua siswa akan menyimpang ke kelompok
lain.
c. Kedua mahasiswa yang tinggal memiliki tugas untuk berbagi informasi
dan hasil diskusi kepada tamu mereka.
d. Para tamu sendiri kemudian kembali ke kelompok mereka dan
melaporkan apa yang diperoleh mereka dari kelompok lain.
e. Setiap kelompok mencocokkan dan mendiskusikan informasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, langkah-langkah yang digunakan
dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two
Stray yang disampaikan oleh Isjoni (2010:35) antara lain:
a. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap
kelompoknya terdiri dari empat siswa.
b. Kelompok yang dibentuk pun merupakan kelompok heterogen seperti
pada pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray yang bertujuan
untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk saling membelajarkan
(Peer Tutoring) dan saling mendukung.
c. Guru memberikan sub pokok bahasan pada tiap-tiap kelompok untuk
dibahas bersama-sama dengan anggota kelompoknya masing-masing.
d. Siswa bekerjasama dalam kelompok beranggotakan empat orang.

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Two Stay Two Stray


Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hari Satrijono (2012),
Teknik Dua Tinggal Dua Bertamu memiliki kelebihan diantaranya dapat
membuat suasana kelas menjadi lebih aktif dan proses kerja sama siswa
tidak hanya sesama anggota kelompok saja melainkan antar kelompok,
sehingga siswa lebih banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan.
Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan
guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas. Suasana kelas yang
berubah menjadi lebih aktif dapat menyebabkan kegaduhan atau suasana
kelas menjadi ramai adalah kendala yang dihadapi guru pada saat
pembelajaran kooperatif dengan teknik Dua Tinggal Dua Bertamu.
Selain itu, sesuai dengan pendapat Winataputra (2001) tentang
implementasi model Two Stay Two Stray, the advantages are (1)
provide opportunities for students to be more creative in communicating
with friends and groups of other groups; (2) provide chances for students
to learn to be more actively motivated; (3) make students to be more
courageous to express and convey their ideas or opinions; (4) increase
student cohesiveness and confidence; (5) improve the efficacy and
learning outcomes. While the shortcomings are (1) students who are not
accustomed to learning groups feel alienated and difficult to cooperate so
that they tend to be reluctant to learn in groups; (2) for teachers, this
model implementation requires them to prepare a lot; (3) teachers tend to
have difficulty in classroom management; (4) it takes a very long time.
Dari pendapat tersebut, kelebihan model TSTS adalah; (1)
memberikan kesempatan bagi siswa untuk lebih kreatif dalam
berkomunikasi dengan teman dan kelompok-kelompok lain; (2)
memberikan peluang bagi siswa untuk belajar menjadi lebih termotivasi
aktif; (3) membuat siswa menjadi lebih berani untuk mengekspresikan dan
menyampaikan ide atau pendapat mereka; (4) meningkatkan kekompakan
dan keyakinan siswa; (5) meningkatkan efektivitas dan hasil belajar.
Sedangkan kekurangan dari model ini adalah; (1) siswa yang tidak terbiasa
belajar kelompok merasa terasing dan sulit untuk bekerja sama sehingga
mereka cenderung enggan untuk belajar dalam kelompok; (2) bagi guru,
implementasi model ini mengharuskan mereka untuk mempersiapkan
banyak hal; (3) guru cenderung mengalami kesulitan dalam pengelolaan
kelas; (4) dibutuhkan waktu yang sangat lama.
Sejalan dengan pendapat di atas, dalam penelitian Fitra Alhaz
Harahap (2012), the TSTS model is an effective strategy to stimulate the
students learning reading spirit and interest in the teaching-learning
reading process. Students were enthusiastic and enjoyed the activities of
learning by using the TSTS model. They started to realize the important of
teamwork to achieve their target. But, problems such as the lack of
vocabulary, the lack of cooperation with group members were still found.
Lie (2010: 27) mengatakan, Pembelajaran kooperatif merupakan
sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik
untuk bekerja sama dengan temannya dalam tugas-tugas terstruktur
disebut sebagai sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative
learning.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitra Alhaz Harahap (2012)
di atas di atas, kelebihan model TSTS ini antara lain efektif untuk
merangsang belajar membaca siswa agar bersemangat dan memiliki minat
yang tinggi dalam proses belajar-mengajar, antusias dalam mengikuti
setiap kegiatan pembelajaran, dan menyadari pentingnya kerja sama tim
untuk mencapai target mereka. Sedangkan kekurangan dalam pelaksanaan
model TSTS ini adalah masalah seperti kurangnya kerjasama antar
anggota kelompok masih ditemukan.
SINTESIS MACAM-MACAM MODEL PEMBELAJARAN

1. Model Pembelajaran Berbasis Project (PjBL)


Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa Model Project Based Learning (PjBL) merupakan model
pembelajaran inovatif yang berpusat pada siswa (student centered). Model
pembelajaran yang secara langsung melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran melalui kegiatan penelitian untuk mengerjakan dan
menyelesaikan suatu proyek pembelajaran tertentu. Model pembelajaran
PjBL menjadi pilihan yang tepat diantara model pembelajaran yang lain
dalam Kurikulum 2013, karena model pembelajaran ini bertujuan untuk
mengembangkan keterampilan berpikir siswa melalui pemecahan masalah
secara bersama (collaboration) dan guru berperan sebagai fasilitator dan
motivator bukan sebagai instruktur dengan memberi siswa peluang bekerja
secara otonom untuk mengkonstruksi belajarnya, serta siswa juga dapat
menghasilkan suatu proyek atau karya nyata. Pembelajaran dengan model
PjBL membuat siswa mencoba menemukan sendiri konsep atau maksud dari
materi yang diajarkan, karena dalam pembelajaran guru tidak menyampaikan
materi secara langsung. Usaha siswa dalam menemukan pemahaman materi
sendiri ini membuat belajar menjadi lebih bermakna dan materi bisa disimpan
lebih lama.
Pada model PjBL, siswa tidak hanya membangun konsep melalui
pemecahan masalah yang diberikan, namun juga menghasilkan produk
sebagai hasil dari pemecahan masalah sehingga siswa dapat aktif dalam
pembelajaran baik dilihat dari kualitas proses, maupun kualitas hasil. Dalam
model pembelajaran PjBL membuat projek-projek yang menghendaki siswa
untuk memecahkan masalah-masalah nyata dan isu-isu yang memiliki
kepentingan untuk orang lain, projek yang memberikan kesempatan bagi
siswa untuk menghasilkan bukti yang dapat diamati bahwa mereka telah
menguasai standar kurikuler karena mereka menerapkan pembelajaran
mereka dan memecahkan masalah ditangan. Projek dan pameran juga
memberikan bukti yang luas dari proses kerja dan pembelajaran berlangsung
sendiri.
Dalam model PjBL, prinsip kegiatan pembelajaran dapat tercapai
yaitu, (1) berpusat pada peserta didik; (2) mengembangkan kreativitas peserta
didik; (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan
nilai, etika, estetika, logika, dan kine-tetika; (5) menyediakan pengalaman
belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode
pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan
bermakna walaupun waktu yang dibutuhkan lebih lama.
Adapun sintaks atau langkah-langkah model Project Based Learning
antara lain:
1. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil
2. Guru memberikan tugas dalam bentuk investigasi atau penelitian.
3. Peserta didik dilibatkan dalam menyusun pertanyaan untuk
mengumpulkan informasi yang relevan untuk proyek mereka.
4. Peseta didik mengembangkan pertanyaan sebagai sebuah kelompok
5. Peserta didik membagi pekerjaan diantara mereka secara individu atau
pasangan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang diplih
menggunakan berbagai sumber
6. Peserta didik mengumpulkan data dan menganalisis data
7. Peserta didik mengkomunikasikan hasil data mereka ke depan teman-
temannya.
Model Project Based Learning memiliki lebih banyak kelebihan
daripada kelemahannya. Kelebihannya antara lain:
1. Memusatkan pada keaktifan dan kreatifitas siwa
2. Menerapkan model pembelajran yang inovatif
3. Memperkuat kebutuhan dan keterampilan beragam peserta didik dalam
sifat kolaboratif pekerjaan proyek.
4. Mampu membangun konsep melalui pemecahan masalah yang diberikan
oleh guru.
5. Dengan pembelajaran berbasis proyek, siswa memiliki keuntungan untuk
dapat beradaptasi dengan gaya belajar yang berbeda atau "multiple
intelligences".
6. Memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di
kelas dengan melibatkan kerja proyek.
7. Menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan
berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan,
kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.
Adapun kelemahan yang ada pada model Project Based Learning,
antara lain:
1. Dalam diskusi kelompok, masih ada siswa yang dominan karena merasa
lebih pintar dan sehingga siswa yang belum menguasai materi kurang
aktif dalam melakukan proyek.
2. Belum seluruh siswa mampu menerima model pembelajaran yang
diterapkan dalam bentuk proyek
3. Guru hendaknya dapat mempersiapkan materi ataupun media dengan
baik serta mempertimbangkan alokasi waktu yang dibutuhkan.
4. Diperlukan latihan untuk dapat mengembangkan dan mengasah siswa
yang dapat dijadikan sebagai tugas sehingga siswa memberikan respon
baik terhadap guru dalam menyajikan materi dan memperoleh kualitas
proses dan hasil secara maksimal.

2. Model Pembelajaran Berbasis Inkuiri (Inquiry Model)


Berdasarkan hasil literasi pembaca terhadap berbagai pendapat dari para
ahli dan juga beberapa jurnal penelitian, dapat disimpulkan dan disintesiskan
bahwa model pembelajaran berbasis inkuiri merupakan salah satu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa, artinya siswa dituntut secara aktif
dalam keterlibatannya dengan proses pembelajaran (penyelidikan).
Pembelajaran menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan
materi pelajaran atau suatu pengetahuan secara mandiri yang tidak diberikan
secara langsung oleh guru, melainkan menggali sendiri informasi yang hendak
dicari, sedangkan guru disini (dalam model pembelajaran inkuiri) berperan
sebagai fasilitator. Jadi, rangkaian kegiatan pembelajaran menekankan pada
proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri
jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan melalui suatu percobaan atau
penyelidikan.
Adapun langkah-langkah atau sintaks didalam penerapan model
pembelajaran berbasis inkuiri, antara lain:
a. Menyajikan pertanyaan atau masalah
b. Membuat atau merumuskan hipotesis
c. Merancang percobaan
d. Melakukan percobaan untuk memperoleh informasi
e. Mengumpulkan dan menganalisis data
f. Membuat kesimpulan
Banyak kelebihan yang dapat diperoleh dari penerapan model
pembelajaran berbasis inkuiri, diantaranya :
a. Kegiatan berbasis penyelidikan dapat meningkatkan motivasi siswa karena
memberikan kebebasan kepada siswa dalam membuat suatu piliha atau
keputusan, memberi mereka kesempatan untuk melakukan pengaturan diri
dan untuk mengambil bagian dalam proyek yang mereka minati.
b. Melalui penyelidikan, siswa berusaha mengumpulkan data dan memperoleh
pengetahuan yang bermanfaat.
c. Mengembangan pengetahuan siswa tentang suatu topik atau gagasan.
d. Memberikan kontribusi pada pengembangan keterampilan berpikir kritis
siswa dan membantu memperoleh pengetahuan secara ilmiah.
e. Sarana untuk mencari kebenaran, informasi atau pengetahuan melalui
pertanyaan.
f. Pengalaman dalam melakukan pengamatan maupun penelitian dapat
memberi kesempatan berharga bagi siswa untuk meningkatkan pemahaman
mereka.
g. Siswa belajar berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga
siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran, sehingga dengan model
tersebut siswa tidak mudah bingung dan tidak akan gagal karena guru
terlibat penuh.
h. Penggunaan model pembelajaran inkuiri bisa meningkatkan komunikasi
yang baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa, dengan
adanya komunikasi yang terjalin membuat suasana kelas menjadi hidup dan
berdampak besar terhadap keberhasilan kegiatan belajar mengajar dikelas.
Dengan demikian penerapan model pembelajaran inkuiri membiasakan
siswa untuk terus aktif bila ingin mendapatkan informasi yang lebih, dan
keaktifan tersebut bisa melalui keberanian siswa dalam berbicara untuk
bertanya, menjawab, dan menyampaikan pendapat di depan umum dengan
penuh percaya diri.
Selain kelebihan dari model pembelajaran berbasis inkuiri
(penyelidikan), terdapat pula kekurangannya, yaitu :
a. Keterbatasan waktu, dikarenakan dalam setiap melakukan eksperimen atau
penyelidikan dibutuhkan waktu yang tidak singkat.
b. Evaluasi yang dilakukan oleh siswa belum lengkap, karena hanya menilai
tingkat kepuasan orang-orang yang terlibat dan bukan aspek dan dimensi
yang dibutuhkan untuk evaluasi suatu program dalam tiga momennya:
program itu sendiri, pembangunan dari program dan juga hasil.

3. Model Pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS)


Berdasarkan sumber-sumber yang ada, dapat disintesiskan bahwa model
Two Stay Two Stray adalah model pembelajaran yang dapat membuat siswa
lebih aktif berpikir kritis dan dapat saling bekerja sama dalam menuangkan ide
dan pendapatnya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Selain itu,
dengan menerapkan model ini dapat membuat siswa lebih senang dalam proses
kegiatan belajar mengajar karena metode yang digunakan dalam pembelajaran
tidak monoton. Siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep
yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya.
Adapun langkah-langkah atau sintaks model Two Stay Two Stray antara
lain:
a. Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa.
b. Setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok akan
meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke kelompok
yang lain.
c. Dua siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja
dan informasi mereka ke tamu mereka.
d. Tamu meminta izin dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan
melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
Selain langkah-langkah diatas, Model Two Stay Two Stray memiliki
kelebihan, yaitu:
a. Dapat membuat suasana kelas menjadi lebih aktif dan proses kerja sama
siswa tidak hanya sesama anggota kelompok saja melainkan antar
kelompok
b. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk lebih kreatif dalam
berkomunikasi dengan teman dan kelompok-kelompok lain
c. Membuat siswa menjadi lebih berani untuk mengekspresikan dan
menyampaikan ide atau pendapat mereka
d. Meningkatkan kekompakan dan keyakinan siswa
e. Meningkatkan efektivitas dan hasil belajar
f. Merangsang siswa agar bersemangat dan memiliki minat yang tinggi
dalam proses belajar
g. Antusias dalam mengikuti setiap kegiatan pembelajaran
h. Menyadari pentingnya kerja sama tim untuk mencapai target mereka.
Disamping kelebihan yang telah disebutkan, terdapat pula kekurangan
dari penerapan model Two Stay Two Stray diantaranya, yakni:
a. Membutuhkan waktu yang lama
b. Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas karena suasana kelas
yang berubah menjadi lebih aktif dapat menyebabkan kegaduhan
c. Siswa yang tidak terbiasa belajar kelompok merasa terasing dan sulit
untuk bekerja sama sehingga mereka cenderung enggan untuk belajar
dalam kelompok
d. Bagi guru, implementasi model ini mengharuskan mereka untuk
mempersiapkan banyak hal
e. Masalah seperti kurangnya kerjasama antar anggota kelompok terkadang
masih ditemukan.

4. Model Pembelajaran Window Shopping


DAFTAR PUSTAKA

Addiin, I., Redjeki, T., & Ariani, S. R. D. (2014). Penerapan Model


Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) Pada Materi Pokok
Larutan Asam Dan Basa Di Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 2 Karanganyar
Tahun Ajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia, 3(4), 7-16.

Alameddine, M. M., & Ahwal, H. W. (2016). Inquiry Based Teaching in


Literature Classrooms. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 232,
332-337.

Ana-Maria Suduc, Mihai Bizoi, Gabriel Gorghiu, Inquiry Based Science Learning
in Primary Education, In Procedia - Social and Behavioral Sciences,
Volume 205, 2015, Pages 474-479, ISSN 1877-0428,
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.09.044.
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S187704281505062
Keywords: Inquiry Based Science Education; primary education;
student's feedback; science lesson attractiveness; student's motivation

Bangkit, F. W., & Kartono, H. (2014). PENINGKATAN PENGUASAAN KONSEP


GAYA MAGNET MELALUI MODEL PROJECT-BASED LEARNING
(PjBL). Jurnal Didaktika Dwija Indria (SOLO), 3(5).

Chu, S. K. W., Tse, S. K., & Chow, K. (2011). Using collaborative teaching and
inquiry project-based learning to help primary school students develop
information literacy and information skills. Library & Information
Science Research, 33(2), 132-143.

Efstratia, D. (2014). Experiential education through project based learning.


Procedia-Social and Behavioral Sciences 152 (2014) 12561260.

Fitasari, Suci. (2013). PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI


DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP
SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA MATERI BENDA DAN
SIFATNYA KELAS V SDN POHJEJER I /454 MOJOKERTO. Jurnal
Penelitian Pendidikan Guru Sekolah Dasar.Volume 1, Nomor 1

Faridah musa. (2011). Project-based Learning: Promoting Meaningful Language


Learning for Workplace Skills. Procedia Social and Behavioral Sciences
18 (2011) 187195
Gallego , Lourdes Villardn. (2016) . Inquiry-based learning in pre-service
training for secondaryeducation counselors. Procedia - Social and
Behavioral Sciences 217 ( 2016 ) 65 73

Garca, C. (2016). Project-based learning in virtual groups-collaboration and


learning outcomes in a virtual training course for teachers. Procedia-
Social and Behavioral Sciences, 228, 100-105.

Harahap, F. A. (2012). IMPROVING STUDENTSREADING


COMPREHENSION THROUGH TWO STAYTWO STRAY
LEARNING MODEL. TRANSFORM Journal of English Language
Teaching and Learning of FBS UNIMED, 1(1).

Herawati. (2015). Penerapan Model Pembelajaran Two Stay Two Stray Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Keliling Dan Luas
Lingkaran Di Kelas Vi Sd Negeri 53 Banda Aceh. Jurnal Peluang, 3(2).

Kurnia, Niki, dkk. (2017). THE IMPLEMENTATION OF FIND SOMEONE


WHO AND TWO STAY TWO STRAY MODELS TO IMPROVE
STUDENTS SELF-EFFICACY AND SOCIAL STUDIES LEARNING
OUTCOMES. Journal of Research & Method in Education, 7(3).

Lam, S. F., Cheng, R. W. Y., & Choy, H. C. (2010). School support and teacher
motivation to implement project-based learning. Learning and
Instruction, 20(6), 487-497.

Margus Pedaste, Mario Meots, Leo A. Siiman, Ton de Jong, Siswa A.N. van
Riesen, Ellen T. Kamp, Constantinos C. Manoli, Zacharias C. Zacharia,
Eleftheria Tsourlidaki, Phases of inquiry-based learning: Definitions and
the inquiry cycle, In Educational Research Review, Volume 14, 2015,
Pages 47-61, ISSN 1747-938X,
https://doi.org/10.1016/j.edurev.2015.02.003.

(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1747938X15000068)
Keywords: Inquiry-based learning; Inquiry cycle; Inquiry phases;
Inquiry- based learning framework

Mira M. Alameddine, Hala W. Ahwal, Inquiry Based Teaching in Literature


Classrooms, In Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 232,
2016, Pages 332-337, ISSN 1877-0428,
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.10.031.
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042816312630
Keywords: English; inquiry; teaching method; language acquisition

Narni Lestari Dewi. (2013). PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI


TERBIMBING TERHADAP SIKAP ILMIAH DAN HASIL BELAJAR
IPA.Jurnal Penelitian.Volume 3, Nomor 1

Satrijono, H. (2012). Penerapan Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Dua


Tinggal Dua Bertamu (Two Stay Two Stray). Jurnal Ilmu Pendidikan
Sekolah Dasar, 1(2), 166-182.

Zeki Bayram, zge zyaln Oskay, Emine Erdem, Sinem Dinol zgr, enol
en, Effect of Inquiry based Learning Method on Students Motivation,
In Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 106, 2013, Pages
988-996, ISSN 1877-0428, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.112.
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042813047277
Keywords: Inquiry based learning; student motivation; chemical
equilibrium
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai