Anda di halaman 1dari 9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Danau dan Pengelolaanya


Danau didefiniskkan sebagai habitat air tergenang yang merupakan
cekungan yang terjadi karena peristiwa alam atau buatan manusia yang berfungsi
menampung air dan menyimpan air yang berasal dari air hujan, air tanah, mata air
ataupun air sungai (UU Nomor 7 Tahun 2004). Danau mempunyai sifat multi
fungsi baik fungsi ekologi, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya dan secara
teknis berfungsi sebagai sumber air baku, tempat hidup berbagai biota air,
pengatur dan penyeimbang tata air, pengendali banjir dan lainnya.
Danau Taliwang merupakan perairan litoral yang banyak ditumbuhi oleh
berbagai jenis tumbuhan air. Tumbuhan air ini berperan penting dalam ekosistem
perairan antara lain sebagai makanan, pelindung, dan habitat bagi sejumlah
organisme perairan (ikan). Pada musim penghujan air akan meluap
menggenangi daerah paparan Danau Taliwang, sehingga mengakibatkan
beragamnya habitat yang tersedia. Besarnya keragaman habitat yang tersedia
(daerah rawa dan perairan terbuka) memungkinkan banyak spesies ikan
memanfaatkan daerah ini dalam berbagai cara dalam menunjang proses
kehidupan mereka seperti untuk pemijahan, pembesaran, dan tempat untuk mencari
makanan. Kondisi ini akan mengakibatkan kekayaan spesies ikan khususnya
kelimpahan ikan di daerah genangan. Habitat yang komplek tersebut akan
menyediakan lebih banyak makanan serta perlindungan bagi anak-anak ikan.
Berdasarkan pendekatan ekosistem, tumbuhan air perlu dipertahankan
dalam jumlah terbatas untuk kehidupan biota terutama beberapa satwa liar
(burung) yang memanfaatkan dan menggunakan ekosistem tumbuhan air sebagai
tempat hidupnya. Bebera jenis burung yang hidup di Danau Taliwang adalah
(Departemen PU dan SEAMEO BIOTROP, 1997) :
a) Elang Bondol (Haliastur Indus)
b) Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis)
c) Mandar Batu (Gallinula chloropus)
d) Blekok Sawah (Ardeola speciosa)
e) Kareo Padi (Amauromis phoenicurus)

6
f) Itik Gunung (Anas superciliosa)
g) Belibis Batu (Dendrocygna javanica)
h) Sepatu Jengger (Irediparra galliracea)
Pengelolaan kawasan danau diperlukan sebagai salah satu upaya untuk
mengendalikan pemanfaatan danau dan lahan sekitar sehingga keseimbangan
antara kepentingan eksploitasi dan kemampuan daya dukung perairan danau serta
fungsi ekosistem danau bagi keperluan kehidupan biota secara keseluruhan tetap
terjaga. Pemanfaatan ekosistem danau didasarkan kepada pertimbangan bahwa
perairan danau berfungsi selain untuk habitat biota air (ikan) juga berperan
sebagai daerah reservat dan konservasi bagi satwa lainnya yang hidup dan tinggal
di perairan danau untuk melakukan sebagian atau keseluruhan daur hidupnya.

2.2 Deskripsi Ikan


2.2.1 Ikan Betok
Betok (Gambar 2) adalah nama sejenis ikan yang umumnya hidup liar di
perairan tawar. Ikan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti bethok
atau belhik (Jawa.), puyu (Malaysia.) atau pepuyuk (Bahasa Banjar). Dalam
Bahasa Inggris dikenal sebagai climbing gouramy, terlihat dari kemampuannya
memanjat ke daratan. Nama ilmiahnya adalah Anabas testudineus (Bloch 1792)
dari kelas Actinopterygii, ordo Perciformes, famili Anabantidae dan genus
Anabas (Kottelat et al. 1993).

Gambar 2. Ikan betok (sumber: www.myfishing.org modifikasi)

Ikan betok umumnya berukuran kecil dengan panjang maksimum sekitar 25


cm, namun kebanyakan lebih kecil. Rumus sirip meliputi D XVII-XVIII 8-10, P I

7
13-14, V 15, A VIII-XI 9-11, C17, LL 28-32 (Kottelat et al. 1993). Ikan betok
umumnya ditemukan di rawa, sawah, sungai kecil dan parit, serta di kolam
yang mendapatkan air banjir atau berhubungan dengan saluran air terbuka.
Dalam keadaan normal, sebagaimana ikan umumnya, betok bernafas dalam
air dengan insang. Akan tetapi betok juga memiliki kemampuan untuk
mengambil oksigen langsung dari udara karena adanya organ labirin. Kadang-
kadang juga dapat berjalan di darat manakala kondisi perairan mengalami
kekeringan (Binoy & Thomas 2003). Binoy & Thomas (2003) juga
menambahkan bahwa ikan ini tersebar luas di India dan beberapa negara
dibagian selatan sampai timur Asia.

2.2.2 Ikan Mujair


Menurut Webb et al. (2007), nama umum ikan mujair adalah Tilapia
mozambique atau Mozambique mouth brooder, Kurper atau mud bream (south
Africa), ikan mujair (Indonesia). Nama ilmiahnya adalah Orechromis
mossambicus (Peters 1852) dari kelas Actinopterygii, ordo Perciformes, famili
Cichlidae dan genus Oreochromis (Gambar 3).

Gambar 3. Ikan mujair (foto oleh: Mawardi)

Ikan mujair mempunyai bentuk badan pipih dan bulat, kepala bagian atas
cembung, sirip dada hampir sama atau lebih panjang dari panjang kepala, sirip
perut sampai ke dubur. Warna kebanyakan abu-abu dan sebagian hitam. Panjang
total ikan mujair jantan berkisar antara 30-40 cm dan ikan betina berkisar antara
25-33 cm (Webb et al. 2007). Bobot maksimum 1.130 g dan umur maksimum
mencapai 11 Tahun. Rumus sirip meliputi D.XVIII.13, P.16, V.16, A.17 dan

8
C.18. Ikan mujair hidup berkelompok di daerah reservoir, sungai, rawa dan aliran
anak sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang. Ikan ini juga mempunyai
kisaran terhadap salinitas yang lebar, baik pada perairan tawar maupun laut
(Philippart & Ruwet 1982 in Henna et al. 2005).
Ikan mujair berasal dari Afrika, yaitu sekitar dataran rendah Zambezi, Shire
dan dataran pantai delta Zambezi sampai pantai Angloa. Pada saat ini, ikan mujair
telah tersebar luas sekurang-kurangnya ke-90 negara di dunia (Webb et al. 2007).
Keberadaan ikan mujair yang berlimpah akan menjadi gangguan terhadap ikan-
ikan lain, bahkan dapat menghilangkan ikan-ikan asli yang hidup di perairan
tawar. Ikan-ikan asli di beberapa danau dan reservoir di India dan Srilangka
mengalami penurunan dengan di introduksinya ikan mujair (O. mossambicus) (de
Silva 1988, Bhagat & Dwivedi 1988). Dampak introduksi ikan mujair terhadap
komunitas akuatik meliputi adanya predasi, persaingan untuk ruang dan makanan,
vektor terhadap adanya penyakit yang patogen, merubah lingkungan abiotik
(kualitas air).
Fuselier (2001) telah melakukan penelitian terhadap dampak introduksi ikan
mujair pada danau-danau di Meksiko, hasilnya menunjukkan terjadinya
penurunan terhadap populasi ikan endemik pupfishes yang menyebabkan
terbatasnya akses sumber daya makanan dan kondisi sub-optimal untuk bertahan
hidup. Fuselier (2001) juga menambahkan pemangsaan langsung oleh ikan
mujair terhadap telur ikan dan ikan pupfish yang kecil pada danau alami
berkontribusi terhadap penurunan populasi.

2.3 Pertumbuhan Ikan


2.3.1 Hubungan Panjang Bobot
Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya menyangkut penentuan ukuran
badan sebagai suatu fungsi dari umur. Von Bertalanffy telah mengembangkan suatu
model matematik bagi pertumbuhan individu (Spare & Venema 1999). Pola
pertumbuhan ikan dapat didekati dengan hubungan panjang dan bobot. Panjang dan
bobot merupakan dua komponen dasar biologi dalam spesies ikan. Hubungan panjang
bobot ikan merupakan parameter utama untuk menduga stok suatu ikan (Ekelemu et
al. 2006). Penelitian terhadap hubungan panjang bobot telah banyak dilakukan antara
lain oleh Spare & Venema (1999); Kimmerer et al. (2005); Pervin & Murtuza (2008);

9
Rahardjo & Simanjuntak (2008); Manik (2009).
Pola pertumbuhan tubuh ikan betok khususnya ikan jantan, betina maupun
gabungan di perairan rawa sekitar Desa Teratak Buluh adalah allometrik positif
(Pulungan & Amin 1990). Mustakim (2008) menemukan bahwa pola
pertumbuhan ikan betok jantan di habitat rawa adalah isometrik sedangkan ikan
betina allometrik positif, di sungai dan danau pola pertumbuhan ikan jantan dan
betina adalah allometrik positif. Riedel (1976) melaporkan bahwa Tilapia
mossambica di danau Moyua memiliki pola pertumbuhan allometrik. Bataragoa
& Rondo (1990) melaporkan bahwa pertumbuhan ikan mujair di Danau Mooat
adalah allometrik negatif. Sedangkan pola pertumbuhan ikan mujair di Danau
Galela baik jantan maupun betina adalah allometrik negatif (Abdullah 2005).

2.3.2 Faktor kondisi


Faktor kondisi merupakan suatu angka yang menunjukkan kegemukan
ikan. Dari sudut pandang nutrisional, faktor kondisi merupakan akumulasi lemak
dan perkembangan gonad (Le Cren 1951 in Rahardjo & Simanjuntak 2008).
Nikolsky (1969) menyatakan bahwa faktor kondisi secara tidak langsung
menunjukkan kondisi fisiologis ikan yang menerima pengaruh dari faktor intrinsik
(perkembangan gonad dan cadangan lemak) dan faktor ekstrinsik (ketersediaan
sumber daya makanan dan tekanan lingkungan. Selain menunjukkan kondisi ikan,
faktor kondisi juga memberikan informasi kapan ikan memijah (Weatherley &
Rogers, 1978; Hossain et al. (2006) in Rahardjo & Simanjuntak 2008).
Mustakim (2008) melaporkan nilai faktor kondisi ikan betok selalu
berfluktuasi baik pada jantan maupun betina pada masing-masing habitat, faktor
kondisi ikan jantan berkisar antara 0,98-1,89 dan betina antara 0,89-1,12. Secara
umum nilai faktor kondisi ikan betok jantan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan ikan betina karena energi yang diperoleh ikan betina diinvestasikan lebih
besar untuk perkembangan gonad (Mayekiso & Hecth 1990). Faktor kondisi
ikan mujair di Danau Mooat berkisar antara 1.30-2.16 (Bataragoa & Rondo
1990). Menurut laporan Rejeki (1994) di perairan Situ Gede faktor kondisi ikan
mujair jantan sebesar 1.70 sedangkan betina sebesar 1.78.

10
2.3.3 Pertumbuhan
Estimasi parameter pertumbuhan merupakan langkah awal untuk
memperkirakan model dinamika dari suatu sumber daya yang bertujuan sebagai
acuan dalam pengelolaan sumber daya perikanan (Tzeng & Yeh 1998).
Mustakim (2008) melaporkan bahwa dugaan parameter pertumbuhan Von
Bartalanffy ikan betok diperoleh nilai (K dan L ∞ ) di rawa masing-masing 0,73/th
dan 214,2 mm dengan persamaan Lt = 214,2 (1-e-0,73(t+0,13)), sungai masing-
masing 0,66/th dan 204,23 mm dengan persamaan Lt = 204,23 (1-e-0,66(t+0,14)) dan
danau masing-masing 1,30/th dan 200,55 mm dengan persamaan Lt = 200,55 (1-e-
1,3(t+0,072)
). Yuliastuti (1988) menduga nilai koefisien pertumbuhan ikan mujair di
waduk Selorejo dengan menggunakan regresi Ford-Walford sebesar 0,286/th
dengan L ∞ sebesar 34,66 cm dan umur ikan pada saat panjangnya sama dengan
nol (t 0 ) = -0,56 th. Pendugaan parameter pertumbuhan ikan mujair di Sri Langka
diperoleh nilai K= 0,48/th dan L∞ = 39,3 cm (de Silva 1991). Amir (1995)
melaporkan bahwa dari pengukuran dugaan parameter pertumbuhan diperoleh
nilai K dengan metode Gulland dan Holt Plot sebesar 0,1/bln, L ∞ = 26,3 cm dan
t 0 = -0,13 bulan, dengan persamaan Lt = 26,3 (1-e-0,1(t+0,13)).
Perbedaan nilai K dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti makanan, suhu
dan kondisi lingkungan (Weatherley 1972). Menurut Sulistiono et al. (2001)
makanan yang berlimpah berpengaruh terhadap pertumbuhan yang cepat.

2.4 Reproduksi Ikan


2.4.1 Waktu dan Tempat Pemijahan
Pulungan & Amin (1993) melaporkan bahwa pemijahan ikan betok di
perairan Teratak Buluh dapat berlangsung sepanjang tahun. Waktu pemijahan ikan
betok di Danau Melintang terjadi pada musim penghujan dan terjadi setiap bulan
(Mustakim 2008). Musim pemijahan pada kebanyakan spesies ikan di daerah
tropis adalah pada musim penghujan, karena pada saat itu air melimpah bahkan
cenderung banjir (Welcomme 1985). Lagler (1972) menambahkan bahwa
melimpahnya air pada suatu perairan akan mempengaruhi berubahnya ketinggian
permukaan air yang akan merangsang ikan untuk melakukan pemijahan.
De Silva (1991) menyatakan bahwa perkembangbiakan ikan mujair dalam

11
reservoir adalah menguntungkan, karena juvenil ikan akan berekspansi ke zona
litoral selama musim hujan untuk memanfaatkan sumber makanan. Pemijahan
meningkat selama periode musim kemarau, ketika penurunan tinggi air relatif
kecil dari bulan ke bulan hingga mencapai tingkat kedalaman air minimum dari
reservoir. Pemijahan ikan mujair di waduk Selorejo diperkirakan tersebar pada
perairan waduk bagian selatan (dekat muara Sungai Konto). Hal itu sesuai dengan
profil dasar perairan yang diinginkan oleh ikan mujair untuk membuat sarang
yaitu lumpur berpasir (Wardoyo & Sukimin 1978 in Amir 1995).

2.4.2 Fekunditas
Pulungan & Amin (1993) melaporkan bahwa fekunditas ikan betok di
perairan Teratak Buluh antara 712-8224 butir. Fekunditas ikan betok di Danau
Arang-Arang Jambi berkisar antara 12.300-12.725 butir (Samuel et al. 2002). Di
Danau Melintang fekunditas ikan betok berkisar antara 6.188-48.414 butir
(Mustakim 2008).
Fekunditas ikan mujair di waduk Selorejo pada ukuran 8,9-24,3 cm
berkisar antara 87-1.347 butir, pada ukuran 8,9-12,9 cm fekunditas rata-ratanya
sekitar 357 butir. Fekunditas yang tinggi pada jenis ikan, diduga merupakan
mekanisme dan strategi untuk meningkatkan jumlah telur serta laju pertumbuhan
larva ikan (Bagenal 1973). Team TAB-BIOTROP (1985) telah mengukur
fekunditas ikan mujair di Waduk Bening yang menyatakan bahwa ikan mujair
untuk seluruh stadia pemijahannya diperkirakan fekunditasnya mencapai 8.000
butir. Rondo (1977) in Bataragoa & Rondo (1990) melaporkan bahwa fekunditas
ikan mujair di danau Tondano berukuran panjang 115-215 mm dan berat 30-226
g berkisar antara 324-1.618 butir. Di danau Mooat fekunditas ikan mujair
berkisar antara 76-686 butir (Bataragoa & Rondo 1990).

2.4.3 Ukuran Pertama Ikan Matang Gonad


Menurut laporan Pulungan & Amin (1993) di perairan Teratak Buluh ikan
betok jantan mulai mengalami matang gonad pertama pada ukuran 7,2 cm dan
betina pada ukuran 6,8 cm. Ukuran pertama kali matang gonad ikan betok di
Danau Melintang pada habitat rawa untuk ikan jantan yaitu 106-107 mm dan
betina 96-97 mm, pada habitat danau ikan jantan 106-107 dan betina pada

12
ukuran 109-110 (Mustakim 2008).
Soenarjanto (1977) melaporkan bahwa ikan mujair di Waduk Selorejo
memijah pertama kali pada ukuran 13-15 cm. Ukuran pertama matang gonad
ikan mujair di Danau Mooat adalah 7,2 cm (Bataragoa & Rondo 1990).

2.5 Kebiasaan Makanan


Mustakim (2008) melaporkan bahwa ikan betok di Danau Melintang
termasuk ikan omnivora yang cenderung ke karnivora, makanan utamanya adalah
insekta sedangkan makanan lainnya adalah ikan, krustase, serasah (tumbuhan) dan
plankton. Abdullah (2005) menyatakan bahwa makanan utama ikan mujair adalah
Chlorophyceae dan makanan tambahannya adalah Bacillariophyceae. Berbagai
hasil penelitian mengemukakan bahwa ikan mujair adalah pemakan plankton,
detritus dan juga makrofita (Pittman et al. (1998); Bhakta & Bandyopadhyay
2007). Hal ini hampir sama dengan makanan dari genus yang sama (Oreochromis)
(Kariman, Shalloof & Khalifa 2009). Bowen (1976, 1982) in Webb et al. (2007)
berpendapat bahwa umumnya jenis Tilapia termasuk O. mossambicus mengganti
cara memakan (contohnya dari herbivor ke detrivor atau antara pemakan
fitoplankton dan zooplankton). Hal ini berkaitan dengan pola memakan yang
insidental.

2.6 Sifat Fisik, Kimiawi, dan Biologi Air


Walk et al. (2000) menyatakan bahwa suhu tinggi akan berpengaruh
langsung terhadap proses fisiologis pada beberapa jenis ikan dan menurunkan
kelimpahannya di perairan. Bagi ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu
perairan pada musim penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk
melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Suhu juga memengaruhi
distribusi ikan dan kelimpahan makanan di suatu perairan.
Ikan mujair mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar salinitas,
temperatur air yang tinggi, oksigen terlarut yang rendah, dan konsentrasi ammonia
yang tinggi dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya yang umum untuk
budidaya (Webb et al. 2007). Huet (1971) menyatakan ikan mujair tahan
terhadap daerah yang bersuhu panas dan optimalnya pada suhu 200C, untuk
perkembangan berkisar antara 220C-320C, suhu terendah mencapai 120C.

13
Philippart & Ruwet (1982) menyatakan bahwa toleransi ikan mujair terhadap
salinitas berkisar antara 0-60 ‰, suhu terendah berkisar antara 8-15OC dan
maksimum pada suhu 39-400C. Pada kondisi yang ekstrim (lethal) kisaran
toleransi terhadap suhu berkisar antara 41-420C (Philippart & Ruwet 1982;
Stauffer 1986). Beberapa studi tentang kisaran toleransi ikan mujair dan famili
Ciclidae lainnya terhadap suhu telah dilaporkan (Allanson et al. 1971; Chervinski
& Lahar 1976). Chen (1976) melaporkan bahwa suhu optimal perairan untuk
memijah bagi ikan mujair berkisar antara 20-350C, dimana suhu 22-240C dan
260C merupakan suhu optimal yang terbaik untuk reproduksi. Mustakim (2008)
melaporkan kisaran suhu untuk perkembangan ikan betok berkisar antara 28,00C-
30,020C. Balarin & Haller (1980) mengemukakan ikan mujair tahan terhadap kadar
O 2 kurang dari 5,0 ppm. Kisaran kadar O 2 ikan betok di Danau Melintang berkisar
antara 1,97-4,75 mg/l (Mustakim 2008).

14

Anda mungkin juga menyukai