BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
atau sebagian yang disebabkan oleh trauma fisik, kekuatan sudut, tenaga, keadaan
tulang, dan jaringan lunak (Price, 2006). Fraktur juga dikenal dengan istilah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan, sudut,
tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson,
2006). Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan pembuluh darah di
sekitarnya karena tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan, tetapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
berakibat pada rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Smeltzer dan Bare.
2002).
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya
penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater mayor langsung
terbentur dengan benda keras. Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan
fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan yaitu keadaan
yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau underlying
1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan hasil
2
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes
RI tahun 2013 angka kejadian cidera mengalami peningkatan dibandingkan pada hasil
tahun 2007. Di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain
karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Kecenderungan
prevalensi cedera menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,5 % (2007) menjadi 8,2 % (2013).
Prevalensi cedera di Sumatera Barat disebabkan oleh sepeda motor (49,6%), transportasi
darat (5,4%), dan jatuh (33,2%). Prevalensi cedera patah tulang di Sumatera Barat
mencapai 7,3% (Riskesdas Depkes RI, 2013; Riskesdas Depkes RI, 2007).
ataupun Open Reduction External Fixation (OREF) tetapi ada juga yang
Open Reduction And Internal Fixation atau ORIF merupakan salah satu
(Price & Wilson, 2003). Keuntungan perawatan fraktur metode ini adalah
memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada di dekatnya, dan mencapai
stabilitas fiksasi yang memadai, dan tidak perlu berulang kali memasang gips atau
alat-alat stabilisasi lainnya, serta perawatan rumah sakit dapat ditekan seminimal
kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama
stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas,
serabut saraf perifer, lalu memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari
beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di
mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa
yaitu tentang adanya endorfin. Endorfin merupakan zat penghilang rasa nyeri
yang diproduksi oleh tubuh. Semakin tinggi kadar endorfin seseorang, semakin
ringan rasa nyeri yang dirasakan. Produksi endorfin dapat ditingkatkan melalui
serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini
dengan memberikan obat opioid, non opioid dan analgetik (Burst, 2011).
farmakologi dianggap lebih efektif dan efisien serta signifikan dalam mangatasi
nyeri, dan realita di praktek klinik khususnya di rumah sakit kebijakan pimpinan
mengatasi keluhan nyeri pasien (Novita, 2012). Peran perawat sangat penting
Menurut Potter & Perry (2010), tindakan non farmakologi merupakan terapi yang
(TENS), pemijatan, tusuk jarum, aroma terapi, serta kompres hangat dan dingin
digunakan untuk mengurangi nyeri dan edema, karena akan mengurangi aliran
kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.
Mekanisme lain yang mungkin bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi
Berdasarkan Evidence Based Nursing ( EBN) oleh Agung Kristanto (2016) yang
Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF)” sudah teruji pada pasien
Lewis & Miller (2008) dan Block (2010) terkait efektifitas Cold Pack dalam
megurangi nyeri pada kasus ortopaedi ringan, sedangkan pada kasus ortopaedi
berat menggunakan perendaman air es. Namun demikian dari segi efisiensi
penggunaan cold pack lebih dianjurkan. Melihat paparan diatas kita bisa melihat
bahwa kompres dingin dapat menurunkan nyeri salah satunya nyeri akibat fraktur
pada tulang. Dengan berkurangnya nyeri maka pasien akan bisa segera melakukan
cold pack (dry ice). Cold Pack adalah pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu.
Bentuknya berupa gel dalam kontener yang tidak mudah pecah atau bocor.
digunakan cold pack sebagai media untuk melakukan kompres dingin maupun
6
dibanding dengan es batu. Jika es batu digunakan ia akan habis dan berubah
menjadi gas karbon diosida, sehingga hanya dapat digunakan sekali saja. Cold
pasien dengan masalah ortopedi yang merawat pasien dengan trauma dan masalah
muskuloskeletal yaitu trauma centre dan merupakan rumah sakit tipe A rujukan
prima dan komprehensif pada setiap pasien yang dirawat. Berdasarkan survey
Oleh sebab itu perlu dilakukan terapi non farmakologi yaitu terapi untuk
femur (dekstra) 1/3 distal terbuka post ORIF dengan aplikasi cold pack untuk
mengurangi nyeri di ruangan Trauma Centre RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun
2017.
7
B. Rumusan Masalah
bagian ujung femur dengan adanya luka terbuka akibat trauma. ORIF adalah
pada post operasi ortopedi. Penanganan nyeri dengan teknik non farmakologi
salah satunya dengan aplikasi cold pack untuk mengurangi nyeri. Berdasarkan
hasil observasi di ruangan Trauma Centre RSUP Dr. M. Djamil Padang terlihat
keperawatan pada pasien fraktur femur distal post ORIF dengan aplikasi cold
pack untuk mengurangi nyeri di ruang Trauma Centre RSUP Dr. M. Djamil.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
dekstra 1/3 tengah terbuka post ORIF dengan aplikasi cold pack untuk
Padang.
2. Tujuan Khusus
fraktur femur.
femur.
D. Manfaat Penulisan
aplikasi cold pack sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi skala
nyeri.
masukan tentang asuhan keperawatan pada pada pasien fraktur femur post