Anda di halaman 1dari 11

Menurut Lukman dan Ningsih (2012), salah satu gejala dari

fraktur adalah nyeri terus menerus dan bertambah berat pada bagian

yang fraktur akibat terputusnya kontinuitas tulang akibat suatu trauma

(kecelakaan). Pada hari pertama sampai beberapa hari post fraktur

merupakan fase inflamasi dari penyembuhan tulang, dimana pada fase

ini terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi

pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen

tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah.

Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih

besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Pada fase ini terjadi

pembengkakan dan nyeri hebat (Smeltzer dan Bare, 2002)

Nyeri post operasi orthopedi merupakan nyeri bersifat akut

(Respond, 2008). Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan

emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan

jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal

kerusakan sedemikian rupa (Herdman, 2015). Pembedahan

merupakan suatu keadaan dimana cedera jaringan tubuh sengaja

dibuat. Proses fisik seperti insisi, pemotongan jaringan, pengambilan

jaringan, pemasangan implant akan menstimulasi ujung syaraf bebas

dan nosiseptor (Rowlingson, 2009).

Penggunaan terapi nonfarmakologi yang bisa menjadi pilihan

menurut Potter & Perry (2006) adalah pendekatannya non invasif,

resikonya rendah, tidak mengeluarkan biaya yang banyak, mudh


dilakukan, dan berada pada lingkup keperawatan. Intervensi yang

diberikan bisa memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas

pasien, merubah respon psikis, mengurangi rasa takut, dan

memberikan pasien kekuatan untuk mengontrol nyeri (Black& Hawks,

2009). Salah satu Trerapi nonfarmakologi yang sudah banyak

dikembangkan untuk mengurangi nyeri pasca pembedahan adalah

dengan terapi stimulsi kulit dengan cara kompres dingin.

Mekanisme kompres dingin dalam menurunkan nyeri adalah

dengan menghambat hantaran pada impuls syaraf nosiseptor yaitu

serabut syaraf yang terletak dikulit yang berfungsi memberitahu otak

tentang adanya stimulus berbahaya atau nyeri (Potter &Perry, 2014)

Sehingga apabila hantaran ini dihambat maka nyeri yang akan

diterjemahkan otak akan berkurang. (Pinzon, 2014). Hal ini sesuai

penelitian yang dilakukan oleh (Shaik, et al, 2015) yang menyatakan

bahwa perendaman dengan air es efektif untuk mengurangi nyeri

ringan sampai sedang. Dalam literature review yang dilakukan oleh

(Jon, 2010) menyatakan bahwa kompres dingin mempunyai pengaruh

yang signifikan menurunkan nyeri dibanding tidak dilakukan

pengobatan, serta kompres dingin ini tidak menyebabkan kecanduan

seperti halnya pada pengobatan anti nyeri dengan obat atau

farmakoterapi.

Implementasi pada kasus ini adalah dengan terapi

nonfarmakologi dengan menerapkan EBN aplikasi cold pack pada


pasien post ORIF. Cold pack merupakan inovasi terbaru dalam

memberikan kompres. Kompres pada tubuh bertujuan untuk

meningkatkan perbaikan dan pemulihan jaringan. Efek dingin dapat

meredakan nyeri dengan memperlambat kecepatan konduksi saraf dan

menghambat impuls saraf (Kozier & Erb, 2009).

Kompres dingin dengan cold pack adalah suatu metode

penggunaan suhu rendah yang dapat menimbulkan efek fisiologis.

Terapi dingin diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan

memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang

mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja

adalah persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi

nyeri (Andi, 2013). Selain memiliki efek samping yang minimal,

penggunaan cold pack juga tidak memakan biaya yang tinggi serta

tidak memerlukan tindakan invasif dalam pemberiannya.

Setelah dilakukan intervensi selama 2 hari dengan 2 sesi

pemberian kepada pasien, didapatkan bahwa skala nyeri menurun dari

skala nyeri 6 menjadi skala nyeri 2. Untuk sesi pertama terjadi

penurunan skala nyeri dari 6 menjadi skala nyeri 3 setelah empat kali

pemberian cold pack. Untuk sesi kedua terjadi penurunan skala nyeri

dari skala nyeri 5 menjadi skala nyeri 2 setelah empat kali pemberian

cold pack. Pasien mengatakan merasa rileks dan selama dan setelah

diberikan cold pack. Pasien mengatakan nyeri setelah operasi yang

dirasakannya sudah berkurang walaupun terkadang nyeri masih


timbul. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Jon (2010) dan Devi (2015) bahwa kompress dingin dapat

menurunkan nyeri pada pasien pasca operasi ortopedi.

a. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Kerusakan

Sistem Muskuloskeletal

Gangguan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam

kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu

atau lebih ekstremitas (NANDA, 2015). Gangguan mobilitas fisik

bisa dikarenakan ketidakmampuan anggota gerak untuk melakukan

pergerakan fisik karena kerusakan dari unsur atau komponen anggota

gerak tersebut. Fraktur adalah suatu kondisi dimana kontinuitas

jaringan tulan dan/atau tulang rawan terputus disebabkan oleh ruda

paksa (Smeltzer & Bare, 2013).

Menurut Smeltzer & Bare (2002), fraktur adalah terputusnya

kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur

terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar daripada yang mampu

diabsorpsi olehnya. Meskipun tulang patah, jaringan lunak

disekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan

lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon,

kerusakan saraf dan pembuluh darah.

Hal tersebut menyebabkan keterbatasan gerak bagi penderita

fraktur. Latihan rentang gerak sendi merupakan hal yang sangat

penting bagi pasien sehingga setelah menjalani operasi pemasangan


ORIF, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang

diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Banyak pasien

yang tidak melakukan gerakan pada bagian yang fraktur karena takut

untuk menggerakkan kakinya, takut luka semakin parah, ataupun

karena nyeri bila digerakkan.

Penyembuhan tulang akibat fraktur membutuhkan waktu yang

lama, menurut Wahid (2013), ada lima stadium penyembuhan tulang,

yaitu: stadium satu (fase inflamasi) yaitu pembentukan hematoma

berlangsung saat terjadinya fraktur sampai 2-3 minggu. Stadium dua

yaitu proliferasi seluler, stadium tiga yaitu pembentukan kallus, fase

ini berlangsung pada hari ke 14-21 setelah fraktur. Stadium empat

yaitu konsilidasi fase ini berlangsung pada minggu 3-10 setelah

fraktur dan terakgir stadium lima yaitu remodelling fraktur yang telah

dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat, selama beberapa

bulan atau tahun, pergeseran kasar ini dibentuk tulang oleh proses

resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus, fase ini

berlangsung pada minggu ke 10 sampai dengan selesai.

Implementasi yang telah dilakukan pada kasus ini adalah

bantuan perawatan diri dan perawatan imobilisasi serta terapi latihan.

Bantuan perawatan diri dilakukan dengan menyediakan lingkungan

yang nyaman bagi pasien, membantu pasien menerima kebutuhan

ketergantungan, mendorong kemandirian pasien untuk melakukan


aktivitas sehari-hari, namun bantu pasien jika tidak mampu

(Wilkinson & Ahern, 2008).

Untuk intervensi perawatan imobilisasi dilakukan dengan cara

memantau kulit dan tonjolan tulang, memonitor sirkulasi, gerakan,

sensasi ekstremitas yang terkena, memantau komplikasi mobilisasi,

menginstruksikan pentingnya gizi yang cukup untuk penyembuhan

tulang, dan memasang pagar tempat tidur (Wilkinson & Ahern, 2008).

Imobilisasi akan membuat perubahan muskulosketelal seperti

kehilangan daya tahan, penurunan masa otot dan atropi sehingga perlu

dilakukan perawatan imobilisasi (Handiyani, 2012). Resiko

terjangkitnya mikroorganisme patogen ini, diakibatkan karena tidak

adekuatnya pertahanan primer seperti kerusakan kulit dan pertahanan

sekunder seperti penurunan Hb.

Untuk intervensi terapi latihan adalah salah satu upaya

pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan

latihan-latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Kisner

dalam Damping, 2012). Yang mana tujuan dari terapi latihan

rehabilitasi untuk mengatasi gangguaan fungsi dan gerak, mencegah

timbulnya komplikasi, mengurangi nyeri, dan edema serta melatih

aktivitas fungsional akibat operasi. Perawatan rehabilitasi pada pasien

fraktur mencangkup terapi fisik, yang terdiri dari berbagai macam tipe

latihan: latihan isometrik otot adalah pengesetan otot dan mencegah

atrofi otot (Smeltzer & Bare, 2009). Sedangkan latihan isotonic /


latihan ROM (Range Of Motion) aktif dan pasif. ROM (Range Of

Motion) adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan

oleh sendi yang bersangkutan. Tujuan ROM adalah dapat

mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot,

mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian. Latihan ROM

meliputi, latihan ROM pasif dan latihan ROM aktif (Damping, 2012).

Didukung oleh penelitian Putri dan Sarifah (2015), bahwasanya ada

pengaruh latihan ROM terhadap gerak sendi ekstremitas atas pada

pasien post operasi fraktur.

Metode penatalaksanaan bedah fraktur yang paling sering

dilakukan adalah ORIF (Open Reduction and Internal Fixation).

ORIF merupakan tindakan stabilisasi tulang patah yang telah

direduksi dengan sekrup, plat, paku, dan pin logam. Pada evaluasi

terakhir tanggal 30 Desember 2017, didapatkan masalah kerusakan

mobilitas fisik belum teratasi dan intervensi dilanjutkan oleh perawat

ruangan.

b. Resiko Infeksi berhubungan dengan Prosedur Invasif

Resiko infeksi adalah meningkatnya resiko terinvasi oleh

mikroorganisme patogen (Herdman, 2015). Resiko terjangkitnya

mikroorganisme patogen ini, diakibatkan karena tidak adekuatnya

pertahanan primer seperti kerusakan kulit dan pertahanan sekunder

seperti penurunan Hb. Sesuai dengan pernyataan Wilkinson (2011),

resiko infeksi mempunyai arti bahwa seseorang akan beresiko


terhadap invasi atau masuknya organisme patogen, yang mempunyai

faktor resiko pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat akibat

adanya trauma atau luka pada kulit.

Implementasi yang dilakukan pada kasus ini adalah

pengontrolan infeksi, manajemen nutrisi, pemberian antibiotik.

Pengontrolan infeksi terhadap pasien menerapkan kewaspadaan

universal, dengan membatasi pengunjung, mencuci tangan sebelum

dan sesudah melakukan tindakan ke pasien, mengajari pasien dan

keluarga cara pencegahan infeksi seperti mencuci tangan dengan

langkah yang tepat, serta mengajarkan pasien dan keluarga mengenal

tanda dan gejala infeksi. Penggunaan larutan antiseptik untuk mencuci

tangan sangat efektif untuk pengendalian mikroorganisme (Potter &

Perry, 2005).

Manajemen nutrisi dilakukan dengan cara memotivasi pasien

untuk menghabiskan diit, menganjurkan pasien makan sedikit tapi

sering, dan menganjurkan pasien makan selagi hangat. Untuk

pemberian antibiotik diberikan obat Ceftriaxone 2x1 gram dengan rute

intravena. Pasien yang mengalami luka bedah akan beresiko terkena

infeksi sebesar 10% sampai 15% bila tidak dilakukan pencegahan

terhadap kejadian infeksi secara efektif dan efisien (Smeltzert & Bare,

2009).

Pada evaluasi akhir tanggal 30 Desember 2017 didapatkan

hasil paha kanan klien masih dibalut dengan tensokrep karena luka
bekas operasi masih belum kering,, pasien akan dilakukan perawatan

luka pada hari ketiga post operasi sekaligus dilakukan pembukaan

drain. Intervensi dilanjutkan dengan pemberian pendidikan kesehatan

tentang gejala infeksi, jadwal kontrol, dan cara perawatan luka di

rumah.

A. Evidence Based Nursing Practice (EBNP) : Aplikasi Cold Pack

Asuhan keperawatan yang diterapkan pada kasus ini dengan

menerapkan EBN aplikasi cold pack untuk mengurangi skala nyeri pada

pasien fraktur post ORIF. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang

dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2006).

Fraktur terjadi jika tulang terkena stres yang lebih besar dari

kemampuannya untuk mengabsorpsi. Stres dapat berupa pukulan

langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi

otot ekstrem (Smeltzer & Bare, 2006). Metode penatalaksanaan bedah

fraktur yang paling sering dilakukan adalah ORIF (Open Reduction and

Internal Fixation). ORIF merupakan tindakan stabilisasi tulang patah yang

telah direduksi dengan sekrup, plat, paku, dan pin logam. Nyeri pada

pasien pembedahan dilaporkan sebagai nyeri akut yang berada pada level

mild-severe (Haryani, 2015).

Salah satu terapi nonfarmakologis yang dapat menurunkan nyeri

adalah terapi stimulasi kulit dengan kompres dingin. Kompres dingin

adalah suatu metode dalam penggunaan suhu rendah setempat yang dapat

menimbulkan beberapa efek fisiologis (Price, 2005)


Kompres dingin menurunkan nyeri dengan menghambat hantaran

pada impuls syaraf nosiseptor yaitu serabut syaraf yang terletak dikulit

yang berfungsi memberitahu otak tentang adanya stimulus berbahaya atau

nyeri (Potter &Perry, 2014) Sehingga apabila hantaran ini dihambat maka

nyeri yang akan diterjemahkan otak akan berkurang. (Pinzon, 2014). Hal

ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh (Shaik, et al, 2015) yang

menyatakan bahwa perendaman dengan air es efektif untuk mengurangi

nyeri ringan sampai sedang. Dalam literature review yang dilakukan oleh

(Jon, 2010) menyatakan bahwa kompres dingin mempunyai pengaruh

yang signifikan menurunkan nyeri dibanding tidak dilakukan pengobatan,

serta kompres dingin ini tidak menyebabkan kecanduan seperti halnya

pada pengobatan anti nyeri dengan obat atau farmakoterapi.

Penerapan EBN ini diberikan pada pasien post ORIF dimana

penulis melakukan intervensi pada pasien dengan mengevaluasi terlebih

dahulu intensitas nyeri post pembedahan yang dirasakan oleh pasien,

setelah itu diterapkan EBN aplikasi cold pack untuk membantu mengatasi

nyeri post ORIF dan setelah intervensi diukur kembali skala nyeri pasien.

Prosedur pemberian cold pack dilakukan sebanyak 2 sesi dengan

empat kali pemberian setiap sesinya. Untuk sekali pemberian cold pack

diberikan selama 15 menit, kemudian dilepas selama 15 menit, dan begitu

seterusnya sampai empat kali pemberian selama 2 jam. Sesi pertama

adalah 3-4 jam post ORIF dan sesi kedua adalah 3-4 jam post mpemberian

analgetik di ruangan. Aplikasi cold pack dilakukan dengan cara pasien


dalam posisi telentang yang nyaman. Lalu cold pack yang sudah dibalut

tensokrep ditempatkan di sisi kiri dan kanan luka operasi ORIF. Selama

pemberian cold pack pasien diobservasi responnya terhadap intervensi.

Evaluasi pada pasien setelah pemberian cold pack sebanyak 2 sesi

didapatkan intensitas nyeri pasien berkurang dari skala nyeri 6 (sedang)

menjadi skala nyeri 2 (ringan). Untuk sesi pertama atau 3-4 jam post

ORIF terjadi penurunan nyeri dari skala 6 menjadi 3. Untuk sesi kedua

atau 3-4 jam post pemberian analgetik di ruangan terjadi penurunan nyeri

dari skala 5 menjadi 2.

Sementara itu, dilakukan pula pengukuran pada skala nyeri pada

pasien post ORIF atas indikasi fraktur femur dengan mendapatkan terapi

relaksasi nafas dalam didapatkan hasil bahwa selama 2 sesi pemberian

terapi nafas dalam terjadi penurunan skala nyeri dari skala nyeri 6 menjadi

skala nyeri 5 untuk sesi pertama. Untuk sesi kedua terjadi penurunan skala

nyeri dari skala nyeri 6 menjadi 4. Hal ini menunjukkan bahwa terapi

nonfarmakologi dengan aplikasi cold pack dapat menurunkan skala nyeri

pasien lebih maksimal dibandingkan terapi relaksasi nafas dalam.

Anda mungkin juga menyukai