Anda di halaman 1dari 90

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pelayanan public yang belum optimal di tambah dengan sering di temui maladministrasi

di Indonesia mendorong pemerintah mewujudkan tata pemerintahan yang baik (Good

Governance) dalam rangka Reformasi Birokrasi. Belakangan pemerintah semakin giat membuat

berbagai peraturan dalam tubuh birokrasi salah satunya dengan meluncurkan Grand Desain

reformasi birokrasi nasional melalui Perpres no. 81 tahun 2010 agar upaya reformasi birokrasi

dapat lebih baik dan terarah serta berkelanjutan. Seluruh kementrian mengikuti pelaksanaan

Grand design ini yang berada dibawah pengelolaan tim nasional reformasi birokrasi. Pencapaian

Negara yang strategis hendak diraih predikat bebas korupsi, peningkatan kapasitas dan

akuntabilitasnya, serta penguatan orientasinya ke arah perbaikan pelayanan publik. Untuk

Mempercepat pencapaian sasaran hasil tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi RI mengeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah

Birokrasi Bersih dan Melayani di lingkungan Instansi Pemerintah;

Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK)/Wilayah

Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) adalah suatu langkah cepat guna mencapai sasaran

reformasi birokrasi yang di harapkan pemerintah. Targetnya Secara umum adalah peningkatan

kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan

1
nepotisme (KKN), serta peningkatan pelayanan publik. Setiap instansi pemerintah diwajibkan

membangun percontohan (pilot project) pelaksanaan reformasi birokrasi pada tingkat unit kerja

melalui pembangunan zona integritas menuju WBK dan WBBM. Predikat Zona Integritas (ZI)

menuju WBK/WBBM merupakan gerbang untuk mewujudkan birokrasi bersih dan melayani.

Pembangunan ZI diharapkan dapat menjadi sebuah Keberhasilan yang meningkatkan

kepercayaan publik kepada kinerja pemerintah.

Rumah Tahanan (RUTAN) Kelas IIB Kotamobagu juga berusaha mendapatkan gelar

WBK.Dan sebagai langkah awal, pembuatan dan penandatanganan Perjanjian Integritas yang

disaksikan oleh pemangku kepentingan publik, tanda tangan merupakan indikator utama. dalam

penilaian. Mendukung kegiatan ini membutuhkan peran masyarakat yang di harapkan berperan

aktif dalam memantau, mengevaluasi, dan meningkatkan pencegahan fraud dan korupsi. Buat

kesepakatan kinerja yang jelas dan evaluasi apakah pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan apa

yang dikatakan dalam kesepakatan kinerja yang dimaksud. Peningkatan pelayanan masyarakat

harus ditingkatkan agar masyarakat bahagia. Untuk dapat mewujudkan hasil sesuai dengan nilai

yang telah ditentukan, maka berbagai sarana dan prasana serta berbagai action dilaksanakan.

Rutan Kotamobagu yang merupakan untuk kerja dari kementerian Hukum dan hak Asasi

Manusia Republik Indonesia yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di hukum,

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Hak Asasi Manusia. Rutan Kotamobagu

merupakan unit kerja yang Melakukan pelayanan dan perawatan terhadap para tersangka /

terdakwa. Melakukan pemeliharaan dan ketertiban Rutan.

2
Melakukan pengelolaan Rutan serta pelayanan Kunjungan, perawatan WBP dan pelatihan

kegiatan kerja, Pembinaan Kerohanian serta Melakukan urusan tata usaha Rutan.

Dalam implementasi pembangunan zona integritas menuju WBK dan WBBM di Rumah

Tahanan Negara kelas IIB Kotamobagu dalam pelaksanaannya berdasarkan komponen

pengungkit Melalui model yang dapat diuraikan lewat program Manajemen Perubahan, Penataan

Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, Penguatan

Pengawasan, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik merupakan komponen pengungkit yang

masing-masing di di bentuk Kelompok kerja(Pokja) diharapkan dapat menghasilkan sasaran

pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta peningkatan kualitas, namun nyatanya Rutan

kotamobagu setelah 2 tahun keiutsertaannya belum juga meraih Predikat WBK/WBBM.

Jika di amati pokja pelayanan publik paling dapat terlihat dan di rasakan langsung oleh

masyarakat karena di dalam pokja ini menyangkut ketersediaan fasilitas pelayanan public yang

ada beberapa belum tersedia di Rutan padahal itu adalah hal mendasar selain untuk pemenuhan

data dukung juga kewajiban Rutan dalam penyelenggaraan pelayanan public, padahal dalam

Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 Perawatan tahanan adalah proses pelayanan

tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan dari

Rumah Tahanan Negara (RUTAN) sehingga fungsi Rutan adalah melaksanakan program

perawatan; menjaga agar tahanan tidak melarikan diri; dan membantu kelancaran proses

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan (Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 58

Tahun 1999 tentang Perawatan tahanan). Pasal 22 ayat (1) Undang- undang No. 25 Tahun 2009

Tentang Pelayanan Publik diatur bahwa: “Setiap Penyelenggara wajib menyusun,

menetapkan,dan menerapkan Standar Pelayanan”.Adapun yang dimaksud dengan Standar

Pelayanan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

3
Publik adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan

acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada

masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.

Dalam penyusunan Standar Pelayanan dimaksud penyelenggara pelayanan publik wajib

mengikutsertakan Masyarakat dan Pihak Terkait serta mengacu pada ketentuan teknis yang telah

ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.“Setiap Penyelenggara”

yang terdapat dalam bunyi peraturan diatas terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.

25 Tahun 2009 yang berbunyi: “Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut

penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang

dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain

yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik”.

Berdasarkan Standart Pelayanan Publik yang di keluarkan ombudsman RI berdasarkan

UU No 25 Tahun 2002 Fasilitas Pelayanan Publik yang di maksud antara Lain Pelayanan

Terpadu Satu Pintu (PTSP), Parkiran Motor. Ruang Tunggu PTSP, Penunjuk Arah., Jalur

Disabilitaa, Ruang Advokat, Ruang Kesehatan dan Ruang Ibu Menyusui. Ruang Bermain Ramah

Anak (RBRA). Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 1) Penyelenggara berkewajiban

memberikan pelayanan dengan perlakukan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai

dengan peraturan perundang-undangan 2) Sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik

dengan perlakukan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang digunakan oleh orang

yang tidak berhak. Hal ini jelas menjelaskan bahwa harus menyediakan Fasilitas Khusus untuk

penyandang disabilitas dalam rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang juga

merupakan salah satu dari 6 Area Perubahan yang di tekankan untuk di perbaiki dan di

optimalkan

4
Termasuk juga mengenai mengenai ketersediaannya Fasilitas Publik seperti Ruang

Bermain Ramah Anak (RBRA) yang merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, dan juga Ruang Laktasi yang diatur mengenai penyediaan fasilitas khusus ruang

menyusui melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013

tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu.

Pengaturan tersebut tentu tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, pada Pasal 128 yang mengatur hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak

dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Hal hal ini sebenarnya sudah di sanggupi oleh Rutan

Kotamobagu dengan Surat Keputusan Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kotamobagu

Nomor: W27.Pas.Pas8-01.OT.01.04 Tahun 2022 Tentang Penetapan Standar Pelayanan Umum

Pada Rumah Tahanan Kelas IIb Kotamobagu. Di pertegas dengan maklumat pelayanan yang

bunyinya “ Dengan ini kami menyatakan sanggup menyelenggarakan pelayanan sesuai Standard

Operasional Pelayanan dengan motto MOTOTABIAN, MOTOTOMPIAAN BO

MOTOTANOBAN. Apabila kami tidak menepati janji, maka kami siap menerima sanksi sesuai

dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam pengamatan baru PTSP, Jalur

Disabilitas, Penujuk arah yang baru tersedia itupun belum optimal karena di PTSP masih banyak

keterbatasan dalam melaksanakan Pelayanan, kemudian untuk RBRS dan Ruang Menyusui

belum terlihat.

Berdasarkan hal itu dalam penelitian dilakukan kajian tentang Ketersediaan Fasilitas

Publik tersebut dalam menunjuang Zona Integritas Rutan Kotamobagu Menuju WBK/WBBM.

Dapat diketahui Sudah Dua Tahun Keikutsertaan Rutan Kotamobagu dalam upaya Meraih

5
Predikat WBP namun belum berhasil. Hal ini dinilai kurang baik karena berbagai upaya sudah di

lakukan.Namun belum adanya fasilitas Umum berupa RBRA serta Ruang Laktasi, hal ini menjadi

kesulitan dalam tahap penyesuaian program sehingga terdapat berbagai kesulitan dalam

mengimplementasikan program yang sudah ditetapkan. Mengakibatkan program kerja zona

integritas memiliki penafsiran yang berbeda dalam melaksanakan dan mengisi lembar dokumen

pembangunan zona integritas,pengerjaan yang tidak terencana serta masih banyak berkas yang

kurang sesuai yang di kumpulkan bahkan ada yang tidak di upload, hal ini membuat Harapan

untuk memiliki Predikat WBK akan sulit untuk di raih.

Berdasarkan fakta empiris ini penulis meneliti mengenai factor apa saja yang membuat

pelaksanaan pencanangan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi, terlebih dalam hal

peningkatan kualitas pembangunan fasilitas pelayanan publik. Sehingga penulis mengambil judul

penelitian mengenai “Kebijakan Pembangunan Zona Integritas dalam peningkatan ketersediaan

fasilitas pelayanan public Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kotamobagu”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan dari latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan

masalah yang perlu dikaji dan dibahas dengan pertanyaan penelitian. Bagaimana implementasi

kebijakan pembangunan zona integritas dalam peningkatan ketersediaan fasilitas pelayanan

publik di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kotamobagu

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu: menganalisis implementasi

kebijakan pembangunan zona integritas dalam peningkatan ketersediaan fasilitas pelayanan

publik di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kotamobagu. .

6
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan menghasilkan temuan konsep administrasi atau

kerangka teoritik terkait tercapainya Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah

Bebas Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani Di Rumah Tahanan Negara

Kelas IIB Kotamobagu

1.4.2 Manfaat Praktis

Melalui Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi Rutan Kotamobagu

dalam usaha meraih predikat Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas

Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB

Kotamobagu.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dimensi Kebijakan Dalam Administrasi Publik

Administrasi jika di artikan secara etimologi, administrasi berasal dari bahasa Latin

(Yunani) yang terdiri atas 2 (dua) kata, yaitu: “ad” dan “ministrate” yang berarti “to serve”

yang dalam bahasa Indonesia berarti melayani dan/atau memenuhi. Selanjutnya, beberapa pakar

memberikan definisi mengenai administrasi sebagai berikut:1). Dimock & Dimock (1978: 15).

Administrasi berasal dari kata “ad” dan “minister” yang berarti juga “to serve”. Jadi, dapat

dipahami bahwa yang dimaksud administrasi adalah suatu proses pelayanan atau pengaturan. 2).

Sondang P. Siagian (1983). Secara luas, pengertian administrasi adalah keseluruhan proses

kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. 3). Dunsire. Administrasi dapat diartikan

sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, kegiatan pengarahan, penciptaan prinsip-

prinsip implementasi kebijakan publik, kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan

mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan

individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik dan sebagai arena bidang

kerja akademik dan teoritik.

Keterbatasan-keterbatasan tersebut di atas secara langsung membantah anggapan yang

berlaku sebelumnya bahwa manajemen selalu dipahami sebagai kegiatan administrasi atau

mengacu pada pengelolaan arsip, laporan administrasi kepada atasan, dsb. Definisi administrasi

publik sangat bervariasi, bahkan sulit untuk dipertemukan. Variasi tersebut dapat dilihat pada

pendapat yang dikutip oleh Stillman II (1991) sebagai berikut:  

8
1). Dimock, Dimock dan Fox. Administrasi publik adalah produksi barang dan jasa yang

dirancang untuk melayani kebutuhan masyarakat konsumen. Definisi ini melihat administrasi

publik sebagai kegiatan ekonomi atau bisnis serupa, tetapi secara khusus menghasilkan barang

dan jasa publik. 2). Barton & Chappel. Melihat administrasi publik sebagai “pekerjaan

pemerintah” atau pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi ini menekankan

keterlibatan staf dalam penyediaan layanan kepada publik. 3). Negro & Negro. menjelaskan

bahwa administrasi publik adalah kerjasama kelompok dalam lingkungan publik, yang terdiri

dari tiga cabang, yaitu: Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif; berperan penting dalam pembentukan

kebijakan publik sehingga menjadi bagian dari proses politik; yang sangat berbeda dengan cara

administrasi swasta dan terkait erat dengan beberapa kelompok swasta dan individu dalam

pelayanan masyarakat. Definisi ini lebih menekankan proses institusional, yaitu bagaimana usaha

kerjasama kelompok sebagai kegiatan publik yang benar-benar berbeda dari kegiatan swasta. 1).

Starling. Melihat administrasi publik sebagai semua yang dicapai pemerintah atau dilakukan

sesuai dengan yang dijanjikan pada waktu kampanye pemilihan. Dengan kata lain, batasan

tersebut menekankan aspekaccomplishing side of government dan seleksi kebijakan

publik.2).Rosenbloom. Menunjukan bahwa administrasi publik sebagai pemanfaatan teori dan

proses-proses manajemen, politik, dan hukum untuk memenuhi mandat pemerintah dalam

rangka menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan masyarakat.3). Nicholas Henry. Memberi

batasan bahwa administrasi publik adalah suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan

praktek, dengan tujuan mempromosikan pemahaman terhadap pemerintah dalam hubunganya

dengan masyarakat yang diperintah dan untuk mendorong kebijakan publik agar lebih responsif

terhadap kebutuhan publik.

9
Dalam kaitannya dengan pendefinisian administrasi publik, Shafritz dan Russel (1997: 5-

41)berpendapat bahwa sulit memberikan satu definisi administrasi publik yang dapat diterima

semua pihak. Karena itu, Shafritz dan Russel memberikan definisi administrasi publik

berdasarkan

4 kategori, yaitu: 1). Definisi berdasarkan kategori politik menjelaskan Administrasi

publik sebagai “what government does” (apa yang dikerjakan pemerintah), baik langsung

maupun tidak langsung, sebagai suatu tahapan siklus pembuatan kebijakan publik, dan sebagai

kegiatan yang dilakukan secara kolektif karena tidak dapat dikerjakan secara individu.2).Definisi

berdasarkan kategori legal/hukum melihat administrasi publik sebagai penerapan hukum (low in

action), sebagai regulasi, sebagai kegiatan pemberian sesuatu dari penguasa “raja” kepada

rakyatnya dan sebagai bentuk “pengambilan paksa” terhadap pihak-pihak yang kaya untuk

dibagikan ke kalangan miskin, dimana pihak-pihak kaya merasa dirugikan harus tunduk dan

menaatinya.3). Dari segi kategori manajerial administrasi publik dipandang sebagai fungsi

eksekutif dalam pemerintahan, sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana

mencapai hasil melalui orang lain), sebagai mickey mouse yang dalam prakteknya merupakan

bentuk “akal-akalan” untuk menghasilkan sesuatu dengan anggaran yang besar tetapi dengan

hasil yang kecil, dan sebagai suatu seni dan bukan ilmu. 4). Dilihat dari kategori mata

pencaharian administrasi publik merupakan suatu bentuk profesi mulai dari tukang sapu sampai

dokter ahli operasi otak disektor publik dimana semua mereka tidak sadar bahwa mereka adalah

administratorpublik.

Dari semua batasan ini ada beberapa makna penting yang harus diingat berkenaan dengan

hakekat administrasi publik yaitu:1). Bidang tersebut lebih berkaitan dengan dunia eksekutif,

meskipun juga berkaitan dengan dunia yudikatif dan legislatif.2). Bidang tersebut berkenaan

dengan formulasi dan implementasi kebijakan publik.3). Bidang tersebut juga berkaitan dengan
10
berbagai masalah manusiawi dan usaha kerjasama untuk mengemban tugas-tugas pemerintah.4).

Meskipun bidang tersebut berbeda dengan administrasi swasta tetapi ia overlapping dengan

administrasi swasta.5). Bidang tersebut diarahkan untuk menghasilkan public goods dan

sevices.6). Bidang ini memiliki dimensi teoritis dan praktis.

2.2 Kebijakan Publik

Kebijakan publik sering dipahami sebagai instrument yang dipakai pemerintah untuk

memecahkan masalah publik secara teknokratis. Dalam arti pemerintah menggunakan

pendekatan rational choice untuk memilih alternatif terbaik guna memecahkan persoalan yang

dihadapi masyarakat. Kebijakan publik dalam defenisi yang mashur dari Dye adalah whatever

governments choose to do or not to do. Maknanya Dye hendak menyatakan bahwa apapun

kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Interpretasi

kebijakan menurut Dye di atas harus dimaknai dengan dua hal penting: pertama, bahwa

kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintahdan kedua, kebijakan tersebut mengandung

pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah (Indiahono, 2009:17).

Menurut William N. Dunn (dalam Inu Kencana Syafiee, 2006:106) kebijakan publik

adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau

pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti

pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas,

perkotaan dan lain-lain.

Adapun pandangan lain menurut Harbani Pasolong (2007:38), pada dasarnya ada

perbedaan antara konsep kebijakan dan kebijaksanaan. Kebijakan merupakan suatu rangkaian

alternatif yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu.Sedangkan kebijaksanaan

berkenaan dengan suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang

11
berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat dan lain-

lain.Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang

bermuara kepada keputusan tentang alternatif terbaik.Sedangkan kebijaksanaan selalu

mengandung makna melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan

tertentu.Kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi

dan kondisi setempat oleh pejabat yang berwewenang.Dengan perbedaan defenisi tersebut di

atas, maka seharusnya dalam implementasinya juga berbeda.

Pendapat yang disampaikan Nawawi dalam bukunya Public Policy (2009:9)

menyatakan bahwa berbagai tinjauan tentang kebijakan sebagai pemilihan kewenangan

(Authoritative Choice), yaitu respons pemilik kewenangan terhadap isu atau problem publik.

Oleh karena itu, kebijakan publik seharusnya mencerminkan berbagai hal berikut:

1. Bertujuan: kebijakan publik bermakna pencarian terhadap tujuan pemerintah yang

spesifik melalui aplikasi sumberdaya publik maupun pirvat yang teridentifikasi.

2. Berkaitan dengan pembuatan keputusan dan menguji coba konsekuensinya.

3. Terstruktur dengan aktor yang dapat diidentifikasi dan tahapan sequential yang dapat

ditemukenali.

4. Pada hakikatnya adalah politis, mengekspresikan hasil pemilihan dan prioritas program

eksekutif.

Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan multi

interpretasi.Sebagai contoh, Anderson memberi makna kebijakan sebagai perilaku aktor dalam

bidang kegiatan tertentu. Pengertian di atas sangat luas dan bisa diartikan bermacam-macam,

misalnya sang aktor dapat berupa individu atau organisasi; dapat pemerintah maupun non

12
pemerintah. Demikian pula

13
dengan istilah kegiatan tertentu bisa diartikan kegiatan administratif, politis, ekonomis dan lain-

lain. Di samping itu, bentuk kegiatannya pun luas dan multi interpretasi misalnya dapat berupa

pencapaian tujuan, perencanaan, program, dan sebagainya. Dengan demikian studi kebijakan

adalah studi tentang perilaku berbagai aktor dalam berbagai bidang kegiatan yang mempunyai

relevansi dengan sang aktor (Kusumanegara, 2010:1).

Suatu kebijakan seharusnya diperkaya dengan kerangka berpikir pengambilan

keputusan yakni mengekspresikan respons pertimbangan terhadap isu kebijakan, membantu

membentuk filosofi pemerintahan dan kerangka berpikir otoritas yang diyakini oleh pemerintah

dan menuju pada area kebijakan. Kebijakan publik dapat lebih mudah dipahami jika dikaji tahap

demi tahap, inilah yang menjadikan kebijakan publik menjadi penuh warna dan kajiannya amat

dinamis. Dalam tahapan kebijakan ini, kebijakan dipandang sebagai sebuah siklus yang

dimungkinkan akan terjadi evolusi kebijakan. Sebuah kebijakan akan melewati serangkaian

proses implementasi, monitoring dan evaluasi ( Indiahono, 2009:20-23).

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tak pernah ada masyarakat yang

terbebas dari isu dalam masyarakat politik mana pun, isu kebijakan publik itu tidak pernah henti;

ia terus berkembang secara dinamik, seirama dengan tingkat perkembangan masyarakat, budaya

politik yang berlaku dan karakter sistem politiknya.Dari waktu ke waktu yang berbeda

barangkali hanyalah daerah kebijakan (policy area) dan jenis isu yang berkembang. Makin

kompleks suatu masyarakat, makin kompleks masalah yang dihadapai, sudah tentu akan makin

kompleks dan beragam pula isu kebijakan yang berkembang dan di hadapi (Solichin Wahab,

2010:38).

Indiahono (2009:24-25), menyatakan bahwa setelah masalah publik masuk agenda

pemerintah, masalah publik tersebut harus melewati mekanisme politik untuk mendapatkan

solusi terbaik.Fase ini sering disebut sebagai tahapan formulasi dan legitimasi.
14
Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem

masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu kebijakan

tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual atau potensial;

tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat dari masalah-

masalah itu sendiri (William Dunn, 2003:218).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah

segala sesuatu yang menjadi pilihan untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah

dalam penyelenggaraan pemerintahannya sehubungan dengan proses pengambilan keputusan dan

pelaksanaanya.

Menurut Nugroho (2012:122-123) kebijakan publik atau Publik Policy dalam bukunya

Publik Policy adalah ”Any of State or Governmental (as the holder of the authority) decision to

manage publik life (as the sphere) in order to reach the misssion of the nation (remember, nation

in consist of two institutions : state and society )”. setiap keputusan yang dibuat oleh negara,

sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk

mengantar masyarakat pada masyarakat awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk

menuju masyarakat yang dicita-citakan.Kebijakan Publik menurut Dunn (dalam Pasolong, 2013)

adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau

pejabat pemerintahan pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti

pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas,

perkotaan dan lain-lain.

Menurut kamus admnistrasi publik, Chandler dan Plano (dalam hakim 24:2011)

kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada

untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Bahkan Chandler dan Plano juga

15
beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh

pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka

dapat hidup dan dapat ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah

pilihan atau strategi yang akan dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka

untuk mencapai tujuan dalm hal ini kesejahteraan masyarakat.

2.3 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi sebagai ‘getting done “and” doing it’. Dari rumusan yang sederhana ini,

kemudian dikatakan bahwa,“kesederhanaan rumusan seperti itu tidak berarti implementasi

kebijaksanaan merupakan suatu proses kebijakan yang dapatdilakukan dengan mudah.”

Dilanjutkannya bahwa implementasi membutuhkan sumberdaya (resources) seperti orang atau

pelaksana, uang dan kemampuan organisasi (Jones dalam Tachan, 2011:86). Implementasi

kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi kebijakan

sebagai tahap yang bersifat teoritis.”Policy implementation is the application by government`s

administrative machinery to the problems Andersondalam Tachan (1978:25). “policy

implementation,… is the stage of policy making between establishment of a policy…And the

consequences of the policy for the people whom it affects” Edward III dalam

Tachan(1980:1).Implementasi kebijakan publik merupakan suatu tahapan proses kebijakan

publik sekaligus studi yang sangat krusial.Dinilai krusial karena bagaimanapun baiknya suatu

kebijakan, namun apabila tanpa melalui suatu persiapan dan perencanaan yang baik dalam

implementasinya, maka tujuan kebijakan itu tidak akan terwujud. Begitupun sebaliknya, apabila

telah melalui persiapan dan perencanaan implementasi yang cukup matang, namun dalam

perumusan kebijakan itu sendiri tidak baik maka tujuan kebijakan tidak akan terwujud pula.

16
Lalu apakah yang dimaksud dengan implementasi kebijakan? dengan mengutip kamus

Webster, bahwa implementasi diartikan sebagai ‘to provide the means for carryng out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give pratical effect to (menimbulkan

dampak/akibat terhadap sesuatu)’. Implementasi berarti menyediakan sarana untuk

melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu menurut

Wahab dalam Tachan (2005:64).Berdasakan penjelasan di atas, menyimpulkan bahwa

implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah

kebijakan ditetapkan dan disetujui (Tachjan 2006:25). Kegiatan ini terletak di antara perumusan

kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,

maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro

menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan.

Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan

serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan

bahwa: “The execution of policies is as important if not more important than policy making.

Policy will remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented” Udoji

Agustinodalam Tachan (2006:154).

Dengan bertumpu pada pendapat tersebut, maka dapat diambil suatu kesimpulan

pengertian bahwa implementasi adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang

termasuk manusia, dana dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah

maupun swasta. Proses tersebut dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya oleh pembuat kebijakan. Sementara dalam pelaksanaan kebijakan merupakan suatu

proses untuk mewujudkan kebijakan “yang masih abstrak” ke dalam realita (Wahab, dalam

Tachan
17
2011).Sejalan dengan pendapat tersebut, mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai

‘tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun

kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam

kebijakan’ (van Meter dan van Horn dalam Tachan, 2005:26).

Seterusnya Menurut Nugroho (2011:650) mengungkapkan ada lima prinsip-prinsip pokok

dalam implementasi kebijakan publik, (1) apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan

kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang telah ada bermuatan hal-hal yang memang

memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. (2) tepat pelaksananya. Aktor implementasi

kebijakan tidak hanyalah pemerintah. Ada tiga lembaga yang menjadi pelaksana, yaitu

pemerintah, kerjasama antara pemerintah masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang

diswastakan. (3) tepat target. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang

diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan

intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua, apakah

targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi atau tidak. Ketiga apakah intervensi

implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya.

(4) Tepat lingkungan, ada dua lingkungan yang paling menentukan yaitu lingkungan kebijakan

dalam artian interaksi antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan

lembaga lain yang terkait.

Yang kedua lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri dari publik opinion yaitu

persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institusion yang

berkenaan dengan interpretasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media

massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan dalam menginterpretasikan kebijakan

dan implementasi kebijakan. Dan indivudual yakini individu-individu tertentu yang mampu

memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.


18
(5) tepat proses, disini

19
publik memahami kebijakan sebagai sebuah aturan main yang dipergunakan untuk masa depan,

disisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.

Memperhatikan uraian di atas, dapat dipahami bahwa implementasi memiliki makna

penting. Implementasi bersifat sangat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijakan yang

mendahuluinya. Melalui proses implementasi dapat diketahui sejauh mana suatu kebijakan dapat

mengadopsi aspirasi sekaligus menyentuh masyarakat untuk secara sukarela melakukannya

sebagai perwujudan rasa tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara. Dengan kata lain,

melalui implementasi akan dapat diketahui apakah suatu kebijakan telah menjawab suatu

persoalan atau justru sebaliknya.

Dalam studi kebijakan, bukan persoalan yang mudah untuk melahirkan satu kebijakan

terlebih lagi kebijakan yang memiliki cakupan serta pengaruh yang luas menyangkut sasaran

serta daerah yang besar. Pada tatanan implementas, persoalan sama terjadi karena dalam

melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan kelompok sasaran dan birokrat itu sendiri.

Pada realitanya, walaupun kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetap mengalami

hambatan dalam implementasi karena dihadapkan dengan berbagai kesulitan dan hambatan.

Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2000) dan Darwin (1999) bahwa ada kebijakan

yang mudah diimplementasikan tetapi ada pula yang sulit diimplementasikan, oleh Darwin

(1999) ditegaskan “karena itu, salah satu hal yang penting dalam studi implementasi adalah

bagaimana mengenali tingkat kesulitan suatu kebijakan untuk diimplementasikan, dan

bagaimana agar kebijakan tersebut dapat lebih terimplementasi”.

Pertanyaan yang sama ditegaskan pula oleh Edward II (1980:2) yakni “what are the

preconditions for succesful policy implementation?”. Prakondisi-prakondisi yang dimaksud

dapat berupa hambatan/kesulitan ataupun pendorong agar kebijakan dapat diimplementasikan.

Lebih
20
lanjut Darwin menyatakan bahwa ada 5 aspek yang menentukan tingkat implementabilitas

kebijakan publik, yaitu: 1). Sifat kepentingan yang dipengaruhi; 2). Kejelasan manfaat; 3).

Perubahan perilaku yang dibutuhkan; 4). Aparat pelaksana; dan 5). Dukungan sumber daya.

Adapun faktor penghambat dalam implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh

Sunggono (1994) yaitu: 1). Isi kebijakan; 2). Informasi; 3). Dukungan; 4). Pembagian potensi.

Menurut Anderson yang dikutip oleh Sunggono (1994:144-145), faktor yang menjadi penyebab

anggota masyarakat tidak memenuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik, yaitu: a).

Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum; b). Karena anggota masyarakat dalam

suatu kelompok yang mempunyai gagasan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan

hukum dan keinginan pemerintah; c). Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan

cepat; d). Adanya ketidakpastian hukum yang mungkin saling bertentangan satu sama lain; dan

e). Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam dengan sistem nilai yang dianut masyarakat.

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apablia dilaksanakan dan memiliki nilai

positif bagi anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan manusia sebagai anggota masyarakat

harus sesuai dengan apa yang diinginkan pemerintah atau negara. Sehingga apabila perilaku

mereka tidak sesuai dengan pemerintah, maka kebijakan publik akan menjadi tidak efektif.

2.4 Permenpan RB Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Permenpan RB Nomor 52

Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas

Dari Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Dan Melayani.

Birokrasi sebagai pelaksana tugas pemerintah terus melakukan perubahan dalam

mencapai sasaran Reformasi Birokrasi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik serta

memudahkan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Agar masyarakat merasakan

21
hasil percepatan Reformasi Birokrasi yang telah dilakukan pemerintah, terutama pada unit

kerja, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian

PANRB) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas

Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani di Lingkungan

Instansi Pemerintah. 2 Peraturan Menteri tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah

dan pemangku kepentingan lainnya dalam membangun Zona Integritas Menuju Wilayah

Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Selain itu,

Peraturan Menteri tersebut merupakan rujukan untuk memberikan keseragaman pemahaman

dan tindakan dalam membangun Zona Integritas Menuju WBK/WBBM.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional

Pencegahan Korupsi (Perpres Stranas PK), terdapat tiga sektor prioritas pencegahan korupsi

yaitu, perijinan dan tata niaga; keuangan negara; dan penegakan hukum dan Reformasi

Birokrasi. Salah satu sub aksi pada sektor penegakan hukum dan Reformasi Birokrasi adalah

tentang pembangunan Zona Integritas. Pembangunan Zona Integritas dianggap sebagai role

model Reformasi Birokrasi dalam penegakan integritas dan pelayanan berkualitas. Dengan

demikian pembangunan Zona Integritas menjadi aspek penting dalam hal pencegahan

korupsi di pemerintahan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pembangunan

dan pengelolaan unit kerja yang telah membangun Zona Integritas maka diperlukan revisi

atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52

Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari

Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Revisi Peraturan Menteri ini mengatur lebih detail tentang mekanisme pelaksanaan

pembangunan unit kerja yang telah

22
membangun Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK)/Wilayah Birokrasi

Bersih dan Melayani (WBBM).

Pencanangan Pembangunan Zona Integritas 1. Pencanangan Pembangunan Zona

Integritas adalah deklarasi/pernyataan dari pimpinan suatu instansi pemerintah bahwa

instansinya telah siap membangun Zona Integritas; 2. Pencanangan Pembangunan Zona

Integritas dilakukan oleh instansi pemerintah yang pimpinan dan seluruh atau sebagian besar

pegawainya telah menandatangani Dokumen Pakta Integritas. Penandatanganan dokumen

Pakta Integritas dapat dilakukan secara massal/serentak pada saat pelantikan, baik sebagai

CPNS, PNS, maupun pelantikan dalam rangka mutasi kepegawaian horizontal atau vertikal.

Bagi instansi pemerintah yang belum seluruh pegawainya menandatangani Dokumen

Pakta Integritas, dapat melanjutkan/melengkapi setelah pencanangan pembangunan Zona

Integritas; 3. Pencanangan Pembangunan Zona Integritas beberapa instansi pusat yang berada

di bawah koordinasi Kementerian dapat dilakukan bersama-bersama. Sedangkan

Pencanangan Pembangunan Zona Integritas di instansi daerah dapat dilakukan oleh

kabupaten/kota bersama- bersama dalam satu provinsi; 4. Pencanangan pembangunan Zona

Integritas dilaksanakan secara terbuka dan dipublikasikan secara luas dengan maksud agar

semua pihak termasuk masyarakat dapat memantau, mengawal, mengawasi dan berperan

serta dalam program kegiatan reformasi birokrasi khususnya di bidang pencegahan korupsi

dan peningkatan kualitas pelayanan publik; 5. Penandatanganan Piagam Pencanangan

Pembangunan Zona Integritas untuk instansi pusat dilaksanakan oleh pimpinan instansi

pemerintah; 6. Penandatanganan Piagam Pencanangan Pembangunan Zona Integritas untuk

instansi daerah dilaksanakan oleh pimpinan instansi pemerintah daerah; dan 7. KPK, ORI,

unsur masyarakat lainnya (perguruan tinggi, tokoh masyarakat/LSM, dunia usaha) dapat juga

menjadi saksi pada


23
saat pencanangan ZI untuk instansi pusat dan instansi daerah. 5 . Proses Pembangunan Zona

Integritas Menuju WBK/WBBM Proses pembangunan Zona Integritas merupakan tindak

lanjut pencanangan yang telah dilakukan oleh pimpinan instansi pemerintah. Proses

pembangunan Zona Integritas difokuskan pada penerapan program Manajemen Perubahan,

Penataan Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan

Akuntabilitas Kinerja, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang bersifat konkrit.

Dalam membangun Zona Integritas, pimpinan instansi pemerintah menetapkan satu

atau beberapa unit kerja yang diusulkan sebagai WBK/WBBM. Pemilihan unit kerja yang

diusulkan sebagai WBK/WBBM memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan,

diantaranya: 1) Dianggap sebagai unit yang penting/strategis dalam melakukan pelayanan

publik; 2) Mengelola sumber daya yang cukup besar, serta 3) Memiliki tingkat keberhasilan

Reformasi Birokrasi yang cukup tinggi di unit tersebut. Proses pemilihan unit kerja yang

berpotensi sebagai Zona Integritas dilakukan dengan membentuk kelompok kerja/tim untuk

melakukan identifikasi terhadap unit kerja yang berpotensi sebagai unit kerja berpredikat

menuju WBK/WBBM oleh pimpinan instansi. Setelah melakukan identifikasi, kelompok

kerja/tim mengusulkan unit kerja kepada pimpinan instansi untuk ditetapkan sebagai calon

unit kerja berpredikat Zona Integritas menuju WBK/WBBM.

Selanjutnya dilakukan penilaian mandiri (self assessment) oleh TPI. Setelah melakukan

penilaian, TPI melaporkan kepada Pimpinan instansi tentang unit yang akan di usulkan ke

Kementerian sebagai unit kerja berpredikat Menuju WBK/WBBM. Apabila unit kerja yang

diusulkan memenuhi syarat sebagai Zona Integritas Menuju WBK/WBBM, maka langkah

selanjutnya adalah penetapan. Setelah unit kerja yang diusulkan sebagai Zona Integritas

menuju WBK/WBBM ditetapkan, maka hal yang selanjutnya dilakukan adalah menentukan

24
komponen-komponen yang harus dibangun. Terdapat dua jenis komponen yang harus

dibangun dalam unit kerja terpilih, yaitu komponen pengungkit dan komponen hasil. Di

bawah ini adalah gambar yang menunjukkan hubungan masing-masing komponen dan

indikator pembangun komponen.

Melalui model tersebut dapat diuraikan bahwa program Manajemen Perubahan,

Penataan Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Akuntabilitas Kinerja,

Penguatan Pengawasan, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik merupakan komponen

pengungkit yang diharapkan dapat menghasilkan sasaran pemerintahan yang bersih dan

bebas KKN serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Penilaian terhadap setiap program

dalam komponen pengungkit dan komponen hasil diukur melalui indikator-indikator yang

dipandang mewakili program tersebut. Sehingga dengan menilai indikator tersebut

diharapkan dapat memberikan gambaran pencapaian upaya yang berdampak pada pencapaian

sasaran. Komponen pengungkit merupakan komponen yang menjadi faktor penentu

pencapaian sasaran hasil pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM. Terdapat

enam komponen pengungkit, yaitu Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan

Manajemen SDM, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, Penguatan Pengawasan, dan

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

Di bawah ini adalah rincian bobot komponen pengungkit penilaian unit kerja

Berpredikat Menuju WBK/Menuju WBBM. Peningkatan Pelayanan Publik Pemerintah yang

Bersih dan Bebas KKN Perbaikan Dan Pembelajaran Komponen Pengungkit Bobot (60%)

1). Manajemen Perubahan 8% 2). Penataan Tatalaksana 7% 3). Penataan Sistem

Manajemen SDM 10% 4).

Penguatan Akuntabilitas Kinerja 10% 5). Penguatan Pengawasan 15% 6). Penguatan Kualitas

Pelayanan Publik 10%


25
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Peningkatan kualitas pelayanan publik

merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas dan inovasi pelayanan publik pada

masing-masing instansi pemerintah secara berkala sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.

Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik dilakukan untuk membangun

kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik dalam rangka peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan menjadikan keluhan masyarakat sebagai sarana untuk

melakukan perbaikan pelayanan publik. Target yang ingin dicapai melalui program

peningkatan kualitas pelayanan publik ini adalah: a. meningkatnya kualitas pelayanan publik

(lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau) pada instansi pemerintah;

b. meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standardisasi pelayanan

internasional pada instansi pemerintah; dan c. meningkatnya indeks kepuasan masyarakat

terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing instansi pemerintah. Atas

dasar hal tersebut, maka terdapat beberapa indikator yang perlu dilakukan untuk menerapkan

peningkatan kualitas pelayanan publik, yaitu: a. Standar Pelayanan Pengukuran indikator ini

dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya dilakukan, seperti: 1) Unit kerja

telah memiliki kebijakan standar pelayanan; 2) Unit kerja telah memaklumatkan standar

pelayanan; 3) Unit kerja telah memiliki SOP bagi pelaksanaan standar pelayanan; dan 4) Unit

kerja telah melakukan reviu dan perbaikan atas standar pelayanan dan SOP. b. Budaya

Pelayanan Prima Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang

seharusnya dilakukan, seperti: 1) Unit kerja telah melakukan sosialisasi/pelatihan berupa

kode etik, estetika, capacity building dalam upaya penerapan budaya pelayanan prima; 2)

Unit kerja telah memiliki informasi tentang pelayanan mudah diakses melalui berbagai

media; 3) Unit kerja telah memiliki sistem reward and punishment bagi pelaksana layanan

serta pemberian
26
kompensasi kepada penerima layanan bila layanan tidak sesuai standar; 4) Unit kerja telah

memiliki sarana layanan terpadu/terintegrasi; dan 5) Unit kerja telah melakukan inovasi

pelayanan. Penilaian Kepuasan Terhadap Pelayanan Pengukuran indikator ini dilakukan

dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya dilakukan, seperti: 1) Unit kerja telah

melakukan survei kepuasan masyarakat terhadap pelayanan; 2) Hasil survei kepuasan

masyakat dapat diakses secara terbuka; dan 3) Unit kerja telah melakukan tindak lanjut atas

hasil survei kepuasan masyarakat.

2.5 Standart Pelayanan Publik

Berdasarkan Standart Pelayanan Publik yang di keluarkan ombudsman RI berdasarkan

UU No 25 Tahun 2002 Fasilitas Pelayanan Publik yang di maksud antara Lain Pelayanan

Terpadu Satu Pintu (PTSP), Parkiran Motor. Ruang Tunggu PTSP, Penunjuk Arah., Jalur

Disabilitaa, Ruang Advokat, Ruang Kesehatan dan Ruang Ibu Menyusui. Ruang Bermain

Ramah Anak (RBRA). Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 1) Penyelenggara

berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakukan khusus kepada anggota masyarakat

tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan 2) Sarana, prasarana dan/atau fasilitas

pelayanan publik dengan perlakukan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang

digunakan oleh orang yang tidak berhak. Hal ini jelas menjelaskan bahwa harus menyediakan

Fasilitas Khusus untuk penyandang disabilitas dalam rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan

Publik yang juga merupakan salah satu dari 6 Area Perubahan yang di tekankan untuk di

perbaiki dan di optimalkan.

Termasuk juga mengenai mengenai ketersediaannya Fasilitas Publik seperti Ruang

Bermain Ramah Anak (RBRA) yang merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35

27
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dan juga Ruang Laktasi yang diatur mengenai penyediaan fasilitas

khusus ruang menyusui melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah

Air Susu Ibu. Pengaturan tersebut tentu tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Pasal 128 yang mengatur hak bayi untuk

mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan.

2.6 Penelitian Terdahulu Yang Relevan

NO Nama JudulTesis/ Metode Hasil Penetilitam


Peneliti/Tahun Disertasi
1. Telaumbanua, Judul: Kualitatif Implementasi pembangunan
Ningsih G./ Implementasi zona integritas menuju WBK
Jurusan Pembangunan dan WBBM di Kantor
Administrau Zona Integritas Kementrian Agama Kota
Publik, Fakultas Menuju Wilayah Medan sudah dilaksanakan
Ilmu social dan Bebas Korupsi dengan baik namun masih
Ilmu dan Wilayah dalam tahap penyesuaian
Politik,Universit Birokrasi Bersih sehingga terdapat berbagai
as Sumatra Melayani di kesulitan dalam
Utara,2018 Kantor mengimplementasikan
Kementrian program yang sudah
Agama Kota ditetapkan dalam Peraturan
Medan MenPAN-RB No.52 Tahun
2014.
Pelatihan kepada tim kerja
zona integritas masih kurang
sehingga menimbulkan
penafsiran yang berbeda dalam
melaksanakan dan mengisi
lembar dokumen
pembangunan zona integritas,
masih terdapatnya faktor yang
diluar kendali implementor
seperti adanya gratifikasi dari
masyarakat.

28
2. Adrian, Juan Judul: Efektivitas Kualitatif Dapat dilihat melalui
Viere/ Jurusan Program keberhasilan program,
Administrau Pembangunan keberhasilan sasaran, kepuasan
Publik, Fakultas Zona Integritas terhadap program, tingkat
Ilmu social dan Menuju Wilayah input dan output dan
Ilmu Bebas Korupsi pencapaian tujuan menyeluruh.
Politik,Universit dan Wilayah Dari hasil penelitian, dapat
as Sumatra Birokrasi Bersih diketahui bahwa Efektivitas
Utara,2020 Melayani Program Pembangunan Zona
(WBK/WBBM) Integritas Menuju Wilayah
pada Pelayanan Bebas Korupsi dan Wilayah
Publik di Kantor Birokrasi Bersih dan Melayani
Imigrasi Kelas I pada Pelayanan Publik di
Khusus Tempat Kantor Imigrasi Kelas I
Pemeriksaan Khusus Tempat pemeriksaan
Imigrasi (TPI) Imigrasi Medan efektif. Hal ini
Medan dilihat dari peningkatan dan
perbaikan kualitas pelayanan
publik serta budaya korupsi
yang sudah ditinggalkan di
Kantor Imigrasi Kelas I
Khusus Tempat pemeriksaan
Imigrasi Medan.
3. Ikhsan Brilianto Judul Kualitatif 1). Pemkot Yogyakarta telah
Jurusan Analisis merintis pembangunan Zona
Akuntansi, Pembangunan Integritas secara tidak
Fakultas Zona Integritas langsung sejak lama.
Ekonomi dan Dalam Upaya Strategi
Bisnis, Peningkatan pembangunan Zona Integritas
Universitas Akuntabilitas, di Pemkot Yogyakarta, terdiri
Gadja Mada, Pelayanan Publik dari pencanangan
2016 Dan pembangunan Zona Integritas
Pemberantasan yang diawali proses penanda
Korupsi (Studi tanganan pakta integritas,
Pada Pemerintah proses pembangunan Zona
Kota Yogyakarta) Integritas yang meliputi
pemenuhan interpretasi
komponen-komponen
pembangunan Zona Integritas,
pembinaan dan pengawasan
yang berkaitan dengan
asistensi serta penilaian
terhadap hasil pembangunan
Zona Integritas, serta
evaluasi terhadap
pembangunan Zona Integritas
di Pemkot Yogyakarta.
Pemkot Yogyakarta lebih
29
30
mengutamakan kualitas dari
pembangunan Zona Integritas
daripada kuantitas sehingga
diharapkan unit percontohan
baik kedinasan dan kecamatan
memiliki perkembangan yang
sama pesat; 2). Terdapat dua
faktor pada pembangunan
Zona Integritas, yakni faktor
pendukung dan penghambat.
Faktor pendukung yang paling
utama adalah komitmen
pimpinan untuk melakukan
reformasi birokrasi melalui
pembangunan Zona Integritas
ini. Kemudian, faktor yang
menghambat dibagi menjadi
internal dan eksternal. Internal
berkaitan fasilitas sistem
benturan kepentingan,
pengendalian gratifikasi, dan
lain sebagainya. Sementara itu,
faktor yang eksternal
merupakan faktor yang sulit
untuk dikelola, yaitu pihak
ketiga yang berhubungan
dengan Pemkot Yogyakarta.
4 Alfathansyah Pembangunan Kualitaif Kesimpulan dan saran
Widyantoro Zona Integritas diharapkan dapat memberikan
Universitas Sebagai Upaya kemudahan bagi pembaca
Brawijaya Pemerintah untuk menemukan point-point
Fakultas Ilmu Menciptakan penting tentang permasalahan
Administrasi Wilayah Bebas yang diteliti, sekaligus
Publik Jurusan Korupsi (Studi memberikan masukan sebagai
Administrasi Pada Badan bentuk idealisme penulis
Publik,2018 Pelayanan Pajak berkaitan dengan
Daerah Kota Pembangunan Zona Integritas
Malang) di Badan Pelayanan Pajak
Daerah Kota Malang.
Pembangunan Zona Integritas
sebagai upaya menciptakan
wilayah bebas korupsi yang
dilakukan oleh Badan
Pelayanan Pajak Daerah Kota
Malang merupakan
pembangunan Reformasi

31
Birokrasi yang memberikan
semangat perubahan bagi
Badan Pelayanan Pajak
Daerah Kota Malang dalam
berkinerja dan khususnya
untuk menciptakan wilayah
bebas dari korupsi terhadap
pimpinan dan semua pegawai
di lingkungan Badan
Pelayanan Pajak Daerah Kota
Malang karena menjadi pilot
project/ percontohan dari
intansi yang
lainnya.
(Diolah Oleh Peneliti, 2022)

Meninjau hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, mendorong

penulis untuk lebih mendalami dan mengembangkan serta memperkuat penelitian mengenai

Kebijakan Pembangunan Zona Integritas Menuju WBK/WBBM Di Rumah Tahanan Negara

Kelas IIB Kotamobagu. Ketika di lapangan penulis menemukan adanya masalah yang berbeda

dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya seperti: 1). Lokasi penelitian;

dimana pada penelitian-penelitian sebelumnya berlokasi di luar Sulawesi sedangkan Rutan

Kotamobagu berada di Sulawesi Utara. 2). Kultur dan Budaya berbada di setiap daerah. 3). Kiat

Kiat untuk menuju ke zona Integritas menuju WBK/WBBMN masih kurang di eksplotasi.

Dengan adanya perbedaan sehingga penulis mendapatkan kesimpulan yang berbeda dan

mencoba memberikan solusi yang baru. Diharapkan solusi tersebut dapat menjadi masukan dan

saran bagi Rutan kotamobagu untuk pemahaman yang sama dalam rangka tercapainnya Zona

Integritas Wilayah Bebas dari korupsi/ Wilayah Birokrasi Bersih melayani.

32
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Sugiono (2014:9) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan

kepada filsafat postpositivisme,digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah

(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat

induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitaitf lebih menekankan makna dari generalisasi.

Menurut Peneliti berdasarkan metode deskriptif Kualitatif yang dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau dalam kelas

peristiwa pada masa sekarang.Dengan demikian peneliti menganggap dengan menggunakan

metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif sangat cocok untuk di gunakan dalam penelitian

ini yang membahas tentang bagaimana sebenarnya metode yang tepat unruk Kebijakan

Pembangunan Zona Integritas dalam rangka peningkatan fasilitas pelayanan publik Di Rumah

Tahanan Negara Kelas IIB Kotamobagu.

Maka dari itu penulis menggunakan pendekatan serta metode di atas, yang bertujuan

untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat- sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, dalam Tangkau 2016). Alasan

menggunakan metode ini, peneliti bisa mendapatkan data yang lebih mendalam, lengkap,

kredibel, dan mengandung makna yang sebenarnya yaitu data yang pasti mengenai Kebijakan

33
Pembangunan Zona Integritas dalam peningkatan kualitas fasilitas pelayanan public Di Rumah

Tahanan Negara Kelas IIB Kotamobagu

3.2 Fokus Penelitian Dan Deskripsi Fokus

Fokus penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah penelitian dan kedudukan fokus

bersifat sementara, karena dapat berubah pada saat penelitian dilakukan. Dikatakan sebagai

fokus sementara sebab awalnya masih umum dan samar-samar, akan bertambah jelas dan

mendapat fokus setelah peneliti berada di lapangan (Bogdan dan Bilken,1988:11).

Dengan berpedoman pada fokus penelitian, maka peneliti membatasi bidang-bidang

temuan dengan arahan fokus penelitian, peneliti mengetahui dengan pasti data apa yang perlu

dimasukkan ke dalam sejumlah data yang dikumpulkan. Fokus penelitian ini sangat penting

sebagai sarana untuk memadukan dan mengarahkan jalannya penelitian.

Dengan perumusan fokus penelitian yang baik maka peneliti akan terhindar dari

pengumpulan data yang tidak relevan dengan masalah dan tujuan penelitian, dalam hal ini fokus

penelitian berkembang atau berubah sesuai sifatnya yang masih emergent (tentatif), seiring

dengan perkembangan masalah yang peneliti temukan di lokasi penelitian. Penentuan fokus

penelitian ini dimaksudkan untuk membatasi peneliti sehingga tidak terjebak pada bidang yang

umum dan luas atau kurang relevan. Selain itu penentuan fokus penelitian berfungsi untuk

memilih mana data yang relevan dan mana pula yang tidak relevan, meskipun mungkin menarik

tetapi karena tidak relevan maka tidak dimasukkan ke dalam data yang dikumpulkan.

Adapun fokus penelitiannya adalah mengenai Kebijakan Pembangunan Zona Integritas

Menuju WBK/WBBM mengenai fasilitas pelayanan publik Di Rumah Tahanan Negara Kelas

IIB Kotamobagu.

34
Dengan focus yang akan dilihat dalam sebagai Pengukuran indikator yang mengacu pada

kondisi yang seharusnya dilakukan, dan mensanding bandingkan dengan pokok dalam

implementasi kebijakan public dengan prinsip pelayanan prima adalah sebagai berikut:

(1) Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Mengenai Pemahaman pokja tentang Zona

Integritas dan Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang telah ada

bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan, mulai dari

memahami aturan serta apakah Rutan Kotamobagu telah melakukan sosialisasi/pelatihan

berupa kode etik, estetika, capacity building dalam budaya kerya dan upaya penerapan

budaya pelayanan prima;

(2) Mengenai Fasilitas Penunjang pelayanan Yaitu kebijakan di Rutan Kotamobagu telah

memberikan informasi tentang pelayanan mudah diakses melalui berbagai media,

menyediakan fasilitas dan bekerjasama dengan pemangku kebijakan lainnya;

(3) Apakah ketepatan target lewat sosialisasi kebijakan yang sudah sesuai jalannya dengan yang

direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan kebijakan lain. Sehingga setiap

kebijakan Rutan kotamobagu sudah menjadi pelaksana layanan optimal mulai dari kejelasan

Standart Pelayanan serta apakah sudah memberikan kompensasi kepada penerima layanan

bila layanan tidak sesuai standar;

(4) Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan terkait, sehingga telah memiliki sarana layanan

terpadu/terintegrasi, termasuk fasilitas publik

(5) Ketersediaan sumber daya manusia Apakah sudah tepat proses dan memahami kebijakan

sebagai sebuah aturan main yang dipergunakan untuk masa depan,

35
sebagai tugas yang harus dilaksanakan secara bersama untuk tujuan pelayanan public yang prima

yang bermuara pada inovasi pelayanan terlebih tetnang fasilitas public yang selalu diperbaharui.

3.3 Lokasi Penelitian

Dalam menentukan lapangan penelitian, peneliti mempertahankan teori substantif; pergi

dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada

di lapangan. Keterbatasan geografi, waktu, tenaga menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi

penelitian.Berdasarkan acuan tersebut, maka penelitian ini mengambil lokasi di Rumah Tahanan

Negara Kelas IIB Kotamobagu. Di pilihnya lokasi penelitian ini dilakukan secara “purposive”

(sengaja) dengan beberapa pertimbangan antara lain :

1. Rumah Tahanan Negara kelas IIB kotamobagu beberapa kali melakukan

restrukturisasi organisasi dengan ditunjukkan oleh perubahan-perubahan kebijakan di

UPT yang mengatur tentang fasilitas pelayanan publik dalam rangka Tercapainya

Zona Integritas Menuju,

2. Rumah Tahanan Negara kelas IIB Kotamobagu merupakan Unit Pelaksana teknis

yang terletak di Kota Kotamobagu dengan lingkup wilayah administratif yang cukup

luas sehingga menuntut adanya sistem administrasi organisasi yang sesuai dengan

kebutuhan kondisionalnya.

3. Lokasi penelitian tersebut mudah dijangkau baik dari segi geografis maupun dari

kemudahan akses data dan informasi oleh peneliti.

3.4 Sumber Data

Sesuai dengan masalah dan fokus penelitian ini, maka sumber data adalah sebagai berikut:

1).Informan; Sebagai informan yang ditentukan secara purposif (purposive sampling) dalam hal

36
ini informan yang benar-benar relevan dan kompeten dengan masalah penelitian sehingga data

yang diperoleh dipergunakan untuk membangun kesimpulan.Sedangkan informan selanjutnya

diminta kepada informan awal untuk menunjuk orang lain lagi yang dapat memberikan informasi

dan begitu seterusnya. Informan awal yang ditentukan secara purposive sampling adalah Kepala

Rumah Tahanan Negara kelas IIB Kotamobagu selaku Satgas WBK/WBBM .2).Tempat dan

peristiwa; Dimaksudkan di sini adalah tempat di mana peneliti memperoleh data yaitu di Rumah

Tahanan Negara kelas IIB Kotamobagu. Dengan mengadakan pengamatan terhadap fenomena-

fenomena yang muncul di lapangan. Dari hasil pengamatan ini merupakan bahan yang akan

dikemukakan pada teknik pengumpulan data.3) Dokumen yang relevan dengan masalah dan

fokus penelitian, seperti Peraturan Pemerintah, undang-undang, catatan-catatan, photo/gambar.

Dalam penelitian ini sumber data lebih banyak didapatkan dari observasi dan wawancara

yang dilakukan langsung oleh peneliti kepada para informan sehingga penulis bisa menemukan

perbandingan antara pihak yang satu dengan yang lain dan penulis dapat menarik kesimpulan

dari dalamnya.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, instrumen utama adalah peneliti itu sendiri. (Nasution, dalam

Tangkau 2016) mengemukakan bahwa pada awal penelitian, penelitilah alat satu-satunya untuk

memudahkan dalam pengumpulan data, maka peneliti menggunakan alat-alat bantuan berupa

catatan lapangan, tape recorder, maupun foto dan pedoman wawancara.Variabel secara

sederhana dapat diartikan ciri dari individu, objek, segala peristiwa yang dapat diukur secara

kuantitatif/kualitatif. Sedangkan definisi operasional merupakan pengubahan konsep yang masih

37
berupa abstrak dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diuji dan

ditentukan kebenarannya oleh orang lain berdasarkan variabel yang digunakan (Rahayu, 2011).

Dalam penelitian ini digunakan beberapa variabel yang terkait, antara lain:

Mengenai kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih

mudah dijangkau) pada instansi pemerintah; b. meningkatnya jumlah unit pelayanan yang

memperoleh standardisasi pelayanan internasional pada instansi pemerintah; dan c.

meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh

masing-masing instansi pemerintah. Atas dasar hal tersebut, maka terdapat beberapa indikator

yang perlu dilakukan untuk menerapkan peningkatan kualitas pelayanan publik, yaitu: a. Standar

Pelayanan Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya

dilakukan, seperti: 1) Unit kerja telah memiliki kebijakan standar pelayanan; 2) Unit kerja telah

memaklumatkan standar pelayanan; 3) Unit kerja telah memiliki SOP bagi pelaksanaan standar

pelayanan; dan 4) Unit kerja telah melakukan reviu dan perbaikan atas standar pelayanan dan

SOP.

b. Budaya Pelayanan Prima Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi

yang seharusnya dilakukan, seperti: 1) Unit kerja telah melakukan sosialisasi/pelatihan berupa

kode etik, estetika, capacity building dalam upaya penerapan budaya pelayanan prima; 2) Unit

kerja telah memiliki informasi tentang pelayanan mudah diakses melalui berbagai media; 3) Unit

kerja telah memiliki sistem reward and punishment bagi pelaksana layanan serta pemberian

kompensasi kepada penerima layanan bila layanan tidak sesuai standar; 4) Unit kerja telah

memiliki sarana layanan terpadu/terintegrasi; dan 5) Unit kerja telah melakukan inovasi

pelayanan.

16 c. Penilaian Kepuasan Terhadap Pelayanan Pengukuran indikator ini dilakukan dengan

mengacu pada kondisi yang seharusnya dilakukan, seperti: 1) Unit kerja telah melakukan survei
38
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan; 2) Hasil survei kepuasan masyakat dapat diakses

secara terbuka; dan 3) Unit kerja telah melakukan tindak lanjut atas hasil survei kepuasan

masyarakat.

Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari lapangan empiris dalam

upaya membangun teori dari data. Proses pengumpulan data ini meliputi tahap-tahap sebagai

berikut:1). Proses memasuki lokasi penelitian. Peneliti mendatangi lokasi penelitian untuk

melaporkan tentang rencana lokasi penelitian sekaligus untuk mendapat ijin/rekomendasi,

dengan menunjukkan surat pengantar penelitian. Ini sudah peneliti lakukan sesuai dengan

prosedur mulai mengurus injin survei dan memasukkan ke kantor yang terkait. 2). Ketika berada

di lokasi penelitian. Dalam tahap ini peneliti berusaha melakukan pendekatan secara formal

maupun informal dengan subjek penelitian. Dalam proses ini peneliti sudah memperoleh

informasi selengkapnya serta menangkap intisari dari berbagai informasi yang diperoleh tersebut

sesuai dengan fokus yang telah ditetapkan.3). Mengumpulkan data. Pada tahap ini peneliti

mengemukakan dua teknik pengumpulan data yaitu : a).Wawancara, kepada mereka yang

dianggap kompeten (daftar informan terlampir dalam table di bawah); b). Dokumentasi,

bagaimana peneliti mendokumentasikan setiap hasil data yang di dapat di lapangan yang di

tuangkan dalam pembahasan saran dan lampiran dan lain-lain yang dianggap perlu.

Dalam penelitian ini, data dikumpulkan oleh peneliti dengan cara turun langsung ke

lokasi penelitian dengan sistem naturaly setting. Berikut daftar informan yang dianggap

kompeten dan kredibel di jabarkan dalam tabel di bawah:

39
Tabel 3.5

Daftar Narasumber/Informan

Jabatan
NO Nama/Inisial

Kasubsie Pengelolaan/Kepala
1. YS
Bidang Pokja ZI
Kasubsie Yantan/Koordinator
2. B
Pokja ZI

Sekretaris Pokja ZI
3. K

Operator Pokja Peningkatan


4. RH
Kualitas Pelayanan Publik

Staf BMN
5. IL

Staf Keuangan
6. JN

3.6 Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses

penelitian berlangsung.Analisis yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada

dalam penelitian ini adalah analisis dengan tujuan mengetahui Kebijakan Pembangunan Zona

Integritas Menuju WBK/WBBM peningkatan kualitas pelayanan public Di Rumah Tahanan

Negara Kelas IIB Kotamobagu. Adanya data empirik yang berhubungan dengan mekanisme

Zona Integritas Menuju WBK/WBBM dan kajian teori yang ada menjadi penunjang dalam

menggunakan analisis ini. Setelah analisis Kebijakan Pembangunan Zona Integritas Menuju

WBK/WBBM telah didapatkan maka dapat pula diukur berapa efektivitas dari Pelayanan Publik

tersebut, efektivitas secara langsung disimpulkan. Dalam penelitian ini digunakan analisis data

kualitatif (Miles dan Huberman, 1992) dengan prosedur, reduksi data, penyajian data, menarik
40
kesimpulan atau verifikasi.

3.6.1 Reduksi data


Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian

atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan telah direduksi, dirangkum,

dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema

dan polanya. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama proses penelitian

berlangsung. Selama pengumpulan data berlangsung diadakan tahap reduksi data

selanjutnya dengan jalan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat

kategorisasi data.

3.6.2 Penyajian data

Penyajian data atau display data telah memudahkan peneliti untuk melihat

gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian, baik secara

analisis, table dan penyajian.

3.6.3 Menarik kesimpulan

Verifikasi dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung

yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses pengumpulan data.

Peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan

yaitu mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, dan

sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi

dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka

diperoleh kesimpulan yang bersifat “grounded”. Dengan kata lain setiap kesimpulan

senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung. Komponen-

komponen analisis data tersebut di atas oleh Miles dan Huberman (1992:112)

digambarkan sebagai berikut:

41
Gambar 3.6Analisis Model Interaktif

Pengumpulan Data Penyajian Data :


- Interview - Deskriptif Data
Kualitatif
Observasi
Dokumentasi

Penarikan
Reduksi Data : Kesimpulan
Seleksi
Abstraksi
- Kategorisasi

Sumber: Miles dan Huberman (Miles, Huberman dan Saldana, 2014: 14)

3.7 Keabsahan Data

Untuk menentukan keabsahan data dalam penelitian kualitatif harus memenuhi

beberapa persyaratan yang dijadikan tolak ukur untuk melihat derajat kepercayaan atau

kebenaran terhadap hasil penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan

oleh (Lincoln dan Guba dalam Tangkau 2014) yang dalam pemeriksaan data menggunakan

empat kriteria.

3.7.1 Derajat Kepercayaan

1).Melaksanakan inquiri sedemikian rupa, sehingga tingkat kepercayaan penemuannya

dapat tercapai.2). Mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan

jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Beberapa cara

yang perlu diupayakan agar hasil penelitian dapat dipercaya, (Nasution dalam Tangkau

2014) antara lain:

1). Pengamatan yang terus menerus. Dengan pengamatan yang terus menerus, peneliti

dapat memperhatikan sesuatu secara lebih cermat khususnya yang berkaitan dengan fokus
42
penelitian. 2). Mengumpulkan bahan referensi. Sebagai bahan referensi untuk

meningkatkan kepercayaan dan kebenaran data dapat digunakan hasil rekaman tape

recorder atau bahan dokumentasi. 3) Mengadakan member chek. Pada akhir wawancara

peneliti melakukan member chek atau mengecek ulang secara garis besar berbagai hal yang

telah disampaikan oleh informan berdasarkan catatan lapangan dengan maksud agar

informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penulisan laporan penelitian sesuai dengan

apa yang dimaksud oleh informan.

3.7.2 Keteralihan

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan konteks pengirim dan

penerima. Untuk melaksanakan keteralihan tersebut maka peneliti berusaha mencari dan

mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama, dengan demikian peneliti

bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya. Dalam hal ini peneliti

memberikan deskripsi yang terinci bagaimana hasil penelitian bisa dicapai, apakah hasil

penelitian itu dapat diterapkan, akan diserahkan pada para pembaca atau pemakai. Bila pemakai

melihat dalam penelitian ini ada sesuatu yang cocok bagi situasi yang dihadapinya maka bisa

dimungkinkan adanya suatu keterlibatan, meskipun dapat didugabahwa tidak ada dua situasi

yang sama sehingga masih perlu penyelesaian menurut keadaan masing-masing.

3.7.3 Ketergantungandan Kepastian

Kertegantungan menurut istilah konvensional disebut dengan reliabilitas

(reliability). Reliabilitas merupakan syarat bagi validitas, hanya dengan alat yang reliabel

maka akan dapat diperoleh data yang valid. Alat utama penelitian ini adalah peneliti sendiri

dan pembimbing, oleh karena itu untuk menjamin ketergantungan dan kepastian penelitian

maka yang perlu dilakukan adalah memadukan kriteria ketergantungan dengan kepastian

dengan cara “audit trail” (memeriksa dan melacak suatu kebenaran.

43
44
BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Tahanan Negara Kotamobagu yang saat ini menjadi kepala Rutan adalah

Bapak Setyo Prabowo, Bc.IP, S.Pd, M.Si. Gedung Rutan Kotamobagu berdiri sejak zaman

kolonial belanda dan direnovasi pada tahun 1983, dengan luas tanah 9010M2 dan luas

bangunan 1628M2 yang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk status kepemilikan

tanah masih milik pemerintah Kota Kotamobagu. Yang bertempat di Jl. Jenderal Achmad

Yani No. 636 Kotamobagu. Dengan warga binaan pemasyarakatan per 1 Januari 2023

Bejumlah 352 orang dari Kapasitas 146 artinya Over kapasitas 155% . Dan jumlah pegawai

54 orang PNS dan 1 orang CPNS Rutan Kelas IIB Kotamobagu memiliki pegawai 60 orang

(terdiri dari 59 orang telah diangkat sebagai PNS dan 1 orang CPNS). Rutan Kelas IIB

Kotamobagu selalu berkomitmen untuk meningkatkan kinerja, profesionalisme, dan inovasi

untuk mewujudkan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat sesuai dengan Motto

MATOA (Maju, Akuntabel, Transparan, Optimis, dan Amanah)..

Secara umum, rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan lapas adalah

tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Namun

kondisi yang terjadi di Indonesia adalah tidak semua kabupaten dan kotamadya di Indonesia

memiliki rutan dan Lapas, sehingga Rutan difungsikan pula untuk menampung narapidana

seperti halnya Lapas. Hal ini juga mengingat kondisi banyak Lapas yang ada di Indonesia, di

karenakan, telah melebihi kapasitas, karenanya terdakwa yang telah menjalani hukuman di

45
Rutan, yang seharusnya pindah dari Rutan untuk menjalani hukuman ke Lapas, banyak yang

tetap berada di dalam Rutan hingga masa hukuman mereka selesai. Hal ini juga yang berlaku

di Rutan Kotambagu yang di fungsikan juga sebagai Lapas. Yang merupakan Lembaga

Pemasyarakatan (LAPAS) sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang No. 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan mempunyai tugas dan fungsi sebagai tempat untuk

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yaitu dengan

menganut asas : Pengayoman. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan. Pendidikan,

penghormatan Harkat dan Martabat Manusia, Kehilangan Kemerdekaan merupakan satu

satunya penderitaan, Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang –

orang tertentu.

2.1 Visi-Misi
VISI : “ Menjadi lembaga yang akuntabel, transparan dan profesional dengan didukung

petugas yang memiliki kopetensi yang mampu mewujudkan tertib pemasyarakatan “

MISI :“ Melaksanakan peningkatan pelayanan dan perawatan tahanan serta pembinaan

warga binaan pemasyarakatan dalam rangka penegakan hukum dan hak asasi manusia “

2.2 Uraian Tugas dan fungsi Rutan Kelas 2B Kotamobagu :


Tugas pokok utama pada Rumah Tahanan Negara kelas 2B adalah melaksanakan

perawatan terhadap para tersangka atau terdakwa sesuai dengan peraturan perundang

undangan yang berlaku. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Rumah Tahanan Negara

mempunyai tugas : 1).Melakukan pelayanan dan perawatan terhadap para

tersangka/terdakwa. 2).Melakukan pemeliharaan terhadap keamanan dan ketertiban rutan.

3).Melakukan tata usaha Rutan.

Sebagaimana diketahui bahwa Rumah Tahanan Negara mempunyai tugas, tanggung

jawab dan kewenangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya Warga

46
Binaan

47
Pemasyarakatan, dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan/Rumah

Tahanan Negara telah mengalami perkembangan dalam pencapaian tujuan, khususnya

dalama rangka penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia, namun demikian

masih terdapat permasalahan yang harus dihadapi. Tetapi dengan tekat yang kuat sebagai

aparatur pemerintah seluruh jajaran Rumah Tahanan Negara Klas IIB Kotamobagu akan

melaksanakan Tugas dan Fungsinya secara optimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang

diinginkan.

Dalam perjalanannya, pecapaian sasaran dan tujuan organisasi mengalami permasalahan

dan hambatan baik dari aspek organisasi, tata laksana, Sumber Daya Manusia, maupun

sarana dan prasarana, dengan segala keterbatasan permasalahan yang ada dapat disadari

bahwa hal tersebut akan menjadi faktor tidak optimalnya kinerja Rumah Tahanan Negara

Klas IIB Kotamobagu. Namun demikian hal tersebut bukan menjadi penghalang bagi Rutan

Kotamobagu untuk terus berkarya dalam mewujudkan visi dan misi organisasi.

48
2.3 Stuktur organisasi RUTAN Kelas 2B Kotamobagu

1).Kepala Rumah Tahanan Negara,2).Petugas Tata Usaha,3).Kepala Kesatuan


Pengamanan,4). Kepala Sub Seksi Pengelolaan, 5).Kepala Sub Seksi Pelayanan Tahanan

KEPALA RUTAN KOTAMOBAGU

SETYO PRABOWO, Bc.IP, S.Pd,


M.Si NIP. 19670408 199103 1 002

KPRTN KASUBSIE PENGELOLAAN KASUBSIE PELAYANAN TAHANAN


DJONY TUMANGKEN, SH YOS SUMENDA, SH BUSEN
NIP. 19690604199203 1 001 NIP. 19670907 199103 1 001 NIP. 19700220 199203 1 001

HARIANTO WIJAYA MOKODONGAN THEDORUS E. POLUAKAN


NIP. 19641210 198703 1 001 NIP. 19700904 199203 1 002 NIP. 19710426 199103 1 001
PENGADMINISTRASI PENYUSUN LAPORAN PENGELOLA PEMBINAAN
PERLENGKAPAN KEAMANAN KEUANGAN KEPRIBADIAN

M. MASRI M H.R.RAWUNG
TUTIJANI HATAM
NIP. 19631124 198703 1 001 NIP. 199212062017121003
NIP. 19711007 199303 2 001
PENGELOLA DATA KEGIATAN PENGELOLA ARSIP PEMBIMBING KETERAMPILAN
PENGAMANAN KEPEGAWAIAN

CECILIA D.H.PARANSI ILHAM LAIYA SJAFRI PARANSI


NIP. 19911021 200912 2 001 NIP. 19870704 200901 1 003 NIP. 19690705 199303 1 001
PENGELOLA DATA LAPORAN PENGELOLA BARANG MILIK PENGELOLA PEMBINA
KAMTIB NEGARA KEROHANIAN

J. NATOS A. JOHANIS
KOMDAN JAGA NIP. 19860811 201012 2 002 NIP. 19631108 199403 2 001
&
ANGGOTA JAGA PENJAGA BENDAHARA PENGELUARAN REGISTOR PEMASYARAKATAN
TAHANAN

MORTHEN KING MAMUAYA ICHTIAR BAHIHI


NIP. 19870619201212 1 002 NIP. 19749311 199703 1 001

BENDAHARA PENERIMAAN PENGELOLA PEMBINA


KEPRIBADIAN

SELDI MANDANG
NIP. 19730707 199803 1 001

PENGELOLA SDP

KADRI
NIP. 19811009 200003 1 001
Gambar 1 PEMBIMBING
KEMASYARAKATAN

NI MADE SETIAWATI,
Bagan Struktur Organisasi Amd.Keb
Rumah Tahanan Negara Kelas 2B Kotamobagu NIP. 19830610 200101 2 011
PENGELOLALA KESEHATAN
48
DARMO LAHAY
NIP. 19671104 200112 1 001
PEMBIMBING KEMASYARAKATN
Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance adalah

menerapkan Reformasi birokrasi yang merupakan suatu pembaharuan dan perubahan

mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-

aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur.

Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan

pemerintah yang efektif dan efisien. Reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam

perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk Mempercepat pencapaian sasaran hasil tersebut, Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI mengeluarkan Peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun 2019 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju

Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di lingkungan

Instansi Pemerintah;

Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi

(WBK)/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) adalah suatu langkah cepat

guna mencapai sasaran reformasi birokrasi yang di harapkan pemerintah. Targetnya

Secara umum adalah peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintahan

yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta peningkatan

pelayanan publik. Setiap instansi pemerintah diwajibkan membangun hal tersebut.

Terlebih Pelaksanaan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang juga

merupakan salah satu dari 8 Area Perubahan yang di tekankan untuk di perbaiki dan di

optimalkan, terlebih menganai ketersediaannya Fasilitas Publik seperti Ruang Bermain

Ramah Anak
49
(RBRA) yang merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Ruang Laktasi yang diatur mengenai penyediaan fasilitas khusus ruang menyusui

melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang

Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu.

Pengaturan tersebut tentu tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, khususnya pada Pasal 128 yang mengatur hak bayi untuk

mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan.

Sementara itu dalam penelitian ini juga dilakukan kajian tentang Ketersediaan

Fasilitas Publik tersebut dalam menunjuang Zona Integritas Rutan Kotamobagu

Menuju WBK/WBBM. Dapat diketahui Sudah Dua Tahun Keikutsertaan Rutan

Kotamobagu dalam upaya Meraih Predikat WBP namun belum berhasil. Hal ini dinilai

tidak wajar karena berbagai upaya sudah di lakukan.Namun Fasilitas Umum yang

menjadi Dasar syarat penilaian seakan terabaikan.

4.2 Penelitian dan Pembahasan

4.2.1 Kebijakan Pembangunan Zona Integritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Setelah di gaungkannya Grand Desain reformasi birokrasi nasional, di harapkan

upaya reformasi birokrasi dapat lebih berdampak baik terhadap pelayanan publik yang

terarah serta berkelanjutan. Pelayanan publik yang belum optimal di tambah dengan

sering di temui maladministrasi di Indonesia hal itu yang mendorong pemerintah

mewujudkan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dalam rangka

Reformasi Birokrasi. Belakangan pemerintah semakin giat membuat berbagai

peraturan dalam
50
tubuh birokrasi salah satunya dengan meluncurkan Seluruh kementrian mengikuti

pelaksanaan Grand design ini yang berada dibawah pengelolaan tim nasional

reformasi birokrasi. Pencapaian Negara yang strategis hendak diraih predikat bebas

korupsi, peningkatan kapasitas dan akuntabilitasnya, serta penguatan orientasinya ke

arah perbaikan pelayanan publik.

Rutan Kelas IIB Kotamobagu juga berupaya membangun Zona Integritas untuk

mendapat predikat WBK/ WBBM Sebagai langkah nyata ikut ambil bagian dalam

Reformasi Birokrasi ke arah perbaikan Pelayanan Publik. Kebijakan Pembangunan

Zona Integritas Menuju WBK/WBBM, dalam implementasinya merupakan langkah

cepat guna mencapai sasaran reformasi birokrasi yang di harapkan pemerintah.

Targetnya Secara umum adalah Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang

merupakan bagian dari kebijakan Publik.

Kebijakan publik sering dipahami sebagai instrument yang dipakai pemerintah

untuk memecahkan masalah publik secara teknokratis. Dalam arti pemerintah

menggunakan pendekatan rational choice untuk memilih alternatif terbaik guna

memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan publik dalam defenisi

yang mashur dari Dye adalah whatever governments choose to do or not to do.

Maknanya Dye hendak menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang

eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Interpretasi kebijakan menurut Dye di

atas harus dimaknai dengan dua hal penting: pertama, bahwa kebijakan haruslah

dilakukan oleh badan pemerintahdan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan

dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah (Indiahono, 2009:17).

51
Dalam Hal ini secara terpusat kebijakan mengenai Reformasi Birokrasi khususnya

peningkatan Pelayanan Publik sudah di laksanakan bahkan ada standartnya, namun

dalam pelaksanaan ada saja Standart yang tidak di lakukan oleh Rutan Kotamobagu

menyangkut Fasilitas pelayanan publik, jika merujuk regulasi Pokja peningkatan

kualitas pelayanan publik harus memperhatikan 1) Unit kerja telah melakukan

sosialisasi/pelatihan berupa kode etik, estetika, capacity building dalam upaya

penerapan budaya pelayanan prima; 2) Unit kerja telah memiliki informasi tentang

pelayanan mudah diakses melalui berbagai media; 3) Unit kerja telah memiliki sistem

reward and punishment bagi pelaksana layanan serta pemberian kompensasi kepada

penerima layanan bila layanan tidak sesuai standar; 4) Unit kerja telah memiliki sarana

layanan terpadu/terintegrasi; dan 5) Unit kerja telah melakukan inovasi pelayanan.

Hal- hal tersebut menggambarkan bagaimana pelayanan yang mudah di akses serta

sarana yang terpadu dalam hal ini selain Ruang pelayanan terpadu Satu Pintu termasuk

juga fasilitas Ruang bermain anak, ruang laktasi, serta coffe corner berdasarkan

Standart Pelayanan Publik yang di keluarkan ombudsman RI.

Namun dalam pengamatan di Rutan Kotamobagu memilih belum atau tidak

menyediakan Fasilitas yang di maksud, maka dari itu mencari makna dan arti dari

keputusan belum di adakannya Fasilitas Publik tersebut padahal jika fasilitas itu tidak

tersedia, kerinduan Rutan Kotamobagu untuk meraih predikat WBK belum bisa

tercapai, namun Ini adalah bagian dari Implementasi Kebijakan yang merupakan suatu

tahapan krusial dalam proses kebijakan publik . Dinilai krusial karena bagaimanapun

baiknya suatu kebijakan, namun apabila tanpa melalui suatu persiapan dan

perencanaan yang baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan itu tidak

akan terwujud.
52
Begitupun sebaliknya, apabila telah melalui persiapan dan perencanaan implementasi

yang cukup matang, namun dalam perumusan kebijakan itu sendiri tidak baik maka

tujuan kebijakan tidak akan terwujud pula.

Jika di lihat dari masalah kita bisa mensanding bandingkan dengan Prinsip

Implementasi Kebijakan Publik Menurut Nugroho (2011:650) mengungkapkan ada

lima prinsip-prinsip pokok dalam implementasi kebijakan publik, (1) apakah

kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana

kebijakan yang telah ada bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang

hendak dipecahkan. (2) tepat pelaksananya. Aktor implementasi kebijakan tidak

hanyalah pemerintah. Ada tiga lembaga yang menjadi pelaksana, yaitu pemerintah,

kerjasama antara pemerintah masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang

diswastakan. (3) tepat target. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah

target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang

tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain.

Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi atau tidak. Ketiga

apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui

implementasi kebijakan sebelumnya. (4) Tepat lingkungan, ada dua lingkungan yang

paling menentukan yaitu lingkungan kebijakan dalam artian interaksi antara lembaga

perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait.

Yang kedua lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri dari publik opinion yaitu

persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institusion

yang berkenaan dengan interpretasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat,

seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan dalam

53
menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. Dan indivudual yakini

individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam

menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. (5) tepat proses, disini

publik memahami kebijakan sebagai sebuah aturan main yang dipergunakan untuk

masa depan, disisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus

dilaksanakan.

Sejak upaya Rutan Kotamobagu Mengusahakan mendapat Predikat WBK dengan

membangun Zona Integritas peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, peneliti

menemukan berbagai fakta jalannya kebijakan ini berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan selama dua bulan lebih. Peneliti turun langsung di lapangan dan menggali

informasi dari beberapa pihak terkait yang menjadi pelaku atau pemangku peraturan

yang sudah ditetapkan. Mengacu pada fokus penelitian, sangat nampak dalam

wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap informan YS selaku Kepala

Subseksi Pengelolaan bertindak juga Kepala Bidang Pokja mengenai dasar

pelaksanaan kebijakan Pembangunan Zona Integritas , berikut jawaban yang

diberikan:

“Peraturan pelaksanaan ada tapi sudah lupa sudah tidak buka buka lagi
Cuma sebentar mau cek dulu di arsip untuk dasarnya terdapat di dalam
UU No 28 Tahun 1999 kemudian ada perpres 58 tahun 2018 tentang
strategi Nasional kemudian ada permenpan RB No 52 tahun 2014 ”.

Pernyataan yang diberikan menandakan bahwa salah satu dasar aturan yang di

pakai belum di kuasai secara baik oleh kepala bidang, karena menurut aturan ada yang

terbaru baik dari UU Pelayanan Publik. Seperti pernyataan yang diberikan oleh Y.S,

peneliti menemukan jawaban dari B yang merupakan Kepala Sub Seksie Pelayanan

Tahanan tentang pertanyaan yang sama. Berikut jawaban dari B:

54
“ada aturannya tapi sudah lupa tentang kebijakan WBK itu begitu juga
tentang pelayanan yang berlaku tentu berbasis HAM tapi sudah lupa”
ungkapnya.
Setelah mendapatkan jawaban tersebut untuk memperkuat data kemudian peneliti

mewawancarai dengan pertanyaan yang sama yaitu tentang dasar hukum dari

pelaksanaan pembangunan Zona Integritas kepada K selaku Sekretaris Pokja, berikut

penuturannya:

“Ada di permen RB tapi sudah lupa terdapat di mana intinya ada aturan
mengenai itu tapi sudah lupa tepatnya di mana baik permen dan aturan
pelaksanaan”
Dari penuturan di atas kembali peneliti mendapatkan jawaban yang terkesan sama,

kemudian untuk mempertajam informasi maka selanjutnya peneliti bertanya

mengenai bagaimana sebenarnya jalannya pelayanan apa sudah berdasarkan aturan

regulasi pelayanan dan apa kendala sudah teratasi, berikut jawaban K :

“Yang menjadi dasar pelaksanaan pelayanan Publik yaitu berdasarkan


HAM karena Kementerian Hukum dan Ham, kemudian ada SK dan SOP
Kekurangan pelayanan Publik di sini adalah fasilitas terlebih menyangkut
ke pemenuhan data dukung WBK pengaturan jadwal penguplotan data
dukung belum jelas kemudian karena tidak ada dokumentasi
mengakibatkan masih banyak file siluman. Sehingga membuat masalah
belum terselesaikan karena beberapa kegiatan belum di laksanakan
mangakibatkan kebijakan masalahnya belum di laksanakan dan
pemecahan masalahnya belum terselesaikan”.

Untuk memperdalam Informasi, maka penulis melakukan wawancara dengan

bagian peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang dalam hal ini adalah operator

Pokja pengisian data dukung Peningkatan kualitas pelayanan Publik. Penulis

mempertanyakan kendala dan file siluman yang di maksudkan sekretaris Pokja

Berikut jawaban yang penulis terima dari R.H.:

55
“Memang ada Kekurangan menyangkut ke pemenuhan data dukung WBK
pengaturan jadwal penguplotan data dukung yang di sebut file siluman,
kemudian menurut saya tidak ada pelatihan budaya pelayanan prima.
Di sisi lain mengenai penguplod Kalau dalam sisi verifikasi kanwil
kadang masih lolos tapi pada kenyataannya di lapangan alur SOP tidak
sesuai karena masing menggunakan tamping ”.

Dari pernyataan yang diterima oleh peneliti terhadap narasumber R. H,

menandakan bagaimana narasumber mengiyakan tentang File siluman peneliti menjadi

hambatan dalam penguplotan data serta yang menjadi kelemahan tidak ada pelatihan

budaya pelayanan Prima.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh empat informan di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok kerja belum memahami akan tugas pokok

dan fungsi dalam rangka pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM,

kemudian budaya pelayanan prima memang masih belum di terapkan membuat

pengunggahan data dukung Zona Integritas memakai file yang belum ada atau di sebut

file siluman namun sering lolos dalam Verifikasi Kanwil tapi tidak untuk maju

mendapatkan predikat WBK.

Tabel 4.1

Temuan Fokus

Indikator 1 Temuan

Pemahaman Pokja tentang 1. Pokja Zona Integritas belum memahami atau

Zona Integritas menguasai seutuhnya tentang regulasi yang

berlaku dalam rangka pemenuhan data

dukung

yang berupa data-data baik SK dokumen juga

56
dokumentasi pelayanan serta fasilitas

pelayanan publik untuk WBK WBBM.

2. Pengaturan jadwal Penggungahan data

dukung belum ada mengakibatkan pekerjaan

menjadi kurang tertata dan hilang arah.

3. Sering menggunakan File siluman atau file

yang tidak sesuai terindikasi palsu dalam

mengupload data dukung baik SK dokumen,

dokumentasi pelatanan serta fasilitas

pelayanan publik

4. File yang di upload masih sering lolos

verivikasi Kanwil walaupun file siluman

walaupun pada akhirnya tidak lolos

Sumber: diolah dari hasil penelitian

Selanjutnya Peneliti menggali informasi dari indikator tepat pelaksananya. Dalam

implementasi kebijakan terlebih mengenai progres dari pembangunan peningkatan

pelayanan publik di Rutan Kotamobagu terlebih mengenai fasilitas public apakah sudah

sesuai dengan aturan yang berlaku serta sudah meoptimalkan kerjasama dengan instansi

terkait. Mengacu pada fokus penelitian, sangat nampak dalam wawancara yang telah

dilakukan oleh peneliti terhadap informan K selaku Sekretaris Pokja pembangunan Zona

integritas, berikut jawabannya:

“Pelaksanaan sudah sesuai aturan tapi ada tapi belum lengkap fasilitas
contohnya belum adanya fasilitas penunjang pelayanan seperti ruang
laktasi, ruang bermain anak, dan coffe corner kemudian Kerjasama dengan

57
pemkot dari dinkes saja,hanya sebatas pereriksaan sanitasi, dapur sehat
vaksin dll kalau dengan masyarakat dengan penisian Survei Indeks
kepuasan”
Dari jawaban di atas Sekretaris pokja menjelaskan bahwa fasilitas penunjang

pelayanan belum lengkap dan kerjasama belum optimal, untuk itu peneliti selanjutnya

mengkonfirmasi akan dampak dari fasilitas yang belum lengkap terhadap data dukung

WBK, Peneliti Mewawancarai RH selaku operator Pokja peningkatan kualitas pelayanan

Publik, berikut penuturannya

“Memang fasilitas pelayanan kunjungan masih sangat menyesuaikan


kondisi Rutan pemeriksaan orang masih di lakukan tamping bukan
petugas ruang besuk kurang memadai harusnya ada ruang bermain anak
ruang laktasi coffe corner, self service, ini sangat berpengaruh karena akan
susah untuk mendokumentasikan dan mengupload data tersebut lagi-lagi
mengarah ke file siluman”.

Konfirmasi operator pokja Pelayanan di atas dapat di jelaskan bahwa memang

benar fasilitas yang di tuntut belum ada, bahkan peneliti menemukan fakta bahwa

pelayanan kadang di lakukan tamping atau narapidana yang mengakibatkan pokja

kesulitan untuk menjadikan data dukung yang valid.

Beranjak dari keterangan tersebut peneliti kemudian mewawancarai YS selaku

Kasubsie Pengelolaan yang membidangi tata ruangan, bmn dan pengelolaan

kepegawaian, untuk mengkonfirmasi mengenai fasilitas yang belum ada serta pelayanan

yang di lakukan oleh Narapidana, berikut jawabannya:

“Memang di benarkan fasilitas tersebut kurang di rutan kotamobagu, Kondisi


pada umumnya masih kekurangan SDM karena di lihat dari pelayanan masih
sering menggunakan tamping sehingga mengakibatkan pelayanan jadi kurang
optimal, sampai di PTSP masih tamping yang melayani”.

Dalam Penjelasannya Kasubsie pengelolaan membenarkan fasilitas belum

memadai di tambah pelayanan memang masih sering di lakukan oleh tamping atau

58
narapidana karena kekurangan sdm sampai di pelayanan PTSP, untuk mengkonfirmasi

hal ini peneliti kemudian mewawancarai B selaku Kasubsie Pelayanan tahanan yang

merupakan penanggung jawab PTSP mengenai jalannya pelayanan, berikut

penuturannya:

“Pelayanan di PTSP Belum terjadwal dan belum menerapkan pelayanan


prima bahkan betul masih sering menggunakan tamping dalam pelayanan,
memang salah satu kelemahan adalah kekurangan SDM”.

Dari penuturan yang di sampaikan kasubsie pengelolaan memang mengakui

bahwa pelayanan di ptsp masih di lakukan oleh tamping atau narapidana dan mengakui

kelemahannya adalah kekurangan SDM, berdasarkan keterangan tersebut peneliti tertarik

membahas apakah dengan kendala tersebut mempengaruhi akan rencana penyelenggaran

pembangunan Zona Integritas, maka peneliti kembali mewawancarai K selaku sekretaris

Pokja mengkonfirmasi

“Jelas sangat berpengaruh karena mempengaruhi pengisian data dukung


yang jadi tidak lengkap serta dokumentasinya, mengalami kendala juga di
bagian jaringan sering gangguan, kemudian untuk verifikasi butuh data
dukung yang baik tapi kadang belum lengkap sudah upload”.

Mengkonfirmasi keterangan dari sekretaris pokja peneliti bertanya mengenai kendala

yang memperngaruhi rencana pembangunan Zona Integritas, kembali peneliti

mewawancarai RH selaku operator pokja, berikut jawabannya:

“Menurut saya dalam pelayanan sebenarnya Ada target waktu contoh di


ptsp dan besukan tapi jika di lihat dari SOP untuk keluar besukan tidak
ada, membuat kesulitan memenuhi data dukung Kadang juga betul
masalah jaringan dan bila ada jaringan walau belum lengkap sudah di
upload”.

Dari penuturan para informan di atas peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa

fasilitas publik yang belum memadai seperti ruang laktasi dan ruang bermain,

59
mengakibatkan kesulitan dalam mengumpulkan data dukung dalam rangka pemenuhan

60
syarat untuk meraih predikat WBK di tambah lagi kekurangan SDM memaksa beberapa

pelayanan di lakukan oleh tamping atau narapidana, kesulitan ini menjadi lengkap karena

sering juga terjadi gangguan jaringan sehingga ada beberapa kesempatan yang

mengharuskan data di upload walau belum lengkap.

Tabel 4.2

Temuan Fokus

Indikator 2 Temuan

Fasilitas Penunjang 1. belum adanya fasilitas penunjang pelayanan seperti ruang

Pelayanan? laktasi, ruang bermain anak, dan coffe corner yang

merupakan syarat mutlak dari pembangunan zona

Integritas

2. Kerjasama dengan pemkot dari dinkes saja,hanya sebatas

pereriksaan sanitasi

3. Pelayanan pemeriksaan pengunjung masih di lakukan

tamping bukan petugas.

4. Kondisi pada umumnya masih kekurangan SDM atau

kekurangan Pegawai

5. Pelayanan di PTSP Belum terjadwal dan belum

menerapkan pelayanan prima bahkan masih

menggunakan tamping atau narapidana dalam pelayanan.

6. Kendala juga di bagian jaringan sering gangguan saat

penguploadtan data dukung

61
7. Standart operasional prosedur untuk pembesuk keluar

besukan tidak ada.

Sumber: diolah dari hasil penelitian

Selanjutnya peneliti mencari makna dengan indikator apa kebijakan yang di

lakukan Rutan sudah tepat target. Artinya berkenaan dengan kebijakan apakah sesuai

dengan yang direncanakan, kemudian tidak tumpang tindih atau tidak bertentangan

dengan intervensi kebijakan lain yang bersifat memperbaharui implementasi kebijakan

dalam hal ini kebijakan mengenai pembangunan Zona Integritas terlebih bagian

peningkatan kualitas pelayanan public, maka dari itu peneliti bertanya apakah sudah

optimal sosialisasi yang di lakukan kepada setiap pegawai atau masyarakat dalam

menunjang kegiatan tersebut terlebih tentang Inovasi pelayanan yang di lakukan, peneliti

mewawancarai K selaku Sekretaris Pokja pembangunan Zona Integritas, demikian

jawabannya.

“Dalam hal ini mengenai sosialisai tentang pentingnya pembangunan Zona


Integritas terlebih di bidang pelayanan public menurut saya, belum di buat
sosialisasi kemudian SOP juga tidak di tempel karena mungkin kemarin
masih covid dan masih terbatasnya dana untuk WBK. Kemudian
mengenai Inovasi pelayanan di Rutan membuat Inovasi yang berbasis
aplikasi android yaotu Siapor tapi tidak jalan kemudian program lantanabe
atau layanan antar bebas tapi tidak jalan juga”.

Berdasarkan penuturan Informan di atas menyatakan bahwa kurangnya sosialisasi

mengenai pentingnya Zona Integritas, SOP belum di tempel dan dana untuk hal itu

terbatas, serta mengenai beberapa inovasi pelayanan yang terbengkalai, maka untuk

mengkonfirmasi hal tersebut peneliti melakukan wawancara kepada 2 informan pertama

kepada RH selaku Operator Pokja Pelayanan mengenai sosialisasi dan SOP dan Kepada

62
YS selaku Kepada Bidang Pokja mengenai Inovasi dan Pendanaan tersebut, berikut

jawabannya :

(RH) Ada sosialisai Cuma berupa penyampaian saat pengisian Survei WBK, SOP
juga memang tidak di pasang karna tidak di cetak, kita bisa saja menempel SOP
tapi karena memang tidak di cetak mau bagaimana lagi.

(YS) Inovasi berupa aplikasi dalam bentuk Siapor Aplikasi berbasis Android tapi
tidak jalan kemudian program lantanabe tidak jalan juga itu aplikasi layanan antar
bebas, Belum jalan Inovasi karena masih banyak kendala, belum di lakukan
sosialisasi mungkin dan belum adanya yang perlu layanan.

Dari penuturan dua informan di atas membenarkan bahwa kurangnya sosialisasi

pelayanan terlebih mengenai Inovasi membuat Inovasi yang di canangkan tidak jalan,

sosialisasi juga lewat banner untuk di tempel tidak di buat, untuk memperdalam

Informasi mengenai Inovasi yang belum jalan peneliti melakukan wawancara kepada B

selaku Kasubsie pelayanan Tahanan yang membawahi mengenai Inovasi pelayanan

tersebut, berikut penjelasannya:

Iya, ada memang Inovasi yang di lakukan berupa berupa program


lantanabe dan siapor, ya, itu aplikasi yang di dalamnya berupa fitur yang
memudahkan masyarakat menerima informasi Rutan dan bisa mendaftar
dalam rangka membesuk WBP, menjadi kendala dalam sosialisasi kami
mempersiapkan sosialisasi berupa video panduan tapi belum jadi.

Dari penjelasan Informan-Informan di atas dapat di jelaskan bagaimana sosialisasi

baik lewat penyapaian langsung, atau lewat banner atau lewat Video belum berjalan

sebagai mana mestinya semua, sehingga Inovasi yang di canangkan menjadi sia-sia.

63
Tabel 4.3
Temuan Fokus
Indikator 3 Temuan
Sosialisasi Kebijakan 1. Sosialisai mengenai pembangunan ZOna

Integritas belum jalan

2. Banner SOP belum di pasang

3. Ada Inovasi pelayanan Aplikasi Siapor dan

Lantanabe tapi tidak jalan

4. Di persiapkan sosialisasi berupa Video tapi

belum selesai di lakukan

Sumber : Di Olah oleh peneliti.

Indikator selanjutnya Tepat lingkungan, yang kebijakan dalam artian interaksi

antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang

terkait. Juga mengenai lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri dari publik opinion

yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, maka dalam hal ini

peneliti bertanya kepada RH selaku operator Pokja Peningkatan kualitas pelayanan publik

apakah pembenahan kualitas pelayanan publik sudah menjawab kerinduan masyarakat

dalam menunjang pembangunan Zona Integritas, berikut jawabannya.

Respon masyarakat mengenai pelayanan kami tentunya selain untuk


meraih predikat WBK tentu pelayanan yang berbasis ham terusa di
laksanakan di sini tapi untuk lebih lagi seperti inovasi belum sosialisasikan
tapi pada dasarnya masyarakat merasakan peningkatan pelayanan, namun
Fasilitas publik belum semua karena sarana dan prasarana terbatas di
karenakan terbatasnya dana untuk membuat fasilitas tersebut baik ruang
laktasi ruang bermain anak dll

Selanjutnya untuk memperdalam Informasi peneliti bertanya tentang hal yang

sama kepada K selaku Sekretaris Pokja, berikut penuturannya:

64
65
Belum ada respon karena belum di sosialisasikan tapi pada dasarnya
masyarakat merasakan peningkatan pelayanan permintaan Masyarakat
yang menjadi Kebutuhan Masyarakat juga menurut saya Belum bisa
terakomodir semua karena sarana dan prasarana terbatas di karenakan
terbatasnya dana untuk membuat fasilitas tersebut terlebih fasilitas fasilitas
dasar seperti ruang bermain dan lain-lain.

Dari penuturan Informasi di atas fasilitas publik menjadi kendala utama di sini

belum ada, maka selanjutnya peneliti melakukan wawancara kepada YS selaku Kasubsie

Pengelolaan untuk mengkonfirmasi sebenarnya kendala dari fasilitas tersebut belum

tersedia karena apa, berikut jawabannya:

Fasilitas public seperti ruang bermain dan laktasi Belum ada


pembangunan tempat yang seperti itu, di dalam laporan penguggahan data
dukung sering di laporkan dengan data yang berbeda dengan di lapangan,
kendala adalah bagaimana dana di DIPA tidak ada untuk pembangunan,
kendala juga untuk kerjasama antar pegawai.

Jika di lihat dari penjelasan informan di atas bahwa data dukung yang di laporkan

berbeda di karenakan ada kendala di bagian DIPA serta pengeluhan mengenai senior

yang tidak mau di libatkan, beranjak dari itu peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam

mengenai penganggaran lewat Dipa mengenai tuntutan fasilitas pelayanan Publik sebagai

syarat untuk pembangunan Zona Integritas, maka peneliti Meawancarai JN, selaku

pengelola keuangan:

Jika di Tanya Untuk pembangunan gedung tidak ada untuk baliho yang di
cetak-cetak di ambil serta pengaturan dari kita saja dari dana rutin tapi
pada dasarnya tidak ada anggaran DIPA yang di alolasikan untuk
pembangunan contoh Ruang laktasi dan ruang bermain anak.

Berdasarkan jawaban tersebut peneliti coba bertanya mengenai sumber

pembangunan PTSP itu di dapat dari mana, karena pembangunan tersebut belum lama

66
selesai untuk syarat penilaian zona Integritas tapi di katakana pengelola keuangan tidak

ada anggaran, berikut jawabannya:

“Dana itu sebagian besar dari swadaya atau proposal tapi bentuk
pertanggung jawaban nanti jadi tidak jelas bisa sebenarnya itu bisa jadi
temuan, karena saat menerima dana dan setelah pembangunan harus ada
pengurusan hibah yang jelas prosesnya jadi panjang, untuk tahun 2023
sudah ada anggran untuk WBK tapi Cuma sebatas anggaran perjalanan
Dinas tidak untuk pembangunan”.

Berdasarkan penjelasan informan di atas bahwa dana untuk pembangunan untuk

Zona Integritas tidak terdapat dalam pengalokasian DIPA, tapi ada pembangunan PTSP

yang katanya berasal dari proposal dana swadaya, maka dari itu untuk mengetahui

legalitas dari hal tersebut peneliti mewawancarai IL selaku pengelola BMN, berikut

penjelasannya:

“Dana Pembangunan selama ini untuk WBK kebanyakan dari dana Hibah
sawaday atau proposal contohnya ptsp yang sudah terbangun, Sebenarnya
untuk pengurusannya bisa dari awal walau panjang bisa di lakukan
masalah hibah dan pertanggung jawaban, tapi sekarang sudah terlanjur
jadi bangunan tidak di urus penambahan bangunan, pada dasarnya
bangunan dari dana swadaya bisa sekali asalkan untuk kepentingan kantor
dan umum bukan kepentingan pribadi, namun di akui saat ini memang
belum ada pengurusan itu”.

Berdasarkan penuturan dari informan-informan di atas peneliti dapat menarik

kesimpulan bahwa fasiltas publik menjadi sangat terbatas pembangunannya dalam rangka

zona Integritas karena tidak di anggarkannya dalam DIPA sehingga untuk pembangunan

di cari dana di luar, tapi tanpa pertanggungjawaban, karena susah terlanjur membangun

tanpa ada koordinasi yang jelas untuk pengurusan hibah dari awal

Tabel 4.4

Temuan Fokus

67
Indikator 4 Temuan

68
Ketersediaan sarana dan 1. Fasilitas public seperti ruang bermain dan

prasarana pelayanan laktasi Belum ada pembangunan tempat

2. dalam laporan penguggahan data dukung

sering di laporkan dengan data yang berbeda

dengan di lapangan

3. dana di DIPA tidak ada untuk pembangunan

Ruang laktasi dan ruang bermain anak serta

coffe corner

4. pembangunan PTSP dari dana Proposal

Swadaya

5. belum ada pertanggungjawaban dan Hibah

mengenai pembangunan gedung PTSP

Sumber : di olah oleh peneliti

Selanjutnya peneliti membahas Indikator Tepat proses, disini bagaimana

memahami pelayanan publik sebagai inti dari kebijakan suntuk sebuah aturan main yang

dipergunakan untuk masa depan, tugas pemerintah yang harus dilaksanakan. Maka dari

itu peneliti bertanya mengenai proses SOP yang sudah terjadi di rutan kotamobagu,

peneliti mewawancarai K selaku Sekretaris Pokja:

Pelayanan publik sudah jalan Jika di contohkan untuk prosedur kunjungan itu
mulai dari pendaftaran sampai penggeledahan ada tahapannya tapi seingat saya
kelemahannya SOP keluar pembesuk belum ada.

Selanjutnya untuk memperdalam informasi peneliti menanyakan hal yang sama

kepada R selaku operator pokja pelayanan, berikut penjelasannya:

69
Contoh untuk besukan SOP pengunjung dating di sambut Duta layanan di
persilahkan duduk untuk mengambil nomor antrian tunggu giliran dan di panggil
Tanya maksud dan tujuan contoh besukan di mintakan KTP untuk di input masuk
lewat P2U di geledah bertemu dengan keluarga selesai itu tapi untuk SOP pulang
belum di buatkan

Berdasarkan keterangan informan di atas memang masih pincang dalam

penyusunan SOP belum lengkap, maka dari itu selanjutnya peneliti bertanya kembali

kepada K apakah setiap bagian sudah berfungsi dengan baik, berikut jawabannya

Untuk menjalani pekerjaan tanggung jawab setiap pegawai Belum berjalan


dengan baik karena masih ada beberapa pegawai yang merangkap pekerjaan
contoh saya sebagai operator SDP juga sebagi tim Humas, teman saya di bidang
lain juga seperti itu kadang tidak terfokus memaksakan banyak pekerjaan yang di
limpahkan oleh Tamping atau Tahanan pendamping.

Dari penjelasan informan di atas bahwa pekerjaan menjadi kurang optimal karena

banyak yang sudah merangkap jabatan sehingga memaksa pekerjaan di perbantukan

tahanan pendamping atau narapidana. Selanjutnya peneliti bertanya kepada RH mengenai

hal tersebut,berikut jawabannya

Memang betul banyak pekerjaan yang di lakukan oleh tamping karena mungkin
pekerjaan pegawai selain ada beberapa yang rangkap tugas, juga ada senior yang
beberapa belum mendunkung pembangunan Zona integritas, itu jadi kesulitasn
tersendiri

Dari jawaban tersebut dapat di jelaskan bahwa Cuma sebagian pegawai yang rangkap

pekerjaan, tapi ada juga sebagian yang memang belum mendukung pembangunan zona

integritas terlebih para pegawai senior. Untuk mengkonfirmasi hal ini peneliti

mewawancarai YS selaku pegawai senior dan juga Kasubsi pengelolaan bagaian

kepegawaian:

“Iya memang betul ada beberapa senior yang belum mau libatkan dalam
pelayanan, karena pelayanan sekarang kan serba IT tapi ada beberapa senior

70
yang belum menguasai penuh atas hal tersebut, kadang jika di libatkan belum
bertanggng jawab”.

Atas pernyataan tersebut kemudian peneliti bertanya apakah ada sangksi yang di

berikan kepada pegawai yang kurang menunjang pembangunan zona integritas, berikut

jawabannya

“Sangksi Cuma berupa teguran mengakibatkan pegawai tersebut hanya di


tegur mengiyakan bulan depan buat lagi, jadi agak susah membangu budaya
pelayanan prima kita juga tidak dapat memaksa”.

Dari jabawan-jawaban informan-informan di atas dapat di simpulkan bahwa SOP

belum tersusun lengkap kemudian ada beberapa pegawai yang merangkap pekerjaan

mengakibatkan rangkap jabatan memaksa beberapa pekerjaan di lakukan oleh

Narapidana. Kemudian Sebagian Pegawai senior tidak mau di libatkan dalam pelayanan

pembangunan Zona Integritas, di karenakan ada Beberapa pegawai belum menguasai IT.

Ada teguran bagi yang kurang berpartisipasi tapi sering tidak di indahkan di karenakan

Tidak adanya sangsi bagi pegawai yang tidak mau terlibat dalam pembangunan Zona

Integritas .

Tabel 4.5

Temuan Fokus

Indikator 5 Temuan

Ketersediaan sumber daya 1. SOP belum tersusun lengkap

2. Ada beberapa pegawai yang merangkap

pekerjaan

3. Karena rangkap jawatan memaksa beberapa

pekerjaan di lakukan oleh Narapidana.

71
4. Sebagian Pegawai senior tidak mau di

libatkan dalam pelayanan pembangunan Zona

Integritas.

5. Beberapa pegawai belum menguasai IT

6. Ada teguran bagi yang kurang berpartisipasi

tapi sering tidak di indahkan

7. Tidak adanya sangsi bagi pegawai yang tidak

mau terlibat dalam pembangunan ZOna

Integritas .

Sumber : Diolah oleh peneliti

4.3 Pembahasan

4.3.1 Kebijakan Pembangunan Zona Integritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Tiga sasaran hasil utama yaitu peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi,

pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan pelayanan publik adalah

bagian dari Reformasi Birokrasi. hal tersebut merupakan suatu target kinerja aparatur

sipil negara dalam rangka pembangunan zona integritas,

Zona integritas adalah sebuah konsep yang biasa di gunakan oleh pemerintah

untuk menunjukkan semangatnya dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana

korupsi. Integrity atau integritas diartikan sebagai sikap ataupun budaya yang

menunjukkan konsistensi antara perkataan dan perbuatan serta sikap untuk menolak

segala tindakan tercela yang dapat merugikan diri dan instansinya. Adapun arti dari

zona dapat
72
73
digambarkan dengan unit-unit instansi pemerintah yang telah menanamkan nilai

integritas di dalamnya. Zona Integritas (ZI) adalah sebutan atau predikat yang diberikan

kepada kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang pimpinan dan semua

jajarannya mempunyai komitmen secara utuh, untuk mewujudkan WBK dan WBBM

melalui upaya pencegahan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas

pelayanan publik. Kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang telah

mencanangkan sebagai ZI mengusulkan salah satu unit kerjanya untuk menjadi Wilayah

Bebas dari Korupsi.

Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) adalah predikat yang diberikan kepada suatu

unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen perubahan, penataan tata laksana,

penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, dan penguatan akuntabilitas

kinerja. Sedangkan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) adalah predikat

yang diberikan kepada suatu unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen

perubahan, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan

pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan penguatan kualitas pelayanan public

Paling penting dalam Tahapan pembangunan zona integritas adalah pembangunan

itu sendiri. Pembangunan berarti membangun integritas pada unit instansi pemerintah

melalui berbagai perubahan dan perbaikan yang terencana, massif, komprehensif, dan

sistematis. Membangun integritas berarti membangun sistem, membangun manusia, dan

membangun budaya. Membangun Manusia berarti membangun mindset aparatur

pemerintah untuk enggan, malu, dan merasa bersalah tidak melakukan pelayanan prima

kepada masyarakat terlebih melakukan tindak pidana korupsi serta tindakan tercela

lainnya. Proses membangun mindset tidak mudah, karena akan ditemukan keengganan

bahkan penolakan. Selain itu pula diperlukan waktu yang tidak singkat dengan
74
pembiasaan

75
yang terus menerus, membangun sistem berarti membangun berbagai instrumen, sarana

dan prasarana , membuat SOP, dan kebijakan untuk pencegahan.

Untuk Mempercepat pencapaian sasaran reformasi birokrasi, Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI mengeluarkan Peraturan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun

2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona

Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan

Melayani di lingkungan Instansi Pemerintah;

Rutan Kelas IIB Kotamobagu yang adalah Unit kerja dari Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sulawesi Utara, juga sudah berupaya untuk

mendapat predikat WBK/ WBBM Sebagai langkah awal sudah dicanangkannya

pembuatan dan penandatanganan Pakta Integritas yang disaksikan oleh pihak pemangku

kepentingan, penanda tanganan ini merupakan tonggak awal dan merupakan indikator

utama dalam penilaian. Membuat kontrak kinerja yang jelas dan mengevaluasi pekerjaan

yang telah dilaksanakan apakah telah sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak

kinerja dimaksud. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat harus ditingkatkan untuk

memberi kepuasan kepada pemangku kepentingan.

Dalam Hal ini secara terpusat kebijakan mengenai Reformasi Birokrasi khususnya

peningkatan Pelayanan Publik sudah di tempuh bahkan ada standartnya seperti fasilitas

ruang bermain anak dan ruang laktasi, namun dalam pelaksanaan ada saja Standart yang

belum di lakukan oleh Rutan Kotamobagu. Menyangkut Fasilitas pelayanan Jika di lihat

dari masalah kita bisa mensanding bandingkan dengan Prinsip Implementasi Kebijakan

76
Publik Menurut Nugroho (2011:650) prinsip-prinsip pokok dalam implementasi

kebijakan publik, (1) apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. (2) tepat pelaksananya.

Dalam penelitian ini dapat di lihat Kelompk kerja pembangunan Zona Integritas belum

memahami atau menguasai seutuhnya tentang regulasi yang berlaku dalam rangka

pemenuhan data dukung dan fasilitas pelayanan pubik untuk WBK WBBM

mengakibatkan pekerjaan menjadi kurang tertata dan hilang arah. Dan sering melakukan

tindakan-tindakan yang kurang baik dalam pemenuhan data dukung, yang di upload tidak

sesuai dengan kenyataan menjadi tertanam budaya pelayanan prima yang kurang optimal,

itu terbukti dengan hasil pencapaian penggnggahan data dukung yang tidak mencapai

100%.

Tabel 4.6

Data Upload Pokja di aplkasi E-RB

Sumber: E-RB Kemenkumham

Kemudian Fasilitas pelayanan public yang belum ada seperti ruang laktasi, ruang

bermain anak, dan coffe corner yang merupakan syarat mutlak dari pembangunan zona

77
Integritas ini yang menjadi salah satu penghambat dalam Rutan kotamobagu meraih

Predikat WBK, belum atau tidak tersedianya dana untuk prmbangunan-pembanguan

tersebut hampir menjadi mustahil Rutan Kotamobagu meraih predikat WBK karena itu

adalah syarat mutlak yang harus di adakan,

Berdasarkan Standart Pelayanan Publik yang di keluarkan ombudsman RI

berdasarkan UU No 25 Tahun 2002 Fasilitas Pelayanan Publik yang di maksud antara

Lain Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Parkiran Motor. Ruang Tunggu PTSP,

Penunjuk Arah., Jalur Disabilitas, Ruang Advokat, Ruang Kesehatan dan Ruang Ibu

Menyusui. Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA). Pasal 29 Undang-undang Nomor 25

Tahun 2009

1) Penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakukan khusus

kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan 2)

Sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik dengan perlakukan khusus

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang digunakan oleh orang yang tidak berhak.

Hal ini jelas menjelaskan bahwa harus menyediakan Fasilitas Khusus untuk penyandang

disabilitas dalam rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang juga merupakan

salah satu dari 6 Area Perubahan yang di tekankan untuk di perbaiki dan di optimalkan.

Termasuk juga mengenai mengenai ketersediaannya Fasilitas Publik seperti

Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) yang merupakan amanah dari Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan juga Ruang Laktasi yang diatur mengenai

penyediaan fasilitas khusus ruang menyusui melalui Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor


78
15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau

79
Memerah Air Susu Ibu. Pengaturan tersebut tentu tidak terlepas dari Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Pasal 128 yang mengatur hak

bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, menjadi

percuma setiap keikutsertaan tapi fasilitas penunjang itu tidak di adakan, menjadi lebih

parah memaksakan untuk membangun dengan dana yang tidak tau dari mana serta tidak

ada pertanggung jawaban.

Belum lagi Kondisi pada umumnya kekurangan pegawai Jika di lihat dari indikator

(3) tepat target. (4) Tepat lingkungan, (5) tepat proses, Yang idealnya jika di Rutan itu 1

: 10 artinya 1 Pegawai berbanding 10 narapidana, faktanya saat ini 1 pegawai berbanding

23 Narapidana dikarenakan regu penjagaan 16 orang itupun di bagi 5 shiff, hal ini

memaksakan beberapa pekerjaan di lakukan secara rangkap bahkan di perbantukan

narapidana untuk mengerjakannya dan ini juga salah satu kelemahan untuk mewujudkan

kerinduan Rutan Kotamobagu untuk meraih predikat WBK.

Kemudian lanjut dalam operasional pelayanan masih ada SOP yang tidak lengkap

kemudian tidak di sosialisaikan menjadi kelemahan juga, belum lagi Inovasi pelayanan

yang tidak jalan, kelemahan ini semakin di perparah dengan beberapa pegawai yang tidak

secara optimal melibatkan diri untuk perpartisipasi dalam pembangunan Zona Integritas.

Tidak adanya sangsi bagi pegawai yang tidak mau terlibat dalam pembangunan Zona

Integritas menjadi salah satu pekerjaan rumah juga bagaimana pimpinan bisa memotivasi

semua pegawai untuk berpartisipasi secara aktif dan kolektif serta konsisten .

Masih banyak yang harus dikerjakan, tak perlu ragu memantapkan diri menuju

pembangunan zona integritas untuk meraih predikat WBK/WBBM. Pada akhirnya

efektivitas pembangunan zona integritas sangat ditentukan oleh komitmen pimpinan dan

80
seluruh jajaran pegawai di dalamnya. Semua keberhasilan menunjukkan bahwa

komitmen menjadi syarat utama sebuah instansi yang berintegritas. Jika komitmen kuat,

maka mewujudkan institusi yang bersih dan melayani melalui pembangunan zona

integritas akan menjadi sebuah keniscayaan. Namun jika komitmen lemah, cita-cita

menjadi zona integritas hanya akan menjadi sebatas angan dan pencitraan.

81
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitiaan yang telah dianalisis dan diuraikan dalam pembahasan, maka

peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan Pembangunan Zona Integritas Menuju WBPK/WBBM belum berjalan

dengan baik di karenakan Pegawai belum memahami atau menguasai seutuhnya

tentang regulasi yang berlaku dalam rangka pemenuhan data dukung dan fasilitas

pelayanan publik untuk pembangunan Zona Integritas.

2. Tidak tersedianya Dana DIPA untuk menunjang pembangunan Zona Integritas

mengakibatkan Belum tersedianya fasilitas pelayanan publik yang menjadi dasar

pemenuhan data dalam rangka pembangunan zona Integritas, memaksa pembangunan

hanya dari dana swadaya yang kurang jelas asal usul dan pertanggung jawabannya.

3. Kekurangan SDM menjadi salah satu permasalahan yang berdampak dalam

pelayanan, sehingga banyak pegawai yang merangkap pekerjaan di sisi lain meminta

Narapidana untuk membantu pekerjaan.

4. Inovasi yang di lakukan belum di laksanakan baik dari sosialisasi sampai dengan

keutuhan SOP tidak jalan berdampak dalam penguggahan data dukung yang tidak

sesuai.

5. Motivasi sebagian pegawai masih kurang dalam keterlibatan secara utuh untuk

pembangunan Zona Integritas mengakibatkan Pokja kesulitan menjadwalkan

penguunggahan data dukung.

82
5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan diatas maka selanjutnya penulis akan

memberikan saran-saran yang diharapkan dapat menjadi masukkan bagi Rutan Kotamobagu

sebagai berikut:

1. Dilaksanakan sosialisasi tentang betapa penting pembangunan Zona Integritas Menuju

WBPK/WBBM agar semua pegawai dapat memahami atau menguasai seutuhnya tentang

regulasi yang berlaku dalam rangka pemenuhan data dukung dan fasilitas pelayanan

publik untuk pembangunan Zona Integritas.

2. Dapat di usahakan ketersediaan Dana DIPA untuk menunjang pembangunan Zona

Integritas agar dapa tersedianya fasilitas public yang menjadi dasar pemenuhan data

dukung dalam rangka pembangunan zona Integritas, upaya jelas pertanggung

jawabannya.

3. Bisa mengusulkan penambahan pengadan pegawai supaya tidak lagi meminta Narapidana

untuk membantu pekerjaan.

4. Dapat di optimalkan lagi Inovasi yang di canangkan supaya SOP-SOP yang di buat bisa

lengkap dan dalam penguggahan data dukung yang bisa sesuai.

5. Agar lebih memotivasi lagi sebagian pegawai dalam keterlibatan secara utuh untuk

pembangunan Zona Integritas, akalu perlu di berlakukan sangksi.

83
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta:
PT Karya Unipress.
Dimock & Koenig. 1960. Public Administration. Dalam Syafiie, Inu Kencana. 2010.
Ilmu Administrasi Publik. Cetakan Ke-2. Jakarta: RINEKA CIPTA.
Halim, Abdul, 2004. Akuntansi Keuangan Daerah, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik (Konsep,
Teori, dan Isu). Yogyakarta: Gava Media
Mamesah, D, J. 1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Pustaka
Utama
Miles & Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjep Rohendi
Rohidi, UI Press.
Moleong, Lexi J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung
Nasution, Arif. 2000, Demokrasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju,
Bandung
Prakosa, Kesit Bambang, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Pres, Yogyakarta
Siahaan, P. Marihot, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta
Siagian, P. Sondang. 2012. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya.
Cetakan kelima. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta,
Jakarta
Sugiyono, “Memahami Penelitian Kualitatif”, Alfabeta, Bandung, 2009.
Sugiono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif dilengkapi Contoh Proposal dan
Laporan Penelitian, Alfabeta. Bandung.
Tachan, H. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung : Puslit KP2W Lemlit, Unpad.
Thoha, Miftah, Dimensi – Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, citra niaga
Rajawali pers, Jakarta, Cet. 5, 2002.
Wahab, Solichin A. 2011. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta.
Yani, Ahmad, 2002, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah
Di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
Sumber Regulasi:
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas
Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di lingkungan
Instansi Pemerintah

84
DOKUMENTASI

85
86
87
88

Anda mungkin juga menyukai