Anda di halaman 1dari 8

TUGAS RESUME

Isna Ridlorohmah Mahardika


201710220311110

Kajian Karakteristik Fisik dan Mekanik Edible Film Berbasis Pati Umbi Suweg
(Amorphophallus paeoniifolius) dengan Variasi Konsentrasi Lilin Lebah

PENDAHULUAN
Umbi suweg dapat berpotensi sebagai pangan alternatif karena mengandung kadar
pati yang cukup tinggi yaitu sekitar 80-85% dengan kadar amilosa sebesar 24,5% dan kadar
amilopektin sebesar 75,5%. Dengan memiliki kadar pati yang cukup tinggi tersebut, umbi
suweg ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Menurut Penelitian
Saputra dkk. (2015) edible film dari pati umbi suweg dengan penambahan gliserol pada
konsentrasi yang berbeda menghasilkan kuat tarik dan elongasi yang semakin meningkat, dan
akan mengalami penurunan ketika gliserol yang ditambahkan semakin banyak dikarenakan
penambahan gliserol yang semakin banyak menyebabkan edible film menjadi lebih lentur
dan mudah sobek. Sehingga perlu adanya modifikasi dengan penambahan bahan lain untuk
meningkatkan karakteristik fisik dan mekanik edible film dari pati umbi suweg.
Penembahan bahan lain ntuk meningkatkan hal tersebut salah satunya yaitu dengan
penambahan lilin lebah. Adanya penambahan lilin lebah diharapkan mampu memperbaiki
sifat mekanik film yang dihasilkan dengan meningkatkan ketebalan film karena terbentuknya
kristal lilin lebah pada matriks film. Menurut penelitian Dhimas dkk. (2018) penambahan
lilin lebah pada edible film dengan konsentrasi yang 1% - 3% dapat meningkatkan nilai
ketebalan karena terbentuknya matriks film dan menghambat laju transmisi uap air lebih baik
karena sifat lilin yang hidrofobik. Penambahan lilin lebah pada konsentrasi 4% - 5% dapat
menurunkan karakteristik edible film karena lilin lebah melampui titik jenuhnya sehingga
tidak homogen dalam campuran bahan edible film sehingga perlu dilakukannya penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi yang tepat untuk mempertahankan karakteristik
edible film tersebut. Selain itu Edible film dari komposit yang terdiri dari hidrokoloid dan
lipid memungkinkan terjadinya perbedaan kepolaran sehingga diperlukan penambahan
emulsifier, yaitu STTP (Sodium Tripolyphospate). Penambahan STTP ini diharapkan dapat
menyatukan kepolaran larutan edible film yang berbeda.
PROSES PEMBUATAN PATI DAN EDIBLE FILM
Umbi suweg dikupas, kemudian direndam dengan larutan NaCl 10% selama 24 jam
untuk menghilangkan kalsium oksalat. Setelah 24 jam umbi suweg dicuci dengan air
mengalir untuk menghilangkan sisa kotoran yang masih menempel pada umbi. Kemudian
umbi suweg diparut, lalu dilakukan ekstraksi pati dengan penambahan air. Hasil ekstraksi
kemudian diendapkan selama 12 jam. Endapan yang diperoleh dikeringkan menggunakan
cabinet dryer pada suhu 50 o C selama 6 jam, kemudian padatan kering selanjutnya
dihaluskan dan diayak. Padatan yang lolos 80 mesh adalah pati umbi suweg.
Pembuatan edible film diawali dengan menyiapkan aquades sebanyak 125 ml
kemudian penambahan pati sesuai perlakuan (3%,4%, dan 5%) (b/v), penambahan lilin lebah
sesuai perlakuan (1%, 2%, dan 3%) (b/v), penambahan gliserol 1,25% dan STTP 0,4%.
Adonan edible film dipanaskan diatas hot plate stirrer hingga mencapai suhu ±85 o C dan
dipertahankan selama 5 menit. Selama proses pemanasan tersebut adonan terus diaduk
menggunakan magnetic stirrer. Larutan edible film kemudian dilakukan proses pendinginan
sampai suhu 35 oC-40 oC. Adonan edible film selanjutnya dicetak pada loyang yang telah
dilapisi plastik dan kaca. Cetakan dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan suhu ±50
o C selama 24 jam. Setelah dikeringkan edible film dilakukan penyimpanan selama 24 jam
dan kemudian dilepaskan dari cetakan.
PARAMETER
Penelitian ini bertujuan untuk karakteristik edible film pati umbi suweg
(Amorphaphollus paeoniifolius) dengan variasi konsentrasi lilin lebah. Karakteristik yang
dianalisis diantaranya adalah ketebalan edible film, elongasi, kuat tarik, laju transmisi uap air
(water vapor transmission rate/ WVTR), kelarutan dalam air, transparansi dan struktur
permukaan.
PEMBAHASAN
Kadar air menjadi salah satu parameter penting dalam menentukan mutu pati yang
mempengaruhi hasil akhir produk. Menurut Hafidz dan Rini (2017) menyatakan bahwa
semakin tinggi kadar air yang terkandung pada pati dapat menyebabkan resiko kerusakan
pada saat proses penyimpanan karena adanya mikroba yang berkembang. Kadar air yang
tinggi pada pati dapat disebabkan pada proses pengeringan suhu yang digunakan kurang
tinggi atau waktu yang digunakan kurang lama. Pengeringan pada pati bertujuan untuk
mengurangi kadar air sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas
enzim penyebab kerusakan pada pati dapat dihambat. Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel
1) diketahui bahwa kadar air pati umbi suweg yaitu 11,05% yang masih memenuhi
persyaratan SNI yaitu 14,5%.

Kadar pati yang dihasilkan dari analisa bahan baku umbi suweg adalah 75.05%. Hasil
ini tidak jauh berbeda dengan hasil literatur Kadar pati dari suatu bahan dipengaruhi oleh
umur panen umbi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hafidz dkk. (2017) bahwa semakin tua
umur umbi yang dipanen maka akan menghasilkan kadar pati yang rendah karena kadar pati
yang telah optimum pada umbi akan dikonversi secara perlahan menjadi serat dan
menurunkan kadar pati yang telah terkandung.
Berdasarkan hasil analisa (tabel 1) kadar amilosa yang dihasilkan tidak jauh berbeda
dengan hasil literatur. Variabilitas jumlah amilosa pada setiap bahan diakibatkan karena
adanya kompleksitas biosintesis pati yang dipengaruhi oleh faktor genetik berbagai enzim
dan kondisi lingkungan (Copeland et al. 2009). Kadar amilosa sangat berperan pada proses
gelatinisasi, retrogadasi dan lebih menentukan karakteristik pasta pati. Menurut Richana dan
Sunarti (2004) pati yang mengandung kadar amilosa yang semakin tinggi mempunyai ikatan
hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga
membutuhkan energi yang lebih besar untuk gelatinisasi. Kadar amilosa yang semakin
banyak menyebabkan teksturnya menjadi keras.
ANALISIS FISIK DAN MEKANIK EDIBLE FILM
Nilai ketebalan yang tidak signifikan dimana penambahan lilin lebah yang semakin
meningkat menunjukkan kenaikan kemudian mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
karena konsentrasi lilin lebah yang semakin tinggi maka akan melampui titik jenuhnya
sehingga menyebabkan banyak lilin lebah yang tidak terlarut dan mengurangi jumlah volume
sehingga berdampak pada ketebalan edible film yang semakin rendah nilainya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Herawan (2015) bahwa komposisi cairan edible film yang ditambahkan
lilin lebah melampui titik jenuhnya dapat menyisakan lilin lebah yang tidak larut sehingga
ketika pada suhu ruang menjadi gumpalan dan mengurangi volume dalam larutan edible film
yang berdampak pada ketebalan edible film yang semakin rendah. Jumlah larutan yang
dituang juga mempengaruhi ketebalan edible film. Hal ini sesuai pernyataan Azizah (2018)
bahwa ketebalan edible film dipengaruhi oleh volume larutan yang dituangkan kedalam
cetakan. Edible film akan terlihat lebih tebal jika volume larutan yang dituangkan kedalam
cetakan lebih banyak. Penambahan pati umbi suweg yang semakin tinggi juga meningkatkan
ketebalan edible film. Hal ini sesuai dengan pernyataan Warkoyo,dkk. (2014) bahwa
penambahan jumlah pati yang semakin besar, akan meningkatkan polimer penyusun matriks
film dan total padatan edible film semakin besar sehingga film yang dihasilkan semakin tebal.

Transparansi merupakan kemampuan edible film untuk meneruskan cahaya.


Transparansi edible film dipengaruhi oleh komponen penyusun dan ketebalan film. Semakin
tinggi nilai ketebalan maka akan berbanding lurus dengan nilai transparansi yang dihasilkan
dikarenakan banyaknya cahaya yang diserap oleh spektrofotometer melalui edible film. Lilin
lebah yang digunakan dalam penelitian ini adalah lilin lebah yang bewarna kuning.
Penambahan lilin lebah yang semakin tinggi menyebabkan penurunan nilai transparansinya.
ini sesuai dengan pernyataan Johan dan Zubaidah (2017) konsentrasi lilin lebah yang
ditambahkan semakin tinggi akan meningkatkan kekentalan larutan film dengan adanya
padatan yang terlarut semakin meningkat, sehingga menyebabkan polimer pembentuk film
bertambah banyak akibat kekentalan film yang semakin meningkat. Menurut Golsbreg and
Williams (2003) peningkatan viskositas dari suatu lilin lebah yang ditambahkan pada larutan
edible film akan berpengaruh terhadap edible film karena tampak kusam dan buram
menyebabkan pembauran cahaya meningkat sehingga tingkat transparansinya menurun. Nilai
transparansi yang cenderung naik turun ini disebabkan oleh munculnya gelembung ketika
edible film telah kering. Hal ini dapat disebabkan karena berbagai faktor salah satunya adalah
pemanasan lilin lebah yang melebihi titik leburnya. Sesuai dengan pernyataan Sihombing
(2002) bahwa lilin lebah yang telah mencair dan terus dipanaskan melebihi titik leburnya,
maka akan ada uap yang juga naik ke permukaan dan jika mendidih akan menghasilkan
gelembung uap.

Karakteristik Fisik, Mekanik Dan Zona Hambat Edible Film Dari Pati Singkong Karet
(Manihot Glaziovii ) Dengan Penambahan Gliserol Dan Ekstrak Jahe Merah (Z Ingiber
Officinale Var Rubrum) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella
Lady Agitasi Amrillah1, Warkoyo 1, Desiana Nuriza Putri 1* 1 Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang, Indonesia

PENDAHULUAN
Edible film merupakan salah satu pengemas alternatif yang ramah lingkungan karena
terbuat dari bahan alami. Salah satu bahan utama yang digunakan untuk membuat edible film
yaitu bahan pangan yang mengandung pati seperti singkong karet. Singkong karet memiliki
kadar pati yang cukup tinggi jika dibandingan dengan tanaman penghasil pati lainnya,
sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan pembuatan edible film. Komponen
penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin, dimana keduanya akan sangat berperan dalam
sifat fisik dan mekanik yang akan dihasilkan oleh edible film. Pati dengan kadar amilosa
tinggi menghasilkan edible film yang lentur dan kuat.Edible film yang hanya tersusun dari
pati akan menghasilkan film yang rapuh sehingga dibutuhkan agen plasticizer yang nantinya
dapat memperbaiki sifat mekaniknya. Gliserol termasuk salah satu agen plasticizer . Gliserol
bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentukan film yang bersifat hidrofobik
seperti pati. Ia dapat meningkatkan penyerapan molekul polar seperti air.Untuk melindungi
bahan pangan dari bahaya mikrobia terutama yang bersifat patogen, perlu ditambahkan
senyawa aktif pada edible film sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang
merugikan. Senyawa fenol merupakan salah satu dari senyawa yang dapat berfungsi sebagai
antibakteri. Senyawa fenol juga terdapat pada jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum).
METODE
Bahan- bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah, singkong karet dengan
tingkat kematangan yang cukup (umur panen 14 bulan) didapatkan dari Desa Sari Mulyo
Kecamatan Jombang Kabupaten Jember, jahe merah (umur panen 10 bulan) didapat dari
Desa Dawuhan Lor Kecamatan Sukodono Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain c abinet d ryer , ayakan
ukuran 80 mesh, blender, timbangan analitik, evaporator , freezer, , oven pengering, loyang
plastik 20cm×28cm, plastik pp ( polyprophylene ), texture analyzer (shimizu LAF ( laminar
airflow), spectrophotometer, inkubator, autoclave.
Pembuatan Pati singkong dimulai dari proses sortasi, pengupasan, pencucian,
penghalusan dengan cara tradisional untuk memudahkan ekstraksi pati. Lalu dilakukan
penambahan aquades (5:1) dari jumlah singkong. Penyaringan yang menghasilkan filtrat lalu
kemudian di endapkan selama 24 jam dan air endapan di buang. Endapan pati dicuci 3 kali
untuk pembersihan, kemudian dilakukan proses pengeringan dengan kabinet yang sudah
diatur suhu 55oC, selama 12 jam. Lalu kemudian dihaluskan dengan blender dan di ayak
dengan ayakan 80 mesh
Pembuatan ekstrak jahe dimulai dengan pembersihan jahe sebanyak 1 Kg. Lalu
pemotongan ± 5mm, pengeringan kabinet 50oC selama 15 jam, penghancuran dengan
blender dan pengayakana dengan ayakan 80 mesh. Kemudian penimbangan serbuk sebanyak
100 gram, penambahan etanol 96% sebanyak 400 ml dalam erlenmeyer, di gojok 5 menit dan
di endapkan 24-27 jam dengan sesekali di gojok. Hasil endapan disaring dengan
menggunakan kertas whatman no 42 dengan dibantu alat pompa vakum. Ekstrak yang
didapatkan kemudian diuapkan dengan menggunakan evaporator hingga didapatkan ekstrak
kental. Kemudian disimpan pada refrigerator hingga saat akan digunakan.
Pembuatan Edible Film dibuat dengan mencetak 100 ml larutan film dengan pati
singkong 4,5 g dan variasi jumlah gliserol (20%; 25%; 30%) serta variasi ekstrak jahe merah
(0%; 0,5%; 1%; 1,5%). kemudian dipanaskan diatas stirer hotplate sampai mencapai suhu
85ºC, dipertahankan selama 5 menit, larutan didinginkan hingga suhu 40ºC ditambahkan
ekstrak jahe merah (sesuai perlakuan). Larutan edible film yang diperoleh dituang dalam plat
kaca, selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 50ºC selama 24 jam
(Warkoyo, 2014 modifikasi). Pengeringan dihentikan setelah film mudah dilepas dari plat.
Setelah kering, film didinginkan pada suhu ruang selama 15 menit. Lapisan film dilepas dari
plat plastik dan selanjutnya dianalisis sifat fisik, mekanik, serta antibakterinya.
PARAMETER
 Analisis kimia pati singkong: kadar air, kadar pati, kadar amilosa dan kadar
amilopektin terhadap pati yang telah dihasilkan.
 Edible film: kuat tarik, elastisitas, ketebalan, laju transmisi uap air (WVTR),
kelarutan, densitas, transparansi, kadar air serta pengukuran zona hambat untuk
mengetahui efektivitas jahe merah sebagai penghambat Salmonella.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan Tabel 1 kandungan kimia dari bahan baku berbeda dengan yang
ditunjukkan oleh literatur, pada literatur kandungan patinya lebih tinggi dibandingkan bahan
baku penelitian. Hal ini dapat dikarenakan faktor perlakuan pada tanaman singkong yang
kemungkinan berbeda. Menurut Ginting dkk. (2005) dimana kadar pati dipengaruhi oleh
jenis/ klon, umur panen optimum masing-masing umbi, dan kondisi cuaca pada saat panen.
Semakin cepat atau semakin lama tanaman dipanen dari umur panen optimum semakin
rendah kadar pati umbinya.

 Kadar Air edible film


Hasil analisis ragam pada penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan
penambahan gliserol berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air edible film aktif jahe merah.
Nilai kadar air yang ditunjukkan memiliki perbedaan dengan pendapat literatur, hal ini dapat
disebabkan oleh penambahan gliserol antar perlakuan yang selisihnya tidak terlalu besar,
sehingga nilai kadar air yang dihasilkan menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Jadi,
semakin rendah konsentrasi gliserol mengakibatkan air yang terikat pada matriks edible film
semakin rendah, sehingga kadar air edible film rendah pula. Sedangkan rerata kadar air edible
film aktif karena penambahan ekstrak jahe merah dalam gliserol berpengaruh tidak nyata
terhadap kadar airnya. Pada masing- masing perlakuan penambahan ekstrak jahe merah
selisihnya tidak terlalu besar sehingga fenol yang mengikat air dalam edible film tidak
bersilisih terlalu tinggi sehingga nilai kadar air yang dihasilkan tidak berbeda secara
signifikan.
 Densitas edible film
Hasil analisis ragam pada penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan
penambahan gliserol berpengaruh tidak nyata terhadap densitas edible film aktif jahe merah.
Perlakuan edible film dengan penambahan gliserol nilai rerata densitasnya tidak berbeda
nyata, hal ini dapat dikarenakan massa yang dimiliki oleh bahan tidak berselisih terlalu jauh
mengingat jumlah gliserol yang ditambahkan tidak selisih banyak. Sedangkan edible film
dengan penambahan jahe merah dalam gliserol menunjukkan hal yang serupa yaitu tidak
berpengaruh nyata. Ekstrak jahe merah yang ditambahkan pada edible film akan membuat
bahan aktif yang didapatkan dari ekstrak jahe meningkatkan jumlah padatan terlarut dari
edible film tersebut sehingga meningkatkan massa dari edible film tersebut.
 Ketebalan edible film
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan gliserol dan
jahe merah berpengaruh nyata terhadap ketebalan edible film. Nilai ketebalan berkisar antara
0,161mm- 0,347mm. Semakin tinggi gliserol dan ekstrak jahe merah yang ditambahkan
menunjukkan semakin meningkat nilai ketebalannya. Hal ini dapat dikarenakan semakin
tinggi penambahan gliserol dan ekstrak jahe merah maka semakin menambah padatan terlarut
pada edible film sehingga massanya bertambah yang menyebabkan meningkatnya nilai
ketebalan film.
 Kelarutan edible film
Hasil analisis ragam verdasarkan penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan
penambahan gliserol berpengaruh tidak nyata terhadap kelarutan edible film aktif jahe merah.
Nilai kelarutannya bekisar antara 41,86%- 43,83%. Nilai kelarutan digunakan untuk
menunjukkan ketahanan suatu film terhadap air. Gliserol yang ditambahkan akan menambah
ikatan hidroksil sehingga semakin banyak air yang akan terikat dengan semakin besarnya
penambahan gliserol pada edible film . Sedangkan nilai kelarutan edible film dengan
penambahan ekstrak jahe merah dalam gliserol berkisar 38,17%- 46,71%. Hal ini
dikarenakan ekstrak jahe merah termasuk kedalam golongan hidrokoloid, dimana hidrokoloid
ini bertugas untuk larut dalam air pada bahan sehingga semakin meningkatnya penambahan
ekstrak jahe merah maka akan meningkatkan pula nilai kelarutannya.
 Transparansi edible fiim
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan gliserol dan
jahe merah berpengaruh nyata terhadap transparansi edible film. Hasil transparansi dengan
penambahan gliserol dan jahe merah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi jahe
merah yang ditambahkan maka nilai transparansinya semakin tinggi. Nilai rata- rata
transparansi yang dihasilkan berkisar antara 1,197 A546/mm– 3,253 A546/mm. Nilai yang
dihasilkan berbanding terbalik dengan sifat transparansi, nilai yang semakin tinggi
menunjukkan bahwa film tersebut semakin tidak transparan atau semakin keruh.
 Kuat tarik edible film
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan gliserol dan
jahe merah berpengaruh nyata terhadap kuat tarik edible film. Nilai kuat tarik edible film
berkisar antara 0,121 MPa- 0,251 MPa. Semakin meningkatnya penambahan gliserol nilai
kuat tariknya juga ikut meningkat serta ditambahkannya ekstrak jahe merah juga
mempengaruhi nilai kuat tariknya. Hal ini dapat dikarenakan dengan ditambahkannya gliserol
dan ekstrak jahe merah maka total padatan terlarut semakin besar dan nilai kuat tarik
berbanding lurus dengan ketebalan, semakin tebal suatu edible film maka semakin besar pula
gaya yang dibutuhkan untuk memutus edible tersebut. Berdasarkan Japanese Industrial
Standart (1975) menyebutkan bahwa nilai standart minimal nilai kuat tarik edible film
0,392266 MPa.
 Perpanjangan edible film
Nilai perpanjangan yang dihasilkan dari Edible film aktif jahe merah menunjukkan
nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dikarenakan konsentrasi penambahan gliserol
pada masing- masing perlakuan edible film tidak berselisih banyak sehingga nilai
perpanjangan yang dihasilkan tidak jauh beda antara satu sama lain. Sedangkan untuk nilai
perpanjangan edible film karena penambahan ekstrak jahe merah berkisar antara 42,88%-
49,74%. Berdasarkan nilai analisis perpanjangan edible film aktif jahe merah menunjukkan
nilai yang sama namun tergolong memiliki nilai yang tinggi.
 Laju Transmisi Uap Air/ Water Vapor Transmission Rate (WVTR)
nilai WVTR dari edible film jahe merah berkisar antara 30,37- 38,43 g/m2/24jam.
Gliserol yang ditambahkan pada edible akan membuat terisinya rongga- rongga matriks yang
ada pada edible film tersebut sehingga menjadikan matriksnya lebih rapat yang menyebabkan
sulit ditembus oleh uap air yang ada, selain itu ketebalan edible film ikut mempengaruhi nilai
WVTR nya. Hasil analisa WVTR karena penambahan konsentrasi ekstrak jahe merah dalam
gliserol menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WVTR nya. Hal ini
dapat dikarenakan penambahan ekstrak jahe yang memiliki selisih yang kecil sehingga nilai
dari WVTR yang dihasilkan tidak berselisih terlalu jauh. Menurut Japanes Industrial
Standart (1975), plastik film yang baik untuk kemasan makanan adalah film yang
mempunyai nilai permeabilitas uap air maksimal 7 gr/ (m2/hari).
 Zona Hambat Edible Film
Nilai zona hambat dari edible film meningkat seiring dengan konsentrasi jahe merah
yang meningkat sedangkan pada hal ini penambahan gliserol diduga tidak memiliki pengaruh
terhadap zona hambat edible film terhadap bakteri Salmonella . Rerata zona hambat yang
dihasilkan berkisar antara 12,83 mm- 35,50 mm. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi ekstrak jahe merahnya maka semakin besar
nilai zona hambat yang dihasilkan dari penanaman edible film dengan ditambahkannya
bakteri Salmonella.

KESIMPULAN
Terjadi pengaruh pada edible film penambahan gliserol dan ekstrak jahe merah
dengan konsentrasi berbeda terhadap parameter ketebalan, transparansi, kuat tarik dan zona
hambat. Serta pada parameter zona hambat terhadap bakteri Salmonella menghasilkan rata-
rata zona hambat yang mencapai 34,17 mm dengan penambahan ekstrak jahe merah 1,5%.

Ulasan: menurut saya pembahasan jurnal ini memiliki bahasa yang mudah di mengerti
sehingga pembaca dapat lebih memahami isi dari jurnal ini. Dalam jurnal ini juga
mendapatkan hasil bahwa penambahan ekstrak jahe yang semakin tinggi maka dapat
menghambat bakteri salmonella

Anda mungkin juga menyukai