15. HAWALAH
Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.
Selain diatur di dalam KHES, hawalah juga diatur di dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000
tentang Hawalah dan Fatwa DSN No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.
Rukun hawalah/pemindahan utang disebutkan dalam Pasal 318 ayat (1) KHES, yaitu:
1. muhil (peminjam);
2. muhal (pemberi pinjaman);
3. muhal ‘alaih (penerima hawalah);
4. muhal bihi (utang); dan
5. akad.
Beberapa syarat hawalah diatur dalam Pasal 320 s/d 328 KHES, yaitu:
a. peminjam harus memberitahukan kepada pemberi pinjaman bahwa ia akan memindahkan
utangnya kepada pihak lain;
b. persetujuan pemberi pinjaman mengenai rencana peminjam untuk memindahkan utang adalah
syarat dibolehkannya akad hawalah/pemindahan utang;
c. akad hawalah/pemindahan utang dapat dilakukan jika pihak penerima hawalah/pemindahan utang
menyetujui keinginan peminjam.
16. RAHN
Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
Selain diatur di dalam KHES, rahn juga diatur di dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn (pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang), Fatwa DSN No. 26/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn Emas (menahan barang berupa emas sebagai jaminan utang), dan Fatwa DSN
No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily (pinjaman atau transaksi lain yang menimbulkan utang
piutang dengan memberikan jaminan barang dengan ketentuan barang tersebut masih dikuasai dan
digunakan oleh pihak berutang).
Menurut Pasal 329 ayat (1) KHES, unsur (rukun) akad gadai terdiri dari:
1. penerima gadai;
2. pemberi gadai;
3. harta gadai;
4. utang; dan
5. akad.
Beberapa syarat rahn/gadai diatur dalam Pasal 331 s/d 341 KHES, yaitu:
a. akad gadai sempurna bila harta gadai telah dikuasai oleh penerima gadai;
b. harta gadai harus bernilai dan dapat diserahterimakan;
c. harta gadai harus ada ketika akad dibuat;
d. harta gadai dapat diganti dengan harta gadai yang lain berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak;
e. utang yang dijamin oleh harta gadai bisa ditambah secara sah dengan jaminan harta gadai yang
sama;
f. setiap tambahan dari harta gadai merupakan bagian dari harta gadai asal;
1
g. akad gadai dapat dibatalkan bila harta gadai belum dikuasai oleh penerima gadai;
h. penerima gadai dengan kehendak sendiri dapat membatalkan akad gadainya;
i. pemberi gadai dan penerima gadai dapat membatalkan akad gadainya melalui kesepakatan;
j. penerima gadai boleh menahan harta gadai setelah pembatalan akad gadai sampai utang yang
dijamin oleh harta gadai itu dibayar lunas.
17. WADI’AH
Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya
untuk menjaga dana tersebut.
Pasal 370 ayat (1) KHES menyebutkan bahwa rukun wadi’ah terdiri dari:
1. muwaddi’ (penitip);
2. mustaudi’ (penerima titipan);
3. wadi’ah bih (harta titipan); dan
4. akad.
Beberapa syarat wadi’ah diatur dalam Pasal 372 dan Pasal 373 KHES, yaitu:
a. harta wadi’ah harus dapat dikuasai dan diserahterimakan;
b. penitip (muwaddi’) dan penerima titipan (mustaudi’) dapat membatalkan akad wadi’ah sesuai
kesepakatan.
Akad wadi’ah terdiri atas akad wadi’ah amanah dan akad wadi’ah dhamanah, dimana terhadap kedua
akad tersebut berlaku beberapa ketentuan yang diatur di dalam Pasal 374 dan Pasal 375 KHES yaitu:
o Dalam akad wadi’ah amanah, penerima titipan (mustaudi’) tidak dapat menggunakan harta titipan
(wadi’ah bih), kecuali atas izin penitip (muwaddi’).
o Dalam akad wadi’ah dhamanah, penerima titipan (mustaudi’) dapat menggunakan harta titipan
(wadi’ah bih) tanpa seizin penitip (muwaddi’).
o Penerima titipan (mustaudi’) dalam akad wadi’ah dhamanah dapat memberikan imbalan kepada
penitip (muwaddi’) atas dasar sukarela. Imbalan yang diberikan tersebut tidak boleh dipersyaratkan di
awal akad.
18. WAKALAH
Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.
Selain diatur di dalam KHES, wakalah juga diatur di dalam Fatwa DSN No. 10/DSN-MUI/IV/2000
tentang Wakalah dan Fatwa DSN No. 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Wakalah bi Al-Ujrah.
Pasal 457 ayat (1) KHES menyebutkan bahwa rukun wakalah terdiri dari:
1. wakil (penerima kuasa);
2. muwakkil (pemberi kuasa); dan
3. akad.
Beberapa syarat wakalah diatur dalam Pasal 457 s/d 474 KHES, diantaranya:
a. akad pemberian kuasa terjadi apabila ada ijab dan kabul;
b. penerimaan diri sebagai penerima kuasa bisa dilakukan dengan lisan, tertulis, isyarat, dan atau
perbuatan;
c. akad pemberian kuasa batal jika pihak penerima kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa;
d. suatu transaksi yang dilakukan oleh seorang penerima kuasa dalam hal hibah, pinjaman, gadai,
titipan, peminjaman, kerja sama, dan kerja sama dalam modal/usaha, harus disandarkan kepada
2
kehendak pemberi kuasa. Apabila transaksi tersebut tidak merujuk untuk diatasnamakan kepada
pemberi kuasa, maka transaksi tersebut tidak sah;
e. transaksi pemberian kuasa sah jika kekuasaannya dilaksanakan oleh penerima kuasa dan hasilnya
diteruskan kepada pemberi kuasa;
f. hak dan kewajiban di dalam transaksi pemberian kuasa dikembalikan kepada pihak pemberi kuasa;
g. barang yang diterima pihak penerima kuasa dalam kedudukannya sebagai penerima kuasa
penjualan, pembelian, pembayaran, atau penerimaan pembayaran utang atau barang tertentu, maka
dianggap menjadi barang titipan;
h. jika seorang atau badan usaha yang berutang mengirim sejumlah uang sebagai pembayaran
utangnya melalui penerima kuasa kepada yang berpiutang dan uang itu hilang ketika ada di tangan
penerima kuasanya sebelum diterima oleh yang berpiutang, maka yang berutang itu harus
bertanggung jawab mengganti kerugian. Namun, jika penerima kuasa berasal dari pihak yang
berpiutang, maka yang berpiutang harus bertanggung jawab mengganti kerugian;
i. jika disyaratkan upah bagi penerima kuasa dalam transaksi pemberian kuasa, maka penerima
kuasa berhak atas upahnya setelah memenuhi tugasnya;
j. jika pembayaran upah tidak disyaratkan dalam transaksi, dan penerima kuasa itu bukan pihak yang
bekerja untuk mendapat upah, maka pelayanannya itu bersifat kebaikan saja dan ia tidak berhak
meminta pembayaran.
Transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan atau terbatas, dimana terhadap transaksi
pemberian kuasa tersebut berlaku beberapa ketentuan yang diatur di dalam Pasal 472 dan Pasal 473
KHES yang menyebutkan bahwa:
o Penerima kuasa yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum secara mutlak, maka ia bisa
melakukan perbuatan hukum secara mutlak.
o Penerima kuasa yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatanhukum secara terbatas, maka ia hanya
bisa melakukan perbuatan hukum secara terbatas.
3
19. TA’MIN
Ta’min/asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi ta’min untuk menerima penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Selain diatur di dalam KHES, ta’min juga diatur di dalam Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Pasal 554 KHES menyebutkan bahwa akad yang digunakan pada ta’min dan i’adah ta’min adalah:
1. wakalah bil ujrah;
2. mudharabah;
3. tabarru’.
Objek wakalah bil ujrah diatur dalam Pasal 556 KHES, antara lain:
a. kegiatan administrasi;
b. pengelolaan dana;
c. pembayaran klaim;
d. dhaman ishdar/underwriting;
e. pengelolaan portofolio risiko;
f. pemasaran;
g. investasi.
Pasal 558 KHES mengatur tentang kedudukan para pihak dalam akad wakalah bil ujrah, yaitu:
a. perusahaan bertindak sebagai wakil yang mendapat kuasa untuk mengelola dana;
b. peserta/pemegang polis sebagai individu, dalam produk tabungan dan non tabungan bertindak
sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;
c. peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun non tabungan, bertindak sebagai pemberi
kuasa untuk mengelola dana;
d. wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin
pemberi kuasa/pemegang polis;
e. akad wakalah bersifat amanah dan bukan tanggungan sehingga wakil tidak menanggung risiko
terhadap kerugian investasi dengan mengurangi imbalan yang telah diterima oleh perusahaan
ta’min, kecuali karena kecerobohan, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum, di samping sifat
akad pada umumnya;
f. perusahaan ta’min sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi apabila
transaksi yang digunakan adalah pelaksanaan akad wakalah.
4
Selain itu, dalam pengelolaan dana yang terkumpul berlaku ketentuan yang diatur di dalam Pasal 559
KHES bahwa:
o Perusahaan selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi
wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
o Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabungan maupun non tabungan, dapat digunakan akad
wakalah bil ujrah atau akad mudharabah.
Pasal 563 KHES menyebutkan bahwa pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu
alternatif sebagai berikut:
a. Hasil investasi dibagi antara perusahaan sebagai pengelola modal dan peserta sebagai pemilik
modal sesuai dengan nisbah yang disepakati atau bagian hasil investasi sesudah diambil
oleh/dipisahkan untuk/disisihkan untuk perusahaan sebagai pengelola modal; dibagi antara
perusahaan dengan para peserta sesuai dengan porsi masing-masing.
b. Hasil investasi dibagi secara proporsional atau bagian hasil investasi sesudah
diambil/dipisahkan/disisihkan untuk perusahaan, dibagi antara perusahaan sebagai pengelola
modal dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
5
C. Akad Non Tabungan Pada Ta’min dan I’adah Ta’min
Ketentuan umum dari ta’min dan i’adah ta’min non tabungan diatur di dalam Pasal 566 dan Pasal 567
KHES, yaitu:
a. akad non tabungan harus melekat pada semua produk ta’min dan i’adah ta’min;
b. akad non tabungan pada ta’min dan i’adah ta’min berlaku pada semua bentuk transaksi yang
dilakukan antar peserta pemegang polis;
c. ta’min dan i’adah ta’min yang dimaksud pada huruf a adalah: (1) ta’min ‘ala hayat (ta’min jiwa),
dan (2) ta’min ‘ala khasarah (ta’min kerugian);
d. akad non tabungan pada ta’min dan i’adah ta’min mengikat semua bentuk transaksi yang
dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan non tabungan dan tolong menolong antar peserta,
bukan untuk tujuan komersial
Pasal 569 KHES mengatur tentang kedudukan para pihak dalam transaksi non tabungan, yaitu:
a. Dalam transaksi non tabungan hibah, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta atau peserta lain yang terkena musibah.
b. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana non tabungan dan secara
kolektif selaku penanggung.
c. Perusahan bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar transaksi wakalah dari para peserta
di luar pengelolaan investasi.
Apabila terjadi kelebihan dana non tabungan maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
a. diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun non tabungan;
b. disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta
yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko;
c. disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada
perusahaan ta’min dan reta’min dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
Apabila terjadi kekurangan dana kebajikan, maka perusahaan ta’min dan i’adah ta’min wajib
menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk pinjaman. Pengembalian dana pinjaman kepada
perusahaan ditutup dari surplus dana non tabungan.
6
20. PASAR MODAL SYARIAH
Selain diatur di dalam KHES, pasar modal syariah juga diatur di dalam Fatwa No. 40/DSN-MUI/X/2003
tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
C. Transaksi Efek
Pasal 583 dan Pasal 584 KHES menyebutkan bahwa:
a. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan
melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba,
maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.
b. Tindakan spekulasi transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah,
maksiat dan kezhaliman mencakup:
1. najsy; melakukan penawaran palsu;
2. bai' al-ma'dum; melakukan penjualan atas barang/efek syariah yang belum dimiliki/short
selling;
3. insider trading; memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi
yang dilarang;
4. menimbulkan informasi yang menyesatkan;
5. melakukan investasi pada emiten/perusahaan yang pada saat transaksi tingkat/nisbah utang
perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
6. margin trading; melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis
bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut; dan
7
7. ihtikar/penimbunan; melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk
menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain;
8. dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur di atas.
c. Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari
aset yang menjadi dasar penerbitan efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang
teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.
21. QARDH
Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka
waktu tertentu.
Selain diatur di dalam KHES, qardh juga diatur di dalam Fatwa No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-
Qardh.
Beberapa ketentuan umum mengenai qardh diatur dalam Pasal 612 s/d 617 KHES, diantaranya:
a. nasabah al-qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah
disepakati bersama;
b. biaya administrasi qardh dapat dibebankan kepada nasabah;
c. pemberi pinjaman dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu;
d. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada pemberi pinjaman
selama tidak diperjanjikan dalam transaksi;
e. jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah
disepakati dan pemberi pinjaman lembaga keuangan syariah telah memastikan
ketidakmampuannya dapat: (a) memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau (b)
menghapus/write off sebagian atau seluruh kewajibannya;
f. sumber dana al-qardh berasal dari: (a) bagian modal lembaga keuangan syariah; (b) keuntungan
lembaga keuangan syariah yang disisihkan; dan/atau (c) lembaga lain atau individu yang
mempercayakan penyaluran infaknya kepada lembaga keuangan syariah.
NOTE:
8
Fatwa DSN No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
https://drive.google.com/file/d/0BxTl-lNihFyzdWhkNkpRLWd4Qms/view
Fatwa No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di
Bidang Pasar Modal
https://drive.google.com/file/d/0BxTl-lNihFyzSm1BWGZaX19ZQjA/view