Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

INDIKASI GEOGRAFIS DI KOTA REMBANG

DISUSUN OLEH :

1.Ahmad Jaelani Danifulhaq (20.02.51.0002)

2.Raskhafi Fajar Septiyanto (20.02.51.0024)

3.Patrick Assyauqi Lil Alamin (20.02.51.0015)

4.Hendrian Setio Nugroho (20.02.51.0025

PROGAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM DAN BAHASA

UNIVERSITAS STIKUBANK SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
berjudul “INDIKASI GEOGRAFIS DI KOTA REMBANG”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Amin.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indikasi Geografis salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang terdiri
dari Merek, Hak Cipta, Desain Produk, Paten, Indikasi Geografis, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang, Varietas Tanaman. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Indikasi berarti petunjuk atau tanda dan Geografi yang berasal dari kata
Geografis berarti ilmu bumi. Dapat diartikan bahwa Indikasi Geografis berarti petunjuk atau
tanda yang menunjukan suatu daerah maupun karakteristik atau lokasi yang ada di bumi.

Indikasi Geografis menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016


tentang Merek dan Indikasi Geografis, berbunyi: Suatu tanda yang menunjukan daerah asal
suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas dan
karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Indikasi Geografis merupakan jenis perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.


Perlindungan Indikasi Geografis memiliki perbedaan dari perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual lainnya, yaitu kepemilikannya bersifat komunal dan mengidentifikasi daerah
sebagai ciri khasnya. Indikasi Geografis merupakan tanda yang mengidentifikasi suatu
daerah sebagai asal barang, di mana kualitas, karakteristik dan reputasi barang yang
dihasilkan ditentukan oleh faktor geografis. Barang atau produk berasal dari sumber daya
alam, kerajinan tangan dan hasil industri yang menunjukan kekhasan dari daerahnya dapat
menjadi Indikasi Geografis.

Perlindungan Indikasi Geografis bertujuan melindungi barang atau produk dari


pemalsuan atau pemanfaatan oleh pihak yang tidak berhak serta memberikan peluang kepada
masyarakat wilayah penghasil barang atau produk khas tersebut. Selain itu Indikasi Geografis
juga memberi perlindungan kepada konsumen karena memberikan jaminan kualitas terhadap
barang atau produk.
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa saja motif batik lasem?
2.Bagaimana sejarah terbentuknya batik lasem?

1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui jenis motif batik lasem.
2.Untuk mengetahui sejarah terbentuknya batik lasem.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Batik Lasem

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan terkenal
dengan produksi batik. Daerah ini memiliki banyak penghasil batik terbaik di Jawa dengan
ciri khas batik pesisir yang indah melalui pewarnaan yang berani. batik Lasem merupakan
salah satu jenis batik pesisiran yang memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasan tersebut
merupakan hasil dari akulturasi dari budaya Tiongkok dan Jawa. Orang-orang Tiongkok
pada awalnya banyak menetap di pesisir utara pulau Jawa. Hal tersebut terjadi karena
pelabuhan-pelabuhan besar pulau Jawa semuanya terletak di sepanjang pantai utara Jawa.
Tetapi, sebelum akulturasi dengan Tiongkok, batik Lasem bermula pada masa
kepemimpinan Bhre Lasem I (1350-1375). Dalam buku Alkuturasi Lintas Zaman di Lasem:
Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga-Sekarang), Nurhajarini menerangkan, pada
masa itu batik sudah menjadi pakaian bangsawan di wilayah Lasem.

Budayawan Lasem, Edi Winarno, menyatakan bahwa batik tulis Lasem sudah ada sejak
zaman Majapahit. Corak Majapahit dapat ditemukan dari nama-nama Majapahit dalam motif
batik Lasem, misalnya motif kendoro kendiri, kawung, dan grinsing. Hingga saat ini, para
perajin batik masih mengenal istilah sogan Majapahit yaitu warna dominan berwarna
cokelat. Kemudian batik Lasem berkembang dengan kedatangan bangsa Tiongkok saat
armada Dinasti Ming, di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho, berlabuh di dekat Lasem
pada 1413 M. Menurut R. Panji Kamzah dalam Carita Sejarah Lasem, salah seorang anggota
armada bernama Bi Nang Un tertarik untuk menetap di Lasem. Atas izin Cheng Ho, Bi
Nang Un pulang ke Champa untuk menjemput keluarganya dan kembali ke Lasem bersama
istri, anak, dan kerabat dari Champa, China. Bi Nang Un tinggal di rumah yang terletak di
Desa Jolotundo sebagai hadiah dari Adipati Lasem Wijayabadra. Anaknya yang bernama Bi
Nang Ti kemudian hari menikah dengan Adipati Badranala sehingga muncul akulturasi
budaya.

Bi Nang Ti mengajari penduduk sekitar keterampilan membatik. Ia juga mengajari


kreasi paduan motif bernuansa Tiongkok dengan motif Jawa. Astaufi Hepi Perdana
menjelaskan dalam Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik Tahun 2009
bahwa paduan motif Burung Hong, Liong, Bunga Seruni, Banji, dan Mata Uang Kepeng
yang berwarna merah merupakan ciri khas Tiongkok. Dengan ciri khas yang unik tersebut,
batik Lasem memiliki nilai jual dalam dunia perdagangan dan dikirim ke seluruh wilayah
Nusantara. Berdasarkan buku Aspek Ritual dan Kreativitas Dalam Perkembangan Seni di
Jawa karya Soedarsono, pedagang Portugal membeli batik di Jawa Tengah (Surakarta,
Yogyakarta, dan Lasem) pada tahun 1519 lalu menjualnya ke berbagai pelosok Nusantara.
Ketika Belanda datang, mereka mengikuti jejak pedagang Portugal dan
mengembangkan wilayah perdagangan batik hingga mancanegara, seperti Singapura dan
Srilanka. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels, rakyat
dipaksa untuk membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan. Dari kondisi rakyat saat
membangun jalan tersebut, tercipta motif Krecak atau Watu Pecah. Para perajin batik Lasem
turut mengintegrasikan kejadian-kejadian masa penjajahan Belanda ke dalam batik. Motif
batik Lasem pun semakin berkembang dan menjadi gambaran nyata tentang kehidupan yang
terjadi di Lasem. Melansir dari situs National Geographic, masa keemasan perusahaan batik
yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai pada tahun 1860-an. Pengusaha
batik Lasem mempekerjakan sekitar 2.000 orang pekerja untuk proses artistik dan sekitar
4.000 pekerja untuk proses lainnya. Penelitian IPI menyebutkan hingga tahun 1970-an,
produksi batik Lasem masih termasuk enam besar di Indonesia, selain Surakarta,
Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. Adanya perubahan politik dan kebijakan
perdagangan pasca Orde Baru berpengaruh pada kejayaan batik Lasem.

Pada 1997 terjadi krisis moneter yang menyebabkan banyak pengusaha batik Lasem
gulung tikar. Kemudian di tahun 2004, batik Lasem mulai bangkit kembali hingga
momentum historis setelah melalui proses yang panjang, tepat pada 2 Oktober 2009, United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik
sebagai Warisan Kemanusian untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpiece of the
Oral and the Intangible Heritage of Humanity). Anugerah penetapan tersebut diberikan
untuk batik Indonesia karena teknik, simbolisme, dan budaya terkait batik dianggap melekat
dengan kebudayaan Indonesia. Selanjutnya pada 17 November 2009, pemerintah
menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 33
Tahun 2009.

2.2 Motif Batik Lasem

Motif batik Lasem memiliki ciri khas tersendiri, ada yang berasal dari warga Lasem asli, ada
pula yang berasal dari akulturasi budaya Tiongkok. Beberapa motif batik Lasem dijelaskan
sebagai berikut:

1.Latohan ; Motif Latohan memiliki bentuk seperti bunga dengan bulatan-bulatan kecil.
Latohan diambil dari nama Latoh yang merupakan salah satu jenis tanaman laut yang sering
fikonsumsi oleh masyarakat Lasem .

2.Watu pecah (Watu Kricak) ; Watu pecah atau disebut juga watu kricak melambangkan
bentuk pecahan batu dan kerikil. Terdapat pula motif seperti tanah retak yang
melambangkan tanah Lasem yang kering. Watu pecah merupakan motif yang terinspirasi
oleh pekerja paksa zaman pemerintahan Daendels.

3.Gunung ringgit ; Gunung ringgit memiliki gambaran yang menyerupai gunungan dalam
pewayangan.

4.Kupu - kupu ; Motif ini merupakan lambang dari cinta kasih dimana masyarakat Tionghoa
adalah orang-orang yang selalu menyebarkan sikap cinta kasih.

5.Kilin ; Motif kilin melambangkan kebijaksanaan.

6.Naga (Liong) ; Motif ini memiliki makna keagungan. Lambang naga sering digunakan
sebagai simbol kerajaan Tiongkok yang berarti keagungan.

7.Burung Hong (Phoenix) ; Burung Hong adalah simbol kebaikan dan dipercaya oleh
masyarakat Tionghoa sebagai burung dewa.

8.Kelelawar ; Dalam masyarakat Tionghoa, kelelawar erat kaitannya dengan lambang


panjang umur.

9.Sampe’s Engthai ; Motif ini menggambarkan sepasang kekasih yang jatuh cinta dan
menjadi cerita rakyat Tionghoa.

2.3 Manfaat Batik Lasem

Batik Lasem memiliki sejumlah manfaat yang dapat diidentifikasi, baik dari perspektif
budaya, ekonomi, maupun lingkungan. Berikut adalah beberapa manfaat dari batik Lasem :

1. Pelestarian Warisan Budaya: Batik Lasem adalah bagian dari warisan budaya Indonesia
yang kaya. Dengan memproduksi dan mempromosikan batik Lasem, kita dapat
membantu melestarikan tradisi dan kearifan lokal yang terkandung dalam pola dan
teknik batik ini. Hal ini penting untuk menjaga identitas budaya kita dan mencegah
kemungkinan punahnya tradisi batik Lasem.
2. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Produksi dan penjualan batik Lasem dapat memberikan
kontribusi ekonomi yang signifikan bagi masyarakat di daerah Lasem dan sekitarnya.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan batik Lasem menciptakan lapangan
kerja dan penghasilan tambahan. Dengan demikian, batik Lasem berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal.
3. Wisata Budaya: Batik Lasem juga dapat menjadi daya tarik wisata budaya di Indonesia.
Wisatawan lokal dan internasional tertarik untuk melihat proses pembuatan batik Lasem
secara langsung dan mempelajari nilai-nilai budaya yang terkait. Hal ini berpotensi
meningkatkan pariwisata di daerah Lasem, memberikan pendapatan dari sektor
pariwisata, serta meningkatkan kesadaran akan kekayaan budaya Indonesia.
4. Kreativitas dan Inovasi: Batik Lasem memiliki ciri khas pola dan motif yang kaya akan
makna simbolis. Pengrajin batik Lasem memiliki kebebasan untuk menggabungkan
tradisi dengan kreativitas dan inovasi mereka sendiri. Hal ini memungkinkan adanya
peningkatan nilai tambah pada produk batik Lasem, sehingga dapat menarik perhatian
pasar yang lebih luas.
5. Ramah Lingkungan: Produksi batik Lasem umumnya menggunakan bahan-bahan alami
dan teknik pewarnaan tradisional, seperti menggunakan pewarna dari tumbuhan atau
serangga. Hal ini berkontribusi pada praktik yang lebih ramah lingkungan dibandingkan
dengan penggunaan pewarna kimia yang berbahaya. Dengan memilih batik Lasem, kita
juga mendukung upaya menjaga keberlanjutan lingkungan alami.

Dengan memahami manfaat dari batik Lasem, kita dapat lebih menghargai keindahan dan
nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya ini. Melalui penggunaan dan
pengembangan batik Lasem, kita dapat mendukung keberlanjutan tradisi, pemberdayaan
ekonomi lokal, dan pelestarian lingkungan.

2.4 Hambatan Terhadap Pengembangan Batik Lasem

Hambatan dalam produksi batik Lasem dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor.
Berikut adalah beberapa kemungkinan hambatan yang dapat ditemui dalam produksi batik
Lasem :

1. Keterbatasan sumber daya alam: Batik Lasem umumnya menggunakan bahan-bahan


alami seperti tumbuhan pewarna dan bahan serat alami. Keterbatasan pasokan bahan-
bahan ini, seperti tumbuhan pewarna yang langka atau mahal, dapat menjadi hambatan
dalam produksi batik Lasem.
2. Penurunan minat dan permintaan pasar: Jika minat dan permintaan pasar terhadap batik
Lasem menurun, produsen batik Lasem mungkin menghadapi kesulitan dalam menjual
produk mereka. Penurunan minat ini bisa disebabkan oleh perubahan tren mode atau
persaingan dengan produk-produk tekstil lainnya.
3. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan: Pembuatan batik Lasem membutuhkan
keterampilan dan pengetahuan khusus dalam teknik pewarnaan dan motif tradisional.
Jika generasi muda kurang tertarik atau tidak mempelajari keterampilan ini, maka
kemampuan produksi batik Lasem dapat terancam.
4. Persaingan dengan batik lainnya: Batik Lasem bersaing dengan berbagai jenis batik
lainnya yang diproduksi di daerah lain di Indonesia. Persaingan dengan batik dari daerah
lain yang lebih populer atau memiliki daya tarik tersendiri dapat menjadi hambatan bagi
penjualan batik Lasem.
5. Perubahan gaya hidup dan preferensi konsumen: Perubahan gaya hidup dan preferensi
konsumen yang lebih cenderung pada produk-produk modern dan massal dapat menjadi
hambatan bagi batik Lasem yang merupakan produk tradisional dan handmade.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, upaya-upaya berikut dapat dilakukan :


1. Diversifikasi bahan pewarna: Pencarian dan pengembangan sumber daya alam alternatif
untuk pewarna batik Lasem dapat membantu mengatasi keterbatasan pasokan bahan
baku.
2. Promosi dan pemasaran yang efektif: Upaya promosi dan pemasaran yang baik dapat
membantu meningkatkan minat dan permintaan pasar terhadap batik Lasem. Penggunaan
media sosial, pameran, dan kolaborasi dengan desainer atau perusahaan mode dapat
membantu memperluas jangkauan dan meningkatkan daya tarik produk batik Lasem.
3. Pelatihan dan pendidikan keterampilan: Meningkatkan pendidikan dan pelatihan
keterampilan dalam pembuatan batik Lasem dapat membantu mempertahankan tradisi ini
dan mendorong generasi muda untuk mempelajari dan melanjutkan praktik tersebut.
4. Kolaborasi dan kemitraan: Kerjasama antara produsen batik Lasem dengan pihak lain,
seperti lembaga pendidikan, pemerintah, atau lembaga desain, dapat membantu
meningkatkan kualitas produk, menciptakan motif baru, dan memperluas jangkauan
pasar.
5. Inovasi dalam desain dan gaya: Menyesuaikan desain dan gaya batik Lasem dengan tren
mode terkini atau menciptakan produk-produk baru yang menarik bagi konsumen dapat
membantu meningkatkan daya tarik dan penjualan batik Lasem.

Dengan upaya-upaya ini, diharapkan batik Lasem dapat terus berkembang dan bertahan
sebagai warisan budaya yang berharga.

2.4 Indikasi Geografis

Indikasi geografis nantinya akan berwujud perlindungan hukum bagi komunitas Batik
Tulis Lasem. Mulai dari pengrajin, pembatik, hingga koperasi. Semuanya akan menjadi satu
kesatuan dalam pengelolaan indikasi geografis itu sendiri. Artinya, outputnya tidak
peroragan, tetapi wilayah yang sudah ditetapkan berdasarkan pengrajin.

Pihaknya berterimakasih kepada masyarakat, pengrajin, dan para pegiat batik tulis
lasem. Ia akan ikut mendukung bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
Kemenkumham untuk mewujudkan upaya ini.

Pihaknya juga sedang merencanakan penyusunan perda inisiatif terkait perlindungan


pemberdayaan Batik Tulis Lasem. Dalam regulasi tersebut, akan memuat salah satunya
pemakaian batik tulis lasem dalam pemerintahan. Sehingga diharapkan pengrajin bisa
mendapatkan pemasukan dari warga lokal.
2.5 Perlindungan Hukum HKI Terhadap Batik Lasem

pelaksanaan perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual terhadap ciptaan motifnya


Batik Tulis Lasem ini merupakan batik kontemporer yang telah dilindungi oleh Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada Pasal 40 ayat (1) huruf j. Pada
Merek IKM Batik Tulis Lasem memiliki hak yang sama dengan usaha-usaha lain untuk
dapat mendaftarkan mereknya agar dilindungi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Perlindungan ini didukung oleh beberapa hal yakni:

1) Eksistensi Batik Tulis Lasem yang tinggi

2) Kesadaran yang tinggi

3) Fasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Rembang dalam pendaftarannya

Selain faktor pendukung tersebut, terdapat pula faktor-faktor penghambat dalam


pelaksanaan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap IKM Batik Tulis Lasem
diantaranya yaitu:

1) Minimnya pengetahuan (wawasan) mengenai perlindungan HKI

2) Minat masyarakat atau pelaku usaha yang masih rendah

3) Prinsip atau keyakinan bahwa “Rezeki tidak akan kemana”

4) Fasilitasi yang terbatas pada pendaftarannya

Batik Tulis Lasem ini merupakan potensi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
kreatif di Kabupaten Rembang yang juga merupakan bagian budaya visual. Oleh karena itu,
diperlukan adanya upaya untuk mengatasi atau meminimalisir kendala-kendala yang terjadi
yakni dengan upaya hukum dan upaya non hukum.

Upaya hukum yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Rembang diantaranya yaitu:

1) Fasilitasi pendaftaran Merek dan Cipta motif di Dindagkop&UKM Kabupaten Rembang

2) Dibuatnya Peraturan Bupati Rembang Nomor 29 Tahun 2017 tentang Pelestarian Batik
Tulis Lasem sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Hak Cipta.

Sedangkan upaya non hukumnya yaitu:

1) Upaya revitalisasi budaya dan usaha batik Tulis Lasem

2) Upaya Pemasaran
3) Upaya menambah pengetahuan secara menyeluruh mengenai Batik Tulis Lasem dan
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

4) Upaya pendokumentasian yang dibukukan


BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unika.ac.id/29417/2/17.C1.0095-M.%20Refo%20Yudhatama-BAB%20I_a.pdf

https://katadata.co.id/redaksi/berita/611e2ca006335/keindahan-batik-lasem-hasil-akulturasi-
budaya-jawa-dan-tiongkok

https://radarkudus.jawapos.com/rembang/08/12/2022/pelestarian-batik-lasem-disokong-dewan-
hingga-kemenkumham/

https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/89952/Perlindungan-Hukum-Kekayaan-Intelektual-Bagi-
Industri-Kecil-dan-Menengah-Karya-Seni-Batik-Tulis-Lasem-sebagai-Upaya-Peningkatan-
Potensi-Ekonomi-Kreatif-di-Kabupaten-Rembang

Anda mungkin juga menyukai