Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH LETAK GEOOGRAFIS

TERHADAP VARIASI MOTIF BATIK DI INDONESIA

Mihtadiyh Salma Fristi Antikah, Shaufa Ashfiya, Shofura Afanin Nuha


Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang, 5 Malang 65145 Telp?Fax: 0342-551312
Shaufaashfiya@gamil.com

A. PENDAHULUAN
Setiap negara memiliki identitas sendiri akan pariwisata yang ditunjukkan sesuai
dengan keadaan geografis alam, geografis ekonomi dan geografis budaya. Seperti
Indonesia yang memiliki keberagaman identitas kondisi geografis disetiap daerahnya.
Tentu saja hal tersebut membutuhkan perhatian khusus karena menyangkut identitas
yang ingin dikenalkan kepada wisatawan lokal maupun mancanegara. Salah satu
keberagaman identitas di Indonesia adalah Batik yang sudah ditetapkan oleh UNESCO
pada tanggal 2 Oktober sebagai hari batik nasional. Batik merupakan aset budaya bangsa
yang secara turun temurun menjadi warisan pada setiap generasi sampai sekarang.
Sebagaimana warisan budaya lainnya, batik mengandung nilai kearifan lokal dan hal ini
sering terabaikan ditengah kemajuan teknologi, globalisasi, modernisasi dan budaya
konsumerisme. Selain itu batik merupakan karya seni yang keindahannya dilukiskan
dalam motif dan warna batik tradisional. Motif batik diciptakan dengan pesan dan
harapan yang tulus dan luhur.

Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan
(Soesanto, 1980). Seperti contohnya perbedaan antara motif Batik Solo, Jogja, dan
Pekalongan. Batik Solo lebih menggambarkan motif yang mengarah kepada tradisi dan
adat istiadat dan diciptakan secara simbolis misalnya ragam hias Parang Rusak Barong,
Kawung Prabu, Slobog dan lainnya. Batik daerah Jogja cenderung pada perpaduan
berbagai jenis ragam hias geometris dan berukuran besar misalnya: ragam hias Grompol,
Tambal. Sedangkan, motif dari daerah Pekalongan lebih mengarah pada kondisi
lingkungan sekitar seperti gunung, laut, hutan dan lainnya. Dari pernyataan tersebut
dapat diketahui setiap daerah di Indonesia memiliki motif yang berbeda tentunya
menggambarkan simbolis yang berbeda makna juga.
B. PEMBAHASAN
1. Batik

Secara etimologi kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu ”tik” yang berarti
titik/ matik (kata kerja, membuat titik) yang kemudian berkembang menjadi istilah
”batik” (Indonesia Indah ”batik”, 1997: 14). Arti batik dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia ialah kain dan sebagainya yang bergambar (bercorak beragi) yang
pembuatannya dengan cara titik (mula-mula ditulisi atau ditera dengan lilin lalu
diwarnakan dengan tarum dan soga) (WJS Poerwadarminta,1976:96). Terdapat
pendapat lain yang dikemukakan oleh Murtihadi dan Mukminatun (1997:3) yang
menyatakan batik adalah cara pembuatan bahan sandang berupa tekstil yang bercorak
pewarnaan dengan menggunakan lilin sebagai penutup untuk mengamankan warna
dari perembesan warna yang lain di dalam pencelupan.Berdasarkan beberapa
pendapat diatas mengenai batik, dapat dikemukakan bahwa batik adalah cara
pembuatan bahan sandang berupa tekstil bergambar (bercorak) berwarna yang mula-
mula ditulisi atau ditera dengan lilin lalu diwarnakan dan gambar ditutup
menggunakan lilin untuk mengamankan warna dari perembesan warna yang lain di
dalam pencelupan. Pembuatan motif/corak batik dapat dilakukan secara tulis tangan
dengan menggunakan canting tulis (dinamakan batik tulis), menggunakan cap dari
tembaga (dinamakan batik cap), dengan motif yang dibuat pada mesin printing
(dinamakan batik printing), dengan cara dibordir(dinamakan batik bordir), ataupun
bisa juga berasal dari gabungan berbagai cara pembuatan motif di atas.

2. Keterkaitan Motif Batik dengan Letak Geografis Suatu Daerah


1. Solo
Secara geografis, Kota Solo berada diantara 110° 45’ 15” – 110°45’ 35”
Bujur Timur, dan 70°56” Lintang Selatan. Batik Solo umumnya dikategorikan
sebagai batik keratin, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan
filosofi kebudayaan Jawa, yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan
pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta
alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis) (Yayasan Harakan Kita//BP
3 TMII, 1997:5).Daerah Solo merupakan kerajaan dengan berbagai tradisi dan
adat istiadat yang berkembang di daerah tersebut. Motif batik Solo diciptakan
dengan pesan dan harapan semoga membawa kebaikan bagi yang memakainya
yang semua dilukiskan secara simbolis yang mengarah kepada tradisi dan adat
istiadat. Ragam batik Solo tersebut diantaranya
1) Ragam hias larangan dan dianggap sakral karena hanya dikenakan oleh
raja dan anggota keluarganya yaitu motif parang rusak barong, sawat dan
kawung.
2) Ragam hias slobog, yang artinya sedikit besar/longgar yang dipakai
untuk melayat, dengan harapan semoga arwah yang meniggal tidak
mendapat halangan.
3) Ragam hias Sidomukti yang dipakai oleh pengantin, sido memiliki arti
terus menerus dan mukti berarti hidup berkecukupan.
4) Ragam hias Truntum dipakai oleh orang tua pengantin. Truntum berarti
menuntun, maknanya orang tua menuntun mempelaimemasuki hidup
baru
5) Ragam hias Satria Manah, dipakai oleh wali dari pengantin pria ketika
meminang dengan harapan semoga lamaran sang pria dapat diterima
dengan baik oleh pihak wanita.
6) Ragam hias Semen Rante, dipakai oleh wali dari pengantin wanita ketika
menerima lamaran. Rantai melambangkan ikatan yang
kokoh.Harapannya jika lamaran telah diterima, pihak wanita
menginginkan hubungan erat dan kokoh yang tidak dapat lepas lagi.
7) Ragam hias Parang Kusumo, dipakai oleh gadis pada upacara tukar
cincin. kusumo berarti bunga yang sedang mekar.
8) Ragam hias Pamiluto, dikenakan oleh ibu si gadis pada upacara tukar
cincin. Pamiluto berasal dari kata pulut, melambangkan harapan ibu agar
pasangan dara dan pria tidak terpisahkan lagi.
9) Bondet, dipakai pengantin wanita pada malam pertama. Berasal dari kata
bundet berarti saling mengikat
10) Ragam hias Semen Gendong dipakai oleh pengantin setelah selesai
upacara perkawinan dengan harapan agar dapat segera mengendong bayi
11) Ragam hias Ceplok Kasatriyan, dipakai sebagai kain untuk upacara kirab
pengantin. Batik ini digunakan oleh golongan menengah ke bawah.
Pemakainya agar terlihat gagah dan memiliki sifat ksatria
2. Yogyakarta
Secara geografis, Kota Yogyakarta terletak antara 110º24’19” -
110º28’53” Bujur Timur dan 07º15’24” - 07º49’26” Lintang Selatan.
Perkembangan karya seni batik di Kota Yogyakarta sangat pesat karena kota ini
juga terkenal sebagai salah satu kota penghasil batik serta kota wisata. Batik di
daerah Yogyakarta termasuk ke dalam jenis Batik Pedalaman (Vorstenlanden)
yang memiliki ciri-ciri motifnya lebih bersifat simbolik, filosofis dan arti-arti
magis yang ada maknanya, motif diciptakan dari hasil pengamatan alam
sekitarnya dan bersifat monumental. Dan juga warna lebih bersifat sederhana,
mistis; hanya terdiri dari tiga unsur yaitu warna coklat (unsur merah) berarti api,
warna biru atau hitam berarti tanah, warna putih berarti air (udara). Ketiga unsur
tersebut memiliki makna sebagai simbol hidup (kehidupan).
Dalam agama Hindu tiga unsur tersebut dapat diartikan Brahma
(coklat/merah), Vishnu (biru,hitam), Ciwa (putih) yang artinya sumber
kehidupan. Batik daerah jogja cenderung pada perpaduan berbagai jenis ragam
hias geometris dan berukuran besar misalnya: ragam hias Grompol, Tambal.
Ragam hias/ motif Grompol, dikenakan pada upacara perkawinan. Grompol
berarti berkumpul atau bersatu, merupakan pengharapan berkumpulnya segala
sesuatu yang baik-baik seperti rejeki, kebahagiaan, keturunan, hidup rukun dan
sebagainya. Sedangkan ragam hias tambal digunakan untuk selimut orang sakit.
Tambal diambil dari pengertian menambal, yaitu berarti menambah atau
memperbaiki sesuatu yang kurang sehingga kemudian dianggap dapat
menyehatkan yang sakit.

3. Pekalongan
Secara geografis, wilayah Kota Pekalongan terletak antara 60 50’ 42" - 60
55’ 44” Lintang Selatan dan 1090 37’ 55” - 1090 42’ 19” Bujur Timur.
Pekalongan merupakan daerah yang berada di pesisir utara pulau Jawa yang sejak
dahulu sudah terkenal dengan produk batiknya. Corak batik Pekalongan
mempunyai ciri khas yang membedakan dari motif/corak batik daerah lain. Para
pembuat batik di daerah Pekalongan mempunyai latar belakang budaya / etnis
yang berbeda sehingga menghasilkan corak batik yang berbeda-beda pula. Motif
batik Pekalongan banyak dipengaruhi oleh etnis Jawa, Cina, dan Belanda.
Masyarakat pesisir terkenal dengan sikap keterbukaan masyarakatnya dalam
menerima pengaruh dari luar serta kemampuannya dalam menangkap fenomena
perubahan sosial yang terjadi. Hal inilah yang menyebabkan mudahnya
penciptaan kreativitas karya seni baru para pembuat batik Pekalongan. Kreativitas
yang terus berkembang seiring berkembangnya zaman dan kebutuhan yang
beragam menjadikan seni batik Pekalongan berkembang menjadi industri yang
menopang perekonomian daerah.
Kuntjaraningrat (1990) mengatakan bahwa akulturasi terjadi bila suatu
kebudayaan asing yang sedemikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing tadi lambat- laun diakomodir dan diintegrasikan ke dalam
kebudayaan itu sendiri. Lalu, Haviland (1993) juga menjelaskan bahwa
akulturasi adalah perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi akibat dari
kontak yang berlangsung lama. Dijelaskan pula oleh C.R. Ember (1984) bahwa
akulturasi merupakan perubahan kebudayaan karena terjadi kontak secara
intensif antara kebudayaan yang berbeda. Batik Pekalongan yang merupakan
akulturasi dari etnis Cina,Jawa, dan Belanda saling memengaruhi antar motif
batiknya, warna cerah menyala yang berasal dari kebudayaan Cina memengaruhi
corak warna batik Jawa yang dibuat oleh perajin batik di Pekalongan. Keturunan
Belanda yang tinggal menetap di Pekalongan membuat batik seperti orang Jawa
tetapi dengan motif khas
Eropa. Ragam hias dari batik pesisir kebanyakan bersumber dari alam,
walaupun ada pula motif berupa geometris dan simbolis sebagai pengaruh dari
batik Solo dan Yogya. Wijayanti (2013) menjelaskan batik Pekalongan juga
mengambil inspirasi penciptaan dari flora dan fauna daerah setempat, dengan
pewarnaan yang sangat beragam antara lain gradasi merah muda, merah tua,
kuning terang, jingga, cokelat, biru muda, hijau muda, hijau tua, dan ungu.
Djoemena (1990) menjelaskan bahwa Pekalongan merupakan daerah penghasil
batik yang terpengaruh unsur budaya pendatang terutama keturunan Cina dan
Belanda. Sebagian dari pendatang ini menggunakan batik sebagai busana
seharihari dan kebutuhan upacara ritual. Oleh karena itu, dilihat dari akulturasi
etnis para pembuat batik di Pekalongan dan gaya batikan yang dihasilkan, motif
batik Pekalongan dibedakan menjadi 3 golongan yaitu batik Pekalongan bergaya
Jawa, batik Pekalongan bergaya Cina, dan batik Pekalongan bergaya
Belanda.Batik Pekalongan bergaya JawBatik ini dibuat oleh orang pribumi yang
sebagian besar merupakan orang Jawa yang tinggal di Pekalongan. Batik
Pekalongan yang dibuat oleh orang pribumi dapat diketahui dari elemen visual
yang muncul. Dari beberapa hasil batik yang dibuat orang pribumi terlihat
perpaduan yang harmonis dari unsur motif batik klasik (Yogya dan Solo) yang
telah dikreasikan kembali dengan cita rasa atau selera orang pesisir dalam hal
pewarnaan. Dharsono (2000) menjelaskan bahwa pandangan masyarakat terhadap
kraton sebagai pusat kebudayaan masih melekat, sedangkan Sudarmono (1990)
menyebutkan bahwa batik rakyat sebagai pengagungan terhadap causa
prima/budaya kraton.Keberanian dan kebebasan khas orang pesisir selain
tercermin pada tata warna yang meriah warna-warni juga tercermin pada
penciptaan ragam hias baru yang masih banyak mengambil unsur-unsur motif
tradisional dari Solo dan Yogya seperti motif lar (sayap), parang, meru (gunung)
dan lain-lain yang telah mengalami sedikit perubahan dari motif aslinya.
Kekhasan batik Pekalongan tersebut masih terlihat perpaduan yang harmonis
antara garis-garis pembentuk motif dan pewarnaan yang atraktif dinamis yang
disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan corak batik bergaya Jawa yang
berkarakteristik pesisir. Hal ini dapat dilihat pada batik Merak Kesimpir.
1) Batik Pekalongan bergaya Cina
Batik yang dibuat oleh peranakan Cina yang telah lama tinggal di
Pekalongan. Nuansa tradisi Cina yang kental sehingga, Hamidin (2010)
menyebutnya sebagai genre Batik Encim. Batik Encim berasal dari batik
yang dibuat oleh Encim, yaitu sebutan untuk wanita yang sudah bekerluarga
atau wanita usia paruh baya dari suku Tionghoa. Djoemena (1990) membagi
gaya ragam hias batik Encim menjadi tiga jenis ragam hias yaitu: (1) Ragam
hias buketan, yang biasa memiliki tata warna famille rose, famille verte dan
sebagainya. (2) Ragam hias simbolis kebudayaan Cina, dengan motif seperti
burung hong (kebahagiaan), naga (kesiagaan), banji (kehidupan abadi), kilin
(kekuasaan), kupu-kupu dan beberapa lagi. (3) Ragam hias yang bercorak
lukisan, seperti arakan pengantin Cina. Ada pula ragam hias yang diyakini
sebagai cerita atau dongengan yang berasal dari kebudayaan Cina. Batik
Sam Pek Eng Tay misalnya secara simbolis menggambarkan sepasang
kupukupu, yang mengisahkan cinta sepasang kekasih yang berlainan status,
dan cinta mereka yang murni ini ditentang oleh kedua orang tua masing-
masing. Sepasang kekasih ini akhirnya menempuh jalan untuk mati bersama
dan memohon untuk dikuburkan dalam satu liang kubur. Setelah mereka
dikuburkan bersama, mereka menjelma menjadi kupu-kupu dan terbang
bercumbucumbuan dengan penuh kasih sayang. Itulah sebabnya pada batik
Encim ini terlukis sepasang kupu-kupu yang merupakan lambang
pernikahan yang bahagia dalam kebudayaan Cina.
2) Batik Pekalongan bergaya Belanda
Batik yang dibuat oleh orang-orang Belandan dan keturunannnya
yang tinggal di Pekalongan. Berawal dari ketertarikan orang Belanda yang
tinggal di Pekalongan akan kesenian local yang unik dan bermutu tinggi,
kemudian ada yang mulai belajar untuk membuatnya secara langsung
dengan menggunakan motif hias khas Eropa. Batik Pekalongan bergaya
Belanda merupakan asimilasi dari dua kebudayaan, Belanda dan Indonesia.
Contohnya adalah batik yang kita kenal sebagai Batik Buketan bermotif
bunga sejarahnya merupakan asimilasi antar batik dan selera noni Belanda
(Pratiwi, 2012). Kata Buketan sendiri berasal dari bouquet yang berarti
karangan bunga (Badudu, 1996). Ragam hias batik Buketan biasanya terdiri
dari flora yang tumbuh di negeri Belanda, seperti Bunga Krisan, Buah
Anggur, dan Rangkaian Bunga Eropa. Dikenal juga batik dengan ragam
hias Kartu Bridge, yang merupakan permainan kartu dari kalangan Barat.
Juga terdapat ragam hias berupa lambang yang dikenal Masyarakat Eropa
seperti Cupido (lambang cinta), Tapak Kuda dan Klaverblad (lambang
pembawa keberuntungan). Ada pula ragam hias yang didasarkan atas cerita
dongeng Barat seperti Putri Salju, Si Topi Merah, dan Cinderella,
sedangkan ada pula yang dinamakan ragam hias Kompeni (dari Verenidge
Oost-Indische Compagnie yang merupakan kepanjangan VOC) adalah
ragam hias berupa lukisan barisan serdadu dan benteng Belanda.
C. KESIMPULAN
Batik adalah salah satu identitas kebudayaan indonesia yang telah ditetapkan
sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Motif-motif batik yang beragam memberikan
keunikan tersendiri. Setiap daerah khususnya di Pulau Jawa memiliki ciri khas motiif
batiknya masing masing. Misalnya di daerah Solo, Yogyakarta dan Pekalongan. Salah
satu aspek yang mempengaruhi keberagaman motif batik ini adalah pengaruh letak
geografis.
Motif batik di daerah Solo dan Yogyakarta cenderung mengarah pada makna
tradisi dan adat setempat. Karena seperti yang kita ketahui Solo dan Yogyakarta
merupakan daerah keraton yang kental akan budaya dan tradisi sedangkan motif batik
di Pekalongan cenderung bercorak beragam dengan warna yang cerah. Hal ini tidak
lain dipengaruhi oleh letak geografis Pekalongan yang terletak di pesisir yang kerap
disinggahi pendatang dari berbagai negara sehingga terjadi akulturasi, sehingga
membuat motif batik di wilayah Pekalongan beragam dengan waran cenderung cerah.
D. Daftar Pustaka

Kuswadji.1981. Mengenal Seni Batik di Yogyakarta. Yogyakarta : Proyek Pengembangan


Permuseuman Yogyakarta.

Murtihadi dkk. 1979. Pengembangan Teknologi Batik Menurut SMIK. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Nian S. Djoemena.1990. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan.

Poerwodarminto. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Riyanto dkk. 1997. Katalog Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik

Sewan Soesanto. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta : BBKB : Dept
Perindustrian RI.

Irfa’ina Salma, Rohana. 2013. Corak Etnik Dan Dinamika Batik Pekalongan. Vol.30,No.2,
Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai