Anda di halaman 1dari 22

PAPER SEJARAH SENI

ARTEFAK MOTIF RAGAM HIAS BATIK

MEGA MENDUNG

Disusun Oleh

Nama : Melvina Putri Valenti


NIM : 2021299411
PENDAHULUAN

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan


kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam
beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Jadi
kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan
terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai
meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku
Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.
Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah
pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian batik
menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangang. Muslim melawan
perekonomian Belanda. Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk
pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman
dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya
untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari
pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka
keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Harus diakui, bahwa puncak kemegahan seni batik Nusantara adalah pada batik
yang dikembangkan di Kesultanan Surakarta (Surakarta Hadiningrat) yang kemudian
akan sering kita sebut dengan Solo, dan Yogyakarta (Ngayogyokarto) atau yang
sering kita sebut dengan Yogya. Batik Solo dan Yogya dikenal sebagai batik yang
dalam istilah bahasa Belanda juga disebut dengan Vorstenlanden. Secara harafiah
istilah ini berarti wilayah-wilayah kerajaan, yaitu kesultanan Surakarta dan
Yogyakarta. Kedua daerah ini merupakan wilayah kekuasaan empat kerajaan (Catur
Sagatra) yang menjadi penerus dinasti mataram (Kusrianto, 2013 : 34)
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam di Jawa Barat pada abad
ke-15 dan 16 Masehi dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antarpulau dan antarnegara.
Seperti halnya di Keraton Majapahit dan Mataram Islam di Jawa Tengah, batik
di Cirebon awalnya dibuat hanya untuk para Raja, terutama kaitannya dengan
upacara-upacara keagamaan sebagai penghias istana maupun sebagai penolak bala.
Motif-motifnya yang sangat kental dengan makna simbolis yang berkaitan dengan
kosmologi Cirebon.
Beberapa motif batik Cirebon yang tergolong ke dalam batik Keraton Cirebon
diantaranya adalah Taman Arum Sunyaragi, Sunyaragian, Wadas Singa, Patran
Kangkung, Wadas Mantingan, Mega Mendung, Mega Malang, Ayam Alas, Supit
Urang, serta Taman Teratai. Secara geografis, Cirebon merupakan pelabuhan besar
yang menjadi jalur penting dalam lalu lintas kapal dagang dari Persia (sekarang Iran),
India, Arab maupun pedagang-pedagang dari Eropa. Faktor ini menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi berkembangnya motif batik di wilayah ini. Berbaurnya
berbagai unsur budaya, seni, kepercayaan yang dibawa para pendatang masa-masa itu
telah memberi warna-warna baru yang kemudian melahirkan konsep batik pesisiran
sebagaimana yang terjadi di Pekalongan, Juwana, Lasem, maupun Tuban. Pendatang
Tiongkok yang membawa barang-barang seni berupa tektil maupun keramik yang
memuat ornamen-ornamen unik.
Hal inilah yang akhirnya mempengaruhi terciptanya motif-motif baru.
Ornament berupa binatang dalam dongeng seperti bentuk-bentuk naga dan burung.
Sekalipun dari ornament nusantara sendiri telah banyak unsur-unsur tersebut, namun
ciri-ciri binatang khayal dari Tiongkok berbeda dan menggunakan unsur ornamental
yang berbeda pula. Digunakannya ragam hias dari bangsa asing ini patut diduga
awalnya merupakan pesanan dari pedagang asing tersebut, tetapi ternyata motif-motif
ini juga diminati oleh konsumen lokal. Yang dimaksud konsumen lokal disini tentu
saja meliputi kalangan keraton yang kemudian mengapresiasi bentuk-bentuk baru tadi
dengan memberikan kandungan makna sesuai keperayaan yang berkembang saat itu
(Kusrianto, 2013:51)
Dalam tulisan ini, secara spesifik akan dibahas mengenai artefak batik Keraton
Cirebon untuk motif ragam hias Mega Mendung. Bentuk ragam hias mega mendung
pada batik Cirebon berasal dari ornament-ornamen benda seni asal Tiongkok yang
membuktikan berbaurnya budaya Tiongkok dalam kebudayaan Cirebon. Kejadian
yang semakin mempertautkan kedua budaya ini ditandai pula dengan peristiwa
pernikahan Sunan Gunung Jati dengan salah satu Putri Tiongkok bernama Ong Tien
dari Negeri Tar Tar.
Dalam sejarah diterangkan bahwa Sunan Gunung Jati yang mengembangkan
ajaran Islam di daerah Cirebon menikah dengan seorang putri dari Tiongkok bernama
Ong Tien. Istri beliau ini sangat menaruh perhatian pada bidang seni, khususnya
keramik. Motif-motif pada keramik yang dibawa dari negeri Cina ini akhirnya
mempengaruhi batik-batik hingga terjadi perpaduan antara kebudayaan Cirebon-Cina.
Motif mega mendung atau dapat disebut awan-awanan merupakan salah satu motif
paling terkenal dari daerah Cirebon. Pada motif ini dapat dilihat baik dalam bentuk
maupun warnanya bergaya selera Cina (Prasetyo, 2010:59).

Gambar 1. Motif Batik Mega Mendung


Sumber : https://advancedbiofuelssummit.com/batik-mega-mendung/
Motif Mega Mendung melambangkan pembawa hujan yang dinanti-nantikan
sebagai pembawa kesuburan, dan pemberi kehidupan. Motif ini didominasi dengan
warna biru, mulai dari biru muda hingga biru tua. Warna biru tua menggambarkan
awan gelap yang mengandung air hujan, pemberi penghidupan, sedangkan warna biru
muda melambangkan semakin cerahnya kehidupan.
TEORI

Fakta Sejarah merupakan prenyataan tentang sesuatu yang telah


terjadi.sedangkan fakta dalam ilmu sejarah merupakan pernyataan tentang kejadian
yang merupakan proses mental dari sejarawan yang bersifat subyektif.
Menurut Sartono Kartodirjo, fakta sebenarnya merupakan produk dari proses
mental (sejarawan) atau memorisasi karena itu wajar kalau fakta itu ada unsur
subyektiviatsnya. Untuk itulah dalam penelitian sejarah diperlukan ketajaman
interpestasi dan kejujuran dalam para sejarawan. Terdapat 3 jenis fakta dalam sejarah
yaitu fakta mental (mentifact), fakta sosial (socifact) dan artifact (fakta benda).
Fakta mental (mentifact) dalam sejarah merupakan kondisi yang dapat
menggambarkan suasana pikiran, perasaan, bati, kerohanian dan sikap yang
mendasari suatu karya cipta. Jadi fakta mental bertalian dengan perilaku atau
tindakan moral manusia yang menentukan baik buruknya kehidupan manusia,
masyarakat dan negara. Fakta mental juga merupakan fakta yang sifatnya abstrak atau
kondisi yang menggambarkan alam pikiran atau sikap, misalnya kepercayaan suatu
masyarakat dan kepercayaan yang melambangkan kepercayaan nenek moyang dan
benda upacara.
Fakta sosial (socifact) merupakan fakta sejarah yang berdimendi sosial yakni
kondisi yang mampu menggambarkan tentang keadaan sosial, suasana zaman dan
sistem kemasyarakatan misalnya hubungan (interaksi) antar manusia. Fakta sosial
sebagai bukti sosial yang memunculkan suatu peristiwa atau kejadian.
Fakta benda (artifact) merupakan semua benda baik secara keseluruhan maupun
sebagian diubah atau dibentuk oleh manusia, dari benda-benda yang mudah
dipindahkan (kecil) sampai yang bersifat menumental (tidak dapat dipindahkan ).
Koentjaraningrat, salah satu tokoh antropologi Indonesia mendefinisikan
kebudayaan sebagai ”keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar”. Sementara itu, wujud dari kebudayaan sendiri terdiri dari beberapa sistem
yang membentuknya. Seperti diutarakan oleh Koentjaraningrat (2015, hlm.186) yang
membagi kebudayaan dalam tiga wujud, yaitu: 1) ideas (sistem ide),
2) activities (sistem aktivitas), 3) artifacts (sistem artifak). Berikut adalah
penjabarannya.
Ideas (sistem ide) merupakan wujud kebudayaan sebagai sistem bersifat abstrak
dan tidak dapat dilihat atau diraba dan hanya terasa dan tersimpan dalam pikiran
individu dan kelompok penganut kebudayaan tersebut. Bentuknya dalam kehidupan
sehari-hari mewujud dalam adat istiadat, norma, agama, hukum dan undang-undang.
Contohnya nyatanya sebetulnya sudah cukup jelas dari contoh bentuk yang telah
diuraikan. Misalnya norma sosial yang tidak ditetapkan namun sepakat diikuti oleh
masyarakat agar menjaga kehidupan sosial. Hingga tertulis dan ditetapkan oleh
negara sebagai payung perlindungan hukum bagi masyarakatnya
Activities (sistem aktifitas) merupakan kegiatan atau aktivitas sosial yang
memiliki pola tertentu dari individu dalam suatu masyarakat. Sistem ini dapat terjadi
melalui interaksi antar manusia yang berinteraksi dengan sesamanya. Berbeda dengan
wujud ide, wujud aktivitas dapat dilihat dan dirasakan langsung kehadirannya.
Artifact adalah wujud yang paling konkret dari kebudayaan. Berbentuk benda
fisik yang bisa dilihat, diraba dan dirasakan langsung oleh pancaindra. Benda-benda
tersebut merupakan perwujudan dari ide hingga aktivitas individu dari suatu
masyarakat. Terkadang beberapa wujud aktivitas membutuhkan artifak khusus, begitu
pula sebaliknya.
Dalam teori kebudayaan C.A Van Peursen, perkembangan budaya manusia
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu mitis, ontologis, dan fungsionalis. C.A van Peursen
(1976) mengajukan bahwa kebudayaan terdiri dari tiga dimensi yaitu mitis, ontologis,
dan fungsional. Dalam tulisan ini akan dibahas dua diantaranya yaitu tahap mitis dan
ontologism. Dalam dimensi mitis, relasi manusia dengan lingkungannya bersifat
terbuka. Pada dimensi ontologis, relasi manusia dengan lingkungannya bersifat
tertutup. Dimensi mitis ditandai oleh manusia yang merasa dirinya dikelilingi oleh
gaya tak terlihat disekitarnya. Dimensi mitis disebut juga pandangan ekosentris
dimana manusia berintegrasi dengan alam dan dikendalikan oleh alam.
Dimensi ontologis ditandai oleh manusia yang tidak lagi hidup dalam kekuasaan
mitis namun bebas untuk memeriksa apapun. Dimensi ontologis disebut juga
pandangan antroposentris dimana manusia bersifat asertif dan mengendalikan alam.
Pada tahap mitis, manusia menganggap bahwa dirinya adalah bagian dari alam.
Manusia merasa bahwa dirinya berada di dalam dan dipengaruhi oleh alam. Hal ini
dapat dilihat budaya Indian. Mereka sering menganggap bahwa diri mereka adalah
penjelmaan dari hewan di sekitarnya. Pada tahap ini, manusia kerap memberikan
kurban atau sesaji sebagai bentuk penghormatannya kepada alam. Manusia juga
membuat norma-norma perlakuan terhadap alam. Sehingga hidupnya selalu selaras
dengan alam dan dilindungi oleh alam itu sendiri.
Pada tahap ontologis, manusia mulai mengenal agama. Manusia tidak lagi
memberikan kurban dan memandang bahwa alam merupakan sama-sama makhluk
Tuhan yang harus dijaga kelestariannya. Meskipun begitu, manusia sudah mulai
menjadikan alam sebagai objek yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan
hidupnya.
Definisi akulturasi secara umum adalah suatu proses sosial yang timbul saat
suatu kelompok dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu
kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun akan diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri. Akulturasi menurut Koentjaraningrat adalah sebuah proses
sosial dimana masuknya kebudayaan asing secara perlahan dapat diterima tanpa
menghilangkan kebudayaan asli suatu masyarakat. Akulturasi umumnya memang
terjadi dalam bidang kebudayaan, namun contohnya dapat ditemui pada bidang lain.
Proses akulturasi sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas atau
imigran yang secara budaya atau etnis berbeda dari masyarakat mayoritas di tempat
mereka bermigrasi. Proses akulturasi biasa melebur lewat media, seni, aksara atau
interaksi sosial antar masyarakat dengan budaya yang berbeda. Proses akulturasi bisa
terjadi lewat kontak sosial atau kontak budaya, baik antar individu atau antar
kelompok masyarakat.
Terdapat beberapa faktor penyebab akulturasi. Secara umum faktor-faktor
pendorong akulturasi dibagi menjadi 2 (dua) yakni faktor internal dan faktor
eksternal.
Faktor internal adalah faktor-faktor penyebab akulturasi yang sumbernya
berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Beberapa faktor internal penyebab
akulturasi adalah sebagai berikut:
 Adanya penemuan baru di berbagai bidang yang memberi pengaruh.
 Jumlah penduduk yang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
 Adanya inovasi atau perubahan penemuan yang berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat.
 Terjadi konflik sosial di masyarakat.
 Terjadinya revolusi sosial di kalangan masyarakat, baik dalam lingkup besar
maupun kecil.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor penyebab akulturasi yang sumbernya
berasal dari luar masyarakat. Beberapa faktor internal penyebab akulturasi adalah
sebagai berikut.
 Terjadinya perubahan alam seperti iklim, cuaca, dan fenomena alam lainnya.
 Terjadinya peperangan atau konflik dan sengketa internasional antar 2 (dua)
negara atau lebih.
 Adanya pengaruh budaya asing melalui proses penyebaran budaya atau difusi.

PEMBAHASAN
Sejarah timbulnya motif mega mendung berdasarkan buku dan literatur yang
ada selalu mengarah pada sejarah kedatangan bangsa China ke wilayah Cirebon. Hal
ini tidak mengherankan karena pelabuhan Muara Jati di Cirebon merupakan tempat
persinggahan para pendatang dari dalam dan luar negeri. Tercatat jelas dalam sejarah,
bahwa Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon pada
abad ke-16, menikahi Ratu Ong Tien dari China. Beberapa benda seni yang dibawa
dari China seperti keramik, piring dan kain berhiaskan bentuk awan.
Salah satu motif batik Megamendung yang menjadi khas Cirebon. Motif yang
merupakan akulturasi dengan budaya Cina itu, kemudian dikembangkan seniman
batik Cirebon sesuai cita rasa masyarakat Cirebon yang beragama Islam. Sebagai
suatu karya seni, megamendung identik dan bahkan menjadi ikon batik pesisiran
Cirebon. Batik ini memiliki kekhasan yang tidak dijumpai di daerah-daerah pesisir
penghasil batik lain di utara Jawa seperti Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.
Kekhasan megamendung atau “awan-awanan” tidak saja pada motifnya yang berupa
gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas seperti biru dan merah, tetapi
juga pada nilai-nilai filosofi yang terkandung pada motifnya. Dalam paham Taoisme,
bentuk awan melambangkan dunia atas. Bentuk awan merupakan gambaran dunia
luas, bebas dan mempunyai makna transidental (Ketuhanan). Konsep mengenai awan
juga berpengaruh di dunia kesenirupaan Islam pada abad ke-16, yang digunakan
kaum Sufi untuk ungkapan dunia besar atau alam bebas. Hal ini sangat erat berkaitan
dengan sejarah lahirnya batik secara keseluruhan di Cirebon.
Belum jelas, kapan batik menjadi tradisi di daerah pesisir pantura. Dari
beberapa penuturan, sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi
budaya serta tradisi ritual religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Djati
menyebarkan Islam di Cirebon sekitar abad ke-16.
Budayawan dan pemerhati batik, Made Casta (2009) menuturkan, sejarah batik
dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan
pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi
beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.
Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Djati merupakan ’pintu gerbang’
masuknya budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika itu, keraton menjadi
pusat kosmik sehingga ide atau gagasan, pernik-pernik tradisi dan budaya Cina yang
masuk bersama Putri Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman Cirebon.
“Pernik-pernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan
Gunung Djati, menjadi inspirasi seniman termasuk pebatik,” tutur perupa Made
Casta. Keramik Cina, porselen, atau kain sutra dari zaman Dinasti Ming dan Ching
yang memiliki banyak motif, menginspirasi seniman Cirebon. Gambar simbol
kebudayaan Cina, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin,
banji (swastika atau simbol kehidupan abadi) menjadi akrab dengan masyarakat
Cirebon. Para pebatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya
motif mega mendung.

Gambar 2. Motif Awan Gaya Cina


Sumber : https://www.pngegg.com/id/png-dxdjn
Gambar 3. Kebangkitan Naga Surgawi dengan Mutiara Mewakili Kumpulan Energi
Kosmik-Manusia
Sumber : The Chinese Philosophy of Time and Change, 2012

“Tentu dengan sentuhan khas Cirebon, sehingga tidak sama persis. Pada mega
mendung, garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran, sedangkan
megamandung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan berbentuk segitiga. Ini yang
membedakan motif awan Cina dan Cirebon,” tutur Made Casta. H. Komarudin
Kudiya, S.I.P., M.Ds., Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB)
mengemukakan, persentuhan budaya Cina dengan seniman batik Cirebon melahirkan
motif batik baru khas Cirebon.
Gambar 4. Batik Motif Naga Liman
Sumber : https://finunu.wordpress.com/2009/12/28/sejarah-batik-megamendung-
akulturasi-batik-cirebon/

Motif Cina hanya sebagai inspirasi. Seniman batik cirebon kemudian


mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama Islam. Dari situ,
lahirlah motif batik dengan ragam hias dan keunikan khas, seperti Paksi Naga Liman,
Wadasan, Banji, Patran Keris, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam
Alas, dan yang paling dikenal ialah megamendung. Komarudin (2009) berpendapat
“Meski mega mendung terpengaruhi Cina, dalam penuangannya secara fundamental
berbeda. Mega mendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis
gambarnya simbol perjalanan hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa,
berumah tangga sampai mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung
yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Illahi,” tutur pemilik showroom “Batik
Komar” di Jln. Sumbawa, Kota Bandung itu.
Menurut Nugroho (2009), sejarah batik di Cirebon juga terkait perkembangan
gerakan tarekat yang konon berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh karena itu,
kendati terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dan nuansa Islam
mewarnai. Disitulah terletak kekhasannya. Pengaruh tarekat terlihat pada Paksi Naga
Lima. Motif itu merupakan simbol berisi pesan keagamaan yang diyakini tarekat itu.
Paksi menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga, dan liman itu gajah. Motif
tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan keburukan dalam mencapai
kesempurnaan.
“Motif itu juga menggambarkan percampuran Islam, Cina, dan India. Para
pengikut tarekat menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif
karya seni termasuk pada motif-motif batik,” tutur Made Casta. Pada mega mendung,
selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait kepemimpinan yang mengayomi,
dan juga perlambang keluasan dan kesuburan. Komarudin (2009) mengemukakan,
bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa
sufisme di balik motif itu. Membatik pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang
mengabdi kepada keraton sebagai sumber ekonomi untuk membiayai kelompok
tersebut. Di Cirebon, para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmi dan sekitarnya
seperti Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di Kecamatan
Plered, Kabupaten Cirebon.
Oleh karena itu, sampai sekarang batik cirebon, identik dengan batik trusmi.
Masyarakat Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. “Eyang dari eyang saya
sudah mengenal batik. Sampai sekarang turun-temurun. Awalnya memang Trusmi,
sekarang dengan perkembangan yang pesat, masyarakat desa lain juga mengikuti
tradisi Trusmi,” tutur alumnus ITB yang juga pengurus Yayasan Batik Indonesia
(YBI).
Keberadaan tarekat menjadikan batik cirebon berbeda dengan batik pesisir lain.
Karena yang aktif di tarekat adalah laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis
tradisi batik. Ini berbeda dengan daerah lain, membatik melulu pekerjaan wanita.
Gambar 5. Variasi Motif Mega Mendung
Sumber : https://finunu.wordpress.com/2009/12/28/sejarah-batik-megamendung-
akulturasi-batik-cirebon/

Warna-warna cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana
dinamis, karena ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan batik. Di
Trusmi pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota
keluarga berperan, si bapak membuat rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan
anak yang menjemurnya (Agung Nugroho, 2009)
Oleh karena itu, warna-warna biru dan merah tua yang digunakan pada motif
mega mendung, mengambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan
egaliter.

1. Ragam hias Mega Mendung berdasarkan teori fakta sejarah


Pada mega mendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait
kepemimpinan yang mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan.
Bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Warna-warna
biru dan merah tua yang digunakan pada motif mega mendung, mengambarkan
psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter. Hal tersebut cukup
menunjukkan unsur mentifact pada karya seni ragam hias Mega Mendung pada
batik khas Cirebon.
Ditinjau dari unsur socifact, selain menggambarkan psikologi masyarakat
pesisir warna biru dan merah juga menggambarkan maskulinitas dan suasana
dinamis dikarenakan terdapat campur tangan laki-laki dalam proses penciptaan
batik itu sendiri. Mengingat sejarah batik Cirebon yang berkaitan dengan
perkembangan gerakan tarekat, banyak dari para pengikut tarekat yang tinggal di
daerah Trusmi. Secara sosial, di Trusmi pekerjaan membatik merupakan
pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si bapak membuat
rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya. Hal tersebut
membuat batik Cirebon dalam hal ini motif mega mendung memiliki kekhasan
tersendiri yang tidak dimiliki oleh batik di daerah lain yang mayoritas proses
pembuatan batik dikerjakan oleh kaum perempuan. Kondisi sosial tersebutlah
yang menjadi faktor terkuat dari terciptanya karya seni ragam hias mega mendung
pada batik Cirebon.
Karakter psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter,
didukung dengan kondisi sosial masyarakat trusmi dan sekitarnya yang mayoritas
pengkriya motif batik merupakan laki-laki, maka terciptalah artifact berupa kain
batik dengan motif khusus yang secara spesifik menggambarkan karakter Cirebon
yang khas yaitu berupa ragam hias mega mendung.
2. Ragam hias Mega Mendung berdasarkan teori tiga wujud kebudayaan.
Ideas atau gagasan awal yang mempengaruhi terciptanya motif mega
mendung diawali dengan masuknya pengaruh Cina yang ditandai dengan
pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Tiongkok bernama Ong Tien yang
sangat menaruh perhatian di bidang seni khususnya keramik. Para pendatang dari
negeri Cina membawa kepercayaan dan seni dari negerinya yang kemudian
menjadi inspirasi utama dalam proses penciptaan ragam hias mega mendung pada
kain batik khas Cirebon.
Dengan terciptanya motif ragam hias mega mendung tersebut, maka
timbullah activities berupa budaya membatik yang dilakukan oleh para anggota
tarekat yang mengabdi di keraton sebagai sumber ekonomi untuk membiayai
kelompok tarekat tersebut dan secara tidak langsung menciptakan artifact berupa
batik ragam hias mega mendung seperti yang populer digunakan hingga saat ini.
3. Ragam hias Mega Mendung berdasarkan teori tahap kebudayaan Van
Peursen
Ragam hias motif mega mendung ditinjau dari tahap kebudayaan mitis
mengarah pada makna filosofis dari motifnya sendiri. Mega mendung juga
dilambangkan sebagai dunia mistis. Secara awam, mega mendung artinya akan
tahan hujan, ini pertanda bahwa hujan merupakan lambang kemakmuran (Adeng,
1996 : 153).
Namun apabila ditinjau dari tahap kebudayaan ontologi, masyarakat terlebih
pada masa sekarang tidak lagi menganggap makna filosofis bahwa hujan
merupakan lambang kemakmuran. Masyarakat memandang batik motif mega
mendung murni dari segi estetika. Penggunaanyapun lebih bebas tanpa terikat
pada aturan-aturan tertentu.

4. Ragam Hias Mega Mendung ditinjau dari teori Akulturasi.


Ragam hias Mega Mendung jelas merupakan hasil dari akulturasi budaya
Cina. Dugaan mengenai budaya Cina yang mempengaruhi adanya motif mega
mendung akan dicoba dikaitkan dengan unsur ketuhanan, karena preseden yang
memiliki motif serupa merupakan tempat beribadah. Di Cina terdapat beberapa
faham mengenai ketuhanan, namun akan diambil satu faham yang memiliki
simbol-simbol yang menhyerupai motif mega mendung, yaitu faham Tao.
Pada faham Tao ditemukan salah satu simbol yang menyerupai motif mega
mendung yaitu simbol Yun atau awan. Pada simbol ini terdapat makna yang
terkandung di dalamnya, yaitu keberkahan bagi manusia. Keberkahan tersebut
terus dihadirkan untuk manusia, manusia hanya perlu menerimanya pada tempat
dan saat yang tepat. Sedangkan motif mega mendung pun memiliki makna
khusus. Garis melengkung yang tidak terputus melambangkan rejeki atau
keberkahan yang tidak ada habisnya. Adanya kemiripan makna ini menguatkan
bukti bahwa Mega Mendung mengadopsi makna-makna yang terkandungdi
simbol awan pada faham Tao.
Untuk transformasi bentuknya sendiri, menurut faham Tao, simbol awan
memiliki makna sebagai keberkahan. Tetapi pada penerapannya terhadap benda-
benda seni Cina yang membawa unsur Taoisma, awan mulai diterapkan sebagai
simbol dunia atas, tempat tinggalpara dewa. Masuknya motif ini ke dalam
kebudayaan Cirebon tidak diterima mentah-mentah melainkan disesuaikan
dengan kebudayaan setempat. Motif ini mengalami perubahan bentuk menjadi
lancip di ujung-ujungnya. Studi kasus menunjukkan bahwa motif ini ditempatkan
pada tempat-tempat yang bermakna sakral yaitu pada Gerang dan benda pusaka.
Diduga kuat bahwa penempatan motif ini megadopsi makna yang diambil dari
faham Tao.

Gambar 6. Perubahan Bentuk dari Simbol Awan Tao menjadi Mega Mendung
Sumber : The Chinese Philosophy of Time and Change

Proses terbentuknya motif berasal dari garis lengkung dan spiral pada lambang
huruf awan di Cina. Motif ini digambarkan berupa kumpulan garis-garis spiral yang
menunjukkan bentuk awan. Bentuk tersebut masih digambarkan tidak beraturan
untuk setiap awannya. Tetapi motif tersebut tidak hanya berhenti pada bentuk seperti
itu. Motif awan-awanan ini mengalami perkembangan menjadi bentuk satuan yang
memanjang horizontal. Motif inilah yang diduga merupakan asal dari lahirnya motif
Mega Mendung.

KESIMPULAN
Setelah dilakukan kajian dan pembahasan mengenai ragam hias Mega
Mendung, maka dapat disimpulkan bahwa ragam hias batik Mega Mendung
merupakan salah satu wujud artefak hasil akulturasi budaya dari negeri Cina. Ditinjau
dari segi visual motifnya dapat disimpulkan bahwa motif mega mendung terinspirasi
dari karya seni yang dibawa dari Cina ke tanah Cirebon serta memenuhi dua tahap
tahap kebudayaan yaitu mitis dan ontologi. Tahap mitis berasal dari nilai filosofi dari
motifnya sendiri yang seiring dengan perubahan zaman, aspek mitis dari filosofi
tersebut tak lagi diperhitungkan bagi penikmat seni atau secara spesifik pengguna
batik motif Mega Mendung, sehingga masyarakat mulai masuk pada tahap ontologis.
Dalam proses kemunculannya, ragam hias batik motif mega mendung juga
memenuhi tiga wujud kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifact. Ketiganya pun
berkaitan satu sama lain. Diawali dengan ideas yang muncul ketika pengaruh Cina
mulai masuk ke Cirebon yang ditandai dengan peristiwa pernikahan Sunan Gunung
Jati dengan Putri Ong Tien dari negeri Cina yang kemudian diikuti dengan
terbentuknya budaya membatik yang rata-rata dilakukan oleh kaum laki-laki anggota
tarekat. Hasil akhirnya berupa artefak dalam bentuk ragam hias batik mega mendung
seperti yang kita kenal selama ini.
Ragam hias batik mega mendung juga tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah
mengenai mentifact dimana ragam hias mega mendung menggambarkan psikologi
masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter. Dasi sisi socifact, proses
kemunculan motif mega mendung juga berkaitan dengan kondisi sosial di daerah
Trusmi pada masa itu dimana membatik adalah pekerjaan semesta yang artinya
semua anggota keluarga ikut berperan, sehingga dalam proses perancangan motifnya
banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Dari proses tersebut maka terciptalah artefak
berupa ragam hias motif batik mega mendung yang berwarna biru dan merah yang
menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis dikarenakan terdapat campur
tangan laki-laki dalam proses penciptaan batik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku
Adeng. 2009. Batik : Warisan Adiluhung Nusantara. Jogjakarta: Andi Publisher.
Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kusrianto, Adi. 2012. Batik: Filosofi, Motif & Kegunaan. Yogyakarta: CV. Andi
Offset.
Prasetyo, Dr. Anindito. 2010. Batik: Kaya Agung Warisan Budaya Dunia.
Yogyakarta: Pura Pustaka.
Van Peursen, C. A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta. Penerbit: Kanisius, BPK
Gunung Mulia Jakarta.
Referensi Internet
Batik Megamendung. https://id.wikipedia.org/wiki/Batik_Megamendung. Diakses
pada 7 November 2020, pukul 19.30 WIB
Bukti dan Fakta Sejarah. https://herydotus.wordpress.com/2012/01/11/bukti-dan-
fakta-sejarah/. Diakses pada 7 November 2020, pukul 20.05 WIB.
Nugroho, Agung. 2009. Mega Mendung, Icon Batik Trusmi.
http://atristiyo.multiply.com/journal/item/111/Megamendung-Icon-Batik-
Trusmi-Cirebon. Diakses pada 7 November 2020, pukul 20.57 WIB.
Sejarah Batik Megamendung, Akulturasi Batik Cirebon.
https://finunu.wordpress.com/2009/12/28/sejarah-batik-megamendung-
akulturasi-batik-cirebon/. Diakses pada 7 November 2020, pukul 21.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai